Anda di halaman 1dari 26

Nama Peserta: dr.

Khalifa Rahmani

Nama Wahana: RSU Aisyiah Ponorogo

Topik: Snake Bite

Tanggal (kasus): 24 April 2017

Nama Pasien: Tn. S No. RM 414xxx

Tanggal Presentasi: Nama Pendamping: dr. Ani Ruliana

Tempat Presentasi: Ruang Komite Medis RSU Aisyiyah Ponorogo

Obyektif Presentasi:

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi: Laki-laki, usia 69 tahun mengeluhkan jari manis tangan kanan tergigit ular + 1,5 jam SMRS

Tujuan: mendiagnosa dan memberikan terapi yang tepat

Bahan bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit

Cara membahas: Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos

Data pasien: Nama: Tn. S. Nomor Registrasi: 414xxx

Nama klinik: RSU ‘Aisyiyah dr. Sutomo Telp: Terdaftar sejak: 2016

Data utama untuk bahan diskusi:

1
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Keluhan utama:
Laki-laki, 69 tahun 43 tahun mengeluhkan jari manis tangan kanan tergigit ular + 1,5 jam SMRS
Riwayat Penyakit:
Pasien datang dengan keluhan jari manis tangan kanan tergigit ular + 1,5 jam SMRS. Saat itu pasien sedang berada di sumur
dan membersihkan ember lalu tanpa sadar tergigit ular pada kelingking tangan kanan. Setelah itu pasien mengatakan pada
luka gigitan sempat dihisapkan sebelum ke RS serta pada pergelangan tangan ditali dengan kain. Tangan kanan bengkak dari
ujung jari hingga perrgelangan, nyeri (+) hingga lengan atas, keluar darah namun sudah berhenti saat sampai di RS, mual (+),
muntah (+) 2 x, sesak nafas, pusing (-), nyeri dada (-), rasa baal atau kesemutan (-), lemes (-), BAK dan BAB lancar, tidak ada
keluhan.
2. Riwayat Pengobatan:
Pasien belum memeriksakan keluhannya tersebut ke tempat lain dan belum mengkonsumsi obat apapun sebelumnya

3. Riwayat kesehatan/Penyakit:
Pasien belum pernah menderita penyakit dengan keluhan serupa. Hipertensi (-), diabetes melitus (-), asma (-), riwayat penyakit
jantung koroner (-), riwayat stroke (-) riwayat alergi (-).

4. Riwayat keluarga:
Riwayat keluarga dengan keluhan serupa (-). Riwayat keluarga dengan hipertensi (-), diabetes melitus (-), asma (-), riwayat penyakit
jantung koroner (-), riwayat stroke (-).

5. Riwayat pekerjaan:
Pasien merupakan seorang petani.

6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik:


Pasien sudah menikah, tinggal di rumah milik sendiri bersama dengan seorang istri dan 2 orang anak. Pasien menyangkal kebiasaan
merokok.

2
Daftar Pustaka:

1. Adiwinata R, Nelwan EJ. Snakebite in Indonesia. Acta Medica Indonesiana. 2015; 47(4). Hlm.358-65.3.

2. Djunaedi D. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku
Ajar lmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.hlm.1085-93.

3. Guidelines for the Clinical Management of Snake bites in the South-East Asia Region. World Health Organization South East Asia. 2016.

4. Niasari N, Latief A. Gigitan Ular Berbisa. Sari Pediatri. 2003; 5(3):92-8.

5. Pedoman Pertolongan Keracunan untuk Puskesmas. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2002.

6. Penatalaksanaan Keracunan akibat Gigitan Ular Berbisa. Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM. 2012

7. Simpson ID, Norris RL. Snakes of medical importance in India: is the concept of the “Big 4” still relevant and useful? Wilderness Environ Med.
2007; 18(1):2-9.

Hasil Pembelajaran:

1. Overview Karakteristik Ular Berbisa dan Bisa Ular

2. Faktor Resiko Terkena Gigitan Ular

3. Patogenesis Gigitan Ular Berbisa

3
4. Manifestasi Klinis Gigitan Ular Berbisa

5. Diagnosis Gigitan Ular Berbisa

6. Pemeriksaan Penunjang Gigitan Ular Berbisa

7. Klasifikasi/Derajat Gigitan Ular Berbisa

8. Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa Komplikasi Gigitan Ular Berbisa

