Anda di halaman 1dari 35

ANALISIS TAX PLANNING PPN

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Perencanaan Pajak

Disusun Oleh:
Siska Liana
120620170514

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Pajak merupakan sumber penerimaan utama untuk kegiatan pembiayaan


negara. Bagi negara semakin besar jumlah pajak yang diterima akan semakin baik
keuangan negara. Namun bagi wajib pajak, pembayaran pajak merupakan beban. Oleh
karena itu Wajib Pajak akan membuat rencana pengenaan pajak atas setiap tindakan
secara seksama. Tax planning sama sekali tidak bertujuan untuk melakukan manipulasi
perpajakan, tetapi berusaha untuk memanfaatkan peluang berkaitan peraturan
perpajakan yang menguntungkan Wajib Pajak dan tidak merugikan pemerintah dan
dengan cara yang legal.Tax planning merupakan upaya legal yang bisa dilakukan
Wajib Pajak. Tindakan itu legal karena penghematan pajak tersebut dilakukan dengan
cara yang tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Tax planning merupakan sarana
yang memungkinkan untuk merencanakan pajakpajak yang dibayarkan, agar tidak
terjadi kelebihan dalam membayar pajak.

Perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu


transaksi atau fenomena terkena pajak. Kalau fenomena tersebut terkena pajak, apakah
dapat digunakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya
apakah pembayaran pajak dimaksud dapat ditunda pembayarannya dan lain
sebagainya. Wajib Pajak akan membuat rencana pengenaan pajak atas setiap tindakan
untuk meminimalisir jumlah pajak yang akan dikenakan. Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa tax planning adalah proses pengambilan tax factor yang relevan dan
non taxfactor yang material untuk menentukan apakah, kapan, bagaimana, dan dengan
siapa(pihak mana) untuk melakukan transaksi, operasi dan hubungan dagang yang
memungkinkan tercapainya beban pajak pada tax event yang serendah mungkin dan
sejalan dengan tujuan perusahaan.
PPN adalah pajak tidak langsung yang dikenakan atas konsumsi barang/jasa
kena pajak d dalam daerah pabean. Sesuai legal karakter dari PPN ini yang bersifat non
kumulatif, maka dalam perlakuan pajak-PPN tidak membolehkan terjadinya pajak
berganda karena konsumen terakhirlah yang harus menangung PPN ini. PPN juga
memiliki karakteristik sebagai pajak objektif yang mengandung pengertian bahwa
timbulnya kewajiban pajak dibidang PPN sangat ditentukan oleh adanya objek pajak.
Secara umum, mekanisme pemungutan PPN menggunakan mekanisme Indirect
Subtraction Method/Invoice Method (PM-PK), dan metode inilah yang terbaik dari
metode lainnya dengan alasan :

1. Adanya kewajiban membuat faktur pajak setiap transaksi, mengingat faktur pajak
merupakan bukti terpenting.
2. Memudahkan melakukan pemeriksaan, baik oleh pemeriksaan internal maupun
fiskus.
3. Tidak perlu menentukan besarnya keuntungan untuk setiap barang yang dijual.
4. Kewajiban perpajakannya dapat dihitung setiap saat.
Di pihak lain perusahaan merupakan subjek pajak negara, karena kegiatan
usahanya menjadi objek pajak, yaitu Pajak Pertambahan Nilai. Perusahaan membayar
pajak yang disebut Pajak Masukan (PPN Masukan), pada saat perusahaan melakukan
pembelian bahan-bahan baku atau barang jadi. Sedangkan perusahaan memungut Pajak
Keluaran (PPN Keluaran) pada saat melaksanakan penjualan atau penyerahan Barang
Kena Pajak, selisih antara PPN Masukan dan PPN Keluaran disebut PPN Terhutang,
terjadinya peningkatan jumlah PPN perusahaan, juga mengakibatkan PPN Terhutang
meningkat sehingga perusahaan harus membayar lebih besar PPN terhutangnya. Untuk
itu, suatu perusahaan membutuhkan adanya tax planning (perencanaan pajak) untuk
meminimalkan jumlah pembayaran pajaknya.

Usaha pengurangan (penghematan) beban pajak dapat dilakukan antara lain


dengan cara penggelapan pajak (tax evasion) dan penghindaran pajak (tax avoidance).
Tax evasion adalah usaha penghindaran pajak yang dilakukan melanggar ketentuan
perpajakan, seperti memberikan data keuangan palsu dan menyembunyikan data. Cara
ini sering disebut penggelapan pajak atau penyelundupan pajak. Dalam manajemen
pajak, cara penyelundupan pajak tidak sejalan dengan prinsip manajemen. Sedangkan
tax avoidance adalah upaya penghindaran pajak dengan mematuhi ketentuan
perpajakan dan menggunakan strategi dibidang perpajakan yang digunakan, seperti
memanfaatkan pengecualiaan dan potongan yang diperkenankan maupun
memanfaatkan hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perpajakanyang berlaku
Oleh karena itu,diperlukan manajemen pajak yang bertujuan menekan pajak serendah
mungkin dan menunda selambat mungkin pembayaran pajak untuk memperoleh laba
likuiditas yang diharapkan.
BAB II

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

2.1 Perencanaan PPN

Pembahasan tentang perencanaan PPN ini difokuskan pada beberapa upaya berikut
ini:
1. Memaksimalkan mekanisme pengkreditan PPN
2. Memaksimalkan Fasilitas di Bidang PPN
3. Sentralisasi pengenaan PPN
4. Memaksimalkan restitusi PPN
5. Membangun sendiri dalam kegiatan usaha
6. PPN atas barang gratis untuk keperluan promosi
7. Penjagaan cash flow
8. Pengendalian PPN
9. Tanggung jawab renteng

2.1.1 Memaksimalkan Mekanisme Pengkreditan PPN

Perusahaan sebaiknya memperoleh Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
dari Pengusaha Kena Pajak, supaya pajak masukannya dapat dikreditkan. Perusahaan
perlu mengamati dengan cermat jangan sampai terdapat pajak masukan yang belum
dikreditkan. PPN dikenakan atas :

1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan
oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).

