Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Inflamasi atau peradangan merupakan suatu respon fisiologis tubuh

terhadap suatu gangguan dari faktor eksternal. Respon inflamasi berhubungan

erat dengan proses penyembuhan, karena inflamasi menghancurkan agen

penyebab jejas dan menyebabkan rangkaian kejadian yang bertujuan untuk

menyembuhkan atau memperbaiki jaringan yang rusak (Kumar et al.,2005).

Kerusakan sel yang terkait dengan inflamasi berpengaruh pada selaput

membran sel yang menyebabkan leukosit mengeluarkan enzim-enzim

lisosomal dan asam arakhidonat. Metabolisme asam arakhidonat

menghasilkan prostaglandin-prostaglandin yang mempunyai efek pada

pembuluh darah, ujung saraf, dan pada sel-sel yang terlibat dalam inflamasi

(Katzung, 2004).

Proses terjadinya inflamasi sebenarnya merupakan salah satu

mekanisme pertahanan diri dari tubuh terhadap benda asing, tetapi jika proses

ini berlangsung secara terus menerus (kronis) justru akan merusak jaringan

(Docke dkk., 1997; Westerndorp dkk., 1997; Opal dkk., 1996; De Poll dkk.,

1997). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa inflamasi kronis berkaitan

erat dengan adanya peningkatan mutasi seluler yang menginisiasi terjadinya

kanker (Albini & Sporn, 2007; Anonim 2012). Inflamasi yang terjadi terus

menerus pada pembuluh darah berkontribusi langsung pada terbentuknya plak

dalam dinding pembuluh arteri sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah

1
dan menyebabkan tekanan darah tinggi, serangan jantung, serta stroke

(Anonim, 2007; Libby dkk., 2010; Lusis, 2000; Patel dkk., 2008).

Inflamasi terbagi menjadi dua pola dasar, yaitu inflamasi akut dan

inflamasi kronis. Inflamasi akut adalah radang yang berlangsung relative

singkat, dari beberapa menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan

perubahan askuler, eksudasi cairan dan protein plasma serta akumulasi

neutrofil yang menonjol. Inflamasi akut dapat berkembang menjadi inflamasi

kronis jika agen penyebab injuri masih tetap ada. Inflammasi kronis adalah

respon proliferasi dimana terjadi proliferasi fibroblast, endothelium vaskuler,

dan infiltrasi sel monokuler. Respon peradangan meliputi suatu perangkat

kompleks.

Setiap manusia pasti pernah mengalami peradangan pada tubuhnya.

Saat tergores benda tajam, saat terbentur, atau saat timbul jerawat. Hal itu

menumbulkan rasa yang tidak nyaman, seperti timbul rasa nyeri, luka

memerah, timbul benjolan, terasa panas dan tidak berfungsinya anggota tubuh

yang terluka seperti biasanya.

Dari hal-hal yang muncul tersebut diatas memiliki berbagai faktor

yang menyebabkan inflamasi itu terjadi. Proses yang dijalani dari

pembentukkan luka sampai terjadi inflamasi tersebut juga patut kita selidiki.

Kita patut menyelidiki tentang penyebab, mekanisme terjadinya inflamasi,

penanganan serta pengobatannya agar dapat menanganinya dengan baik.

2
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi inflamasi itu?
2. Apa yang menyebabkan inflamasi?
3. Bagaimana tanda-tanda inflamasi?
4. Apa saja mediator inflamasi ?
5. Apa saja sel yang berperan dalam proses inflamasi?
6. Bagaimana mekanisme inflamasi?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi inflamasi.
2. Mengetahui dan memahami penyebab inflamasi.
3. Mengetahui tanda-tanda inflamasi.
4. Mengetahui mediator inflamasi.
5. Mengetahui sel yang berperan dalam proses inflamasi.
6. Mengetahui dan memahami mekanisme inflamasi.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Inflamasi menurut Ahli


Radang atau inflamasi adalah respon protektif setempat yang ditimbulkan
oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi,
atau mengurung baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. (Kamus
Kedokteran Dorland).
Menurut Katzung (2002) : Radang ialah suatu proses yang dinamis dari
jaringan hidup atau sel terhadap suatu rangsang atau injury (jejas) yang dilakukan
terutama oleh pembuluh darah (vaskuler) dan jaringan ikat (connective tissue).
Inflamasi adalah respon fisiologis tubuh terhadap suatu injuri dan gangguan
oleh faktor eksternal. (Robbins, 1995) Inflamasi melaksanakan tugas
pertahanannya dengan mengencerkan, menghancurkan atau menetralkan agen
berbahaya (misalnya mikroba atau toksin). Inflamasi kemudian menggerakkan
berbagai kejadian yang akhirnya menyembuhkan dan menyusun kembali tempat
terjadinya jejas. Dengan demikian, inflamasi juga terkait erat dengan proses
perbaikan, yang mengganti jaringan yang rusak dengan regenerasi sel parenkim,
dan atau dengan pengisian setiap defek yang tersisa dengan jaringan parut fibrosa
(Kumala et al., 1998; Mitchel & Cotran, 2003).
Tanda-tanda inflamasi adalah berupa kemeraham (rubor), panas (kalor),
nyeri (dolor), pembengkakan (tumor) (Soesatyo, 2002), dan function laesa
(Chandrasoma dan Tailor, 1995).
Secara garis besar proses inflamasi dibagi menjadi 2 tahap : Inflamasi akut
menurut (Soesatyo, 2002) adalah inflamasi yang terjadi segera setelah adanya
rangsang iritan. Pada tahap ini terjadi pelepasan plasma dan komponen seluler
darah ke dalam ruang-ruang jaringan ekstraseluler. Termasuk didalamnya
granulosit neutrofil yang melakukan pelahapan (fagositosis) untuk membersihkan
debris jaringan dan mikroba. Inflamasi kronis (Ward, 1985) adalah Inflamasi
kronis terjadi jika respon inflamasi tidak berhasil memperbaiki seluruh jaringan
yang rusak kembali ke keadaan aslinya atau jika perbaikan tidak dapat dilakukan
sempurna. Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh

4
darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan,
kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah
besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang
disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam
jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam
jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang
menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin,
beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem
pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang
dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton & Hall, 1997).

