Anda di halaman 1dari 18

BAB II

DASAR TEORI

2.1.Geologi Regional
Secara Geologi , Terowongan Ijo termasuk masuk kedalam Peta Geologi
Lembar Banyumas. Menurut A.Asikin dkk pada tahun 1992, Terowongan Ijo secara
stratigrafi masuk dalam Formasi Halang.

Gambar 2.1 Peta Geologi lembar Banyumas (A. Asikin dkk, 1992).
2.1.1 Fisigrafi Regional
Menurut Van bemmelen (1949), berdasarkan sifat fisiografinya, secara
garis besar daerah Jawa Tengah dibagi menjadi enam bagian, yaitu :
1. Endapan Vulkanik Kuarter,
2. Dataran Aluvium Jawa Utara,
3. Antiklinorium Bogor, Rangkaian Pegunungan Serayu Utara serta Kendeng,
4. Zona Pusat Depresi Jawa Tengah,

6
5. Kubah dan Pegunungan Pusat Depresi, Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan,
6. Pegunungan Selatan Jawa Barat dan Jawa Timur.

Gambar 2.2 Fisiografi Jawa Tengah


Menurut Van Bemmelen, pegunungan di Jawa Tengah terbentuk oleh 2
puncak geoantiklin yaitu Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu
Selatan. Pegunungan Serayu Utara merupakan garis penghubung antara Zona
Bogor di Jawa Barat dengan Pegunungan Kendeng di Jawa Timur. Sedangkan
Pegunungan Serayu Selatan merupakan elemen yang muncul dari Zona Depresi
Bandung yang membujur secara longitudinal di Jawa Barat dan terdiri atas bagian
barat dan timur, yang keduanya dipisahkan oleh Lembah Jatilawang yang termasuk
kedalam Zona Pusat Depresi Jawa Tengah dan bagian baratnya merupakan tinggian
di dalam Zona Bandung di Jawa Tengah. Pegunungan ini merupakan antiklin yang
sederhana dan sempit di bagian barat, yaitu di sekitar Ajibarang. Sedangkan di
bagian timur Banyumas berkembang antiklinorium dengan lebar mencapai 30
kilometer yaitu di sekitar Lok Ulo. Bagian timur Pegunungan Serayu Selatan ini
merupakan struktur dome sedangkan dekat Jatilawang terdapat suatu antiklin yang
terpotong oleh Sungai Serayu. Antara Pegunungan Serayu Selatan dan Pegunungan
Serayu Utara terdapat Zona Depresi Serayu, atau lebih dikenal dengan sebutan
Zona Depresi Jawa Tengah. Depresi Jawa Tengah ini memanjang dari Majenang–
Ajibarang–Purwokerto–Jatilawang dan Wonosbo. Di antara Purwokerto dan

7
Banjarnegara, lebar dari zona ini sekitar 15 kilometer, tetapi di sebelah timur
Wonosobo semakin meluas dan secara setempat-setempat ditutupi oleh gunungapi
muda, di antaranya G. Sundoro (3155 m) dan G. Sumbing (3317 m) dan ke arah
timur Zona Depresi Jawa Tengah ini muncul kembali, yaitu di sekitar Datar
Temanggung, Magelang.
Sedangkan Pulau Nusakambangan merupakan kelanjutan Pegunungan
Serayu Selatan yang terbentang luas di Jawa Barat. Pegunungan Karangbolong
merupakan bagian dari lajur yang sama, tetapi terpisah baik dari yang terdapat di
Jawa Barat maupun yang terbentang dari selatan Yogyakarta ke timur. Berdasarkan
pembagian tersebut, daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Pegunungan Serayu
Utara (gambar 2.1), dan secara struktur termasuk ke dalam
Besuki Majenang High. Secara regional, Zona Pegunungan Serayu Utara
mempunyai relief yang agak menonjol membentuk jalur Pegunungan Slamet, dan
menuju ke arah selatan semakin melandai membentuk Cekungan Serayu.

