Disusun oleh:
Venia 112016360
Pembimbing :
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan petunjuk-Nya
saya dapat menyelesaikan referat berjudul Advanced Life Support ini tepat pada waktunya.
1
Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu
Anestesi di RSAU dr. Esnawan Antariksa. Pada kesempatan ini saya juga mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Bambang Priambodo, Sp. An selaku dokter pembimbing
dalam Kepaniteraan Klinik Anestesi ini serta rekan-rekan koas yang ikut membantu memberikan
semangat dan dukungan moril.
Saya menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu,
saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga referat
ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang Anestesi khususnya dan bidang
kedokteran yang lain pada umumnya.
Venia
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................4
1.1 PENDAHULUAN.....................................................................................................................4
2.1 DEFINISI...................................................................................................................................5
2
2.2.2 Breathing...............................................................................................................................14
2.2.3 Circulation.............................................................................................................................16
2.3.2 Elektrokardiografi.................................................................................................................25
BAB III
KESIMPULAN................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................32
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Kegawatdaruratan dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan sudah menjadi tugas dari
petugas kesehatan untuk menangani masalah tersebut. Tidak menutup kemungkinan kondisi
kegawatdaruratan dapat terjadi pada daerah yang sulit untuk membantu korban sebelum
ditemukan oleh petugas kesehatan menjadi sangat penting. Kondisi kegawatdaruratan
diantaranya adalah serangan jantung. Data World Health Organization (WHO) menyebutkan
bahwa serangan jantung masih menjadi pembunuh manusia nomor satu dinegara maju dan
berkembang dengan menyumbang 60 % dari seluruh kematian. Dalam dua tahun terakhir ini,
kecelakaan lalu lintas di Indonesia oleh World Health Organization (WHO) dinilai menjadi
3
pembunuh terbesar ketiga, dibawah penyakit jantung koroner dan tuberkulosis (TBC). Sumbatan
jalan nafas, hipoventilasi, henti nafas, syok, bahkan henti jantung,cepat sekali menyebabkan
kematian bila tidak mendapat pertolongan yang cepat dan tepat. Kematian pasien akibat hal-hal
seperti tersebut di atas sesungguhnya dapat dihindari bila tindakan pertolongan resusitasi cepat
dikerjakan sejak ditempat kejadian. 1
Usaha yang dilakukan untuk mempertahankan hidup pada saat penderita mengalami
keadaan yang mengancam nyawa dikenal sebagai ”Bantuan Hidup Dasar” (Life Support). Bila
bantuan hidup ini tanpa memakai cairan intra vena, obat, maupun kejut listrik maka dikenal
sebagai Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support), sebaliknya dikenal dengan Bantuan Hidup
Lanjut (Advanced Life Support).1
Bantuan hidup dasar atau Basic Life Support merupakan sekumpulan intervensi yang
bertujuan untuk mengembalikan dan mempertahankan fungsi vital organ pada korban henti
jantung dan henti nafas. Bantuan Hidup Dasar merupakan usaha yang diakukan untuk
mempertahanankan kehidupan pada saat pasien atau korban mengalami keadaan yang
mengancam jiwa. 2,3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Basic Life Support (Bantuan Hidup Dasar/BHD) adalah suatu tindalan penanganan yang
dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan untuk menghentikan proses menuju kematian.
Bantuan Hidup Dasar merupakan usaha yang diakukan untuk mempertahanankan kehidupan
pada saat pasien atau korban mengalami keadaan yang mengancam jiwa. Pada kondisi napas dan
denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam
waktu singkat organ-organ tubuh terutama organ vital akan mengalami kekurangan oksigen yang
berakibat fatal bagi korban mengalami kerusakan. Organ yang paling cepat mengalami
kerusakan adalah otak, karena otak hanya akan mampu bertahan jika ada asupan glukosa dan
oksigen. Jika dalam waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa
4
maka otak akan mengalami kematian secara permanen. Kematian otak berarti pula kematian si
korban. Oleh karena itu golden period pada korban yang mengalami henti napas dan henti
jantung adalah dibawah 10 menit. Artinya dalam watu kurang dari 10 menit penderita yang
mengalami henti jantung adalah dengan melakukan resusitasi jantung paru (RJP). Resusitasi
jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi pernapasan
dan tau sirkulasi pada henti nafas (respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest).
Tindakan RJP ini tidak hanya beraku dalam ruangan operasi, tapi dapat juga diluar jika terdapat
suatu kejadian dimana ada seorang pasien atau korban, dalam usaha untuk mempertahankan
hidupnya dalam keadaan mengancam jiwa,. Hal ini dikenal dengan Bantuan Hidup Dasar (BHD)
atau Basic Life Support (BLS), sedangkan bantuan yang dilakuakan di rumah sakit sebagai
lanjutan dari BHD disebut Bantuan Hidup Lanjut atau Advanced Life Support (ALS).2,3
Tahap I: Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support), dengan tujuan oksigenasi darurat.
Resusitasi ABC (Airway control atau support, Breathing support, dan Circulation
Support). Oksigenasi darurat (emergency oxygenation).
Tahap II: Bantuan Hidup Lanjut (Advanced Life Support), dengan tujuan memulihkan dan
mempertahankan sirkulasi spontan. Resusitasi DEF (Drug and fluid treatment,
Electrocardiography, Fibrillation treatment).
Tahap III: Bantuan Hidup Jangka Panjang (Prolonged Life Support), dengan tujuan untuk
pengelolaan instensif mentasi manusia. Resusitasi GHI (Gaughing, Human mentation,
Intensive care). Resusitasi otak, terapi otak pasca resusitasi.
Bantuan Hidup Dasar atau basic life support (BLS) terdiri dari mengenali jika terjadinya
serangan jantung, aktivasi respon system gawat darurat, dan defibrilasi dengan menggunakan
defibrillator. Tujuan Bantuan Hidup Dasar (BHD) ialah oksigenasi darurat yang diberikan secara
efektif pada organ vital sepert otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkuasi buatan
sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal.
Resusitasi mencegah terjadinya berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi yang dapat
menyebabkan kematian sel akibat kekurangan oksigen dan memberikan bantuan eksternal
5
terhadpa sirkulasi melalui kompresi dada (chest compression) dan ventilasi dari korban yang
mengalami henti jantung atau henti nafas. Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary
Resusitasi (CPR) adalah upaya mengembalikan fungsi nafas dan atau sirkulasi yang berhenti
oleh berbagai sebab dan boleh membantu memulihkan kembali kedua-dua fungsi jantung dan
paru ke keadaan normal.2,4
Basic Life Support (BLS) dapat dilakukan pada pasien-pasien dengan keadaan sebagai berikut:3,5
a. Henti nafas
Henti nafas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas, obstruksi
jalan nafas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan infrak jantung,
radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya. Henti nafas ditandai
dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari korban dan ini
merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD). Pada awal
henti nafas, jantung masih berdenyut dan nadinya masih teraba, dimana oksigen masih
dapat masuk ke dalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat
mensirkulasikan darah ke otak dan organ-organ vital yang lainnya. Dengan memberikan
bantuan resusitasi, ia dapat membantu menjalankan sirkulasi lebih baik dan mencegah
kegagalan perfusi organ.5
b. Henti Jantung
6
(karotis, femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis), pernafasan berhenti, atau
gasping, tidak terdapat dilatasi pupil karena bereaksi terhadap rangsang cahaya dan
pasien tidak sadar. Pengiriman oksigen ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap oksigen dan fungsi pernapasan. Iskemia melebihi
3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun
setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali.5
Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini dapat disingkat dengan takenik
ABC pada prosedur CPR (Cardio Pulmonary Resusitation) yaitu:5
A (Airway) support : menjaga jalan napas tetap terbuka
Obstruksi jalan napas merupakan pembunuh tercepat, lebih cepat dibandingkan gangguan
breathing dan circulation. Obstruksi jalan napas dapat total dan parsial :4,5
1. Sumbatan Jalan Nafas Parsial : Usaha nafas masih ada, suara nafas masih terdengar dan
desiran udara ekspirasi dari mulut atau hidung pasien masih terasa, yang dapat diketahui
dengan merasakan desiran udara melalui pemeriksaan dengan punggung tangan atau
telinga dekat mulut atau hidung. Gejala dan tanda-tanda lain yang dapat dilihat pada
sumbatan jalan nafas parsial adalah :Aktivitas otot-otot bantu nafas meningkat, retraksi
suprasternal dan intercostal,terdengat stridor, dan terdapat tanda-tanda hipoksia dan
hiperkarbia.5
2. Sumbatan Jalan Nafas Total : Sama sekali tidak terdengar suara nafas, tidak terasa desiran
udara dari mulut atau hidung pasien, usaha nafas pasien lebih meningkat dengan
timbulnya gerakan dada paradoksal dan lebih meningkatnya aktivitas otot bantu nafas.
