Oleh :
Kelompok 4
Gemi Purnama Sari, S.Ked 04054821820108
Pembimbing:
Dr. dr. Hj. Fidalia, Sp.M(K)
1
STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. Zulfa Hendra
Umur : 44 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Tukang ojek
Alamat : Kec. Sukarami, , Kota Palembang
Tanggal Pemeriksaan : 30 Oktober 2018
2. Anamnesis (Autoanamnesis)
a. Keluhan Utama
Rasa mengganjal pada kedua mata sejak ± 1 bulan yang lalu.
2
• Riwayat kencing manis (-)
3. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84 kali/menit regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi napas : 19 kali/menit
Suhu : 36,6o C
b. Status Oftalmologis
Okuli Dekstra Okuli Sinistra
KBM Ortoforia
GBM
3
Pupil Bulat, Central, Refleks Bulat, Central, Refleks
Cahaya (+), diameter 3 mm cahaya (+), diameter 3 mm
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Slitlamp
5. Diagnosis banding
• Pterygium Nasalis Stadium III OD + Pterygium
Nasalis Stadium I OS
• Pseudopterygium ODS
• Pinguekula ODS
6. Diagnosis Kerja
Pterygium Nasalis Stadium III OD + Pterygium Nasalis Stadium I
OS
7. Tatalaksana
o Informed consent
Menjelaskan kepada pasien, karena sudah terdapat keluhan
penglihatan kabur dan selaput yang tumbuh di mata pasien
sudah menutupi hitam mata dan mengganggu penglihatan
4
pasien, maka akan dilakukan tindakkan operasi untuk
membuang selaput tersebut.
o KIE
Menjelaskan kepada pasien untuk menghindari paparan
sinar matahari dan debu dengan cara menggunakan kaca
mata pelindung.
Hindari mengucek-ngucek mata, jaga kebersihan tangan.
o Farmakologi
Artificial tears 4 gtt 1 ODS
o Non Farmakologi
Rujuk ke Sp.M
Pro konsul ke bagian Subdivisi Rekonstruksi Pro eksisi
pterygium + autograft konjungtiva
8. Prognosis
• Okuli Dekstra
o Quo ad vitam : bonam
o Quo ad functionam : bonam
o Quo ad sanationam : dubia
• Okuli Sinistra
o Quo ad vitam : bonam
o Quo ad functionam : bonam
o Quo ad sanationam : dubia
BAB II
5
TINJAUAN PUSTAKA
PTERYGIUM
I. DEFENISI
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada
celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke
daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian
sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi
iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. (1)
Pterygium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya
“wing” atau sayap. Menurut Hamurwono pterygium merupakan Konjungtiva
bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk
segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea.
(2)
Gambar 1. Pterygium
II. EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah
iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering.
Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu
daerah <370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai
22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400.(3)
6
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar
kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk
daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan
prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah
garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di
lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.Pasien
di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium
meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden
tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada
umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko
daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah
dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah.(3,4)
7
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian
posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi
menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan
dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi
zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada
mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara
pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga
terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal.
Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva
palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat
vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai
dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata
menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika
mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah
dimana reaksi patologis bisa ditemui.(6)
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.
Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat
translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan.
Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan
alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva
bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh
kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu
dengan kapsula tenon dan sklera.(6)
3. Konjungtiva Forniks
Merupkan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva
bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada
struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan
struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta
8
muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka
konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-
otot tersebut berkontraksi. (6)
Gambar 2. Konjugtiva
9
yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata prakornea secara merata.(6)
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel
superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma
di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan
adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum.(6)
Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3
bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat
papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan
fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng
tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang
konjungtiva.(6)
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal
aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip
kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause
berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak
di tepi tarsus atas.(6)
10
elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai
dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis
dan biasanya menunjukkan dysplasia. (7)
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi,
bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko
pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan
aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula
dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan.
Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan
atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya
pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya
keturunan (faktor herediter). (7)
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab
dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui
namun kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra
violet di area tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri
dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan
sinar ultra violet ke area nasal tersebut. (7)
Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang
menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan
setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya
(radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan
apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan
pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol
daripada kelainan degeneratif. (7)
1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting
dalam perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan
mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada
daerah dekat equator dan pada orang –orang yang menghabiskan
banyak waktu di lapangan. (7)
11
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium
adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin,
debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor
supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming
growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya
peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis.
Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi
elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial.
Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat
pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. (7)
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia
banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia
anak-anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua
dan tiga. (7)
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang
sering dengan sinar UV. (7)
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah
distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi
banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan
bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang
lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5
tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 30 0
memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan
daerah yang lebih selatan. (7)
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
12
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara
autosomal dominan. (7)
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor
penyebab pterygium. (7)
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-
partikel tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya pterygium. (7)
V. PATOFISIOLOGI
13
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah
episklera , yaitu:
1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus
atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm
dari kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada
epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis,
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang
memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau
ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh
pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi
menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren
setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan
astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona
optik. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat.
Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain.
Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual.
Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat
berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke
forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola
mata serta kebutaan
2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
o Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
o Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum
mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
o Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi
tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya
normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).
14
o Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati
pupil sehingga mengganggu penglihatan.
15
- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.(5,9)
Pterigium Duplex adalah lesi yang biasanya dijumpai pada sisi nasal
dan temporal pada satu mata pasien.
VII. GAMBARAN KLINIK
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti
mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat
timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut stadium 3
dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan
menurun. (10)
collum
corpus
Pterigium memilikiapeks
tiga bagian :
i. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-
abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area
ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada
kornea. Garis zat besi (iron line/Stocker’s line) dapat dilihat
pada bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan area
kornea yang kering.
ii. Bagain whitish. Terletak langsung setelah cap, merupakan
sebuah lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti
halnya kepala.
iii. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat
bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva
bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi
tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi
pembedahan. (11)
16
VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan penunjang
IX. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
17
Menurut Ziegler :
a. Mengganggu visus
b. Mengganggu pergerakan bola mata
c. Berkembang progresif
d. Mendahului suatu operasi intraokuler
e. Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :
1. Progresif, resiko rekurensi > luas
2. Mengganggu visus
3. Mengganggu pergerakan bola mata
4. Masalah kosmetik
5. Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone
6. Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik. (7)
18
5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya
diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai
dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau
difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH,
Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).(7,3)
X. DIAGNOSIS BANDING
19
Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium.
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan
pada orangtua, terutama yang matanya sering mendapatkan rangsangan sinar
matahari, debu, dan angin panas. Yang membedakan pterigium dengan
pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan
elastic kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang. (7)
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea
yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan
tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga
sering dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada
kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian apapun pada kornea dan
biasanya berbentuk oblieq. Sedangkan pterigium ditemukan secara
horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9. (7)
XI. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul pada pterygium, adalah :
- Distorsi dan penglihatan berkurang
20
- Mata merah
- Iritasi
- Pada pasien yang belum exicisi, scar pada otot rectus medial dapat
menyebabkan terjadinya diplopia. (3)
Komplikasi post eksisi pterygium, adalah:
- Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea,
conjungtiva graft longgar dan komplikasi yang jarang termasuk
perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau retinal detachment.
XII. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.
Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi.
Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft
dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. (4)
BAB III
ANALISIS MASALAH
21
Pada pemeriksaan inspeksi OD di dapatkan adanya selaput berbentuk
segitiga dengan puncak pada tepi pupil dengan ukuran > 2mm yang menunjukkan
tanda pterygium stadium III dan pada OS di dapatkan adanya selaput berbentuk
segitiga dengan puncak pada tepi limbus yang menunjukkan tanda pterygium
stadium I.
Tidak ada pengobatan medikamentosa yang spesifik untuk pterigium.
Tujuan pengobatan medikamentosa adalah untuk mencegah kekeringan pada mata.
Tindakan pembedahan pada pterigium adalah suatu tindakan bedah untuk
mengangkat jaringan fibrovaskular.
Teknik operasi yang direncanakan pada pasien ini adalah eksisi pterygium
dengan autograft konjungtiva dengan alasan karena teknik ini dianggap paling
bagus dalam menurunkan rekurensi pterygium.
Diharapkan agar penderita sedapat mungkin menghindari faktor pencetus
timbulnya pterigium seperti sinar matahari, angin dan debu serta rajin merawat
dan menjaga kebersihan kedua mata. Oleh karena itu dianjurkan untuk selalu
memakai kacamata pelindung atau topi pelindung bila keluar rumah.
LAMPIRAN
22
Gambar 1. Mata kanan dan kiri tertutup
DAFTAR PUSTAKA
23
1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.
7. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available from :
http://www.dokter-online.org/index.php.htm
10. Anton,dkk. Pterigium. [online] 2010. [ cited 2011 July 10]. Available from:
www.inascrs.org/pterygium/
11. Drakeiron. Pterigium. [online]2009. [cited 2011 August 11]. Avaible from :
http://drakeiron.wordpress.com/info-pterigium.
24
25