Anda di halaman 1dari 3

Keriput di Wajah Si Tua

Ia terus menahan sesuatu yang kian menyiksa, luka dan ruam memenuhi badan
dan kaki yang memang tidak utuh sejak ia lahir ke dunia ini. Sudah lebih dari tiga jam
ia bertahan di sana menunggu bantuan datang menjemputnya. Wanita tua itu terus
berusaha menahan perih yang sedari tadi ingin membunuhnya.
Gempa dahsyat yang terjadi, membuat hatinya hancur seperti kaca yang
terhempas ke batu, tidak hanya hatinya, namun harta berharga miliknya juga rubuh,
diluluhlantahkan oleh tanah yang berguncang keras tanpa ampun, gubuk tua kecil yang
memiliki banyak kenangan indah bersama mendiang suami dan juga anak-anak
kecilnya yang kini sudah berada jauh darinya, pergi dan membiarkannya hidup seorang
diri di kampung halaman tanpa memberikannya sehelai surat pun sebagai tanda kabar
ataupun rindu.
Wanita tua itu mencoba bangkit sendiri, ia lelah menunggu bantuan yang tidak
kunjung datang, sementara sakit sudah mengguyur seluruh tubuh lemahnya itu,
setidaknya mungkin dia masih memiliki sedikit harapan untuk hidup jika dia mencoba
menguatkan dirinya sendiri. Dengan sebatang kayu panjang untuk menggantikan fungsi
kakinya ia berjalan menyusuri runtuhan gubuk tua miliknya sambil menahan sakit dan
luapan emosi dalam dirinya, namun semakin ia menahan, air matanya semakin kuat
meyesak hingga meledak di sudut pelopak matanya. Ia menangis meratapi keadaannya
yang sudah tidak memiliki apapun dalam hidup ini, ia menangis tanpa suara yang
menandakan rasa sedih di hatinya benar-benar dalam dan menyiksa.
Dengan raga yang tidak sempurna dan rasa sakit yang melapisi seluruh
permukaan tubuh hingga menembus kulitnya, ia berjalan menjauhi gubuk tua itu tanpa
membawa apa-apa kecuali sehelai foto anak-anak kecilnya yang sudah mulai remaja.
dengan perasaan yang tercabik-cabik, wanita tua itu terus berusaha untuk ikhlas dengan
apa yang diberikan tuhan kepadanya.
Sudah berjam-jam wanita tua itu berjalan tanpa tujuan, sebenarnya ia ingin
mencari anak-anaknya yang tinggal di kota demi kehidupan yang lebih baik, namun ia
sama sekali tidak tahu kabar maupun alamat anak-anaknya tersebut. dari jauh sekitar
lima meter ia melihat ada warung makan kecil, diikatnya perutnya sendiri, ia tahu bahwa
ia tak memiliki apapun untuk membayar uang makan, namun saat itu tubuhnya benar-
benar merintih kelelahan, lalu diputuskannya untuk duduk sebentar di warung kecil itu
, melihat dan membaui makanan mungkin sudah cukup baginya.

“ I..ibu, boleh saya duduk di sini sebentar saja?....” Ucap wanita tua itu segan
melihat ekspresi pengunjung warung yang jijik memandangi dirinya “Saya tidak akan
mengganggu , saya hanya numpang duduk” sambungnya lagi. Ia takut kehadirannya
tidak diterima oleh sang pemilik warung karena kondisi fisiknya yang tidak normal
ditambah lagi dengan luka dan memar yan mulai meradang.

“ Maaf bu, tapi kondisi warung kami sedang tidak baik akibat gempa, tolong
dimengerti” pemilik warung itu nyatanya meminta sang wanita tua segera menjauh dari
tempatnya, alasan kondisi warung yang sedang buruk rasanya tidak bisa diterima
melihat pengunjung warung yang makan tetap penuh, hanya saja wanita tua itu
dianggap mengganggu dan menjijikkan sehingga banyak yang merasa terganggu
dengan kehadirannya, pikirnya.

“Maaf bu, tapi boleh saya minta sedikit air?” Ia menelan harga dirinya demi
segelas air putih yang hanya bisa memberinya sedikit tenaga untuk berjalan lagi.
Pemilik warung itu mengambil gelas bekas pengunjung lain dan menuangkan air
setengah penuh kedalamnya, ia tampak tidak begitu senang.

“Terima kasih banyak bu” Ia melemparkan senyum getirnya, menahan malu dan
luapan perasaan sedih bercampur luka, ia bingung harus kemana lagi ia berjalan.

