ABSTRAK
1
TEMPORAL RAINFALL DISAGREGATION MODEL USING
BAYESIAN APPROACH AS FLOOD MODELLING
ABSTRACT
2
BAB 1
PENDAHULUAN
3
melalui prosedur disagregasi. Cara ini lebih praktis dan menarik, karena data
hujan harian tersedia secara luas, dan pencatatannya biasanya lebih lama.
Disagregasi hujan adalah suatu cara untuk membangkitkan data hujan
resolusi tinggi sintetik (jam-jaman) yang berasal dari data hujan resolusi rendah
(harian, atau mingguan) dari suatu model secara stokastik. Melalui mengestimasi
parameter model hujan disagregasi, selanjutnya parameter model tersebut dapat
digunakan untuk membangkitkan model hujan disagregasi itu sendiri. Berbagai
metode disagregasi hujan secara stokastik telah dilakukan seperti: PAR, Bartlet
Lewis dan Neyman Scot.
Pemodelan disagregasi hujan secara time series untuk resolusi yang lebih
kecil (harian ke skala di bawahnya) ini juga dilakukan oleh Koutsoyiannis
(1994) dengan menggunakan model matematika yang sederhana (PAR dengan
perlakuan adjusting) tetapi belum memberikan hasil yang akurat. Langkah lain
telah dilakukan pula oleh Koutsoyiannis dan Manetas (1996) dengan
menggunakan metode yang didasarkan pada tipe model periodic autoregressive
(PAR(1)) dengan melakukan adjusting pada proses pemodelannya. Pendekatan
ini dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan struktur pemodelannya
PAR(1) dan diklaim bahwa cara ini telah mampu menghasilkan susunan
parameter yang lebih efisien (parsimony). Model ini mampu mengatasi rentang
distribusi probabilitas data yang cukup luas dari bentuk simetri (lonceng) sampai
bentuk non-simetri (menceng), dan hasil bangkitan dengan adjusting pada
modelnya untuk variabel level rendah yang sesuai dengan level tinggi. Namun
demikian, kelemahan dari model PAR(1) ini adalah belum mampu menghasilkan
error model yang bagus dalam mengatasi overestimate dari varians dan nilai
ektrim dan underestimate tinggi hujan jam-jaman maksimum pada model
bangkitannya.
Perkembangan model disagregasi selanjutnya adalah dengan point process.
Koutsoyiannis dan Onof (2001, 2003) mengembangkan disagregasi hujan
menggunakan model Bartlett-Lewis Rectangular Pulse yang di gabungkan
dengan prosedur adjusting pada model kluster Poisson akumulasi tinggi hujan
jam-jaman dengan distribusi Beta dan proses kejadian hujan dengan distribusi
geometric yang bersyarat pada total hujan harian. Model ini diujikan untuk data
jam-jaman di daerah sub-tropis South-Western antara lain: United Kingdom,
United State dan oleh Fytilas (2002) di Sungai Tiber, Italia. Hasilnya
mengindikasikan bahwa metodologi ini memiliki kinerja yang bagus. Model
yang dikembangkan oleh Koutsoyiannis dan Onof (2001, 2003) ini untuk
memudahkan dalam operasionalnya dibentuk dalam paket program Heytos.
Wong (2000), melanjutkan metode dari Koutsoyiannis dalam mendisagregasi
hujan dengan mencoba untuk variasi jumlah parameter model yang dioptimasi
dengan evolutionary algorithm. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dengan
menggunakan enam parameter memberikan hasil yang lebih akurat
dibandingkan empat parameter.
Yeboah, (1999) telah membangun model disagregasi wilayah yang
merupakan model gabungan antara urutan binary dengan perubahan
autokorelasi. Proses pembangkitan urutan binary menggunakan model Bartlett-
4
Lewis Rectangular Pulse tanpa-ramdom dan proses untuk mendapatkan
intensitasnya dimodelkan dengan proses Gaussian stasioner. Selanjutnya
Yeboah, (2005) telah mengembangkan model stokastik disagregasi ini melalui
pendekatan yang dilakukan oleh Koutsoyiannis dan Onof (2001, 2003) untuk
teknik pengulangan dengan kluster Poison dan prosedur adjusting.
Penggabungan antara kedua pendekatan tersebut dapat mengurangi overestimate
pada varians dan nilai ektrim dan underestimate pada autokorelasinya.
Pengembangan akhir-akhir ini menggunakan Bayesian untuk disagregasi
temporal dilakukan oleh Nikolas (2008), yang mendisagregasi time series hujan
menggunakan pendekatan lognormal multivariate yang diestimasi menggunakan
Markov-Chain Monte-Carlo (MCMC). Hasil pemodelannya menunjukan
algoritma yang kurang sesuai untuk data observasi dan tidak cocok bagi analisis
statistik data hujan jam-jaman.
Disagregasi hujan telah sukses diaplikasikan di berbagai Negara, namun
demikian model ini belum pernah diimplementasikan di Indonesia.
Mempertimbangkan problem mengenai keterbatasan data resolusi tinggi, maka
Hidayah, et. al. (2010a) telah mencoba melakukan penelitian pendahuluan
dengan mengimplementasikan Heytos pada DAS Sampean di Kabupaten
Bondowoso. Estimasi parameter model menggunakan moments. Hasil dari
implementasinya menunjukkan bahwa underestimate untuk tinggi hujan
bangkitannya dan nilai kesalahan yang dihasilkan masih cukup tinggi
ditunjukkan dengan nilai MAE sebesar 0,516. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
Heytos tidak cocok untuk daerah tropis dengan kondisi curah hujan yang cukup
tinggi. Selanjutnya untuk memperkecil nilai MAE Hidayah et.al., (2010b)
memodelkan disagregasi hujan dengan model PAR(1)24 dengan prosedur
adjusting dan dummy menggunakan estimasi Bayesian Temporal. Pemodelan
ini memberikan hasil yang bagus dengan kesalahan berdasarkan MAE sebesar
0,218, namun demikian model ini belum mampu mendisagregasi data hujan
harian observasi secara otomatis.
Berdasarkan permasalahan yang diringkas dalam gap analisis penelitian
pada Gambar 1.1. dan penelitian terdahulu di atas, maka penelitian ini
bermaksud mengembangan model disagregasi hujan temporal dengan prosedur
adjusting dan filtering yang diestimasi dengan Bayesian MCMC khususnya
Gibbs Sampler.
Terdapat tiga alasan mendasar untuk membayesiankan model hujan
temporal dalam penelitian ini antara lain (Box dan Tiao, 1973): (1) Bayesian
mampu mengatasi keterbatasan panjang histori data, (2) Bayesian mampu
menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan secara analitis, karena
dalam penyelesaian Bayesian membutuhkan matematik dari yang sederhana
sampai yang rumit, (3) Bayesian menawarkan kemungkinan yang kaya dengan
inferensia, serta mengekplor perbedaan-perbedaan interpretasi data terhadap
kriteria kinerja prior yang sesuai karakteristik wilayah.
5
Kondisi saat ini Kondisi yang
1. Pemodelan hujan-debit masih menggunakan diinginkan
pendekatan metode hidrograf satuan sintetik. Tersedianya data
2. Penyediaan input data hujan (melalui tranformasi hujan resolusi
hujan harian menjadi jam-jaman) untuk pemodelan tinggi time series
hujan-debit di Indonesian masih menggunakan rumus kontinyu untuk
empiris yang umumnya bukan berasal dari Indonesia, pemodelan banjir
sehingga kurang memperhitungkan karakteristik hujan dengan
untuk wilayah tropis. menggunakan
3. Keterbatasan data hujan resolusi tinggi (jam-jaman) model hidrologi
pada suatu DAS. terdistribusi
4. Data hujan harian tersedia tersebar pada wilayah DAS. spasial.
6
a) Memberikan efisiensi waktu dan biaya
Data hujan resolusi tinggi untuk mengetimasi banjir dapat diperoleh
melalui pengukuran hujan secara otomatis. Namun demikian untuk memasang
alat ukur hujan beresolusi tinggi secara tersebar di seluruh wilayah DAS
membutuhkan dana yang cukup besar, selain itu butuh waktu pengamatan yang
cukup lama untuk dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, pendekatan metode
disagregasi ini merupakan cara singkat yang tepat untuk penyediaan input data
dalam memodelkan banjir.
b) Memberikan input yang sesuai untuk studi simulasi model hidrologi:
Pada saat ini telah banyak dikembangkan software yang berkaitan dengan
sistem hidrologi seperti HEC-HMS, Storm Water Management Model,
IHACRES, dll dalam rangka mengeliminir ketidakpastian model hidrologi,
seperti hujan aliran. Adapun input data hujan yang dibutuhkan untuk
mensimulasi model berupa data hujan series bukan pengamatan tunggal.