9. Komplikasi Gigitan Ular Berbisa

10. Prognosis Gigitan Ular Berbisa

SUBJEKTIF
Keluhan utama:
Laki-laki, 69 tahun 43 tahun mengeluhkan jari manis tangan kanan tergigit ular + 1,5 jam SMRS
Riwayat Penyakit:
Pasien datang dengan keluhan jari manis tangan kanan tergigit ular + 1,5 jam SMRS. Saat itu pasien sedang berada di sumur
dan membersihkan ember lalu tanpa sadar t ergigit ular pada kelingking tangan kanan. Setelah itu pasien mengatakan pada
luka gigitan sempat dihisapkan sebelum ke RS serta pada pergelangan tangan ditali dengan kain. Tangan kanan bengkak dari
ujung jari hingga perrgelangan, nyeri (+) hingga lengan atas, keluar darah namun sudah berhenti saat sampai di RS, mual (+),
muntah (+) 2 x, sesak nafas, pusing (-), nyeri dada (-), rasa baal atau kesemutan (-), lemes(-), BAK dan BAB lancar, tidak ada
keluhan.
4
Riwayat Pengobatan
Pasien belum memeriksakan keluhannya tersebut ke tempat lain dan belum mengkonsumsi obat apapun sebelumnya
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah menderita penyakit dengan keluhan serupa. Hipertensi ( -), diabetes melitus (-), asma (-), riwayat penyakit
jantung koroner (-), riwayat stroke (-) riwayat alergi (-).
Riwayat Penyakit Keuarga
Riwayat keluarga dengan keluhan serupa (-). Riwayat keluarga dengan hipertensi (-), diabetes melitus (-), asma (-), riwayat penyakit
jantung koroner (-), riwayat stroke (-).
Riwayat Personal Sosial
Pasien merupakan seorang petani. Pasien sudah menikah, tinggal di rumah milik sendiri bersama dengan seorang istri dan 2 orang
anak. Pasien menyangkal kebiasaan merokok.

OBJEKTIF
Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
 Keadaan Umum : Compos Mentis
 Tanda vital :
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 86 x / menit, regular, isi dan tegangan cukup
Suhu : 36.8 ° C
Pernafasan : 20 x / menit
 Kepala : normosefali, hematome
 Mata : konjungtiva pucat (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil bulat isokor.
 Telinga : normotia, serumen (-/-), sekret (-/-)
5
 Hidung : normosepta, sekret (-), deformitas (-) darah (-)
 Tenggorokan : dbn
 Leher : KGB tidak teraba membesar
 Cor : S1 dan S2 single, murmur (-), gallop (-)
 Pulmo :
- Bentuk paru simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan bentuk.
- Tidak ada ketinggalan gerak
- Perkusi : sonor
- Suara dasar vesikuler : +/+, ronkhi : -/- wheezing : -/-
 Abdomen :
- Bentuk Flat, jejas (-) supel (+)
- Bising usus (+) normal perkusi timpani
- Nyeri tekan (-)
 Ekstremitas :
- Edema : (-) ekstremitas atas maupun bawah
- Akral dingin : (-) ekstremitas atas maupun bawah
- CRT <2”
Status Lokalis
• Tampak vulnus ictum a/r digiti V manus Sn (2 bekas gigitan)
• Udem (+) dari ujung jari-jari tangan kanan sampai wrist joint, bula (-), jaringan nekrosis (-)
• NT (+)
• Perdarahan aktif (-)

6
Hasil Laboratorium
Nama Pemeriksaan NILAI NORMAL

DL (DARAH LENGKAP)

Leukosit 8.800 4.500-11.000/µL

Hitung Jenis 1/2/0/73/20/4 1-4/0-1/2-5/36-66/22-40/2-8

Hemoglobin 13,4 13,5-18,0 g/dl

Eritrosit 4,46 4,6-6,2 juta/µL

PCV/Hematokrit 41% 40-54%

Trombosit 329.000 150.000-450.000/µL

GULA DARAH SEWAKTU

Gula Darah Sewaktu 86 80-144 mg/dl

ASSESSMENT
Snake Bite/ Trauma Gigitan Ular Berbisa Grade I-II

PLANNING
 Lab Fungsi Liver, Fungsi Ginjal, CT, BT, PTT dan APTT, Serum Elektrolit, Urinalisis
 Inj. SABU 1 vial dalam saline normal 100 cc selama 6 jam

7
 Observasi lebih lanjut karena bengkak blm berkurang >> MRS >> Konsul Sp. B, advice terapi :
- Inf. RL 20 tpm
- Inj. Cefxon 2 x 1 gr
- Inj. Lameson 3 x 125 mg
- Inj. Acran 2 x 1 Amp
- Inj. Rativol 3 x 1 Amp

PEMBAHASAN

A. Overview Karakter Ular Berbisa dan Bisa Ular

Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak
berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke
dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular.