2. Impor BKP.

3. Pemanfaatan BKP tidak terwujud atau JKP luar daerah di dalam daerah pabean.
4. Ekspor BKP oleh PKP.

1. Mekanisme Pengkreditan dan Pelaporan PPN

Pengenaan PPN berdasar Sistem Faktur sehingga setiap penyerahan BKP/JKP


yang dilakukan oleh PKP harus dibuatkan faktur pajak. Mekanisme penggeseran PPN
dilakukan melalui pemungutan kembali PPN dari pembeli berikutnya. Jika jumlah PPN
yang dipungutnya lebih besar dari PPN yang telah dibayar padasaat perolehannya,
maka kelebihannya harus disetor kekas Negara. Mekanisme ini sering disebut Indirect
Substraction Method (PK-PM)

Pajak keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungutoleh PKP yang
melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP , ekspor BKP berwujud, ekspor BKP
tidakberwujud, dan atau ekspor JKP. Pajak masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai
yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP Karena perolehan BKP dan atau perolehan
JKP dan atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean dan atas
pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean dan atau impor BKP.

Jika PK > PM, maka selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar. Jika PK
< PM, maka selisihnya merupakan kelebihan bayar PPN yang bisa dikompensasi
dengan Masa Pajak berikutnya atau dimintakan kembali (restitusi) Secara umum
mekanisme pengkreditan Pajak Masukan diatur dalam pasal 9 UU Nomor 42 Tahun
2009 ituadalah :

a. Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang
sama.
b. Apabila terdapat Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum
dijkreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat
dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan , sepanjang belum dibebankan
sebagai beban dan belum dilakukan pemeriksaan.
c. Jika dalam suatu Masa Pajak belum ada Pajak Keluaran ,maka Pajak
Masukan dapat dikreditkan.

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan apabila :

a. Memenuhi ketentuan formal, yaitu :

1. Secara formal harus berbentuk Faktur Pajak atau dokumen yang


diperlakukan sebagai Faktur Pajak, diisi selengkapnya dan tidak cacat

2. Harus memperhatiakan ketentuan pasal 9 ayat (8) UU PPN , yang


menentukan bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan bagi
pengeluaran untuk :

a) Perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan


sebagai PKP.
b) Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha.
c) Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep,
station wagon , van , dan kombi, kecuali merupakan barang
dagangan atau disewakan.
d) Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari
luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
PKP.
e) Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutannya berupa
Faktur Pajak sederhana.
f) Perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13
ayat (5).
g) Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP
dariluar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (6).
h) Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih
dengan penerbitan ketetapan pajak.
i) Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN, yang
diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan

b. Memenuhi ketentuan material

Pajak Masukan yang dibayarkan atas perolehan BKP/JKP yang


berhungan langusng dengan kegiatan usaha , yang meliputi kegiatan produksi,
manajemen, distribusi, dan pemasaran. Selain itu, Pajak Masukan juga mesti
didukung bukt ipengeluaran berupa invoice dan kuitansi pembayaran yang
menyatakan bahwa transaksi sudah dipungut PPN. Berkaitan dengan ketentuan
perpajakan dibidang PPN tersebut diatas, maka perlu diperhatikan hal-hal
berikut ini:

 Cek secara teliti Faktur Pajak Masukan yang diterima sebelum


melakukan pembayaran. Perlu diperhatikan persyaratan formal Faktur
Pajak yang dapat dikreditkan agar tidak menimbulkan kerugian bagi
perusahaan.
 Cek secara teliti apakah semua Pajak Masukan yang disaksikan telah
memilki bukti pendukung yang cukup kuat sebagai pajak masukan
yang dapat dikreditkan sesuai dengan peraturan perpajakan. 
 Berkaitan dengan batas waktu 3 bulan asa pengkreditan, usaha-usaha
Faktur Pajak sudah diterima seblum lewat 3 bulan setelah berakhirnya
masa pajak, kecuali untuk pemungutan PPN
 Makin cepat menrima Faktur Pajak dari pembelian barang. Maka akan
lebih baik lagi bagi perusahaan karena perusahaan sudah dapat
mengkreditkannya walaupun belum melakukan pembayaran.
 Cek secata teliti semua pelaporan kekantor pajak, terutama untuk
permohonan restitusi Karena lebih bayar pajak masukan. Bila ada
faktur pajak yang tidak disetujui, segera lakukan tindakan perbaikan
sebelum dilakukannya closing conference hasil pemeriksaan
permohonan restitusi PPN tesebut, misalnya dengan meminta
pengganti faktur pajak yang cacat dari pembeli barang.

2. Faktur Pajak

a. Dari defenisi , beberapa poin penting yang dapat dicacat adalah :

 Faktur pajak hanya boleh di buat oleh Pengusaha Kena Pajak.


 Faktur pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP
atau karena impor BKP yang digunakan oleh DJBC.
 PPN yang dipungut berfungsi sebagai pajak keluaran bagi penjual dan
pajak masukan bagi pembeli.

b. Saat Pembuatan Faktur Pajak

 Untuk meringankan beban administrasi wajib pajak, saat yang tepat untuk
membuatan Faktur Pajak adalah saat terutangnya pajak, yaitu pada saat
penyerahan atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur
Pajak dibuat pada saat pembayaran.
 Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat peyetoran PPN dan pelaporan
SPT Masa PPN diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
 Faktur Pajak gabungan merupakan Faktur Pajak yang harus dibuat paling
lambat pada akhir bulan penyerahan BKP dan atau JKP.
c. Penundaan pembuatan Faktur Pajak

 Dalam hal penjualan BKP/JKP yang pembayarannya belum diketahui,


pembuatan faktur pajak bisa ditunda sampai akhir bulan berikutnya
setelah penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak.
 Berkaitan dengan hal ini, sebaiknya PKP penjual dalam menentukan
syarat pembayaran yang ideal, yaitu tidak lebih 45 hari setelah
penyerahan BKPatau JKP . 4.

3. Saat Terutangnya PPN

Sesuai Peraturan Menkeu No. 240/PMK.30/2009, saat terutangnya PPN


ditetapkan sebagai berikut :

 Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas barang


Mewah menganut prinsip akrual .
 Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau JKP ,
atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan
BKP Tak Berwujud atau JKP dari luar daerah Pabean.

4. Batas Waktu Penyetoran PPN dan Pelaporan SPT Masa PPN

Sesuai PER Dirjen Pajak No. 14/PJ./2010, batas waktu penyetoran PPN dan pelaporan
SPT Masa PPN ditetapkan sebagai berikut:

 PPN dan PPn BM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor
paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan
sebelum SPT Masa PPN disampaikan. Dalam hal tanggal jatuh tempo
penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari
libur nasional, penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
 SPT Masa PPN harus disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya Masa Pajak. Dalam hal akhir bulan adalah hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka SPT Masa PPN dapat
disampaikan pada hari kerja berikutnya.