Inflamasi terbagi menjadi dua pola dasar, yaitu:

1. INFLAMASI AKUT

 Berlangsung singkat (menit-hari), ditandai dengan eksudasi cairan

dan protein plasma serta akumulasi leukosit neutrofil yang

menonjol.

 Punya dua komponen utama (ini nyebabin 5 tanda inflamasi) :

a. Perubahan vaskular : vasodilatasi dan peningkatan

permeabilitas vaskular, proses terkait :

- Eritema : karena vasodilatasi arteriol, sehingga membuat

peningkatan aliran darah  bikin rubor

- Stasis : Proses pada saat protein ekstrasel masuk ke intrasel,

menyebabkan viskositas darah naik, sirkulasi terhambat

(pembentukan transudat). Mikroskopiknya dilatasi

Pembuluh darah kecil yg dipadati eritrosit

5
- Marginasi : Terjadi saat fase stasis, leukosit keluar dari

darah dan berakumulasi di permukaan endotel  lalu

masuk ke jaringan interstisial

- Peningkatan permeabilitas vaskuler : viskositas naik 

tekanan intrasel naik  merembes ke jaringan interstisial

 edema/ dolor

Mekanisme yg menyebabkan peningkatan

permeabilitas vaskular

1) Gap karena kontraksi endotel

a) Immediate transient response (respon segera cepat)

 endotel berkontrasi setelah berikatan dengan

mediator inflamasi bradikinin, leukotrien, histamin,

dll)  terbentuk gap junction  15-30 menit.

b) Retraksi sel endotel : retraksi sel dan cell junction

terganggu karena mediator TNF dan IL-1 rusak

reorganisasi struktural skeleton endotel  4-6 jam

2) Jejas endotel langsung : menyebabkan nekrosis  sel

endotel lepas  bocor.

Pada cedera berat (luka bakar, infeksi berat), disertai

dengan adhesi trombosit dan trombosis.

Disebut immediate sustained response

3) Jejas endotel yang bergantung leukosit

Terjadi karena akumulasi leukosit selama proses

inflamasi.

6
Leukosit melepas oksigen toksik dan enzim proteolitik

 cedera dan endotel lepas

4) Peningkatan transitosis

Terjadi di venula karena pajanan terhadap mediator

tertentu (ex. Vascular endhotelial growth factor (VEGF)

5) Kebocoran pembuluh darah baru

Pada proses perbaikan jaringan, emang ada proses

pembuatan pembuluh darah baru (angiogenesis), tapi

dia masih bocor ke endotel sampe proliferasi sel yg

rusak selesai.

 Proses yang terjadi pada sel inflamasi

a. Marginasi : Leukosit menempel dan terakumulasi di

endotel

b. Rolling : Leukosit berguling-guling dan melekat

sepanjang pergulingan itu.

Terjadi adhesi sementara, karena molekul selektin  ikat

oligosakarida :

- Selektin E (CD62E) : di endotel

- Selektin P (CD62P) : di endotel dan trombosit

- Selektin L (CD62L) : di permukaan leukosit

c. Adhesi : menempel kuat di endotel, diperntarai

ikatan superfamily imunoglobulin (molekul adhesi) dan integrin

pada permukaan sel leukosit. Molekul adhesi endotel:

7
- ICAM-1 (Intracellular adhesion molecule 1), berikatan

dengan integrin LFA-1 (CD 11a dan CD8) dan Mac-1

untuk neutrofil, monosit, limfosit

- VCAM-1 (vascular cell adhesion molecule-1), berikatan

denga integrin VLA-4  untuk eosinofil, monosit, limfosit.

(keduanya diinduksi sitokin seperti TNF dan IL-1

d. Transmigrasi : Diperantarai oleh ikatan antara PECAM-1

(Platelet endothelial cell adhesion molecule 1) CD 31 di

endotel dan leukosit

Leukosit ini migrasi karena ada kemotaksis dari :

- Produk bakteri yg larut

- Komponen sistem komplemen (C5)

- Produk metabolisme asam arakidonat (terutama leukotrin)

- Sitokin (ex. IL-8)

Abis itu bakteri/virus tadi difagosit sel melalui 3 tahap :

1. Pengenalan : difasilitasi sama protein sel namanya opsonin

(IgG berikatan dengan reseptor Fc, fragmen C3b kompleks

berikatan sama reseptor komplemen 1,2,3, dan lektin yang ikat

karbohidrat plasma (kolektin) beikatan dengan C1q.

2. Penelanan  terjadi degranulasi leukosit

3. Pembunuhan atau degradasi  dilakukan oleh spesies oksigen

reaktif

8
` Proses-proses diatas bisa terkena gangguan juga, penyebabnya :

1. Defek molekul adhesi leukosit LAD-1 dan LAD-2

2. Defek aktivitas mikrobisidial : jadi mekanisme degradasi lewat

oksigen reaktifnya yang keganggu. Contohnya pada penyakit

granulomatosa kronik.

3. Defek pembentukan fagolisosom : jadi lisosom tidak dapat

diubah jadi fagosom. Contohnya di sindrom Chediak Higashi.

