Anda di halaman 1dari 3

Nama : Delima Ramdani

NIM : 20170102177
Sesi : 05
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
Pancasila yang pada awalnya merupakan konsensus politik yang memberi dasar bagi
berdirinya negara Indonesia, berkembang menjadi konsensus moral yang digunakan sebagai
sistem etika yang digunakan untuk mengkaji moralitas bangsa dalam konteks hubungan
berbangsa dan bernegara.
Pola berpikir untuk membangun kehidupan berpolitik secara jernih mutlak sangat
diperlukan. Pembangunan moral politik yang berbudaya adalah untuk melahirkan kultur atau
budaya politik yang berdasarkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
menggalang suasana kasih sayang sesama manusia di Indonesia, yang berbudi kemanusiaan
luhur, yang mengindahkan kaidah-kaidah musyawarah secara kekeluargaan yang bersih dan
jujur, dan menjalin asas pemerataan keadilan di dalam menikmati dan menggunakan
kekayaan negara. Membangun etika politik berdasarkan Pancasila akan diterima baik oleh
segenap golongan dalam masyarakat.
Pada hakikatnya, etika politik tidak diatur dalam hukum tertulis secara lengkap, tetapi
melalui moralitas yang bersumber dari hati nurani, rasa malu kepada masyarakat, dan rasa
takut kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Adanya kemauan dan memiliki itikad baik dalam
hidup bernegara dapat mengukur secara seimbang antara hak yang telah dimiliki dengan
kewajiban yang telah ditunaikan, tidak memiliki ambisius yang berlebihan dalam merebut
jabatan, namun membekali diri dengan kemampuan secara kompetitif yang terbuka untuk
menduduki suatu jabatan, tidak melakukan cara-cara terlarang, seperti penipuan untuk
memenangkan persaingan politik. Dengan kata lain, tidak menghalalkan segala macam cara
untuk mencapai suatu tujuan politik.

Permasalahan di Indonesia
Kasus korupsi mega proyek E-KTP yang menjerat banyak nama pejabat baik di
tingkat pusat maupun daerah. Akan tetapi yang menjadi sorotan ialah kasus dugaan korupsi
proyek E-KTP yang menjerat ketua umum Dewan Perwakilan Rakyat, yakni Setya Novanto
yang dinilai oleh masyarakat terlalu banyak melakukan drama untuk menghindar dari hukum.
Setya Novanto seringkali dijuluki oleh publik sebagai raja drama. Kini, banyak
berbagai sandiwara terus dipentaskan Setya Novanto untuk mengelabuhi publik dan KPK,
mulai dari kisah sakit, hingga pingsan karena mobilnya menabrak pohon dan tiang listrik
hingga masuk rumah sakit, dan Setya Novanto ditangkap KPK dalam keadaan yang tidak
berdaya atau pura-pura sakit.
Bangsa dan Negara ini tidak maju-maju juga disebabkan oleh ulah para pejabat yang
tidak bekerja sesuai dengan amanah yang telah mereka sepakati, dan terus menerus
mengecewakan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Perilaku tersebut
sebenarnya telah menodai bahkan menghancurkan etika pejabat publik. Karena suatu tuntutan
etika pejabat publik adalah berbuat baik. Perilaku seperti ini adalah merupakan contoh buruk
dari pejabat bangsa ini yang tidak mentaati proses berjalannya hukum dinegara ini, mulai dari
tidak menghadiri pengadilan yang dilaksanakan sampai yang terburuk ialah melakukan
pembangkangan terhadap proses hukum yang semestinya harus dilaksanakan demi menjamin
kesamaan hak dan kewajiban sebagai rakyat dimata hukum dan ketika seorang pejabat yang
tersangkut masalah korupsi. Pembangkangan terhadap proses hukum yang ada didalam
negara yang dimaksud adalah tidak menghadiri proses hukum yang sedang berjalan yang
rasanya sudah lengkalah dan layak disebut sebagai pembangkangan terhadap hukum dan
ketika melakukan pembangkangan terhadap hukum maka bolehlah kita (Bangsa) ini
menyebutnya sebagai "Pengkhianat Negara dan Bangsa" dan mau tidak mau harus dicabut
hak-haknya sebagai warga negara.