2.1.2 Memaksimalkan Fasilitas di Bidang PPN

Sejak diberlakukannya UU Nomor 36 Tahun 2008, fasilitas dibidang PPN yang


dikenal dalam ketentuan PPN adalah PPN yang Tidak Dipungut, PPN Dibebaskan, dan
PPN ditanggung pemerintah. Bagi PKP yang mendapatkan fasilitas PPN Tidak
Dipungut, PPN masukan yang berhubungan dengan perolehan BKP/JKP tidak dapat
dikreditkan. Fasilitas yang berkaitan dengan PPN adalah:

1. Fasilitas PPN tidak dipungut


2. Fasilitas PPN dibebaskan
3. Fasilitas PPN ditanggung pemerintah
Dalam perencanaan pajak, memaksimalkan pemanfaatan fasilitas terssebut
akan memberi dampak pada berkurangnya jumlah yang harus dibayar oleh pembeli
terhadap barang yang dibeli dari penjual minimal 10% dari harga jual, dan sebaliknya
pemanfaaatan tersebt akan mendorong penjual untuk menurunkan harga jualnya secara
proporsional sehingga terjadi suatu keseimbangan pasar yang baru dari produk yang
bersangkutan akibat dari efisiensi harga yang diperoleh. Memaksimalkan fasilitas
tersebut akan mendorng pembentukan harga barang dipasar lebih murah sehingga bias
dijangkau oleh masyarakat, omzet penjualan akan meningkat yang bermuara pada
perolehan profit dan setoran pajak yang akan lebih besar.

1. Fasilitas PPN tidak dipungut berlaku untuk :

a. Atas impor barang, pemasukan BKP, pemgiriman hasil produksi, pengeluaran


barang, penyerahan kembali BKP, peminjaman mesin, pemasukan Barang
Kena Cukai (BKC) ke dan atau dari kawasan berikat atau EPTE (PP 33 Tahun
1996 jo. PP 43 Tahun 1997 jo. PP 32 Tahun 2009 KMK 291/KMK.01/1997 jo.
KMK 101/KMK.04/2005.
b. Peraturan Menkeu No. 121/PMK.03/2009 tentang Pemanfaatan BKP tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP
oleh kontraktor utama dan subkontraktor sehubungan dengan pelaksanaan
proyek pemerintah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan kehidupan
masyarakat provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi
Sumatera Utara pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami yang dibiayai
dengan hibah luar negeri yang pelaksanaannya belum selesai sampai dengan
tanggal 31 Maret 2009.

2. Fasilitas PPN Dibebaskan (PP146 jo PP 38 Thn 2003)

a. Barang Kena Pajak Tertentu yang atas Penyerahannya dibebaskan dari


pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

1) Impor dan atau Penyerahan BKP tertentu

a) Senjata, amunisi, alat angkutan diair, alat angkutan dibawah air, alat angkutan
diudara, alat angkutan didarat, kendaraan lapis baja, kendaraan patrol, dan
kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku cadangnya yang diimpor oleh
Departemen Pertahanan, TNI, Polri atau oleh pihak lain yang ditunjuk oleh
Departemen Pertahanan, TNI atau Polri untuk melakukan impor tersebut, dan
komponen atau bahan yang belum dibuat didalam negeri yang diimpor oleh PT
(Persero) Pindad, yang digunakan dalam pembuatan senjata dan amunisi untuk
keperluan Departemen Perthanan, TNI atau Polri.
b) Vaksin Polo dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional
c) Buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama, kapal laut,
kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal
tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan
manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga
Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara
Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan
Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya.
d) Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang
diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan
suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara
yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga
Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan atau reparasi
pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional.
e) Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT (Persero) Kereta Api
Indonesia, dan omponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk
oleh PT (Persero) Kereta Api Indonesia, yang digunakan untuk pembuatan
kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan, serta
prasarana yang akan digunakan oleh PT (Persero) Kereta Api Inndonesia.
f) Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departemen Pertahanan
atau TNI untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara
Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung Pertahanan Nasional,
yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, TNI atau pihak yang ditunjuk oleh
Departemen Pertahanan atau TNI.

b. Barang Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari


pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah :

a) Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok


boro, asrama mahasiswa dan pelajar, serta perumahan lainnya, yang batasannya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mempertimbangkan Menteri
Pemukiman dan Prasarana Wilayah.
b) Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan
di udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan patroli, dan
kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku cadangnya diserahkan kepada
Departemen Pertahanan, TNI atau Polri, dan komponen atau bahan yang
diperlukan dalam pembuatan senjata dan amunisi oleh PT (Persero) Pindad
untuk keperluan Departemen Pertahanan, TNI, atau Polri.
c) Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional
(PIN).
d) Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama.
e) Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan
penye
f) Brangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkan ikan, kapal tongkang, dan
kapal suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia
diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional,
Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa
Angkutan Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa
Angkutan Sungai, Danau, dan Penyebrangan Nasional, sesuai dengan kegiatan
usahanya.
g) Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang
diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan Angkatan Udara Niaga
Nasional dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
pesawat udara yang diperoleh oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan
Angkatan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa
perawatan atau reparasi Pesawat Udara Kepada Perusahaan Angkatan Udara
Niaga Nasional.
h) Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikian atau pemeliharaan
serta prasarana yang diserhakankepada dan digunakan oleh PT (Persero) Kereta
Api Indonesia dan komponen atau bahan yang diserahkan kepada pihak yang
ditunjuk oleh PT (Persero) Kereta Api Indonesia, yang digunakan untuk
pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh PT (Persero) Kereta
Api Indonesia.
i) Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan untuk penyediaan data batas
dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung
pertahanan Nasional yang diserahkan kepada Departemen Pertahanan atau TNI.

c. Jasa Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari


pengenaan Pajak Pertambahan Nilai :

1. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkatan Laut Nasional, Perusahaan


Penangkapan Ikan Naional, Perusahaan Penyelenggra Jasa Kepelabuhan
Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan
Penyebrangan Nasional, yang meliputi:

a) Jasa Persewaan Kapal


b) Jasa Kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa
labuh.
c) Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal.

2. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang
meliputi

a) Jasa persewaan pesawat udara


b) Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara.

3. Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (Persero) Kereta
Api Indonesia.

4. Jasa yang diserahkan oleh kontraktor untuk pemborongan bangunan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 1 dan pembangunan tempat yang
semata-mata untuk keperluan ibadah.
5. Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah sangat
sederhana.

