plantarum
A. Pendahuluan
Salah satu industri pengolahan rumput laut yang menghasilkan limbah tinggi adalah
pengolahan produk agar. Jumlah limbah padat yang dihasilkan pada pengolahan agar
berkisar antara 70%–85%. Limbah yang tidak termanfaatkan dibuang ke sungai sehingga
menimbulkan bau busuk dan mencemari lingkungan (Basmal et al., 2003).
Uji proksimat yang dilakukan oleh Devis (2008) pada ampas rumput laut kering
didapatkan presentase kadar air sebesar 11.28%, kadar abu 36.05%, kadar lemak 0.42%,
kadar protein 1.86%, kadar serat kasar 8.96% dan BETN 41.43%. Tingginya kadar abu
menjadikan ampas rumput laut berpotensi sebagai bahan pakan. Ampas rumput laut
memiliki bau khas yang kurang disukai ternak, disamping itu tingginya kadar air yang
dimiliki ampas rumput laut menyebabkan jamur mudah tumbuh sehingga memiliki umur
simpan yang relatif singkat.
Silase merupakan pakan yang diawetkan melalui ensilase dengan melalui proses
fermentasi asam laktat dalam kondisi anaerob. Proses ensilase berlangsung selama 21 hari
dan tetap stabil hingga hari 28 (Utomo, 2013). Silase bertujuan untuk memperpanjang
umur simpan, selain itu juga berperan untuk meningkatkan kualitas bahan pakan.
Menurut Syamsuddin et. al (2004), kualitas dan nilai nutrisi silase dipengaruhi sejumlah
faktor seperti spesies tanaman, fase pertumbuhan dan kandungan bahan kering saat
panen, mikroorganisme yang terlibat dalam proses dan penggunaan bahan tambahan
(additive). Silo merupakan tempat pembuatan silase, sedangkan ensilase adalah proses
pembuatan silase. Silo dapat dibuat di atas tanah yang bahannya berasal dari: tanah,
beton, baja, anyaman bambu, tong plastik, drum bekas, plastik dan lain sebagainya.
Fermentasi silase dimulai saat oksigen telah habis digunakan oleh sel tanaman. Bakteri
menggunakan karbohidrat mudah larut untuk menghasilkan asam laktat dalam
menurunkan pH silase. Menurut Ratnakomala (2006), Lactobacillus plantarum adalah
salah satu mikroba yang paling umum dan berpotensial untuk digunakan sebagai inokulan
silase.
Menurut Wina (2000), pemberian bahan pengawet pada pembuatan silase dapat secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dengan menggunakan Natrium
bisulfat, Sulfur oxida, Asam chlorida, Asam sulfat atau Asam propionat. Pemberian bahan
pengawet atau tambahan (additif) secara tidak langsung ialah dengan memberikan
tambahan bahan - bahan yang mengandung hidrat arang (carbohydrate) yang siap
diabsorpsi oleh mikroba, antara lain : (a) molases (tetes tebu) 2.5 – 3.00 kg / 100 kg
hijauan; (b) onggok (tepung) 2.5 kg / 100 kg hijauan; (c) tepung jagung 3.5 kg / 100 kg
hijauan; (d) dedak halus 5.0 kg / 100 kg hijauan; atau (e) ampas sagu 7.0 kg / 100 kg
hijauan. Berdasarkan penelitian Syamsuddin et. al (2004), manfaat pembuatan silase yaitu
dapat dijadikan persediaan makanan ternak pada musim kemarau, menampung kelebihan
HMT pada musim hujan dan memanfaatkan secara optimal serta mendayagunakan hasil
ikutan dari limbah pertanian dan perkebunan.
Pembuatan silase ampas rumput laut diharapkan dapat memanfaatkan limbah yang
ada menjadi pakan ternak sehingga mengurangi pencemaran yang terjadi, memperpanjang
umur simpan, dan memperbaiki aroma yang dimiliki sehingga lebih mudah diterima oleh
ternak.
