MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Perencanaan Pajak
Disusun Oleh:
Siska Liana
120620170514
1. Adanya kewajiban membuat faktur pajak setiap transaksi, mengingat faktur pajak
merupakan bukti terpenting.
2. Memudahkan melakukan pemeriksaan, baik oleh pemeriksaan internal maupun
fiskus.
3. Tidak perlu menentukan besarnya keuntungan untuk setiap barang yang dijual.
4. Kewajiban perpajakannya dapat dihitung setiap saat.
Di pihak lain perusahaan merupakan subjek pajak negara, karena kegiatan
usahanya menjadi objek pajak, yaitu Pajak Pertambahan Nilai. Perusahaan membayar
pajak yang disebut Pajak Masukan (PPN Masukan), pada saat perusahaan melakukan
pembelian bahan-bahan baku atau barang jadi. Sedangkan perusahaan memungut Pajak
Keluaran (PPN Keluaran) pada saat melaksanakan penjualan atau penyerahan Barang
Kena Pajak, selisih antara PPN Masukan dan PPN Keluaran disebut PPN Terhutang,
terjadinya peningkatan jumlah PPN perusahaan, juga mengakibatkan PPN Terhutang
meningkat sehingga perusahaan harus membayar lebih besar PPN terhutangnya. Untuk
itu, suatu perusahaan membutuhkan adanya tax planning (perencanaan pajak) untuk
meminimalkan jumlah pembayaran pajaknya.
Pembahasan tentang perencanaan PPN ini difokuskan pada beberapa upaya berikut
ini:
1. Memaksimalkan mekanisme pengkreditan PPN
2. Memaksimalkan Fasilitas di Bidang PPN
3. Sentralisasi pengenaan PPN
4. Memaksimalkan restitusi PPN
5. Membangun sendiri dalam kegiatan usaha
6. PPN atas barang gratis untuk keperluan promosi
7. Penjagaan cash flow
8. Pengendalian PPN
9. Tanggung jawab renteng
Perusahaan sebaiknya memperoleh Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
dari Pengusaha Kena Pajak, supaya pajak masukannya dapat dikreditkan. Perusahaan
perlu mengamati dengan cermat jangan sampai terdapat pajak masukan yang belum
dikreditkan. PPN dikenakan atas :
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan
oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
2. Impor BKP.
3. Pemanfaatan BKP tidak terwujud atau JKP luar daerah di dalam daerah pabean.
4. Ekspor BKP oleh PKP.
Pajak keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungutoleh PKP yang
melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP , ekspor BKP berwujud, ekspor BKP
tidakberwujud, dan atau ekspor JKP. Pajak masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai
yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP Karena perolehan BKP dan atau perolehan
JKP dan atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean dan atas
pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean dan atau impor BKP.
Jika PK > PM, maka selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar. Jika PK
< PM, maka selisihnya merupakan kelebihan bayar PPN yang bisa dikompensasi
dengan Masa Pajak berikutnya atau dimintakan kembali (restitusi) Secara umum
mekanisme pengkreditan Pajak Masukan diatur dalam pasal 9 UU Nomor 42 Tahun
2009 ituadalah :
a. Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang
sama.
b. Apabila terdapat Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum
dijkreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat
dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan , sepanjang belum dibebankan
sebagai beban dan belum dilakukan pemeriksaan.
c. Jika dalam suatu Masa Pajak belum ada Pajak Keluaran ,maka Pajak
Masukan dapat dikreditkan.
2. Faktur Pajak
Untuk meringankan beban administrasi wajib pajak, saat yang tepat untuk
membuatan Faktur Pajak adalah saat terutangnya pajak, yaitu pada saat
penyerahan atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur
Pajak dibuat pada saat pembayaran.
Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat peyetoran PPN dan pelaporan
SPT Masa PPN diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
Faktur Pajak gabungan merupakan Faktur Pajak yang harus dibuat paling
lambat pada akhir bulan penyerahan BKP dan atau JKP.
c. Penundaan pembuatan Faktur Pajak
Sesuai PER Dirjen Pajak No. 14/PJ./2010, batas waktu penyetoran PPN dan pelaporan
SPT Masa PPN ditetapkan sebagai berikut:
PPN dan PPn BM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor
paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan
sebelum SPT Masa PPN disampaikan. Dalam hal tanggal jatuh tempo
penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari
libur nasional, penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
SPT Masa PPN harus disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya Masa Pajak. Dalam hal akhir bulan adalah hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka SPT Masa PPN dapat
disampaikan pada hari kerja berikutnya.
a) Senjata, amunisi, alat angkutan diair, alat angkutan dibawah air, alat angkutan
diudara, alat angkutan didarat, kendaraan lapis baja, kendaraan patrol, dan
kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku cadangnya yang diimpor oleh
Departemen Pertahanan, TNI, Polri atau oleh pihak lain yang ditunjuk oleh
Departemen Pertahanan, TNI atau Polri untuk melakukan impor tersebut, dan
komponen atau bahan yang belum dibuat didalam negeri yang diimpor oleh PT
(Persero) Pindad, yang digunakan dalam pembuatan senjata dan amunisi untuk
keperluan Departemen Perthanan, TNI atau Polri.
b) Vaksin Polo dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional
c) Buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama, kapal laut,
kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal
tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan
manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga
Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara
Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan
Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya.
d) Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang
diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan
suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara
yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga
Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan atau reparasi
pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional.
e) Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT (Persero) Kereta Api
Indonesia, dan omponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk
oleh PT (Persero) Kereta Api Indonesia, yang digunakan untuk pembuatan
kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan, serta
prasarana yang akan digunakan oleh PT (Persero) Kereta Api Inndonesia.
f) Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departemen Pertahanan
atau TNI untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara
Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung Pertahanan Nasional,
yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, TNI atau pihak yang ditunjuk oleh
Departemen Pertahanan atau TNI.
2. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang
meliputi
3. Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (Persero) Kereta
Api Indonesia.
6. Jasa yang diterima oleh Departmen Pertahanan atau TNI yang dimanfaatkan
dalam rangka penyediaan data batas dan photo wilayah Negara Republik
Indonesia untuk mendukung pertahanan nasional.
Dalam hal Barang Kena Pajak Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN
digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak
lain, baik sebagian atau seluruhnya, dalam jangka 5 (lima) tahun sejak saat impor
dan atau perolehan, maka PPN yang dibebaskan wajib dibayar dalam jangka waktu
1 (satu) bulan sejak Barang Kena Pajak tersebut dialihkan penggunaannya atau
dipindahkatangankan.
d. Impor dan atau penyerahan BKP Tertentu Yang Bersifat Strategis (PP.12
Tahun 2001 jo. PP 43 Tahun 2002 jo. PP 46 Tahun 2003)
1. Atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa :
1. Pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai oleh hibah atau dana pinjaman
dari luar negeri ( PP 42 Tahun 1995 jo. PP 63 Tahun 1998 jo. PP 43 Tahun
2000 jo. PP 25 Tahun 2001).
2. Peraturan Menkeu No. 22/PMK.011/2011 tentang pemberian PPN Ditanggung
Pemerintah atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan
gas bumi serta kegiatan usaha eksplorasi panas bumi untuk tahun anggaran
2011.
3. Perlakuan PPN Atas Penyerahan Atau Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (PP No. 2 Tahun 2009)
a) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak dari luar daerah Pabean di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari
pengenaan PPN.
b) Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak di dalam
c) Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan PPN.
d) Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak dari kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya dibebaskan dari
pengenaan PPN.
e) Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak
dipungut PPN.
f) Penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau Barang Kena Pajak tidak
berwujud dari tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas, tidak di
pungut PPN.
g) Penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau Barang Kena Pajak tidak
berwujud dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat,
dipungut PPN.
a. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang terdaftar di KPP Wajib Pajak besar dapat
melakukan sentralisasi otomatis sesuai dengan KEP- 335/ PJ./2002. Dalam hal
PKP tersebut mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha, tempat
terutang pajak untuk seluruh tempat kegiatan usaha tersebut ditetapkan hanya
di tempat PKP dikukuhkan oleh KPP Wajib Pajak Besar.
b. PKP yang memiliki lebih dari satu tempat PPN terutang (selain butir a) dapat
memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang,
Dalam hal PKP memilih 1 (satu) tempat atau lehih sebagai Tempat Pemusatan
PPN Terutang, PKP dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan kepada Kepala KPP
yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat PPN terutang yang akan
dipusatkan (PER-19/PJ/2010).