Ular berbisa di Indonesia kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah.
Contoh ular yang termasuk famili ini adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan
ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau
Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular
weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus annah). Famili Viperidae memiliki taring panjang
yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada 2 subfamilia, yaitu: vipers
(Viperinae) dan the pit vipers (Crotalinae). Ular yang merupakan jenis sub familial Crotalinae memiliki organ khusus berupa pit organ, yaitu organ
khusus yang dapat mendeteksi mangsanya yang berdarah panas dan berada diantara lubang hidung dan matanya. Beberapa contoh Viperidae
adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris).

8
a. Identifikasi Ular Berbisa
Tidak mudah mengidentifikasi ular berbisa, hal ini karena beberapa spesies ular tidak berbisa memiliki morfologi yang menyerupai ular
berbisa. Namun, beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa
terancam. Berikut ini perbedaan ciri-ciri dari ular berbisa dan tidak berbisa pada umumnya:

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa secara morfologi, ular berbisa memiliki ciri-ciri: bentuk kepala segitiga yang lebar dan leher
yang ramping, memiiliki moncong/hidung yang runcing, pupil yang elips, ekor dengan lubang angin dan pola bentuknya seperti pada gambar,
dan beberapa spesies ular berbisa memiliki organ khusus yaitu pit organ yang mampu mendeteksi spesies berdarah panas. Sedangkan ular
tidak berbisa memiliki cirri-ciri: kepala yang berbentuk segitiga juga namun tidak terlalu lebar dan leher yang hampir seukuran dengan kepala,
moncong/ hidung yang bundar, pupil juga bundar, ekor dengan lubang angin dan pola seperti pada gambar dan tidak memiliki pit organ. Selain
itu ulsr berbisa memiliki taring yang runcing sedangkan ular tidak berbisa tidak memiliki taring.
9
Sedangkan dari bekas gigitannya dapat dibedakan antara ular berbisa dan tidak berbisa yaitu terdapat bekas taring pada bekas gigitan
ular berbisa. Berikut gambaran perbedaan bekas gigtan antara ular berbisa dan tidak berbisa:

Pada gambar tersebut, ular tidak berbisa umumnya memiliki bekas gigitan seperti gambar A, sedangkan gambar B adalah gambaran
bekas gigitan ukar bebisa dimana terdapat bekas taring pada bekas gigitan tersebut.

b. Bisa Ular
Bisa merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa tersebut merupakan
suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Berikut gambarannya:

10
c. Komposisi Bisa Ular
Bisa ular berisi lebih dari 20 unsur pokok, utamanya adalah protein, termasuk enzim dan toksin polipeptida. Berikut ini unsur-unsur pokok
bisa yang dapat mengakibatkan efek klinik yang penting:
1. Procoagulant enzymes (Viperidae), dapat menstimulasi pembekuan darah namun efeknya dapat menyebabkan darah tidak dapat
terkoagulasi. Hal ini disebabkan karena bisa yaitu bisa dari ular Russel misalnya, memiliki beberapa prokoagulan yang berbeda yang
selanjutnya akan mengaktivasi langkah yang berbeda dari kaskade pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin dalam aliran
darah yang sebagian besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera setelah itu, dan terkadang pada 30
menit setelah terjadinya gigitan, tingkat faktor-faktor koagulasi akan menjadi sangat rendah (“consumption coagulopaty) dan
mengakibatkan darah tidak dapat membeku.
2. Haemorrhagins (zinc metalloproteinases), dapat merusak dinding endothelial pembuluh darah yang mengakibatkan perdarahan
sistemik secara spontan.
3. Cytolytic atau necrotic toxin – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan fosfolipase A) racun polipeptida dan faktor lainnya yang
meningkatkan permeabilitas dan mengakibatkan edema lokal, dapat pula merusak membrane sel dan jaringan.
4. Haemolytic dan myolytic phospholipases A2: enzim ini merusak membrane sel, endothelium, otot lurik, syaraf, dan sel darah merah.

11
5. Pre-synaptic neurotoxins (Elapidae and some Viperidae): adalah phospholipase A2 yang dapat merusak ujung syaraf, pada awalnya
melepaskan transmitter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
6. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae): polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin untuk berikatan pada reseptor pada neuromuscular
junction dan menyebabkan paralisis yang mirip seperti paralisis kuraonium.

Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialurodinase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease,
fosfomonoeterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim-enzim tersebut menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap syaraf,
menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamine sehingga bisa engakibatkan reaksi anafilaksis. Hialurodinase merusak bahan dasar sel
sehingga memudahkan penyebaran racun.

d. Sifat Bisa Ular


Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular memiliki beberapa sifat, yaitu: hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung
dan sistem pembuluh darah, neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak, dan sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja
pada lokasi gigitan.
- Bisa ular yang bersifat hematotoksik
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak sel-sel darah merah dengan jalan
menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah merah menjadi hancur dan larut (hemolysis) dan keluar
menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput mukosa (lender) pada mulut, hidung,
tenggorokan, dsb.
- Bisa ular yang bersifat neurotoksik
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel syaraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan
sel syaraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik). Penyebaran dan peracunan
selanjutnya mempengaruhi susunan syaraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan syaraf pusat, seperti saraf pernafasan dan
jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe.

