Ims
Ims
Ketua Pelaksana:
Dr. Fonny J Silfanus, MSc
Sub Direktorat AIDS&PMS
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Indonesia
Peneliti Utama:
Dr. Endang R. Sedyaningsih, Dr.PH
Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Indonesia
Pemantau Teknis:
Prof. Dr. Sjaiful Fahmi Daili, SpKK (K)
Departemen Kulit dan Kelamin,
Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Peneliti:
Dr. Flora Kioen Tanudjaya, MSc
Dr. Atiek Sulistyarni Anartati, MPH&TM
Dr. Kemmy Ampera Purnamawati
Aang Sutrisna
Siswadi
Dr. Leny Senduk
Hari Purnomo
Vita Ayu
Family Health International, Indonesia
Aksi Stop AIDS (ASA) Program
Nurjannah, SKM
Sub Direktorat AIDS&PMS
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Indonesia
Puskesmas Lebdosari
1.Dr. Christina Widowati
2.Sri Susanti
Puskesmas Mangkang
1.Dr. Lina Wita
Yayasan Kalandara
1.Muhammad Yusuf
2.Trik Mika
3.Chatarina Rina P
Sedangkan perhatian terhadap IMS pada saat ini seakan terabaikan, karena
lebih tertuju kepada penanggulangan HIV, terbukti dengan kurangnya data -
data yang berhubungan dengan IMS tersebut.
Dari beberapa sumber data yang ada, disebutkan bahwa sifilis, ulcus molle
(Canchroid ) dan herpes genitalis meningkatkan resiko penularan HIV 2 - 9 kali.
I . PENDAHULUAN 1
II . TUJUAN 5
III. METODA 7
III.1. Rancangan penelitian dan populasi yang diteliti 7
III.2. Strategi penghitungan dan pengambilan sampel 7
III.3. Waktu dan tempat 8
III.4. Tim pengumpul data 8
III.5. Alur proses pengambilan data 9
III.6. Diagnosis dan pengobatan 10
III.7. Pemeriksaan laboratorium 11
IV. HASIL 13
IV.1. Rekrutmen 13
IV.2. Karakteristik populasi yang diteliti 14
IV.3. Pemeriksaan fisik 20
IV.4. Prevalensi ISR 21
IV.5. IMS Tanpa Tanda 21
IV.6. Perilaku Berisiko 22
IV.6.1 Pemakaian kondom 22
IV.6.2 Perilaku Pecegahan yang keliru 23
IV.6.3 Perilaku Pengobatan IMS 24
IV.7. Cakupan Program 25
v
v
i
DAFTAR TABEL
Tabel 3.
Pemeriksaan Laboratorium Yang Menjadi Dasar Pengukuran
Prevalensi ISR
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Semarang, Indonesia, 11
2005
Tabel 6 .
Perhitungan Perkiraan Prevalensi Gonore dan Klamidia
dengan Genprobe
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Semarang, 2005 28
v
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 10. Cakupan Program Klinik IMS Bagi WPS dalam 3 Bulan Terakhir
i
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Semarang, 2005 26
iii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pendahuluan
Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) mempermudah
penularan HIV sehingga prevalensi IMS dan ISR dapat menunjukkan risiko
penyebaran HIV. Di Indonesia, epidemi HIV sudah terkonsentrasi dengan prevalensi
HIV pada WPS (Wanita Penjaja Seks) di beberapa tempat >5%, bahkan 26,5% di
Merauke (Papua). Di samping itu, prevalensi IMS juga dapat memberikan gambaran
perluasan cakupan dan peningkatan kualitas program penanggulangan IMS dan
HIV/AIDS. Oleh karena itu, data prevalensi IMS perlu diamati secara periodik melalui
surveilans IMS. Data tersebut dapat menjadi informasi dalam merencanakan,
melaksanakan, memonitor serta mengevaluasi program untuk meningkatkan mutu
upaya penanggulangan IMS-HIV/AIDS.
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS tahun 2003 melaporkan di 7 kota yang diteliti
terdapat 54% - 75% WPS lokalisasi, 48% - 77% WPS tempat hiburan, dan 62% - 93%
WPS jalanan yang terinfeksi >1 ISR yang diteliti. Khusus kota Semarang, dilaporkan
terdapat 57% WPS lokalisasi dan 68% WPS jalanan yang terinfeksi >1 ISR yang
diteliti. Penelitian di kota Semarang kali ini merupakan bagian dari penelitian yang
dilaksanakan di 10 kota/ kabupaten, yaitu di Jayapura, Banyuwangi, Semarang,
Medan, Palembang, Tanjung Pinang, Bitung, Jakarta Barat, Bandung, dan Surabaya.
Tujuan
Tujuan utama adalah untuk mengukur prevalensi infeksi gonore, klamidia, sifilis,
herpes simpleks tipe 2, trikomoniasis vaginalis, bakterial vaginosis dan kandidiasis
v
vaginal pada WPS di kota Semarang, Jawa Tengah. Penelitian juga mendeskripsikan
karakteristik demografis dan perilaku seksual berisiko tinggi WPS.
i
Metoda
Penelitian ini mengukur prevalensi ISR secara cross-sectional. Populasi yang diteliti
adalah WPS langsung dan tidak langsung berumur 15 – 50 tahun, sedang tidak
menstruasi dan tidak hamil. Jumlah yang diperlukan 237; dengan memperhitungkan
ketidakhadiran maka diundang 333 WPS. Penelitian dilaksanakan tanggal 10 - 17 Juni
2005 oleh tim inti yang bekerja sama dengan tim keliling dan tim lokal.
Sampel WPS tidak langsung (74 orang) diambil dari panti pijat, diskotik, bar, dan
karaoke sedang sampel WPS langsung (176 orang) diambil dari lokalisasi dan jalanan.
Hasil
Umur WPS di Semarang berkisar antara 17 – 45 tahun (WPS langsung 17 – 45 tahun,
median 26 tahun; WPS tidak langsung 17 – 44 tahun, median 29 tahun). Median umur
pertama kali berhubungan seks WPS langsung 17 tahun, tidak langsung 18 tahun;
termuda 11 tahun pada WPS langsung dan 13 tahun pada tidak langsung. Delapan
puluh persen WPS langsung berpendidikan SMP atau lebih rendah, sedangkan >75%
WPS tidak langsung berpendidikan sama atau lebih tinggi dari tingkat SMP.
Tiga puluh dua persen WPS langsung dan 15% yang tidak langsung tidak memakai
alat kontrasepsi apapun. Di antara yang memakai kontrasepsi, sebagian terbesar
dengan suntik atau pil. Median lama kerja WPS langsung 18 bulan, WPS tidak
langsung 24 bulan. Sekitar 53% WPS langsung dan 30% WPS tidak langsung baru
bekerja di lokasi sekarang sekitar satu tahun atau kurang. Sebagian besar WPS
langsung maupun tidak langsung berasal dari kota / kabupaten di Jawa Tengah.