Sentralisasi Tempat terutangnya PPN tersebut pada dasar nya merupakan fasilitas yg
bisa di manfaatkan oleh PKP. Dengan izin sentralisasi, maka akan terdapat
penghematan biaya administrasi dan pengaturan cash flow perusahaan yg lebih baik
dalam melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN.
Sebagai subjek PPN, salah satu hak bagi PKP adalah mengkreditkan Pajak
Masukan sesuai dengan ketentuan. Dalam mekanisme indirect subtraction method,
PKP hanya membayarkan PPN ke kas Negara sebesar selisih antar Pajak Pengeluaran
(PK) di kurangi dengan Pajak Masukan (PM). Perhitungan tersebut dilakukan setiap
bulan. Dengan pertimbangan untuk membantu likuiditas perusahaan, untuk Wajib
Pajak tertentu yg memiliki risiko rendah dapat di berikan restitusi dengan
pengembalian pendahuluan tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu.
Membangun sendiri untuk tempat tinggal atau tempat usaha oleh rang pribadi atau
badan dikena PPN, dengan kondisi:
Kejadian ini sering terjadi dalam praktik, baik pada saat perusahaan baru
memulai kegiatan bisnisnya maupun pada saat perusahaan sudah berjalan dan sebagai
bagian dari implementasi marketing strategy perusahaan mereka melakukan kegiatan
promosinya untuk meningkatkan omset penjualan.
2.1.7 Penjagaan Terhadap Cash Flow Perusahaan
Tax Review merupakan pelayanan yang bertujuan untuk menelaah dan meneliti
tingkat kepatuhan wajib pajak secara umum dan memberikan rekomendasi untuk
meminimalkan pajak yang belum diketahui perusahaan. Tax Review meliputi seluruh
kewajiban perpajakan wajib pajak termasuk PPN dan PPnBM. Tax Review memiliki
tujuan sebagai berikut :
Untuk menjaga agar tetap menjadi wajib pajak patuh maka perusahaan
seharusnya mempunyai program yang disebut Tax Review.
Penyerahan barang dan jasa menurut SPT Masa PPN selama 12 bulan: Penyerahan
terutang PPN:
1. Dalam praktik sering terjadi, bahwa dalam penyusunan SPT Masa PPN selalu
didasarkan pada dokumen (faktur atau invoice) yang diterima oleh bagian
pajak, baik invoice pembelian dan penjualan, sedangkan bagian accounting atau
pembukuan dalam mencatat pembelian dan penjualan tidak semata-mata
berdasarkan invoice pembelian dan penjualan, tetapi selalu didasarkan pada
prinsip akuntansi sesuai PSAK yakni akrual basis (stelselakrual). Bila memang
sudah timbul hak dan kewajiban secara hukum atas penyerahan barang dan jasa
kepada debitur, maka meski pun faktur atau invoice penjualan belum terbit,
namun dari sisi PSAK dan UU Pajak, atas transaksi tersebut sudah harus
dibukukan sebagai penghasilan dalam masa yang bersangkutan.
Contoh: Timbulnya hak dan kewajiban secara hukum
Atas penyerahan barang dan jasa oleh PT ABx (penjual) kepada PT DEx
(pembeli) untuk transaksi penjualan barang senilaiRp 50 juta pada 20 Maret
2011:
a. Adanya Kontrak Jual Beli dan atau Purchase Order/SPK tertanggal. 20
Maret 2011.
b. Adanya tanda bukti barang/jasa sudah diserahkan dengan adanya Bukti
Penerimaan/Penyerhan Barang/Jasa (delivery order) tertanggal 27
Maret 2011, sesuai pesanan barang/jasa.
c. Barang/Jasa yang ditransaksikan bukan barang/jasa illegal.
Sehingga meskipun Invoice atau Faktur Penjualan barudibuat oleh PT Abx
tanggal 1 April 2011, bagian accounting atau pembukuan sudah diperbolehkan
untukmembukukan pengakuan penghasilan dalambulan Maret 2011, sebesar
Rp 50 juta.Faktur Pajak seyogyanya sudah harus diterbitkan selambat-
lambatnya akhir bulan Maret 2011.