B. Karakteristik Ampas Rumput Laut
Ampas rumput laut yang digunakan merupakan limbah dari pengolahan pembuatan
agar-agar tepung. Menurut SNI (2005) agar-agar tepung merupakan polisakarida berupa
tepung yang diperoleh dari ekstraksi, bersifat koloid bila dilarutkan dalam air mendidih
dan menjedal bila didinginkan. SNI (2005) menyatakan bahan yang digunakan dalam
pembuatan agar-agar tepung antara lain kapur, NaOH, KOH, asam asetat atau asam
formiat sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan.
Berdasarkan hasil pengamatan ampas rumput laut memiliki aroma khas ampas rumput
laut yaitu bau seperti tanah, kayu basah, dan besi, berwarna krem, dan bertekstur halus
mirip seperti dedak padi atau onggok. Hasil analisa menunjukkan bahwa ampas rumput
laut memiliki nilai pH 5.5 dan nilai aktivitas air 0.872. Kandungan nutrien ampas rumput
laut dapat dilihat pada Tabel 2.
Ampas rumput laut di giling hingga halus menggunakan grinder. Ampas rumput laut
halus ditambah dengan 5% molases yang telah dilarutkan dalam air dan dicampur merata
menggunakan mixer. Campuran ampas rumput laut dipadatkan agar udara keluar. Tutup
toples dirapatkan dengan sealtape pada bagian dalam dan isolasi pada bagian luar.
Didiamkan selama 28 hari (Utomo, 2013). Berikut adalah diagram alir proses pembuatan
silase dari ampas rumput laut
Molases 5% Air 30%
Indikator keberhasilan silase dapat dilihat dari karakteristik fisik silase yang
dihasilkan. Karakteristik fisik merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kualitas silase.
a. Aroma
b. Warna
c. Tekstur
d. Presentase Kerusakan
Karakteristik kimia silase ampas rumput laut yang diukur meliputi nilai pH, nilai
aktivitas air, dan persentase kehilangan bahan kering.
a. Nilai pH
b. Aktivitas Air
Aktivitas air merupakan air yang secara fisik terikat dalam jaringan bahan. Air
tersebut dapat dengan mudah diuapkan atau dimanfaatkan mikroorganisme sebagai
media reaksi kimiawi (Divakaran, 2003). Nilai aktivitas air menjadi salah satu faktor
yang mempengaruhi kualitas suatu bahan karena memicu pertumbuhan
mikroorganisme yang juga berperan dalam perubahan enzimatik (Herawati, 2008).
Berdasarkan sidik ragam, perlakuan penambahan Lactobacillus plantarum pada
silase ampas rumput laut tidak berbeda nyata terhadap nilai aktifitas air yang
dihasilkan. Nilai aktivitas air yang dihasilkan pada silase ampas rumput laut berkisar
antara 0.857 – 0.866. Nilai tersebut cukup tinggi karena menurut Herawati (2008),
aktivitas air melebihi 0.7 mampu mendukung pertumbuhan mikroorganisme patogen
sehingga akan menurunkan tingkat keamanan produk. Pertumbuhan mikroorganisme
dapat ditekan dengan kondisi asam yang terjadi karena menurunnya pH silase ampas
rumput laut. Hal ini didukung pernyataan Dharmawati et al. (2014) bahwa, pH yang
rendah tidak memungkinkan tumbuhnya bakteri dan cendawan yang menyebabkan
kerusakan pada silase, sehingga silase dapat disimpan dalam waktu yang lama.
Hasil analisis ragam menyatakan kehilangan bahan kering yang terjadi tidak
berbeda nyata. Besar kehilangan BK pada penelitian ini berkisar antara 2.81% -
6.51%. Nilai tersebut tergolong normal sesuai dengan pernyataan Parakkasi (1999)
yang menyatakan kehilangan BK hingga 10% dalam proses ensilase masih tergolong
normal. Semakin besar penambahan Lactobacillus plantarum semakin kecil
kehilangan BK yang terjadi. Penambahan Lactobacillus plantarum diduga dapat
menekan persentase kehilangan BK yang terjadi selama proses ensilase. Menurut
McDonald et al. (2002) kehilangan BK yang terjadi dipengaruhi oleh kandungan
nutrisi bahan dan mikroorganisme yang terlibat pada proses ensilase.