Tanda hipoksia dan hiperkarbia bertambah berat. Bila keadaan ini tidak segera
7
ditanggulangi akan segera diikuti dengan terhentinya fungsi jantung karena hipoksia
berat.Berdasarkan lokasi sumbatan, obstruksi jalan nafas dapat dibagi menjadi 3 lokasi:4
1. Sumbatan di atas laring, disebabkan oleh :2,3
a. Lidah yang jatuh ke hipofaring : Hal ini bisa terjadi pada pasien tidak sadar, terutama
pada pasien gemuk, leher pendek dan lidah besar misalnya pada bayi. Pada pasien
tidak sadar, tonus otot penyangga lidah menurun sehingga lidah jatuh ke arah
posterior (terutama pada pasien dalam posisi terlentang) dan menempel pada dinding
posterior faring, sehingga terjadi sumbatan parsial yang ditandai dengan suara nafas
ngorok (snoring). Usaha pertolongan yang dilakukan adalah “triple airway
maneuver” dari Safar yaitu : (1) ekstensi kepala ( head tilt ), (2) dorong mandibula
kedepan ( jaw thrust ), dan (3) buka mulut ( chin lift ). Pada pasien yang menderita
patah tulang leher, manuver ini harus dilakukan dengan hati-hati, tergantung
keperluan. Ekstensi kepala dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan menaruh
bantal atau benda lain di bahu pasien. Bila dengan cara ini sudah dapat membebaskan
jalan nafas, posisi ini dipertahankan dan kepala pasien dimiringkan untuk mencegah
sumbatan karena benda cair, atau pasien dimiringkan dengan posisi miring stabil.
Apabila dengan cara ini tidak berhasil dapat dipasang pipa orofaring atau
nasofaring.2,3
8
maneuver”, kemudian memiringkan kepala korban sambil mengorek dengan tangan
(sapuan) atau menghisap dengan alat. Bila belum berhasil melapangkan jalan nafas,
dapat dilakukan laringoskopi dan kemudian mengambil benda yang ada di rongga
mulut.2,3
c. Penyakit infeksi atau tumor jalan nafas bagian atas: Menimbulkan sumbatan jalan
nafas bagian atas adalah : pembesaran tonsil, polip pada rongga hidung dan beberapa
tumor lain di rongga mulut dan dasar lidah. Usaha pertolongannya adalah dengan cara
operatif, yaitu mengangkat tumor, atau bila tumornya tidak mungkin diangkat dan
sumbatannya bersifat darurat dan mengancam dapat dilakukan krikotirotomi dengan
dilanjutkan dengan tindakan trakeostomi.2
d. Trauma daerah muka : Trauma kepala yang mengenai daerah maksilo-fasial, dapat
merusak struktur anatomi regio ini, sehingga akan mengganggu pasase udara melalui
jalan nafas atas. Usaha membebaskan jalan nafas pada korban seperti ini adalah
berusaha secepat mungkin melakukan rekonstruksi jalan nafas bagian atas. Sementara
hal ini belum bisa dikerjakan, usaha melapangkan jalan nafas dilakukan dengan
memasang pipa endotrakea atau melakukan trakeostomi bila gagal melakukan
pemasangan pipa endotrakea.2
2. Sumbatan pada laring, disebabkan oleh :
a. Benda asing : Menyumbat rima glottis sehingga terjadi sumbatan total jalan nafas
atas. Gejala yang timbul adalah korban akan segera memegang leher, tidak bisa
bicara, tidak bisa nafas, dan tidak bisa batuk. Beberapa saat kemudian diikuti dengan
sianosis dan penurunan kesadaran, bila tidak segera diberikan pertolongan. Usaha
pertolongan yang dilakukan adalah bila pasien masih sadar, penolong berdiri
membelakangi korban, kedua tangan disilangkan dengan di ulu hati kemudian
lakukan hentakan 4 kali dengan kuat, atau bisa dengan memukul punggung di antara
tulang skapula. Bila pasien tidak sadar, ditidurkan terlentang dan dilakukan hentakan
pada ulu hati atau pasien dimiringkan dan dilakukan hentakan pada ulu hati atau
pasien dimiringkan dan dilakukan pukulan pada punggung seperti tersebut di atas.
Bila tindakan ini belum menolong segera dilakukan laringoskopi.4,6
9
Gambar 2. Sternal Trust dan Abdominal trust
b. Penyakit infeksi : Laringitis akut difteri atau non difteri yang sering menyerang anak-
anak, dapat menimbulkan penyulit sumbatan jalan nafas. Pasien akan mengalami
sumbatan jalan nafas parsial sampai total gejala klinis berupa stridor dengan aktivitas
pernafasan meningkat. Usaha pertolongan adalah untuk sementara dapat dilakukan
krikotirotomi kemudian segera dilakukan trakeostomi.6
c. Reaksi alergi (anafilaktik) : Angioneuritik edema pada daerah laring merupakan
salah satu gambaran dari suatu reaksi alergi. Usaha pertolongannya adalah apabila
sumbatannya total segera melakukan tindakan krikotirotomi atau trakeostomi.
Tindakan pemberian medikamentosa dapat diberikan akan tetapi selalu
memperhatikan keadaan pasien, bila keadaan pasien bertambah buruk segera
dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi.6
d. Tumor laring : Polip pada laring atau pita suara dan tumor lain yang terdapat pada
laring, secara langsung akan menutup jalan nafas secara parsial atau total tergantung
besar dan lokasi tumor. Usaha pertolongannya adalah segera mengangkat tumor
tersebut bila keadaan memungkinkan. Akan tetapi dapat dikerjakan trakeostomi.2,6
e. Trauma laring : Beberapa jenis trauma di daerah leher dapat menimbulkan sumbatan
jalan nafas antara lain cekekan/jeratan pada leher dan trauma langsung pada leher.
