Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tongkol jagung merupakan salah satu limbah kegiatan industri pertanian


yang merupakan sumber bahan berlignoselulosa. Produksi jagung tahun 2009
sebesar 17.63 juta ton pipilan kering, meningkat sebanyak 1.31 juta ton (8.04
persen) dibandingkan tahun 2008. Produksi jagung tahun 2010 diperkirakan sebesar
18.02 juta ton pipilan kering, meningkat sebanyak 386.79 ribu ton (2.19 persen)
dibandingkan tahun 2009 (BPS, 2010). Produksi jagung di Indonesia yang cukup
tinggi berkorelasi dengan limbah tongkol jagung yang dihasilkan. Jagung
mengandung kurang lebih 30% tongkol jagung dan sisanya adalah biji dan kulit
(Koswara, 1992). Dari data tersebut dapat diperkirakan bahwa produksi limbah
tongkol jagung Indonesia pada tahun 2009 adalah sebesar 16.53 juta ton.

Tongkol jagung selama ini hanya dijadikan sebagai pakan ternak sapi atau
hasil industri yang tidak diolah kembali menjadi sesuatu yang memiliki nilai
ekonomi tinggi. Menurut Iswanto (2009), tongkol jagung mempunyai kandungan
lignin sebesar 15%, kadar selulosa 45% dan kadar hemiselulosa 35%. Dengan
jumlah yang melimpah serta kandungan hemiselulosa dan selulosa yang tinggi,
tongkol jagung mempunyai potensi yang besar untuk diolah menjadi produk-
produk yang bernilai ekonomis. Selulosa merupakan polimer rantai panjang D-
glukosa dengan ikatan β1-4 glikosidik, sedangkan hemiselulosa lebih bersifat
heterogen yang terdiri dari xilosa, galaktosa, manosa, arabinosa dan glukosa.
Dengan hidrolisis tongkol jagung, maka akan dihasilkan gula sederhana seperti
glukosa, xilosa, galaktosa, manosa dan arabinosa. Gula sederhana yang diperoleh
merupakan bahan baku untuk berbagai produk olahan seperti asam karboksilat,
sorbitol, xilitol, asam amino atau produk-produk lain yang lebih kompleks seperti
protein sel tunggal.

Sebelum dilakukan hidrolisis terhadap tongkol jagung, diperlukan


perlakuan pendahuluan berupa delignifikasi atau penghilangan lignin. Delignifikasi

1
perlu dilakukan dikarenakan lignin merupakan penghambat utama pada proses
hidrolisis selulosa. Lignin yang melindungi selulosa bersifat tahan terhadap
hidrolisis karena adanya ikatan aril alkil dan ikatan eter (Perez et al., 2002).

Ada beberapa metode delignifikasi yang umum diterapkan, yaitu secara


mekanis, kimia dan semikimia. 2 Namun, ketiga metode tersebut mempunyai
beberapa kekurangan antara lain kebutuhan bahan kimia tinggi serta energi yang
tinggi. Selain itu, limbah cair dari delignifikasi yang menggunakan bahan kimia
tergolong limbah yang berbahaya karena bersifat toksik dan mencemari lingkungan
(Martina, 2002). Menjawab masalah tersebut, beberapa penelitian dilakukan untuk
menerapkan metode delignifikasi secara biologis yang dikenal dengan
biodelignifikasi. Biodelignifikasi merupakan proses degradasi lignin untuk
membebaskan serat dari ikatannya dengan menggunakan mikroba seperti fungi,
bakteri atau enzim. Fungi pelapuk putih merupakan salah satu mikroba yang
mampu mengurai lignin secara selektif dan hanya mengurai selulosa dan
hemiselulosa dalam jumlah yang sedikit (Eaton dan Hale, 1993). Beberapa jenis
fungi pelapuk putih yang sering digunakan untuk delignifikasi adalah
Schizophyllum commune,Phanerochaete chrysosporium dan isolat Pleurotus EB9.
Martawijaya et al. (1989) mengungkapkan salah satu fungi yang dapat merombak
strukstur lignoselulosa adalah fungi S. commune. Di daerah tropis, S. Commune
merupakan fungi perusak kayu. P. chrysosporium merupakan mikroba ligninolitik
paling efisien, selain itu fungi inijuga dapat menghasilkan enzim protease,kuinon
reduktase dan selulase (Kirk, 1993). Isolat Pleurotus EB9 merupakan salah satu
jenis fungi pleurotickelompok Pleurotusasal Bogor.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Herliyana et al. (2008),