12
- Bisa Ular yang bersifat sitotoksik
Yaitu sifat bisa ular yang akan merusak jaringan yang sifatnya local di area gigitan dan tiddak mempengaruhi fungsi sistemik, sifat
sitotoksik ini akan mengakibatkan munculnya tanda-tanda peradangan seperti eritem, udem, nyeri kemerahan, panas, bahkan tidak
jarang menimbulkan bula atau bahkan kerusakan jaringan local.

Efek gigitan ular berbisa dapat berbeda antara satu orang dengan lainnya, ada yang berefek ringan ada pula yang berefek berat bahkan
mengancam jiwa, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu:

- Usia, ukuran dan kesehatan korban

- Lokasi gigitan

- Ukuran ular

- Bakteri, organisme patogen

- Jumlah dan dalamnya gigitan yang dilakukan ular

- Usaha/tenaga yang dikeluarkan setelah gigitan ular

B. FAKTOR RESIKO TERKENA GIGITAN ULAR BERBISA


Korban gigitan ular terutama adalah petani, pekerja perkebunan, nelayan, pawang ular, pemburu, dan penangkap ular. Sebagian gigitan
ular terjadi ketika orang tidak mengenakan alas kaki atau hanya memakai sandal dan menginjak ular secara tidak sengaja. Gigitan ular juga dapat
terjadi pada penghuni rumah, ketika ular memasuki rumah untuk mencari mangsa berupa ular lain, cicak, katak, atau tikus. Berikut ini daftar
pekerjaan yang memiliki resiko tinggi terhadap terkenanya gigitan ular:

13
C. PATOFISIOLOGI GIGITAN ULAR BERBISA
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak
di rahang atasnya. Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular,
serta ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dpat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah
yang dikeluarkan.
Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan/menanamkan bahan-bahan yang bersifat toksin ke dalam bagian
tubuh yang terkena gigitan. Berbagai macam polipeptida yang terkandung dalam bisa ular memiliki peran berbeda-beda dalam menimbulkan tanda
dan gejala pada orang yang mengalami gigitan ular berbisa. Setiap spesies ular diketahui memiliki ciri khas tertentu terhadap kandungan bisa yang
dimilikinya. Misalnya pada pit viper diketahui bahwa pada bisanya terkandung protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase, sedangkan pada
ular koral diketahui bahwa pada bisanya, mayoritas terkandung zat-zat neurotoksik. Berikut ini, berbagai polipeptida yang banyak terkandung dalam
bisa ular dan efeknya terhadap tubuh yang mengalami gigitan:
- Hyalurodinase, menyebabkan racun pada bisa cepat menyebar melalui jaringan subkutis dengan cara merusak mukopolisakarida
- Phospholipase A2 berperan utama pada proses hemolisis sekunder pada efek esterolitik sel darah merah dan memicu nekrosis pada otot.
- Enzim-enzim trombogenik berperan dalam memicu pembentukan bekuan fibrin yang buruk/lemah sehingga mengaktivasi plasmin yang
memicu terjadinya consumptive coagulopathy dan mengakibatkan perdarahan.

14
D. MANIFESTASI KLINIS GIGITAN ULAR BERBISA
a. Manifestasi Lokal
 Rasa sakit dari gigitan/ nyeri lokal
 Meninggalkan jejak 1 atau 2 bekas gigi taring
 Pembengkakan atau perlunakan jaringan
 Pendarahan lokal
 Memar
 Pembengkakan kelenjar getah bening
 Melepuh
 Infeksi Lokal
 Nekrosis jaringan
b. Manifestasi Sistemik
 Fasikulasi otot disekitar mulut
 Hipotensi
 Badan lemah & berkeringat
 Menggigil
 Pusing
 Mual, muntah dan gangguan salivasi
 Kelemahan otot
 Hematuri, melena, tanda tanda perdarahan lain