2.1.2 Stratigrafi Regional


Pembahasan stratigrafi regional dimaksudkan untuk memberikan gambaran
umum dari beberapa formasi yang erat hubungannya dengan stratigrafi daerah
penelitian dan diuraikan dari satuan yang tua ke satuan yang lebih muda.
Menurut Peta Geologi Banyumas (Djuri, Samodra, Amin dan Gafoer, 1996), urutan
stratigrafi regional daerah penelitian masuk kedalam Formasi Halang.
Formasi Halang tersusun atas batupasir andesit, konglomerat tufan dan
napal, bersisipan batupasir. Formasi ini berumur Miosen Akhir dan memiliki
ketebalan hingga 800 meter (Djuri, Samodra, Amin dan Gafoer, 1996). Menurut
Kastowo dan Suwarna (1996) di dalam Stratigraphic Lexicon ofI ndonesia, Formasi
Halang tersusun atas perselingan batupasir, batulempung, napal, dan tuf dengan
interkalasi breksi. Formasi ini diendapkan dalam lingkungan submarine fan pada
kedalaman neritik, dan terbentuk pada fore arc basin
, dengan ketebalan berkisar antara 400–700 meter. Oleh Safarudin (1982), bagian
bawah formasi ini berumur Miosen (N15– N16), dan bagian atas berumur Miosen
(N15– N18). Sedangkan menurut Ratman dan Robinson (1996), Formasi Halang
tersusun atas batupasir andesit yang resisten dan konglomerat tufan dengan sisipan

8
napal. Formasi ini membentuk karakteristik punggungan-punggungan dengan
tinggi mencapai 1260 meter, dan pada ketinggian yang lebih rendah membentuk
lembah lembah sempit dan curam. Formasi Halang diendapkan secara selaras di
atas Formasi.
Rambatan dan ditindih secara selaras oleh Fm. Kumbang. Berdasarkan
hubungan stratigrafi tersebut, Formasi Halang diperkirakan berumur Miosen
Tengah–Miosen Akhir, dan diendapkan pada lingkungan laut dangkal yang
berangsur mendalam ke arah Timur. Adapun menurut Martono (1992), Djuri (1975)
menggambarkan perluasan Formasi Halang sebagai perluasan dari Formasi
Penyatan dengan perubahan bagian yang kaya aliran lava diubah menjadi Formasi
Kumbang, sedangkan yang didominasi batuan sedimen menjadi Formasi Halang,
dengan pengertian bahwa Formasi Kumbang menindih tidak selaras Formasi
Halang. Dari beberapa paragraf di atas dapat dilihat bahwa antara para pemeta dan
penyelidik terdahulu terdapat berbagai perbedaan tentang susunan stratigrafi
daerah penelitian, padahal satuan stratigrafi tersebut berkelanjutan dari satu lembar
peta ke kembar lainnya. “tampak bahwa setiap pemeta cenderung memilih
patokannya masing-masing dalam mengkorelasikan satuan stratigrafi di lembar
petanya dengan satuan stratigrafi yang telah ada”, Martono (1992).

2.1.3 Struktur Geologi Regional


Selama zaman Tersier di Pulau Jawa telah terjadi tiga periode tektonik yang
telah membentuk lipatan dan zona-zona sesar yang umumnya mencerminkan gaya
kompresi regional berarah Utara-Selatan (Van Bemmelen, 1949). Ketiga periode
tektonik tersebut adalah :
a) Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen)
Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen) dimulai dengan
pengangkatan dan perlipatan sampai tersesarkannya batuan sedimen Paleogen
dan Neogen. Perlipatan yang terjadi berarah relatif barat-timur, sedangkan yang
berarah timurlaut-baratdaya dan baratlaut-tenggara hanya sebagian. Sedangkan
sesar yang terjadi adalah sesar naik, sesar sesar geser-jurus, dan sesar normal.
Sesar naik di temukan di daerah barat dan timur daerah ini, dan berarah hampir
barat-timur, dengan bagian selatan relatif naik. Kedua-duanya terpotong oleh