Mengingat output disagregasi hujan berbentuk series, maka keberadaan data
series sangat dibutuhkan untuk simulasi model hidrologi yang sedang
berkembang.
c) Sesuai dengan kebutuhan studi banjir
Hasil dari model hujan aliran berupa hidrograp banjir. Bentuk dari
hidrograp banjir merupakan karakteristik dari durasi dan tinggi hujan dengan
resolusi tinggi (jam-jaman, menitan). Oleh karena hasil dari disagregasi hujan
menggambarkan tinggi dan durasi hujan sehingga sangat sesuai untuk studi
banjir.
1.5. Batasan Masalah
Beberapa hal yang membatasi penelitian ini antara lain:
1. Penelitian ini akan membahas model disagregasi hujan secara temporal saja
tidak termasuk spasial.
2. Pemilihan lokasi penelitian difokuskan pada satu stasiun hujan saja yaitu
stasiun hujan Sentral di DAS Sampean.
3. Berkaitan dengan tujuan penelitian ini adalah untuk menyediakan input data
pemodelan banjir, maka pemodelan disagregasi hujan pada penelitian ini
menggunakan data hujan pada bulan basah yang dipilih pada bulan
Desember dari tahun 2005-2008.
4. Pemodelan hujan time series yang dibangun pada penelitian ini menitik
beratkan pada kemampuan menirukan data hujan pengamatan dengan
kriteria statistik kebaikan verifikasi dan kalibrasi model dan kemampuan
meramalkan data hujan selama periode satu tahun ke depan dengan
kemampuan validasi model.
5. Input data hujan yang digunakan dalam penelitian ini tidak dipisahkan antara
periode kering dan periode basah dan simulasi dengan menggunakan data
series bulanan.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI
8
berupa jam-jaman. Periode dan sub-periode krjadian hujan ini merupakan suatu
deret waktu yang dipengaruhi oleh satu kejadian sebelumnya.
Periode
1 2 i i+1
Sub- Periode
1
(i-1)k+1
Gambar 2.2. Bagan alir kajian literatur berkaitan dengan ruang lingkup
penelitian
9
2.2. Model Time Series Hujan
Model deret berkala (time series) ini dibangun dari model matematika
untuk membangkitkan data sintetik. Berbagai cara mengidentifikasi dan tipe
model deret waktu dibahas secara detail dalam sub bab berikut:
2.2.1. Fungsi Autokorelasi Dan Fungsi Autokorelasi Parsial
Koefisien autokorelasi dan parsial autokorelasi adalah suatu alat pokok
untuk mengidentifikasi pola data deret waktu. Koefisien autokorelasi ini adalah
suatu fungsi yang menunjukkan besarnya korelasi antara pengamatan waktu ke t
yang dinotasikan dengan Zt dengan waktu-waktu sebelumnya (dinotasikan
dengan Zt-1, Zt-2, …Zt-k). Nilai fungsi autokorelasi suatu deret waktu Z1, Z2,…Zk,
𝜌𝑘 = 𝑟𝑘 = 𝐶𝑜𝑟𝑟(𝑍𝑡 , 𝑍𝑡−𝑘 ), adalah seperti pada persamaan (2-1) sampai dengan
(2-3) (Iriawan, Suhartono, Atok, 2008):
𝐶𝑜𝑣 𝑍𝑡 ,𝑍𝑡 −𝑘 𝛾𝑘
𝜌𝑘 = = (2-1)
𝑉𝑎𝑟 𝑍𝑡 𝑣𝑎𝑟 𝑍(𝑡−𝑘 ) 𝛾0
𝑛−𝑘
𝑡−1 𝑍1 − 𝑍 𝑍𝑡−𝑘 − 𝑍
= 𝑛 2
𝑡−1 𝑍1 − 𝑍
10
𝛷𝑝 (𝐵)𝑌𝑡 = 𝜀𝑡 (2-6)
dengan (𝛷𝑝 𝐵) = (1 − 𝛷1 𝐵 − 𝛷2 𝐵2 − ⋯ − 𝛷𝑝 𝐵𝑝 ), (2-7)
𝑌𝑡 = 𝑌𝑡 − µ, µ adalah rata-rata dari Yt, 𝜀𝑡 adalah suatu proses white noise pada
waktu ke t yaitu yang diasumsikan mempunyai rata-rata nol dan ragam konstan
σ2 𝑎 dan 𝛷1 , 𝛷2 , … , 𝛷𝑝 , adalah koefisien autoregresive ke orde ke p. Model
AR(1) terjadi bila p=1 sehingga persamaannya menjadi:
𝑌𝑡 = µ + 𝛷1 𝑌𝑡−1 − µ + 𝜀𝑡 (2-8)
2.2.3. Model Periodik Autoregresi (PAR-1)
Model ini mengasumsikan bahwa proses kejadian hujan berulang secara
teratur setelah setiap τ periode, diwakili oleh 𝑌𝜈,𝜏 dimana ν mendifinisikan tahun
dan τ mendifinisikan musiman, misalnya τ = 1,..,ω, dan ω adalah jumlah musim
pada tahunnya. Perluasan model PAR ini dapat diformulasikan dalam bentuk
persamaan (2-9) (Maidment, 1992):
𝑌𝜈 ,𝜏 = µτ + 𝛷1,𝜏 𝑌𝜈,𝜏−1 − µ𝜏−1 + 𝜀𝜈 ,𝜏 (2-9)
Orde rendah model PAR seperti persamaan (2-9) telah digunakan dalam
pemodelan hidrologi.
2.3.4. Penaksiran Parameter Model Periodik PAR(1)
Langkah yang harus dilakukan dalam penaksiran parameter model
PAR(1)24 adalah menentukan fungsi kepadatan peluang dan fungsi likelihoodnya
(Iriawan, Suhartono, Atok, 2008).
A. Fungsi Kepadatan Peluang
Fungsi kepadatan peluang untuk data hujan jam-jaman (yt) adalah:
1 𝑌 𝑡 −(∅0 +∅1 𝑌 𝑡−1 +Φ2 𝑌 𝑡−24 2
1 −
𝑓 𝑌𝑡 , ∅0 , ∅1, ∅2 , 𝜍 = 𝑒 2 𝜍 (2-10)
𝜍 2𝜋
∅0 dan ∅1 = sebagai koefisien autoregresif
Φ2 = sebagai koefisien autoregresif musiman
𝜍 = sebagai variasi time series
B. Fungsi Likelihood
Dalam menentukan fungsi likelihood faktor yang berpengaruh adalah
sampel data dan fungsi kepadatan peluangnya dari populasi. Jika populasi
tersebut berupa Y1i, Y2i, …, YTi. dan fungsi kepadatan peluangnya
𝑓 𝑌𝑖𝑡 , ∅0 , ∅1, ∅2 , 𝜍 maka fungsi likelihood pada orde p=1 dan P=1 (p=orde AR
non musiman, P=orde AR non musiman) adalah:
𝐿(𝑌1 , 𝑌2 , … , 𝑌𝑇 ) = 𝑓 𝑌𝑡 , ∅0 , ∅1, ∅2 , 𝜍 , … , 𝑓 𝑌𝑇 , ∅0 , ∅1, ∅2 , 𝜍 (2-11)
Misalkan 𝜀𝑡 = 𝑌𝑡 − (∅0 +∅1 𝑌𝑡−1 + Φ2 𝑌𝑡−24 ) maka fungsi log likelihoodnya
dapat ditulis sebagai berikut:
11
𝑛 1 𝜀 2
𝑇
(2𝜋𝜍 2 ) −
log 𝐿 𝜃 𝑌1 , 𝑌2 , … , 𝑌𝑇 = − log 𝑡
(2-12)
2 2 𝑡=1 𝜍
Dari (2-12) diturunkan secara parsial terhadap 𝛳0, 𝛳1, dan 𝛳2 masing-masing
disama dengankan nol serta diselesaikan secara simultan akan diperoleh estimasi
𝛳0, 𝛳1, dan 𝛳2.