isolat Pleurotus EB9 merupakan isolat yang mempunyai kemampuan menurunkan
kadar lignin kayu sengon (kadar lignin awal 23%) yang cukup besar dalam waktu
14 hari yaitu sebesar 20.8 %. Proses biodelignifikasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu waktu inkubasi, jumlah miselia serta jumlah nutrisi yang ditambahkan
dalam media. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siahaan (1997)
didapatkan hasil bahwa semakin banyak jumlah miselia yang ditambahkan,

2
penurunan lignin pada kayu pembalakan cenderung meningkat. Hasil penelitian
Fadilah et al.(2009) menyatakan bahwa semakin lama waktu inkubasi maka persen
lignin yang terdegradasi semakinbesar.

Penambahan nutrisi berupa glukosa dalam media mempunyai dua


keuntungan, yang pertama glukosa akan mendukung pertumbuhan fungi yang cepat
pada media, dan yang kedua, glukosa adalah sumber karbon yang mudah dicerna
oleh fungi 3 sehingga komponen selulosa yang terurai akan semakin sedikit sebab
fungi akan mengurai komponen yang lebih sederhana terlebih dahulu. Ketiga jenis
fungi di atas dapat melakukan proses biodelignifikasi kayu, maka pada penelitian
ini akan dilakukan pengamatan mengenai kemampuan ketiga jenis fungi dalam
mendelignifikasi tongkol jagung. Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan
pengujian pengaruh faktor waktu inkubasi, jumlah miselia serta jumlah glukosa
yang ditambahkan terhadap nisbah kadar lignin terhadap holoselulosa. Proses
delignifikasi yang ideal adalah ketika lignin terurai dalam jumlah yang besar namun
komponen holoselulosa terurai dalam jumlah yang kecil. Holoselulosa adalah
bagian dari serat yang bebas dari zat ekstraktif dan lignin, terdiri dari semua
komponen selulosa dan hemiselulosa (Chang dan Alan, 1971). Untuk menghitung
efektifitas biodelignifikasi dihitung nisbah lignin terhadap holoselulosa. Nisbah
terendah menyatakan bahwa kondisi tersebut adalah kondisi optimum untuk
pertumbuhan fungi.

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan jenis Fungi Pelapuk Putih (FPP) terbaik untuk


biodelignifikasi tongkol jagung.
2. Mendapatkan konsentrasi miselia terbaik yang harus ditambahkan.
3. Mendapatkan konsentrasi glukosa terbaik yang harus ditambahkan.
4. Mendapatkan waktu inkubasi optimum darifungi terbaik yang terpilih
dalam proses biodelignifikasi tongkol jagung

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tongkol Jagung
Tongkol jagung/janggel adalah limbah yang diperoleh ketika biji jagung
dirontokkan dari buahnya. Akan diperoleh jagung pipilan sebagai produk utamanya
dan sisa buah yang disebut tongkol atau janggel (Rohaeni et al., 2006). Tongkol
jagung atau janggel, merupakan bagian dari buah jagung setelah biji dipipil.
Kandungan nutrisi tongkol jagung berdasarkan analisis di Laboratorium Ilmu
Makanan Ternak meliputi kadar air, bahan kering, protein kasar dan serat kasar
berturut-turut sebagai berikut 29,54; 70,45; 2,67 dan 46,52% dalam 100% bahan
kering (BK).
Tongkol jagung merupakan sisa hasil pertanian yang masih memiliki
kualitas yang rendah. Tongkol jagung digunakan sebagai bahan konsentrat pada
pakan ternak ruminansia. Kandungan serat kasar tinggi, protein dan kecernaan
rendah. Oleh karena itu, dalam pemanfaatannya sebagai bahan pakan, tongkol
jagung perlu ditingkatkan kualitasnya antara lain dengan teknologi pengolahan
amoniasi fermentasi (amofer) atau pembuatan silase.
Upaya peningkatan kualitas tongkol jagung sebagai pakan ruminasia dapat
dilakukan dengan perlakuan fisik, kimiawi, biologi atau gabungan perlakuan
tersebut. Perlakuan fisik dengan pencacahan dapat digabungkan dengan perlakuan
kimiawi berupa amoniasi dan perlakuan biologi yaitu fermentasi menggunakan
starter mikrobia sellulolitik. Salah satu fungsi amoniasi adalah memutus ikatan
lignoselulosa dan hemiselulosa serta menyediakan sumber N untuk mikrobia,
sedangkan fungsi fermentasi adalah dapat menurunkan serat kasar dan sekaligus
meningkatkan kecernaan bahan pakan berserat. Proses fermentasi bertujuan
menurunkan kadar serat kasar, meningkatkan kecernaan dan sekaligus
meningkatkan kadar protein kasar (Tampoebolon, 1997). Penggunaan teknologi
amoniasi fermentasi, dapat meningkatkan kandungan protein kasar tongkol jagung
dengan menurunkan kandungan serat kasar, serta meningkatkan kecernaan tongkol