Sumbatan jalan nafas yang terjadi bisa parsial sampai total dengan gejala seperti
tersebut diatas. Usaha pertolongannya adalah tergantung penyebabnya. Bila karena
cekikan/ jeratan, segera melepaskan cekikan/jeratan tersebut. Bila karena sebab yang
lainnya, segera dilakukan trakeostomi.6
f. Spasme laring: Disebabkan oleh karena perangsangan n. vagus (reflex vagal).
Ambang vagal akan menurun pada hipoksia, asidosis, penderita dengan kesadaran
menurun dan lain-lainnya. Suara nafas seperti botol ditiup (krowing) adalah
10
merupakan tanda yang khas. Usaha pertolongannya adalah memberikan obat
pelumpuh otot.6
g. Paralisis pita suara : Paralisis pita suara paling sering disebabkan oleh karena lesi
pada n. rekurens akibat manipulasi pada operasi di daerah leher, misalnya pada
tiroidektomi.Usaha pertolongannya adalah segera melakukan trakeostomi.6
3. Sumbatan di bawah laring bisa terjadi pada trakea dan pada bronkus.1,6
a. Trakea : Sumbatan yang terjadi pada trakea dapat disebabkan oleh tumor yang
mendesak trakea, trauma akibat operasi yang dapat menimbulkan trakeomalasia dan
trauma langsung akibat kecelakaan lain. Gejala klinis dapat berupa sumbatan parsial
maupun total seperti tersebut diatas. Usaha pertolongannya adalah segera dilakukan
pemasangan endotrakea, kemudian dilanjutkan dengan trakeostomi.6
b. Bronkus : Disebabkan oleh benda asing pada dan pada saat kejadian pasien berdiri,
maka benda asing ini akan cenderung masuk ke bronkus kanan. Hal ini disebabkan
karena anatomis bronkus kanan lebih vertikal. Gejala yang dapat dijumpai pada
pasien ini tergantung dari derajat sumbatannya, bisa parsial atau total pada satu paru.
Usaha pertolongannya adalah melihat langsung bronkus dengan ostea-osteanya
mempergunakan alat bronkoskop selanjutnya menghisapnya atau menjepit benda
asing yang masuk dengan alat penjepit khusus. Bila sumbatannya oleh karena spasme
bronkus, akan terdengar suara nafas wheezing dan adanya tanda-tanda hipoksi dan
hiperkarbia. Usaha pertolongannya adalah segera memberikan bronkodilator.1,6
Pastikan jalan nafas terbuka dan bersih yang memungkinkan pasien dapat bernafas. Untuk
memastikan jalan nafas bebas dari sumbatan karena benda asing. Bila sumbatan ada dapat
dibersihkan dengan tehnik cross finger (ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada
mulut korban). Cara melakukan teknik cross finger pertama sekali silangkan ibu jari dan telunjuk
penolong. Kemudian, letakkan ibu jaru pada gigi seri bawah korban dan jari telunjuk pada gigi
seri atas. Lakukan gerakan seperti menggunting untuk membuka mulut korban. Akhirnya,
periksa mulut setelah terbuka apakah ada cairan, benda asing yang menyumbat jalan nafas.2,5
Pada korban yang tidak sadar tonus otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan
menutup faring dan laring sehingga menyebabkan sumbatan jalan nafas. Keadaan ini dapat
dibebaskan dengan tengadah kepala topang dahi (head tilt Chin lift) dan maneuver pendorongan
11
mandibular (Jaw thrush maneuver). Cara melakukan head tilt chin lift ialah letakkan tangan pada
dahi korban, kemudian tekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak tangan penolong.
Letakkan ujung jaru tangan lainnya dibawah bagian ujung tulang rahang korban. Tengadahkan
kepala dan tahan serta tekan dahi korban secara bersamaan samapai kepala pasien/korban pada
posisi ekstensi. Manakala, cara untuk melakukan teknik jaw thrush manuvere adalah letakkan
kedua siku penolong sejajar dengan posisi korban. Kemudian, kedua tangan memegang sisi
kepala korban. Penolong memegang kedua sisi rahang dan kedua tangan penolong menggerakan
rahang keposisi mulut korban tetap terbuka.3
Apabila terdapat benda asing yang mengobstruksi jalur nafas pasien, ia dikeluarkan.
Kemudian cek tanda kehidupan yaitu respon dan suara napas pasien. Jangan mendongakkan
dahi secara berlebihan, secukupnya untuk membuka jalan napas saja, karena pasien boleh ada
cedera leher. Menurut AHA Guideline 2010 merekomendasian head tilt-chin lift (Gambar 1)
untuk membuka jalan napas pada pasien tanpa ada trauma kepala dan leher. Sekitar 0,12-3,7%
mengalami cedera spinal dan risiko cedera spinal meningkat jika pasien mengalami cedera
kraniofasial dan/atau GCS < 8. Manakala, gunakan jaw thrust jika suspek cedera servikal. Pada
pasien suspek cedera spinal lebih diutamakan dilakukan dilakukan restriksi manual
(menempatkan 1 tangan di tiap sisi kepala pasien) daripada menggunakan spinal immobilization
device karena dapat mengganggu jalan napas tapi alat ini bermanfaat mempertahankan
kesejajaran spinal selama trasportasi.2,3
Jalan nafas sementara dapat menggunakan alat yang dimasukkan lewat hidung
(nasopharingeal airway) atau lewat mulut (oropharingeal airway). Oropharingeal airway lebih
populer sebagai ”guedel” walaupun ada tipe yang lain seperti misalnya tipe mayo atau williams.
Satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa oropharingeal airway tidak boleh dipasang pada
penderita sadar atau pada penderita setengah sadar yang berusaha menolak alat ini. Pemaksaan
pemasangan alat ini akan menimbulkan ”gag refleks” atau muntah yang mungkin menyebabkan
aspirasi. Ukuran panjang oropharingeal airway dihitung dari sudut mulut ke angulus mandibulae
(sudut rahang bawah). Pemasangan alat ini bisa dengan 2 cara : yang pertama, mulut dibuka lalu
dimasukkan terbalik dan bila sudah mencapai palatum mole lalu dilakukan rotasi. Yang kedua,
mulut dibuka dengan tongue spatel lalu dengan hati-hati dimasukkan ke belakang. Pada anak
kecil sebaiknya memakai cara kedua karena proses rotasi mungkin menyebabkan patahnya gigi
atau kerusakan farings.2,4
12
Nasopharingeal airaway tidak boleh dipsang bila ada kemungkinan fraktur basis kranii
anterior (keluar darah dari hidung atau mulut dan ada brill hematom), karena mungkin alat ini
bisa masuk ke otak. Pada keadaan ini pemasangan hanya boleh dilakukan oleh dokter dengan
memakai mandrin atau stylet. Panjang tube dapat dihitung dari pangkal cuping hidung sampai
cuping telinga. Cara pemasangan dengan selalu mengusahakan masuk melalui lubang hidung
sebelah kanan walaupun yang kiri juga diperbolehkan, tube diberi pelumas terlebih dahulu lalu
dimasukkan perlahan ke belakang, bila ada hambatan langsung ditarik keluar dan dicoba di
sebelahnya. Tube akan terlalu panjang bila setelah pemasangan tidak ada hembusan udara
melalui lumen dari tube berarti masuk ke dalam esophagus.2,4
2.2.2 Breathing
13
tidak. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan gerak nafas pasien atau mendengarkan/
merasakan aliran udara nafas pada mulut dan hidung. Bila tidak bernafas spontan atau
bernafas tetapi tidak adekuat segera diberikan nafas buatan.4,5
Dalam Breathing support terdiri dari dua tahap, yaitu: a) memastikan korban bernafas
atau tidak dan b) memberikan bantuan nafas. Dalam memastikan korban bernafas atau tidak
dapat diketahui dengancara melihat pergerakan naik turunnya dada (look), mendengar bunyi
nafas (listen) dan merasakan hembusan nafas (feel), dengan teknik penolong mendekatkan
telinga diatas mulut dan hidung korban sambil tetap mempertahankan jalan nafas tetap
terbuka. Ini dilakukan tidak lebih dari 10 detik. Tanda bahwa nafas buatan adekuat adalah
dada pasien naik-turun terdengar/terasa ada alian udara ekspirasi pasien. Pada kelumpuhan
otot pernapasan untuk memberikan bantuan nafas dapat dilakukan tanpa alat atau dengan alat
bantu nafas, mempergunakan udara ekspirasi penolong atau dengan udara atmosfir disertai
dengan oksigen murni yang telah disiapkan dalam tabung. Udara ekspirasi penolong masih
bisa diberikan karena udara ekspirasi ini masih mengandung oksigen sebanyak 16-18%.