6. Jasa yang diterima oleh Departmen Pertahanan atau TNI yang dimanfaatkan
dalam rangka penyediaan data batas dan photo wilayah Negara Republik
Indonesia untuk mendukung pertahanan nasional.

Dalam hal Barang Kena Pajak Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN
digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak
lain, baik sebagian atau seluruhnya, dalam jangka 5 (lima) tahun sejak saat impor
dan atau perolehan, maka PPN yang dibebaskan wajib dibayar dalam jangka waktu
1 (satu) bulan sejak Barang Kena Pajak tersebut dialihkan penggunaannya atau
dipindahkatangankan.

d. Impor dan atau penyerahan BKP Tertentu Yang Bersifat Strategis (PP.12
Tahun 2001 jo. PP 43 Tahun 2002 jo. PP 46 Tahun 2003)

1. Atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa :

a) Barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan


Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang
Kena Pajak tersebut; barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik
dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang.
b) Makanan ternak unggas dan ikan dan atau bahan baku untuk pembuatan
makanan ternak, unggas, dan ikan.
c) Hasil pertanian
d) Bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan,
peternakan, penangkapan, atau perikanan.
e) Air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air minum.
f) Listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 watt.
g) Ternak, unggas, dan ikan dan atau bahan baku untuk pembuatan makanan
ternak, unggas, dan ikan
h) Bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan,
peternakan, penangkaran, atau perikanan.

e. Penyerahan Barang di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan


PPN. Pengusaha di Kawasan Bebas tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak (PP No. 2 Tahun 2009)

a) Pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas.


b) Pemasukan Barang dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas
melalui pelabuhan melalui Bandar udara yang ditunjuk.
c) Barang dari Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas Pemasukan
barang dari Kawasan Bebas lainnya ke Kawasan Bebas.
d) Pemasukan Barang dari Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas dan
pengeluaran Barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat.

f. Fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah

1. Pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai oleh hibah atau dana pinjaman
dari luar negeri ( PP 42 Tahun 1995 jo. PP 63 Tahun 1998 jo. PP 43 Tahun
2000 jo. PP 25 Tahun 2001).
2. Peraturan Menkeu No. 22/PMK.011/2011 tentang pemberian PPN Ditanggung
Pemerintah atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan
gas bumi serta kegiatan usaha eksplorasi panas bumi untuk tahun anggaran
2011.
3. Perlakuan PPN Atas Penyerahan Atau Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (PP No. 2 Tahun 2009)
a) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak dari luar daerah Pabean di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari
pengenaan PPN.
b) Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak di dalam
c) Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan PPN.
d) Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak dari kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya dibebaskan dari
pengenaan PPN.
e) Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak
dipungut PPN.
f) Penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau Barang Kena Pajak tidak
berwujud dari tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas, tidak di
pungut PPN.
g) Penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau Barang Kena Pajak tidak
berwujud dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat,
dipungut PPN.

Untuk mendapatkan fasilitas di bidang PPN, pihak-pihak yang terkait perlu


memperhatikan beberapa hal berikut ini:

1. Perlakuan perpajakan yang terkait dengan fasilitas tersebut, mengenai


interpretasi atas ketentuan perpajakan yang berkaitan denga fasilitas di bidang
PPN.
2. Persyaratan substantif dan administratif dari instansi pemerintahan terkait (Bea
Cukai, KPP, dan lain-lain) yang harus dipenuhi agar bisa mendapatkan fasilitas
di bidang PPN.
3. Pemenuhan persyaratan administratif yang harus dilakukan berkaitan dengan
permohonan SKB, pembuatan Faktur Pajak dan sebagainya.

2.1.3 Sentralisasi Tempat PPN Terutang

Dalam Pasal 1A ayat f UU PPN disebutkan bahwa penyerahan Barang Kena


Pajak dari pusat cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar
cabang, termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Pengecualian dari
ketentuan tersebut dengan tujuan untuk mempermudah administrasi perpajakan , wajib
pajak dengan kriteria tertentu yang memiliki lebih dari satu tempat untuk melakukan
penyerahan BKP/JKP dapat mengajukan permohonan Pemusatan/Sentralisasi Tempat
PPN Terutang kepada Kanwil DJP setempat dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang terdaftar di KPP Wajib Pajak besar dapat
melakukan sentralisasi otomatis sesuai dengan KEP- 335/ PJ./2002. Dalam hal
PKP tersebut mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha, tempat
terutang pajak untuk seluruh tempat kegiatan usaha tersebut ditetapkan hanya
di tempat PKP dikukuhkan oleh KPP Wajib Pajak Besar.
b. PKP yang memiliki lebih dari satu tempat PPN terutang (selain butir a) dapat
memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang,
Dalam hal PKP memilih 1 (satu) tempat atau lehih sebagai Tempat Pemusatan
PPN Terutang, PKP dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan kepada Kepala KPP
yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat PPN terutang yang akan
dipusatkan (PER-19/PJ/2010).

Syarat-syarat pengajuan sentralisasi bagi Pengusaha Kena Pajak yang memiliki


lebih dari satu tempat Pajak Pertambahan Nilai (PER-19/PJ./2010):

1. Pengusaha Kena Pajak dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan secara


tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan kepada Kepala KPP
yang wilayah.
2. Tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha Pengusaha
Kena Pajak yang berada di Kawasan berikut; Berada di Kawasan Ekonomi
Khusus; mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, tidak dapat
di pilih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang atau Tempat PPN Terutang
yg akan di pusatkan.
3. Pemberitahuan secara tertuis harus memenuhi persyaratan:
a) Memuat nama, alamat,dan NPWP tempat PPN Terutang yg dipilih
ebagai tempat pemusatan PPN terutang.
b) Memuat nama,alamat, dan NPWP tempat PPN Terutang yg di
pusatkan.
c) Surat pernyataan bahwa administrasi penjualan di selenggarakan secara
terpusat pada tempat PPN terutang yg di pilih sebagai tempat
pemusatan PPN terutang.

Sentralisasi Tempat terutangnya PPN tersebut pada dasar nya merupakan fasilitas yg
bisa di manfaatkan oleh PKP. Dengan izin sentralisasi, maka akan terdapat
penghematan biaya administrasi dan pengaturan cash flow perusahaan yg lebih baik
dalam melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN.