 Mediator inflamasi yang terlibat :

1. Amina Vasoaktif

a. Histamin : dilatasi arterio dan komponen utama

peningkatan permeabilitas vaskuler fase cepat (immediate

transient response). Diinaktivasi oleh Histaminase

b. Serotonin : dilepaskan saat ada agregasi trombosit

2. Neuropeptida

3. Protease Plasma

4. Faktor pengaktivasi trombosit (PAF, Platelet activating

factorI)

5. Sitokin

6. IL-1 dan TNF

7. Kemokin

8. Nitrit Oksida dan Radikal Bebas dari Oksigen

9. Unsur Pokok Lisosom

 Efek inflamasi dan mediator utamanya :

9
1. Vasodilatasi : Prostaglandin, Nitrit Oksida

2. Peningkatan permeabilitas vaskular :

Amin Vasoaktif (histamin dan serotonin)

C3a dan C5a (dengan induksi pelepasan amin vasoaktif)

Bradikinin

Leukotrin C4, D4, E4

Faktor pengaktivasi trombosit (PAF)

3. Kemotaksis, aktivasi leukosit :

C5a

Leukotrin B4

Produk bakteri

Kemokin (IL-8)

4. Demam : IL-1, IL-6, TNF, prostaglandin

5. Nyeri : prostaglandin, Bradikinin

6. Kerusakan Jaringan : Enzim lisosom neutrofil dan makrofag,

metabolit oksigen, nitrit oksida

 Akibat Inflamasi Akut :

1. Resolusi, terjadi jika :

a. Cedera bersifat terbatas atau berlangsung singkat

b. Tidak terdapat kerusakan jaringan atau kerusakan kecil

c. Jaringan mampu mengganti sel yang rusak

Prosesnya meliputi :

a. Netralisasi atau pembuangan berbagai mediator kimiawi

b. Normalisasi permeabilitas vaskular

10
c. Penghentian emigrasi leukosit diikuti apoptosis neutrofil

yang mengalami ekstravasasi

 Kejadian pada resolusi komplet :

a. Permeabilitas vaskular kembali normal

b. Hilangnya cairan atau protein edema dengan drainase ke

saluran limfatik atau melalui inositosis makrofag

c. Fagositosis neutrofil secara apoptosis

d. Debris nekrosis oleh makrofag

e. Eksodus akhir makrofag

2. Pembentukan jaringan parut (scaring) : pada kerusakan

jaringan yang substansible atau jaringan ga bisa mengganti sel

yang rusak dengan sel baru yang sama, juga karena

pembentukan abses (pada infiltasi leukosit yang meluas, infeksi

jamur, dan infeksi bakteri tertentu).

3. Berkembang ke inflamasi kronik : Jika respon akut tidak

teratasi karena agen cedera yang menetap atau gangguan proses

penyembuhan normal.

2. INFLAMASI KRONIS

 Berhari-hari bahkan bertahun-tahun, ditandai dengan :

a. Infiltrasi sel mononuklear yang mencakup makrofag, limfosit, dan sel

plasma

b. Destruksi jaringan

11
c. Repair (perbaikan), melibatkan pembentukan pembuluh darah baru

(angiogenesis) dan fibrosis.

 Inflamasi kronik terjadi pada keadaan sebagai berikut :

a. Inflamasi akut yang progresif

b. Infeksi virus : butuh limfosit dan makrofag untuk eradikasi

c. Infeksi mikroba persisten : micobacterium, Troponema pallidum 

menyebabkan rekasi hipersensitivitas tipe lambat yang berpuncak pada

reaksi granulomatosa, yaitu ditandai dengan agregasi makrofag

teraktivasi yang gambarnya menyerupai sel skuamous (epiteloid).

d. Pajanan lama terhadap agen yang berpotensi toksik

Contoh : material eksogen yg ga bisa didegradasi (ex. silia nyebabin

radang kronik paru), materi endogen (lipid plasma pada

aterosklerosis).

e. Penyakit autoimun

 Sel dan Mediator inflamasi kronik :

a. Makrofag (dari monosit yang bermigrasi dari pembuluh darah ke

jaringan ekstravaskular)

Di hati disebut sel Kupffer, di kelenjar getah bening disebut histiosit

sinus, di sistem saraf pusat disebut sel mikroglia, dan di paru disebut

makrofag alveolus.

 Untuk pembersihan dan memanggil sistem imun spesifik (Limfosit

B dan T)

12
 Bentuk dengan pewarnaan HE : besar, pipih, warna merah muda,

kadang menyerupai sel squamosa sehingga disebut makrofag

epitheloid.

 Sinyal aktivasinya dari sitokin (terutama endotoksin bakteri,

mediator inflamasi, dan protein matriks ekstrasel (ex. Fibronektin).

 Setelah teraktivasi, disekresi produk :

1) Protease asam dan protease netral  juga mediator

kerusakan jaringan pd inflamasi akut

2) Komponen komplemen dan faktor koagulasi : protein

komplemen C1-C5, properdin, faktor koagulasi V dan VIII, dan

faktor jaringan.

3) Spesies oksigen reaktif dan NO

4) Metabolit AA (eikosanoid)

5) Sitokin (IL-1 dan TNF), berbagai faktor pertumbuhan yg

pengaruhi proliferasi sel otot polos dan fibroblas

 Pada inflamasi akut : makrofag mati dan masuk ke pembuluh limfe.

Pada inflamasi kronis : menetap dan berproliferasi

b. Limfosit, sel plasma, eosinofil, dan sel mast

- Limfosit T diaktifin karena ada IL-1 dan TNF dari makrofag,

Plasma : produk dari aktivasi sel B  hasilin antibodi

- Eosinofil : pada infeksi parasit atau yg diperantarai IgE (alergi) 

granulanya mengandung MBP (major based protein, toksik untuk

parasit tetapi dapat melisiskan se epitel.