4
jagung, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pakan yang baik untuk ternak
ruminansia.
B. Kendala Pemanfaatan Sebagai Pakan Ternak
Tanaman jagung termasuk jenis tanaman pangan yang diketahui banyak
mengandung serat kasar dimana tersusun atas senyawa kompleks lignin,
hemiselulose dan selulose (lignoselulose), dan masing-masing merupakan
senyawa-senyawa yang potensial dapat dikonversi menjadi senyawa lain secara
biologi. Selulose merupakan sumber karbon yang dapat digunakan mikroorganisme
sebagai substrat dalam proses fermentasi untuk menghasilkan produk yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi (Aguirar, 2001; Suprapto dan Rasyid, 2002).
Tongkol jagung merupakan sisa hasil pertanian yang masih memiliki
kualitas yang rendah. Tongkol jagung digunakan sebagai bahan konsentrat pada
pakan ternak ruminansia. Kandungan serat kasar tinggi, protein dan kecernaan
rendah. Oleh karena itu, dalam pemanfaatannya sebagai bahan pakan, tongkol
jagung perlu ditingkatkan kualitasnya antara lain dengan teknologi pengolahan
amoniasi fermentasi (amofer).
Limbah perkebunan jagung bukanlah pakan yang berkualitas baik karena
mengandung kadar protein dan karotenoid yang rendah dan kadar serat yang tinggi
dan juga mudah ditumbuhi cendawan pada kondisi suhu panas. Bila limbah
perkebunan ini diberikan kepada ternak tanpa disuplementasi atau diberi perlakuan
sebelumnya maka nutrisi limbah ini tidak akan cukup untuk mempertahankan
kondisi ternak. Oleh sebab itu, disarankan pencampuran jerami jagung dengan
leguminosa sebagai sumber protein ketika akan diberikan ke ternak atau bila hendak
dibuat silase (Kaiser dan Piltz, 2002).
Penggunaan limbah hasil pertanian/perkebunan sebagai pakan ternak
terlihat mudah dan ekonomis, namun perlu memperhatikan akan timbulnya residu
kimiawi di dalam produk ternak yang dihasilkan serta kandungan antinutrisi atau
toksin yang terdapat di dalam limbah hasil pertanian tersebut. Beberapa tanaman
pangan maupun perkebunan dilaporkan terdapat toksin dan antinutrisi yang dapat
mempengaruhi kesehatan ternak, ternyata memiliki beberapa kelemahan berupa
efek samping terhadap kesehatan ternak dan manusia yang bukan merupakan target