15
E. DIAGNOSIS GIGITAN ULAR BERBISA
Diagnosis gigitan ular berbisa dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik sangat membantu penegakan diagnosis, karena dengan anamnesis yang tepat dan sesuai dengan gejala klinis yang muncul dan
khas pada gigitan ular berbisa sudah dapat menegakkan diagnosis trauma gigitan ular berbisa. Sedangkan pemeriksaan penunjang sifatnya untuk
mengetahui dan atau memastikan sifat bias ular yang masuk. Hal tersebut akan sangat membantu penentuan terapi dan prognosis pada pasien.
Pada anamnesis, akan didapatkan riwayat terkena gigitan ular dan perlu diketahui lokasi gigitan, jenis ular, waktu dan tempat kejadian
terkena gigitan ular untuk memperkirakan tingkat keparahannya. Pasien biasanya akan mengeluhkan nyeri pada lokasi gigitan disertai manifestasi
peradangan lokal dengan atau tanpa manifestasi sistemik, gangguan perdarahan (hematotoksik) atau gangguan sistem syaraf (neurotoksik) akibat
gigitan ular seperti pusing, mual, muntah, berkeringat dan menggigil, kejang, kelemahan otot, hematuria, melena, dsb. Perlu diketahui dan
dipastikan ada tidaknya keluhan yang mengarah pada gangguan organ-organ vital seperti jantung, pulmo, ginjal dsb.
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum seorang yang terkena gigitan ular akan baik, lemah bahkan bisa sampai pada keadaan syok.
Pemeriksaan tanda-tanda vital dapat didapatkan nadi akan meningkat dan tekanan darah akan dapat menurun apabila efek toksin bisa cukup
serius, frekuensi nafas juga dapat meningkat bila terdapat manifestasi sitemik berupa sesak nafas.
Pada pemeriksaan umum mungkin akan ditemukan fasikulasi otot di sekitar mulut, kejang, kelemahan otot, perdarahan spontan seperti
melena, epistaksis, atau hematuria. Hal tersebut tergantung pada jenis toksin yang terkandung pada bisa ular. Sedangkan pada pemeriksaan status
lokalis, pada inspeksi akan ditemukan tanda taring pada lokasi gigitan, dapat pula ditemukan bengkak, memar, hematom, kulit yang melepuh (bula),
ataupun perdarahan lokal. Pada palpasi mungkin akan ditemukan nyeri tekan, adanya udem, dan teraba hangat pada lokasi gigitan akibat proses
peradangan yang terjadi.
Pada pemeriksaan penunjang dapat diperoleh hasil abnormal sesuai dengan sifat bias ular yang menggigit, apakah hemotoksik, neurotoksik,
atau sitotoksik, dapat juga mempengaruhi fungsi sistem pulmoner, cardiovascular, maupun fungsi ginjal, maka penemuan gejala klinis sangat
mempengaruhi pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk mengetahui sifat bisa ular yang masuk. Sehingga penanganan dapat tepat dan
prognosis dapat membaik.

16
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG GIGITAN ULAR BERBISA
Diperlukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui efek apa saja yang telah terjadi pada tubuh akibat trauma gigitan ular, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan laboratorium, yaitu:
1. Pemeriksaan darah rutin lengkap untuk mengetahui ada tidaknya efek hematotoksik yang terjadi serta seberapa parah jika terjadi efek
tersebut. Termasuk pemeriksaan yang menggambarkan kualitas pembekuan darah seperti: CT, BT, PTT dan APTT serta INRnya karena
telah diketahui salah satu efek toksik dari bisa ular dapat mengakibatkan hemolisis sehingga perlu diketahui seberapa parah efek yang
telah diakbatkan oleh trauma gigitan ular.
2. Pemeriksaan kimia darah termasuk ureum, kreatinin, SGOT, SGPT, serta kadar elektrolit dalam darah. Hal ini bertujuan untuk
mengetahua ada tidaknya gangguan sisitemik yang terjadi.
3. Pemeriksaan urinalisis untuk menilai ada tidaknya myoglobinuria yang menandakan adanya salah satu efek toksik dari gigitan ular
berbisa yaitu myolitik yang disertai gangguan filtrasi ginjal, sehingga dapat dijumpai protein myoglobin dalam urin.
4. Analisa Gas Darah jika diperlukan untuk mengetahui keseimbangan asam-basa yang terjadi.
2. Pemeriksaan Radiologi
Rontgen dada/ thorax diperlukan bagi pasien yang mengalami gangguan sistem respirasi untuk menilai ada tidaknya pulmonary edema
akibat trauma gigitan ular.
3. Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan EKG ini diperlukan jika pasien yang terena gigitan ular menunjukkan adanya gejala yang mengarah pada gangguan
cardiovascular, sehigga diketahui apakah gigitan ular berakibat pada terganggunya aktivitas kelistrikan jantung.