9
sesar geser. Sesar geser-jurus yang terdapat di daerah ini berarah hampir
baratlaut-tenggara, timurlaut-baratdaya, dan utara-selatan. Jenis sesar ini ada
yang menganan dan ada pula yang mengiri. Sesar geser-jurus ini memotong
struktur lipatan dan diduga terjadi sesudah perlipatan. Sesar normal yang terjadi
di daerah ini berarah barat-timur dan hampir utara-selatan, dan terjadi setelah
perlipatan. Di daerah selatan Pegunungan Serayu terjadi suatu periode transgresi
yang diikuti oleh revolusi tektogenetik sekunder. Periode tektonik ini
berkembang hingga Pliosen, dan menyebabkan penurunan di beberapa tempat
yang disertai aktivitas vulkanik.
b) Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen)
Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen) merupakan kelanjutan
dari periode tektonik sebelumnya, yang juga disertai dengan aktivitas vulkanik,
yang penyebaran endapan-endapannya cukup luas, dan umumnya disebut
Endapan Vulkanik Kuarter.
c) Periode Tektonik Holosen
Periode Tektonik Holosen disebut juga dengan Tektonik Gravitasi, yang
menghasilkan adanya gaya kompresi ke bawah akibat beban yang sangat besar,
yang dihasilkan oleh endapan vulkanik selama Kala Plio-Plistosen. Hal tersebut
menyebabkan berlangsungnya keseimbangan isostasi secara lebih aktif terhadap
blok sesar yang telah terbentuk sebelumnya, bahkan sesar-sesar normal tipe
horst dan graben ataupun sesar bongkah atau sesar menangga dapat saja terjadi.
Sesar-sesar menangga yang terjadi pada periode inidapat dikenal sebagai gawir-
gawir sesar yang mempunyai ketinggian ratusan meter dan menoreh kawah atau
kaldera gunung api muda, seperti gawir sesar di Gunung Beser, dan gawir sesar
pada kaldera Gunung Watubela. Situmorang, dkk (1976), menafsirkan bahwa
struktur geologi di Pulau Jawa umumnya mempunyai arah baratlaut-tenggara
,sesuai dengan konsep Wrench Fault Tectonics Moody and Hill (1956) yang
didasarkan pada model shear murni.

2.1.4 Geologi Sejarah Regional


Sejarah pengendapan semua batuan yang ada di daerah penelitian tidak
terlepas dari perkembangan tektonik Pulau Jawa dan pertumbukan antara Lempeng

10
Benua Asia Tenggara dan Lempeng Hindia-Australia sejak Kapur akhir atau
Tersier Awal. Dua hal yang pokok pada pembentukan batuan sedimen adalah
pembentukan cekungan sebagai wadah dari endapan tersebut yang erat kaitannya
dengan lingkungan pengendapan dan sumber dari batuan yang diendapkan. Selama
Paleosen Tengah dan Akhir terjadi pendesakan (thrusting) dari selatan yang
dihasilkan karena pergerakan mengarah ke utara oleh lempeng Indo- Australia.
Pendesakan ini menghasilkan bancuh di selatan Serayu Utara, pergerakan ke utara
ini juga menghasilkan kompresi, blok penyesaran, dan pengangkatan. Kompresi
ini memulai terbentuknya pasangan kekar-kekar gerus utama (conjugate set of
primary shear fractures) yang nantinya mengontrol posisi aktivitas volkanik. Pada
akhir Paleosen kompresi agak berkurang, hal ini menyebabkan terjadinya
penurunan (subsidence), dan pada kala Eosen endapan laut dangkal menempati
bagian sedimen Paleosen Awal yang telah tererosi. Selama Oligosen terjadi
penurunan muka air laut secara tajam di seluruh dunia yang menyebabkan erosi
pada blok yang paling tinggi dan bersamaan dengan itu, terendapnya material erosi
ini di blok yang lebih rendah (Ratman dan Robinson, 1996). Sedangkan menurut
Martono (1992) Gejala tektonik tertua yang ditemukan di daerah ini ditunjukkan
oleh proses pembentukan batuan Paleogen, yang diduga berlangsung sampai
Oligosen. Terjadinya pencampuradukan tektonik yang melibatkan barbagai jenis
batuan, termasuk sedimen yang sedang dalam proses pengendapan, memberikan
kesan bahwa batuan Paleogen tersebut terbentuk di dalam zona tunjaman
(subduksi). Menurut Van Bemmelen (1949), pada Oligosen–Miosen, geantiklin
bagian utara mengalami penurunan yang terjadi akibat naiknya geantiklin bagian
selatan. Penurunan ini terjadi sampai intra Miosen Tengah, saat itu terjadi reaksi
gravitasional yang menyebabkan geantiklin bagian selatan patah, sayap utara
geantiklin tersebut tergelincir ke arah depresi geosinklin. Miosen Awal merupakan
kala yang tenang dengan penaikan muka air laut dan pembentukan terumbu di
sekitar dan pada bagian blok sesar yang tererosi. Orogenesis merupakan ciri-ciri
Miosen Tengah, dengan adanya pendesakan kembali dari selatan, kompresi blok
sesar dan sedimen-sedimen yang menindihnya, aktivitas volkanik di sepanjang
kekar-kekar gerus gunting yang terbentuk sebelumnya, dan akhirnya pengangkatan.

