Anda di halaman 1dari 3

Fibrosis paru bukanlah nama suatu penyakit melainkan istilah patologi yang menyatakan adanya

jaringan pengikat dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat perbaikan jaringan sebagai
mekanisme lanjutan pada penyakit paru yang menimbulkan peradangan atau nekrosis. Jenis fibrosis
paru yang paling sering ditemukan adalah fibrosis lokal pada parenkim paru akibat keadaan yang
disebabkan oleh tuberkolosis, abses paru, bronkhiektasis atau pneumonia yang tidak teratasi.
Kadang-kadang fibrosis paru dapat secara difus menyerang parenkim paru, terutama pada septum
interaveolar. Tidak seperti pada fibrosis lokal, fibrosis paru difus merupakan kelainan yang
menyebabkan kecacatan dan sering sekali fatal. Terjadinya fibrosis paru difus menunjukkan stadium
akhir penyakit paru baik yang sebabnya diketahui maupun yang belum diketahui (Smeltzer dan
Bare,2002).

Segera setelah radiasi paru akan terjadi gangguan pada sel-sel alveolar tipe-2 sebagaimana
terdeteksi dengan mikroskop elektron, dan pelepasan surfaktan. Dalam satu jam pertama akan
terjadi pengurangan lamellar bodies pada pneumosit tipe-1. Lamellar bodies ini mensekresi
surfaktan melalui eksositosis. Sejumlah peneliti mencoba menjadikan pelepasan dini surfaktan ini
sebagai petanda akan berkembangnya pneumonitis radiasi.

Dalam 24 jam akan timbul edema subendotelial dan perivaskular serta pelepasan materi protein.
Fase berikutnya, proliferasi pneumosit tipe-2, terjadi antara bulan pertama dan ketiga dimana
terjadi hipertrofi kompensatoar dari lamellar bodies. Septum alveolar menjadi lebih hiperselluler (
dengan mast cells, sel-sel plasma, fibroblast, makrofag dan sel-sel PMN ) dan timbulnya fibrosis
interstitial dengan sejumlah benang-benang kollagen. Pneumosit tipe-2 menjadi abnormal dimana
tampak degenerasi pada organel dan perubahan-perubahan bentuk.

Setelah 6 bulan, terjadi obliterasi kapiler dan digantikan oleh jaringan fibrosis, deposit kollagen yang
ekstensif, pneumosit tipe 2 dalam jumlah lebih banyak dan sel-sel otot polos arterial. Dalam 9 bulan
atau lebih,sel-sel inflamasi menghilang, jumlah pneumosit-2 kembali normal dan sejumlah kapiler
regenerasi. Dari sini terlihat bahwa pneumonitis radiasi adalah suatu alveolitis akibat kerusakan
pneumosit tipe-2 alveolar.

Disamping kerusakan pneumosit tipe-2, kerusakan sel-sel endotel juga berperanan pada
perlangsungan pneumonitis radiasi atau fibrosis. Dalam beberapa hari setelah radiasi, sel-sel endotel
menunjukkan perubahan ultrastruktural dan peningkatan permiabilitas, ditandai dengan edema
perivaskular dan kongesti.

Kerusakan vaskular akibat radiasi menyebabkan eksudasi protein plasma ke dalam rongga
ekstravaskuler yang diduga menjadi faktor utama berlangsungnya proses fibrosis. Makrofag alveolar
dan netrofil adalah sel-sel yang memegang peranan utama melalui pelepasan fibronektin dan MDGF.

Peranan TGF- ß1

Proses utama yang berlangsung pada pemulihan jaringan adalah pengeluaran sitokin sebagai respon
terhadap jejas, dan TGF-â merupakan sitokin kunci yang memulai (initiates) dan mengakhiri
(terminates) pemulihan jaringan serta memelihara (sustain) produksi bahan-bahan untuk
terbentuknya fibrosis.