13
- Sel mast : dapat melepas histamin dan metabolit AA untuk

perubahan vaskuler dini di inflamasi akut

Catatan : walaupun neutrofil tersebut untuk inflamasi kronik, tapi

dapat juga terdapat pada radang kronik, infiltrat neutrofilnya meluas

 biasanya disebut inflamasi kronik akut.

Gambaran Morfologi Pada Inflamasi Akut dan Kronis

1. Inflamasi Serosa

Ditandai dengan keluarnya cairan yang berair dan relatif sedikit protein

(efusi), terkumpul di bawah epidermis kulit

Contoh : lepuh di kulit karena luka bakar atau virus

2. Inflamasi Fibrinosa

Terjadi pada jejas yang lebih berat, permeabilitas vaskuler besar sehingga

molekul besar (fibrinogen) dapat melewati barier endotel. Eksudasi ini

selanjutnya bisa terjadi 2 hal :

- Resolusi : eksudatnya mengalami fibrinolisis lalu debris dimakan

makrofag sehingga terjadi perbaikan struktur jaringan normal

- Organisasi : jika penyingkiran fibrin gagal, pembuluh darah

dapat tumbuh ke dalam lalu menjadi jaringan parut

3. Inflamasi Supuratif (Purulen)

Ditandai adanya pus yg terdiri dari neutrofil, sel nekrotik, dan cairan

edema, bisa terjadi abses (sekumpulan pus fokal yang isinya organisme

piogenik).

14
4. Ulserasi

Menunjukkan tempat inflamasi yang permukaan epitelnya telah nekrosis

dan terkikis, sering karena inflamasi akut dan kronik subepitel.

Dapat terjadi karena cedera traumatik di epitel (ulkus peptikum) atau

gangguan vaskuler (pada ulkus pedis karena vaskulopati diabetik). 

biasanya terlihat infiltrasi neutrofil padat dini dan dilatasi vaskular.

15
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Definisi Inflamasi


Peradangan atau inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan
untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan
nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal (Mitchel & Cotran, 2003).
Inflamasi melaksanakan tugas pertahanannya dengan mengencerkan,
menghancurkan atau menetralkan agen berbahaya (misalnya mikroba atau toksin).
Inflamasi kemudian menggerakkan berbagai kejadian yang akhirnya
menyembuhkan dan menyusun kembali tempat terjadinya jejas.
Dengan demikian, inflamasi juga terkait serta dengan proses perbaikan,
yang mengganti jaringan yang rusak dengan regenerasi sel parenkim, dan
atau dengan pengisian setiap defek yang tersisa dengan jaringan parut fibrosa
(Kumala et al., 1998; Mitchel & Cotran, 2003).
Inflamasi adalah respon fisiologis tubuh terhadap suatu injuri dan gangguan
oleh faktor eksternal. Inflamasi terbagi menjadi dua pola dasar.
1. Inflamasi akut adalah radang yang berlangsung relatif singkat, dari beberapa
menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan perubahan vaskular, eksudasi
cairan dan protein plasma serta akumulasi neutrofil yang menonjol. Inflamasi
akut dapat berkembang menjadi suatu inflamasi kronis.
2. Inflamasi kronis jika agen penyebab injuri masih tetap ada. Inflamasi kronis
adalah respon proliferatif dimana terjadi proliferasi fibroblas, endothelium
vaskuler, dan infiltrasi sel mononuklear (limfosit, sel plasma dan makrofag).
Respon peradangan meliputi suatu perangkat kompleks yang mempengaruhi
perubahan vaskular dan selular.

3.2 Penyebab Inflamasi


Inflamasi dapat disebabkan oleh mekanik (tusukan), kimiawi (histamin,
menyebabkan alergi, asam lambung berlebih bisa menyebabkan iritasi), termal
(suhu), dan mikroba (infeksi penyakit).

16
3.3 Tanda-tanda Inflamasi
Pada bentuk akutnya ditandai oleh tanda klasik: nyeri (dolor), panas (kolor),
kemerahan (rubor), bengkak (tumor), dan hilangnya fungsi (fungsiolesa). Secara
histologis, menyangkut rangkaian kejadian yang rumit, mencakup dilatasi arteriol,
kapiler, dan venula, disertai peningkatan permeabilitas dan aliran darah; eksudasi
cairan, termasuk protein plasma; dan migrasi leukositik ke dalam focus
peradangan. (Kumala et al., 1998; Spector, 1993).
Tanda-tanda cardinal inflamasi :
1. Rubor
Rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah
yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran
arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Dengan demikian, lebih
banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan
cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti,
menyebabkan warna merah local karena peradangan akut. Timbulnya
hyperemia pada permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh baik secara
neurogenik maupun secara kimia, melalui pengeluaran zat seperti histamine
(Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
2. Kalor
Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi
peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan
normal lebih dingin dari 37°C yaitu suhu di dalam tubuh. Daerah peradangan
pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya sebab darah yang disalurkan
tubuh kepermukaan daerah yang terkena lebih banyak daripada yang
disalurkan kedaerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada
daerah-daerah yang terkena radang jauh di dalam tubuh, karena jaringan-
jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti 37°C, hyperemia local tidak
menimbulkan perubahan (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
3. Dolor (nyeri)
Dolor atau rasa sakit, dari reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan
berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat
merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat

17
bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh
tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang.
Pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan
lokal yang tanpa diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit (Abrams, 1995;
Rukmono, 1973).
4. Tumor
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar
ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke
jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun
di daerah peradangan disebut eksudat meradang. Pada keadaan dini reaksi
peradangan sebagian besar eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada
lepuhan yang disebabkan oleh luka bakar ringan. Kemudian sel-sel darah
putih atau leukosit meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian
dari eksudat. (Abrams, 1995; Rukmono).
5. Functio Laesa
Berdasarkan asal katanya, function laesa adalah fungsi yang hilang
(Dorland, 2002). Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah
dikenal. Akan tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme
terganggunya fungsi jaringan yang meradang (Abrams, 1995).