11
Intensitas orogenesis dan aktivitas volkanik secara bertahap menurun selama
Miosen Tengah dan Akhir dan berhenti pada awal Pliosen (Ratman dan Robinson,
1996). Menurut Martono (1992), setelah Oligosen daerah penelitian merupakan
cekungan belakang busur yang menampung sedimen pelitik dari arah benua dan
sesekali bahan volkanik berbutir halus dari arah busur volkanik. Masa ketenangan
tektonik Miosen Awal ini diikuti oleh periode pengangkatan disertai perlipatan dan
penyesaran. Dalam proses perlipatan ini, Formasi Merawu membentuk pola lipatan
yang dikendalikan oleh sesar naik batuan Paleogen yang teraktifkan kembali. Pada
akhir Miosen– awal Pliosen kegiatan tektonik mengakibatkan pembentukan busur
pulau gunungapi, kegiatan magmatik ini dikenali dengan terobosan intensif pada
Formasi Merawu, sebagian diantaranya melalui zona sesar dan sumbu lipatan yang
terbentuk sebelumnya. Menurut Condon, Pardyanto, Ketner, Amin, Gafoer, dan
Samodra (1996), pada Miosen Tengah terjadi genang laut dan terendapkannya
Formasi Rambatan serta terjadi penerobosan batuan bersusunan diorit pada akhir
Miosen Tengah. Pada Miosen Atas cekungan termobilisasi, dimulai dengan
perlipatan dan adanya gejala magmatik sampai akhir Miosen. Menurut van
Bemmelen (1949), pada awal Pliosen, Pegunungan Serayu Utara kembali
mengalami pengangkatan akibat bergesernya sistem ke arah utara (ke arah dataran
Sunda). Pada Akhir Pliosen pengangkatan terus terjadi yang diiringi dengan
beberapa gejala volkanisme. Pada Plistosen, aktivitas volkanisme semakin
meningkat disertai unsur tektonik hingga membentuk pola struktur geologi seperti
sekarang ini. Pada zaman Kuarter dicirikan lagi dengan aktivitas volkanik di
sepanjang kekar-kekar gerus gunting utama. Pada zaman ini kompresi sudah sangat
berkurang, tapi belum sepenuhnya berhenti. Sebelum dan selama aktivitas
volkanik, pengubahan volkanik di bawah Gunung Slamet dan Kompleks
Gunungapi Dieng menyebabkan terbentuknya zona kompresi di antara dua kubah
yang menghasilkan pendesakan (thrusting) dan perlipatan sedimen laut Miosen. Di
atas kubah volkanik sendiri, pengangkatan dan pengekaran tensional yang
menyertainya menyebabkan penyesaran normal beberapa sedimen Miosen. Dari
Kuarter Akhir hingga sekarang terdapat pengangkatan di beberapa daerah dan

12
penurunan di tempat-tempat lainnya. Daerah utama penurunan adalah di utara
bagian tengah Jawa, yang terjadi disepanjang kekar-kekar gerus utama vertikal.