Median jumlah pelanggan WPS langsung dalam seminggu terakhir 7 orang, WPS tidak
langsung 5 orang. Lima puluh empat persen WPS langsung dan 49% yang tidak
langsung menyatakan tidak tahu apa latar belakang pelanggan tersering mereka; 19%
WPS langsung dan 35% tidak langsung menyatakan pelanggan tersering adalah
pegawai swasta.
Secara keseluruhan, prevalensi gonore dan klamidia ditemukan sebesar 32% dan
56%. Pada WPS langsung prevalensi gonore 40% dan klamidia 62%, pada yang tidak
langsung
x
12% dan 43%. Infeksi ganda gonore dan klamidia 24%, WPS langsung 30%, tidak
langsung 9%. Prevalensi trikomoniasis vaginalis 8%, WPS langsung 11%, tidak
langsung 3%. Prevalensi bakterial vaginosis 57%, WPS langsung 55%, tidak langsung
62%. Prevalensi vaginal kandidiasis 2%, WPS langsung 2%, tidak langsung 3%.
Prevalensi sifilis laten 6%, WPS langsung 9%, tidak langsung 1%. Prevalensi serologi
positif (IgG) herpes simpleks tipe 2 dijumpai sebesar 97%, WPS langsung 98%, tidak
langsung 96%.
Ditemukan 19 (24%) kasus gonore, 37 (26%) kasus infeksi klamidia, 16 (100%) kasus
sifilis dan 242 (99%) kasus infeksi herpes simpleks tipe 2 yang tidak menunjukkan
tanda klinis pada pemeriksaan fisik.
Dalam seminggu terakhir 12% WPS langsung dan 39% tidak langsung selalu
menggunakan kondom; 9% WPS langsung dan 12% tidak langsung tidak
menggunakan kondom sama sekali. Terdapat dua perilaku pencegahan terhadap
IMS-HIV yang keliru: minum antibiotik dosis tidak tepat (38% WPS langsung dan 51%
tidak langsung) dan cuci vagina (94% WPS langsung dan 97% tidak langsung). Dalam
3 bulan terakhir, ketika mengalami gejala IMS, 61% WPS langsung dan 69% WPS
tidak langsung tidak melakukan pengobatan yang benar (tidak diobati sama sekali,
beli obat sendiri atau menggunakan obat tradisional).
Kesimpulan
Prevalensi ISR/IMS yang diteliti masih tinggi. Sebagian besar kasus tidak
menunjukkan tanda dan gejala. Konsistensi pemakaian kondom masih rendah,
bahkan perilaku sama sekali tidak menggunakan kondom masih tinggi. Proporsi
perilaku pencegahan yang salah yaitu pemakaian antibiotik dan cuci vagina sangat
tinggi. Begitu juga proporsi perilaku pencarian pengobatan IMS yang salah.
Pelanggan WPS bukan hanya kelompok yang diasumsikan berperilaku seksual risiko
tinggi (seperti ABK, nelayan, sopir), tetapi juga TNI/Polri, PNS, pegawai swasta, buruh
kasar, pedagang dan pelajar/mahasiswa. Jangkauan program penanggulangan
IMS-HIV/AIDS masih terbatas.
i
x
Saran
Program pencegahan primer IMS di kalangan WPS di Semarang perlu diperkuat dan
diperluas untuk meningkatkan jangkauan (minimal 80%), termasuk kelompok laki-laki
yang berpotensi menjadi pelanggan WPS. Program pencegahan sekunder IMS berupa
tatalaksana klinis IMS perlu diperkuat dan dipermudah aksesnya. Institusi penyedia
layanan IMS perlu dilengkapi dengan fasilitas laboratorium, sekurang-kurangnya
laboratorium sederhana, untuk mendiagnosis IMS. Program penguatan komponen
pendukung bagi penanggulangan IMS di Semarang perlu dilaksanakan untuk
meningkatkan keberhasilan program pencegahan primer dan sekunder yang sudah
ada. Pendidikan Kesehatan Reproduksi perlu diberikan sedini mungkin melalui
berbagai cara dan saluran di sekolah maupun luar sekolah. Pengukuran prevalensi
ISR di Semarang perlu terus dilakukan secara periodik (surveilans) agar didapat data
guna memonitor, mengevaluasi dan merencanakan upaya penanggulangan
IMS-HIV/AIDS selanjutnya.
xii
i
I
PENDAHULUAN
I
nfeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) diketahui
mempermudah penularan HIV. Selain itu, IMS juga merupakan petunjuk adanya perilaku
seksual yang berisiko. Prevalensi IMS yang tinggi pada suatu populasi di suatu tempat
merupakan pertanda awal akan risiko penyebaran HIV, walaupun prevalensi HIV masih
rendah. Di Indonesia, epidemi HIV sudah bersifat terkonsentrasi, dengan prevalensi HIV
pada WPS (Wanita Penjaja Seks) di beberapa tempat lebih dari 5%, bahkan pernah
mencapai 26,5% di Merauke (Papua). 1,2 Dengan prevalensi IMS pada WPS yang tinggi
sebagaimana dilaporkan di beberapa tempat, 3,4,5,6,7,8 dikhawatirkan penyebaran HIV di
Indonesia akan makin meluas. Oleh karena itu, data prevalensi IMS perlu diamati secara
periodik melalui surveilans IMS. Data tersebut dapat menjadi informasi dalam
merencanakan, melaksanakan, memonitor serta mengevaluasi program untuk
meningkatkan mutu upaya penanggulangan IMS- HIV/AIDS.
Di samping menunjukkan risiko penyebaran HIV, prevalensi IMS dapat memvalidasi data
perilaku penggunaan kondom yang didapat dari surveilans perilaku. Kurangnya perilaku
penggunaan kondom akan tergambar dengan tetap tingginya prevalensi IMS. Di lain
pihak, peningkatan penggunaan kondom akan lebih cepat tergambar melalui penurunan
prevalensi IMS daripada penurunan prevalensi HIV. Penurunan prevalensi IMS juga
dapat memberikan gambaran perluasan cakupan dan peningkatan kualitas program
penanggulangan IMS dan HIV/AIDS. 9 Data dari surveilans IMS yang dianalisis secara
terintegrasi dengan data dari surveilans perilaku dan HIV dalam sistem surveilans
generasi kedua, sebagaimana direkomendasikan WHO pada tahun 2000, akan
memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai kecenderungan (trend) perilaku
seksual, potensi penyebaran HIV, serta menjadi alat manajemen (perencanaan,
pelaksanaan, monitor, evaluasi, memperbaiki perencanaan) program penanggulangan
IMS/HIV/AIDS. 10 Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) pada WPS,
yang diselenggarakan oleh Sub Direktorat AIDS & PMS, Direktorat Jendral
1
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia
bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan Program
ASA pada tahun 2003, melaporkan bahwa di 7 kota yang diteliti terdapat 54% - 75%
WPS lokalisasi, 48% - 77% WPS tempat hiburan, dan 62% - 93% WPS jalanan yang
terinfeksi satu atau lebih ISR yang diteliti. 11 Khusus kota Semarang, dilaporkan terdapat
57% WPS lokalisasi dan 68% WPS jalanan yang terinfeksi satu atau lebih ISR yang
diteliti. 12 Prevalensi tiap jenis ISR pada WPS di Semarang pada tahun 2003, dijelaskan
pada tabel 1.