“ Ya Gusti… luka apa lagi yang engkau ingin berikan kepada hamba. Hamba
ini tunggal, tidak punya siapapun untuk dituju, anak hamba tidak tau dimana, rumah
hamba juga sudah engkau ratakan dengan tanah, lalu apa lagi , kapan giliran hambau
ini yang engkau ambil gusti..” lirihnya dengan penuh kepedihan dan keputus-asaan.
Langit terlihat mendung dan hari mulai turun hujan, setiap orang pasti berteduh
di bawah atap rumah nyaman mereka, namun tidak dengan wanita tua itu, tak ada sama
sekali hasratnya untuk berhenti dan meneduh, bukan karena tidak lelah, namun ia tidak
mau lagi dipermalukan dan disadarkan bahwa tidak ada yang bersedia menerimanya
lagi, wanita tua it uterus berjalan dengan bantuan tongkatnya, ia terlihat menangis dan
tersedu sesekali.
Begitu banyaknya manusia yang berada di sekitarnya, namun tidak satupun mau
menolongnya, mereka hanya memandangi tubuh lusuh sang wanita tua, serta kakinya
yang dianggap tidak normal dan terlihat mengerikan dengan tambahan luka dan ruam,
tidak ada yang peduli kecuali seorang wanita paruh baya berpayung yang lewat
disisinya.
“ Ibu mau kemana? Kenapa tidak berteduh saja bu nujan-hujan begini? Mari
saya antar pulang” Ucap si wanita paruh baya.
“ Anu, saya tidak tahu mau kemana, rumah saya sudah hancur karena oleh
gempa, saya hanya ingin mencari anak saya, tapi alamatnya saya juga tidak tahu, saya
hanya punya ini…” ucap wanita tua itu seraya memperlihatkan foto usang anak-anak
remajanya di raut wajahnya, wanita tua itu tampak putus asa.
“kalau begitu mari kita berteduh dulu bu, kalau mencari setelah hujan reda akan
lebih mudah untuk menemukan anak ibu”
“Saya tidak mau bu, lebih baik saya lanjut saja, saya takut mengganggu orang
lain yang sedang berteduh juga” Ucap wanita tua dengan seuntai senyum di wajahnya.
Si wanita paruh baya tampak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh wanita
tua, dipandangnya lekat-lekat foto yang diberikan oleh wanita itu sekali lagi, seolah ada
sesuatu di benaknya.
“Bu, sepertinya saya familiar dengan orang-orang ini, salah satu dari mereka
adalah majikan saya namanya Aidah, saya bekerja padanya, apakah dia benar anak
ibu?”
“Aidah.., aidah anakku, dia anakku…” Betapa bahagianya hati sang ibu
mendengar bahwa anak nya sudah menjadi seseorang yang sukses dan dapat
memberikan penghidupan pada orang lain, rasa bahagianya mengalahkan semua beban
yang selama ini tertumpuk dalam hatinya.
“Tolong antar saya bertemu dengannya, saya ibunya, saya ingin bertemu
dengannya.”
Dengan langkah gontai wanita tua itu berjalan dengan bantuan tongkat, menikuti
si wanita paruh baya yang akan mengantarnya bertemu dengan Aidah, taka da lelah taka
da sakit, yang dirasakannya hanyalah bahagia dan haru, sampai ia berdiri di depan pagar
rumah mewah Aidah, wanita itu tanpa segan masuk kedalam rumah putrinya, ia
linglung menyaksikan betapa besar dan mewahnya rumah itu,
“Siapa Ini Bi?” Tanya seorang wanita muda yang tiba-tiba muncul dari dalam
kamar.
Tanpa pikir panjang, wanita tua itu berjalan menuju sang anak, Aidah. Namun
tanpa disangka, sang anak menghindari ibunya, ia tidak lagi mengenali sang ibu dengan
baik, ia bukan lagi anak kecil ibu yang polos dan lugu.
“Siapa anda? Kenapa anda di sini?”
“ Aidah ini ibu, kamu tidak ingat ibu nak?” Ucapnya dengan penuh kecewa,
sekali lagi air mata mulai menyesakkan pelopak matanya.
“Ibu? Untuk apa ibu di sini lagi, apakah dengan tidak mengirim surat belum
cukup memberi tahu ibu untuk tidak menemui saya? Lagi pula saya tidak punya uang.”
“Aidah, ibu tidak perlu uangmu sungguh ibu hanya ingin menemuimu, apakah
kamu tahu, kalau rumah kita hancur oleh gempa? Ibu kesini karena ibu tidak punya
rumah lagi untuk ditinggali, siapa lagi yang mau menerima ibu kecuali anak-anak
ibu…”
“Saya tidak punya cukup ruang untuk ibu disini, lagi pula selama ini ibu bisa
hidup sendiri. maaf ibu tapi saya cukup sibuk untuk mengurusi ibu..”
Wanita tua itu menangis, yang dia terima dalam hidupnya hanyalah penolakan
demi penolakan, yang tersulit untuk diterimanya adalah kenyataan bahwa anak
kandungnya tidak mau menerima bahkan sekedar memeluk dirinya yang tua renta itu,
dengan langkah gontainya dia berjalan lagi, menjauhi rumah mewah milik orang asing
yang pernah tinggal di dalam rahimnya, Ia berjalan lagi tanpa tujuan yang jelas, ia tidak
berhenti menitihkan air mata. Siapa pun yang melihatnya saat itu pasti akan terbawa
sedih, bahkan mungkin tuhan pun demikian, sehingga tuhan saat itu juga memutuskan
untuk menjemputnya, si wanita tua dengan keriput di wajahnya.

Anda mungkin juga menyukai