Rube dkk. (1999) yang melakukan radiasi toraks 12 Gy pada mencit menemukan ekspresi TGF-â1
yang meningkat secara mencolok pada area paru yang mengalami kerusakan histopatologik.
Pelepasan TGF-â1 akibat radiasi sudah terdeteksi pada jaringan sejak periode laten dan meningkat
secara signifikan selama fase pneumonitis, tetapi kemudian secara bertahap menurun sejak
permulaan fase fibrosis pada 6 bulan pasca radiasi.

Pada penyembuhan luka seperti di kulit, terjadi rangkaian proses biologik yang diawali dengan
platelet-induced hemostasis, diikuti oleh influks sel-sel inflamasi dan fibroblast, pembentukan
matriks ekstraselluler yang baru dan pembuluh darah (jaringan granulasi), serta proliferasi sel-sel
untuk rekonstitusi jaringan. TGF-ß berperanan pada setiap tahapan tersebut. Platelet mengandung
TGF- ß 1 dan PDGF dalam konsentrasi yang tinggi yang akan dilepaskan pada jaringan yang terkena
luka. TGF- ß 1 yang inaktif (laten) terikat secara local pada matriks ekstraselluler yang juga dapat
diaktifasi setelah luka. TGF ß1 dapat bersifat khemotaktik kuat untuk netrofil, sel-sel T, monosit dan
fibroblast. Monosit mensekresi fibroblast growth factor, TNF, IL-1, dan fibroblast akan
meningkatkan sintesa protein matriks ekstraselluler. TGF-ß 1 juga dapat menginduksi baik sel-sel
infiltrat maupun sel-sel setempat (resident cells) untuk memproduksi diri sendiri. Sifat autoinduksi
ini memperkuat efek biologik TGF- ß 1 pada tempat luka dan menjadi faktor penting pada fibrosis
kronik.

TGF- ß1 disamping bersifat agonist dan antagonist terhadap proliferasi sel dan inflamasi, juga
bersifat menginduksi deposisi matriks ekstraselluler. Akumulasi matriks pada jaringan merupakan
kelainan patologik utama dari penyakit-penyakit fibrotik. Matriks ekstraselluler terdiri dari
fibronektin, kolllagen dan proteoglikan dimana sel-sel akan melekat dengan integrin sebagai
reseptor permukaan. Sel-sel sekitar matriks secara kontinyu akan didegradasi oleh protease. TGF-
ß1 menyebabkan deposisi matriks ekstraselluler melalui stimulasi sel-sel untuk memperbanyak
sintesa protein matriks, pengurangan produksi protease, meningkatkan produksi inhibitor terhadap
protease, dan modulasi ekspresi integrin sehingga meningkatkan adhesi sel pada matriks. Efek pada
matriks ekstraselluler mencerminkan besarnya peranan biologik TGF- ß 1. TGF- ß 1 terikat pada
proteoglikan pada matriks atau dekat permukaan sel, dan dapat memberi signal untuk terminasi
produksi TGF setelah pemulihan jaringan menjadi sempurna.

Hal ini dapat diterangkan dengan menggunakan model yang telah dilaporkan oleh Border dan Noble
(1997) yang melakukan penelitian pada proses pembentukan fibrosis ginjal. Dilaporkan bahwa TGF-
ß1 adalah suatu sitokin atau signaling molecule yang mempunyai potensi fibrogenik melalui aksi
berganda pada pemulihan jaringan. TGF-ß1 mempunyai kemampuan khusus untuk menstimulasi
deposisi matriks ekstraselluler melalui empat efek yang berlangsung simultan. Pertama, radiasi akan
memicu pelepasan TGF-ß1 pada tempat yang terkena. TGF-ß1 yang meningkat secara langsung
akan merangsang sintesa molekul-molekul utama matriks ekstraselluler yaitu fibronektin, kollagen
dan proteoglikan. Kedua, pada saat yang sama TGF-ß1 memblokir degradasi matriks melalui
penghambatan protease serta menginduksi pembentukan protease inhibitor. Ketiga, TGF-ß1 juga
memodulasi ekspresi reseptor matriks integrin pada dinding sel yang memfasilitasi adhesi matriks sel
dan deposisi matriks. Keempat, TGF-ß1 juga melakukan autoinduksi produksi yang menyebabkan
efek biologik yang berlipat ganda.