2.3. Prosedur Adjusting
Adjusting merupakan metode untuk memodifikasi hasil bangkitan data
level rendah agar data tersebut konsisten terhadap data level di atasnya dan
secara simultan tidak mempengaruhi struktur stokastik dari model tersebut.
Koutsoyiannis (1994); Koutsoyiannis dan Manetas (1996) telah menggunakan
prosedur ini pada disagregasi univariate dan multivariate untuk model hujan.
Asumsi yang digunakan untuk masing-masing variabel dapat dinyatakan sebagai
berikut: variabel level tinggi dari series data hujan harian hasil observasi
dinyatakan dengan Zp, (p=1,2, …) dan untuk variabel level rendah berupa data
series hujan jam-jaman secara sintetis dinyatakan dengan 𝑌s, (s=1,2, …) dari
hasil bangkitan model hujan. Modifikasi data hujan hasil adjusting dinyatakan
dengan Ys,(s=1,2, …).
Pendekatan prosedur adjusting yang digunakan untuk mendapatkan
konsistensi data antara skala level rendah dan skala level di atasnya adalah
dengan:
(1) meminimalkan nilai kesalahan hasil penjumlahan variabel level rendah
terhadap variabel level tinggi.
(2) menjaga kondisi distribusi secara statistik pada level rendah yang dihasilkan.
(3) menggunakan pengulangan resampling untuk memperbaiki nilai statistik,
jika hasil dari proses adjusting yang telah dilakukan belum mendapatkan
nilai statistik yang bagus.
Salah satu cara dalam adjusting adalah prosedur proporsional. Prosedur ini
aplikasinya paling sederhana diantara metode lainnya. Penggunaan metode ini
memiliki keuntungan antara lain:
a. dapat secara pasti menjaga distribusi data yang lengkap untuk variabel Ys
yang terikat dengan distribusi gamma 2-parameter dan parameter skala
pada umumnya.
b. memberikan pendekatan yang bagus untuk variabel terikat dengan distribusi
gamma.
c. tidak menghasilkan nilai Ys negatif.
Prosedur ini digunakan untuk modifikasi bangkitan nilai awal (𝑌𝑠 ) untuk
mendapatkan nilai Xs yang di adjusting. Koutsoyiannis dan Manetas (1996)
menggunakan persamaan:
𝑌𝑠
𝑌𝑠 = 𝑘 𝑍 𝑠 = 1, … , 𝑘 (2-13)
𝑗 =1 𝑌𝑗
dengan Z adalah variabel level tinggi dan k adalah jumlah variabel level rendah
dengan satu periode level yang lebih tinggi.
12
2.4. Prosedur Filtering
Proses filtering digunakan untuk model hujan point process oleh Yue dan
Hashino (2001) dengan mempertimbangkan filtering sebagai bentuk binomial.
Selanjutnya Yeboah (2005) menggunakan proses binary ( berdasarkan urutan
kelompok saat terjadi hujan dan saat tidak ada hujan) untuk membangun model
stokastik disagregasi, dimana proses binary ini di bangun dari model Bartlet
Lewis.
Mempertimbangkan kedua penelitian di atas, untuk memperbaiki respon
model supaya menghasilkan nilai hujan nol bila tidak terjadi hujan dan positif
bila teradi hujan maka proses binary akan diaplikasikan pada penelitian ini.
Model binomial sederhana digunakan untuk mengestimasi proporsi
populasi yang tidak diketahui dari deret data y1,…, yn, dimana masing-masing
data ini dapat berupa 0 atau 1. Melalui proses binomial pada akhirnya dapat
digambarkan distribusi binomialnya. Distribusi binomial menyajikan sebuah
model alami untuk seri data sebanyak n percobaan atau dari suatu populasi
dalam jumlah banyak yang masing–masing percobaan menghasilkan dua
kemungkinan hasil yang secara konvensional ditandai dengan gagal atau sukses.
Contoh gambaran kasus yang mudah untuk difahami adalah kasus
terjadinya hujan. Data series hujan selalu menggambarkan kondisi data
binomial. Respon data hujan ini dalam bentuk binary yang mengindikasikan
kondisi terjadi hujan Y = 1 dan tidak terjadi hujan Y= 0 yang dapat didefinisikan:
1 jika tidak terjadi hujan
𝑦𝑖 =
0 kejadian sebaliknya
yi merupakan realisasi dari variabel acak dari Yi yang nilainya dapat diwakili
oleh 1 atau 0 dengan probabilitas 𝛳 dan 1-𝛳. Bentuk formula dari probabilitas
distribusi fungsinya dapat ditulis sebagai berikut (Carlin et. al., 2003):
𝑝 = 𝑦 𝛳 𝑚 = 𝐵𝑖𝑛 𝑦 𝑛, 𝛳
= 𝑛𝑦 𝛳 𝑦 1 − 𝛳 𝑛−𝑦 , (2-14)
dengan:
y = total kejadian hujan dari sebanyak n pengamatan.
𝛳 = parameter yang mewakili proporsi kejadian hujan.
Dua fungsi indikator binary ini tersedia dalam paket program WinBUGS.
Persamaan yang digunakan dalam perintah pemrogramannya untuk
membandingkan dua nilai yang menghasilkan satu jika mempunyai dua nilai
yang sama dan lainnya adalah nol (Ioannis, 2009):
0 𝑖𝑓 𝑥 ≠ 𝑧
𝑌 < −𝑒𝑞𝑢𝑎𝑙𝑠(𝑥, 𝑧) ⇒ 𝑦 ⇒
1 𝑖𝑓 𝑥 = 𝑧
Perintah lain untuk mengontrol apakah node itu positif atau negatif,
menghasilkan nilai satu atau nol jika pernyataan ini benar atau salah dapat ditulis
sebagai berikut (Ioannis, 2009).
0 𝑖𝑓 𝑥 < 0
𝑌 < −𝑠𝑡𝑒𝑝𝑠(𝑥) ⇒ 𝑦 ⇒
1 𝑖𝑓 𝑥 ≥ 0
13
2.5. Distribusi Data Kontinyu
Langkah awal yang harus dilakukan sebelum melakukan pemodelan adalah
mengetahui distribusi statistik dari pengelompokkan suatu data. Distribusi
statistik suatu data dapat diketahui dari feature keberadaan outliers pada masing-
masing atribut di dalam suatu kelompok data. Beberapa distribusi kontinyu
yang akan digunakan dalam pemodelan hujan pada penelitian ini adalah:
2.5.1. Distribusi Normal
Distribusi normal dicirikan dengan bentuk kurva fungsi densitas
probabilitasnya berupa lonceng. Fungsi densitas probabilitas dengan parameter
µ dan σ dinyatakan dengan (Evans, Hastings, dan Peacock, 1993):
𝑦 −𝜇 2
1
𝑓 𝑦 = 𝑒 2𝜍 2 (2-15)
2𝜋𝜍
dengan : rata-rata -∞<µ<∞, standar deviasi σ>0, -∞ ≤ y ≤ ∞, dan nilai 𝜋 = 3,14
2.5.2. Distribusi Ekponensial
Distribusi ekponensial merupakan distribusi kontinyu yang dicirikan
dengan memori yang terbatas. Fungsi probabilitas distribusinya adalah (Evans,
Hastings, dan Peacock, 1993):
𝑓 𝑦 = 𝜆𝑒 −𝑦𝜆 (2-16)
dengan : y > 0, rata-rata 1/λ, dan varian 1/𝜆 2
2.6. Model Bayesian
Dalam teori estimasi, dikenal dua pendekatan yaitu pendekatan statistika
klasik dan pendekatan statistika Bayesian. Statistika klasik sepenuhnya
mengandalkan proses inferensia pada data sampel yang diambil dari populasi.
Sedangkan statistika Bayesian, disamping memanfaatkan data sampel yang
diperoleh dari populasi juga memperhitungkan suatu distribusi awal yang
disebut prior. Inferensi statistik dengan pendekatan statistika Bayesian berbeda
dengan pendekatan statistika klasik. Pendekatan statistika klasik memandang
parameter sebagai parameter yang bernilai tetap. Sedangkan pendekatan
statistika Bayesian memandang parameter sebagai variabel random yang
memiliki distribusi, disebut distribusi prior. Dari distribusi prior selanjutnya
dapat ditentukan distribusi posterior sehingga diperoleh estimator Bayesian yang
merupakan mean atau modus dari distribusi posterior.