Kandidiasis vaginalis 4% 2% 4%
*
Koreksi Laporan Prevalensi ISR pada Wanita Penjaja Seks di Semarang, Indonesia, 2003 (Buku Lama):
Tertulis: berturutturut WPS Lokalisasi, Jalanan dan Total WPS Langsung: Sifilis dini: 2%, 0%, 2%; Sifilis laten lanjut: 6%,
8%, 6%; BV: 67%, 72%, 68%. 12
Laporan lain dari beberapa lokasi di Indonesia antara tahun 1999 dan 2001 menunjukkan
prevalensi gonore dan klamidia yang tinggi, yaitu antara 20-35%, 3,4,7,8 dan prevalensi
serologi sifilis positif pada WPS di Jawa Tengah tahun 1994 – 2001 berkisar antara 0 –
14,4%. 6 Angka-angka prevalensi yang dilaporkan dari pengamatan dan pengukuran
yang masih bersifat sporadis tersebut di atas tergolong tinggi.
3
>
II
TUJUAN
Di samping itu, penelitian ini juga mendeskripsikan karakteristik demografis dan perilaku seksual
berisiko tinggi para WPS yang diteliti.
WPS tidak langsung, yang selain mempunyai pekerjaan utama lain juga
secara tidak langsung menjajakan seks di tempat-tempat hiburan seperti
pramupijat, pramuria bar / karaoke
Perhitungan besar sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan praduga
proporsi dalam satu sampel. 13 Rata-rata proporsi praduga, yang dihitung dari rata-rata
prevalensi beberapa ISR pada penelitian sebelumnya (gonore 27,12%, infeksi
klamidiasis 24,71%, trikomoniasis 9,50%, sifilis 4,12%, bakterial vaginosis 27,35%)
adalah 19 %. 11
5
kepercayaan (CI) 95% dan penyimpangan terhadap nilai prevalensi sebenarnya 5%, didapatkan
besar sampel 237.
Untuk menjaga agar perkiraan penyimpangan tidak terlalu jauh dari 5% pada prevalensi ISR
yang lebih tinggi dari proporsi praduga yang digunakan dan mempertimbangkan aspek
i
n = Jumlah sampel
Z = Nilai uji – t statistik pada batas kepercayaan 95% atau setara dengan 1.96
P = Proporsi praduga ISR yang akan diteliti
d = Perkiraan penyimpangan terhadap nilai prevalensi sebenarya (True Prevalence) yang besarnyadisesuaikan
dengan prevalensi. Secara umum nilai D yang sering dianggap bermakna adalah 5%.
pembiayaan maka jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini dinaikkan menjadi
250.
Diperkirakan 25% dari WPS yang diundang tidak hadir atau tidak memenuhi kriteria,
maka sekitar 333 WPS akan diundang untuk berpartisipasi. Rasio sampel WPS langsung
dan tidak langsung ditetapkan secara proporsional sesuai dengan besarnya populasi.
Pemetaan populasi yang akan diteliti dilakukan sebagai dasar penyusunan kerangka
sampel. Berdasarkan proporsi besar populasi WPS langsung dan tidak langsung,
ditetapkan jumlah masing-masing populasi yang akan diundang untuk berpartisipasi.
Selanjutnya dilakukan proses pengambilan sampel dua tahap. Pada tahap pertama
dilakukan pengambilan sampel kluster secara probability proportional to size (pps). Pada
tahap kedua dilakukan pengambilan sampel WPS secara acak di dalam kluster terpilih.
Data dikumpulkan oleh tim inti yang bekerja sama dengan tim keliling dan tim lokal. Tim
inti terdiri dari ketua pelaksana dan peneliti utama yang dibantu oleh 5 dari 8 peneliti
penyerta yang berasal dari Ditjen PP&PL, Badan Litbangkes, dan Program ASA/FHI. Tim
keliling terdiri dari staf Badan Litbangkes dan staf dari beberapa LSM yang selama ini
Kesehatan dan Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Staf Dinas
Kesehatan dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan serta Bagian Sosial Pemerintah Kota
Semarang, wakil dari Persatuan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Semarang yang
ditunjuk oleh Dinas Kesehatan Kota, Puskesmas Lebdosari dan Puskesmas Mangkang,
dan LSM (Kalandara, dan Griya ASA PKBI Kota Semarang). Kualitas teknis proses
>
pengambilan data dipantau oleh pemantau teknis dari bagian Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia – Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
WPS yang datang memenuhi undangan untuk menjadi peserta penelitian diminta
menukarkan undangan dengan kartu nomor identifikasi. Tujuan, prosedur penelitian
serta keuntungan yang akan didapat dan kemungkinan efek samping dijelaskan. Setelah
memperoleh penjelasan, apabila WPS tersebut bersedia ikut dalam penelitian, ia diminta
memberikan pernyataan persetujuan (informed consent) secara lisan. Seorang saksi
akan ikut menandatangani surat persetujuan tersebut. WPS tidak dimintai persetujuan
secara tertulis dengan tanda tangan sebagai bagian dari upaya membuat penelitian ini
anonymous serta untuk melindungi WPS dari risiko mendapatkan perlakuan diskriminatif
maupun kekerasan lain yang tidak diinginkan dari pihak manapun.
7
gonore dan klamidia, serta pengobatan yang diberikan adalah pengobatan untuk kedua
penyebab infeksi tersebut sekaligus.
>
III.7 Pemeriksaan Laboratorium
Dasar diagnosis yang digunakan untuk pengukuran prevalensi tidak sama dengan dasar
diagnosis untuk kepentingan pengobatan seperti tertera dalam tabel 1 di atas, kecuali
untuk bakterial vaginosis, kandidiasis vaginalis, dan sifilis. Pemeriksaan laboratorium
yang menjadi dasar diagnosis untuk pengukuran prevalensi ISR tertera dalam tabel 2 di
bawah.