Meskipun di dalamnya terdapat CO2, akan tetapi CO2 ini tidak akan masuk ke dalam tubuh
karena tekanan partial CO2 di dalam darah pasien yang henti nafas lebih tinggi dari udara
ekspirasi penolong. Beberapa cara pemberian nafas buatan :4,5,6
a. Dari mulut penolong, ke mulut pasien (mulut ke mulut) atau ke hidung pasien (mulut ke
hidung) : Cara ini mempergunakan udara ekspirasi penolong dan merupakan cara yang
cepat dan efektif. Pada saat memberikan nafas, penolong Tarik nafas dan mulut
penolong menutup seluruhnya mulut pasien/korban dan hidung pasien/korban harus
ditutup dengan telunjuk dan ibu jari penolong. Udara ekspirasi ditiupkan ke mulut atau
ke hidung penderita sebanyak kira-kira dua kali volume tidal penderita dengan frekuensi
nafas disesuaikan dengan kebutuhan penderita. Diupayakan melakukan hiperventilasi.
Proses ekspirasi penderita dilakukan secara pasif dengan cara melepaskan mulut
penolong dari mulut penderita setelah selesai meniup.Dari mulut ke hidung
direkomendasikan bila bantuan dari mulut korban tidak memungkinkan, misalnya
korban mengalami trismus atau luka berat. Penolong sebaiknya menutup mulut korban
pada saat memberikan bantuan nafas.4
14
b. Dari mulut penolong melalui pipa S : Prosesnya sama dengan di atas hanya penolong
meniupkan udara ekspirasinya melalui pipa orofaring S yang telah dipasang terlebih
dahulu. Selesai meniup, mulut dilepas dari pipa S dan pasien berekspirasi melalui pipa S
ke udara atmosfir.2
c. Dari mulut penolong melalui sungkup muka: Prosesnya sama dengan di atas tetapi
mempergunakan sungkup muka. Sungkup muka dipasang sedemikian rupa sehingga
menutupi mulut dan hidung pasien serta diusahakan tidak ada kebocoran pada celah
antara sungkup dengan muka pasien. Penolong meniupkan udara ekspirasinya melalui
lubang (inlet) sungkup muka.2
d. Mempergunakan alat bantu nafas manual balon sungkup : Udara yang dipergunakan
adalah udara atmosfir atau bisa dicampur dengan oksigen murni yang berasal dari
tabung oksigen yang telah disiapkan. Caranya tangan kanan memompa balon,
sedangkan tangan kiri mempertahankan ekstensi kepala dan menekan sungkup pada
muka penderita agar tidak bocor. Frekuensi nafas dan volume tidal disesuaikan dengan
kebutuhan penderita. Diusahakan melakukan hiperventilasi.2
e. Mempergunakan balon ke pipa endotrakeal : Cara ini sama dengan cara di atas tetapi
terlebih dahulu harus memasang pipa endotrakea melalui mulut atau hidung,selanjutnya
bantuan nafas dilakukan dengan balon yang dihubungkan ke pipa endotrakea.2
f. Nafas buatan dengan alat bantu nafas mekanik (ventilator). Alat bantu nafas mekanik
(ventilator) adalah alat bantu nafas otomatik dengan fasilitas lengkap sesuai dengan
kebutuhan penderita.
2.2.3 Circulation
Sistem sirkulasi atau pompa darah pada tubuh manusia dilakukan oleh jantung. Jantung
terdiri dari empat ruangan, yaitu atrium kanan, atrium kiri, bilik kanan dan bilik kiri. Jantung
berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh. Kepentingan sirkulasi adalah untuk
mempertahankan aliran darah bersamaan dengan tindakan untuk menghentikan perdarahan.1
Kegagalan sirkulasi akut yang segera harus ditanggulangi adalah henti jantung. Henti
jantung adalah berhentinya sirkulasi darah secara mendadak pada seorang penderita yang masih
mempunyai harapan hidup. Diagnosis henti jantung dapat ditegakkan bila dijumpai gejala-gejala
sebagai berikut ini, yaitu pasien tidak sadar, tidak bergerak,tampak pucat dan sianosis, henti
nafas, denyut nadi arteri besar tidak teraba dan pupil dilatasi. Diagnosis pasti adalah tidak
15
terabanya denyut arteri besar, misalnya pada arteri karotis yang diraba pada leher atau femoralis
yang diraba pada pelipatan paha. Pada bayi dan anak-anak, perabaan pada arteri karotis dapat
menimbulkan tekanan pada jalan nafas. Oleh karena itu, perabaan denyut. Nadi dilakukan pada
arteri brakialis, arteri femoralis atau aorta abdominalis atau adanya denyutan ventrikel di daerah
prekordial. Walaupun dilatasi pupil merupakan salah satu gambaran henti jantung, tetapi jangan
ditunggu sampai tampak adanya gambaran dilatasi pupil ini karena untuk terjadinya dilatasi pupil
diperlukan waktu. Pada henti jantung dapat menyebabkan kegagalan perfusi atau edaran/pasokan
oksigen ke seluruh jaringan tubuh, sehingga menimbulkan hipoksia atau anoksia jaringan,
terutama organ-organ vital.4
Hipoksia atau anoksia jaringan akan menyebabkan timbulnya perubahan perangai
metabolism dari siklus aerob ke siklus anaerob. Hal ini akan mengakibatkan bertumpuknya
produk-produk intermedier sehingga terjadi akumulasi asam laktatt dan piruvat yang selanjutnya
menyebabkan asidosis metabolik. Asidosis metabolik yang terjadi dapat menimbulkan disfungsi
enzim yang berfungsi sebagai katalisator dan disfungsi mitokondria-sel-sel, serta pada akhirnya
kematian sel yang menetap tidak bisa dihindari.3
Kompresi jantung adalah bantuan sirkulasi yang dapat dilakukan dari luar atau disebut
juga kompresi jantung luar (KJL) dan dapat pula dilakukan kompresi jantung dari dalam rongga
dada atau kompresi jantung dalam (KJD) melalui torakomi, bila kejadiannya di dalam kamar
operasi. Kompresi jantung luar dapat dilakukan dengan pasien ditidurkan terlentang di atas lantai
atau tempat tidur yang berakas keras dan padar dengan kedua tungkai ditinggikan. Penolong
mengambil posisi berlutut disamping korban dan meletakkan salah satu tumit telapak tangannya
di atas permukaan sternum pada titik 2/3 dari atas jarak antara manubrium sterni dan prosesus
sifoideus atau 2-3 jari sefalad dari pertemuan tulang sternum dengan prosesus sifoideus.7
Tangan penolong yang lain diletakkan di atas tangan pertama dengan jari-jari terkunci
dan lengan lurus serta kedua bahu berada tepat di atas sternum korban. Kemudian penolong
memabrikan tekanan vertical ke bawah dengan mempergunakan berat badan sampai
menghasilkan pergerakan ada setinggi 4-5 cm. Setelah kompresi harus ada relaksasi, tetapi kedua
tangan tidak boleh diangkat dari korban. Dianjurkan lama kompresi sama dengan lama relaksasi.
