DLP?? Apa sih yang kalian pikirkan pertama tentang DLP itu? Apakah DLP merupakan
sesuatu yang urgent? Yukk kita bahas gaessss.
Penolakan Dokter Layanan Primer (DLP) oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di beberapa
provinsi belakangan ini, menarik untuk dibahas. Pokok permasalahannya karena keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK), 7 Desember 2015, menolak seluruh gugatan Persatuan Dokter
Umum Indonesia yang didukung oleh IDI. Penggugat kalah dan Undang-undang Nomor 20
tentang Pendidikan Kedokteran Tahun 2013 segera diberlakukan. Artinya, program pendidikan
DLP harus dijalankan. Tapi apa sih sebenanya dokter layanan primer itu?
DLP atau kepanjangan dari dokter layanan primer adalah dokter spesialis di bidang
generalis yang secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip ilmu kedokteran keluarga, ditunjang
dengan ilmu kedokteran komunitas, dan ilmu kesehatan masyarakat dan mampu memimpin
maupun menyelenggarakan pelayanan kesehatan primer. (Sosialisai Nasional Pokja PP-DLP,
2014). Berdasarkan UU nomor 20 tahun 2013 pada pasal 8 ayat 3 yang sekaligus menjadi dasar
hukum dari dokter layanan primer, disebutkan bahwa, “Program dokter layanan primer
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan
program internsip yang setara dengan program dokter spesialis”.
Dokter layanan primer ini memiliki kualifikasi yang setara dengan spesialis. Menempuh
pendidikan dengan kualitas yang sama dengan kualitas pendidikan dokter spesialis (50-72 SKS –
Dikti 2014), dengan KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) di level 8. Pada pasal 8
UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran menyatakan bahwa “program dokter
layanan primer merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang
setara dengan program dokter spesialis”.
DLP masih menjadi perdebatan antara pemerintah, masyarakat kedokteran dan
mahasiswa. Banyak kontra yang terjadi terkait dilaksanakannya program dokter layanan primer
ini.
Pertama mengenai konsep DLP sebagai spesialis atau bukan. Terminologi Primary Care
Physician akan benar sebagai spesialis apabila masuk dalam kelompok Dokter Keluarga (Family
Physician). DLP adalah setara spesialis hanya akan menambah “anomali” dalam pendidikan
dokter di Indonesia yang selama ini sudah banyak anomali dalam sistem pendidikan di negeri ini.
Kedua tentang wajib/tidaknya bagi dokter umum menjadi DLP. Dokter umum di
Indonesia berjumlah sekitar 111.841 orang. Akan dibawa kemanakah dokter umum yang tidak
mengikuti program dokter layanan primer ini. Apakah kedudukannya akan bertahan atau tidak.
Banyak dokter umum terutama dokter umum yang sudah lama menjadi dokter umum
mempertanyakan kedudukan mereka dikemudian hari.
Ketiga tentang lama pendidikannya. Program pendidikan Dokter Layanan Primer
direncanakan melalui 2 jalur. Jalur pertama adalah untuk dokter yang telah berpraktik 5 tahun
(terhitung sejak tahun 2015) lebih akan dihitung kreditnya sebagai recognized prior learning
(RPL) sehingga hanya perlu menjalani tambahan pendidikan selama 6 bulan yang dapat
dilaksanakan di tempat kerjanya (work place based). Jalur kedua adalah untuk yang belum
berpraktik 5 tahun, dapat mengikuti jalur reguler di institusi penyelenggara DLP selama 3 tahun
(DTO DLP, 2015). Menurut beberapa pakar pendidikan kedokteran, lama pendidikan dari DLP
ini sebenarnya masih belum bisa ditentukan, karena saat ini belum ada kurikulumnya. Standar
pendidikan dan standar kompetensi DLP juga belum disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
Prodi DLP akan dibuka di 17 FK terakreditasi terbaik di Indonesia.
Keempat tentang pembiayaan program DLP. Kementerian Kesehatan siap
menggelontorkan anggaran pendidikan DLP. Kementrian Kesehatan akan menanggung biaya
hingga 15 tahun ke depan. Akan tetapi, butuh banyak dana yang akan dikeluarkan jika semua
dokter umum dibiayai untuk mengikuti program DLP ini. Produksi dokter kurang lebih 6800
orang dokter baru pertahun dan jumlah dokter umum saat ini 111.841 orang. Jika asumsi rata-
rata biaya pendidikan DLP 70 juta rupiah, tentu negara akan sangat besar mengeluarkan biaya.
Biaya akan ditanggung negara sampai 15 tahun ke depan. Perlu perhitungan cost effective dan
cost benefit yang lebih adekuat.
Selain itu, banyak mahasiswa kedokteran yang merasa keberatan dengan kebijakan
dokter layanan primer karena dengan adanya program baru ini, masa studi para calon lulusan
dokter akan bertambah, bahkan untuk sekadar menjadi dokter yang melakukan praktik di tingkat
primer. Hal yang sering menjadi sorotan adalah, mengapa tambahan kompetensi tersebut tidak
dimasukkan ke dalam kurikulum di jenjang pendidikan dokter umum. Selain itu, dengan belum
tercapainya angka yang ideal dalam rasio dokter versus jumlah penduduk, termasuk dokter
layanan primer, hendaknya penggabungan kurikulum dokter layanan primer ke dalam
kompetensi dokter umum dapat dipertimbangkan.