Sampel
Diagnosis Tes Laboratorium Biologis Tempat Tes
9
Cairan
Trikomoniasis Kultur, In Pouch ® Klinik Setempat
endoserviks
>
IV
HASIL
IV.1 Rekrutmen
Sampel WPS tidak langsung diambil dari bar, karaoke, diskotik, dan panti pijat yang
tersebar di kota Semarang. Sedangkan sampel WPS langsung diambil dari lokalisasi
Sunan Kuning, Gambilangu dan jalanan (Jl. A. Yani, Jl. Pemuda, Johar – Mberok, Polder
– Tawang, Simpang Lima, Tanggul Indah). Realisasi proses pemilihan dan
pengikutsertaan sampel tertera dalam tabel 4 di bawah.
Tidak Gugur
Besar Ikut
Kelompok Diundang Hadir Menolak penuhi dalam
Populasi Serta
kriteria sampling
WPS
Langsung 1049 326 266 4 25 61 176
Sesuai proporsi besar populasi (67% WPS langsung dan 33% WPS tidak langsung),
undangan seharusnya diberikan kepada 223 WPS langsung dan 100 WPS tidak
langsung. Tetapi karena jumlah WPS langsung dan tidak langsung yang ada di beberapa
kluster terpilih melebihi jumlah yang seharusnya diundang (cluster size), dan situasi
dilapangan tidak memungkinkan untuk mengundang sebagian saja, maka diputuskan
untuk mengundang semua WPS langsung dikluster tersebut.
Dari 326 WPS langsung yang diundang, 266 yang hadir. Di antara mereka, terdapat 4
orang yang menolak ikut serta (4 orang tidak bersedia menjalani pemeriksaan fisik dan
pengambilan cairan endoserviks) dan 25 orang yang tidak memenuhi kriteria (3 orang
sedang hamil, 3 orang mengaku tidak menjajakan seks, 18 orang sedang haid). Dengan
demikian tinggal 176 WPS langsung yang ikut serta.
Dari 427 WPS tidak langsung yang diundang, 119 yang hadir. Tidak ada yang menolak
ikut serta, 11 orang tidak memenuhi kriteria (4 orang sedang haid, 7 orang mengaku tidak
menjajakan seks).
Jumlah sampel yang memenuhi kriteria melebihi target yang ditetapkan, oleh karena itu dilakukan
pemilihan secara acak 250 sampel dari 345 WPS yang hadir dan memenuhi
kriteria.
Secara umum, umur WPS di Semarang berkisar antara 17 - 45 tahun. Mungkin ada WPS
yang berusia di bawah 15 tahun atau di atas 50 tahun, namun mereka tidak memenuhi
kriteria untuk diikutsertakan dalam penelitian ini.
Umur WPS langsung berkisar antara 17 - 45 tahun, dengan median 26 tahun. Sedangkan
umur WPS tidak langsung berkisar antara 17 - 44 tahun, dengan median juga 29 tahun.
Struktur umur WPS langsung di Semarang pada penelitian ini tidak jauh berbeda
11
dengan hasil penelitian tahun 2003 (median umur WPS langsung 26 tahun), sedangkan
WPS tidak langsung tidak dapat dibandingkan karena pada penelitian tahun 2003 tidak
ada responden WPS tidak langsung. 12 Distribusi umur WPS penting untuk diperhatikan,
karena makin muda umur seorang wanita, makin rawan tertular IMS-HIV.
>
Median umur pertama kali berhubungan seks WPS langsung 17 tahun dan yang tidak
langsung 18 tahun. Umur termuda saat pertama kali berhubungan seks WPS langsung
adalah 11 tahun dan yang tidak langsung 13 tahun. Sebagian besar WPS telah
berhubungan seks sebelum usia 20 tahun. Umur termuda saat pertama kali berhubungan
seks WPS langsung pada penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya yaitu 11
tahun. 12
Tingkat pendidikan WPS langsung lebih rendah dibandingkan dengan WPS tidak
langsung Sebagian besar WPS langsung (90%) berpendidikan SMP ke bawah, bahkan
2% mengaku tidak pernah duduk di bangku sekolah.
Hanya 19% WPS langsung dan 55% WPS tidak langsung yang berstatus menikah, tetapi
ada 47% WPS langsung dan 50% WPS tidak langsung yang mempunyai pacar. Status
menikah dan mempunyai pacar tidak bersifat mutually exclusive (yang berstatus menikah
dapat juga mempunyai pacar). Di antara WPS yang tidak menikah, sebagian besar
berstatus cerai hidup, sebagian kecil cerai mati, dan sebagian lagi memang belum
menikah. Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, proporsi WPS langsung yang
menikah sekitar 1,5 kali lebih besar. Sedangkan proporsi WPS langsung yang
mempunyai pacar sedikit lebih tinggi (43%). 12
Lebih dari setengah WPS langsung (67%) maupun tidak langsung (83%) menggunakan
alat kontrasepsi. Di antara yang memakai kontrasepsi, sebagian besar dengan metoda
hormonal (suntik atau pil). Tidak ada satupun WPS langsung dan hanya 1% WPS tidak
langsung yang menggunakan kondom sebagai alat kontrasepsi.
Pendidikan
Tidak Pernah Sekolah 3 (2%) 0 (0%) 3 (1%)
SD 95 (54%) 60 14 (19%) 27 109 (44%)
SMP (34%) (36%) 87 (35%)
SMA Akademi/PT 18 (10%) 30 (41%) 48 (19%)
0 (0%) 3 (4%) 3 (1%)
Pasangan Tetap & Stat us Pernikahan
13
>
Median lama kerja WPS langsung 1,5 tahun dengan masa kerja terlama 15 tahun.
Median lama kerja WPS tidak langsung 2 tahun dengan masa kerja terlama 12 tahun.
Secara umum tampaknya masa kerja WPS langsung lebih lama dibandingkan WPS tidak
langsung. Dalam penelitian ini dibedakan antara lama kerja sebagai WPS dan lama kerja
sebagai WPS khusus di lokasi yang diteliti, karena dari penelitian terdahulu diketahui
bahwa mereka sering berpindah-pindah lokasi kerja. Sekitar setengah dari WPS yang
diteliti baru bekerja di lokasi penelitian selama kurang dari setahun.
Sebagian besar WPS di Semarang berasal dari Jawa Tengah. Namun ada juga yang
berasal dari provinsi lain yang dekat, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Yogyakarta,
dan provinsi yang jauh, seperti dari Lampung, Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat.