3.4 Mediator Inflamasi dan Peranannya


a. Prostaglandin
Prostaglandin hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan atau inflamasi. Prostaglandin menyebabkan sensitisasi
reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Jadi prostaglandin
menimbulkan keadaan hiperalgesia mediator inflamasi dan nyeri. Juga
menyebabkan vasodilatasi dan edema (pembengkakan).
Pada nyeri inflamasi yang memegang peranan sangat penting adalah
terdapatnya mediator inflamasi turunan dari asam arakidonat. Pada jaringan
yang rusak membrana pospolipid sel dengan katalisator enzim pospolipase
akan membentuk asam arakidonat. Dan selanjutnya asam arakidonat ini dengan
bantuan enzim siklooksigenase akan membentuk substansi nyeri berupa

18
prostaglandin (PGE-2, PGD-2, PGF-2, PGI-2) (yang akan mempengaruhi
reseptor prostaglandin yang terdapat pada saraf sensoris perifer dan medulla
spinalis) dan thromboxane.

Gambar 1: Mekanisme
Prostaglandin

Dan ternyata Prostaglandin E-2 yang mempunyai peranan utama pada


mekanisme nyeri inflamasi yang mendukung terjadinya aktivasi nosiseptor
secara langsung berupa sensitisasi pada neuron primer aferen. Dengan
demikian menghambat enzim siklooksigenase (COX-1 dan COX-2) dan
menghambat reseptor prostanoid adalah penting untuk mengurangi nyeri
inflamasi.

Gambar 2: Mekanisme Nyeri

b. Sitokin
Sitokin adalah senyawa-senyawa endogen yang dilepaskan sel untuk
saling berkomunikasi (cross-talk). Contoh sitokin adalah interleukin (IL-1; IL-
2, dst), tumor nekrosis alfa (TNF-α), interferon gamma (IFN-γ), dll. Sitokin
berperan dalam berbagai peristiwa biologis terutama pada inflamasi. Sama
dengan reseptor EGF tadi, jika sitokin berikatan dengan reseptornya maka akan
terjadi serangkaian peristiwa yang berujung pada transkripsi gen, lalu akan

19
menginduksi sintesis protein tertentu misalnya produksi antibody IgF oleh
limfosit.

Gambar 3: Mekanisme Sitokin

Seperti telah disebutkan bahwa sitokin banyak terlibat pada proses


inflamasi, maka banyak obat yang telah dikembangkan dengan sitokin sebgai
target aksi obatnya. Contohnya antagonis IL-5 yang telah dicobakan untuk
mengurangi rekrutmen eusinofil kejaringan nafas yang terinflamasi oleh pasien
penyakit asma. Pada penyakit asama kronis lain seperti rhematoid arthritis atau
penyakit Crohn’s, telah dikembangkan obat dengan target aksi TNF-α yaitu
infliksimab, dimana TNF-α ini meupakan salah satu faktor patologis dari
penyakti Crohn’s in.

c. Neurotrophins.
Mediator inflamasi golongan ini mempunyai peran meningkatkan sintesis
neuropeptide (subtans P) dan meningkatkan eksitabilitas neuron saraf sensoris.
Faktor neurotrophins disintesis untuk memfasilitasi reparasi dan
menstimulasi regenerasi neuron. Pertumbuhan dan deferensiasi sel neuron
diatur oleh protein yaitu neurotropins, yang bekerja secara endogenous
disingnaling, mengatur long-term survival dan deferensiasi neuron selama
perkembangan, dan mempertahankan viabilitas sel neuron serta neuroplastisitas
saat dewasa.
BDNF termasuk golongan neurotrophins yang berperan tidak hanya pada
sinaptik plasticity, tetapi juga pada learning process. Bahkan reseptor dari
BDNF yaitu tropomeiosin related kinase B (TrkB) berperan dalam plastisitas
dan regenerasi sel saraf. BDNF disekresi oleh neuron maupun sel glia, tetapi
astrosit tidak memiliki kemampuan untuk mensintesisnya. Di otak BDNF

20
terdistribusi hampir di seluruh jaringan otak dengan konsentrasi berbeda, yaitu
di korteks frontalis, parietalis, cingulatus, infralimbik, thalamus, nucleus
basalis, hipotalamus, lokus cerelous, koteks occipital, temporal, retroplenial,
perirhinal, hipokampus dan batang otak serta cerebellum. Konsentrasi tertinggi
terdapat di hipokampus.
BDNF berperan potensial untuk meningkatkan fungsi dan survival
neurodopaminergik, gabaergik, noradrenergic dan serotonergik serta sebagai
neurotransmitter yang memodulasi long-term potentiation sebagai respon
sinaptik dari hipokampus dalam proses belajar dan memori. BDNF berasal dari
bentuk immature yaitu proBDNF. Bila terjadi cedera otak maka proBDNF
dikeluarkan dari ke ruang ekstraseluler dengan bantuan plasmin dan enzim
ekstraseluler protease berubah menjadi BDNF.

Gambar 4: Mekanisme
Neurotrophin

d. Serotonin
Serotonin (5-hidroksitriptamin) juga merupakan mediator kimia yang
sefungsi dengan histamin, namun dihasilkan oleh trombosit, sel
enterokromafin, dan sel mast. Serotonin akan dilepaskan ketika terjadi reaksi
koagulasi (pembekuan darah), di mana keping darah akan beragregasi setelah
bersentuhan langsung dengan kolagen, thrombin, ADP, dan komplek antigen-
antibodi. Ini merupakan salah satu hubungan antara pembekuan dan
peradangan. Stimulus pelepasan serotonin dan histamin dari granula trombosit
langsung ketika terjadi aktivasi thrombosit oleh serabut kolagen subendotel
vascula, thrombin, kompleks Ag-Ab. Daya kerja serotonin meningkatkan
permeabilitas vasculer. Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin
dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi

21
eksudasi cairan, penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang
menyebabkan udem dan pembengkakan.

