PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
PEMBAHASAN
A. Definisi
Desferal (deferoxamine)merupakan obat cair yang diberikan di
bawah kulit. Biasanya obat ini diberikan dengan menggunakan alat
semacam “portable pump”.
B. Tujuan
Menurunkan/mencegah penumpukan Fe dalam tubuh baik itu
hemochromatosis (penumpukan Fe di bawah kulit) atau pun hemosiderosis
(penumpukan Fe dalam organ)
C. Indikasi/Kontraindiksi
Indikasi
1. Dilakukan pada klien dengan thalasemia yang mendapatkan transfusi
darah secara rutin (berulang).
2. Kadar Fe≥ 1000 mg/ml.
3. Dilakukan 4-7 kali dalam seminggu post transfuse.
Kontraindikasi
Tidak dilakukan pada klien dengan gagal ginjal.
D. Standar Operasional Prosedur
1. Pengkajian
a. Menyampaikan salam kepada klien/keluarganya.
b. Melakukan pengkajian kondisi klien meliputi : usia, tingkat
hemocromatosis & hemosiderosis (kadar Fe).
2. Persiapan
a. Mencuci tangan.
b. Menyusun alat-alat yang diperlukan dengan memperhatikan teknik
aseptic dan antiseptik.
Streril :
1) Syringe 10 cc
2) Wing needle
Tidak Steril :
1) Alas
2) Bengkok
3) Kapas alkohol pada tempat tertutup
4) Infusa pump
5) Obat yang diperlukan (desferal)
6) Pengencer (aquadest steril) dalam botol
7) Perban gulung/kantong infusa pump
8) Plester
9) Gunting plester
c. Mempersiapkan obat desferal sesuai kebutuhan.
1) Melakukan cek ulang obat yang akan diberikan sesuai
perencanaan.
2) Mengkalkulasi dosis sesuai kebutuhan klien
Usia > 5 tahun = 1 gram (2 vial)
Usia < 5 tahun = 0,5 gram (1 vial)
Mengencerkan obat dengan tepat : (catatan : 1 vial (0,5
gram) obat desferal dioplous dengan aquadest 4-5 cc).
Membersihkan bagian atas botol aquadest dengan kapas
alcohol dan menarik cairan aquadest dari botol secukupnya
denganmenggunakan syringe/spuit 10 cc, kapas buang ke
bengkok
3) Membersihkan bagian atas botol vial desferal dengan kapas
alcohol dan membiarkan kering sendiri, membuang kapas
alkohol ke bengkok
4) Memasukkan jarum syringe 10 cc yang berisi aquadest
melalui karet penutup botol ke dalam botol
4. Gambaran klinik
Pada talasemia mayor gejala klinik telah terlihat sejak anak baru
berumur kurang dari 1 tahun. Gejala yang tampak adalah anak lemah,
pucat, perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur, berat badan
kurang. Pada anak yang besar sering dijumpai adanya gizi buruk, perut
membuncit, karena adanya pembesaran limpa dan hati yang mudah
diraba. Adanya pembesaran limpa dan hati tersebut mempengaruhi
gerak pasien karena kemampuan terbatas, limpa yang membesar ini
akan mudah ruptur hanya karena trauma ringan saja.
Gejala lain (khas) ialah bentuk muka mongoloid, hidung pesek
tanpa pangkal hidung; jarak antara kedua mata lebar dan tulang dahi
juga lebar. Hal ini disebabkan karena adanya gangguan perkembangan
tulang muka dan tengkorak. (Gambaran radiologis tulang
memperlihatkan medula yang besar, korteks tipis dan trabekula kasar).
Keadaan kulit pucat kekuning-kuningan. Jika pasien telah sering
mendapat tranfusi darah kulit menjadi kelabu serupa dengan besi
akibat penimbunan besi dalam jaringan kulit.
Penimbunan besi (hemosiderosis) dalam jaringan tubuh seperti
pada hepar, limpa, jantung akan mengakibatkan gangguan fatal alat-
alat tersebut (hemokromatosis) (Ngastiyah, 1997 : 378).