Kompresi yang dilakukan pada titik tersebut di atas akan menekan jantung diantara tulang dada
dan tulang belakang sehingga pada saat penekanan darah akan mengalir dari jantung ke seluruh
16
tubuh. Sebaliknya pada saat pelepasan tekanan/relaksasi darah akan mengalir ke dalam jantung
akibat mekanisme pompa isap toraks. Nilai sirkulasi darah korban dengan menilai denyut arteri
besar (arteri karotis, arteri femorsalis). Berikut merupakan langkah-langkah RJP yaitu : Apabila
terdapat denyut nadi maka berikan pernafasan buatan 2 kali. Apabila tidak terdapat denyut nadi
maka lakukan kompresi dada sebanyak 30 kali. Posisi kompresi dada, dimulai dari melokasi
processus xyphoideus dan tarik garis ke kranial 2 jari diatas processus xyphoideus dan lakukan
kompresi kepada tempat tersebut. Kemudian berikan 2 kali nafas buatan dan teruskan kompresi
dada sebanyak 30 kali. Ulangi siklus ini sebanyak 5 kali dengan kecepatan kompresi 100 kali
permenit. Kemudian check nadi dan nafas korban apabila : a) Tidak ada nafas dan nadi: teruskan
RJP sampai bantuan datang. b) Terdapat naditetapi tidakan nafas : mulai lakukan lakukan
pernafasan buatan. c) Terdapat nadi dan nafas : korban membaik.3,7
Pada prinsipnya bantuan dasar pada bayi dan anak sama dengan orang dewasa. Akan
tetapi karena perbedaan ukuran, diperlukan modifikasi teknik. Ekstensi kepala yang
berlebihan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas pada bayi dan anak kecil, oleh karena
itu kepala hendaknya dijaga dalam posisi netral selama diusahakan membuka jalan nafas.3,4
Pada bayi dan anak kecil ventilasi mulut ke mulut dan hidung lebih sesuai dari pada
ventilasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pemberian nafas harus lebih kecil volumenya
dan frekuensi ventilasi harus ditingkatkan menjadi 1 nafas tiap 3 detik untuk bayi dan tiap 4
detik untuk anak-anak. Pukulan punggung dapat diberikan pada bayi dengan korban
telungkup dan mengangkang pada lengan penolong dan hentakan dada diberikan dengan bayi
17
terlenang dengan kepala trletak di bawah melintang pada paha penolong. Pukulan punggung
pada anak yang lebih besar dapat dilakukan dengan korban telungkup melintang di atas paha
penolong dengan kepala lebih rendah dari badan, dan hentakan dada dapat dilakukan dengan
anak terlentang diatas lantai.4,7
Pada bayi dan anak letak jantung dalam rongga toraks lebih tinggi dibandingkan orang
dewas, oleh karena itu kompresi dada luar hendaknya dilakukan pada titik2 atau 3 ajri
dibawah garis antara putting susu pada bayi dan pada pertengahan sternum pada anak. Naik
turunnya dada pada bayi saat menekan sternum diusahakan agar mencapai 1,5-2,5 cm,
sedangkan pada anak diperlukan penekanan 2,5-4 cm agar sirkulasinya efektif. Kompresi
pada bayi dapat dilakukan dengan mempergunakan kedua ibu jari atau dengan duajari yaitu
telunjuk dan jari tengah, sedangkan pada anak yang lebih besar dapat digunakan pangkal
telapak tangan. Selama henti jantung, pemberian kompresi diberikan dengan frekuensi
100x/menit (bayi) atau 80x/menit (anak-anak). Perbandingan kompresi terhadap ventilasi
selalu 5:1.1,3,4
Tanda-tanda keberhasilan bantuan hidup dasar adalah: warna kulit berubah dari sianosis
menjadi kemerahan, pupil akan mengecil, dan bila penyebab henti jantung adalah hipoksia
dan segera diberikan bantuan hidup dasar, denyut nadi spontan dapat dipulihkan. Apabila
bantuan hidup dasar berhasil harus segera dilanjutkan dengan bantuan hidup lanjut. Apabila
terjadi kegagalan dalam memberikan bantuan hidup dasar pada umumnya disebabkan oleh
ketidak-adekuatan upaya pemberian bantuan, baik pada upaya ventilasi maupun pada
kompresi jantung, sehingga pasokan dan edaran oksigen tidak adekuat.1,3,4
18
Gambar 6. Komponen CPR berkualitas tinggi.7
Pada pembaruan terbaru 2017 topik yang di tinjau mencakup tentang CPR yang di
dampingi operator, kompresi dada yang terus-menurus vs terputis-putus oleh penyedia layanan
medis darurat (EMS). Yang di maksud penolong yang tidak terlatih jika penoong tidak terlatih,
terlatih untuk CPR kompresi dada saja, terlatih untuk CPR menggunakan kompresi dada dan
ventilasi (napas buatan).8
2017 2015
CPR yang di dampingi Jika intruksi pendamping pendamping harus
operator diperlukan, pendamping memberikan intruksi CPR
harus memberikan intruksi kompresi dada saja kepada
CPR kompresi dada saja pemanggil untuk orang
kepada pemanggil untuk dewasa dengan duga serangan
orang dewasa dengan duga hantung di luar rumah sakit
serangan hantung di luar OHCA
19
rumah sakit OHCA
CPR oleh pendamping 1. Untuk dewasa dengan 1. Untuk penolong yang
OHCA, penolong tidak terlatih CPR
yang tidak terlatih kompresi saja adalah
harus memberikan alternatif yang
CPR kompresi dada memungkinkan untuk
saja dengan atau tanpa CPR konvensional
bantuan pendamping bagi pasien dewasa
2. Untuk penolong tidak yang mengalami
terlatih yang terlatih serangan jantung
yang terlatih 2. Untuk penolong tidak
disarankan untuk terlaith yang terlatih
memberikan kompresi dapat memberikan
dada saja untuk ventilasi selain
dewasa yang kompresi dada.
mengalami OHCA
3. Penolong tidak terlatih
yang terlatih dengan
CPR menggunakan
kompresi dada dan
ventilasi (napas
buatan), mungkin
dapat memberikan
ventilasi selain
kompresi dada untuk
dewasa yang
mengalami OHCA.