17
G. DERAJAT GIGITAN ULAR BERBISA
Berikut ini klasifikasi gigitan ular berbisa berdasarkan derajat venerasinya, terbagi berdasarkan famili ular berbisa yang menyebabkan
trauma:

18
H. PENATALAKSANAAN
a. Langkah-langkah Penatalaksanaan Trauma Gigitan Ular Berbisa
Berikut ini langka-langkah penatalaksanaan yang sebaiknya dilakukan terhadap pasien yang mengalami trauma gigitan ular berbisa:
1. Pertolongan Pertama
Tujuan dari pertolongan ini adalah untuk menstabilkan pasien agar bisa ular seminimal mungkin beredar di tubuh pasien sehingga
meminimalisir komplikasi dan efek yang lebi buruk. Hal ini dilakukan dengan: menenangkan kecemasan pasien, imobilisasi dengan
memposisikan pasien senyaman mungkin (idealnya adalah recovery position), imobilisasi anggota gerak yang terkena gigitan dengan
spint atau sling, serta tekan tempat gigitan. Lakukan minimal intervensi pada pasien karena kontraksi otot pasien dapat meningkatkan
absorpsi bisa.
Hindari intervensi terhadap luka gigitan seperti tidakan insisi, menggosok, membersihkan dengan kuat, memijat, menghisap bisa
ular, memecahkan bula (bila ada), memberikan bahna herbal atau kimia pada luka. Hal tersebut dapat meningkatkan absorpsi dan
perdarahan local. Bila bagian tubuh pasien yang terkena gigitan telah dilakukan pengikatan kuat, jangan segera dilepaskan.
Pemasangan Torniket tidak dianjurkan karena beresiko iskemik

2. Transportasi ke RS
Pindahkan segera pasien ke RS yang memiliki fasilitas penanganan trauma gigitan ular berbisa, pastikan stok SABU di RS
tersebut masih ada. Transportasi dilakukan secepat dan seaman mungkin bagi pasien. Posisi ideal saat transportasi adalah posisi
recovery.

3. Resusitasi dan penilaian klinis yang cepat


Sesampainya di RS, lakukan penilaian klinis dengan cepat dengan anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik yang mengahrahkan
gangguan apa saja yg dialami dan berikan resusitasi ABCDE sesuai gangguan yang ditemukan.

19
4. Penilaian klinis yang detail dan diagnosis spesies
Setelah melakukan resusitasi lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang detail pada pasien, baik daerah local tempat gigitan
maupun sistemik juga sebaiknya menentukan spesies yang mungkin menggigit pasien dengan menanyakan deskripsi ular yang
menggigit (bila pasien ingat). Penentuan spesies ini dapat mengarahkan sifat bisa ular yang masuk.

5. Tes laboratorium
Uji yang umumnya dicek pada pasien dengan trauma gigitan ular berbisa adalah: uji koagulasi dan lab (PT, APTT, D-dimer,
fibrinogen, Hb, AL, AT, SGOT,SGPT, ureum, kreatinin dan serum eletrolit terutama kalium, dan urinalisis). Jika dicurigai ada gangguan
system pulmoner maka dapat dilakukan rontgrnt thorax, jika dicurigai ada gangguan cardiovaskuler maka dapat dilakukan pemeriksaan
EKG, dan bila dicurigai ada gangguan keseimbangan asam-basa dapat dilakukan analisis gas darah.

6. Terapi dengan SABU/ antivenom


a. Serum Anti Bisa Ular (SABU)
Serum Anti Bisa Ular (SABU) merupakan antibodi yang diciptakan dari serum darah kuda yang diinjeksi bisa ular tertentu dan
bersifat spesifik untuk tiap tipe ular (monovalent). Serum Anti Bisa Ular (SABU) yang tersedia di Indonesia bersifat Polivalent yang
artinya mengandung lebih dari 1 serum anti bisa ular. Bisa ular yang dipakai ini merupakan bisa ular dari spesies ular berbisa yang
paling banyak di Indonesia dan paling sering mengakibatkan trauma gigitan ular. SABU yang tersedia di Indonesia ada 2 macam, yaitu
SABU.I yaitu SABU yang dipakai untuk daerah di Indonesia selain Papua dan SABU.II yaitu SABU yang dipakai untuk daerah Papua.
Hal ini karena spesies ular berbisa yang sering mengakibatkan trauma gigitan ular di Papua berbeda dengan daerah di Indonesia selain
Papua. Bisa ular yang dipakai untuk SABU di daerah selain Papua adalah milik spesies Anxystrodon rhodostoma (ular sawah/air/ tanah),
Bungarus fasciatus (ular welang), dan Naja sputatrix (ular kobra).

b. Indikasi Pemberian SABU


Berdasarkan Guideline Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa WHO region Asia Tenggara, indikasi pemberian SABU adalah
sebagai berikut :

20
21
Sumber lain menyatakan SABU diberikan apabila pasien terbukti atau dicurigai mengalami gigitan ular berbisa, serta munculnya
tanda dan gejala venerasi lokal maupun sistemik, atau bila berdasarkan derajat venerasi gigitan ular adalah pasien dengan gigitan ular
derajat II, III, ata IV. ABU tidak diberikan pada pasieng dengan gigitan ular derajat 0-I.