2.1.4 Memaksimalkan Restitusi PPN

Sebagai subjek PPN, salah satu hak bagi PKP adalah mengkreditkan Pajak
Masukan sesuai dengan ketentuan. Dalam mekanisme indirect subtraction method,
PKP hanya membayarkan PPN ke kas Negara sebesar selisih antar Pajak Pengeluaran
(PK) di kurangi dengan Pajak Masukan (PM). Perhitungan tersebut dilakukan setiap
bulan. Dengan pertimbangan untuk membantu likuiditas perusahaan, untuk Wajib
Pajak tertentu yg memiliki risiko rendah dapat di berikan restitusi dengan
pengembalian pendahuluan tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu.

Pemilihan restitusi atau kompensasi sangat bergantung pada kondisi masing


masing WP atau Pengusaha Kena Pajak. Pertimbangan utama dalam menentukan
pilihan tersebut berkaitan dengan pemeriksaan dan opportunity cost yang timbul dari
kelebihan pajak yg ada di Negara (time value of money). Kriterianya adalah, jika
opportunity cost lebih besar dibandikan dengan biaya pemerikasaanya, maka Wajib
Pajak akan cenderung meminta restitusi. Pengusaha yang belum berproduksi tetap
dapat mengkredikan PPN yang telah dibayar atas pembelian barang modal. Namun
demikian, Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian
wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalan hal Pengusaha Kena Pajak
tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) tahun sejak Massa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.

Kriteria umum bagi manajemen dalam memutuskan perlu tidaknya mengajukan


permohonan restitusi PPN:

1. Bila besarnya PPN yang lebih bayar tersebut cukup signifikan/material


Jumlahnya.
2. Bila kondisi keuangan perusahaan mengalami gangguan cash flow.
3. Bila sudah diyakini kesiapan perusahaan untuk diperiksa oleh fiskus.
4. Bila prediksi masa depan pembayaran PPN menunjukan lebih bayar PPN.

2.1.5 Membangun Sendiri Tidak Dalam Kegiatan Usaha

Membangun sendiri untuk tempat tinggal atau tempat usaha oleh rang pribadi atau
badan dikena PPN, dengan kondisi:

1. Luas bangunan 200 M persegi atau lebih


2. Bangunan permanen.
3. Tarif 10% x 40% biaa banguna(tanpa harga tanah)
4. Disetor tiap bulan, pada tanggal 15 bulan berikutnya sejak pembangunan
dimulai.

2.1.6 PPN Atas Barang Gratis Untuk Kepentingan Promosi

Kejadian ini sering terjadi dalam praktik, baik pada saat perusahaan baru
memulai kegiatan bisnisnya maupun pada saat perusahaan sudah berjalan dan sebagai
bagian dari implementasi marketing strategy perusahaan mereka melakukan kegiatan
promosinya untuk meningkatkan omset penjualan.
2.1.7 Penjagaan Terhadap Cash Flow Perusahaan

Salah satu tujuan dilakukannya perencanaan ajak oleh manajemen perusahaan


adalah untuk menjaga kesehatan cash flow. Berikut cara-cara yang aman dalam
perencanaan pajak yang perlu diagendakan oleh manajemen perusahaan untuk
diaplikasikan dalam kerangka peningkatan efisiensi pajak dan keuangan perusahaan:

1. Menyegerakan Pengajuan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak pada


perusahaan yang baru berdiri.
2. Memilih mendirikan perusahaan dilokasi yang mendapatkan fasilitas
perpajakan PPN.
3. Mengusahakan membeli bahan baku pada saat akan menjalankan proses
produksi d. Mengajukan permohonan sentralisasi PPN bagi perusahaan yang
mempunyai kantor cabang.
4. Penanganan faktur pajak dengan baik.

2.1.8 Pengendalian Pajak Melalui Tax Review

Tax Review merupakan pelayanan yang bertujuan untuk menelaah dan meneliti
tingkat kepatuhan wajib pajak secara umum dan memberikan rekomendasi untuk
meminimalkan pajak yang belum diketahui perusahaan. Tax Review meliputi seluruh
kewajiban perpajakan wajib pajak termasuk PPN dan PPnBM. Tax Review memiliki
tujuan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui apakah terdapat kesalahan implementasi kewajiban dan


prosedural perpajakan dan kemudian dilakukan perbaikan dan penyesuaian
dengan ketentuan peraturan perpajakan.
b. Hasil Tax Review dapat digunakan bahan acuan dasar untuk menyusun SPT
tahunan dan PPh Badan.
c. Hasil Tax Review dapat dimanfaatkan sebagai upaya antisipasi apabila sewaktu
waktu dilakukan pemeriksaan pajak.
1. Tax Review untuk menanggani masalah kepatuhan

Untuk menjaga agar tetap menjadi wajib pajak patuh maka perusahaan
seharusnya mempunyai program yang disebut Tax Review.

a) Review waktu penerbitan faktur pajak


 Penerbitan faktur pajak berdasarkan ketentua perpajakan yang berlaku
 Pembayaran tidak lebih dari tanggal terakhir bulan berikutnya
 SPT masa PPN harus dimasukan pada tanggal terakhir bulan berikutnya.
b) Periksa apakah PPN Masukan atas pembelian berhubungan dengan
kegiatan usaha atau bisnis perusahaan dan telah dikreditkan dengan PPN
keluaran.
c) Review penyiapan SPT masa PPN
d) Memastikan memiliki system filing atau penyimpanan dokumen PPN yang
cuku untuk dapat menghadapi pemerikasaan pajak menjelaskan dengan
baik.
e) Hasil ekualisasi harus dapat berkaitan dengan perbedaan antara penjualan
yang dilaporkan pada SPT PPh badan dengan penjualan yang dilaporkan
pada SPT masa PPN.