Kandungan nutrien yang diuji pada silase ampas rumput laut antara lain abu, protein
kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, Ca, P, dan TDN.
Kadar abu silase ampas rumput laut berkisar antara 50.91 – 54.07. Abu adalah suatu
zat anorganik yang berhubungan dengan jumlah mineral yang terkandung pada bahan.
Kadar kalsium silase berkisar antara 1.16 – 2.06 dengan kadar kalsium tertinggi dimiliki
silase tanpa penambahan Lactobacillus plantarum. Kadar pospor silase ampas rumput
laut berkisar antara 0.09-0.14 dengan kadar pospor tertinggi dimiliki oleh silase ampas
rumput laut dengan penambahan Lactobacillus plantarum 0.1%.
Protein kasar silase ampas rumput laut berkisar antara 2.62 – 3.28, dengan kandungan
protein terbesar dimiliki oleh silase ampas rumput laut tanpa penambahan Lactobacillus
plantarum. Silase ampas rumput laut dengan penambahan Lactobacillus plantarum
sebanyak memiliki kadar protein lebih rendah jika dibandingkan dengan silase ampas
rumput laut tanpa penambahan Lactobacillus plantarum. Hal tersebut diduga terjadi
karena adanya degradasi protein oleh Lactobacillus plantarum. pernyataan tersebut
didukung Gilliland (1993) yang menyatakan bahwa Lactobacillus mampu mendegradasi
gula, protein dan peptida menjadi asam amino.
Kadar lemak silase ampas rumput laut berkisar antara 0.04-2.08, dengan kadar lemak
tertinggi pada silase ampas rumput laut tanpa penambahan Lactobacillus plantarum.
Silase dengan penambahan Lactobacillus plantarum memiliki kadar lemak silase lebih
rendah jika dibandingkan silase tanpa penambahan Lactobacillus plantarum. Hal tersebut
kemungkinan disebabkan oleh aktivitas mikroba yang mendegradasi lemak menjadi
gliserol dan asam lemak yang digunakan sebagai sumber energi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Butt (1999) yang menyatakan bahwa dalam proses fermentasi kadar lemak
mengalami penurunan karena beberapa asam lemak digunakan untuk pembentukan
energi.
Kadar serat silase ampas rumput laut berkisar antara 0.21-0.57 dengan kadar serat
kasar terendah pada perlakuan penambahan Lactobacillus plantarum 0.1% dan kadar
serat kasar tertinggi pada silase ampas rumput laut tanpa penambahan Lactobacillus
plantarum. Secara deskriptif terdapat penurunan pada silase dengan penambahan
Lactobacillus plantarum .Penurunan kadar serat pada silase ampas rumput laut dengan
penambahan Lactobacillus plantarum terjadi karena adanya proses degradasi serat selama
ensilase. Hal ini didukung dengan pernyataan Tillman et al. (1998) bahwa penurunan
serat kasar terjadi karena adanya proses degradasi enzimatik komponen serat kasar seperti
selulosa, hemiselulosa, dan lignoselulosa oleh bakteri menjadi gula-gula sederhana.
Kondisi ini pula yang menyebabkan adanya lebih besarnya BETN pada silase.
Kandungan BETN silase ampas rumput laut berkisar antara 41.99-45.71, dengan
kandungan BETN terbesar dimiliki oleh silase ampas rumput laut dengan penambahan
0.3% Lactobacillus plantarum.
TDN merupakan total energi zat makanan pada ternak yang disetarakan dengan energi
dari karbohidrat. Dapat diperoleh menggunakan perhitungan data hasil analisis proksimat.
TDN silase ampas rumput laut berkisar antara 50.36 – 57.32. Silase ampas rumput laut
dengan penambahan Lactobacillus plantarum memiliki TDN lebih besar dibandingkan
silase ampas rumput laut tanpa penambahan Lactobacillus plantarum. Parrakasi (1999)
menyatakan proses ensilase meningkatkan nilai energi silase dibanding dengan bahan
asalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Basmal J, Yeni Y, Murdinah, Suherman M, & Gunawan B. (2003). Laporan teknis pusat riset
pengolahan produk dan sosial ekonomi kelautan dan perikanan. Jakarta : Badan
Riset Kelautan dan Perikanan – Departemen Kelautan dan Perikanan.