Pembahasan
Perilaku Ketua DPR-RI yang sedemikian rupa tentu memberikan pengaruh terhadap
stigma masyarakat terhadap hukum dinegara ini yang dapat ditarik kesimpulan bahwa pejabat
tinggi memiliki imunitas terhadap hukum dan seenaknya menyepelekan proses penegakan
hukum. Dalam perspektif Pancasila perilaku Setya Novanto adalah telah benar-benar
menciderai nilai-nilai pancasila yang idealnya melekat didalam diri bangsa ini khususnya
pejabat negara sebagai suatu mesin yang menyelenggarakan pemerintahan negara ini.
Pancasila bukan hanya sebuah ideologi yang dihasilkan dari sebuah kesepakatan
semata akan tetapi pancasila juga sebagai falsafah negara yang mengatur, merumuskan
kebijakan, membuat perundang-undangan dan produk hukum lainnya. Meminjam pendapat
Abdurrahman Wahid (1991:163) yang dikutip oleh Cholisin (2012: 2) " menyatakan
Pancasila sebagai falsafah negara berstatus sebagai kerangka berpikir yang harus diikuti
dalam menyusun undang-undang dan produk hukum yang lain, dalam merumuskan kebijakan
pemerintah dan dalam mengatur hubungan formal antar lembaga-lembaga dan perorangan
yang hidup dalam kawasan negara ini." Dari pendapat Abdurrahman Wahid maka dapat
dijabarkan bahwa segala sesuatu tentang perundang-undangan dan produk hukum lainnya
adalah berasal dari pancasila sebagai falsafah negara ini, yang kebenarannya tentu sudah
disusun secara sistematis.
Sikapnya menunjukkan ketidak percayaannya terhadap konsep keadilan yang
terkandung dalam sila ke-2 yang notabene keadilan yang dimaksud dalam sila ke-2 ialah
berdasarkan atas prinsip kemanusiaan yang berketuhanan Yang Maha Esa, atas dasar
kebijaksanaan dan permusyawaratan yang dalam hal ini dilaksanakan oleh hakim selaku
perwujudan daripada prinsip keadilan, kebijaksanaan didalam pelaksanaan proses hukum
bangsa ini dan sebagai hasilnya ialah didapatkannya sebuah keadilan secara yuridis
maupun de facto, mengingat idealnya seorang hakim adalah berada dalam posisi netral. Serta
KPK sebagai perwujudan daripada sila ke-5 sebagai salah satu alat pengawas guna menjamin
terwujudnya tujuan keadilan bagi seluruh rakyat indonesia, keadilan ini dalam konteksnya
ialah hak yang sama untuk memperoleh kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
kesejahteraan.
Dan seharusnya seorang ketua DPR idealnya dapat menjadi contoh sebagai wakil
rakyat yang baik dengan menunjukkan sikap sebagai seorang negarawan yang taat terhadap
hukum yang berlaku dan menerima seluruh keputusan yang akan dijatuhkan kepadanya
nantinya, apakah ditetapkan sebagai tersangka atau tidak dengan menaruh kepercayaan
terhadap penegakan hukum yang dilakukan penegak hukum, sebab adalah hal yang tidak
mungkin lembaga setingkat KPK melakukan penetapan atau penyidikan terhadap pejabat
yang terindikasi terlibat kasus korupsi dengan asal-asalan atau dalam arti ngawur, mencari-
cari kesalahan untuk menumbangkan jabatan seseorang yang berarti KPK berpolitik padahal
KPK adalah lembaga non politik.