Informasi yang diketahui tentang parameter sebelum pengamatan
dilakukan disebut sebagai prior atau p( ). Selanjutnya untuk menentukan
distribusi posterior , yaitu p( x ) didasarkan pada aturan probabilitas dalam
teorema Bayes sebagai berikut:
f ( x ) p ( ) (2-17)
p ( x)
f ( x)
14
𝑓 𝑥 𝜃 𝑓 𝜃 𝑑𝜃 jika 𝜃 kontinyu
dengan: 𝑓 𝑥 = 𝐸(𝑓 𝑥 𝜃 =
𝑓 𝑥𝜃 𝑝 𝜃 jika 𝜃 diskrit
f (x) akan bernilai konstanta yang disebut sebagai normalized constant (Carlin et.
al., 2003). Selanjutnya persamaan (2-16) dapat ditulis menjadi:
dengan nilai x1, x2,...,xn dapat diperoleh secara bebas pada kepadatan p(x) dalam
interval (a,b). Dalam bentuk yang paling sederhana dapat menggunakan
distribusi uniform (a,b).
Pada analisis Bayesian, penggunaan MCMC dapat mempermudah
analisisnya, sehingga keputusan yang diambil dari hasil analisis akan dapat
dilakukan dengan cepat dan tepat. Ada dua kemudahan yang diperoleh dari
penggunaan metode MCMC pada analisis Bayesian (Iriawan, 2001). Pertama,
metode MCMC dapat menyederhanakan bentuk integral yang komplek dengan
dimensi besar menjadi bentuk integral yang sederhana dengan satu dimensi.
Kedua, dengan menggunakan metode MCMC, estimasi densitas data dapat
diketahui dengan cara membangkitkan suatu rantai Markov yang berurutan
sebanyak N yang cukup besar.
2.8. Gibbs Sampling
Salah satu pendekatan MCMC adalah dengan metode Gibbs Sampling.
Gibbs Sampling merupakan teknik untuk membangkitkan variabel acak dari
distribusi marginal secara tidak langsung tanpa harus menghitung densitasnya.
Dengan menggunakan Gibbs Sampling, penghitungan yang sulit dapat dihindari
(Casella dan George, 1992).
15
Gibbs Sampling tidak menghitung atau menaksir f(x) sebagai suatu densitas
marginal dari suatu densitas gabungan beberapa parameter/variabel secara
langsung, tetapi dilakukan dengan membangkitkan sampel x1, x2, …, xm~ f(x) dari
suatu distribusi full conditional (Iriawan, Suhartono, Atok, 2008). Dengan
melakukan simulasi terhadap sejumlah besar sampel m, ∞ dengan teorima strong
law of lack number, maka rata-rata, varians atau karakteristik dari f(x) yang
lainnya dapat dihitung dari tingkat akurasi yang dikehendaki.
2.9. Uji Signifikansi Parameter
Cara lain untuk menarik kesimpulan hasil penaksiran parameter dapat
dilakukan dengan uji signifikansi parameter. Secara umum, misalkan 𝛳 adalah
parameter pada suatu model dan 𝛳 adalah nilai hasil taksiran dari parameter
tersebut, serta se 𝛳 adalah standart kesalahan dari nilai taksiran, maka uji
signifikansi parameter dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut (Iriawan,
Suhartono, Atok, 2008).
1. Penentuan hipotesis.
Hipotesis yang digunakan adalah Ho : 𝛳 =0 dan H1 : 𝛳 ≠0
2. Penentuan statistik uji.
Statistik uji yang layak digunakan adalah statistik uji t sebagai berikut.
𝛳
𝑡=
𝑠𝑒 𝛳
3. Penentuan penolakan daerah hipotesis.
Hipotesa NULL akan ditolak jika 𝑡 > 𝑡𝛼 ;𝑑𝑓 = 𝑛−𝑛 𝑝
2
2.10.Evaluasi Model.
Model dikatakan baik apabila model tersebut akurasinya bagus dan
memenuhi kriteria dari pemodelan. Penentuan akurasi model terbaik dapat
diukur berdasarkan besarnya nilai error yang dihasilkan antara hasil simulasi
model terhadap data observasi. Nilai hasil simulasi model atau peramalan dapat
dinyatakan dengan 𝑍𝑠𝑖𝑚 (𝑖) untuk periode waktu peramalan ke i, i =1,2,3,…, n,
dan nilai observasi dapat dinyatakan dengan 𝑍𝑜𝑏𝑠 𝑖 dengan periode yang sama.
Nilai rata-rata dari peramalan dan observasi pada periode yang sama dalam
Maidment (1992) dapat didefinisikan:
1 𝑛
Mean square error : MSE = 𝑖=1 [𝑍𝑠𝑖𝑚 (𝑖) −𝑍𝑜𝑏𝑠 𝑖 ]2 (2-20)
𝑛
16
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
17
menggunakan input data hujan hasil disagregasi. Pemodelan data hujan
menggunakan data hujan dari stasiun hujan Sentral, dimana pada Stasiun
tersebut memiliki alat ukur hujan harian dan jam-jaman. Data hujan jam-jaman
dan harian periode tahun 2005-2008 digunakan untuk membangun model. Data
hujan jam-jaman dan harian tahun 2009 digunakan untuk validasi model.
Selanjutnya pengujian dan aplikasi model disagregasi hujannya pada
pemodelan hujan aliran dilakukan di salah satu sub DAS Sampean yaitu di sub
DAS Tenggarang. Sub DAS Tenggarang ini memiliki luas wilayah (348 km2)
seperti Gambar. 3.1, dengan outlet di AWLR Tenggarang.
Analisis data dengan berbagai metode statistik yang ada bertujuan untuk
melihat karakteristik data. Tahapan dari analisis data ini meliputi: diskriptif dan
klasifikasi data, pola kecenderungan, dan analisis kolerasi antara satu data
dengan yang lain.
18
a) Membangun struktur model hujan time series dan pengembangannya seperti
Gambar 3.2 yang menggunakan metode Bayesian dengan
mengimplementasikan MCMC. Proses membangun struktur model time
series diperlukan full conditional distribusi dari setiap porterior parameter
dan secara iteratif dengan algoritma gibbs sampler, MCMC akan menaksir
parameter. Langkah yang dilakukan dalam pembentukan struktur model
adalah menentukan fungsi likelihood data dan menentukan distribusi
conjugate priornya.
b) Menyusun implementasi model dalam bentuk Doodle WinBUGS 1.4.
STRUKTUR MODEL
19
3.2.2. Menguji Keandalan Model
Keandalan model hujan Bayesian temporal ini akan diuji melalui kalibrasi
dan validasi model dengan menggunakan data hujan out sampler. Kalibrasi
model yang dimaksudkan disini adalah melakukan penyesuaian parameter
model. Sedangkan validasi (penaksiran) model ini bertujuan untuk menguji
ketepatan model yang telah dibuat sehingga siap diimplementasikan untuk data
pada waktu yang berbeda. Pendekatan yang dilakukan dalam proses validasi ini
adalah dilakukan dengan menguji kesesuaian antara perilaku model dengan
perilaku data observasi.
Proses penaksiran model ini dilanjutkan dengan menggunakan program
MATLAB degan tujuan untuk memudahkan proses pembangkitan model. Proses
pentransferan perintah dari WinBUGS ke MATLAB dengan menggunakan
toolbox Matbugs. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan
Penaksiran model ini adalah:
1) Melakukan proses penaksiran parameter dengan menjalankan model pada
WinBUGS,
2) Pentransferan program dari WinBUGS ke MATLAB melalui toolbox
Matbags. Pentransferan program ini dilakukan terhadap model sampai
dengan perilaku-perilaku lainnnya.
3) memasukkan parameter dan data hujan dapat dilakukan dengan 2 cara:
a. Secara manual dengan memasukkan nilai parameter yang dihasilkan dari
langkah 1 dan data hujan jam-jaman (y) dan harian (z) atau,
b. Secara otomatis melalui pentransferan seperti proses yang dilakukan pada
langkah 2.
4) Menjalankan model pada program Matlab.
5) Evaluasi output model dilakukan berdasarkan hasil nilai kesalahan yang
dihasilkan dan selanjutnya dilakukan interpretasi terhadap model.
3.3. Aplikasi Model Hujan-Aliran
Aplikasi model disagregasi hujan Bayesian temporal ini akan dicobakan
terhadap satu model hujan aliran HEC-HMS pada sub DAS Tenggarang di DAS
Sampean. Sebelum model hujan-aliran siap untuk aplikasi terlebih dahulu
dilakukan kalibrasi antara debit observasi terhadap debit hasil bangkitan dari
data hujan observasi. Kinerja aplikasi model diukur berdasarkan besarnya
tingkat kesalahan yang dihasilkan dengan membandingkan antara hasil simulasi
model hujan aliran dengan input disagregasi terhadap hasil input data hujan
observasi. Tahapan pemodelan hujan aliran ini adalah sebagai berikut.