2. Analisis Tax Review

Tax review diharapkan dapat mengendalikan beban pajak perusahaan


yang diakibtkan tidak dipenuhinya kewajiban perpajakan dengan benar dan
tepat.

a. Tujuan Tax Review PPN


 Untuk mengetahui sejauh mana unit bisnis melakuakan
pemenuhan kewajiban perpajakan.
 Meminimalisasi terjadinya transaksi berkaitan dengan PPN
yang dapat menimbulkan risiko permasalahan perpajakan.
 Menimalisasikan sanksi perpajakan PPN yang diakibatkan
kesalahan pencatatan yang dilakukan oleh unit bisnis dan
memperbaikinya.
 Agar unit bisnis tidak melakukan kesalahan yang sama pada
waktu yang akan dating.
 Mempersipkan unit bisnis dalam menghadapi pemerikasaan
yang dilakukan oleh pihak fiskus.

b. Prosedur Tax Review PPN

Prosedur yang dilakukan dalam tax review PPN mencangkup langkah-


langkah antara lain sebagai berikut :

 Melakukan kegiatan monitoring berupa penelitian data yang


telah dikirimkan oleh unit bisnis , yaitu SPT masa PPN dan SPT
tahunan badan ,buku besar ( ledger ), laporan keuangan,
meliputi hal teknis pengisian dan perhitunganya.Dari kata
Ledger, dilakukan dengan ekualisasi dengan SPT masa PPN.
 Meminta bukti dan dokumen pendukung untuk di Cross check
terhadap objek PPN,seperti invoice penjualan,faktur pajak
masukan, faktur pajak keluaran, bukti kas, dan Debit Nota,
Kontrak jual beli atau service , PO, bukti penyerahaan barang
atau jasa, yang berkenan dengan objek PPN.
 Merekonsilasikan atau mengekualisasikan data objek-objek
pajak berupa pendapatan atau omzet diledger dengan SPT masa
PPN.bila ternyata pendapatan diLedger lebih besar, berarti ada
penyerahaan jasa yang tidak dilaporkan di SPT masa PPN , dan
sebaliknya apabila ternyata pedapatan di Ledger lebih kecil
berarti ada indikasi pendapatan yang belum dicatat dalam
pembukuan.
Dalam melakukan monitoring terhadap pelaporan SPT masa PPN apakah sudah
sesuai dengan data pembukuan baik dari transaksi penjualan maupun pembelian barang
dan jasa , maka contoh di bawah ini akan memperlihatkan bagaimana teknik ekualisasi
dapat menemukan perbeedaan antara apa yang dilaporkan di SPT masa dan PPN
dengan data dari pembukuan. Perbedaan tersebut harus segera ditelusuri penyebabnya
sebelum dilakukan tutup buku dan dismpaikan SPT tahunan Badan perusahaan tersebut
ke Kantor Pelayanan Pajak.

Penyerahan barang dan jasa menurut SPT Masa PPN selama 12 bulan: Penyerahan
terutang PPN:

Ekspor (tarif 0%) 3.000.000.000

Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri 2.000.000.000


Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh pemungut PPN 5.000.000.000
Penyerahan yang PPN nya tidak dipungut 4.000.000.000

Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN 1.000.000.000


Jumlah penyerahan terutang PPN 15.000.000.000
Jumlah penyerahan tidak terutang PPN 500.000.000
Jumlah seluruh penyerahan 15.500.000.000
Jumlah peredaran usaha menurut SPT PPh:
Penjualan bruto 14.000.000.000
Dikurangi:
Potongan penjualan (600.000.000)
Retur penjualan (400.000.000)
Penjualan neto 13.000.000.000
Ekspor 3.000.000.000
Jumlah peredaran usaha 16.000.000.000
Selisih 500.000.000
Di dalam pemeriksaan, apabila terdapat selisih jumlah peredaran (omzet) antara SPT
PPh dan SPT PPN, harus dibuat rincian perbedaan tersebut, apabila tidak dibuat rincian
akan dilakukan ekualisasi, jumlah yang besar yang benar. Menurut analisis , ada
beberapa penyebab terjadinya perbedaan antara kedua dokumen tersebut (ledger atau
SPT Tahunan PPh badan vs SPT Masa PPN), antara lain:

1. Dalam praktik sering terjadi, bahwa dalam penyusunan SPT Masa PPN selalu
didasarkan pada dokumen (faktur atau invoice) yang diterima oleh bagian
pajak, baik invoice pembelian dan penjualan, sedangkan bagian accounting atau
pembukuan dalam mencatat pembelian dan penjualan tidak semata-mata
berdasarkan invoice pembelian dan penjualan, tetapi selalu didasarkan pada
prinsip akuntansi sesuai PSAK yakni akrual basis (stelselakrual). Bila memang
sudah timbul hak dan kewajiban secara hukum atas penyerahan barang dan jasa
kepada debitur, maka meski pun faktur atau invoice penjualan belum terbit,
namun dari sisi PSAK dan UU Pajak, atas transaksi tersebut sudah harus
dibukukan sebagai penghasilan dalam masa yang bersangkutan.
Contoh: Timbulnya hak dan kewajiban secara hukum
Atas penyerahan barang dan jasa oleh PT ABx (penjual) kepada PT DEx
(pembeli) untuk transaksi penjualan barang senilaiRp 50 juta pada 20 Maret
2011:
a. Adanya Kontrak Jual Beli dan atau Purchase Order/SPK tertanggal. 20
Maret 2011.
b. Adanya tanda bukti barang/jasa sudah diserahkan dengan adanya Bukti
Penerimaan/Penyerhan Barang/Jasa (delivery order) tertanggal 27
Maret 2011, sesuai pesanan barang/jasa.
c. Barang/Jasa yang ditransaksikan bukan barang/jasa illegal.
Sehingga meskipun Invoice atau Faktur Penjualan barudibuat oleh PT Abx
tanggal 1 April 2011, bagian accounting atau pembukuan sudah diperbolehkan
untukmembukukan pengakuan penghasilan dalambulan Maret 2011, sebesar
Rp 50 juta.Faktur Pajak seyogyanya sudah harus diterbitkan selambat-
lambatnya akhir bulan Maret 2011.
2. Uang muka.
Dalam penyusunan SPT Masa PPN, bagian pajak akan selalu memperhitungkan
PPN atas pembayaran yang diterima di muka dalam tahun yang berjalan sebagai
pajak keluaran, sedangkan bagian accounting mungkin baru melakukannya
pada saat pembukuan adjustment di akhir bulan/tahun buku.
Contoh: Atas penyerahan barang dan jasa oleh PT ABx (penjual) kepada PT
DEx (pembeli) untuk transaksi penjualan barang senilaiRp 50 juta pada 22
Maret 2011:
a. Adanya kontrak jual beli dan atau purchase order/SPK tertanggal 22
Maret 2011.
b. Adanya tanda bukti barang/jasa sudah diserahkan dengan adanya bukti
penerimaan/penyerahan barang/jasa (delivery order) tertanggal 3 April
2011, sesuai pesanan barang/jasa.
c. Pembayaran DP diterima dimuka tgl. 25 Maret 2011 sebesar Rp 10 juta.
d. Barang/jasa yang ditransaksikan bukan barang atau jasa illegal.
Sehingga meskipun Invoice/Faktur Penjualan baru dibuat oleh PT Abx
tanggal 3 April 2011, namun bagian pajak harus menerbitkan Faktur
Pajak (keluaran) tertanggal 25 Maret 2011 sebesarRp 5 juta berdasarkan
kwitansi DP yang diterima sebesar Rp 50 juta, dan selanjutnya
memasukkan Faktur Pajak keluaran tersebut dalam SPT Masa Maret
2011.
3. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya kesalahan dalam pembukuan
yang menyebabkan terjadinya kekurangan atau kelebihan dalam perhitungan
pembelian atau penjualan.
4. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya retur penjualan atau retur
pembelian yang belum dicatat, baik di SPT masa PPN atau dalam ledger
perusahaan.
5. Potongan penjualan. Potongan penjualan yang diberikan setelah faktur pajak
diterbitkan, dalam pembukuan dicata tmengurangi jumlah penjualan dan
peredaran usaha di buku besar penjualan atau SPT Tahunan PPh Badan, tetapi
tidak dapa tmengurangi DPP PPN.
6. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya faktur pajak (masukan) yang
cacat, tidak benar atau tidak lengkap pengisiannya, sehingg atidak dapat
dikreditkan.
7. Penjualan dalam valuta asing. Pebedaan tersebut bisa terjadi karena adanya
faktur penjualan (invoice) yang dalam mata uang asing selalu menggunakan
kurs konversi berdasarkan nilai tukar (kurs) realisasi, sedangkan faktur
pajakselalu dibuat berdasarkan kurs menteri keuangan.
8. Perbedaan tersebut bisa terja dikarena adanya barang konsinyasi yang belum
dibuatkan faktur pajak. Pengiriman barang konsinyasi untuk dijual belum dapat
dibukukan sebagai penghasilan, tetapi sudah terutang PPN dan karena itu harus
diterbitkan faktur pajak.
9. Pemakaian sendiri BKP/JKP. Pemberian secara cuma-Cuma atau
disumbangkan bukan untuk tujuan produktif terutang PPN dihitung
berdasarkan harga pokok, dan harus diterbitkan faktur pajak. Sedangkan dari
sisi fiskal, pengeluaran tersebut tidak bisa dibiayakan dalam SPT Tahunan PPh
Badan.
10. Cabang yang belum masuk sentralisasi PPN. Perbedaan tersebut bisaterjadi
karena adanya kantor cabang yang belum terdaftar dalam sentralisasi PPN yang
telah mendapat persetujuan dari Dirjen Pajak, sehingga terjadi perbedaan
jumlah penyerahan atau peredaran usaha antara SPT Tahunan PPh Badan
dengan SPT Masa PPN.
11. Tidak menutupi kemungkinan ada potensi penyelewengan (fraud) dalam tubuh
internal perusahaan yang dilakukan oleh oknum tertentu sehingga sejumlah
transaksi penjualan tidak dilaporkan secara seutuhnya dalam SPT Masa PPN
yang berdampak pada kurang bayar PPn keKas Negara.
12. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya rekayasa yang dilakukan oleh
pihak perusahaan untuk mengecilkan setoran PPN yang harus dibayar kekas
Negara dengan cara memperkecil omzet penjualan yang dilaporkan di SPT
masa PPN.
13. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena ada rekayasa yang dilakukan oleh
pimpinan perusahaan untuk mendapatkan Restitusi PPN dengan cara
melakukan penggelembungan terhadap PPN masukan dari pembelian fiktif
yang dilaporkan SPT masa PPN.

2.1.9 Tanggung Jawab Renteng

Tanggung Jawab Renteng Pada awalnya ketentuan tanggung jawab renteng ini diatur
dalam Pasal 33 UU KUP No. 16 tahun 2000, kemudian ketentuan ini dihapus dalam
UU KUP No. 28 tahun 2007, kemudian dihidupkan lagi melalui penambahan Pasal 16F
kedalam UU PPN No. 42 tahun 2009, yakni:

“Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung
jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat
menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayarkan”.

Contoh:

Pada tahun 2006 pemeriksa pajak dari KPP A melakukan pemeriksaan SPT
Masa PPN untuk masa pajak Januari sampai Desember 2004 dari KPP D, ditemukan
fakta bahwa KPP D dalam suatu masa pajak melakukan penyerahan BKP dengan harga
jual Rp300juta, ternyata tidak membuat faktur pajak. Berdasarkan hasil pemeriksaan
ini, KPP A menerbitkan SKPKB terhadap PKP D disertai sanksi bunga sebesar 2% per
bulan , dan denda 2% dari dasar pengenaan Pajak karena PKP D menyerahkan BPK
tidak membuat faktur pajak. Pada tahun 2007, pemeriksa pajak dari KPP B tempat PKP
E dikukuhkan sebagai PKP melakukan pemeriksaan SPT Masa PPN masa pajak
Januari sampai Desember 2004, ditemukan fakta dari pembukuannya bahwa ketika
dalam suatu masa pajak PKP E membeli BKP dari PKP D tapi tidak membayar PPN.
Hal ini diyakini oleh pemeriksa karena PKP E tidak dapat menunjukkan Faktur Pajak
sebagai bukti bahwa ia telah membayar PPN kepada PKP D. Berdasarkan hasil
pemeriksaan ini, KPP B menerbitkan SKPKB berdasarkan ketentuan tanggung jawab
renteng yang pada waktu itu diatur dalam Pasal 33 UU KUP. Dalam SKPKB ini ditagih
pokok pajak sebesar Rp30 juta (yakni 10% x Rp300juta), ditambah sanksi bunga
sebesar 2% perbulan.

Dari contoh di atas dapat kita pahami bahwa ketentuan tanggung jawab renteng
ini berlaku bagi pihak pembeli maupun penjual. Dalam memori penjelasannya di UU
KUP tersebut dijelaskan bahwa “sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ada pada
pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya
apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng
atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang
tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau
penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak
kepada penjual atau pemberi jasa.”

Kesannya, ketentuan tanggung jawab renteng tersebut menimbulkan


ketidakadilan pajak. Maka dalam melakukan tax review, seorang tax manager
perusahaan (PKP) harus melakukan pengawasan secara lebih cermat dengan
memastikan:

a. Jangan pernah ada satu pun faktur penjualan (commercial invoice) yang
diterbitkan perusahaan tanpa dsertai faktur pajak.
b. Setiap transaksi penjualan harus ada kontrak atau sales agreement-nya dan atau
purchase order (PO), sehingga dispute tentang syarat penjualan (harga, Pajak,
termin pembayaran, dan lain-lain) disa dihindari dikemudian hari.
3.1 Contoh Kasus Tax Planning

1. Membangun kontrakan perusahaan (PKP)


a. Apabila bangun sendiri
10% x 2% x 5.000.000.000 = 100.000.000
(Tidak ada faktur , menyetor sendiri dan tidak bisa dikreditkan)
b. Konstruksi
10% x 5.000.000.000 = 500.000.000
(Bisa dikreditkan)

Membangun kontrakan perusahaan (PKP) apabila bangun sendiri atau


menggunakan jasa konstruksi lebih menggunakan dengan menggunakan
jasa konstruksi karena dapat dikreditkan.