Sebanyak 14 WPS langsung menyatakan pernah menjual seks di provinsi lain. Provinsi
yang pernah menjadi lokasi para WPS tersebut dalam 2 tahun terakhir antara lain Riau
(1 WPS), Sumsel (1), DKI Jakarta (6), Jawa Timur (3), dan Kalimantan Barat (3). WPS
Median jumlah pelanggan seminggu terakhir bagi WPS langsung sebanyak 7 orang dan
WPS tidak langsung 5 orang. Dibandingkan penelitian sebelumnya (median 3 orang, 4%
mendapat <2 orang pelanggan), tampaknya terjadi peningkatan 2 kali untuk jumlah
pelanggan WPS langsung. 12
>
Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa terdapat berbagai macam kelompok laki-laki yang
dinyatakan sebagai pelanggan tersering oleh para WPS. Lebih dari seperlima
15
(19%) WPS langsung dan lebih dari sepertiga (35%) WPS tidak langsung menyatakan
pelanggan tersering mereka adalah karyawan swasta. Pelanggan tersering yang lainnya
terdiri dari kelompok laki-laki yang selama ini dianggap berperilaku seksual risiko tinggi
(orang asing, supir) dan yang selama ini dianggap kurang/tidak berperilaku seksual risiko
tinggi (pedagang, TNI/Polri, PNS, pedagang, buruh, dan pelajar). Hal ini tidak berbeda
dari hasil penelitian sebelumnya. 12
Terdapat perbedaan proporsi jenis pelanggan antara WPS langsung dan tidak langsung.
Proporsi WPS tidak langsung yang menyatakan pelanggan tersering adalah pegawai
swasta dan PNS jauh lebih besar dibandingkan WPS langsung, selain itu 4%
pelanggannya adalah orang asing.
Dari pemeriksaan fisik dengan spekulum untuk melihat vagina dan endoserviks, tanda
yang didapatkan adalah cairan tidak jernih dari vagina, yaitu pada 77 WPS tidak
langsung (44%) dan 40 WPS tidak langsung (54%). Cairan tidak jernih dari endoserviks
ditemukan pada 121 WPS langsung (69%) dan 45 WPS tidak langsung (61%).
Ditemukan 1 orang dengan ulkus pada pemeriksaan fisik.
Pada penelitian ini ditemukan prevalensi gonore dan klamidia pada WPS di kota
Semarang secara umum sebesar 32% dan 56%. Pada WPS langsung prevalensi gonore
dan klamidia ditemukan sebesar 40% dan 62%, sedang pada yang tidak langsung
sebesar 12% dan 43%. Infeksi ganda gonore dan klamidia dilaporkan sering terjadi, yaitu
24% secara umum; pada WPS langsung 30%, dan yang tidak langsung 9%.
Prevalensi trikomoniasis vaginalis secara umum 8%, pada WPS langsung 11% dan yang
tidak langsung 3%. Prevalensi bakterial vaginosis secara umum 57%, pada WPS
17
langsung 55% dan yang tidak langsung 62%. Prevalensi vaginal kandidiasis secara
umum 2%, pada WPS langsung 2% dan yang tidak langsung 3%.
Prevalensi sifilis laten secara umum 6%, pada WPS langsung 9%, tidak langsung 1%.
Prevalensi serologi positif (Immunoglobulin G) herpes simpleks tipe 2 secara umum
97%, WPS langsung 98% dan yang tidak langsung 96%.
Dalam penelitian ini ditemukan 43 (27%) kasus yang positif gonore atau klamidia
(pemeriksaan PCR), 11 (52%) kasus trikhomoniasis, 56 (100%) kasus sifilis dan 242
(99%) infeksi herpes simpleks tipe 2 yang tidak menunjukkan tanda pada pemeriksaan
fisik.
18
PENJAJA
>
SEKS
LAINFEPOKSIRAN S HALUASIRANL P RENEEPRLITIAODUNKSI PRE PVAADLAE WNSI ANITA
19
IV.6.2 Perilaku Pencegahan yang Keliru
Terdapat sedikitnya 2 macam perilaku pencegahan terhadap IMS-HIV yang keliru yang
dipraktekkan oleh WPS di Semarang. Yang pertama adalah minum antibiotik dengan
dosis tidak tepat (38% WPS langsung, 51% WPS tidak langsung), antibiotik yang
diminum antara lain supertetra, tetrasiklin, ampisilin, amoksilin dan siprofloksasin.
Perilaku pencegahan keliru yang kedua adalah mencuci vagina, yang dilakukan sendiri
oleh 94% WPS langsung dan 97% WPS tidak langsung. Yang dimaksud dengan cuci
vagina ialah membersihkan liang vagina dengan cara memasukkan cairan sampai mulut
rahim. Cuci vagina dilakukan menggunakan bermacam bahan seperti odol/pasta gigi,
sabun, air sirih dan produk kimia cairan cuci vagina yang diiklankan di media massa.
20
PENJAJA
>
SEKS
LAINFEPOKSIRAN S HALUASIRANL P RENEEPRLITIAODUNKSI PRE PVAADLAE WNSI ANITA
Pada umumnya, IMS tidak menimbulkan gejala pada wanita. Dalam penelitian ini, hanya
8,4% (WPS langsung 9%, tidak langsung 7%) yang mempunyai keluhan ketika
diperiksa. Dalam 3 bulan terakhir, ketika mengalami gejala IMS, sebagian besar WPS
(61% WPS langsung, 69% tidak langsung) tidak melakukan pengobatan yang benar
(tidak diobati sama sekali, membeli obat sendiri atau menggunakan obat tradisional).
Bagi yang berobat, terdapat 3 tempat berobat yang sering didatangi, yaitu klinik swasta
(termasuk klinik LSM), puskesmas dan dokter praktek swasta.
Terdapat sedikit perbedaan pola perilaku pengobatan antara WPS langsung dengan
tidak langsung. Lebih banyak WPS langsung yang berobat ke klinik swasta, dalam hal
ini klinik LSM yang melaksanakan program HIV/AIDS bagi WPS langsung/jalanan,
sedangkan WPS tidak langsung lebih banyak berobat ke dokter praktek swasta.
Ada 3 perilaku pengobatan yang salah yang dipraktekkan oleh para WPS. Yang pertama
adalah tidak mengobati sama sekali, yang dilakukan oleh 9% WPS langsung dan 3%
yang tidak langsung. Yang kedua, pengobatan tradisional oleh 6% WPS langsung
21
dan 21% yang tidak langsung. Tidak diketahui apa jenis pengobatan tradisional yang
dimaksud. Yang ketiga adalah membeli obat sendiri/mengobati sendiri, oleh hampir
setengahnya yaitu 48% WPS langsung dan 45% tidak langsung.
Dalam 3 tahun terakhir telah dilaksanakan program penjangkauan dan program klinik
IMS bagi WPS langsung maupun tidak langsung di Semarang. Ternyata lebih banyak
WPS langsung yang dicakup dalam program penjangkauan maupun program klinik.
22
PENJAJA
>
SEKS
LAINFEPOKSIRAN S HALUASIRANL P RENEEPRLITIAODUNKSI PRE PVAADLAE WNSI ANITA
V
DISKUSI
23
laboratorium untuk trikomoniasis pada tahun 2003 adalah sediaan basah, pada tahun
2005 kultur (In Pouch ® ).