CPR oleh EMS Sebaiknyasebelum Selama pasien tidak memiliki
penempatan saluran udara saluran udara lanjutan yang
lannjutan (supraglotik atau terpasang penolong harus
trakea) penyedia EMS memberikan suklus 30:2.
memberikan CPR dnegan Penolong meberikan napas
20
siklus 30:2. Penyedia EMS buatan selama jeda diantara
dapat menggunakan tingkat kompresi dan memberikan
10 napas per menit (1 napas setiap napas kira-kira 1 detik.
tiap 6 detik) untuk Namun dalam sistem EMS
memberikan ventilasi yang menggunakan paket
asinkroni selama kompresi perawatan yang mencakup
dada terus-menerus sebelum kompresi dada secara terus
penempatan saluran udara menerus penggunanaan teknik
lanjutan. ventilasi pasif dapat di
Rekomendasi ini tidak pertimbangkan sebagai bagian
menghalangi rekomendasi dari paket tersebut
2015 yang menjadi alternatif
yang memungkinkan sistem
EMS menerapkan paket
perawatan sebagai
penggunaan awal dari
kompresi dada dengan
gangguan yang minim
(seperti ventilasi yang
tertunda)
CPR untuk serangan jantung Kapanpun saluran udara Jika korban memilikisaluran
lanjutan (saluran trakea dan udara lanjutan selama CPR
perangkat supragltik) penolong tidak dapat
dimasukan selama CPR, memberikan siklus 30
penyedia dapat melakukan kompresi dan 2 napas
kompresi secara terus (mereka ridak lagi
menerus dengan ventilasi menganggu kompresi untuk
bertekanan positif yang memberikan 2 napas).
diberikan tanpa jeda pada Sebaliknya penyedia dapat
kompresi dada. Yang tidak di memberikan 1 napas seriap 6
ubah penyedia dapat derik (10 napas permenit) saat
21
memberikan satu napas tiap 6 kompresi dada terus menerus
detik (10 napas pemrmenit) dilakukan
saat kompresi dada terus
menerus dilakukan
Rasio kompresi dada dengan Penolong yang telatih dalam Penolong dapat memberikan
ventilasi CPR dengan kompresi dada rasio kompresi dengan
dan ventilasi (napas buatan) ventilasi sebesar 30;2 untuk
dapat memberikan rasio dewasa yang mengalami
kompresi dengan ventilasi serangan jantung.
sebesar 30;2 untuk dewasa
yang mengalami serangan
jantung
Setelah penilaian terhadap hasil bantuan hidup dasar, dapat diteruskan dengan bantuan
hidup lanjut (korban dinyatakan belum mati dan belum timbul denyut jantung spontan), maka
bantuan hidup lanjut dapat diberikan berupa obat-obatan. Bantuan hidup lanjut (BHL) ditujukan
untuk segera dapat memulihkan dan mempertahankan fungsi sirkulasi spontan sehingga perfusi
dan oksigenasi jaringan dapat segera dipulihkan dan dipertahankan. Tindakan ini dapat segera
dikerjakan secara simultan bersamaan dengan tindakan-tindakan pada tahap pertama (bantuan
hidup dasar). Tindakan pada tahap kedua ini memerlukan peralatan khusus dan obat-obatan agar
segera dapat memulihkan dan mempertahankan sirkulasi spontan. Dalam rumah sakit,
perlengkapan dan obat-obatan untuk bantuan hidup lanjut biasanya disimpan pada kereta yang
dapat bergerak dan diletakkan pada tempat yang strategis. Kereta ini beserta isinya harus ada di
ruang gawat darurat, ruang terapi intensif, di kamar operasi dan di runag pulih. Perlengkapan
pada kereta ini hendaknya mencakup tabung oksigen, alat jalan nafas (pipa orofaring, nasofaring
dan pipa endotrakea, sungkup muka, alat isap, laringoskop, forsep magil dan perlengkapan untuk
memasang infuse, EKG monitor dengan defibrilatornya dengan arus searah dan papan atau
plastic yang datar dan kuat untuk landasan resusitasi.5,9
22
(A) (B)
Gambar 7. (A) Guidline ALS 2010 (B) Guidline ALS 2015.10
2.3.1 Obat-obatan dan Cairan
Pada saat memulai langkah D (Drugs and Fluids), usaha kanulasi vena melalui
vena perifer maupun sentral segera harus dilakukan dengan tujuan untuk menyediakan
jalur vena terbuka untuk memasukkan obat-obatan dan menambah volume sirkulasi darah
terutama pada penderita syok akibat perdarahan akut atau dehidrasi. Pilihan vena yang
akan dikanulasi adalah vena yang mudah diraba pada ekstremitas atau melalui vena kubiti
langsung ke vena sentral atau langsung pada vena sentral misalnya melalui vena jugularis
interna atau vena subklavia. Apabila semua vena-vena tersebut susah didapat, bisa
dilakukan seksi vena pada vena di tungkai. Jarum yang digunakan untuk kanulasi adalah
jenis kateter atau kanul intravena yang terbuat dari polivinil dengan ukuran yang paling
besar yang bisa masuk ke dalam vena yang dipilih. Apabila dilakukan kanulasi vena
sentral,panjang kanul yang dipilih disesuaikan dengan lokasi kanulasi. Jenis cairan yang
dipilih bisa kristaloid atau koloid yang dapat diberikan secara tunggal atau
kombinasi.Obat-obatan yang diperlukan adalah obat-obatan simpatomimetik, (adrenalin,
nor adrenalin, efedrin, dopamine, efortil, metaraminol, dan isoproternol), obat pelumpuh
otot (suksinil kolin, pankuronium atau derivate kurare yang lain), sedative dan anti kejang,
23
lidokain, prokainamid, bretillium diabetic, natrium bikarbonat, kalsium glukonas, digitalis,
kortikosteroid, atrofin, morfin atau petidin, nalokson, bronkodilator (aminofilin), cairan
infuse dan jangan lupa oksigen. Walaupun banyak jenis obat seperti yang telah disebutkan
di atas digunakan untuk tindakan pada langkah D ini, namun obat esensial yang harus
segera diberikan pada setiap henti jantung adalah adrenalin, natrium bikarbonat, glukosa
40%, kalsium.5,9,11
Adrenalin adalah obat yang harus segera diberikan bila henti jantungnya terjadi
kurang dari 2 (dua) menit dan disaksikan. Dosisnya 0,5 - 1,0 mg (dosis untuk orang
dewasa), diberikan langsung intravena atau dapat diencerkan dengan akuades menjadi 10
ml. Pada anak-anak dosisnya adalah 10 mcg /kg. Apabila jalur intravena belum ada, dapat
diberikan intratekal lewat pipa endotrakeal (1 ml adrenalin 1:1000 diencerkan dengan 9 ml
akuades steril). Apabila keadaan sangat mendesak bisa diberikan intrakardiak. Tetapi
belakangan ini cara intrakardiak tidak dianjurkan lagi. Pemberian nya dapat diulang
setelah 3-5 menit pemberian pertama dengan dosis sama seperti dosis pertama.11
Natrium bikarbonat diberikan pertama kali bila henti jantungnya diperkirakan
lebih dari 2 (dua) menit karena pada keadaan ini asidosis yang terjadi sangat berat. Pada
henti jantung yang kurang dari 2 menit tidak diperlukan pemberian obat ini karena
asidosisnya masih ringan dan dapat segera dikoreksi dengan pemberian nafas buatan yang
adekuat. Dosis permulaan 1 mEq / kg kemudian dapat diulang setiap 10 menit dengan
dosis 0,5 mEq / kg sampai jantung berdenyut spontan. Obat ini dikemas dalam ampul
berisi 50 ml dan 1 ml mengandung 1 mEq / liter. Pemberiannya hanya boleh intravena.