3.3.1. Pemilihan Sistem Komponen Pemodelan
Proses ini dilakukan dengan memilih komputasi pemodelan yang
digunakan meliputi: precipitation, volume runoff, direct runoff (overland flow
dan interflow) dan baseflow-nya.
3.3.2. Set-up Parameter Model
Model di set-up dengan menentukan nilai parameter berdasarkan
informasi yang tersedia berdasarkan hasil pengukuran lapangan (survei).
20
3.3.3. Running Model
Berdasarkan pengaturan parameter model dan input data hujan resolusi
tinggi (observasi dan hasil disagregasi) serta luasan DASnya maka pemodelan
dapat dikerjakan. Input data hujan diambil untuk mewakili kejadian pada saat
terjadi tinggi hujan yang relatif tinggi dalam satu bulan.
3.3.4. Kalibrasi/ Optimalisasi Desain Model Hujan Aliran
Kalibrasi disini dimaksudkan untuk membandingkan besar debit banjir
hasil simulasi dari running model terhadap debit banjir observasi (dari hasil
pencatatan alat pengukur debit di lapangan) pada waktu yang sama. Hasil
kalibrasi berisi ukuran-ukuran dari parameter tunggal yang diambil dari satu
lokasi. Dalam penelitian ini, proses kalibrasi dilakukan sampai didapatkan
selisih kesalahan antara debit observasi terhadap debit hasil simulasi model
mencapai nilai selisih terkecil.
3.3.5. Aplikasi Model Hujan Hasil Disagregasi
Setelah hasil kalibrasi model hujan-aliran dari hasil bangkitan hujan
observasi jam-jaman ini mencapai optimal, maka pemodelan hujan aliran
tersebut siap untuk diberi input model hujan hasil disagregasi.
Mulai PROSES
PEMODELAN
HUJAN
Persiapan input data
Running Model
Apakah T
parameter
signifikan?
Y PROSES
VALIDASI
Apakah kesalahan T MODEL
model minimal? HUJAN
Y
Output Data
hujan
Disagregasi
21
PROSES
Mulai PEMODELAN
HUJAN ALIRAN
Setup parameter
Running model
T
Apakah kesalahan
model sudah
minimal?
Y
Plot Heydrograph
T
22
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.1. Variasi dari rata-rata, varians, struktur korelasi temporal dan proporsi
interval kering data hujan jam-jaman di stasiun Sentral.
Struktur Proporsi
Rata- korelasi interval
Bulan rata Varians Kemencengan temporal kering
Sat mm mm2 mm2
Jan 0,33 4,50 10,97 1,5106 0,93
Feb 0,43 5,35 9,84 1,8564 0,89
Mar 0,42 5,70 10,29 2,0579 0,90
Apr 0,21 2,03 8,47 0,6949 0,95
Mei 0,02 0,16 29,43 0,0178 0,99
Jun 0,05 0,62 21,15 0,2678 0,99
Jul 0,01 0,06 30,71 0,0234 1,00
Agt 0,01 0,05 29,53 0,0268 1,00
Sep 0,01 0,06 26,46 0,0162 1,00
Okt 0,18 2,75 13,61 1,4486 0,97
Nop 0,08 0,80 14,54 0,1519 0,97
Des 0,35 4,08 10,03 1,5515 0,91
Rata-rata 0,18 2,18 0,8016 0,96
23
Tabel 4.1 menunjukkan nilai rata-rata dari data hujan jam-jaman lebih kecil
dari pada nilai variansnya. Hal ini berarti bahwa distribusi hujan bersifat
menceng (skew). Hasil perbandingan nilai yang bagus didapat pada bulan
Desember, dimana memiliki rata-rata hujan dan struktur korelasi temporal yang
tinggi dengan varians tidak begitu tinggi kalau dibandingkan dengan bulan
Januari, Februari, Maret yang sama-sama memiliki rata-rata tinggi hujan cukup
tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada bulan Desember memiliki ciri-
ciri kondisi hujan yang relatif seragam. Dari pertimbangan angka-angka
tersebut, maka data hujan bulan Desember akan dipilih untuk mensimulasi
model hujan. Juga dari penelitian yang dilakukan oleh Hidayah et.al. (2010a).
memperkuat pemilihan bulan Desember sebagai input data simulasi bahwa hasil
optimasi parameter model Bartlet Lewis Rectangular Pulse pada bulan ini
memiliki nilai kesalahan yang paling kecil jika dibanding bulan-bulan yang lain.
Korelasi total data hujan jam-jaman dalam sehari terhadap data hujan
harian hasil pencatatan lapangan (observasi) ini menunjukkan tingkat keakuratan
pencatatan data. Uji korelasi ini dilakukan terhadap data hujan berdasarkan
pencatatan tahun 2005-2008 pada stasiun Sentral. Hasil pengeplotan data
menunjukkan bahwa perbandingan antara tinggi hujan harian terhadap jam-
jaman memiliki koefisien korelasi yang signifikan dengan nilai R 2 = 0,9968 dan
persamaan liniernya y = 1.013x - 0.0385 seperti Gambar 4.3, sehingga stasiun
Sentral ini dapat digunakan sebagai referesi model bangkitan hujan.
140
100
80
60
40
20
24
4.1.3. Distribusi Tinggi Hujan Jam-Jaman di Stasiun Sentral
Hasil uji goodness of fit dengan Anderdson Darling terhadap data tinggi
hujan jam-jaman dari bulan Januari sampai dengan Desember pada tahun 2005-
2008 bentuk distribusinya cenderung ekponensial. Hal ini ditunjukkan oleh
Gambar 4.2 histogram pada bulan Desember, dimana pola datanya tidak
menyebar dan cenderung membentuk huruf J. Kondisi seperti ini tentu
dipengaruhi oleh karakteristik hujan yang relatif tinggi pada satu interval dan
banyaknya nilai nol atau kondisi tidak hujan.
0.9
0.8
0.7
0.6
f(x)
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36
x
Histogram Gamma
25
4.2.2. Struktur Model PAR (1)24 dengan Prosedur Adjusting dan Filtering
Dari hasil pemeriksaan PACF dengan Minitab 14, metode yang sesuai
untuk mendisagregasi data hujan ini adalah PAR (1)24. Proses dalam
memodelkan ini menggunakan alat bantu WinBUGS 1.4. seperti tercantum pada
Doodle Gambar 4.4. Doodle ini menggambarkan struktur model dalam node-
node dan dihubungkan oleh garis-garis yang menyatakan keterkaitan fungsional
antar node.
a b c
y1[i]
filtering[i] mu[i]
y24[i]
e[i]
mub[i]
mua[i]
abserr[i] mae
x[i] y[i]
err[i]
for(i IN (h-1)*24+1 : h*24)
zc[h] za[h]
d[h]
zb[h]
delta[h]
for(h IN 1 : M)
Gambar 4.4. Doodle Model PAR (1)24 dengan prosedur adjusting dan filtering
26
sejumlah N data yang berada dalam struktur kotak (loping) sebagai bahan untuk
menghitung likelihood dalam proses full conditional-nya. Selanjutnya hasil nilai
bangkitan tersebut akan digunakan untuk mengestimasi nilai rata-rata setiap
komponen model dan akhirnya digunakan untuk menaksir rata-rata dari model
PAR(1)24 dengan prosedur adjusting dan filtering. Proses pembangkitan model
ini dilakukan dengan iterasi Gibbs sampler.
Hasil simulasi model hujan PAR(1)24 memberikan nilai MAE sebesar
0,621. Nilai MAE ini lebih besar dari hasil running program Heytos yang
dilakukan oleh Hidayah et. al. 2010a yaitu sebesar 0,516. Nilai MAE yang tinggi
ini disebabkan oleh dua hal yaitu: observasi harian terhadap jam-jaman belum
konsisten dan model belum mampu menunjukkan nilai nol saat tidak terjadi
hujan atau saat tidak terjadi hujan besar tinggi hujan yang dihasilkan sama
dengan parameter a. Oleh karena itu, berbagai alternatif untuk meningkatkan
kinerja model PAR(1)24perlu dilakukan. Alternatif ini dapat menggunakan tiga
cara yaitu: PAR(1)24 dengan prosedur adjusting, PAR(1)24 dengan filtering dan
PAR(1)24 dengan prosedur adjusting dan filtering.Hasil simulasi masing-masing
alternatif dapat memberikan perbandingan nilai MAE dapat dilihat seperti dalam
Tabel 4.2.