c. Metode pemberian SABU


Pemberian SABU seharusnya diberikan melalui jalur intravena. Pemberian SABU secara intramuskuler dan infiltrasi ke luka
gigitan tidak dianjurkan. Harus selalu tersedia epinephrine (adrenaline) untuk menanggulangi rekasi anafilaktik yang mungkin terjadi.
Cara pemberian SABU menurut Guideline Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa WHO region Asia Tenggara dapat menggunakan 2
metode, yaitu:
 Intravenous “push” injection
SABU diberikan dengan bous pelan dengan kecepatan tidak lebih dari 2 ml/menit. Dengan metode ini, pemberi obat harus
memperhatikan pasien secara seksama terhadap reaksi pemberian SABU, karena reaksi terjadi anafilaktik akan lebih
22
besar daripada dengan metode infus.Keuntungan metode ini adalah administrasi dapat diberikan secara cepat dan hemat
karena tidak menggunakanset infus dan set infus
 Intravenous Infusion
SABU diberikan dengan metode pemberian SABU yang diencerkan dengan larutan isotonic seperti normal salin atau D
5% sebanyak 5 ml per kg BB (kira-kira 250 ml untuk pasien dewasa). Pemberian infus ini dihabiskan dengan kecepatan
konstan selama kurang lebih 30-60 menit.

d. Dosis Pemberian SABU


Tidak ada ketentuan pasti mengenai dosis pemberian SABU. Umumnya, dosis pemberian SABU tergantung dari jumlah bisa ular
yang masuk peredaran darah dan keadaan korban sewaktu menerima ABU, bukan tergantung berat badan ataupun umur pasien yang
mengalami gigitan ular. Sebelum diberikan ABU, skin test untuk mengecek reaksi alergi seharusnya dilakukan. Tiap Negara pun memiliki
ketentuan yang berbeda-beda mengenai initial dose pemberian SABU.
Di Indonesia pada umumnya dosis awal pemberian SABU adalah sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam Na Cl 0,9%
atau Dextrose 5% infuse dengan kecepatan 40-80 tetes per menit. Namun yang penting diperhatikan adalah prinsip pemberian dosis
ABU disesuaikan dengan jumlah venom yang beredar di darah pasien atau secara klinis disesuaikan dengan ringan beratnya.
Derajat venerasi gigitan ular juga bisa menjadi acuan menentukan dosis pemberian ABU, derajat yang lebih tinggi tentu akan
mendapatkan ABU lebih banyak, berikut aturannya: derajat I : 3-4 ampul, derajat III : 5-15 ampul, derajat IV: dititrasi menurut respon
terapi ( gejala lokal maupun sistemik serta keluhan yang membaik)
Jika ternyata pasien yang mengalami gigitan ular alergi terhadap ABU, maka pemberiannya dengan cara ABU 1 ampul dalam
D5% 250 cc diberikan dalam waktu 90 menit dengan monitor tensi dan EKG serta dipersiapkan epinefrin dan antihistamin.

7. Observasi respon pemberian SABU


Setelah pemberian SABU, tanda-dan gejala sistemik yang muncul akan segera berkurang dan membaik, perdarahan spontan
sistemik maupun local biasanya akan berhenti dalam waktu 15-30 menit, pasien yang mengalami syok akan meningkat tekanan

23
darahnya kira0kira30-60 menit pertama, irama jantung yang tidak normal juga akan berangsur normal, untuk pasien yang mengalami
neurotoxic karena bisa ular juga akan membaik dalam 30 menit sampai beberapa jam.
Selain perbaikan gejala, tanda-tanda alergi/anafilaktik juga harus diawasi. Berapa lama pengawasan juga tergantung dari ringan
dan beratnya gejala yang muncul. Jika pasien membaik dan keluhan telah hilang, maka dapat dipulangkan, namun jiga gejala sistemik
masih ada dan reaksi local cukup parah maka harus diobservasi leih lanjut dan dipertimbangkan untuk pemberian ulang SABU.

8. Penentuan Dosis SABU perlu ditambahkan atau tidak


Pemberian SABU perlu diulang atau ditambahkan bila terjadi hal berikut, yaitu: tidak terkoagulasinya darah setelah 6 jam atau
perdarahan yang masih berlanjut dalam 1-2 jam, serta deteriorasi (perubahan ststus mental/penurunan kesadaran) akibat efek
neurotoxic atau gejala kardiovaskular yang masih menetap setelah 1 jam.