Untuk mengoreksi asidosis secara tepat harus dilakukan analisis gas darah sehingga defisit
basa yang terjadi diketahui. Untuk mennghitung dosis bikarbonat dapat digunakan rumus
defisit basa x 0, 25 berat badan.11
Kalsium merupakan kation yang sangat diperlukan pada henti jantung oleh karena
disosiasi elektromagnetis setelah gagal memulihkan sirkulasi spontan dengan pemberian
adrenalin. Juga diperlukan bila henti jantung disebabkan oleh karena obat-obatan yang
mendepresi otot jantung. Bentuk garam yang disukai adalah kalsium klorida 10 persen,
tetapi dapat juga diberikan kalsium glukosa 10 persen. Dosisnya 5 ml untuk dewasa
dengan berat badan 70 kg secara intravena. Pemberian glukosa 40 % ditujukan untuk
mencegah hipoglikemia karena pada keadaan metabolisme anaerob,tubuh tidak mampu
24
menyediakan glukosa siap pakai sedangkan organ-organ seperti otak,jantung, ginjal, dan
sel darah merah sangat memerlukan glukosa. Dosisnya 1 gr /kgBB diberikan intravena.
Amoidaron diberikan setelah tiga kali syok.9,11
2.3.2 Elektrokardiografi
Monitoring EKG dilakukan untuk melihat bentuk henti jantung apakah asistol ventricular,
fibrilasi ventricular atau kompleks aneh yang lain seperti disosiasi elektromekanis.Alat
pantau EKG adalah alat pantau standar yang harus tersedia di unit-unit Gawat Darurat.
Diagnostik henti jantung mutlak harus ditegakkan melalui pemeriksaan EKG, sehingga
dengan demikian bantuan hidup lanjut dapat dilakukan secara tepat sesuai dengan gambaran
EKG. Gambaran EKG sangat menentukan langkah-langkah terapi pemulihan yang akan
dilakukan. Ada 3 pola EKG pada henti jantung ,yaitu:5,9,11
a) Asistol ventrikel : gambaran EKG asistol ventrikel ialah garis lurus tanpa defleksi yang
dapat terganggu oleh aliran listrik, nafas buatan atau tindakan resusitasi. Dalam
mendiagnosis henti jantung asistolik kita harus hati-hati karena dapat terkecoh oleh
fibrilasi ventrikel yang halus atau lembut akibat ada gangguan perekaman EKG.
ketiadaan denyut jantung dengan gambaran EKG yang isoelektris yang paling sering
disebabkan oleh hipoksia,asfiksia dan blok jantung. Usaha pertolongannya adalah:5,10
a. Bantuan hidup dasar (langkah A dengan memasang PET, B dan C) dilakukan secara
adekuat.
b. Lakukan pukulan prekordial
c. Yakinkan bahwa gambaran tersebut bukan gambaran ventrikel fibrilasi
d. Lakukan langkah D: berikan obat-obatan adrenalin, natrium bikarbonat, atropin yang
dapat diulang sesuai kebutuhan. Apabila belum berhasil segera diberikan kalsium
klorida atau glukonas.
e. Bila belum berhasil biasanya disebabkan oleh blok jantung, segera pasang alat pacu
jantung
b) Disosiasi elektromekanik: sebenarnya adalah asistol mekanik yaitu ketiadaan denyut
dengan gambaran EKG agonal (aneh atau abnormal) atau kadang-kadang relatif normal
tetapi tidak terdapat pola QRS yang khas. Mekanisme kontraksi tidak efektif sehingga
denyut nadi tidak teraba. Penyebabnya dapat primer akibat kegagalan kopling eksitasi-
kontraksi, misalnya pada infark miokard akut yang masif terutama dinding inferior,
25
keracunan obat, gangguan elektrolit (hipokalsemi, hiperkalemi), trombus atrium.
Penyebab sekunder akibat gangguan curah jantung secara mekanik sepertii pnemotorak
tegang, tamponade perikardial, ruptur jantung, emboli paru, oklusi katup jantung
protestik, dan hipovolemi. Usaha pertolongannya adalah:5,9
a. Bantuan hidup dasar (langkah-langkah A dengan pemasangan PET, B dan C)
dilakukan secara adekuat
b. Pemberian obat-obatan : adrenalin dan natrium bikarbonat
c. Usaha mencari penyebab yang mungkin bisa dikoreksi
d. Terapi cairan yang adekuat
c) Fibrilasi ventrikel
Fibrilasi ventrikel (FV) paling sering menyebabkan kematian jantung mendadak.
Keadaan ini merupakan gerak getar ventrikel jantung secara kontinu dan tidak teratur
sehingga tidak bisa memompakan darah ke seluruh tubuh. Pada EKG akan tampak
osilasi yang khas tanpa kompleks QRS. Sebab-sebabnya bisa primer atau sekunder dan
mekanismenya belum diketahui dengan pasti. Penyebab primer yang paling sering
adalah iskemia otot jantung, reaksi obat yang merugikan, tersengat listrik dan
kateterisasi pada jantung yang iritatif. Sedangkan penyebab sekunder adalah usaha
resusitasi pada asistol karena asfiksia, tenggelam, dan akibat perdarahan. Usaha
pertolongannya adalah:5,9,10
a. tanpa menunggu EKG segera lakukan bantuan hidup dasar (langkah A dengan
pemasangan PET, B, dan C)
b. dilanjutkan dengan tindakan pukulan prekordial terutama pada fibrilasi yang
disaksikan
c. berikan obat-obatan : adrenalin dan natrium bikarbonatsesuai dosis dan kalau perlu
diulang.
d. evaluasi dengan EKG, bila gambaran EKG berupa fibrilasi halus, berikan adrenalin
lagi agar berubah menjadi kasar, oleh karena fibrilasi kasar lebih mudah
dikembalikan ke irama sinus dengan terapi fibrilasi, bila kasar segera dilakukan
langkah F (Fibrilation treatment).
26
Gambar 8. Ventrikel Fibrilasi
27
a) Bila FV yang terjadi disaksikan, segera lakukan terapi defibrilasi dalam 30 detik
tanpa bantuan hidup dasar (ABC-RJP), tetapi bila tidak disaksikan lakukan ABC-
RJP terlebih dahulu
b) Putar alat pemindahan sinkronisasi defibrillator ke tanda “off” dan nyalakan tenaga
utama.
c) Tentukan tingkat energy yang dikehendaki (sesuai dengan berat adan) dan isi
muatan pedal
d) Kedua pedal electrode diisi pelicin (jeli) dan kemudian pedal negative tempelkan
pada dada kanan bagian atas tepat di sebelah kanan sternum dan di bawah klavikula
sedangkan pedal positif di dada kiri tepat di bawah dan di sebelah kiri putting susu
kiri. Tekan kedua pedal dengan kuat pada dada.
e) Pastikan diagnosis pada EKG
f) Usahakan operator tidak berhubungan dengan pasien agar tidak tersengat aliran
listrik
g) Lepaskan muatan listrik dengan menekan tombol yang ada pada masing-masing
pedal
h) Biarkan pedal menempel di dada selama 5 detik untuk menentukan irama
i) Bila denyut nadi belum teraba dalam 5 detik, teruskan ABC-RJP, bila FV masih
berlanjut setelah 1 menit melakukan ABC, ulangi syok balik dengan dosis
berikutnya yaitu 4-5 J/kgBB.