Untuk membandingkan prevalensi gonore dan klamidia tahun 2003 dengan 2005
dilakukan perhitungan konversi berdasarkan hasil tes GenProbe pada 70 sub sampel
(20% dari total sampel). Diperoleh estimasi prevalensi gonore secara umum tahun 2005
sebesar 16% dan klamidia 27% (lihat Tabel 6). Sedangkan estimasi prevalensi gonore
dan klamidia tahun 2005 khusus untuk WPS langsung adalah 20% dan 30% (lihat Tabel
7).
Dibandingkan dengan hasil penelitian tahun 2003, prevalensi sifilis pada WPS langsung
tahun 2005 lebih tinggi (9% dibandingkan dengan 7%). Demikian pula prevalensi
bakterial vaginosis pada WPS langsung tahun 2005 jauh lebih tinggi daripada tahun
2003 (55% dibandingkan dengan 21%).
Gonore Klamidia
# Genprobe positif pada spesimen dengan
Genprobe & PCR
8/70 18/70
# PCR positif pada spesimen dengan Genprobe &
PCR
16/70 38/70
24
PENJAJA
>
SEKS
LAINFEPOKSIRAN S HALUASIRANL P RENEEPRLITIAODUNKSI PRE PVAADLAE WNSI ANITA
Trikomoniasis 6% 4%* - 1% *
Kandidiasis 4% 2% - 3%
Sifilis 7% 9% - 1%
*Prevalensi setelah penyesuaian
Kandidiasis vaginalis dan bakterial vaginosis tidak ditularkan melalui hubungan seksual,
melainkan merupakan infeksi yang berlokasi di saluran reproduksi. Kedua infeksi ini
mengakibatkan gangguan epitel vagina sehingga meningkatkan kerawanan terhadap
infeksi HIV. Adanya bakterial vaginosis menunjukkan bahwa keseimbangan flora normal
vagina terganggu, yaitu berkurangnya jumlah lactobacillisehingga pH vagina menjadi
basa, suatu keadaan yang kondusif untuk infeksi HIV. 16
Prevalensi HSV-2 tidak diukur pada penelitian tahun 2003. Hasil pengukuran prevalensi
pada tahun 2005 ini sangat tinggi (97% total, 98% WPS langsung, 96% WPS tidak
langsung). Hasil penelitian ini masih dalam kisaran yang sama dengan yang pernah
dikutip oleh Ashley dan Wald bahwa prevalensi serologis HSV-2 pada WPS di berbagai
negara di seluruh dunia berkisar antara 60% dan 90%, 18 namun lebih tinggi dari yang
pernah dilaporkan oleh Sulastomo pada tahun 2003 yaitu prevalensi Ig G HSV-2 pada
WPS Jalanan (n=79) di Jakarta sebesar 60%. 19 Dalam penelitian ini didapatkan hanya
16% WPS langsung dan 18% WPS tidak langsung dengan serologi positif HSV-2 yang
menyatakan pernah mengalami luka koreng di kelamin dalam waktu setahun
25
terakhir. Menurut Patrick dan Money, sekitar 80% kasus serologis HSV positif tidak
disertai riwayat gejala. 19
Infeksi virus herpes simpleks bersifat infeksi yang menetap seumur hidup, meskipun
tidak selalu menunjukkan manifestasi klinis. Manifestasi klinis bersifat kambuhan dari
waktu ke waktu, termasuk jika kekebalan seseorang menurun akibat infeksi HIV
(menjadi infeksi oportunistis). Sifat kambuhan ini merupakan beban kesehatan maupun
psikoseksual bagi penderitanya. Infeksi yang bersifat seumur hidup mempunyai arti si
penderita menjadi sumber penularan seumur hidupnya, walaupun pada kasus sub-klinis/
tanpa gejala klinis daya penularannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang
disertai gejala klinis berupa lesi atau ulkus herpetik. Namun justru karena tidak adanya
lesi, aktivitas seksual tetap tinggi sehingga penularan infeksi virus herpes simplek
terutama terjadi dari penderita tanpa gejala klinis. Walaupun gejala klinis infeksi ini
ringan pada pihak sumber penularan, manifestasinya pada pihak yang tertular dapat
lebih berat. 17,20,21,22
Penelitian ini menunjukkan banyaknya ISR tanpa tanda dan gejala. Karena itu,
dibutuhkan program penapisan IMS secara berkala di kalangan WPS dengan
pemeriksaan penunjang, sekurang-kurangnya pemeriksaan laboratorium sederhana.
26
PENJAJA
>
SEKS
LAINFEPOKSIRAN S HALUASIRANL P RENEEPRLITIAODUNKSI PRE PVAADLAE WNSI ANITA
Selain meningkatkan risiko penyebaran HIV, tingginya prevalensi IMS dan ISR disertai
perilaku pengobatan yang keliru, seperti mengobati sendiri, berobat tradisional, dan tidak
berobat (gambar 8) dapat menimbulkan beban penyakit yang tinggi maupun masalah
sosial yang cukup besar di kemudian hari. Komplikasi yang dapat timbul, baik pada WPS
maupun pelanggan serta isteri/anak pelanggan, antara lain: gonore dan klamidia dapat
menyebabkan kelainan pada bayi dan neonatus, kebutaan pada anak dan dewasa,
penyakit radang panggul, kehamilan ektopik / di luar kandungan, infertilitas / kemandulan
pada laki-laki maupun wanita, dan striktura uretra / penyempitan saluran kencing pada
laki-
laki. 22,24
Ada dugaan terdapat infertilitas pada WPS yang diteliti akibat IMS berulang dan
pengobatan yang tidak tuntas. Dugaan ini didasarkan pada angka kehamilan dan angka
pemakaian kontrasepsi sangat rendah, padahal mereka ada dalam usia reproduktif dan
sangat aktif secara seksual. Namun hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
Ko-infeksi IMS dengan HIV dapat mengubah perjalanan alamiah IMS secara umum,
antara lain manifestasi klinis dapat lebih parah, IMS menjadi lebih mudah menular, masa
penularan IMS menjadi makin panjang, respon terhadap pengobatan menurun, dan
mempercepat perjalanan HIV menjadi AIDS. 23
Program penanggulangan IMS yang telah ada di Semarang sangat penting dan perlu
ditingkatkan. Secara umum, program penanggulangan IMS mempunyai 3 tujuan, yaitu
untuk memutus rantai penularan IMS, memutus perjalanan alamiah penyakit dan
mencegah timbulnya komplikasi, serta menurunkan risiko penularan HIV. Strategi utama
terdiri dari: pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan penguatan komponen
pendukung. 23
27
>
Pencegahan primer terdiri dari intervensi perubahan perilaku untuk mengurangi perilaku
seksual berisiko (termasuk promosi dan jaminan ketersediaan serta keterjangkauan
kondom di lokasi transaksi seks), menghindari perilaku pencegahan yang keliru dan
meningkatkan perilaku mencari pengobatan IMS yang benar. 23,24 Cakupan program
pencegahan primer secara umum telah cukup baik (gambar 9 dan 10) namun belum
terjadi perubahan perilaku sebagaimana diharapkan.