2.2 Gelombang Seismik


Gelombang seismik adalah gelombang elastik yang merambat dalam bumi.
Perambatan gelombang ini bergantung pada sifat elastisitas batuan. Gelombang
seismik ada yang merambat melalui interior bumi yang disebut body wave dan ada
juga yang merambat melalui permukaan bumi yang disebut surface wave. Body
wave dibedakan menjadi dua berdasarkan arah getarnya. Gelombang P
(Longitudinal) merupakan gelombang yang arah getarnya searah dengan arah
perambatan gelombang sedangkan gelombang yang arah getarnya tegak lurus
dengan arah rambatannya disebut gelombang S (transversal). Surface wave terdiri
atas Raleigh wave (ground roll) dan Love wave. Dalam menentukan litologi batuan
dan struktur geologi, metode seismik aktif dikategorikan menjadi dua bagian yaitu
metode seismik refleksi dan seismik refraksi. Metode seismik refleksi biasanya
digunakan untuk menentukan litologi batuan dan struktur geologi pada kedalaman
yang dalam sedangkan metode seismik refraksi digunakan untuk menentukan
litologi dan struktur geologi yang relatif dangkal.
2.2.1 Seismik Refraksi
Seismik refraksi dihitung berdasarkan waktu yang dibutuhkan oleh
gelombang untuk menjalar pada batuan dari posisi sumber seismik menuju
penerima pada berbagai jarak tertentu. Pada metode ini, gelombang yang
terjadi setelah sinyal pertama (firstbreak) diabaikan, karena gelombang
seismik refraksi merambat paling cepat dibandingkan dengan gelombang
lainnya kecuali pada jarak (offset) yang relatif dekat sehingga yang
dibutuhkan adalah waktu pertama kali gelombang diterima oleh setiap
geophone. Kecepatan gelombang P lebih besar dibandingkan dengan
kecepatan gelombang S sehingga waktu datang gelombang P yang digunakan
dalam perhitungan metode ini. Parameter jarak dan waktu penjalaran
gelombang dihubungkan dengan cepat rambat gelombang dalam medium.
Besarnya kecepatan rambat gelombang tersebut dikontrol oleh sekelompok

13
konstanta fisis yang ada dalam material yang dikenal sebagai parameter
elastisitas. Gelombang seismik refraksi yang dapat terekam oleh penerima
pada permukaan bumi hanyalah gelombang seismik refraksi yang merambat
pada batas antar lapisan batuan. Hal ini hanya dapat terjadi jika sudut datang
merupakan sudut kritis atau ketika sudut bias tegak lurus dengan garis normal
(r = 90° sehingga sin r = 1). Hal ini sesuai dengan asumsi awal bahwa
kecepatan lapisan dibawah interface lebih besar dibandingkan dengan
kecepatan diatas interface. Gelombang seismik berasal dari sumber seismik
merambat dengan kecepatan V1 menuju bidang batas (A), kemudian
gelombang dibiaskan dengan sudut datang kritis sepanjang interface dengan
kecepatan V2 (Gambar 1). Dengan menggunakan prinsip Huygens pada
interface, gelombang ini kembali ke permukaan sehingga dapat diterima
oleh penerima yang ada di permukaan

Gambar 2.3 Pembiasan dengan sudut kritis (diolah dari Telford )

Tahapan akhir dalam metode seismik refraksi adalah membuat atau


melakukan interpretasi hasil dari survei menjadi data bawah permukaan yang
akurat. Data-data waktu dan jarak dari kurva travel time diterjemahkan
menjadi suatu penampang seismik, dan akhirnya dijadikan menjadi
penampang geologi.
2.2.2 Seismik Refleksi
Seismik Refleksi adalah salah satu dari dua metode seismik. Seismik
Refleksi termasuk metode geofisika eksplorasi yang menggunakan prinsip
seismologi untuk dapat mengetahui sifat-sifat batuan yang ada di bawah
permukaan bumi dari respon gelombang seismik refleksinya (gelombang

14
pantul). Metode refleksi ini membutuhkan sumber energi sebagai sumber
getarannya. Contoh sumber energinya seperti dinamit, seismik vibrator atau
yang biasa disebut dengan Vibroseis, dan Air Gun. Hasil dari pengukuran
seismik refleksi berupa penampang seismik yang memperlihatkan
penampang lapisan di bawah permukaan bumi beserta strukturnya. Sumber
energi seismik refleksi menghasilkan getaran yang menjalar di bawah
permukaan bumi yang kemudian akan terpantulkan kembali ke atas
permukaan melalui bidang reflektor yang berupa batas lapisan batuan.
Gelombang yang terpantulkan tersebut direkam dan diterima oleh alat
perekam gelombang bernama geophone yang terpasang di permukaan.