5. Patofisiologi
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan polipeptida
rantai alpa dan dua rantai beta. Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya
atau kurangnya rantai beta thalasemia yaitu tidak adanya atau
kekurangan rantai beta dalam molekul hemoglobin yang mana ada
gangguan kemampuan ertrosit membawa oksigen. Ada suatu
kompensator yang meningkat dalam rantai alpa, tetapi rantai beta
memproduksi secara terus menerus sehingga menghasilkan
hemoglobin defictive. Ketidak seimbangan polipeptida ini
memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini menyebabkan
sel darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau
hemosiderosis.
Kelebihan pada rantai alpa ditemukan pada talasemia beta dan
kelebihan rantai beta dan gama ditemukan pada talasemia alpa.
Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami presipitasi, yang terjadi
sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin
tak stabil badan heint, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan
hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi yang konstan
pada bone marrow, produksi RBC diluar menjadi eritropik aktif.
Kompensator produksi RBC secara terus menerus pada suatu dasar
kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC,menimbulkan tidak
edukatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan edstruksi
RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau
rapuh. (Suriadi, 2001 : 23-24)
Pada talasemia letak salah satu asam amino rantai polipre tidak
berbeda urutannya/ditukar dengan jenis asam amino lain. Perubahan
susunan asam amino tersebut. Bisa terjadi pada ke-4 rantai poliper Hb-
A, sedangkan kelainan pada rantai alpha dapat menyebabkan kelainan
ketiga Hb yaitu Hb-A, Hb-A2 dan Hb-F. (Hassan, 1985 : 49)
6. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening
test dan definitive test.
a. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui
sebagai gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
1) Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat
dideteksi pada kebanyakkan Thalassemia kecuali
Thalassemia α silent carrier. Pemeriksaan apusan darah rutin
dapat membawa kepada diagnosis Thalassemia tetapi kurang
berguna untuk skrining.
2) Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti
eritrosit. Secara dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila
konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira. Studi yang
dilakukan menemui probabilitas formasi pori-pori pada
membran yang regang bervariasi mengikut order ini:
Thalassemia < kontrol < spherositosis (Wiwanitkit, 2007).
Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah
dilakukan dan berdasarkan satu penelitian di Thailand,
sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi 81.60, false positive
rate 18.40% dan false negative rate 8.53% (Wiwanitkit,
2007).
3) Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari
tetapi hanya dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta
kurang memberi nilai diagnostik. Maka metode matematika
dibangunkan (Wiwanitkit, 2007).
4) Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β
berdasarkan parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa
rumus telah dipropose seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW
x MCH x (MCV) ²/Hb x 100, MCV/RBC dan MCH/RBC
tetapi kebanyakkannya digunakan untuk membedakan
anemia defisiensi besi dengan Thalassemia β (Wiwanitkit,
2007).
Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai
yang diperoleh sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi
besi sedangkan <13 mengarah ke Thalassemia trait. Pada
penderita Thalassemia trait kadar MCV rendah, eritrosit
meningkat dan anemia tidak ada ataupun ringan. Pada anemia
defisiensi besi pula MCV rendah, eritrosit normal ke rendah
dan anemia adalah gejala lanjut (Yazdani, 2011).
b. Definitive test
1) Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe
hemoglobin di dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal
hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-
2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan
neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa
digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada
Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%,
Thalassemia Hb H: Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor Hb
F 10-90%. Pada negara tropikal membangun, elektroporesis
bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J (Wiwanitkit,
2007).
2) Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik
dengan Hb C. Pemeriksaan menggunakan high
performance liquid chromatography (HPLC) pula
membolehkan penghitungan aktual Hb A2 meskipun
terdapat kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini berguna
untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa
mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta
menghitung konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan Hb
A2 (Wiwanitkit, 2007).
3) Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis
Thalassemia. Molecular diagnosis bukan saja dapat
menentukan tipe Thalassemia malah dapat juga menentukan
mutasi yang berlaku (Wiwanitkit, 2007)
7. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Suriadi, 2001:26) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara
lain :
a. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi
dari pemberian transfusi darah yang berlebihan akan
menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi yang disebut
hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan
pemberian deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk
mengeluarkan besi dari dalam tubuh (iron chelating
agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun untuk
mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara
subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
b. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada
abdomen dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang
berasal dari suplemen (transfusi).
c. Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan
pemberian tambahan asam folat. Penderita yang menjalani
transfusi, harus menghindari tambahan zat besi dan obat-obat
yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi
yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan. Pada bentuk
yang sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum
tulang. Terapi genetik masih dalam tahap penelitian.
8. Komplikasi
a. Fraktur patologi.
b. Hepatosplenomegaly.
c. Gangguan tumbuh kembang.
d. Difungsi organ, seperti : hepar, limpa, kulit jantung (Suriadi, 2001 :
24)
9. Pencegahan
Menurut Tamam (2009), karena penyakit ini belum ada obatnya,
maka pencegahan dini menjadi hal yang lebih penting dibanding
pengobatan. Program pencegahan Talasemia terdiri dari beberapa
strategi, yakni :
a. Penapisan (skrining) pembawa sifat Talasemia,
b. Konsultasi genetik (genetic counseling),
c. Diagnosis prenatal.
Skrining pembawa sifat dapat dilakukan secara prospektif dan
retrospektif. Secara prospektif berarti mencari secara aktif pembawa
sifat thalassemia langsung dari populasi diberbagai wilayah, sedangkan
secara retrospektif ialah menemukan pembawa sifat melalui
penelusuran keluarga penderita Talasemia (family study). Kepada
pembawa sifat ini diberikan informasi dan nasehat-nasehat tentang
keadaannya dan masa depannya. Suatu program pencegahan yang baik
untuk Talasemia seharusnya mencakup kedua pendekatan tersebut.
Program yang optimal tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik
terutama di negara-negara sedang berkembang, karena pendekatan
prospektif memerlukan biaya yang tinggi. Atas dasar itu harus
dibedakan antara usaha program pencegahan di negara berkembang
dengan negara maju. Program pencegahan retrospektif akan lebih
mudah dilaksanakan di negara berkembang daripada program
prospektif.
a. Penapisan (Screening)
Ada 2 pendekatan untuk menghindari Talesemia:
1) Karena karier Talasemia β bisa diketahui dengan mudah,
penapisan populasi dan konseling tentang pasangan bisa
dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1-4 anak mereka bisa
menjadi homozigot atau gabungan heterozigot.
2) Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir,
pasangannya bisa diperiksa dan bila termasuk karier,
pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan terminasi
kehamilan pada fetus dengan Talasemia β berat.
Bila populasi tersebut menghendaki pemilihan pasangan,
dilakukan penapisan premarital yang bisa dilakukan di sekolah
anak. Penting menyediakan program konseling verbal maupun
tertulis mengenai hasil penapisan Talasemia (Permono, &
Ugrasena, 2006).
Alternatif lain adalah memeriksa setiap wanita hamil muda
berdasarkan ras. Penapisan yang efektif adalah ukuran eritrosit,
bila MCV dan MCH sesuai gambaran Talasemia, perkiraan kadar
HbA2 harus diukur, biasanya meningkat pada Talasemia β. Bila
kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang bisa menganalisis
gen rantai α. Penting untuk membedakan Talasemia αo(-/αα) dan
Talasemia α+(-α/-α), pada kasus pasien tidak memiliki risiko
mendapat keturunan Talesemia αo homozigot. Pada kasus jarang
dimana gambaran darah memperlihatkan Talesemia β heterozigot
dengan HbA2 normal dan gen rantai α utuh, kemungkinannya
adalah Talasemia α non delesi atau Talasemia β dengan HbA2
normal. Kedua hal ini dibedakan dengan sintesis rantai globin
dan analisa DNA. Penting untuk memeriksa Hb elektroforase
pada kasus-kasus ini untuk mencari kemungkinan variasi
struktural Hb (Permono, & Ugrasena, 2006).
b. Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk Talasemia, dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Dapat dibuat dengan penelitian
sintesis rantai globin pada sampel darah janin dengan
menggunakan fetoscopi saat kehamilan 18-20 minggu, meskipun
pemeriksaan ini sekarang sudah banyak digantikan dengan analisis
DNA janin. DNA diambil dari sampel villi chorion (CVS=corion
villus sampling), pada kehamilan 9-12 minggu. Tindakan ini
berisiko rendah untuk menimbulkan kematian atau kelainan pada
janin (Permono, & Ugrasena, 2006).
