Anda di halaman 1dari 20

Sindrom Metabolik pada Dewasa Obesitas

Ezra Pandapotan Butar Butar (102016041)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara no. 6 – Jakarta Barat 11470

No. Telp. 021-56942061.

Abstrak

Sindrom metabolik adalah gangguan metabolik kompleks yang disebabkan oleh peningkatan
kejadian obesitas. Sindrom metabolik merupakan kumpulan faktor risiko untuk penyakit
kardiovaskular. Prevalensi sindrom metabolik meningkat setiap tahun. Data epidemiologis
menunjukkan prevalensi sindrom metabolik di dunia adalah 20-25%. Etiologi sindrom
metabolik masih belum pasti, tetapi terkait dengan resistensi insulin yang menyebabkan stres
oksidatif dan disfungsi endotel. Kriteria untuk diagnosis sindrom metabolik didasarkan pada
kriteria WHO, ATP III dan IDF yang termasuk obesitas sentral, hipertrigliserida, hipertensi,
hiperglikemia dan mikroalbuminuria.

Kata kunci : sindrom metabolic, obesitas, dan kardiovaskular

Abstract

Metabolic syndrome is a complex metabolic disorder caused by an increasing incidence of


obesity. Metabolic syndrome is collection of risk factors for cardiovascular disease. The
prevalence of the metabolic syndrome is increasing every year. Epidemiological data showed
the prevalence of metabolic syndrome ini the world is 20–25%. The etiology of the metabolic
syndrome is stil uncertain, but its related to insulin resistance which caused oxidative stress
and endothelial dysfunction. The Criteria for diagnosis of metabolic syndrome is based on
criteria of WHO, ATP III and IDF which include central obesity, hypertriglyceridaemia,
hypertension, hyperglycemia and microalbuminuria.

Keywords: Cardiovascular, Metabolic syndrome, insuline resistance.

1
Pendahuluan

Berdasarkan pengamatan di banyak negara, baik di negara maju maupun yang sedang
berkembang, jumlah orang dengan kelainan sindrom metabolic semakin banyak. Oleh karena
itu telah banyak peringatan dan anjuran untuk segera melakukan upaya untuk mencegah
timbulnya sindrom metabolik. Upaya pertama adalah dengan mengenal terlebih dahulu
kelainan, faktor-faktor yang berperan, patofisiologinya kemudian diikuti dengan upaya
pencegahan dan penatalaksanaannya Dalam upaya tersebut telah dikemukakan beberapa
definisi mengenai kelainan apa saja yang perlu diperhatikan dan kriteria batasan nilainya.
Antara beberapa rekomendasi tersebut banyak persamaannya tetapi ada pula perbedaannya,
bahkan timbul perdebatan kontroversial antara para ahli sehingga membingungkan para
pengguna, yaitu para dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Diinginkan adanya suatu pedoman
yang bersifat universal yang dapat dipakai bersama di semua negara.

Anamnesis

Merupakan suatu wawancara antara pasien dengan dokter untuk mengetahui riwayat kondisi
pasien, riwayat penyakit pasien dahulu, riwayat penyakit keluarga, gejala-gejala yang dialami
pasien. Berdasarkan kasus di atas, anamnesis yang dilakukan secara auto-anamnesis yaitu
anamnesis dimana pasien yang menderita penyakit langsung menjawab pertanyaan dokter.
Anamensis mencakup identitas penderita, keluhan utama dan perjalanan penyakit.
Berdasarkan kasus, yang harus ditanyakan pada anamnesis:

 Identitas mencakup :
- Nama
- Umur
- Pekerjaan
- Agama
- Alamat
- Pendidikan terakhir dll
 Keluhan utama pasien

2
Merupakan alasan yang menyebabkan pasien datang ke dokter. Adapun keluhan
utama pasien yaitu: gemuk dan sulit menurunkan berat badannya sejak usia 40 tahun.
 Keluhan tambahan pasien
Sering lelah dan mudah haus pada 1 tahun belakangan ini.
 Riwayat Penyakit Terdahulu dan Perjalanan penyakit
Tidak ada, tapi riwayat penyakit turunan (faktor genetik) yaitu ayahnya menderita
hipertensi dan ibunya sudah 10 tahun mengidap penyakit kencing manis. Sebelumnya
pasien jarang memeriksakan dirinya ke fasilitas kesehatan karena tidak merasakan
adakeluhan seputar kesehatannya.