Gambar 5: Struktur Serotonin

e. Adenosin.
Adenosin diduga berperan dalam nyeri yang bekerja melalui reseptor
purinergik, yang dapat mempermudah terjadinya transmisi sinaptik .
Adenosin adalah nukleosida yang dibentuk dari ribosa (suatu gula
pentose) dan adenin; dengan tambahan satu, dua, atau tiga kelompok fosfat,
akan membentuk :
1) Adenosin Difosfat
Adenosin Difosfat (ADP) adalah metabolit seluler penting yang
terlibat dalam pertukaran energi didalam sel. Energi kimia disimpan dalam
sel, melalui fosforilasi oksidatif ADP menjadi ATP, terutama di dalam
mitokondria, sebagai ikatan fosfat yang berenergi tinggi.
2) Adenosin Monofosfat
Adenosin Monofosfat (AMP) terlibat dalam perlepasan energi untuk
digunakan oleh sel. Pembentukan siklik adenosin monofosfat memiliki
fungsi penting sebagai utusan kedua bagi banyak hormon (mis. glukagon)
dan dalam proses biokimia saat banyak reaksi di katalis secara bersamaan
(kaskade enzim).
3) Adenosin Trifosfat
Adenosin Trifosfat (ATP) adalah senyawa berenergi tinggi yang pada
hidrolisis menjadi ADP, melepaskan energi yang berguna secara kimia.
ATP dihasilkan selama katabolisme molekul bahan bakar organik, seperti
glukosa. Molekul ATP dihasilkan selama glikolisis, dalam reaksi siklus
asam sitrat Krebs, tetapi sebagaian besar dihasilkan selama fosforilasi
oksidatif ADP dalam rantai transfer-elektron. Energi dari ATP digunakan

22
untuk menggerakan proses metabolik, seperti transpor aktif zat dalam
melintasi membran sel, sintesis molekul, dan kontraksi serat otot.

Gambar 6: Struktur Adenosin

f. Cannabinoids.
Merupakan substansi neuroaktif (physiological antagonism) yang
diproduksi oleh jaringan yang mengalami inflamasi atau jaringan sekitarnya.
Substansi ini bekerja pada reseptor cannabinoid baik yang terdapat pada
system saraf perifer maupun sentral sehingga menyebabkan degranulasi mast
cells tidak terjadi dan eksitabilitas nosiseptor terhambat .
Gambar 7: Mekanisme
Cannabinoids

g. Histamin.
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh mast cells akibat terjadinya
degranulasi dari mast cells, yang selanjutnya akan mensensitisasi aferen
nosiseptor dan merupakan mediator yang bersifat vasoaktif sehingga
menimbulkan respon inflamsi berupa edema. Histamin dikeluarkan dari tempat
pengikatan ion pada kompleks heparin-heparin dalam sel mast sebagai hasil
reaksi antigen-antibodi bila ada rangsangan senyawa allergen. Senyawa
allergen dapat berupa spora, debu rumah, sinar UV, cuaca, racun, tripsin, dan

23
enzim proteolitik lain, deterjen, zat warna, obat makanan dan beberapa turunan
amina. Histamin merupakan produk dekarboksilasi dari asam amino histidin.
Pelepasan histamin terjadi akibat :
 Rusaknya sel
Histamin banyak dibentuk di jaringan yang sedang berkembang
dengan cepat atau sedang dalam proses perbaikan, misalnya luka.
 Senyawa kimia
Banyak obat atau zat kimia bersifat antigenik, sehingga
akan melepaskan histamin dari sel mast dan basofil. Contohnya adalah
enzim kemotripsin, fosfolipase, dan tripsin.
 Reaksi hipersensitivitas
Pada orang normal, histamin yang keluar dirusak oleh enzim histamin
dan diamin oksidase sehingga histamin tidak mencapai reseptor Histamin.
Reseptor histamin dibagi menjadi histamin 1 (H-1) dan histamin 2 (H-2).
Pengaruh histamin terhadap sel pada berbagai jaringan tergantung pada fungsi
sel dan rasio reseptor H-1 : H-2. Stimulasi reseptor H-1 menimbulkan:
 Vasokonstriksi pembuluh-pembuluh yang lebih besar
 Kontraksi oto bronkus, otot usus dan otot uterus
 Kontraksi sel-sel otot polos
 Kenaikan aliran limfe
Stimulasi reseptor H-2 menimbulkan :
 Dilatasi pembuluh paru-paru
 Meningkatkan frekuensi jantung dan kenaikan kontraktilitas jantung
 Kenaikan sekresi kelenjar terutama dalam mukosa lambung

Gambar 8: Mekanisme
Histamin

24
h. Leucotrines
Produk-produk turunan dari asam arakidonat selain prostaglandin
adalah leucotrines yang menyebabkan sensitisasi reseptor perifer
dan meningkatkan responsibilitas terhadap stimuli-stimuli lainnya.
Mekanisme kerja :
 LRA : antagonis kompetitif pada reseptor leukotriene
Contoh : zileuton
 LI : mengahambat pembentukan leukotrien melalui penghambatan enzim 5-
lipoksigenase yang berfungsi mengkatalis asam arakidonat menjadi
leukotrien.
Contoh : zafirlukast, montelukast
Merupakan alternatif inhalasi glukokortikoid dosis rendah untuk
mengontrol asma kronik ringan.