5
utamanya. Efek toksik dari pestisida terhadap berbagai hewan non-target seperti
unggas, sapi dan bahkan manusia telah banyak dilaporkan (Sabrani dan Setioko,
1983; Indraningsih, 1988; Njau, 1988).
Keracunan pestisida organofosfat (OP) pada sapi perah di Jawa Barat
terlihat setelah diberi pakan hijauan yang terkontaminasi yang meliputi hiperemia
mata, eksudasi cairan mukus pada mata, hipersalivasi, diare, sesak napas dan
kematian ternak (Indraningsih, 1988). Disamping itu residu pestisida dapat
terbentuk di dalam produk ternak akibat penggunaan yang berlebihan tanpa
mengikuti petunjuk aturan pakai yang telah disarankan oleh produsen. Residu
pestisida dalam produk ternak dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat sebagai
konsumen produk ternak tersebut seperti gejala keracunan, imunosupresi dan
karsinogenik (Goebel et al., 1982; Varsheya et al., 1988).
Jagung mudah ditumbuhi cendawan (mikotoksin) bila kadar airnya lebih
dari 14% atau aw = 0,62. Cendawan akan lebih mudah tumbuh kalau jagung basah
disimpan di ruangan yang panas dan lembab. Apabila cendawan yang tumbuh
menghasilkan racun maka racun tersebut berpengaruh buruk terhadap ternak.
Beberapa jenis racun cendawan atau mikotoksin ditemukan pada jagung, termasuk
aflatoksin, T-2 toksin, zealarenon, dan DON. Racun aflatoksin hampir selalu
dijumpai pada jagung di Indonesia dengan kadar bervariasi antara 20-2.000 ppb
(Tangendjaja dan Rachmawati 2006). Racun ini dapat menimbulkan kanker hati
pada ternak terutama itik yang sangat sensitif terhadap racun aflatoksin dan
menekan kekebalan tubuh sehingga dapat menurunkan produksi.
Jagung juga mengandung senyawa anti nutrisi berupa asam fitat yang dapat
menghambat penyerapan mineral dalam tubuh (Proll et al. 1998; Faber et al. 2005;
Onofiok dan Nnanyelugo 2006). Asam fitat (mio-inositol heksakisfosfat)
merupakan bentuk penyimpanan fosfor yang terbesar pada tanaman serealia dan
leguminosa. Di dalam biji, fitat merupakan sumber fosforus dan inositol utama bagi
tanaman, terdapat dalam bentuk garam dengan kalium, kalsium, magnesium, dan
logam lain. Pada kondisi alami, asam fitat akan membentuk ikatan baik dengan
mineral bervalensi dua (Ca, Mg, Fe), maupun protein menjadi senyawa yang sukar
larut. Hal ini menyebabkan mineral dan protein tidak dapat diserap tubuh, atau nilai

6
cernanya rendah, oleh karena itu asam fitat dianggap sebagai antinutrisi pada bahan
pangan. Ketidaklarutan fitat pada beberapa keadaan merupakan salah satu faktor
yang secara nutrisional dianggap tidak menguntungkan, karena dengan demikian
menjadi sukar diserap tubuh. Dengan adanya perlakuan panas, pH, atau perubahan
kekuatan ionik selama pengolahan dapat mengakibatkan terbentuknya garam fitat
yang sukar larut.
Kendala yang dihadapi kemungkinan adalah tidak adanya ruang
penyimpanan yang memadai. Bila silase dibuat dalam kantong plastik, dibutuhkan
suasana kedap udara dan plastik tidak boleh robek atau bocor. Gigitan tikus
biasanya merupakan penyebab utama kantong plastic robek/bocor. Kendala lain
adalah tidak adanya tambahan modal untuk menyediakan/membeli kantong plastik
atau ember/drum plastik. Kurangnya waktu untuk membuat silase karena petani
biasanya sibuk untuk mengeringkan hasil panen biji-biji jagung terlebih dahulu.
Selain dibuat hay dan silase, limbah jagung dapat juga diamoniasi. Amoniasi dapat
dilakukan sebelum dibuat silase dengan menambahkan urea sebanyak 34 g per kg
limbah. Literatur mengenai proses amoniasi jerami jagung masih terbatas,
sebaliknya amoniasi telah sering dilakukan untuk limbah pertanian yang lain
misalnya jerami padi. Sifat basa dalam proses amoniasi akan membengkakkan
serat/memotong ikatan glikosida di dalam selulosa (proses swelling) sehingga serat
menjadi mudah dihancurkan oleh mikroba-mikroba di dalam rumen.
C. Cara Mengatasi
Upaya peningkatan kualitas tongkol jagung sebagai pakan ruminasia dapat
dilakukan dengan perlakuan fisik, kimiawi, biologi atau gabungan perlakuan
tersebut. Perlakuan fisik dengan pencacahan dapat digabungkan dengan perlakuan
kimiawi berupa amoniasi dan perlakuan biologi yaitu fermentasi menggunakan
starter mikrobia sellulolitik. Salah satu fungsi amoniasi adalah memutus ikatan
lignoselulosa dan hemiselulosa serta menyediakan sumber N untuk mikrobia,
sedangkan fungsi fermentasi adalah dapat menurunkan serat kasar dan sekaligus
meningkatkan kecernaan bahan pakan berserat. Proses fermentasi bertujuan
menurunkan kadar serat kasar, meningkatkan kecernaan dan sekaligus
meningkatkan kadar protein kasar (Tampoebolon, 1997). Penggunaan teknologi