2. Apabila di Yayasan ( Non PKP)


a. Apabila bangun sendiri
10% x 2% x 5.000.000.000 = 100.000.000
Cost : 5.000.000.000 + 100.000.000 = 5.100.000.000
b. Jasa Konstruksi
10% x 5.000.000.000 = 500.000.000
Cost : 5.000.000.000 + 500.000.000 = 5.500.000.000
Membangun kontrakan apabila perusahaan Non PKP lebih
menguntungkan apabila bangun sendiri dapat menghemat sebesar
400.000.000 , karena dalam hal ini untu perusahaan Non PKP tidak dapat
dikreditkan.

3. PPN Atas Barang Gratis Untuk Kepentingan Promosi

a. Tambahan beban PPN atas pemberian Cuma – Cuma


Penjualan 2.000 eksemplar @Rp.4000 = Rp. 8.000.000
PPN 10% = Rp. 800.000
Harga difaktur: Harga jual + PPN = Rp. 8.800.000
 Tambahan beban PPN atas pemberian Cuma - Cuma: 10% x 200 eks x
Rp.2.500 = Rp . 50.000

b. Harga jual ditambah PPN


Penjualan 2.200 eksemplar @Rp.4000 = Rp.8.800.000
Diskon = Rp. 800.000
Dasar Pengenaan Pajak = Rp. 8.000.000
PPn 10% = Rp. 800.000
 Harga yang difaktur: Harga jual + PPN = Rp. 8.800.000
Pemberian cuma-cuma dalam kasus di atas termasuk ke dalam tax evasion
yaitu penggelapan pajak.

4. Aturan grey area ( multi interprestasi)


Pembebanan makan karyawan tapi tidak seluruh karyawan diberikan .
Interpretasi yang dipilih masih menanggung resiko , adapun tax manajamen
yang dilakukan adalah siapkan antisipasi diantaranya :
 Dimasukkan dalam kategori “ keharusan dalam melaksanakan
pekerjaan”.
 Mempertegas klausul perjanjian.
 Memperkuat dokumen-dokumen yang dibutuhkan,
5. Aturan tegas tapi sulit di interpretasikan , misalnya dengan penjualan
konsinyasi
PT.A menitipkan barangnya kepada PT.B untuk dijual kepada konsumen
senilai Rp 100.000.000 .

PPN = 10% X 100.000.000


Cost : 100.000.000 +10.000.000 = 110.000
PT A seharusnya sudah menerbitkan faktur pajak sebesar Rp 110.000.000 ,
dikarenakan barang belum laku terjual seluruhnya PT.B tidak mau membayar .
 Apabila melakukan konsinyasi , bisnis cash flow PT.B akan hancur
karena PT.B harus membayar barang yang belum laku terjual
seluruhnya.
 Memilih jalan tidak patuh , untuk mengamankan bisnis cash flow
dengan menerbitkan faktur pajak setelah terjual .

Dalam kasus di atas sebaiknya jangan melakukan konsinyasi karena


dengan melakukan konsinyasi ataupun memilih jalan tidak patuh
keduanya menanggung resiko sebaiknya dengan sewa space .

6. Eksportir memilih PKP atau Non PKP apabila atas ekspornya terutang
PPN 10%.
a. Jika eksportir memilih Non PKP , maka atas ekspornya tidak akan terutang
PPN.
b. Jika memilih PKP , maka atas ekspornya PPN bisa dikreditkan , dengan
syarat material sebagai berikut :

1. Pajak masukan berhubungan langsung dengan kegiatan usaha tersebut :


Produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen.

2. Penyerahan hasil kegiatan usahanya

 Terutang PPN 10%


 Terutang PPN 0%
 Terutang PPN 10 % , tetapi tidak dipungut

Dalam kasus di atas sebaiknya eksportir memilih perusahaan PKP karena


atas ekspor terutangnya dapat dikreditkan.

7. Perusahaan yang baru berdiri output usahanya akan dikenakan PPN


meskipun belum berproduksi
Barang modal bisa dikreditkan, walaupun belum di produksi ada dalam Pasal 9
ayat 8. Apabila dalam waktu 3 tahun gagal berproduksi terus menerus maka ,
Pajak masukan yang telah dikreditkan dan dikembalikan wajib di setor kembali
ke kas negara.
8. Perusahaan Jasa Konstruksi ( Multi years)
PT.A meberikan jasa konstruksi kepada PT.B , invoice terbit pada tanggal 17
November 2018. Jika PT B belum bisa melakukan pembayaran PT.A dapat
mencover paling lambat akhir bulan berikutnya yaitu 31 Desember 2018.
Faktur pembayaran harus dibuat saat pembayaran bukan saat invoice
diterbitkan dengan cara sebagai berikut :
 Di awal kontrak pada saat terbit invoice, tidak diterbitkan faktur pajak
terlebih dahulu, melainkan faktur pajak diterbitkan saat pembayaran.
 Apabila kontrak sudah dibuat dapat dilakukan negosiasi atau
amandemen kontraknya dengan menerbitkan faktur sementara.

Contoh faktur pajak secara umum dibuat :

 Saat penyerahan BKP/JKP 17 November 2018


 Invoice terbit 1 Desember 2018
 Saat Pembayaran 2 Januari 2019

Paling lambat faktur pajak dibuat pada tanggal 1 Desember 2018 , saat terbit
invoice. Namun jika pembayaran dilakukan sebelum terbit invoice, maka faktur
pajak harus segera dibuat.

Integrasi Faktur Pajak dan Invoice merupakan salah satu dari tax
management

9. Memilih vendor PKP atau Non PKP


a. Vendor PKP , dipungut PPN dan bisa dikreditkan
b. Vendor Non PKP tidak dipungut PPN
Sebaiknya memilih vendor PKP , karena dari hitungan margin lebih
menguntungkan vendor PKP dan dapat dikreditkan.

Anda mungkin juga menyukai