Gambar 9: Struktur
Leucotrines

i. Kinin
Mediator golongan kinin ini dilepaskan pada jaringan yang cedera
dan mempunyai kontribusi terhadap terjadinya inflamasi. Efeknya
sangat komplek pada neuron aferen primer termasuk aktivasi dan
sensitisasi langsung pada reseptor.
Aktivasi sistem kinin pada akhirnya menyebabkan pembentukan
bradikinin. Bradikinin merupakan polipeptida yang berasal dari plasma sebagai
prekursor yang disebut HMWK. Prekursor glikoprotein ini diuraikan oleh
enzim proteolitik kalikrein. Kalikrein sendiri berasal dari prekursornya yaitu
prekalikrein yang diaktifkan oleh faktor XIIa. Seperti halnya histamin,
bradikinin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula

25
dan kontraksi otot polos bronkial. Bradikinin tidak menyebabkan kemotaksis
untuk leukosit, tetapi menyebabkan rasa nyeri bila disuntikkan ke dalam kulit.
Bradikinin dapat bertindak dalam sel-sel endotel dengan meningkatkan celah
antar sel. Kinin akan dibuat inaktif secara cepat oleh kininase yang terdapat
dalam plasma dan jaringan, dan perannya dibatasi pada tahap dini peningkatan
permeabilitas pembuluh darah.

Gambar 10: Struktur Kinin

3.5 Sel yang berperan dalam Proses Inflamasi


Sel-sel yang berperan dalam inflamasi:
1. Neutrofil
Neutrofil (Polimorf), sel ini berdiameter 12–15µm memilliki inti yang
khas padat terdiri atas sitoplasma pucat di antara 2 hingga 5 lobus dengan
rangka tidak teratur dan mengandung banyak granula merah jambu (azuropilik)
atau merah lembayung. Granula terbagi menjadi granula primer yang muncul
pada stadium promielosit, dan sekunder yang muncul pada stadium mielosit
dan terbanyak pada neutrofil matang. Kedua granula berasal dari lisosom, yang
primer mengandung mieloperoksidase, fosfatase asam dan hidrolase asam lain,
yang sekunder mengandung fosfatase lindi dan lisosom. (Hoffbrand, A.V &
Pettit, J.E, 1996)

Gambar 11: Neutrofil

2. Makrofag
Makrofag berasal dari sel-sel pada sumsum tulang, dari promonosit
kemudian membelah menjadi monosit dan beredar dalam darah. Pada
perkembangannya monosit ini berimigrasi ke jaringan ikat, kemudian menjadi
matang dan berubah menjadi makrofag. Bentuk sel-sel makrofag dalam darah

26
adalah berupa monosit, dalam jaringan ikat longgar berupa makrofag
(histiosit), dalam hati berupa sel Kupffer, dan pada SSP (Susunan Saraf Pusat)
sebagai mikroglia.
Makrofag adalah sel besar dengan kemampuan fagositosis, yang berarti
“sel makan” dapat disamakan dengan pinositosis yang berarti “sel minum”.
Fagositosis yaitu kemampuan untuk mengabsorbsi dan menghancurkan
mikroorganisme (bakteri atau benda asing). Cara makrofag untuk
menghancurkan (memakan) bakteri atau benda asing tersebut ialah dengan
membentuk sitoplasma pada saat bakteri atau benda asing melekat pada
permukaan sel makrofag, lalu sitoplasma tersebut melekuk ke dalam
membungkus bakteri atau benda asing, tonjolan sitoplasma yang saling
bertemu akan melebur menjadi satu sehingga bakteri atau benda asing akan
tertangkap di dalam vakuola. Lisosom yang memiliki kemampuan untuk
memecah materi yang berasal dari dalam maupun dari luar akan menyatu
dengan vakuola sehingga bakteri atau benda asing tersebut akan musnah.
Makrofag memiliki fungsi atau peran utama untuk memakan partikel dan
mencernanya bersama-sama dengan lisosom yaitu berkaitan dengan fungsi
pertahanan dan perbaikan, fungsi lainnya adalah menghasilkan IL (Inter
Leukin) yang mengatur tugas sel-B dan sel-T dari limfosit dan memobilisasi
sistem pertahanan tubuh lainnya, makrofag juga merupakan sel sekretori yang
dapat menghasilkan faktor nekrosis tumor (TNF = Tumor Nekrosis Faktor)
yang dapat membunuh sel tumor, juga menghasilkan beberapa substansi
penting termasuk enzim-enzim (lisozim, elastase).
Sel makrofag ini terdapat sebagai makrofag bebas dan makrofag tetap.
Makrofag bebas merupakan sel yang mampu bergerak bebas, ditemukan pada
jaringan interstisial berupa makrofag dan histiosit. Sedangkan makrofag tetap,
tidak mampu bergerak seleluasa makrofag bebas, ditemukan pada jaringan
interstisial limpa, kelenjar limfe, dan dalam hepar.