Penapisan dan pengobatan IMS saja, tanpa peningkatan pemakaian kondom yang
konsisten, tidak akan dapat optimal menurunkan prevalensi IMS. Hal itu terkait risiko
pekerjaan WPS yang selalu terpapar sumber penularan pada saat melayani
pelanggannya. Makin banyak jumlah pelanggan, makin besar kemungkinan salah satu
di antaranya menularkan IMS-HIV kepada WPS.
Penelitian ini menunjukkan bahwa kondom tidak banyak dipakai sebagai alat
kontrasepsi, sehingga ada peluang untuk bekerja sama dengan penyedia layanan
KB/kontrasepsi agar mereka menawarkan kondom sebagai metoda perlindungan ganda
terhadap kehamilan maupun penularan IMS-HIV.
Berbagai kelompok laki-laki perlu mendapat intervensi program, karena mereka semua
berpotensi menjadi pelanggan WPS (gambar 3 dan 4) Oleh karena, itu kerja sama
dengan berbagai instansi yang menjadi tempat bekerja atau berkumpulnya para
pelanggan sangat diperlukan. Selain pelanggan, suami dan pacar WPS merupakan
kelompok pasangan seks para WPS yang perlu diperhatikan dalam promosi
28 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI SEMARANG, JAWA TENGAH, INDONESIA, 2005
penggunaan kondom. Sebuah penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa WPS
cenderung melakukan hubungan seks yang lebih berisiko (tanpa kondom) dengan
pasangan yang mereka anggap aman (pacar atau suami). 26
Selain promosi kondom, program perlu juga mengoreksi perilaku pencegahan dan
perilaku pengobatan IMS yang salah, seperti minum antibiotika dan cuci vagina. Perilaku
minum antibiotik yang bersifat under/mis treatment (pengobatan yang tidak tepat dosis
maupun tidak tepat pilihan) berpotensi menyebabkan resistensi mikroorganisme
terhadap antibiotika. Sedangkan cuci vagina menyebabkan penipisan epitel vagina
sehingga mempermudah terjadinya luka sebagai pintu masuk IMS-HIV. Selain itu, cuci
vagina mengubah pH vagina menjadi basa. Kondisi vagina yang basa ini kondusif untuk
pertumbuhan organisme penyebab IMS. 27,28
,29 Secara umum perilaku dan persepsi yang keliru ini kontra-produktif terhadap perilaku
pencegahan yang benar, yaitu penggunaan kondom secara konsisten untuk melindungi
diri dari penularan IMS-HIV, karena timbul rasa aman yang semu.
Pencegahan sekunder meliputi manajemen klinis IMS bagi penderita dengan diagnosis
dan terapi yang akurat dan konseling serta rujukan pasangan seks, serta skrining/
penapisan berkala bagi kelompok berperilaku risiko tinggi. Untuk pencegahan sekunder
dibutuhkan sarana penyediaan layanan IMS yang dapat diterima dan dimanfaatkan oleh
mereka yang membutuhkan.
Beberapa hal berikut ini perlu diperhatikan oleh sarana penyedia layanan IMS 24,26
- Kualitas layanan harus sesuai dengan standar prosedur tetap manajemen klinis
IMS
- Biaya terjangkau
29
>
Di Semarang telah ada klinik LSM yang menyediakan layanan IMS dengan
memperhatikan hal-hal tersebut di atas. 29 Klinik inilah yang diidentifikasi sebagai klinik
swasta yang dikunjungi oleh WPS (gambar 8 dan 9). Di antara pilihan perilaku
pengobatan yang benar, yang dilakukan oleh sedikit WPS, berobat ke klinik swasta /
LSM ini dipilih oleh lebih banyak WPS langsung.
Dalam tatalaksana IMS, apabila seorang WPS terinfeksi IMS, maka pasangan seks
tetapnya perlu juga diobati untuk mencegah fenomena pingpong. Penelitian ini
menunjukkan sebagian besar WPS mempunyai pasangan seks tetap, baik suami
maupun pacar. Namun belum diketahui apakah mereka telah terjangkau layanan IMS.
Di samping ke tiga strategi di atas, terdapat dua kegiatan lain yang penting untuk
menunjang program penanggulangan IMS-HIV, yaitu pengamatan penyakit/surveilans,
dan pengamatan resistensi obat untuk gonore. Hasil pengamatan ini akan menjadi
bahan untuk revisi kebijakan program dan pengobatan IMS secara nasional. 23,24
Satu karakteristik WPS yang menarik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah umur
yang muda saat pertama kali berhubungan seks (median 17 tahun, termuda 11 tahun,
sebagian besar sebelum 20 tahun). Hasil ini tidak berbeda dengan laporan DKT
(Dharmendra Kumar Tyagi) Indonesia bahwa lebih dari 50% kawula muda di 4 kota
besar di Indonesia berhubungan seks pertama kali menjelang usia 18 tahun, dan
terdapat 16% yang berhubungan seks pertama kali pada umur antara 13 dan 15
30 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI SEMARANG, JAWA TENGAH, INDONESIA, 2005
tahun. 31 Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi remaja perlu
diberikan sedini mungkin sebagai bekal menghindarkan diri dari tertular IMS-HIV.
>
VI
KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan
1. Prevalensi setiap jenis dari 7 ISR/IMS yang diteliti ternyata masih tinggi.
2. Sebagian besar kasus ISR/IMS tidak menunjukkan tanda dan gejala.
3. Konsistensi pemakaian kondom masih sangat rendah. Bahkan perilaku sama sekali
tidak menggunakan kondom masih tinggi.
4. Proporsi perilaku pencegahan yang didasarkan pada persepsi yang salah tentang
antibiotik dan cuci vagina masih tinggi.
5. Proporsi perilaku pencarian pengobatan IMS yang salah (tidak diobati, diobati
sendiri, dan obat tradisional) masih tinggi.
6. Pelanggan WPS ternyata bukan hanya kelompok laki-laki yang selama ini
diasumsikan berperilaku seksual risiko tinggi (ABK, nelayan, sopir), melainkan juga
kelompok lain, seperti TNI/Polri, PNS, pegawai swasta, buruh kasar, pedagang,
pelajar/mahasiswa.
31
VI.2 Saran
1. Program pencegahan primer IMS di Semarang perlu diperkuat dan diperluas untuk
meningkatkan jangkauan, minimal 80% dari WPS lokalisasi, jalanan maupun tempat
hiburan, serta menjangkau sebanyak mungkin kelompok laki-laki.
2. Program pencegahan sekunder IMS di Semarang berupa tatalaksana klinis IMS bagi
mereka yang terinfeksi perlu diperkuat dan dipermudah aksesnya bagi mereka yang
membutuhkan (pekerja seks, pelanggan pekerja seks).