9. Terapi suportif
Selain pemberian SABU, penatalaksanaan suportif perlu dilakukan untuk mengatasi gejala sistemik yang muncul dan hal ini
harus disesuaikan gejala penyerta yang muncul tersebut.
• Dapat digunakan steroid untuk mencegah kenaikan permeabilitas kapiler, namun hal ini masih kontroversial.
• Jika terjadi hemotoksin, dapat dilakukan transfusi dengan Fresh Blood/FFP/kriopresipitat, Vit K, serta fibrinogen.
• Jika terjadi gangguan patensi jalan napas dan respirasi, dapat dilakukan pemasangan ETT atau pemasangan airway device
• Jika terjadi syok hipovolemik dapat dilakukan resusitasi cairan
• Jika terjadi gangguan cardiovascular maka diterapi sesuai gangguan yang muncul, obat-obatan vasopressor mungkin dibutuhkan
• Jika terjadi gangguan ginjal, perlu dipertimbangkan untuk dilakukan hemodialysis
• Jika tejadi gangguan elektrolit maka harus dikoreksi
• Jika terjadi sindrom kompartemen, maka dapat dilakukan fasciotomi pada fascia yang keras di ekstremitas akibat reaksi gigitan ular.
• Antibiotika dan tetanus profilaksis dapat dipertimbangkan untuk diberikan sebagai profilaksis infeksi sistemik. Hal ini karena gigi taring
ular dapat mengandung bakteri aerob gram positif maupun negative serta bakteri anaerob.

24
10. Terapi pada daerah gigitan
Pada area local gigitan sebaiknya diposisikan senyaman mungkin dan tidak dalam posisi elevasi yang berlebihan. Bila terdapat
lepuh/ bula sebaiknya tidak dipecah, aspirasi mungkin diperlukan untuk bula yang akan rupture atau pad bula yang terinfeksi. Bila
dijumpai jaringan nekrosis maka harus di debridement. Jika terjadi sindrom kompartemen, maka dapat dilakukan fasciotomi pada fascia
yang keras di ekstremitas akibat reaksi gigitan ular.

11. Rehabilitasi dan Terapi untuk Komplikasi Kronis


Rehabilitasi diperlukan apabila trauma gigitan ular berbisa mengakibatkan gangguan fungsi daily activity atau kegiatan yang lebih
berat. Rehabilitasi dapat dilakukan sejak masih di ruma sakit dengan latihan sederhana dan dapat diteruskan bila pasien telah
dipulangkan. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan fungsi tubuh semaksimal mungkin sebagaimana sebelum terjadi gangguan fungsi,
minimal untuk daily activity secara mandiri. Terapi untuk komplikasi kronis juga dibutuhkan untuk pasien sesuai dengan komplikasi yang
dialami.

12. Edukasi bagaimana menghindari gigitan ular berbisa selanjutnya


Setelah selesai penatalaksanaan pada pasien sangat penting untuk dilakukan edukasi terkait upaya menghindari gigitan ular
berbisa yang selanjutnya, terutama untuk pasien yang memiliki resiko tinggi terkena gigitan ular berbisa terkait pekerjaan yang
dimilikinya.

I. KOMPLIKASI GIGITAN ULAR BERBISA


Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper. Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya
kulit. Sedangkan komplikasi sistemik dapat berupa komplikasi kardiovaskular, komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang
terjadi kematian. Anak-anak memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena ukuran tubuh merek yang lebih
kecil. Perpanjangan blockade neuromuskuler dapat timbul dari envenomasi ular koral.
Komplikasi yang terkait dengan pemberian ABU yaitu reaksi hipersensitivitas tipe cepat(anafilaktik, tipe I) dan tipe lambat ( serum
sickness, tipe III). Ananfilaksis terjadi dimediasi oleh IgE, berkaitan dengan degranulasi sel mast yag dapat berakibat terjadinya laryngospasme,

25
vasodilatasi, dan kebooran kapiler. Serum sickness berupa gejala demam sakit kepala, bersin, pembengkakan kelenjar getah bening, dan
penuruna daya tahan, muncul 1-2 minggu setelah pemberian ABU.

J. PROGNOSIS
Prognosis trauma gigitan ular berbisa tergantung pada beberapa faktor, yaitu: derajat venerasi gigitan ular ( keparahan efek gigitan),
kecepatan dan ketepatan penanganan, dan repon pasien terhadap terapi yang diberikan. Umumnya pasieng dengan trauma gigitan ular berbisa
dapat pulih dengan sempurna bila tanpa gejala sistemik dan reaksi inflamasi lokal yang ringan, komplikasi mungkin dapat terjadi bila
menimbulkan gejala sistemik terutama jika sampai mengganggu fungsi organ vital. Kematian akibat gigitan ular berbisa kira kira mencapai 1
orang dalam 5000 kasus gigitan ular berbisa.

26

Anda mungkin juga menyukai