Tehnik diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah tehnik
CVS, mengalami perubahan dengan cepat beberapa tahun ini.
Diagnosis pertama yang digunakan oleh Southern Blotting dari
DNA janin menggunakan restriction fragment length
polymorphism (RELPs), dikombinasikan dengan analisis linkage
atau deteksi langsung dari mutasi. Yang lebih baru, perkembangan
dari polymerase chain reaction (PCR) untuk mengidentifikasikan
mutasi yang merubah lokasi pemutusan oleh enzim restriksi. Saat
ini sudah dimungkinkan untuk mendeteksi berbagai bentuk α dan β
dari Talasemia secara langsung dengan analisis DNA janin.
Perkembangan PCR dikombinasikan dengan kemampuan
oligonukleotida untuk mendeteksi mutasi individual, membuka
jalan bermacam pendekatan baru untuk memperbaiki akurasi dan
kecepatan deteksi karier dan diagnosis prenatal. Contohnya
diagnosis menggunakan hibridasi dari ujung oligonukleotida yang
diberi label 32P spesifik untuk memperbesar region gen globin β
melalui membran nilon. Sejak sekuensi dari gen globin β dapat
diperbesar lebih 108 kali, waktu hibridasi dapat dibatasi sampai 1
jam dan seluruh prosedur diselesaikan dalam waktu 2 jam
(Permono, & Ugrasena, 2006).
Terdapat berbagai macam variasi pendekatan PCR pada
diagnosis prenatal. Contohnya, tehnik ARMS (Amplification
refractory mutation system), berdasarkan pengamatan bahwa pada
beberapa kasus, oligonukleotida (Permono, & Ugrasena, 2006).
Angka kesalahan dari berbagai pendekatan laboratorium saat
ini, kurang dari 1%. Sumber kesalahan antara lain, kontaminasi ibu
pada DNA janin, non-paterniti, dan rekombinasi genetik jika
menggunakan RELP linkage analysis (Permono, & Ugrasena,
2006).
Konsep Keperawatan Thalasemia
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan
1) Pucat.
2) Ikterus.
3) Gagal tumbuh.
4) Hepatosplenomegali
5) Tranfusi kronis/ terapi pendekatan.
b. Pemeriksaan fisik
1) Kulit, mukosa oral, konjungtiva, telapak kaki, dan/atau telapak
tangan pucat.
2) Sclera ikterus atau kulit ikterus.
3) Keterlambatan pertumbuhan atau perkembangan.
4) Saturasi oksigen rendah via oksimetri nadi.
5) Perubahan tingkat kesadaran.
6) Hepatoslpenomegali.
7) Penonjolan frontal (dahi).
c. Uji laboratorium dan Diagnostik
1) Elektroforesis hemoglobin menunjukkan adanya hemoglobin F
dan hanya hemoglobin A2.
2) DPL dan usapan perifer menunjukkan penurunan hemoglobin
dan hematokrit secara signifikan, penonolan sel target,
hipokromia, mikrositosis, dan anisokritosis serta poikilositosis
ekstensif (variasi dalam ukuran dan bentuk SDM, secara
berturut-turut).
3) Kadar zat besi dan bilirubin meningkat (Kyle & Carman,
2014).
2. Diagnosis Keperawatan
a. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
konsentrasi hemoglobin.
b. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif (Tim
Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
3. Intervensi Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Kyle, T., & Carman, S. (2014). Buku Praktik Keperawatan Pediatri. Jakarta:
EGC.