6. Peredaran antibiotika perlu diatur dengan lebih baik untuk mengurangi perilaku
pencegahan dan pengobatan IMS yang salah
1
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Surveilans HIV. Jakarta; 2004.
2
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Republik Indonesia. HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual
Lainnya di Indonesia: Tantangan dan Peluang Untuk Bertindak. Jakarta: KPA Nasional RI; 2001.
3
Surjadi C, Pariani S, Sumampouw J, Arief H. Penilaian Kedua Studi Prevalensi Penyakit Menular
Seksual pada Pekerja Seks Perempuan di Jakarta Utara, Surabaya, Manado/Semarang. Jakarta:
HIV/AIDS Prevention Project (HAPP) FHI IndonesiaUSAID dan Jaringan Epidemiologi Nasional;
2000.
4
Silitonga N, Donegan E, Wignall FS, Moncada J, Scachter J. Prevalence of N. gonorrhoeae and C.
trachomatis Infection among Commercial Sex Workers in Timika, Irian Jaya, Indonesia. Denver:
PT Freeport Indonesia, Timika, Irian Jaya and University of California San Francisco;
1999.
5
Rosana Y, Sjahrurachman A, Sedyaningsih ER, Simanjuntak CH, Arjoso S, Daili SF, Judarsono J,
Ningsih I. Studi resistensi N. gonorrhoeae yang diisolasi dari pekerja seks komersial di beberapa tempat
di Jakarta (Antimicrobial susceptibility pattern of N. gonorrhoeae isolated from female com mercial sex
workers in Jakarta). Jurnal Mikrobiologi Indonesia 1999, 4:2, 60-63.
6
Presentasi Surveilans Sifilis dalam Pertemuan Evaluasi Surveilans, Ditjen PPM&PL, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 2005.
7
Miller P, Otto B. Prevalence of Sexually Transmitted Infections in Selected Populations in
Indonesia.Jakarta: Indonesia HIV/AIDS and STD Prevention and Care Project – AusAID; 2001.
8
Sedyaningsih ER, Rahardjo E, Lutam B, Oktarina, Sihombing S, Harun S. Validasi pemeriksaan infeksi
menular seksual secara pendekatan sindrom pada kelompok wanita berperilaku risiko tinggi. Buletin
Penelitian Kesehatan (2001) 28: 3-4, 460 - 472.
9
World Health Organization and UNAIDS. Guidelines for Second Generation Surveillance for HIV: The
Next Decade. Geneva, World Health Organization (WHO/CDS/EDC/2000.05), 2000.
10
UNAIDS/WHO Working Group on Global HIV/AIDS/STI Surveillance. Guidelines for Effective Use of
Data from HIV Surveillance Systems. Geneva: 2004.
11
Jazan S, Sedyaningsih ER, Tanudyaya FK, Anartati AS, Gultom M, Purnamawati KA, Sutrisna A,
Nurjannah, Rahardjo E. Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi pada Wanita Penjaja Seks di
Jayapura,Banyuwangi,
Semarang, Medan, Palembang, Tanjung Pinang, dan Semarang, Indonesia, 2003. Jakarta: Direktorat
Jendral PPMPLP Departemen Kesehatan Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Indonesia, dan Aksi Stop AIDS Program – FHI Indonesia – USAID; 2004.
12
Jazan S, Sedyaningsih ER, Tanudyaya FK, Anartati AS, Gultom M, Purnamawati KA, Sutrisna A,
Nurjannah,
Rahardjo E. Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi pada Wanita Penjaja Seks di Semarang,
Indonesia,
33
2003. Jakarta: Direktorat Jendral PPMPLP Departemen Kesehatan Indonesia, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia, dan Aksi Stop AIDS Program – FHI
Indonesia – USAID; 2004.
13
Levy P & Lemeshow S. Sampling of populations: Methods and applications. New York, John Wiley &
Sons, 1991.
14
Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual . Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indo
nesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan; 2004.
15
Guidelines for the Management of Sexually Transmitted Infections. WHO; 2001.
16
Schmid G, Markowitz L, Joesoef R, Koumans E. Bacterial Vaginosis and HIV. Sexually Transmitted
Infection 2003; 76(1):34.
17
Ashley RL, Wald A. Genital Herpes: Review of the Epidemic and Potential Use of Type-Specific
Serology. Clinical Microbiology Reviews 1999, 12:1, 1-8.
18
Sulastomo E. Prevalens Serologik Imunoglobulin G Virus Herpes Simpleks-1 dan Virus Herpes
Simpleks-2 Pada Pekerja Seks Komersial Wanita di Panti Rehabilitasi (Panti Sosial Karya Wanita
“Mulya Jaya” Pasar Rebo, Jakarta Timur). Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2004.
19
Patrick DM, Money D. Should Every STD Clinic Patient Be Considered for Type-specific Serological
Screening for HSV Herpes 2002; 9: 324.
20
Arya OP, Hart CA. Herpes Simplex Virus Infection. In O.P. Arya and C.A. Hart (eds). Sexually
Transmitted
Infections and AIDS in the Tropics. Cabi Publishing, Liverpool, 1998.
21
Butina M R. Genital Herpes. Acta Dermatologica 2000; 9(1).
22
Donovan B. Sexually Transmissible Infections Other Than HIV. Lancet 2004; 363: 54556.
23
Meheus A. Control of STI, HIV and AIDS. In O.P. Arya and C.A. Hart (eds). Sexually Transmitted
Infections and AIDS in the Tropics. Cabi Publishing, Liverpool, 1998.
24
Sexually Transmitted Diseases: policies and principles for prevention and care. World Health Organi-
zation/UNAIDS. WHO/UNAIDS/97.6, 1997.
25
Sedyaningsih ER. Perempuan-perempuan Kramat Tunggak. Seri Kesehatan Reproduksi, Kebudayaan,
dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan – The Ford Foundation; 1999.
26
Thuy NTT, et al. HIV infection and risk factors among female sex workers in southern Viet Nam. AIDS
1998, 12:425 - 432.
27
Taha T, Hoover D, Dallabetta G, et al. Bacterial Vaginosis and Disturbances of Vaginal Flora:
Association with Increase Acquisition of HIV. AIDS 1998; 12:1699705.
28
Minimum standard for FHI-Indonesia sponsored STI Clinic, FHI Indonesia 2002.
29
Subagreement between Family Health International (FHI) and Perkumpulan Keluarga Berencana Indo
nesia Kota Semarang, pursuant to United States Agency for International Development (USAID) Coop
erative Agreement award number 497-A-00-00- 00038-00.
30
Studi Mengenai Perilaku Seksual Kawula Muda di 4 Kota Besar di Indonesia, Jakarta: DKT Indonesia,
KfW, Bill and Melinda Gates Foundation, Synovate, Summer Rosenstock; 2005.
35
ISBN : 979-25-3745-7