2. Uang muka.
Dalam penyusunan SPT Masa PPN, bagian pajak akan selalu memperhitungkan
PPN atas pembayaran yang diterima di muka dalam tahun yang berjalan sebagai
pajak keluaran, sedangkan bagian accounting mungkin baru melakukannya
pada saat pembukuan adjustment di akhir bulan/tahun buku.
Contoh: Atas penyerahan barang dan jasa oleh PT ABx (penjual) kepada PT
DEx (pembeli) untuk transaksi penjualan barang senilaiRp 50 juta pada 22
Maret 2011:
a. Adanya kontrak jual beli dan atau purchase order/SPK tertanggal 22
Maret 2011.
b. Adanya tanda bukti barang/jasa sudah diserahkan dengan adanya bukti
penerimaan/penyerahan barang/jasa (delivery order) tertanggal 3 April
2011, sesuai pesanan barang/jasa.
c. Pembayaran DP diterima dimuka tgl. 25 Maret 2011 sebesar Rp 10 juta.
d. Barang/jasa yang ditransaksikan bukan barang atau jasa illegal.
Sehingga meskipun Invoice/Faktur Penjualan baru dibuat oleh PT Abx
tanggal 3 April 2011, namun bagian pajak harus menerbitkan Faktur
Pajak (keluaran) tertanggal 25 Maret 2011 sebesarRp 5 juta berdasarkan
kwitansi DP yang diterima sebesar Rp 50 juta, dan selanjutnya
memasukkan Faktur Pajak keluaran tersebut dalam SPT Masa Maret
2011.
3. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya kesalahan dalam pembukuan
yang menyebabkan terjadinya kekurangan atau kelebihan dalam perhitungan
pembelian atau penjualan.
4. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya retur penjualan atau retur
pembelian yang belum dicatat, baik di SPT masa PPN atau dalam ledger
perusahaan.
5. Potongan penjualan. Potongan penjualan yang diberikan setelah faktur pajak
diterbitkan, dalam pembukuan dicata tmengurangi jumlah penjualan dan
peredaran usaha di buku besar penjualan atau SPT Tahunan PPh Badan, tetapi
tidak dapa tmengurangi DPP PPN.
6. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya faktur pajak (masukan) yang
cacat, tidak benar atau tidak lengkap pengisiannya, sehingg atidak dapat
dikreditkan.
7. Penjualan dalam valuta asing. Pebedaan tersebut bisa terjadi karena adanya
faktur penjualan (invoice) yang dalam mata uang asing selalu menggunakan
kurs konversi berdasarkan nilai tukar (kurs) realisasi, sedangkan faktur
pajakselalu dibuat berdasarkan kurs menteri keuangan.
8. Perbedaan tersebut bisa terja dikarena adanya barang konsinyasi yang belum
dibuatkan faktur pajak. Pengiriman barang konsinyasi untuk dijual belum dapat
dibukukan sebagai penghasilan, tetapi sudah terutang PPN dan karena itu harus
diterbitkan faktur pajak.
9. Pemakaian sendiri BKP/JKP. Pemberian secara cuma-Cuma atau
disumbangkan bukan untuk tujuan produktif terutang PPN dihitung
berdasarkan harga pokok, dan harus diterbitkan faktur pajak. Sedangkan dari
sisi fiskal, pengeluaran tersebut tidak bisa dibiayakan dalam SPT Tahunan PPh
Badan.
10. Cabang yang belum masuk sentralisasi PPN. Perbedaan tersebut bisaterjadi
karena adanya kantor cabang yang belum terdaftar dalam sentralisasi PPN yang
telah mendapat persetujuan dari Dirjen Pajak, sehingga terjadi perbedaan
jumlah penyerahan atau peredaran usaha antara SPT Tahunan PPh Badan
dengan SPT Masa PPN.
11. Tidak menutupi kemungkinan ada potensi penyelewengan (fraud) dalam tubuh
internal perusahaan yang dilakukan oleh oknum tertentu sehingga sejumlah
transaksi penjualan tidak dilaporkan secara seutuhnya dalam SPT Masa PPN
yang berdampak pada kurang bayar PPn keKas Negara.
12. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya rekayasa yang dilakukan oleh
pihak perusahaan untuk mengecilkan setoran PPN yang harus dibayar kekas
Negara dengan cara memperkecil omzet penjualan yang dilaporkan di SPT
masa PPN.
13. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena ada rekayasa yang dilakukan oleh
pimpinan perusahaan untuk mendapatkan Restitusi PPN dengan cara
melakukan penggelembungan terhadap PPN masukan dari pembelian fiktif
yang dilaporkan SPT masa PPN.
Tanggung Jawab Renteng Pada awalnya ketentuan tanggung jawab renteng ini diatur
dalam Pasal 33 UU KUP No. 16 tahun 2000, kemudian ketentuan ini dihapus dalam
UU KUP No. 28 tahun 2007, kemudian dihidupkan lagi melalui penambahan Pasal 16F
kedalam UU PPN No. 42 tahun 2009, yakni:
“Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung
jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat
menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayarkan”.
Contoh:
Pada tahun 2006 pemeriksa pajak dari KPP A melakukan pemeriksaan SPT
Masa PPN untuk masa pajak Januari sampai Desember 2004 dari KPP D, ditemukan
fakta bahwa KPP D dalam suatu masa pajak melakukan penyerahan BKP dengan harga
jual Rp300juta, ternyata tidak membuat faktur pajak. Berdasarkan hasil pemeriksaan
ini, KPP A menerbitkan SKPKB terhadap PKP D disertai sanksi bunga sebesar 2% per
bulan , dan denda 2% dari dasar pengenaan Pajak karena PKP D menyerahkan BPK
tidak membuat faktur pajak. Pada tahun 2007, pemeriksa pajak dari KPP B tempat PKP
E dikukuhkan sebagai PKP melakukan pemeriksaan SPT Masa PPN masa pajak
Januari sampai Desember 2004, ditemukan fakta dari pembukuannya bahwa ketika
dalam suatu masa pajak PKP E membeli BKP dari PKP D tapi tidak membayar PPN.
Hal ini diyakini oleh pemeriksa karena PKP E tidak dapat menunjukkan Faktur Pajak
sebagai bukti bahwa ia telah membayar PPN kepada PKP D. Berdasarkan hasil
pemeriksaan ini, KPP B menerbitkan SKPKB berdasarkan ketentuan tanggung jawab
renteng yang pada waktu itu diatur dalam Pasal 33 UU KUP. Dalam SKPKB ini ditagih
pokok pajak sebesar Rp30 juta (yakni 10% x Rp300juta), ditambah sanksi bunga
sebesar 2% perbulan.
Dari contoh di atas dapat kita pahami bahwa ketentuan tanggung jawab renteng
ini berlaku bagi pihak pembeli maupun penjual. Dalam memori penjelasannya di UU
KUP tersebut dijelaskan bahwa “sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ada pada
pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya
apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng
atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang
tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau
penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak
kepada penjual atau pemberi jasa.”
a. Jangan pernah ada satu pun faktur penjualan (commercial invoice) yang
diterbitkan perusahaan tanpa dsertai faktur pajak.
b. Setiap transaksi penjualan harus ada kontrak atau sales agreement-nya dan atau
purchase order (PO), sehingga dispute tentang syarat penjualan (harga, Pajak,
termin pembayaran, dan lain-lain) disa dihindari dikemudian hari.
3.1 Contoh Kasus Tax Planning
6. Eksportir memilih PKP atau Non PKP apabila atas ekspornya terutang
PPN 10%.
a. Jika eksportir memilih Non PKP , maka atas ekspornya tidak akan terutang
PPN.
b. Jika memilih PKP , maka atas ekspornya PPN bisa dikreditkan , dengan
syarat material sebagai berikut :
Paling lambat faktur pajak dibuat pada tanggal 1 Desember 2018 , saat terbit
invoice. Namun jika pembayaran dilakukan sebelum terbit invoice, maka faktur
pajak harus segera dibuat.
Integrasi Faktur Pajak dan Invoice merupakan salah satu dari tax
management