Gambar 12: Makrofag

27
3. Miscellaneous Agents
Miscellaneous agents mempengaruhi proses inflamasi, meliputi:
a. Toksik bakteri
b. Faktor komplemen C3a dan C5a
c. Prostalglandins
d. Leukotriens (leukosit)
e. Enzim lisosomal (leukosit)
f. Interleukin (makrofaga)
g. Faktor permeabilitas globukin
h. Faktor permeabilitas kelenjar getah bening
i. Breakdown produk DNA dan RNA
j. Kompleks antigen-antibodi
k. TNF (Tumor Necrosis Factor)
l. Nitric oksida (oleh sel endotelial)
4. Limfosit
Limfosit dikerahkan di kedua reaksi imun humoral dan seluler dan
bahkan dalam peradangan non imun. Antigen distimulasi (efektor dan memori)
dan berbagai jenis limfosit (T, B) menggunakan berbagai molekul adhesi
pasangan (terutama yang integrins dan ligan) dan kemokin untuk bermigrasi ke
situs peradangan. Sitokin dari makrofag diaktifkan, terutama TNF, IL-1, da
kemokin. Sel ini mempersiapkan proses peradangan.
Limfosit dan makrofag berinteraksi dengan cara dua arah, dan reaksi-
reaksi ini memainkan peran penting dalam peradangan kronis. Limfosit T aktif
akan mengaktifkan makrofag serta mengeluarkan mediator radang untuk
mempengaruhi sel lain, saat makrofag aktif akan mengaktifkan limfosit T dan
mengeluarkan mediator radang untuk mempengaruhi sel disekitarnya.
Gambar 13: Limfosit

28
5. Eusinofil
Eusinofil berlimpah dalam reaksi kekebalan yang diperantarai oleh IgE
dan infeksi parasit. Salah satu kemokin yang terutama penting bagi perekrutan
eusinofil adalah eotaxin, Eusinofil memiliki granula yang mengandung protein
dasar utama, yang sangat kationik protein yang beracun bagi parasit tetapi juga
menyebabkan lisis sel epitel mamalia. Itulah sebabnya ia sangat berperan
dalam memerangi infeksi parasit tetapi juga berkontribusi pada kerusakan
jaringan dalam reaksi kekebalan.

Gambar 14: Eusinofil

6. Sel Mast
Sel ini didistribusikan secara luas di jaringan ikat dan berpartisipasi
dalam reaksi peradangan akut dan kronis. Pada reaksi akut, antibodi IgE yang
terikat pada Fc reseptor khusus mengenali antigen, dan sel-sel degranulate dan
melepaskan mediator seperti histamin dan produksi oksidasi AA. Jenis respon
terjadi selama reaksi anafilaksis makanan, racun serangga atau obat-obatan.
Bila diatur dengan benar, respon ini dapat bermanfaat bagi tuan rumah. Sel
mast juga hadir dalam reaksi peradangan kronis, dan mungkin menghasilkan
sitokin yang berkontribusi terhadap fibrosis.

Gambar 15: Sel Mast

3.6 Mekanisme Inflamasi


Mekanisme terjadinya Inflamasi dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu:
1. Perubahan vaskular
Respon vaskular pada tempat terjadinya cedera merupakan suatu yang
mendasar untuk reaksi inflamasi akut. Perubahan ini meliputi perubahan aliran

29
darah dan permeabilitas pembuluh darah. Perubahan aliran darah
karena terjadi dilatasi arteri lokal sehingga terjadi pertambahan aliran
darah (hypermia) yang disusul dengan perlambatan aliran darah. Akibatnya
bagian tersebut menjadi merah dan panas. Sel darah putih akan berkumpul di
sepanjang dinding pembuluh darah dengan cara menempel. Dinding pembuluh
menjadi longgar susunannya sehingga memungkinkan sel darah putih keluar
melalui dinding pembuluh. Sel darah putih bertindak sebagai sistem pertahanan
untuk menghadapi serangan benda-benda asing.
2. Pembentukan cairan inflamasi
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah disertai dengan keluarnya sel
darah putih dan protein plasma ke dalam jaringan disebut eksudasi. Cairan
inilah yang menjadi dasar terjadinya pembengkakan. Pembengkakan
menyebabkan terjadinya tegangan dan tekanan pada sel syaraf sehingga
menimbulkan rasa sakit (Mansjoer, 1999).
Penyebab inflamasi dapat disebabkan oleh mekanik (tusukan), kimiawi
(histamin menyebabkan alerti, asam lambung berlebih bisa menyebabkan
iritasi), Termal (suhu), dan mikroba (infeksi Penyakit).

Gambar 16: Mekanisme Terjadinya Inflamasi

30
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari serangkaian penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
inflamasi atau peradangan merupakan suatu respon fisiologis tubuh terhadap suatu
gangguan dari faktor eksternal. Secara garis besar proses inflamasi dibagi menjadi
2 tahap yaitu Inflamasi akut dan Inflamasi kronis. Inflamasi dapat disebabkan oleh
mekanik (tusukan), kimiawi (histamin, menyebabkan alergi, asam lambung
berlebih bisa menyebabkan iritasi), Termal (suhu), dan Mikroba (infeksi
penyakit).
Tanda-tanda inflamasi ada lima, yaitu, Rubor, Dollor, Kallor, Tumor,
Functio Laessa. Mediator inflamasi adalah Prostaglandin, Sitokin, Neurotrophins,
Serotonin, Adenosin, Cannabinoids, Histamin, Leukotrine, Kinin.
4.2 Saran
Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna,
karena ilmu kedokteran sangatlah luas. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran guna penyempurnaan dalam membuat makalah dikemudian hari.
Dengan membaca kita dapat menambah ilmu pengetahuan kita, jangan
pernah malas untuk membaca meski hanya satu kalimat yang berisi suatu ilmu
pengetahuan.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur C dan John E.Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran,
11 th ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC
2. Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran, EGC
3. Roger, Watson. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran, EGC
4. Robbin dan Cotran. 2009. Buku Saku, Dasar Patologis Penyakit. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran, EGC
5. Robbins, S.L dan Kumar, V. 1994. Patologi, Edisi IV, 28, 29, 30, 33.
Surabaya : Penerbit Buku Kedokteran, EGC
6. Mitchell, R.N dan Cotran, R.S. 2003. Acute and Cronic Inflammation.
Dalam S.L. Robbins
7. Kasper, Fanci, Marfin, Wilson, Brainwald, Isselbacher. 1999. Prinsip-
prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC

32

Anda mungkin juga menyukai