Butt H. (1999). Exploring management protocols for chronic fatique syndrome: a case for pro
and prebiotics. Probiot. 8:2-6
Davies D. (2007). Improving silage quality and reducing CO2 emission. California (US):
Dow Chemical.
Devis F. (2008). Bioetanol berbahan dasar ampas rumput laut Kappaphycus alvarezii.
[Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Dharmawati S, Malik A, & Rafli M. (2014). Tingkat penggunaan dedak sebagai aditif
terhadap kualitas fisik dan kadar protein silase limbah ikan. Media Sains. 7(1):103
Divakaran S. (2003). Moisture in feed and food product: It is not just water. Feed
Management. 54(7).
Fardiaz. (1989). Mikrobiologi Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Institut Pertanian
Bogor.
Gilliland S. (1993). Bacterial Starter Cultures for Food. Boca Raton, Florida (US): CRS
Press.
Herawati H. 2008. Penentuan umur simpan pada produk pangan. Jurnal Litbang Pertanian
27(4): 124-130.
Kung L, & Nylon J. (2001). Management guidelines during harvest and storage of silage.
Proceedings of Tri State Dairy Conf; Fort Wayne.Fort Wayne(US).
Lado. L . (2007). Evaluasi kualitas silase rumput sudan (Sorghum sudanense) pada
penambahan berbagai macam aditif karbohidrat mudah larut. [Tesis]. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Macaulay, A. (2004). Evaluating silage quality [internet] [diakses 24 November 2018].
Tersedia pada: http://www.agric.gov.ab. ca/department/deptdocs.nsf/all/for4909. html
Makmur I. (2006). Kandungan lemak kasar dan BETN silase jerami jagung (Zea
Matsuhima K. (1979). Feeding Beef Cattle. New York(US): Sprenger Verlag, Berlin
Heidelberg.
mays L) dengan penambahan beberapa level limbah whey. Makassar:Universitas Hasanuddin
McDonald P., Edwards R., Greenhalgh J., & Morgan CA. (2002). Animal Nutrition. England
(GB): Prentice Hall England.
Pamungkas D, & Anggraeny Y. (2006). Probiotik dalam pakan ternak ruminansia. Wartazoa.
16(2):82-91
Parakkasi A. (1999). Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Cetakan Pertama. Jakarta:
Penerbit UIP.
Ratnakomala S., Ridwan R., Kartina G., & Widyastuti Y. (2006). Pengaruh inokulum
Lactobacillus plantarum IA-2 dan IBL-2 terhadap kualitas silase rumput gajah
(Pennisetum purpureum). Biodiversitas. 7 : 131-132.
Santi R., Fatmasari D., Widyawati SD, & Suprayogi W. (2012). Kualitas dan nilai kecernaan
In Vitro silase batang pisang (Musa paradisiaca) dengan penambahan beberapa
akselerator. Tropical Animal Husbandry. 1:15-23
Siregar M. (1996). Pengawetan Pakan Ternak. Jakarta: Penebar Swadaya.
Syamsuddin, N., J .A. Syamsu, E. F . Puspita, & Nurhaeni. (2004). Kualitas fermentasi silase
rumput gajah (Pennisetum purpureum) dengan penambahan inokulan bakteri asam
laktat dan molases . Bull . Nutrisi dan Makanan Ternak 5(1) : 67-75.
Tillman A., Reksohadiprodjo H., Prawirokusumo S., & Lebdosoekojo S. (1998). Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Utomo R. (2013). Konservasi Hijauan Pakan dan Peningkatan Kualitas Bahan Pakan
Berserat Tinggi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Widyastuti Y. (2008). Fermentasi silase dan manfaat probiotik silase bagi ruminansia. Media
Petern. 31 (3) : 225-232.
Wina, E. (2000). Pemanfaatan ragi (yeast) sebagai pakan imbuhan untuk meningkatkan
produktivitas ternak ruminansia. Wartazoa 9(2) : 50-56.