Bila belum berhasil berikan lidokain 1-2 mg/kgBB secara intravena dan kalau perlu
diteruskan dengan infuse. Ulangi syok balik listrik seperti tersebut di atas. Bila belum
berhasil juga dapat diberikan prokainamid 1-2 mg/kgBB intravena dan kemudian
lakukan syok lagi. Bila belum berhasil juga, berikan bretilium 5 mg/kgBB intravena
dan selanjutnya syok lagi. Bila belum berhasil dosis bretilium dapat ditinggikan 10
mg/kgBB sampai dosis total 30 mg/kgBB. Bretilium ini merupakan obat terakhir yang
tersedia pada saat ini. Bila ini juga tidak berhasil, maka dapat ditegakkan diagnose
kematian jantung. Sebaliknya, bila usaha syok listrik sudah berhasil mengembalikan
irama jantung ke irama sinus, keadaan ini dipertahankan dengan pemberian obat-
obatan seperti seperti tersebut di atas.Tindakan selanjutnya setelah berhasil
memulihkan dan mempertahankan sirkulasi spontan adalah melakukan bantuan hidup
28
jangka panjang yang berorientasi pada pemulihan fungsi otak di Unit Terapi Intensif.
Pada kasus-kasus/ kejadian khusus yang disaksikan oleh penolong dan segera
memperoleh pertolongan yang tepat dan cepat, penderita dapat pulih kembali secara
penuh. Pada pasien ini hanya memerlukan pemantauan ketat dan perawatan pasca
resusitasi.8,9
2.4 Pemantauan Selama Bantuan Hidup Lanjut
Tanda-tanda klinis seperti upaya pernapasan, gerakan dan terbukanya mata dapat terjadi
selama RJP. Ini dapat menunjukkan ROSC dan memerlukan konfirmasi dengan memeriksa ritme
dan frekuensi nadi, tapi juga bisa terjadi akibat RJP yang mengakomodasi sirkulasi yang adekuat
untuk mengembalikan fungsi kehidupan termasuk kesadaran. Pemeriksaan nadi ketika ada irama
EKG yang kompatibel dengan output dapat digunakan untuk mengidentifikasi ROSC, tapi
mungkin tidak dapat mendeteksi nadi pada pasien dengan tekanan darah dan cardiac output yang
rendah. Nadi yang teraba pada segitiga femoral lebih mengindikasikan aliran vena daripada
arteri. Tidak ada katup pada vena kava sehingga memungkinkan aliran darah vena yang retrograd
sehingga menyebabkan pulsasi pada vena femoralis. Pulsasi arteri carotis selama RJP tidak selalu
mengindikasikan miokard dan perfusi cerebral yang adekuat. Pemantauan EKG irama jantung.
Pemantauan ritme jantung melalui pads, paddles atau elektroda EKG adalah bagian standar dari
ALS. Artefak gerak membuat irama jantung terpercaya selama kompresi dada sehingga tidak
memaksa tim penyelamat untuk menghentikan kompresi dada untuk menilai irama, dan
mencegah deteksi berulang VF / Pvt. End-tidal karbondioksida dengan gelombang kapnografi.
Kapnografi yang digunakan selama RJP memiliki keuntungan yang lebih besar dalam Guidelines
2015. Sampel darah dan analisa selama CPR dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab
potensial yang reversibel dari serangan jantung. Hindari sampel fingerprick di penyakit kritis
karena mereka mungkin tidak dapat diandalkan;. Sebaliknya, menggunakan sampel dari vena
atau arteri. Analisa gas darah sulit untuk diinterpretasi selama CPR. Selama serangan jantung,
analisa gas darah arteri bisa salah dan memiliki sedikit ubungan dengan status asam basa.
Analisa darah vena sentral bisa memberikan perkiraan hasil yang lebih baik untuk pH jaringan.
Monitor saurasi oksigen vena sentral selama RJP menguntungkan tetapi perannya dalam RJP
sendiri belum jelas. Pemantauan invasif kardiovaskular dalam perawatan kritis, seperti
continuous arterial blood pressure dan central venous pressure. Pemantauan tekanan arteri
invasif akan memungkinkan deteksi nilai tekanan darah yang rendah ketika RSOC dapat dicapai.
29
Penilaian USG ditujukan atas untuk mengidentifikasi dan merawat penyebab reversibel dari
serangan jantung, dan mengidentifikasi jantung dengan cardiac output yang rendah. 9-11
BAB III
KESIMPULAN
Basic Life Support (BLS) adalah usaha yang dilakukan untuk mempertahanankan
kehidupan pada saat pasien mengalami keadaan yang mengancam jiwa. Dalam penanganan
Basic Life Support dibagi menjadi pengaturan jalan nafas (airway control), bantuan pernafasan
(breathing support), dan sirkulasi dengan cara kompresi pada dada pasien yang dikenal sebagai
30
Resusitasi Jantung Paru (RJP). Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan
untuk mengembalikan fungsi pernapasan dan tau sirkulasi pada henti nafas (respiratory arrest)
dan atau henti jantung (cardiac arrest). Kelanjutan dari Basic Life Support dikenal sebagai
Advanced Life Support (ALS) atau Bantuan Hidup Lanjut (BHL). Advanced Life Suppport
bertujuan untuk segera dapat memulihkan dan mempertahankan fungsi sirkulasi spontan
sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan dapat segera dipulihkan dan dipertahankan. Tindakan
ini dapat dilakukan secara simultan dengan Basic Life Support. Yang termasuk dalam Bantuan
hidup lanjut yaitu obat-obatan dan cairan, pemantauan pada elektrokardiografi dan terapi
fibrilasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ngingarung AA, Mulyadi, Reginus. Pengaruh simulasi tindakan resusitasi jantung paru
(rjp) terhadap tingkat motivasi siswa menolong korban henti jantung di sma negeri 9 binsus
manado. E-journal. 2017. 5(1).
31
3. Ganthikumar K. Indikasi dan ketrampilan resusitasi jantung paru (RJP). Intisari Sains
medis. Pelambeng; 2016.h.58-64.
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi kedua. Penerbit
FKUI.: Jakarta.2010.h.151-9.
6. Mangku G, Senapathi TG. Buku ajar ilmu anestesi dan reanimasi. Jakarta: Indeks Jakarta;
2010.
7. 2017 American Heart Association Focused Update on Adult Basic Life Support and
Cardiopulmonary Resuscitation Quality. [Online]. [cited 15 November 2018]. Avaible
http://circ.ahajournals.org/content/circulationaha/early/2017/11/06/CIR.000000000000053
9.full.pdf
8. Fokus Utama: Pembaruan pedoman American heart Association 2015 untuk 2017 untuk
bantuan dasar hidup pediatrik dan dewasa dan kualitas CPR. Ameican heart
Association.2017.
9. Morrison J. Co Chair, Charles, et all. Advanced Life support 2010 International consensus
on cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care science with
treatment recommendations. [Online]. [Cited 15 November 2018]. Avaible
http://circ.ahajournals.org/content/circulationaha/122/16_suppl_2/S345.full.pdf. Soar J.
Advanced Life Support 2015 symposium. UK. 2015.
10. Resuscitation council (UK). [Online]. [Cited 15 November 2018 ].Available from
https://www.resus.org.uk/resuscitation-guidelines/adult-advanced-life-support/
11. Fokus Utama: Pembaruan pedoman American heart Association 2015 untuk CPR dan
ECC.[Online]. [Cited 15 November 2018]. Avaible https://eccguidelines.heart.org/wp-
content/uploads/2015/10/2015-AHA-Guidelines-Highlights-Indonesian.pdf
32