Gambar 2.4 Contoh akuisisi data seismic


2.2.3 Penentuan Ketebalan Lapisan Batuan
Perhitungan yang digunakan dalam metode seismik refraksi adalah
dengan menghitung waktu pertama kali gelombang yang berasal dari sumber
seismik diterima oleh setiap penerima (travel time). Dengan mengetahui jarak
setiap geophone dengan sumber seismik dan waktu penjalaran gelombang
kemudian dibuat grafik hubungan antara jarak dengan waktu. Dengan
mengetahui gradien/slope dari grafik tersebut maka akan didapatkan nilai
kecepatan. Kedalaman lapisan batuan dapat ditentukan dengan menggunakan

15
dua cara yaitu berdasarkan intercept time (Ti) dan berdasarkan 2) jarak kritis
(Xc) (Gambar 2.5) .

Gambar 2.5 Kurva travel time pada banyak lapis

Gambar 2.6 Lintasan penjalaran gelombang refraksi (diolah dari


Telford)
Jika dibawah permukaan bumi terdapat dua lapisan batuan yang
dibatasi oleh interface datar maka waktu tempuh gelombang refraksi (t)
untuk merambat dari sumber seismik menuju penerima akan melalui lintasan
A-B-C-D (Gambar 2.6). Dengan menggunakan intercept time dan jarak kritis
(x0) dapat diketahui kedalaman interface untuk sejumlah n refraktor data
yaitu :

Kondisi lapisan bawah permukaan tidak selamanya datar, namun ada


lapisan permukaan berupa lapisan miring (Gambar 2.7). Pengukuran pada
lapisan miring dilakukan dengan metode bolak-balik yaitu forward shot/
downdip (pengukuran kearah perlapisan turun) atau reverse shot/updip
(pengukuran kearah lapisan naik). Untuk mengetahui ketebalan lapisan yang

16
tidak kita ketahui kondisi interface-nya biasanya menggunakan metode waktu
tunda. Pada perlapisan miring, sudut kemiringan diperoleh dari:

Nilai kecepatan lapisan kedua (V2) bukan nilai rata-rata aritmatika dari
V2U dan V2D, tetapi ratarata harmonik dikalikan cosinus dari sudut
kemiringan:

Gambar 2.7 Pengukuran dengan menggunakan metode delaytime bolak-balik


(diolah dari Telford)
2.2.4 Band Pass Filter Butterworth (BPFB)
Filter butterworth adalah jenis filter pengolahan sinyal yang dirancang
untuk memiliki sebuah flat respon frekuensi yang memungkinkan dalam
passband sehingga disebut juga maximall flat magnitude filter. Filter
butterworth lowpass orde ke-N dengan frekuensi cutoff adalah:

Respon frekuensi dari filter butterworth adalah maksimal datar (tidak


memiliki riak) di passband dan memiliki pelemahan yang cukup tajam pada
frekuensi stopband. Butterworth filter memberikan optimasi pada daerah
passband. Bila dilihat pada logaritma bode plot, respon lereng off linier
menuju tak terhingga negatif. Untuk filter orde pertama, respon gulungan
turun di -6 dB per oktaf (- 20 dB per dekade) (semua orde pertama lowpass
memiliki frekuensi respon ternormalisasi yang sama). Untuk orde kedua,

17
respon berkurang pada -12 dB per oktaf, orde ketiga di -18 dB dan seterusnya.
Filter butterworth memiliki fungsi berkekuatan monoton berubah dengan w,
tidak seperti jenis filter lain yang memiliki riak non-monoton di passband
dan/atau stopband tersebut