7
amoniasi fermentasi, dapat meningkatkan kandungan protein kasar tongkol jagung
dengan menurunkan kandungan serat kasar, serta meningkatkan kecernaan tongkol
jagung, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pakan yang baik untuk ternak
ruminansia.
Penggunaan limbah tanaman jagung sebagai pakan dalam bentuk segar
adalah yang termudah dan termurah tetapi pada saat panen hasil limbah tanaman
jagung ini cukup melimpah maka sebaiknya disimpan untuk stok pakan pada saat
musim kemarau panjang atau saat kekurangan pakan hijauan. Di Indonesia,
kebanyakan petani akan memberikan tanaman jagung secara langsung kepada
ternaknya tanpa melalui proses sebagaimana yang dilakukan oleh peternak
komersial sapi perah yang ada di Sumatera Utara (Sitepu, komunikasi pribadi)
ataupun di Jawa Timur (Wibowo, komunikasi pribadi).
Di daerah Indonesia bagian Timur, jerami jagung selain diberikan dalam
bentuk segar, dapat dikeringkan atau diolah menjadi pakan awet seperti pelet, cubes
dan disimpan untuk cadangan pakan ternak (Nulik et al., 2006). Sedangkan di
Amerika dan negara lain seperti Argentina dan Brazil yang merupakan negara
produsen jagung, limbah jagung sangat berlimpah (Mccutcheon dan Samples,
2002). Pengolahan limbah jagung merupakan hal yang diperlukan agar kontinuitas
pakan terus terjamin. Walaupun sebagian besar limbah tersebut diberikan kepada
ternak dengan cara menggembalakan ternak langsung di areal penanaman setelah
jagung dipanen, namun sebagian limbah tersebut diproses atau disimpan dengan
cara dibuat hay (menjadi jerami jagung kering) atau diawetkan dalam bentuk silase
sebagai pakan cadangan (Mccutcheon dan Samples, 2002).
Beberapa teknologi pengolahan limbah jagung yang telah dikenal antara lain
adalah:
 Pembuatan Hay
Di Indonesia, hay dengan mudah dibuat dengan membiarkan sisa panen jagung
di bawah terik matahari sehingga diperoleh jerami jagung yang kering, Di luar
negeri yang jumlah limbahnya setelah panen sangat melimpah dan waktu panen
sudah mendekati musim dingin, maka pembuatan hay harus menggunakan mesin
pengering. Setelah kering, hay dikumpulkan dan dipadatkan menyerupai

8
gelondongan kemudian ditutup dengan plastik agar tidak kehujanan untuk
digunakan sebagai persediaan pakan ternak selama musim dingin. Penyimpanan
hay di tempat kering merupakan hal yang harus dipraktekkan. Kondisi yang panas
dan lembab di Indonesia sangat memudahkan tumbuhnya jamur pada hay yang
menjadi basah bila penyimpanannya kurang baik.
 Pembuatan silase
Limbah jagung yang dapat dibuat silase adalah seluruh tanaman termasuk
buah mudanya atau buah yang hampir matang atau limbah yang berupa tanaman
jagung setelah buah dipanen dan kulit jagung. Tanaman jagung yang tersisa dari
panen jagung masih cukup tinggi kadar airnya. Untuk pembuatan silase, dibutuhkan
kadar air sekitar 60%. Oleh sebab itu, tanaman jagung harus dikeringkan sekitar 2
– 3 hari. Limbah dipotong menjadi potongan-potongan kecil lalu dimasukkan
sambil dipadatkan sepadat mungkin ke dalam kantong-kantong plastik kedap udara
atau dalam silo-silo yang berbentuk bunker (Nusio, 2005).
Bila dalam proses pembuatan silase suasana kedap udara tidak 100% maka
bagian permukaan silase sering terkontaminasi dan ditumbuhi oleh bakteri lain
yang merugikan seperti bakteri Clostridium tyrobutyricum yang mampu mengubah
asam laktat menjadi asam butirat (Driehuis dan Giffel, 2005). Bila seluruh tanaman
jagung termasuk buahnya dibuat menjadi silase maka karbohidrat terlarut yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri sudah mencukupi. Bila yang dibuat silase
hanya jerami jagung atau kulit jagung, maka perlu ditambahkan molases sebagai
sumber karbohidrat terlarut atau dapat pula ditambahkan starter (bakteri atau
campurannya) untuk mempercepat terjadinya silase. Mikroba yang ditambahkan
biasanya bakteri penghasil asam laktat seperti Lactobacillus plantarum,
Lactobacillus casei, Lactobacillus lactis, Lactobacillus bucheneri, Pediocococcus
acidilactici, Enterococcus faecium, yang menyebabkan pH silase cepat turun
(Nusio, 2005).
Proses silase akan memakan waktu kurang lebih 3 minggu bila tidak
ditambah starter. Produk silase jagung yang baik atau sudah jadi ditandai dengan
bau yang agak asam karena pH silase biasanya rendah (sekitar 4) dan berwarna
coklat muda karena warna hijau daun dari khlorofil akan hancur sehingga limbah

