Anda di halaman 1dari 3

Di sebuah warung hik, pinggir jalan kota. Pukul sebelas malam.

Pakdhe Toriyo menyajikan wedang jahe pesanan Bendo. Uap air panas terlihat
mengepul. Dengan pelan-pelan, Bendo menyeruput pelan-pelan, dengan khusyuk.
Wedang jahe itu perlahan-lahan mengusir hawa dingin yang di musim penghujan.
Setelah beberapa seruputan, Bendo bicara. Melanjutkan kata-kata yang terpotong
oleh wedang jahe tadi.

Bendo: “Jadi, kalau kita tetap golput, Mas, itu sama saja tidak peduli dengan bangsa
Indonesia. Wong, para pahlawan dulu merebut kemerdekaan dengan susah payah.
Mereka berjuang tekan ing pati. Lha, tugas kita ini untuk meneruskan perjuangan itu.
Caranya dengan nyoblos.”

Banjar dari tadi masih menikmati sega kucing-nya. Sepertinya istrinya tidak
menyiapkan makanan di rumah. Sudah habis tiga bungkus sega kucing dilahapnya.

Bendo: “Sampeyan tadi bilang sudah golput sejak dulu. Sejak tahun berapa, Mas
Banjar?
Banjar : “Sejak Pak Harto turun,”

Bendo : “Sampeyan fanatik sama Pak Harto, Mas?”


Banjar : “Tidak juga.”

Bendo : “Lha, terus kenapa golput?”

Banjar mengangkat gelas tehnya yang sudah kosong ke arah Pakdhe Toriyo. Tanda
ia minta dibuatkan segelas teh lagi. Sambil menunggu tehnya datang, sepotong
pisang goreng lenyap di dalam mulutnya.

Bendo menunggu jawaban Banjar. Sambil sesekali menyeruput wedang jahenya.


Sebenarnya dia agak tidak sabar melayani sikap Banjar yang lemot itu. Ia harus
sabar, agar Banjar mau nyoblos, khususnya nyoblos caleg dan partainya. Sebagai
kader partai dia harus mengajak semua orang untuk ikut berpartisipasi dalam
Pemilu.

Dalam rapat tim sukses calegnya, ia harus melaporkan berapa jumlah orang yang
sudah di-deal-kan untuk nyoblos caleg dan partainya. Untuk itu, setiap hari ia harus
blusukan ke kampung-kampung, mengunjungi teman-teman lama, nongkrong di
warung-warung.

Menghadapi golput seperti Banjar, Bendo merasa kewalahan. Karena, kata orang-
orang pintar itu, tipe Banjar ini termasuk golput ideologis. Tipe golput yang tidak
tergoyahkan oleh iming-iming amplop.

Banjar : “Bukan karena apa-apa, Mas. Saya nyoblos atau tidak tetap sama saja.”
Bendo : “Tidak begitu, Mas. Kalau Mas Banjar mau nyoblos, kita pasti dapat wakil
rakyat yang baik. Beras a jadi murah, sekolah bisa gratis. Enak kan, Mas?”

Banjar : “Benar seperti itu? Kalau aku nyoblos, besok beras langsung jadi murah?
Sekolah anakku jadi gratis?”
Bendo : “Iya, Mas.”

Bendo menyampaikan beribu alasan agar Banjar tidak golput lagi

Obrolan mereka berlanjut sampai tengah malam. Warung hik Pakdhe Toriyo ini
memang buka sampai dini hari. Beberapa orang ikut mendengarkan dan sekali-kali
nimbrung obrolan Bendo dan Banjar.

Bendo sudah mengeluarkan semua amunisinya agar Banjar tidak golput lagi di
pemilu nanti. Sebagai orang yang lugu, tampak Banjar sedikit mulai menelan kata-
kata Bendo.

Banjar : “Sepertinya benar juga omongan sampeyan, Mas.”


Bendo: “Iya, pasti benar. Jadi?” (Bendo melemparkan tanya dengan wajah harap-
harap cemas)

Banjar : “Jadi apa?”


Bendo: “Jadi, Mas Banjar mau nyoblos pada pemilu nanti, kan?”

Banjar : “Baiklah Mas, aku mau nyoblos.”

Bendo : “Bagus sekali. Pakdhe Toriyo, semua makanan Mas Banjar, aku yang
bayar. Sebagai perayaan karena Mas Banjar akhirnya mau nyoblos.”
Banjar : “Lhah, tidak usah, Mas. Ngrepoti sampeyan. Aku bayar sendiri saja, Mas.” a

Bendo mengeluarkan brosur dan stiker dari dalam tasnya.

Bendo: “Tidak apa-apa, Mas. Aku senang Mas Banjar akhirnya mau nyoblos. Ini,
Mas, caleg yang jujur dari partai terbaik. Jangan lupa, nanti nyoblos ini, Mas. Orang
ini dijamin baik dan pinter.”

Banjar menerima kedua lembar kertas itu.

Banjar : “Tapi, ngapunten ya, Mas. Aku sudah punya caleg pilihanku sendiri. “
Bendo : “Lho, siapa, Mas?”

Bendo tidak dapat menyembunyikan wajah kagetnya.

Banjar : “Anu, Mas, ada teman SD yang nyaleg. Beberapa hari yang lalu datang ke
rumah untuk minta dukungan. Aku masih ragu untuk nyoblos, tapi karena Mas
Bendo sudah menjelaskan pentingnya nyoblos tadi, aku jadi yakin mau nyoblos.
Matur suwun, Mas.”
Bendo : “Lho, kok ngono to, Mas? Ya sudah, Mas. Aku mau pulang duluan, sudah
ngantuk. Ini Pakdhe untuk wedang rondenya tadi.”

Bendo berjalan sambil menggerutu. Tahu begitu mending dia golput saja,
gerutunya.

Pembeli 1 : “Katanya tadi mau bayarin makanannya Mas Bendo? Kok dia langsung
pulang tanpa bayari dulu?”

Banjar : “Aku bayar sendiri, Kang.

Anda mungkin juga menyukai