 Riwayat mengkonsumsi obat


 Riwayat adanya perubahan berat badan
 Aktifitas fisik sehari-hari
 Asupan makanan sehari-hari.1

Pemeriksaan Fisik

Antropometrik

- Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah , tingkat kesadaran,
frekuensi nafas, denyut nadi, dan suhu tubuh

- Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) , menggunakan rumus

Berat badan (kg)

——————————

Tinggi badan (m)2

IMT: 88 = 30, 81 (Buruk)

(169)2

3
Klasifikasi IMT.

BB kurang: <18,5

BB normal: 18,5-22,9

BB lebih: >23,0
 Preobesitas: 23,0-24,9
 Obesitas I: 25,0-29,9
 Obesitas II: >30

- Pengukuran lingkaran pinggang merupakan prediktor yang lebih baik terhadap risiko
kardiovaskular daripada pengukuran waist-to-hip ratio.1

Abdomen

Inspeksi

Bentuk simetris, datar Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak tampak efloresensi,
roseola spot (-),caput medusae (-).Umbilikus normal, tidak menonjol.

Palpasi

Teraba supel, defense muscular (-), tidak teraba benjolan, terdapat nyeri tekan padaepigastrium,
nyeri lepas (-), tidak ada pembesaran hepar dan lien, ballotemen ginjalkanan dan kiri (-),
undulasi (-)

Perkusi

Timpani di seluruh lapangan abdomen, nyeri ketuk (-), shifting dullness (-), CVA -/-

Auskultasi

Bising usus (+) normal.2

Pemeriksaan Penunjang

Panel Sindrom Metabolik

4
Merupakan sekelompok pemeriksaan laboratorium yang disarankan untuk mengetahui adanya
sindrom metabolik beserta komplikasinya.

1. Trigliserida, HDL Kolesterol, Glukosa Puasa

Manfaat: Mendeteksi adanya sindrom metabolik berdasarkan kriteria IDF 2005.

2. Apo B dan LDL Kolesterol Direk

Manfaat: Melihat adanya small dense LDL. Small dense LDL merupakan faktor risiko
penting untuk Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan lebih aterogenik bila dibandingkan
dengan LDL biasa. Dengan menentukan konsentrasi apo B plasma, kita dapat menentukan
jumlah partikel small dense LDL, di mana dengan menggunakan rasio kolesterol
LDL/ApoB (konsentrasi kolesterol LDL diukur dengan metode direk) dapat ditentukan
adanya small dense LDL. Pada rasio kolesterol LDL direk/ApoB < 1,2, terdapat small dense
LDL dalam sirkulasi tubuh .

3. Adiponektin

Manfaat: Melihat apakah terjadi penurunan konsentrasi adiponektin


(hipoadiponektinemia), di mana peningkatan jaringan adiposa viseral akan mengakibatkan
penurunan konsentrasi adiponektin dan peningkatan sitokin proinflamasi yang berperan
penting dalam efek kardiovaskular sindrom metabolik.

4. Glukosa Puasa, Glukosa 2 jam pp dan HbA1c

Manfaat : Mendiagnosis dan memantau pengendalian hiperglikemia (glukosa darah puasa


terganggu, toleransi glukosa terganggu dan T2DM).

5. hsCRP

Manfaat : Menilai kondisi inflamasi kronis pada individu sindrom metabolik. penanda
untuk memprediksi penyakit pembuluh darah koroner pada sindrom metabolik, dan baru-
baru ini digunakan prediktor untuk penyakit lemak hati non-alkohol dalam hubungan
dengan penanda serum yang menunjukkan lipid dan metabolisme glukosa.

6. NT-proBNP

5
Manfaat : Melihat risiko gagal jantung pada individu obes. Peningkatan indeks massa tubuh
merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi, T2DM dan dislipidemia, sehingga
meningkatkan risiko infark miokardial yang mendahului terjadinya gagal jantung. Selain
itu, hipertensi dan T2DM secara independen akan meningkatkan risiko gagal jantung.

7. Albumin Urin Kuantitatif (Sewaktu)

Manfaat : Membantu menentukan pengobatan yang dapat mencegah atau memperlambat


onset penyakit ginjal kronik (PGK) dan penyakit kardiovaskular (PKV). Albumin Urin
Kuantitatif merupakan penanda prognosis untuk risiko PKV pada individu dengan diabetes
maupun tanpa diabetes, sebagai penanda risiko mortalitas pada individu infark miokardial,
dan merupakan prediktor PKV pada individu dengan hipertensi tidak terkontrol.

8. SGPT dan Collagen Type IV

Manfaat : Melihat risiko NASH pada individu dengan sindrom metabolik. NASH
merupakan bagian dari spektrum luas nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) dan
ditandai dengan hepatomegali, peningkatan serum aminotransferase dan gambaran
histologi yang menyerupai hepatitis alkoholik tanpa adanya penggunaan alkohol
berlebihan. Terjadinya fatty liver (yang dideteksi melalui ultrasonografi) yang disertai
dengan adanya inflamasi (ditandai dengan peningkatan hsCRP dan hipoadiponektinemia),
proses fibrosis (ditandai dengan peningkatan collagen type IV) serta adanya kematian sel
(ditandai dengan peningkatan enzim SGPT) merupakan kondisi yang terjadi pada NASH.