9
menjadi kecoklatan. Bila ditambah molases, silase yang dihasilkan agak berbau
sedikit harum. Walaupun baunya agak asam, akan tetapi cukup palatabel bagi
ternak. Silase merupakan proses yang sangat umum dilakukan di negara-negara
yang mempunyai 4 musim karena pada musim dingin, tidak tersedia stok rumput
segar untuk diberikan ternak. Banyak sekali penelitian yang telah dilaporkan untuk
melihat pengaruh jenis tanaman jagung, ukuran cacahan, umur panen, dan
sebagainya. terhadap kualitas silase maupun performans ternak (johnson et al.,
2003; Neylon dan Kung, 2003), namun sampai saat ini proses adopsi teknologi ini
tetap saja rendah di tingkat peternak padahal di Indonesia terutama di daerah
Indonesia bagian Timur sering terjadi kemarau panjang yang mengakibatkan
kekurangan pakan berkualitas.
 Fermentasi
Proses fermentasi juga telah dilakukan terhadap limbah tanaman jagung.
Pamungkas et al. (2006) menggunakan Pleurotus flabelatus untuk fermentasi
jerami jagung. Jamur Pleurotus merupakan jamur pembusuk putih (white rot fungi).
Jamur ini dapat mengeluarkan enzim-enzim pemecah selulosa dan lignin sehingga
kecernaan bahan kering jerami jagung akan meningkat. Sedangkan (Rohaeni et al.
2006) menggunakan Trichoderma virideae untuk memfermentasi tongkol jagung.
Sebelum proses fermentasi dilakukan, diperlukan mesin penghancur/penggiling
tongkol jagung sehingga diperoleh ukuran partikel tongkol jagung sebesar butiran
biji jagung. Jamur Trichoderma termasuk jamur penghasil selulase sehingga
banyak digunakan untuk memfermentasi limbah-limbah pertanian. Tongkol
dicampur dengan jamur Trichoderma dan dibiarkan selama 4 – 7 hari dalam tempat
tertutup. Fermentasi biasanya akan meningkatkan nilai nutrisi atau nilai kecernaan
bahan kering suatu bahan serta dapat pula menyebabkan bahan menjadi lebih
palatabel bagi ternak.
Pemanfaatan tongkol jagung sebagai komponen ransum domba belum
banyak dilakukan karena sifat fisik yang keras ditambah dengan nilai nutrisinya
yang rendah, sehingga diperlukan upaya pengolahan lebih lanjut untuk
memperbaiki nilai nutrisinya. Perkembangan teknologi pascapanen jagung dalam
menghasilkan jagung pipilan kering telah mampu menghasilkan limbah berupa

10
tongkol jagung dengan ukuran partikel yang lebih kecil sehingga memungkinkan
digunakan sebagai komponen ransum domba. Namun pada kondisi seperti ini, nilai
nutrisi tongkol jagung tidak mengalami perubahan sehingga bentuk pengolahan lain
yang dapat meningkatkan nilai nutrisinya masih perlu dilakukan. Salah satu metode
pengolahan yang dapat dilakukan adalah pemanfaatan jasa teknologi fermentasi
menggunakan kapang Neurospora sitophila.
Menurut Rachman (1989) fermentasi merupakan proses yang melibatkan
aktifitas mikroba untuk memperoleh energi melalui pemecahan substrat yang
berguna untuk keperluan metabolisme dan pertumbuhannya sehingga dapat
menyebabkan perubahan sifat bahan pakan sebagai akibat dari pemecahan
kandungan zat makanan dalam bahan pakan tersebut. Lebih lanjut dikemukakan
oleh Winarno, dkk (1980) bahwa hasil fermentasi terutama tergantung pada
substrat, jenis mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang akan mempengaruhi
pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut. Pada proses fermentasi, mikroba
akan membutuhkan sejumlah energi untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakannya yang akan diperoleh melalui perombakan zat makanan
didalam substrat. Perubahan kimia yang terjadi didalam substrat diakibatkan oleh
aktifitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba tersebut yang meliputi perubahan
molekul komplek seperti karbohidrat, protein, dan lemak menjadi molekul yang
lebih sederhana dan mudah dicerna.
Proses fermentasi menggunakan kapang Neurospora sp dapat menghasilkan
perubahan nilai nutrisi tongkol jagung, karena Neurospora sp mengandung
sejumlah spora yang pada pertumbuhannya mampu menghasilkan enzim amilolitik,
proteolitik dan lipolitik serta adaptip terhadap lingkungan aerobik sehingga dapat
menguraikan komponen zat makanan didalam substrat menjadi komponen yang
lebih kecil, lebih mudah larut dan menghasilkan aroma yang khas (Shurtleff dan
Aoyagi, 1979). Neurospora sitophila sebagai kapang kelas Ascomycetes,
merupakan soft rot fungi yang dapat mendegradasi lignin dan bahan lignoselulolitik
(Amer dan Stephen, 1980). Neurospora sitophila mudah tumbuh dan cepat
menghasilkan keturunan, kapang ini dapat tumbuh baik pada kelembaban yang
tinggi dan mempunyai suhu pertumbuhan antara 200 ˚C sampai 300˚C pada kondisi

11
aerobic (Judoamidjojo, dkk, 1989). Neurospora sitophila termasuk kapang
mesophilik yang memiliki suhu optimum pertumbuhan sekitar 300 C dengan angka
kelembaban sekitar 70 % sampai 90 %, sedangkan pH lingkungan yang
dibutuhkannya berkisar antara 4,5 – 6,5 (Steinkraus, dkk. 1965).
D. Kandungan Zat Makanan
D.1 Komposisi limbah tanaman jagung
Tanaman jagung termasuk tanaman monokotil dari genus Zea yang tumbuh
dengan baik pada tanah yang bertekstur latosal dengan tingkat kemiringan 5 – 8%,
keasaman 5,6 – 7,5 serta suhu antara 27 – 32ºC (Azrai et al., 2007). Selain buah
ataubijinya, tanaman jagung menghasilkan limbah dengan proporsi yang bervariasi
dengan proporsi terbesar adalah batang jagung (stover) diikuti dengan daun,
tongkol dan kulit buah jagung (Tabel 1).
Nilai palatabilitas yang diukur secara kualitatif menunjukkan bahwa daun
dan kulit jagung lebih disukai oleh ternak dibandingkan dengan batang ataupun
tongkol (Wilson et al., 2004). Nilai proporsi limbah yang hampir sama dilaporkan
oleh Anggraeny et al. (2006) yaitu limbah dari beberapa varietas jagung yang
dikembangkan oleh Balai Penelitian Jagung dan Serealia, Maros. Proporsi batang
bervariasi antara 55,38 – 62,29%, proporsi daun antara 22,57 – 27,38% dan proporsi
klobot antara 11,88 – 16,41%. Dalam studi Anggraeny et al. (2006), tongkol jagung
tidak diperhitungkan dalam proporsi limbah.
D.2 Nilai nutrisi
Nilai nutrisi dari limbah tanaman dan hasil samping industri jagung sangat
bervariasi. Kulit jagung mempunyai nilai kecernaan bahan kering in vitro yang
tertinggi (68%) sedangkan batang jagung merupakan bahan yang paling sukar
dicerna di dalam rumen (51%) (Mc Ctucheon dan Samples, 2002). Nilai kecernaan
kulit jagung dan tongkol (60%) ini hampir sama dengan nilai kecernaan rumput
Gajah sehingga kedua bahan ini dapat menggantikan rumput Gajah sebagai sumber
hijauan. Total nutrien tercerna (TDN) yang tertinggi terkandung pada silase
tanaman jagung termasuk buah yang matang sedangkan yang terendah dijumpai
pada tongkol (Tabel 2). Faktor yang penting dalam menyusun ransum komplit

12
adalah nilai TDN. Kebutuhan TDN untuk penggemukan sapi potong maupun sapi
perah cukup tinggi dan syarat minimum TDN dapat dilihat dalam NRC (2001).

Kandungan nutrisi pada tongkol jagung adalah sebagai berikut:


Tabel 1. Proporsi limbah tanaman jagung, kadar protein kasar dan nilai kecernaan
bahan keringnya

Limbah Kadar air Proporsi Protein Kecernaan


jagung (%) limbah kasar BK in vitro
(% BK) (%) (%)

Batang 70 – 75 50 3,7 51
Daun 20 – 25 20 7,0 58
Tongkol 50 – 55 20 2,8 60
Kulit 45 – 50 10 2,8 68
jagung

Sumber: Mc Cutcheon dan Samples (2002); Wilson et al. (2004)

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Metode adalah cara yang sistematis untuk mencapai suatu tujuan yang telah
direncakan. Penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak metode penyuluhan yang
akan digunakan, akan lebih banyak perubahan yang terjadi dalam diri individu.
Meminjam pendapat Mounder dalam Suriatna (1987) menggolonggakan metode
penyluhan menjadi 3 (tiga) golongan berdasarkan jumlah sasaran yang dapat di
capaiyaitu, metode berdasarkan pendekatan perseorangan, metode berdasarkan
pendekatan kelompok, dan metode berdasarkan pendekatan massal.
Metode penyuluhan yang akan digunakan adalah metode ceramah, dan
demonstrasi. Penggunaan metode tersebut diharapkan agar petani dapat dengan
mudah menerima informaasi yang disampaikan. Karena selain mendengarkan
petani juga dapat melihat cara kerja dari suatu materi penyuluhan karena langsung
dipraktikkan. Ceramah adalah penyampaian materi tanpa banyak partisipasi dalam
bentuk pertanyaan atau diskusi dari pihak peserta. Demonstrasi merupakan suatu
metode penyuluhan di lapangan untuk memperlihatkan secara nyata tentang
caradan/atau hasil penerapan teknologi pertanian yang telah terbukti
menguntungkan bagi petani.

Tongkol jagung/janggel adalah limbah yang diperoleh ketika biji jagung


dirontokkan dari buahnya. Tongkol jagung merupakan sisa hasil pertanian yang
masih memiliki kualitas yang rendah. Limbah perkebunan jagung bukanlah pakan
yang berkualitas baik karena mengandung kadar protein dan karotenoid yang
rendah dan kadar serat yang tinggi dan juga mudah ditumbuhi cendawan pada
kondisi suhu panas. Penggunaan limbah hasil pertanian/perkebunan sebagai pakan
ternak terlihat mudah dan ekonomis, namun perlu memperhatikan akan timbulnya
residu kimiawi di dalam produk ternak yang dihasilkan serta kandungan antinutrisi
atau toksin yang terdapat di dalam limbah hasil pertanian tersebut.

14
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2017. Pemanfaatan limbah tongkol jagung (http: //jualjagungbibit.blo


gspot.com/2017/03/pemanfaatan-limbah-tongkol-jagung.html)[Diakses
pada tanggal 18 Oktober 2018]

Anonimous. 2015. Pemanfaatan limbah tongkol jagung sebagai pakan alternatif.


(http://extensionb4.blogspot.com/2015/05/latar-belakang-diadakan-
penyuluhan.html) [Diakses pada tanggal 19 Oktober 2018]

Anonimous. 2011. Metode Dalam Penyuluhan (http://prasko17.blogspot.com/


2011/08/metode-dalam-penyuluhan.html) [Diakses pada tanggal 19
Oktober 2018]

Burhan. 2012. Metode dan Teknik Penyuluhan (https://burhad182.Word press.


com/2012/06/28/metode-dan-teknik- penyuluhan/) [Diakses pada tanggal
19 Oktober 2018]

Falah. 2017. Berbagai metode penyuluhan pertanian. (https//hayatalfalah.blogspot.


com/2017/03/berbagai-metode-penyuluhan-pertanian.html) [Diakses pada
tanggal 19 Oktober 2018]

15

Anda mungkin juga menyukai