Gambar 2.8 Logaritma bode plot dari butterworth orde pertama


Band pass filter (BPF) merupakan filter yang melewatkan frekuensi di
antara frekuansi cut-off bawah dan frekuensi cut-off atas. Band pass filter
merupakan gabungan dari low pass filter(LPF) dan high pass filter (HPF).
Karakteristik passband terhadap LPF ditransformasikan ke dalam setengah
pass band teratas/tertinggi dari band pass filter. Ka r akt e ristik passband t e
rhadap HPF ditransformasikan ke dalam setengah passband
terbawah/terendah dari band pass filter. Sehingga band pass filter butterwoth
merupakan filter band pass dengan phase yang lebih linier. I.5 Refraction
Tomography Proses refraction tomography ini menggunakan model berupa
blok-blok area yang dapat diperhalus menjadi sebuah citra, sedangkan
pemakaian model berupa lapisan akan memberikan nilai kesalahan yang lebih
besar karena perbedaan nilai Vp secara lateral terutama pada lapisan dekat
permukaan. Metode refraksi tomografi ini diawali pembuatan model
kecepatan awal, dan kemudian dilakukan iterasi pelacakan sinar (forward
refraction raytracing) melalui model, membandingkan waktu tempuh

18
perhitungan dengan waktu tempuh pengukuran, memodifikasi model, dan
mengulangi proses sampai perbedaan antara waktu perhitungan dan
pengukuran 4) mencapai minimal . Tujuan utamanya adalah untuk
menemukan waktu tempuh minimum antara sumber dan penerima untuk
setiap pasangan sumber-penerima. Hal ini dicapai dengan pemecahan untuk l
(raypath) dan S (kecepatan invers atau slowness). Iterasi yang digunakan
adalah pendekatan non linear least-squares.

dengan S = slowness
l = raypath
v = kecepatan gelombang P
dalam bentuk diskrit, dihasilkan waktu tempuhnya adalah:

Sehingga waktu tempuh dalam bentuk matrik adalah:

Gambar 2.9 Perhitungan waktu tempuh gelombang dengan raytracing

19
Gambar 2.10 Model blok-blok area pada proses refraction tomography
2.2.5 Hubungan Kecepatan dan Densitas Batuan Formasi
Besarnya cepat rambat gelombang P dalam lapisan batuan dipengaruhi
oleh elastisitas dan 5) densitas batuan. Sehingga dengan mengetahui cepat
rambat gelombang P pada lapisan batuan maka akan diketahui tingkat
kekerasan lapisan atau densitas batuan tersebut. Dalam penentuan densitas
batuan digunakan rumus empiris yang diambil dari Gardner's relationship,
dengan menggunakan kecepatan gelombang Puntuk memprediksikan
densitas suatu 6) batuan. Gardner et. al. melakukan serangkaian studi empiris
dan menemukan hubungan antara kecepatan dan densitas sebagai berikut:

Dengan P = densitas, dalam g/cm3


a = 0,31
V= Kecepatan gelombang, dalam m/s

1.3. Manajemen Proyek


Menurut (American National Standard, 2004), manajemen proyek
merupakan upaya pengaplikasian ilmu pengetahuan, keterampilan, alat dan metode
konstruksi untuk mencapai tujuan proyek. Manajemen proyek dapat tercapai
dengan cara mengaplikasikan dan mengintegrasikan seluruh proses yang terdiri dari
persiapan proyek, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan
selesainya proyek. Proses manajemen terdiri dari :
1. Melakukan identifikasi kebutuhan proyek
2. Menyusun tujuan dan capaian proyek yang realistis