Rubin dkk memperkenalkan hipotesis “cascade of cytokines― segera setelah radiasi dan
menetap sampai timbulnya pneumonitis dan fibrosis, yang menunjukkan peranannya pada
pembentukan fibrosis paru. Ditemukan perubahan yang dramatis pada ekspresi sejumlah sitokin dan
faktor pertumbuhan seperti TGF-ß pada jaringan paru sejak 1 hari sampai 26 minggu pascaradiasi
paru dikemukakan oleh Cooper (13). Ada berbagai efek dari sitokin ini yang menjelaskan bagaimana
ia berperan dalam proses tersebut. TGF-ß adalah khemotaktik bagi fibroblast dan PMN. Fibroblast
sendiri sudah jelas peranannya dalam proses fibrosis. PMN juga meningkat jumlahnya pada paru
yang terkena jejas seperti pada pemberian bleomycin dan idiophatic pulmonary fibrosis (IPF),
meskipun peranan sel-sel ini pada pneumonitis dan fibrosis masih agak kontroversi. Selain itu TGF-ß
diduga mempunyai efek penting dalam induksi apoptosis pada sel-sel epitel. Pentingnya apoptosis
sel-sel epitel dalam proses pneumonitis/fibrosis paru menarik perhatian. Dari suatu penelitian
diketahui bahwa mencit yang kekurangan Fas atau Fas ligand,suatu sistem molekul yang berperanan
pada apoptosis sel, menunjukkan fibrosis yang lebih sedikit dibanding dengan mencit lainnya/wild-
type setelah induksi bleomycin intratrakea. Proteksi terhadap fibrosis berhubungan dengan reduksi
apoptosis sel-sel epitel.

Tada dkk dalam suatu laporan mengenai pneumonitis radiasi menduga adanya mekanisme
immunologis yang mendasari proses tersebut. Hasil CT –Scan resolusi tinggi pada penderita yang
menjalani radiasi multi-field akibat kanker paru menemukan pneumonitis yang berat pada paru
kontra-lateral yang menerima dosis di bawah 20 Gy ( jauh di bawah dosis pada paru ipsilateral yang
menjadi target volume sebesar 75Gy). Gibson dkk, seperti dikutip oleh Tada, yang melakukan
hapusan bronkhoalveolar, menemukan limfositosis alveolar yang nyata baik pada paru yang menjadi
target radiasi maupun pada paru kontralateral. Radioterapi diduga menyebabkan mekanisme
immunologis. Dengan mengaitkan TGF-ß dan sejumlah sitokin lainnya sebagai pemeran utama pada
kejadian fibrosis akibat radiasi di paru, maka timbul dugaan bahwa kemungkinan produksi radikal
bebas akibat efek radiasi (indirect action), akan mengaktifasi TGF-ß.14

Finkelstein dkk, menemukan fluktuasi ekspresi gen TGF-ß pada jaringan paru pada hari pertama
dan empat belas setelah radiasi. Peneliti lainnya telah menemukan hubungan TGF-ß plasma dan
insiden komplikasi paru pada pemberian khemoterapi dosis tinggi pada penderita karsinoma
mammae. Kadar TGF-ß plasma dapat dijadikan sebagai indikator bagi perlangsungan pneumonitis
radiasi pada penderita kanker paru yang menjalani radioterapi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Muttaqin, Arif.2008.Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.Jakarta :


EGC

2. Djojodibroto, Darmanto.2009.Respirologi (Respiratory Medicine).Jakarta: EGC.

3. http://med.unhas.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=165&Itemid=48

KALAU MAU LIAT LINKNYA http://zulpanudin.blogspot.com/2013/07/fibrosis-paru.html

Anda mungkin juga menyukai