USG Abdomen

USG abdomen diperlukan untuk mendiagnosis adanya fatty liver karena kelainan ini dapat
dijumpai walaupun tanpa adanya gangguan faal hati.3

Diagnosis

Diagnosis Kerja

Sindrom Metabolik

Sejak munculnya sindrom resistensi insulin, beberapa organisasi berusaha membuat


kriteria sindrom metabolik supaya dapat diterapkan secara praktis klinis sehari-hari. Secara

6
umum, semua kriteria yang diajukan memerlukan minimal 3 kriteria untuk mendiagnosis
sondrom metabolik atau sindrom resistensi insulin. World Health Organization (WHO)
merupakan organisasi pertama yang mengusulkan kriteria sindrom metabolik pada tahun 1998.
Menurut WHO pula, istilah sindrom metabolik dapat dipakai pada penyandang! DM mengingat
penyandang DM juga dapat memenuhi kriteria tersebut dan menunjukkan besarnya risiko
terhadap kejadian kardiovaskular. Setahun kemudian pada tahun 1999, the European Group for
Study of Insulin Resistance (EGIR) melakukan modifikasi pada kriteria WHO. EGIR
cenderung menggunakan istilah sindrom resistensi insulin. Berbeda dengan WHO, EGIR lebih
memlih obesitas sentral dibandingkan IMT dan istilah sindrom resistensi insulin tidak dapat
dipakai pada penyandang DM karena resistensi insulin merupakan faktor risiko timbulnya DM.
Pada tahun 2001, National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III
(ATP III) mengajukan kriteria baru yang tidak mengharuskan adanya komponen resistensi
insulin. Meski tidak pula mewajibkan adanya komponen obesitas sentral, kriteria ini
menganggap bahwa obesitas sentral merupakan faktor utama yang mendasari sindrom
metabolik. Nilai cut off lingkar perut diambil dari National Institute of Health Obesity ClinicaI
Guidelines; > 102 cm untuk pria dan > 88 cm untuk wanita. Untuk etnik tertentu seperti Asia,
dengan cut-off lingkar perut lebih rendah dari ATP III, sudah berisiko terkena sindrom
metabolik. Pada tahun 2003, American Association of ClinicaI Endocrinologists (AACE)
memodifikasi definisi dari ATP III. Sama seperti EGIR, bila sudah ada DM, maka istilah
sindrom resistensi insulin tidak digunakan lagi. Dua tahun kemudian, pada tahun 2005,
International Diabetes Federation (IDF) kembali memodifikasi kriteria ATP III. IDF
menganggap obesitas sentral sangat berkorelasi dengan resistensi insulin, sehingga memakai
obesitas sentral sebagai kriteria utama. Nilai cut-off yang digunakan juga dipengaruhi oleh
etnik. Untuk Asia dipakai cut-off\ lingkar perut > 90 cm untuk pria dan > 80 cm untuk wanita.
Beberapa kriteria sindrom metabolik dapat dilihat pada table 1.

7
Tabel 1. Beberapa Kriteria Sindrom Metabolik.4

Kriteria yang diajukan oleh NCEP-ATP III lebih banyak digunakan, karena lebih memudahkan
seorang klinisi untuk mengidentifikasi seseorang dengan sindrom metabolik. Sindrom
metabolik ditegakkan apabila seseorang memiliki sedikitnya 3 (tiga) kriteria.4

Obesitas

Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh
yang berlebihan.

Setiap orang memerlukan sejumlah lemak tubuh untuk menyimpan energi, sebagai
penyekat panas, penyerap guncangan dan fungsi lainnya. Rata-rata wanita memiliki lemak
tubuh yang lebih banyak dibandingkan pria. Perbandingan yang normal antara lemak tubuh

8
dengan berat badan adalah sekitar 25-30% pada wanita dan 18-23% pada pria. Wanita dengan
lemak tubuh lebih dari 30% dan pria dengan lemak tubuh lebih dari 25% dianggap mengalami
obesitas.

Seseorang yang memiliki berat badan 20% lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat badannya
yang normal dianggap mengalami obesitas.

Obesitas digolongkan menjadi 3 kelompok:

 Obesitas ringan : kelebihan berat badan 20-40%

 Obesitas sedang : kelebihan berat badan 41-100%

 Obesitas berat : kelebihan berat badan >100% (Obesitas berat ditemukan sebanyak 5%
dari antara orang-orang yang gemuk).

Perhatian tidak hanya ditujukan kepada jumlah lemak yang ditimbun, tetapi juga
kepada lokasi penimbunan lemak tubuh. Pola penyebaran lemak tubuh pada pria dan wanita
cenderung berbeda. Wanita cenderung menimbun lemaknya di pinggul dan bokong, sehingga
memberikan gambaran seperti buah pir. Sedangkan pada pria biasanya lemak menimbun di
sekitar perut, sehingga memberikan gambaran seperti buah apel. Tetapi hal tersebut bukan
merupakan sesuatu yang mutlak, kadang pada beberapa pria tampak seperti buah pir dan
beberapa wanita tampak seperti buah apel, terutama setelah masa menopause.

Seseorang yang lemaknya banyak tertimbun di perut mungkin akan lebih mudah mengalami
berbagai masalah kesehatan yang berhubungan dengan obesitas. Mereka memiliki risiko yang
lebih tinggi. Gambaran buah pir lebih baik dibandingkan dengan gambaran buah apel.

Untuk membedakan kedua gambaran tersebut, telah ditemukan suatu cara untuk menentukan
apakah seseorang berbentuk seperti buah apel atau seperti buah pir, yaitu dengan menghitung
rasio pinggang dengan pinggul. Pinggang diukur pada titik yang tersempit, sedangkan pinggul
diukur pada titik yang terlebar; lalu ukuran pinggang dibagi dengan ukuran pinggul. Seorang
wanita dengan ukuran pinggang 87,5 cm dan ukuran pinggul 115 cm, memiliki rasio pinggang-
pinggul sebesar 0,76. Wanita dengan rasio pinggang:pinggul lebih dari 0,8 atau pria dengan
rasio pinggang:pinggul lebih dari 1, dikatakan berbentuk apel.

Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa tubuh tidak begitu sensitif dalam
menggambarkan risiko kardiovaskular dan gangguan metabolik yang teijadi. Studi
menunjukkan bahwa obesitas sentral yang digambarkan oleh lingkar perut (dengan cut-off
yang berbeda antara jenis kelamin) lebih sensitif dalam memprediksi gangguan metabolik dan

9
risiko kardiovaskular. Lingkar perut menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan dan vis-
ceral. Meski dikatakan bahwa lemak viseral lebih berhubungan dengan komplikasi metabolik
dan kardiovaskular, hal ini masih kontroversial. Peningkatan obesitas berisiko pada
peningkatan kejadian kardiovaskular. Variasi faktor genetik membuat perbedaan dampak
metabolik maupun kardiovaskular dari suatu obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak
berkembang menjadi resistensi insulin, dan sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada
individu tanpa obes (lean subjects). Interaksi faktor genetik dan lingkungan akan memodifikasi
tampilan metabolik dari suatu resistensi insulin maupun obesitas.

Metoda yang paling berguna dan banyak digunakan untuk mengukur obersitas adalah BMI
(BodyMass Index), yang didapat dengan cara membagi berat badan (kg) dengan kuadrat dari
tinggi badan (meter)> nilai BMI yang didapat tidak tergantung pada umur dan jenis kelamin.

Keterbatasan BMI adalah yang tidak dapat digunakan lagi:

 Anak-anak dalam masa pertumbuhan


 Wanita hamil
 Orang yang sangat berotot, contohnya atlet

BMI dapat digunakan untuk menentukan seberapa besar seseorang dapat terkena resiko
penyakit tertentu yang disebabkan karena berat badannya. Seseorang dikatan obes dam
membutuhkan pengobatan bila mempunyai BMI diatas , dengan kata lain orang tersebut
memiliki kelebihan BB sebanyak 20%.

Etiologi

Beberapa faktor yang menyebabkan sindrom metabolic telah ditemukan oleh para ahli,
diantaranya :

1. Diet yang salah


Pada sindrom metabolic yang menjadi perhatian adalah bukan berapa
banyak makanan yang dimakan, tapi apa jenis makanan yang dimakan. Konsumsi
makanan dengan tinggi karbohidrat yang mengandung gula putih dan tepung terigu
menyababkan terjadinya sindrom metabolic dalam masyarakat modern sekarang
ini.5
2. Kelebihan berat badan

10
Sindrom metabolic lebih banyak ditemui pada orang dengan kelebihan berat
badan, dengan penimbunan lemak pada tubuh bagian atas. Jadi sindrom metabolic
banyak ditemui pada orang dengan bentuk tubuh seperti apel. Timbunan lemak pada
daerah aras tubuh mempermudah produksi hormone pria seperti androstenedione.
Bila kadar hormone tersebut meningkat maka dapat menyebabkan resistensi
insulin.5
3. Sindrom ovarium polikistik
Sindrom ini merupakan bentuk gangguan hormonal yang sering ditemui
pada wanita, diderita oleh 6-10% wanita premenopause. Pada keadaan ini produksi
hormone pria meningkat, sehingga ovulasi dihambat. Karena ovulasi tidak terjadi,
maka produksi hormone wanita progesterone menjadi terhambat, menyebabkan
gangguan menstruasi dan infertilitas. Wanita dengan sindrom ovarium polikistik
mempunyai tendensi mengalami sindrom metabolic lebih besar, dan tujuh kali lebih
sering mengalami diabetes mellitus tipe 2, terutama jika ,mereka juga mengalami
kelebihan berat badan.5
4. Faktor genetik
Bila diantara anggota keluarga mempunyai riwayat obesitas, diabetes
mellitus tipe 2, hipertensi, sindrom ovarium polikistik atau penyakit jantung, maka
resiko untuk mengalami sindrom metaboolik meningkat.5

5. Finess dan exercise


Resistensi insulin lebih umum ditemui pada orang yang biasa hidup dengan
cara sedentary lifestyle dan tidak melakukan olahraga secara teratur. Kekurangan
latihan olahraga akan meningkatkan resiko sindrom metabolic sebanyak 20-25%.
Meskipun latihan olahraga teratur akan menurunkan resistensi insulin, manfaatnya
akan hilang bila latihan olahraga tersebut dihentikan. Merokok dapat sedikit
meningkatnkan resistensi insulin, sedangkan minuman beralkohol 1-2 gelas/hari
tidak meningkatkan tendensi sindrom metabolic.5

Epidemiologi

Di US, peningkatan kejadian obesitas mengiringi peningkatan prevalensi sindrom metabolik.


Prevalensi sindrom metabolik pada populasi usia > 20 tahun sebesar 25% dan pada usia > 50

11
tahun sebesar 45%. Pandemi sindrom metabolik juga berkembang seiring dengan peningkatan
prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi Asia, termasuk Indonesia. Studi yang dilakukan
di Depok (2001) menunjukkan prevalensi sindrom metabolik menggunakan kriteria National
Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III) dengan modifikasi
Asia Pasifik, terdapat pada 25.7% pria dan 25% wanita. Penelitian Soegondo (2004)
melaporkan prevalensi sindrom metabolik sebesar 13,13% dan menunjukkan bahwa kriteria
Indeks Massa Tubuh (IMT) obesitas >25 kg/m2 lebih cocok untuk diterapkan pada orang
Indonesia. Penelitian di DKI Jakarta pada tahun 2006 melaporkan prevalensi sindrom
metabolik yang tidak jauh berbeda dengan Depok yaitu 26,3% dengan obesitas sentral
merupakan komponen terbanyak (59,4%). Laporan prevalensi sindrom metabolik di beberapa
daerah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Prevelensi Sindrom Metabolik di Beberapa Daerah di Indonesia.4

Dibandingkan dengan komponen-komponen pada sindrom metabolik, obesitas sentral paling


dekat untuk memprediksi ada tidaknya sindrom metabolik. Beberapa studi di wilayah
Indonesia termasuk Jakarta menunjukkan obesitas sentral merupakan komponen yang paling
banyak ditemukan pada individu dengan sindrom metabolik.4

Patofisiologi

Pengetahuan mengenai patofisiologi masing-masing komponen sindrom metabolik sebaiknya


diketahui untuk dapat memprediksi pengaruh perubahan gaya hidup dan medikamentosa dalam
penatalaksanaan sindrom metabolik.4

Obesitas Sentral

12
Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa tubuh tidak begitu sensitif dalam
menggambarkan risiko kardiovaskular dan gangguan metabolik yang terjadi. Studi
menunjukkan bahwa obesitas sentral yang digambarkan oleh lingkar perut (dengan cut-off
yang berbeda antara jenis kelamin) lebih sensitif dalam memprediksi gangguan metabolik dan
risiko kardiovaskular. Lingkar perut menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan dan
visceral. Meski dikatakan bahwa lemak viseral lebih berhubungan dengan komplikasi
metabolik dan kardiovaskular, hal ini masih kontroversial. Peningkatan obesitas berisiko pada
peningkatan kejadian kardiovaskular. Variasi faktor genetik membuat perbedaan dampak
metabolik maupun kardiovaskular dari suatu obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak
berkembang menjadi resistensi insulin, dan sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada
individu tanpa obes (lean subjects). Interaksi faktor genetik dan lingkungan akan memodifikasi
tampilan metabolik dari suatu resistensi insulin maupun obesitas.

Jaringan adiposa merupaka sebuah organ endokrin yang aktif mensekresi berbagai
faktor pro dan anti inflamasi seperti leptin, adiponektin, Tumor nekrosis factor α (TNF-α),
Interleukin-6 (IL-6) dan resistin. Konsentrasi adiponektin plasma menurun pada kondisi DM
tipe 2 dan obesitas. Senyawa ini dipreaya memiliki efek antiaterogenik pada hewan coba dan
manusia. Sebaliknya, konsentrasi leptin meningkat pada kondisi resistensi insulin dan obesitas
dan berhubungan dengan risiko kejadian kardiovaskular tidak tergantung dari faktor risiko
tradisional kardiovaskular, IMT dan konsentrasi CRP Sejauh ini belum diketahui apakah
pengukuran pengukuran marker hormonal dari jaringan adiposa lebih baik daripada
pengukuran secara anatomi dala memprediksi risiko kejadian kardiovaskular dan kelainan
metabolik yang terkait.4

Resistensi Insulin

Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom metabolik. Sejauh ini
belum disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin. Teknik clamp
merupakan teknik yang ideal namun tidak praktis untuk klinis sehari-hari. Pemeriksaan glukosa
plaama puasa juga tidak ideal mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya dijumpai
pada 10% sindrom metabolik. Pengukuran Homeostasis Model Asessment (HOMA) dan
Quantitative Insulin Sensitivity Check Index (QUICKI) dibuktikan berkorelasi erat dengan
pemeriksaan standar, sehingga dapat disarankan untuk mengukur resistensi insulin. Bila
melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan jaringan adiposa dan sistem
kekebalan tubuh, maka pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan

13
insulin (seperti rumus HOMA dan QUICKI) perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya, penggunaan
rumus ini secara rutin di klinis belum disarankan maupun disepakati.4

Dislipidemia

Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolik ditandai dengan peningkatan


trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya normal, namun
mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small dense LDL. Peningkatan konsentrasi
trigliserida plasma dipikirkan akibat peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati sehingga
terjadi peningkatan produksi trigliserida. Namun studi pada manusia dan hewan menunjukkan
bahwa peningkatan trigliserida tersebut bersifat multifaktorial dan tidak hanya diakibatkan oleh
peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati.

Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan trigliserida sehingga terjadi


transfer trigliserida ke HDL. Namun, pada subyek dengan resistensi insulin dan konsentrasi
trigliserida normal dapat ditemukan penurunan kolesterol HDL. Sehingga dipikirkan terdapat
mekanisme lain yang menyebabkan penurunan kolesterol HDL disamping peningkatan
trigliserida. Mekanisme yang dipikirkan berkaitan dengan gangguan masukan lipid post
prandial pada kondisi resistensi insulin sehingga terjadi gangguan produksi Apolipoprotein A-
I (Apo A-l) oleh hati yang selanjutnya mengakibatkan penurunan kolesterol HDL. Peran sistem
imunitas pada resistensi insulin juga berpengaruh pada perubahan profil leipid pada subyek
dengan resistensi insulin. Studi pada hewan menunjukkan bahwa aktivasi sistem imun akan
menyebabkan gangguan pada lipoprotein, protein transport, reseptor dan enzim yang berkaitan
sehingga terjadi perubahan profil lipid.4

Peran sistem imunitas pada resistensi insulin

Inflamasi subklinis kronik juga merupakan bagian dari sindrom metabolik. Marker
inflamasi berperan pada progresifitas DM dan komplikasi kardiovaskular. C reactive protein
(CRP) dilaporkan menjadi data prognosis tambahan tentang keparahan inflamasi pada subyek
wanita sehat dengan sindrom metabolik. Namun, belum didapatkan kesepakatan alur diagnosis
yang mampu menggabungkan peningkatan CRP, koagulasi, dan gangguan fibrinolisis dalam
memprediksi risiko kardiovaskular.4

Hipertensi

14
Resistensi insulin juga berperan pada pathogenesis hipertensi. Insulin merangsang
sistem saraf simpatis meningkatkan reabsorpsi natrium ginjal, mempengaruhi transport kation
dan mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah. Pemberian infus insulin akut
dapat menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi. Sehingga disimpulkan bahwa hipertensi
akibat resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor.
The Insulin Resistance Atherosclerosis Stucfy melaporkan hubungan antara resistensi insulin
dengan hipertensi pada subyek normal namun tidak pada subyek dengan DM tipe 2.4

Manifestasi Klinik

Sindrom metabolik biasanya tidak diasosiasikan dengan gejala. Pada pemeriksaan fisik,
lingkar perut dan tekanan darah yang meningkat. Kehadiran satu atau salah satu dari tanda-
tanda ini harus diwaspadai dokter untuk mencari kelainan biokimia lain yang mungkin
terkait dengan sindrom metabolik. Kurang sering, lipoatrofi atau acanthosis nigricans
ditemukan pada penelitian. Karena temuan fisik biasanya terkait dengan resistensi insulin yang
berat, komponen lain dari sindrom metabolik harus diprediksi.

1) Obesitas Abdominal
2) Atherogenic Dislipidemia
3) Peningkatan tekanan darah
4) Resistensi Insulin
5) Komponen Proinflammatory
6) Prothrombotic State
7) Vascular abnormalities (disfungsi endothelial, ACR ≥ 30mg/g)
8) Hiperurisemia

Penatalaksanaan

Non-medikamentosa

Latihan Fisik :

Otot rangka merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap insulin didalam
tubuh, dan merupakan target utama terjadinya resistensi insulin. Latihan fisik terbukti dapat
menurunkan kadar lipid dan resistensi insulin didalam otot rangka. Pengaruh latihan fisik
terhadap sensitivitas insulin terjadi dalam 24 – 48 jam dan hilang dalam 3 sampai 4 hari.
Jadi aktivitas fisik teratur hendaklah merupakan bagian dari usaha untuk memperbaiki

15
resistensi insulin. Pasien hendaklah diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan
derajat aktifitas fisiknya. Manfaat paling besar dapat diperoleh bila pasien menjalani latihan
fisik sedang secara teratur dalam jangka panjang. Kombinasi latihan fisik aerobik dan
latihan fisik menggunakan beban merupakan pilihan terbaik. Dengan menggunakan
dumbbell ringan dan elastic exercise band merupakan pilihan terbaik untuk latihan dengan
menggunakan beban. Jalan kaki dan jogging selama 1 jam perhari juga terbukti dapat
menurunkan lemak viseral secara bermakna pada laki2 tanpa mengurangi jumlah kalori
yang dibutuhkan.6

Diet

Sasaran utama dari diet terhadap Sindrom Metabolik adalah menurunkan risiko
penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus. Review dari Cochrane Database
mendukung peranan intervensi diet dalam menurunkan risiko penyakit kardiovaskular.
Bukti-bukti dari suatu studi besar menunjukkan bahwa diet rendah sodium dapat membantu
mempertahankan penurunkan tekanan darah. Hasil-hasil dari studi klinis diet rendah lemak
selama lebih dari 2 tahun menunjukkan penurunan bermakna dari kejadian komplikasi
kardiovaskular dan menurunkan angka kematian total.

The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,


Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) merekomendasikan tekanan
darah sistolik antara 120 – 139 mmHg atau diastolik 80 – 89 mmHg sebagai stadium pre
hipertensi, sehingga modifikasi gaya hidup sudah mulai ditekankan pada stadium ini untuk
mencegah penyakit kardiovaskular. Berdasarkan studi dari the Dietary Approaches to Stop
Hypertension (DASH), pasien yang mengkonsumsi diet rendah lemak jenuh dan tinggi
karbohidrat terbukti mengalami penurunan tekanan darah yang berarti walaupun tanpa
disertai penurunan berat badan.

Penurunan asupan sodium dapat menurunkan tekanan darah lebih lanjut atau mencegah
kenaikan tekanan darah yang menyertai proses menua. Studi dari the Coronary Artery Risk
Development in Young Adults mendapatkan bahwa konsumsi produk2 rendah lemak dan
garam disertai dengan penurunan risiko sindrom metabolik yang bermakna. Diet rendah
lemak tinggi karbohidrat dapat meningkatkan kadar trigliserida dan menurunkan kadar
HDL kolesterol, sehingga memperberat dislipidemia. Untuk menurunkan
hipertrigliseridemia atau meningkatkan kadar HDL kolesterol pada pasien dengan diet
rendah lemak, asupan karbohidrat hendaklah dikurangi dan diganti dengan makanan yang

16
mengandung lemak tak jenuh (monounsaturated fatty acid = MUFA) atau asupan
karbohidrat yang mempunyai indeks glikemik rendah. Diet ini merupakan pola diet
Mediterrania yang terbukti dapat menurunkan mortalitas penyakit kardiovaskular. Suatu
studi menunjukkan adanya korelasi antara penyakit kardiovaskular dan asupan biji-bijian
dan kentang. Para peneliti merekomendasikan diet yang mengandung biji-bijian, buah-
buahan dan sayuran untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Efek jangka
panjang dari diet rendah karbohidrat belum diteliti secara adekuat, namun dalam jangka
pendek, terbukti dapat menurunkan kadar trigliserida, meningkatkan kadar HDL-
cholesterol dan menurunkan berat badan.

Pilihan untuk menurunkan asupan karbohidrat adalah dengan mengganti makanan yang
mempunyai indeks glikemik tinggi dengan indeks glikemik rendah yang banyak
mengandung serat. Makanan dengan indeks glikemik rendah dapat menurunkan kadar
glukosa post prandial dan insulin. 6

Medika mentosa

 Obat untuk obesitas:


 Derivat amfetamin (dexfenfluramin, fenfluramin) dapat menekan nafsu makan.
Es: valvulopati jantung
 Orlistat: menghambat lipase lambung dan pankreas, serta mengurangi absorpsi
lemak.
 Sibutramin: mempercepat rasa kenyang dan mengurangi asupan makanan.
 Obat untuk menurunkan kadar glukosa :
 METFORMIN
Metformin diperkenalkan sejak tahun 1995, mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah tanpa meningkatan sekresi insulin dan
meningkatkan beratbadan. Mekanisme utamanya adalah dnegan menurunkan
glukoneogenesis pada tingkat mitokondriadi hepatosit yang berakibat terjadinya
penurunan produksi glukosa di hati, dengan demikian menurunkan kadar gula
darah puasa. Metformin juga berkhasiat meningkatkan up take glukosa perifer.
Efek tersebut diduga multiple efek yang meliputi peningkatan afinitas ikatan
insulin dengan reseptor insulin, baik pada sel otot dan sel eritrosit (Hardiman,
2005). Terdapat 7 kelebihan dari metformin pada sistem cardiovasculair :

17
1. Menurunkan resistensi insulin

2. Efek homeostasis dan fungsi pembuluh darah

3. Potensial terhadap terapi sindrom metabolik pada DM tipe II

4. Antiartherogenik

5. Menghambat proses glikasi

6. Proteksi pembuluh darah

7. Mencegah komplikasi cardiovasculair disease pada DM tipe II dengan faktor


resiko tinggi.

 Obat untuk hiperlipidemia :


 GEMFIBROZIL

Gemfibrozil termasuk dalam obat golongan fibrat. Obat-obat yang


tergolong kelompok ini dapat dianggap sebagai hipolipidemik berspektrum
luas. Selain menurunkan kadar trigliserida Serum, kelompok fibrat juga
cenderung menurunkan kadar kolesterol-LDL dan menaikkan kolesterol-
HDL. Fibrat bekerja sebagai ligan untuk reseptor transisi nukleus, reseptor alfa
peroksisom yang diaktivasi proliferator, dan menstimulasi aktivitas lipoprotein
lipase.

Indikasi:

 hiperlipidemia tipe IIa, IIb, III, IV dan V, serta pencegahan penyakit


jantung pada pria usia 40-55 tahun yang merespon dengan cukup
terhadap diet dan tindakan-tindakan lain yang sesuai.
 Dislipidemia yang berhubungan dengan diabetes mellitus (DM).
 Xanthoma yang berhubungan dengan dislipidemia.7

Komplikasi

 DM
 Stroke
 Penyakit jantung koroner

18
 Hipertensi
Prognosis

Jika ditangani dengan baik maka akan dapat hidup seperti orang normal. Jika tidak,
maka akan terjadi komplikasi yang lebih buruk.

Pencegahan

Ada 3 cara untuk mencegah sindrom metabolik yaitu :

a. Mengurangi kadar insulin yang meningkat


 mengurangi intake refined carbohydrat
 makan protein berkelas tinggi
 makan sayur dan buah – buahan segar
b. Membantu insulin bekerja lebih baik
 Selenium
 Chromium picolinat
 Lipoic acid
c. Perbaiki fungsi liver 5

Kesimpulan

Sindrom metabolik merupakan suatu kumpulan dari gejala – gejala penyakit ibarat
gunung es, masih terbenam dibawah permukaan laut, sehingga tidak nampak sebagai suatu
penyakit. Misalnya yang paling sering adalah dijumpainya peningkatan kadar lemak darah,
baik itu kolesterol atau disertai dengan peningkatan trigliserida, maka keadaan ini akan
langsung diberi pengobatan obat – obat hipolipidemik, tanpa melihat gejala – gejala lain seperti
resistensi insulin, peningkatan kadar insulin, obesitas. Sehingga pengobatan seperti ini hanya
menghilangkan sebagian gejala dari sindrom metabolik. Selain itu bila penderita obesitas yang
sulit menurunkan berat badannya hanya disarankan untuk menjalani bermacam – macam diet,
tanpa melihat ketidakseimbangan metabolisme tubuh yang terjadi pada sindrom metabolik,

19
sehingga dapat diperkirakan penurunan berat badan yang diharapkan tidak tercapai. Dengan
mengenali penderita obesitas yang juga menderita sindrom metabolik, kita dapat membuat
suatu rencana diet yang sesuai dan pemberian suplemen yang sesuai pula, sehingga gangguan
metabolisme insulin sebagai akar penyebab obesitas dan sindrom metabolik ini dapat
ditanggulangi dengan tepat.

Daftar Pustaka

1. Bickley, LS. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates. Jakarta:
EGC.2008. Hal 56-63
2. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: EGC; 2003. h.98-9.
3. Patel PR. Lecturn notes radiologi. Edisi ke 2. Jakarta : 2006
4. Suyodo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi
ke-5. Jakarta : Interna Publishing. 2009. Hal : 1865-1872.
5. Kurnia, Y. sindrom X dan Obesitas. Dalam Majalah Kedokteran Fakultas Kedokteran
UKRIDA Meditek. Agustus-Desember 2003; Hal 12-27.
6. Aru WS Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2007. Hal 1977-1979
7. Syarif, Aamir. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.2008. Hal 523-32

20

Anda mungkin juga menyukai