20
3. Menyeimbangkan pemenuhan capaian proyek pada aspek biaya, mutu,
waktu dan tanggung jawab proyek.
4. Beradaptasi terhadap perbedaan kepentingan dan harapan stakeholder
dalam perencanaan, persyaratan dan pendekatan.
Tim manajemen proyek mempunyai tanggung jawab profesional
terhadap stakeholder yang terlibat, yaitu owner atau pemberi pekerjaan,
organisasi proyek
dan masyarakat.
1.3.1. Manajemen Mutu
Manajemen mutu meliputi seluruh kegiatan menjalankan organisasi
proyek untuk menentukan kebijakan, sasaran dan tanggung jawab mutu, agar
capaian mutu proyek dapat terpenuhi. Implementasi manajemen mutu
dituangkan dalam kebijakan, prosedur dan proses dalam perencanaan, jaminan
dan pengawasan mutu. Manajemen mutu proyek terdiri dari :
1. Perencanaan mutu (Quality Planning), menentukan standar mutu yang
relevan pada sebuah proyek dan bagaimana memenuhi standar tersebut.
2. Melakukan penjaminan mutu (Perform Quality Assurance),
mengaplikasikan rencana pekerjaan, sehingga setiap proses yang
dibutuhkan untuk mencapai sasaran mutu tercapai.
3. Melakukan kontrol mutu (Perform Quality Control), melakukan
pengawasan terhadap output pekerjaan dan menentukannya, apakah sudah
mencapai standar mutu yang telah ditentukan, serta mengidentifikasi cara
dan metode untuk mengurangi faktor penghambat tercapainya standar
mutu.
1.3.2. Manajemen Biaya
Manajemen biaya meliputi berbagai proses dalam perencanaan,
estimasi (perkiraan), penganggaran dan pengendalian biaya sehingga proyek
dapat terselesaikan sesuai dengan anggaran yang telah direncanakan. Terdapat
tiga tahap dalam manajemen biaya dalam proyek, diantaranya :
1. Perkiraan biaya (Cost Estimating), melakukan perhitungan perkiraan biaya
berdasarkan sumber daya yang digunakan untuk menyelesaikan proyek.

21
2. Penganggaran biaya (Cost Budgeting), menggabungkan perkiraan biaya
masing-masing pekerjaan atau paket pekerjaan untuk kemudian menjadi
satu biaya, yaitu biaya keseluruhan.
3. Pengendalian biaya (Cost Control), melakukan pengendalian terhadap
faktor-faktor yang menimbulkan variasi biaya terhadap biaya yang telah
dianggarkan.
Perencanaan anggaran biaya meliputi tiga komponen biaya,
diantaranya biaya
langsung dan biaya tidak langsung (Prayitno & Abdi, Modul Pengendalian
Biaya :
Komersial dan Keuangan, 2016). Biaya langsung merupakan seluruh biaya
yang berkaitan langsung dengan fisik proyek, yaitu meliputi seluruh biaya
dari kegiatan yang dilakukan di proyek (dari persiapan hingga
penyelesaian) dan biaya mendatangkan seluruh sumber daya yang
diperlukan oleh proyek tersebut.
Komponen dari biaya langsung diantaranya :
1. Biaya material
2. Biaya upah tenag
3. Biaya upah ala
4. Biaya subkontraktor
5. Biaya lain-lain, biaya ini relatif kecil, namun jumlahnya cukup berarti
untuk dikendalikan dengan cara dirinci. Contoh biaya lain-lain yaitu biaya
persiapan dan penyelesaian, biaya overhead proyek dan lain-lain.
Biaya tidak langsung merupakan seluruh biaya yang terkait dengan
secara tidak langsung yang dibebankan kepada proyek. Biaya ini
umumnya terjadi di luar
proyek. Biaya tidak langsung meliputi :
1. Biaya secretaria
2. Biaya fasilita
3. Biaya personali
4. Biaya keuangan

22
5. Biaya kendaraan
6. Biaya umum
1.3.3. Manajemen Waktu
Manajemen waktu proyek terdiri dari proses yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan proyek dengan tempat waktu, sesuai dengan rencana.
Perencanaan manajemen waktu terdiri dari enam proses, diantaranya :
1. Definisi pekerjaan (Activity Definition), menentukan jadwal spesifik
pekerjaan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan.
2. Urutan pekerjaan (Activity Sequencing), menentukan urutan pekerjaan
pada penjadwalan.
3. Perkiraan sumber daya pekerjaan (Acitivity Resource Estimating),
memperkirakan jenis dan jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan pekerjaan sesuai jadwal.
4. Perkiraan durasi pekerjaan (Activity Duration Estimating),
memperkirakan periode pekerjaan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
sebuah pekerjaan.
5. Pengembangan jadwal (Schedule Development), menganalisis urutan,
durasi, kebutuhan sumber daya dan kendala pekerjaan untuk merumuskan
jadwal proyek.
6. Kontrol penjadwalan (Schedule Control) melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan jadwal proyek.

23

Anda mungkin juga menyukai