Pengembangan pertama adalah memberi perlakuan model PAR (1)24
dengan prosedur adjusting. Pada perlakuan adjusting ini digambarkan dengan
dua kotak loping. Kotak pertama merupakan loping untuk pembangkitan data
hujan jam-jaman, sedangkan kotak ke dua merupakan proses adjusting-nya dari
data jam-jaman ke harian. Penghubung kedua loping ini adalah mua[i] dan x[i].
Dimana mua[i] dihubungkan dengan fungsi logika x[i] dan zb[h] dengan
persamaan masing masing:
x[i] <- (mua[i] / zb[h]) * za[h]) (4-2)
zb[h] <- sum(mua[(h - 1) * 24 + 1:h * 24]) (4-3)
x[i] dihubungkan dengan za[h] merupakan variabel konstan dari data hujan
harian dan dengan zb[h] merupakan penjumlahan data hujan jam-jaman hasil
disagregasi dalam satu hari. Antara za[h] dan zb[h] dikontrol oleh delta[h].
Hasil simulasi model PAR(1)24 dengan prosedur adjusting menunjukkan
adanya perbaikan kinerja jika dibandingkan model sebelumnya. Perbaikan
kinerja ini dapat ditunjukkan oleh dua hal yaitu: nilai MAEnya sebesar 0,5163
dan plot quantil total tinggi hujan disagregasi harian dengan nilai R2 sebesar 1.
Ini dapat disimpulkan bahwa PAR(1)24 dengan prosedur adjusting menghasilkan
total disagregasi hujan dalam sehari konsistensi dengan data observasi hujan
harian. Namun demikian, kelemahan dari model PAR(1)24 dengan prosedur
adjusting ini adalah tren tinggi hujan disagregasi yang dihasilkan masih
underestimatedan belum dapat memberikan nilai nol pada saat tidak terjadi
hujan.
Pengembangan kedua adalah pemberi perlakuan model PAR (1)24 dengan
filtering. Pendekatan yang digunakan adalah membagi proses hujan menjadi dua
bagian yaitu saat terjadi hujan dan saat tidak terjadi hujan. Konsep yang
27
digunakan adalah mengasumsikan bahwa kejadian merupakan binary. Merujuk
hasil model PAR (1)24, jika nilai yang muncul sama dengan parameter konstanta
a maka dikalikan nol sedangkan jika nilainya selain nilai tersebut maka
dikalikan satu yang dianggap terjadi hujan. Komponen filtering diperlakukan
pada mu[i]. Persyaratan yang digunakan untuk menghasilkan fungsi indikator
binary dapat ditulis sebagai berikut.
0 jika 𝑚𝑢 = a
𝑚𝑢 =
1 jika 𝑚𝑢 ≠ a
Formulasi binary ini dalam dalam program akan ditulis dengan perintah:
filtering[i] <- step(mu[i] - a) – equals (mu[i],a) (4-4)
mua[i] merupakan hasil mu[i] yang sudah di-filtering.
Pemberian perlakuan dengan filtering memberikan nilai kesalahan MAE
sebesar 0,4321 dan plot quantil data harian memberikan agregasi yang bagus
dengan nilai R2 sebesar 0.978. Penurunan nilai MAE pada modifikasi filtering
terhadap model dasar ini menunjukkan bahwa model sudah mampu
menunjukkan nilai nol bila tidak terjadi hujan.
Pengembangan ketiga model PAR(1)24 dengan prosedur adjusting dan
filtering. Hasil simulasi model PAR(1)24 dengan adjusting dan filtering
memberikan nilai kesalahan MAE sebesar 0,44. Nilai ini lebih kecil jika
dibandingkan hasil aplikasi Heytos yang dilakukan oleh Hidayah et.al. (2010a)
milai MAEnya sebesar 0.516 tetapi nilai ini sedikit lebih besar dari model
PAR(1)24 dengan diberi perlakuan dengan filtering sebelumnya. Namun
demikian, jika model PAR(1)24 diberi perlakuan dengan filtering saja model
belum sempurna, karena modifikasi model tersebut belum mampu melakukan
disagregasi hujan dari harian ke jam-jaman. Dengan diberi perlakuan adjusting
maka proses disagregasi akan berjalan, sehingga yang digunakan sebagai
prediksi model disagregasi hujan pada akhirnya adalah model PAR(1) 24 dengan
adjusting dan filtering
Berdasarkan pembahasan keempat model PAR(1)24 dengan pemberian
perlakuannya, maka didapatkan pengukuran nilai MAE. Hasil pengukuran ini
dapat digunakan untuk menentukan model disagregasi hujan terbaik. Hasil
analisis keempat model tersebut dapat ditabelkan dalam Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Perbandingan Nilai MAE pada model PAR(1)24 dan perlakuannya
Model MAE
PAR(1)24 0,621
PAR(1)24 dengan adjusting 0,561
PAR(1)24 dengan Filtering 0,432
PAR(1)24 dengan adjusting dan filtering 0,440
Sumber: Hasil Analisis, 2010
28
Berdasarkan persamaan (4-1) sampai dengan (4-4), bentuk formula model
yang digunakan adalah:
mu[i] = 0,2492 + 0,1436 y1[i] + 0,1977 y24[i];
untuk formula filteringnya adalah:
filtering [i]= step(mu[i] – 0,2492) - equals(mu[i], 0,2492);
dan hasil akhir dilakukan adjusting dengan formula:
x[i] <- (mua[i] / zc[h]) * za[h])
29
tengah antara batas atas dan batas bawah dan pada Gambar 4.6 plot autokorelasi
menunjukkan bahwa simulasi model telah memenuhi sifat Markov dimana data
bangkitan hanya dipengaruhi oleh satu step dari data bangkitan sebelumnya..
Gambar 4.5 Running quantil parameter model model PAR (1)24 dengan
adjusting dan filtering
Gambar 4.7. Density posterior model PAR (1)24 dan adjusting dan filtering
30
Gambar 4.8. Density posterior error model PAR (1)24 dan adjusting dan
filtering
Hasil simulasi MCMC Bayesian seperti pada Gambar 4.9. menunjukkan bahwa
bangkitan data fastly mixing. Hasil plot history nampak rapat dan mampu
merespon semua parameter sehingga model menunjukkan konvergen.
Gambar 4.9. History iterasi parameter model PAR (1)24 dan adjusting dan
filtering
4.2.5. Output Model PAR (1)24 dengan Prosedur Adjusting dan Filtering
Detail output model berupa penggalan plot tinggi hujan dari bulan
Desember tahun 2005-2008 dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 4.10. Plot
histogram tinggi hujan pada Gambar 4.10. periode 8-18 Des 2005 menunjukkan
bahwa terdapat 2 kejadian hujan yang menonjol tinggi yang menunjukkan
bahwa selisih tinggi hujan observasi dan hasil disagregasi tidak begitu besar.
Kejadian pertama tanggal 8 Desember 2005 selisihnya 12,5% dan kejadian
31
kedua tanggal 18 Desember 2005 selisihnya 6%. Berdasarkan detail plot pada
kedua kejadian tersebut dapat disimpulkan bahwa pada saat tinggi (intensitas)
hujannya tinggi, maka tinggi hujan disagregasi yang dihasilkan kesalahannya
relatif kecil. Model teragregasi dengan baik yang ditunjukkan dengan nilai R 2
sebesar 0,810 untuk hujan hariannya. Model ini sudah mampu memberikan
peningkatan hasil sebesar 15% dibandingkan menggunakan model hujan
disagregasi menggunakan program Heytos.
Gambar 4.10. Plot histogram tinggi hujan jam-jaman antara simulasi dan
observasi
32
70 0
60 20
50 40
40
60
30
80
20
100
10
120
0 199
613
1
109
127
145
163
181
217
235
253
271
289
307
325
343
361
379
397
415
433
451
469
487
505
523
541
559
577
595
631
649
667
685
703
721
739
55
19
37
73
91
waktu (jam)
Observasi harian Disagregasi jam-jaman Observasi harian
Gambar 4.11. Plot hasil plot histogram tinggi hujan jam-jaman
antara simulasi dan observasi dan rata-rata harian
Kinerja prediksi model ini dapat ditunjukkan oleh hasil plot quantilnya.
Plot quantil ini menggambarkan hubungan antara data hujan observasi dengan
hasil disagregasi. Hasil plot quantil tinggi hujan jam-jaman hasil disagregasi
mengindikasikan adanya tren yang cukup signifikan yang mendekati posisi linier
namun posisi nilai tinggi hujannya cenderung sedikit underestimate dengan nilai
R2 sebesar 0,921 (lihat Gambar 4.12.a). Ini berarti antara tinggi hujan jam-jaman
hasil disagregasi dengan data observasi ada beberapa kejadian yang belum tepat.
Plot tinggi hujan harian menunjukkan tren akurasi yang sempurna dimana
total hujan harian hasil simulasi sama dengan total data hujan jam-jaman dalam
satu hari. Nampak pada Gambar 4.12.b persamaan linier yang dihasilkan
Y=X+0,0004 dan nilai R2 sama dengan satu. Ini berarti total hasil disagregasi
hujan jam-jaman dalam satu hari konsisten dengan data hujan harian observasi.
Hasil plot quantil untuk interval periode kering pada Gambar 4.12.c
menunjukkan akurasi tren sedikit underestimate dimana nilai R2 yang dihasilkan
sebesar 0,951 dan persamaan liniernya adalah Y=0,986x+0,105. Ini berarti
posisi kedatangan hujan antara disagregasi dan observasi terdapat sedikit tidak
sama.
Plot quantil durasi pada Gambar 4.12.d menunjukkan adanya tren
underestimate dengan kemiringan yang lebih landai dibandingkan kondisi
idealnya (garis hijau). Ini dapat disimpulkan bahwa lama kejadian hujan dalam
satu hari antara disagregasi dan observasi ada yang tidak sama.
33
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 4.12. Plot quantil membandingkan (a) tinggi hujan jam-jaman,
(b) tinggi hujan harian periode (c) interval kering dan
(d) sebaran durasi model PAR (1)24 dengan prosedur adjusting
dan filtering
4.4. Implementasi Model PAR (1)24 dengan Adjusting dan Filtering untuk
Bulan Januari sampai dengan Nopember
Implementasi model PAR (1)24 dengan adjusting dan filtering untuk data
out of sampling yaitu untuk data selain bulan Desember (bulan Januari sampai
dengan Nopember) pada periode tahun yang sama dari 2005-2008. Maksud dari
implentasi ini adalah untuk menguji kesesuaian model pada bulan-bulan
berikutnya. Implementasi model disagregasi hujan untuk data out of sampling
perlu dilakukan kalibrasi parameter terlebih dahulu sebelum dilakukan validasi
model agar menghasilkan model yang sesuai dengan pola datanya.
34
kesalahannya jauh lebih rendah, dimana nilai MAE hasil Heytos yang dilakukan
oleh Hidayah et.al. (2010a) sebesar 0.022, sedangkan dari model ini sebesar
2.87E-15 walaupun proses MCMC pada estimasi beberapa parameter terjadi
slowly mixing. Proses simulasi model dengan menggunakan MCMC belum
semua bulan mampu mengestimasi parameter fastly mixing, tetapi proses
simulasi ini mampu menghasilkan nilai parameter dan nilai kesalahan MAE
awal. Kondisi fastly mixing saat dilakukan estimasi parameter ini mayoritas
terjadi pada bulan basah yaitu pada bulan Desember, Januari, Februari dan
Maret, sedangkan pada saat bulan kering yang proses iterasinya fastly mixig
hanya pada pada bulan Mei dan September. Kedua bulan tersebut memiliki nilai
struktur korelasi temporal yang hampir mendekati yaitu sebesar 0.0178 dan
0.01624. Struktur korelasi temporal pada kedua bulan tersebut memikili nilai
terkecil dibandingkan bulan-bulan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi
random work pada bulan kering saat struktur korelasi temporal rendah.
Tabel 4.4. Hasil kalibrasi parameter model disagregasi hujan untuk bulan Januari
sampai dengan Desember
PARAMETER
BULAN MAE KETERANGAN
a b c
35
yang diambil dari tinggi hujan jam-jaman maximum, dan root mean square
error (RMSE) dan mean square error (MSE).
Tinjauan tinggi hujan maksimum ini dimaksudkan untuk menunjukkan
kemampuan model dalam merespon input model banjir. Gambar 4.13
menunjukkan bahwa tinggi hujan jam-jaman maksimum observasi posisinya
masih di atas tinggi hujan maksimum hasil model disagregasi. Pada bulan
Januari, Februari, April dan September memiliki gap relatif tinggi yang melebih
10 %, sedangkan untuk bulan Maret dan Desember selisihnya nilainya cukup
kecil kurang 10 % (lihat Tabel 4.4). Hasil plot nilai tinggi hujan jam-jaman saat
maksimum antara observasi dan hasil simulasi seperti ditampilkan pada Gambar
4.13 trennya menunjukkan bahwa nilai simulasi model disagregasi masih under-
estimasi. Adanya tren underestimate yang tinggi untuk bulan-bulan lain Januari
dan Februari ini, maka untuk memperbaiki model perlu memasukkan pengaruh
Heteroschedasticity.
60
Tinggi hujan
50
Tinggi hujan (mm)
mak jam-
40 jaman (mm)
Simulasi
30
Tinggi hujan
20 mak jam-
jaman (mm)
10 Observasi
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
Bulan
Gambar 4.13. Tinggi hujan jam-jaman maksimum antara simulasi dan observasi
Nilai kesalahan RMSE dan MSE dihitung dari hasil simulasi pada masing-
masing bulan yang ditujukan untuk membandingkan hasil implementasi model
secara statistik. Hasil nilai kesalahan RSME dan MSE menunjukkan bahwa
model terbaik dengan nilai terkecil, yang diperoleh pada bulan April untuk
musim penghujan dan pada bulan Mei untuk musim kemarau nilai MSE dan
RMSEnya mendekati.
Hasil implementasi model PAR(1)24 dengan adjusting dan filtering untuk
bulan Januari, Februari dan Maret nampaknya belum mampu menghasilkan
kesalahan model sebagus bulan Desember. Hal ini dimungkinkan karena varians
datanya yang tinggi seperti terlihat pada Tabel 4.1. Aplikasi selanjutnya untuk
bulan selain Desember perlu dilakukan kajian lebih hati-hati mengenai distribusi
data yang dipilih. Selanjutnya aplikasi model akan dicobakan untuk bulan yang
sama dengan waktu yang berbeda.
36
Tabel 4.5. Tinggi hujan maksimum antara observasi dan simulasi
Tinggi hujan mak jam- Persen
MSE RMSE
Bulan jaman (mm) Selisih Selesih
Sat Simulasi Observasi (mm)
Jan 30.2 46 15.8 12.868 12.868 165.595
Feb 27.6 49.1 21.5 6.103 6.103 37.250
Mar 47.7 53.3 5.6 11.460 11.460 131.340
Apr 8.67 15.6 6.93 0.903 0.903 0.816
Mei 8.67 15.6 6.93 0.903 0.903 0.815
Jun - 22.4 - - - -
Jul - 8.9 - - - -
Agt - 8.7 - - - -
Sep 7.77 9.5 1.73 0.983 0.983 0.966
Okt - 34.6 - - - -
Nop - 26.8 - - - -
Des 36.9 39.3 2.4 6 4.208 2.051
Sumber: Hasil analisis, 2010
37
Dimana debit hasil simulasi berdasarkan hujan disagregasi sedikit
overestimate(jika dibandingkan debit banjir observasi). Overestimateterjadi pada
jam ke 15.00 sampai dengan jam ke 23.00. Puncak banjir hasil simulasi model
terjadi satu jam lebih awal jika dibandingkan debit observasi.
Respon hidrograp banjir yang dihasilkan dari input data hujan disagregasi
menunjukkan bahwa pola hidrograpnya sama dan didapat nilai kesalahan RMSE
yang relatif kecil sebesar 0,0542 terhadap respon dari input observasinya.
Gambar 4.14. Plot hidrograp banjir tanggal 8 Desember 2005 dari perbandingan
hasil input data hujan disagregasi dengan data hujan observasi
38
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang diangkat dalam penelitian
pendisagregasian data hujan secara temporal dengan pendekatan Bayesian guna
mengatasi keterbatasan data, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai
berikut.
1. Hasil identifikasi karakteristik data hujan jam-jaman dan harian di stasiun
Sentral DAS Sampean menunjukkan bahwa:
a. Bulan basah terjadi pada bulan Desember sampai dengan April memiliki
nilai proporsi interval kering di bawah rata-rata sebesar 0,958 atau di atas
1536 mm/tahun; sebaliknya bulan kering terjadi pada bulan Mei sampai
dengan Nopember,
b. Data hujan jam-jaman mempunyai korelasi yang signifikan terhadap data
hujan harian dengan nilai R2 sebesar 0.944, sehingga data dapat digunakan
untuk model disagregasi hujan.
c. Distribusi data hujan jam-jaman untuk bulan Januari sampai dengan
Desember, berdasarkan hasil uji goodness of fit menggunakan Anderson
Darling menunjukkan distribusinya ekponensial sehingga untuk pemodelan
selanjutnya digunakan distribusi eksponensial.
d. Pola PACF yang turun setelah lag 1 dan nilai statistik T pada lag 24 adalah
signifikan, sehingga pola data hujan di stasiun Sentral DAS Sampean ini
mengikuti pola 24 jam. Berdasarkan kondisi tersebut, maka model dasar
yang digunakan adalah periodik autoregresi (1)24.
2. Pemodelan hujan temporal dengan menggunakan dasar model PAR(1) 24
dengan asumsi model berdistribusi ekponensial dan menggunakan prior
parameter berdistribusi normal (0.0, 0.000001) untuk data hujan jam-jaman
bulan Desember 2005-2008, ternyata mampu menghasilkan model terbaik.
Model terbaik ini diindikasikan oleh:
a. Secara struktur, modifikasi model PAR(1)24 dengan prosedur adjusting dan
filtering model mampu untuk melakukan disagregasi dari data hujan dari
harian ke jam-jaman.
b. Output model (tinggi hujan) yang dihasilkan mampu mereduksi output
model dasar PAR(1)24 dengan memberikan nilai nol saat tidak terjadi hujan
dan memberikan nilai tinggi hujan maksimum yang hanya berselisih 6,1 %
antara observasi terhadap simulasi.
c. Modifikasi model PAR(1)24 dengan prosedur adjusting dan filtering
memberikan nilai MAE sebesar 0,44. Maka jika dibandingkan dengan hasil
running program Heytos dengan nilai MAE sebesar 0,561, model ini sudah
mampu memberikan peningkatan hasil sebesar 15 %
39
d. Model disagregasi ini memberikan hasil yang baik ditunjukkan oleh
korelasi antara hujan harian observasi dengan penjumlahan hasil
disagregasi dalam 1 hari yang memberikan nilai R2 sebesar 0.810
3. Pengujian keandalan model dilakukan dengan dua cara yaitu menguji model
terhadap bulan selain Desember pada tahun yang sama 2005-2008 dan
menguji terhadap tahun yang berbeda (2009).
a. Aplikasi model untuk bulan-bulan lain selain Desember pada periode tahun
yang sama dilakukan dengan mengkalibrasi parameter model terlebih
dahulu. Hasil kalibrasi menunjukkan bahwa proses simulasi model dengan
MCMC dapat bekerja mayoritas untuk bulan-bulan basah (musim
penghujan: Januari, Februari, Maret, April dan Desember) dan sebagian
kecil untuk musim kemarau (Mei dan September). Hasil simulasi model
menunjukkan terdapat selisih tinggi hujan yang relatif kecil untuk bulan
Maret, April, September dan Desember, dan sebaliknya menunjukkan
selisih relatif cukup besar untuk bulan-bulan lainnya. Selain bulan
Desember, hasil pemodelan yang baik adalah bulan Maret.
b. Hasil penaksiran (prediksi) model hujan jam-jaman dengan menggunakan
data bulan Desember tahun 2009 didapatkan kinerja model yang bagus dan
nilai MAEnya sebesar 0,37. Nilai MAE prediksi ini di bawah nilai MAE
dari hasil pada saat pembuatan model yaitu sebesar 0,44. Proses disagregasi
terbentuk dengan sempurna yang ditunjukkan dengan nilai R 2 sebesar 1
oleh plot hujan hariannya.
4. Evaluasi secara grafis dapat dilihat dengan membandingkan hasil hidrograf
model antara observasi terhadap hasil simulasi. Hasil plot hidrograf
menunjukkan pola yang sama dan terdapat sedikit kesalahan volume yang
ditunjukkan dengan nilai RMSE sebesar 0.05.
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas didapatkan kekurangan dan keterbatasan
dari model yang dihasilkan maka untuk pemodelan selanjutnya perlu disarankan
sebagai berikut:
1. Dalam memodelkan disagregasi data hujan perlu ke hati-hatian dalam
penentuan distribusi data, agar dicapai model disagregasi hujan yang tepat
yang sesuai dengan karakter data hujannya.
2. Dalam pemodelan disagregasi hujan PAR(1)24 dengan adjusting dan filtering
perlu dicoba menggunakan input data hujannya disusun secara series dalam
dua bagian yaitu periode kering dan basah.
3. Dalam mengatasi trend underestimate yang tinggi untuk bulan-bulan lain
Januari dan Februari ini, maka untuk memperbaiki model perlu memasukkan
pengaruh Heteroschedasticity.
4. Untuk menyiapkan input data hujan pemodelan hujan-debit pada DAS skala
luas, maka penelitian selanjutnya perlu dilakukan pemodelan hujan temporal
dan spasial.
40
DAFTAR PUSTAKA
41
Koutsoyiannis, D. dan Onof C., 2001, Rainfall disaggregation using adjusting
procedures on a Poisson cluster model, Journal of Hydrology, 246, 109-
122.
Koutsoyiannis, D., 2003, Rainfall Disaggregation Methods: Theory And
Applications, Workshop on Statistical and Mathematical Methods for
Hydrologycal Analysis, Roma.
Maidment, D.R, 1992, Hanbook of hydrology, Mc.GRAW-HILL. INC, New
York.
Nikolas S. R., 2008, A time series model for precipitation based on
disaggregation and lognormal point processes, Dissertation (Doctor rerum
naturalium, Dr. rer. Nat, Vom Fachbereich Mathematik der Universit¨at
Kaiserslautern zur Verleihung des akademischen Grades Doktor der
Naturwissenschaften .
Tanner M.A, 1996, Tols for Statistical Inference: Methodd for the extrapolation
of Posterior Distributions and Likelihood Fuctions, 3rd ed, Spinger-Verlag,
New York.
Wong, K.M., 2000, Disaggregation of Rainfall Time Series using Adjustments,
submitted at NTUA, Greece.
Yeboah Gyasi-Agyei, 1999, Identification of regional parameters of a
stochastic model for rainfall disaggregation. J. Hydrol. 223 (3–4),148–163.
Yeboah Gyasi-Agyei, 2005, Stochastic disaggregation of daily rainfall into one-
hour time scale, Journal of Hydrology 309 (2005) 178–190.
Yue S. dan Hashino M., 2001 , The general cumulants for a filtering point
process: Appl. Math. Mod, vol, 25(3) pp 193-201.
Zellner, 1971, An Introduction to Bayesian Inference in Economics, Wiley, New
York
42
RIWAYAT HIDUP PENULIS
43
3. Hidayah E., Nadjadji A., Iriawan N., dan Edijatno,2010, Prosiding Rainfall
modeling using Bayesian seasonal AR1 model combined with adjusting and
filtering procedure, ITS-UTM International Conference 2010 on Sustainable
Urban Environment
Publikasi yang telah dilakukan berkaitan dengan desertasi:
1. Hidayah E., Iriawan N., Anwar N., Edijatno, 2010a, Evaluating Error of
Temporal Disaggregation from Daily Rainfall into Hourly Rainfall Using
Heytos Model at Sampean Catchments Area, Majalah IPTEK Volume 21
Nomor 1, Februari 2010.
2. Hidayah E., Iriawan N., Nadjadji A., dan Edijatno, 2010c, Generating Hourly
Rainfall Model Using Bayesian Time Series Model (A case study at Sentral
Station, Bondowoso) Majalah IPTEK Volume 21 Nomor 2, Mei 2010
3. Hidayah E., Iriawan N., Nadjadji A., dan Edijatno, 2010b, Selection of time
series Bayesian rainfall model to continous rainfall data generation of point
locations, International Journal of Academic Research. .Vol.2 No.5,
September 2010, 227-233.
44