Solusi
Mencerminkan metode pengunduran diri di Jepang merupakan salah satu cara yang
bisa di tempuh. Mengenai mundurnya seorang politikus ataupun pejabat negara di Jepang
dari jabatannya setelah serangkaian skandal atau berita mengenai suatu kegagalan yang
bersangkutan dalam melaksanakan tugasnya, antara lain: mengapa “pengunduran diri”
merupakan metode yang banyak ditempuh oleh politisi ataupun pejabat negara di Jepang
yang terlibat skandal, serta apa alasan orang Jepang menempuh metode tersebut.
Di dalam bukunya yang berjudul “Comparing Asian Politics: India, China, and Japan”
(2015), Sue Ellen M Charlton menyebutkan bahwa di era pemerintahan Tokugawa (zaman
Edo) dahulu, orang Jepang terkenal memiliki nilai-nilai pengorbanan diri dan dedikasi yang
tinggi terhadap komunitasnya. Nilai lain yang dimiliki oleh mereka adalah loyalitas, di mana
seseorang memberikan loyalitasnya kepada keluarga, kampung halaman, komunitas, serta
kepada negara. Di masa tersebut, loyalitas juga dapat berbentuk tindakan seppuku (harakiri)
yang dilakukan oleh seorang samurai (prajurit) dengan menusuk perutnya menggunakan
pedang.
Di era modern Jepang saat ini, nilai-nilai tradisional tersebut diwariskan dan
diwujudkan dalam bentuk lain seperti: kerja keras, rasa hormat, pelayanan, kinerja nyata,
serta moral yang tinggi kepada komunitas dan negaranya. Nilai-nilai tersebut masih
mendarah daging dan sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Jepang pada
umumnya. Oleh karena itu, di dalam etika politik dan pemerintahan dapat dikatakan bahwa
metode pengunduran diri seorang politisi ataupun pejabat negara di Jepang dianggap sebagai
bentuk rasa tanggung jawab yang bersangkutan karena telah merugikan kepentingan bersama
dan malah mengutamakan kepentingan pribadi.
Apa yang terjadi di Indonesia saat ini masih jauh jika dibandingkan dengan keadaan
di negara Jepang. Meskipun tidak dapat dibandingkan secara fair (apple to apple) karena
kedua negara memiliki kondisi ekonomi, sosial, politik, budaya, dan hukum
(ekosospolbudhuk) yang sangat berbeda, namun jika menyoroti secara khusus terkait etika
politik dan pemerintahan di kalangan elite politisi dan pejabat negara di Indonesia, nilai-nilai
tradisional Indonesia yang tertanam yang telah disebutkan tadi tidak nampak terlihat pada diri
mereka seperti apa yang nampak terlihat pada kalangan politisi dan pejabat negara di Jepang.
Masyarakat Indonesia tentunya dapat menilai melalui apa yang terpapar di media
massa, apakah hukum berjalan dengan sepatutnya ataukah masih berada di titik nadirnya.
Hingga kini belum terdengar berita apakah pejabat negara yang terlibat kasus hukum tersebut
akan mengundurkan diri dari jabatannya sesuai dengan etika politik dan pemerintahan
sebagaimana mestinya. Melalui banyaknya tayangan yang menampilkan tingkah akrobatik
kalangan elite politisi dan pejabat negara Indonesia, masyarakat Indonesia dapat segera
menyimpulkan bahwa meskipun nilai-nilai tradisional Indonesia telah tertanam sejak dahulu
namun budaya kepatuhan serta jiwa sportivitas rupanya belum mendarah daging dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika kita melihat kepada apa yang terjadi pada negara Jepang, memang sepertinya
masih terasa jauh bagi politisi serta pejabat negara ini untuk menuju ke arah sana. Namun,
selalu ada kesempatan bagi siapa pun yang memiliki keinginan untuk maju demi kepentingan
bangsa dan negara. Atas dasar ketertinggalan dengan bangsa lain, Indonesia harus bisa
mengejar untuk menjadi negara modern yang dapat berpolitik dengan nilai-nilai tradisional
yang dibanggakan. Tentunya, semua berawal dari niat yang mulia dari para politisi dan
pejabat negara Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai