Anda di halaman 1dari 30

Nasehat Bijaksana Luqman Al-Hakim Kepada Anaknya

Bismillah walhamdulillah, asholatu wassalamu ‘ala rosulillah…

Namanya begitu mulia, terukir dalam al-Quran tercinta.

Sebenarnya, terdapat bermacam-macam pendapat ahli tafsir mengenai asal-usul dan sejarah Luqman.

Ada yang mengatakan Luqman adalah seorang hakim, tukang kayu, dan ada juga yang berpendapat
beliau adalah seorang wali. Dan bagaimanapun, cukup untuk kita tahu bahwa Luqman ini adalah
seorang yang istimewa dan diberi hikmah oleh Allah SWT berupa kebijaksanaan dankecerdasan tinggi.
Sehingga, terdapat sebuah surah khusus dalam Al-Quran yang menceritakan kisah beliau beserta
nasehat yang disampaikan kepada anaknya.

Berikut adalah koleksi nasehat Luqman Al-Hakim yang terdapat dalam Al-Quran (Surah Luqman) dan
juga sebagian lagi yang disebut dalam beberapa kitab; antaranya kitab Tafsir Ruhul Ma’ani dan kitab
Hidayatullah Mursyidin.

Berikut adalah nasehat Luqman yang bukan saja boleh diterapkan sebagai cara mendidik anak,
melainkan juga untuk peringatan bagi kita dan berkaca diri sendiri.

LoveQuran
1. MENGESAKAN ALLAH
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di kala sedang memberinya nasehat, (katanya) :
Hai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah suatu
penganiayaan yang besar.

piknik in Krakow, #Sholat time


piknik in Krakow, #Sholat time

2. MENJAGA SEKECIL-KECIL SIKAP PRILAKU


Hai anakku! Sesungguhnya jika ada (amal-amal) itu sebesar biji sawi (sekalipun), biar adanya didalam
batu, atau dilangit, ataupun dibumi, niscaya Allah SWT akan tunjukkan (memperlihatkannya).
Sesungguhnya Allah SWT Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

3. SHOLAT DAN SABAR


Hai anakku! Dirikanlah solat dan suruhlah (manusia) berbuat kebajikan dan laranglah dari perbuatan
yang mungkar dan sabarlah atas sesuatu (musibah) yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah dari urusan-urusan yang dipastikan (Allah).

doa selepas solat fardhu

Foto Kredit: theguardian.com


4. TIDAK MEMBANGGAKAN DIRI
Dan janganlah engkau memalingkan pipimu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan
dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang yang sombong dan
membanggakan diri.

Dan berlakulah sederhana dalam berjalan dan rendahkanlah suaramu (dalam berbicara), sesungguhnya
seburuk-buruknya suara ialah suara keledai.

5. MARAH ANAK KARENA SAYANG


Wahai anakku, seandainya ibubapakmu marah kepadamu karena kesilapan yang dilakukan olehmu,
maka marahnya ibu bapakmu adalah bagaikan pupuk bagi tanaman.

6. MENGHINDARI UTANG
Hai anakku! Jauhkanlah dirimu dari berutang, sesungguhnya berutang itu menjadikan dirimu hina di
waktu siang dan gelisah di waktu malam. Na’udzubillahiminzaliik…

7. ELAK BERBOHONG WALAU SEKALI


Hai anakku! Engkau jauhilah bersifat dusta, sebab berdusta itu enak sekali mengerjakannya, seperti
enaknya memakan daging burung, sedikit saja berdusta, akibatnya tetap akan memberi bahaya.

Waspadalah, DUSTA itu menyebabkan KECANDUAN!

panduan solat jenazah

Foto Kredit: civillislamica.it

8. PENTINGNYA MENGINGATI KEMATIAN


Hai anakku! Kalau bertemu dua kejadian, antara menjenguk orang mati dengan menghadiri pesta
perkawinan, maka pergilah menjenguk orang mati. Demikian pentingnya kita akan mengingatkan diri
yang bakal pulang ke kampung akhirat, sedangkan menghadiri pesta hanya mengingati diri kepada
kesenangan duniawi saja.

9. MAKAN SEKADARNYA
Hai anakku! Janganlah engkau makan sampai kenyang yang berlebih-lebihan. Sesungguhnya
memberikan makanan yang engkau makan sampai kenyang berlebih-lebihan itu kepada seekor anjing
adalah lebih baik daripada engkau memakannya.

cara ganti puasa

Foto Kredit: new-muslims.info

10. BERAMAL DENGAN ILMU


Bukanlah baik namanya, bila engkau selalu mempelajari segala macam ilmu yang belum engkau ketahui,
sedangkan ilmu yang telah diperolehi belum lagi engkau amalkan. Hal seperti ini tak ubahnya dengan
perbuatan seseorang yang mencari kayu api, setelah dikumpulkan, lalu dipikulnya, tapi dia tak kuat
membawanya, kemudian dia tambah lagi. #Ingatlah untuk senantiasa belajar…

11. KARAKTER YANG PERLU DIJAUHI


Hai anakku, janganlah engkau mudah ketawa kalau bukan karena sesuatu yang menggelikan, janganlah
engkau berjalan tanpa tujuan yang pasti, janganlah engkau bertanya sesuatu yang tidak ada guna
bagimu, janganlah mensia-siakan hartamu.

cara didik anak

RELEVAN Sepanjang Zaman


Apa yang dapat disimpulkan, ternyata Allah SWT telah memberi hikmah terhadap Luqman karena
nasehat beliau amat meninggalkan kesan bermakna luar biasa.

Bahkan pesan kehidupan darinya sangat relevan dan sepatutnya dijadikan panduan oleh kita hingga saat
ini.

Semoga kita dapat optimal mengamalkan dan menyebarkan kebaikan yang disampaikan oleh Luqman
Al-Hakim. Semoga keridhoan dan barokah ALLAH SWT mengiringi langkah kita dalam mendidikkan jiwa
serta saat menjaga &mendidik anak-anak hingga tercapai segala cita-cita, Masya Allah Laa quwwata illa
billah! Waullohu a’lam
5 Posisi Anak Bagi Orangtua dalam Al Quran
hajjismail
(Ustadz Budi Ashari ~Parenting Nabawiyah)

Al Quran sebagai petunjuk jalan bagi setiap keluarga muslim. Bagi yang telah mempunyai keturunan.
Atau mereka yang sedang menanti hadirnya keturunan. Atau yang sedang khusyu’ dalam munajat agar
diberikan amanah indah itu. Atau yang sedang belajar untuk menapaki tangga menuju bahtera rumah
tangga. Inilah Al Quran yang harus selalu menjadi tempat bertanya.

Al Quran menyampaikan bagi setiap keluarga muslim bahwa anak mempunyai 5 potensi bagi kehidupan
orangtuanya. Potensi baik ataupun potensi buruk. Berikut ini ke 5 hal tersebut:

1. Anak sebagai HIASAN HIDUP

Allah berfirman:

َ ‫شهواتَ ُحبَ للنَّاسَ ُزي‬


‫ِّن‬ َّ ‫ع ذلكَ و ْالح ْرثَ و ْاْل ْنعامَ ْال ُمس َّومةَ و ْالخيْلَ و ْالفضَّةَ الذَّهبَ منَ ْال ُمق ْنطرةَ و ْالقناطيرَ و ْالبنينَ النِّساءَ منَ ال‬
َُ ‫ْالحياةَ متا‬
ْ‫َللاُ الدنيا‬ ْ
ََّ ‫المآبَ ُحسْنَُ عندَهُ و‬ ْ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-
wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
(Qs. Ali Imron: 14)

Anak disebut ayat ini sebagai satu dari kesenangan-kesenangan dunia. Setiap manusia pasti telah
terhiasi hatinya dengan berbagai keindahan dunia tersebut. Hanya saja, Allah menawarkan tempat
kembali yang lebih baik di sisi Nya.

Anak sebagai hiasan yang menghiasi hidup orangtuanya menjadi berwarna indah. Anak-anak ibarat
pelangi. Warna mereka yang berbeda-beda membuat suasana rumah menjadi begitu indah dipandang
mata. Kehadiran mereka selalu dinantikan. Terlihat jelas di pelupuk mata orangtuanya pelangi itu,
apalagi saat pelangi itu ada di tempat yang jauh. Sehingga kerinduan pada anak-anak begitu
membuncah.

Untuk itulah, para orangtua siap untuk melakukan apa saja dan membayar berapa saja untuk
mendapatkan keturunan. Karena keindahan hidup berkurang ketika keturunan yang dinanti belum juga
hadir.

Anak-anak memang indah. Keindahannya tak tergantikan oleh apapun. Gerak mereka, suara mereka,
raut wajah mereka, tingkah polah mereka, tertawa mereka, tangis mereka. Ahh.…semuanya indah.

2. Anak sebagai COBAAN HIDUP

Allah berfirman:

‫ن فتْنةَ وأ ْوَل ُد ُك َْم أ ْموالُ ُك َْم أنَّما واعْل ُموا‬ ََّ ُ‫عظيمَ أجْ رَ ع ْندَه‬
ََّ ‫َللا وأ‬
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di
sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Qs. Al Anfal: 28)

‫َللاُ فتْنةَ وأ ْوَل ُد ُك َْم أ ْموالُ ُك َْم إنَّما‬


ََّ ‫عظيمَ أجْ رَ ع ْندَهُ و‬

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang
besar.” (Qs. At Taghabun: 15)

Anak juga menjadi cobaan hidup bagi orangtuanya. Seperti yang disampaikan dua ayat di atas. Sehingga
orangtua diminta agar berhati-hati. Keindahan itu tidak boleh melalaikan. Kenikmatan kita
memandanginya tidak boleh melalaikan dari tugas para orangtua menjadi hamba Allah yang baik.

Allah mengingatkan kembali kepada para orangtua:

‫ن أ ْوَل ُد ُك َْم وَلَ أ ْموالُ ُك َْم ت ُ ْله ُك َْم َلَ آمنُوا الَّذينَ أيها يا‬
َْ ‫َللا ذ ْكرَ ع‬
ََّ ‫ن‬ َْ ‫ْالخاس ُرونَ ُه َُم فأُولئكَ ذلكَ ي ْفع‬
َْ ‫ل وم‬

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Qs Al Munafiqun:
9)

Seberapa kuat kita menikmati keindahan pelangi. Bisa jadi, kita yang berhenti menikmatinya. Atau
pelangi itu akan segera menghilang di antara warna langit lainnya. Jika tidak berhati-hati, saat
kenikmatan itu telah pergi, kita baru sadar banyak kewajiban yang telah dilalaikan. Banyak hak orang
lain yang terabaikan. Banyak potensi kebesaran orangtua terhenti karenanya. Dan akhirnya bisa
kehilangan kesempatan meraih keindahan abadi dan haqiqi; Surga Allah. Sungguh kerugian yang besar.

3. Anak yang LEMAH

َ‫ن تر ُكوا ل َْو الَّذينَ و ْلي ْخش‬


َْ ‫َللا ف ْليتَّقُوا عليْه َْم خافُوا ضعافا ذُ ِّريَّةَ خ ْلفه َْم م‬
ََّ ‫سديدا ق ْوَلَ و ْليقُولُوا‬

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
(Qs. An Nisa’: 9)

Orangtua diminta agar memperhatikan benar generasi setelahnya. Tidak boleh hadir generasi lemah
sepeninggal orangtuanya. Perhatian besar orangtua untuk meninggalkan segala hal yang membuat
mereka kuat adalah merupakan kewajiban. Ayat ini mengingatkan agar orangtua berhati-hati jika mati
belum menyiapkan anak keturunan, sehingga mereka menjadi beban masyarakat dan zaman.

Kelemahan dalam masalah keimanan. Kelemahan dalam masalah pemahaman agama. Kelemahan
ibadah dan akhlak.

Para orangtua harus menyiapkan agama anak-anaknya. Karena pasti Allah akan menanyakan amanah itu
kepada para orangtua.
Kelemahan dalam masalah ekonomi. Kelemahan dalam kesejahteraan. Kelemahan fasilitas.

Para orangtua bertanggung jawab jika kelemahan ini menjadi alasan jauhnya anak-anak dari Allah.
Sehingga meninggalkan anak-anak dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada meninggalkan
mereka meminta-minta kepada orang.

Kelemahan ilmu pengetahuan. Kelemahan wawasan dalam hidup. Kelemahan dalam kemampuan untuk
menjalani hidup.

Itu artinya para orangtua harus membekali mereka ilmu, semua sarana ilmu dan wawasan serta skill
anak-anak. Kesalahan fatal, ketika orangtua sibuk menikmati hidup sendiri tetapi lalai menyiapkan ilmu,
wawasan dan skill anak-anak mereka.

Kelemahan dalam fisik. Kelemahan dalam jiwa dan mental. Kelemahan yang mengakibatkan mereka
hanya menjadi pecundang dan bukan seorang juara.

Orangtua harus menyiapkan fisik mereka sesehat mungkin. Menjaga mereka agar tetap bugar untuk
melanjutkan perjuangan. Jiwa dan mental yang kokoh berhadapan dengan keadaan apapun. Mampu
hidup dan bertahan dalam keadaan paling sulit sekalipun.

Dan semua jenis kelemahan adalah merupakan peringatan yang tidak boleh muncul pada kelahiran
keturunan kita.

4. Anak sebagai MUSUH

Allah berfirman:

‫ن آمنُوا الَّذينَ أيها يا‬ َْ ‫ن فاحْذ ُرو ُه َْم ل ُك َْم عد ًُّوا وأ ْوَلد ُك َْم أ ْزواج ُك َْم م‬
ََّ ‫ن إ‬ َْ ‫صف ُحوا ت ْعفُوا وإ‬
ْ ‫ن وت ْغف ُروا وت‬ ََّ َ‫رحيمَ غفُور‬
ََّ ‫َللا فإ‬

“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak
memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Qs At Taghabun: 14)

Sangat mengerikan membaca ayat ini. Allah memerintahkan agar orangtua berhati-hati terhadap anak.
Karena sebagian mereka adalah musuh. Jika anak telah menjadi musuh orangtuanya, maka hilanglah
sebagian besar kebahagiaan rumah tangga. Karena hiasan itu kini hanya menjadi beban, penyebab
ketakutan, kesedihan dan semua kesengsaraan hidup orangtua.

Anak yang nakal, durhaka, bodoh, menjatuhkan martabat keluarga. Saat itulah anak yang dulu diasuh
siang dan malam, berubah menjadi musuh yang menyedihkan, menakutkan dan menyengsarakan.

5. Anak yang BAIK & MENYEJUKKAN PANDANGAN MATA


Allah berfirman:

َْ ‫الدعاءَ سمي َُع إنَّكَ طيِّبةَ ذُ ِّريَّةَ ل ُد ْنكَ م‬


َ‫ن لي هبَْ ربَِّ قالَ ربَّ َهُ زكريَّا دعا هُنالك‬

“Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau
seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (Qs. Ali Imron: 38)

Allah juga berfirman:

َْ ‫إماما ل ْل ُمتَّقينَ واجْ ع ْلنا أ ْعيُنَ قُ َّرةَ وذُ ِّريَّاتنا أ ْزواجنا م‬


َ‫ن لنا هبَْ ربَّنا يقُولُونَ والَّذين‬

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan
keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa.” (Qs. Al Furqon: 74)

Inilah anak yang diharapkan oleh setiap keluarga. Untuk itulah, ayat-ayat yang digunakan untuk
membahas poin ini berupa doa dan ini berbeda dengan ayat-ayat sebelumnya. Doa adalah harapan dan
munajat kepada Yang Menciptakan semuanya.

Anak yang baik. Anak yang menyejukkan pandangan mata. Anak yang menyenangkan hati orangtua.

Jelas ini adalah hasil panen jerih payah orangtua. Setelah sekian lama dalam kesabaran tiada berujung,
orangtua berjuang berjibaku mendidik mereka. Saat usia telah senja, tulang telah rapuh, kepala telah
menyala putih, banyak keterbatasan, saat perlu bersandar, anak-anak yang baik itu benar-benar
menyejukkan pandangan mata, menentramkan hati. Ibarat oase di tengah gurun sahara. Ibarat air sejuk
bagi musafir yang telah lemas karena dehidrasi. Anak yang berbakti. Anak yang mengerti hak orangtua.
Anak yang bisa mengangkat derajat orangtunya kelak di Surga Allah.

anakku

Allah yang menciptakan anak-anak bagi kita. Dia menjelaskan dalam Al Quran bahwa anak-anak itu
adalah hiasan hidup orangtua. Tetapi juga sebagai cobaan hidup bagi orangtua, agar diketahui apakah
orangtua lalai dari kewajibannya berdzikir kepada Allah atau tetap baik.

Untuk itulah, orangtua diingatkan Allah jangan sampai anak-anak menjadi generasi yang lemah apalagi
menjadi musuh. Tetapi harus menjadi anak-anak yang baik dan menyejukkan mata.

Sekaligus amanah dari Allah agar para orangtua menjaga amanah itu dan menjadikan mereka anak-anak
yang kokoh dan kuat di zamannya.

Wallahu a’lam.
Agar Nasehat Untuk Anak Bekerja Dahsyat (1)
Thursday, October 29, 2015umnad
📚 Share Materi Parenting Nabawiyah #9

💝Agar Nasehat Untuk Anak Bekerja Dahsyat (1)⚡⚡

Ditulis oleh Ust Budi Ashari, Lc

Bagian 1

(Belajar dari Luqman)

Mengajari seorang anak dengan target tertentu bisa menggunakan banyak cara. Bisa dengan
menasehati, menceramahi, menegur dengan lisan atau perbuatan, menghukum, dan sebagainya.

Luqman adalah potret penting dalam Al Quran yang digambarkan sebagai sosok penuh ilmu dan hikmah.
Nasehatnya sebagai ayah kepada anaknya adalah SATU-SATUNYA yang diabadikan dalam Al Quran. Dari
sekian banyak nasehat yang bertebaran untuk mendidik anak, ternyata hanya nasehat “manusia biasa”
ini yang diabadikan, maka tentu ia mempunyai nilai istimewa.💡

Tentu, salah satu tolok ukur keistimewaannya adalah ketika “rangkaian kalimat Luqman ini berhasil
mengubah anaknya.”

➡Bukankah hari ini banyak orangtua yang mengeluh tentang kalimat-kalimatnya yang nyaris tidak
bekerja pada anaknya?😱
Mereka merasa telah banyak menasehati tetapi mengapa tidak ada yang sekadar singgah di hati
anaknya. Apatah lagi mengubah mereka untuk lebih baik.

Di sinilah seharusnya kita semua belajar kepada Luqman dalam rangkaian kalimatnya. Karena sekali lagi,
nasehat Luqman adalah “nasehat yang mampu mengubah”.✅

➡Jumhurahli tafsir berkata: Sesungguhnya anak Luqman dulunya musyrik. Luqman terus
menasehatinya hingga ia beriman hanya kepada Allah saja.

Bisa jadi anak Luqman dahulunya beragama dengan agama masyarakatnya di Sudan. Ketika Allah
memberikan kepada Luqman Al Hikmah dan Tauhid, anaknya tidak mau mengikutinya. Maka Luqman
terus menasehatinya, hingga ia mau mengikuti tauhid. (Ibnu Asyur dalam At Tahrir Wat Tanwir)

🔑Di mana rahasianya?

✅Mari kita perhatikan kalimat-kalimat ayat sebelum isi nasehat disampaikan, karena di situ
kuncinya🔑
َ‫لِل ا ْش ُك َْر أنَ ْالح ْكمةَ لُ ْقمانَ آتيْنا ولق ْد‬ َْ ‫ن لن ْفسهَ ي ْش ُك َُر فإنَّما ي ْش ُك َْر وم‬
ََّ ‫ن‬ َْ ‫ن كفرَ وم‬
ََّ ‫َللا فإ‬
ََّ َ‫( حميدَ غني‬12)

َ‫ي يا يعظُ َهُ وهُوَ َلبْنهَ لُ ْقمانَُ قالَ وإ ْذ‬ َْ ‫الِل ت ُ ْشر‬
ََّ ‫ك َلَ بُن‬ ِّ ‫ظ ْلمَ ال‬
ََّ ‫ش ْركَ إ‬
ََّ ‫ن ب‬ ُ ‫( عظيمَ ل‬13)

(12) Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah.
Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri;
dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.

(13) Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar”.(Qs. Luqman)

Inilah dua ayat yang mengawali nasehat-nasehat Luqman. Ada dua pelajaran penting yang harus
dilakukan orangtua, jika ingin nasehatnya memiliki dampak dahsyat pada anaknya.

➡Orangtua memiliki hikmah dan pandai bersyukur


Menasehati dengan nasehat yang sesungguhnya
Tulisan ini membahas poin yang pertama. Poin pertama ini ada dua hal:

1⃣Pertama, Hikmah

2⃣Kedua, Syukur

Kedua hal ini harus dimiliki orangtua sebelum menasehati anaknya. ❗❗Ingat, sebelum menasehati
anaknya!❗❗

➡Tapi apa itu hikmah?

Ibnu Katsir –rahimahullah- menjelaskan,

“Pemahaman, Ilmu dan kalimat bertutur.”

Siapapun yang menalaah kalimat-kalimat Luqman kepada anaknya, bisa mengetahui bahwa Luqman
mempunyai ketiganya dengan sangat baik dan mendalam. Karenanya Luqman mempunyai modal besar
untuk nasehatnya bekerja dengan dahsyat pada anaknya, hingga sang anak berubah menjadi manusia
bertauhid.

✅Pemahaman.

Inilah pentingnya orangtua menjadi orang yang terus belajar dan mengasah otaknya agar memiliki
pemahaman yang baik terhadap segala permasalahan. Sayangnya, kecerdasan orangtua hari ini hanya
dibayangkan untuk pekerjaannya. Tidak untuk anak-anaknya.😔

Karenanya, banyak para wanita yang merasa gagal ketika sekolah sampai jenjang tinggi tetapi ‘hanya’
mengasuh anak di rumah. 😥
Hingga muncul kalimat di masyarakat: buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya hanya di
rumah.😩

Kini, dengan pembahasan ini kita paham di mana letak kegagalan rumah tangga.
➡Mereka tidak memperlakukan keluarganya seperti memperlakukan pekerjaannya.

➡Maksimal di pekerjaan, tetapi sekadarnya di rumah.

➡Tampil paling cerdas dengan pemahaman istimewa di pekerjaannya, tetapi hilang logika dan
kecerdasannya untuk mengasuh anak-anak.

💡Ilmu.

Dengan pemahamanlah ilmu bisa terus berputar dan menghasilkan. Pemahaman dan ilmu saling
menopang. Ilmu perlu pemahaman yang baik dan pemahaman bisa terus terasah jika berilmu terus
menerus dengan baik. Semua ilmu yang baik, pasti dan harus bermanfaat untuk mendidik anak.

Jangan merasa rugi berilmu tinggi dalam rangka mendidik anak. Jangan bakhil belajar ilmu untuk
mendidik anak.

➡Karena tanpa ilmu, kita merasa telah menasehati, padahal tengah membongkar aib anak. Tanpa ilmu
kita merasa telah menyayangi, padahal tengah menuruti syahwat anak. Tanpa ilmu kita merasa telah
mendidik dengan baik dan benar, padahal tengah lari dari tanggung jawab sebagai orang tua. Tanpa ilmu
kita merasa telah menjadi orang tua yang sesungguhnya, padahal kita belum bergeser dari tempat kita
duduk sebagai orang tanpa ilmu yang tak pantas menjadi ayah dan ibu untuk anak-anak peradaban.

💡Kalimat bertutur.

Ini berhubungan dengan bahasa dan cara mengungkapkan. Lihatlah sekali lagi. Alangkah pentingnya
“kecerdasan berbahasa” bagi orang tua.

Sayang sekali, ketika kemampuan berbahasa yang baik, benar dan santun hanya untuk klien pekerjaan
saja. Tetapi semua kaidah bahasa itu tiba-tiba menjadi berantakan ketika bertemu anak-anak.

Orang tua harus menguasai benar cara mengungkapkan dan menyampaikan sesuatu. Dengan bahasa
yang biasa digunakan untuk berkomunikasi di rumahnya.

➡Jika harus dengan Bahasa Indonesia, maka berbahasa Indonesia lah yang benar dan baik.

➡Jika dengan bahasa daerah, maka berbahasa daerahlah yang baik dan benar. Jika dengan bahasa lain,
pun demikian. Cara bertutur, dalam bahasa kita tak hanya masalah kaidah, tetapi juga masalah intonasi.
Kita harus paham, tema apa yang akan disampaikan dengan pilihan kata dan dengan intonasi seperti
apa. Begitu seterusnya, kemampuan bahasa harus dimiliki oleh para orangtua agar nasehat bisa bekerja
baik dalam kehidupan anak-anak.

✅Contoh aplikatif.
Jika orangtua ingin menanamkan tentang kejujuran. Maka orangtua harus menguasai benar tentang
tema kejujuran ini. Memahaminya dengan baik dari berbagai sisinya dengan ilmu. Bukan hanya definisi
jujur. Tetapi berikut segala hal yang mungkin terjadi setelah orangtua menyampaikan dengan tutur
bahasa yang baik dan benar.

Contoh, ketika suatu hari anak menyampaikan dengan kejujurannya tentang keinginannya untuk
melakukan sebuah dosa. Atau terbukti bahwa ia tidak jujur tetapi karena tekanan yang dialaminya.
Semua ini memerlukan pemahaman, ilmu dan cara bertutur yang baik dan benar. Sehingga tidak salah
dalam bersikap.

🔑Itulah yang dikuasai Luqman sebelum memulai nasehatnya. Hal ini bisa dipahami dari kata (‫قال وإذ‬
‫)لقمان‬huruf waw di awal ayat ini mengaitkan dengan kalimat di ayat sebelumnya. Sehingga maknanya
adalah: Dan Kami telah memberikan kepada Luqman Al Hikmah, ketika itulah ia berkata kepada
anaknya.

Hal ini menunjukkan bahwa Luqman mulai berkata kepada anaknya dalam rangka menasehati, setelah ia
diberi Allah Al Hikmah. (Lihat tafsir At Tahrir Wat Tanwir)

🔑✅Jika orang tua memiliki Al Hikmah dalam mendidik anak, maka sungguh ia telah mendapatkan
anugerah sangat amat besar dalam hidupnya. Karenanya, kata setelahnya bagi Luqman adalah perintah
kepadanya untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut.

🔑💡Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata,

“Kami perintahkan untuk bersyukur kepada Allah azza wajalla atas pemberian dan anugerah Allah
berupa keutamaan yang khusus diberikan kepadanya dan tidak diberikan kepada anak-anak negerinya
dan masyarakat di zamannya.”

✅Luqman adalah contoh ideal untuk sebuah hikmah. Bagi yang bisa mencapai apa yang dicapai
Luqman tentu sebuah kenikmatan yang sangat agung dari Allah. Tetapi setidaknya orang tua terus
mencoba hingga memiliki pemahaman, ilmu dan cara bertutur sebelum menasehatkan sesuatu bagi
anaknya.

“Ini adalah puncak hikmah, karena mencakup analisa terhadap hakekat dirinya sendiri sebelum
menganalisa sesuatu yang lain dan sebelum memberi petunjuk bagi orang lain.” (Ibnu Asyur dalam
tafsirnya)

🔑💡Syukur.

Sifat mulia yang menjadi kata yang menggabungkan semua makna hikmah yang telah diberikan Allah
kepada Luqman. Menjadi orang tua, harus kaya dengan rasa syukur.

Pahamilah tema syukur dan hiaskan itu pada diri kita.❤

Untuk memahami lebih jelas, maka ketahuilah lawan katanya.


⛔Kufur: ingkar nikmat. Mengingkari nikmat, sekaligus akan mengingkari Pemberinya. Nikmat yang
sesungguhnya besar, tidak terasa nikmat. Sesuatu yang berkurang sedikit, padahal masih dalam batas
kenikmatan besar jika dibandingkan dengan orang di bawahnya, tidak terasa nikmat. Apalagi musibah,
padahal masih banyak kenikmatan lain dalam hidupnya. Hidup ini serba kurang, gelisah dan keluh kesah.
Padahal jika melihat ke bawah, kita masih jauh lebih baik dari kebanyakan orang yang lain. Karenanya
Nabi memerintahkan untuk melihat orang yang dibawah kita secara nikmat agar tidak mudah
meremehkan nikmat Allah, sekecil apapun.

Bersyukur kepada Allah, kebaikannya tidak dikirimkan kepada Allah yang disyukuri. Tetapi kembali
kepada hamba yang bersyukur itu sendiri. {َ‫}لن ْفسهَ ي ْش ُك َُر فإنَّما ي ْش ُك َْر وم ْن‬

“Sesungguhnya manfaat dan pahalanya kembali bagi mereka yang bersyukur.” (Ibnu Katsir dalam
tafsirnya)

Kata (‫ )فإنَّما‬semakin menguatkan bahwa kebaikannya syukur itu benar-benar hanya kembali kepada
hamba yang bersyukur.

✅Maka, teruslah memupuk rasa syukur agar ilalang keluh kesah itu perlahan layu dan mati. Untuk
menumbuhkan berbagai pohon kebaikan yang lebih manfaat.

🔑💡Hikmah dan Syukur.

✅Menjadi orang tua yang memiliki hikmah

Dan

✅Menjadi orang tua yang pandai bersyukur

Semua kebaikannya akan kembali kepada mereka yang memiliki hikmah dan pandai bersyukur. Di antara
kebaikan itu adalah anak-anak yang terus bergerak menuju sebuah perubahan yang baik dari hari ke
hari. Dengan panduan nasehat-nasehat.

Kembali tentang nasehat Luqman. Belajar darinya. Kita sering kali langsung masuk ke dalam isi nasehat
yang berharga itu. Tetapi sesungguhnya ayat memulai dengan kunci penting tentang pendidikan anak.
Sebelum bicara tentang isi nasehat. Dari sekian banyak interaksi orang tua dengan anaknya bisa berupa
bicara, memandang, senyum, menyentuh, mengusap, dan sebagainya. Nasehat Luqman menunjukkan
mana yang paling istimewa. Dari sekian interaksi antara orang tua dan anaknya, yang paling istimewa
untuk pendidikan anak adalah maudizhah(‫)يعظه‬/nasehat dengan lisan.

Maka bicaralah kepada anak dengan cara menasehati. Nasehat bukanlah sekadar kata perintah dan
larangan. Ia bisa berisi perintah dan larangan seperti nasehat Luqman sendiri. Tetapi perintah dan
larangan yang kaya dengan rasa dan ruh.

Kita harus membedakan antara nasehat dan marah. Nasehat dan hanya instruksi. Nasehat dan serba
larangan. Nasehat dan membongkar aib. Walau nasehat bisa berisi perintah, larangan dan membenahi
aib.
Keberhasilan Luqman mengubah anaknya menjadi baik, karena yang keluar dari lisannya adalah
nasehat. Kalimat (‫يعظه وهو‬/dan dia sedang menasehatinya) terletak setelah Allah menyebutkan (‫آتينا ولقد‬
‫الحكمة لقمان‬/Sungguh telah Kami berikan kepada Luqman Al Hikmah).

Sekali lagi, inilah rahasia kesuksesan kalimat-kalimat Luqman untuk anaknya. Nasehat Luqman berawal
dari Al Hikmah yang dianugerahkan kepadanya.

Ibnu Mushtafa (w: 1306 H) berkata tentang hikmah: Lisan yang berucap kebenaran, fisik yang mampu
mengingkari dan anggota tubuh yang bergerak. Jika bicara, bicara dengan hikmah. Jika berpikir, berpikir
dengan hikmah. Jika bergerak, bergerak dengan hikmah. (Lihat Al Qiyam At Tarbawiyyah Al
Mutadhamminah fi Surati Luqman, Abdul Aziz Abdul Muhsin Muhammad)

Untuk lebih jelas memahami bagaimana Luqman sebagai seorang ayah, Ibnu Katsir meriwayatkan dari
Abu Darda’ radhiallahu anhu yang menyampaikan tentang Luqman,

“Ia tidak diberi seperti yang lain. Tidak keluarga, tidak harta, tidak keluarga terpandang dan tidak modal
kebesaran. Tetapi ia adalah orang yang tegas, pendiam, panjang berpikirnya, dalam analisanya…..ia tidak
mengulangi kalimatnya kecuali dengan kalimat yang mengandung hikmah yang akan diulangi oleh orang
lain.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menafsirkan Al Hikmah dengan: pemahaman, ilmu dan cara menyampaikan.
Kalimat-kalimat Luqman gabungan dari ketiganya. Pemahaman yang dalam, ilmu yang mumpuni dan
cara menyampaikan yang tegas, lembut tetapi penuh perenungan.

Dan begitulah seharusnya kita menjadi orangtua. Jika ingin nasehat bekerja dahsyat pada anak-anak
kita, maka jadilah orangtua yang memiliki Al Hikmah. Al Hikmah ini adalah anugerah Allah seperti dalam
ayat tentang Luqman tersebut, hasil dari kesholihannya. Maka kesholihan orang tua akan menuntun
lisannya untuk mengucapkan hikmah. Mendekat kepada Allah memastikan lisan, hati dan perbuatan
akan ditaburi dengan hikmah. Yang keluar dari lisannya bukan sumpah serapah, hanya kata perintah
atau serba larangan. Bukan juga lisan yang hanya mengalirkan sumbatan amarah di hati. Tetapi lisan
yang menyampaikan ilmu baik yang tersimpan di akal, kelembutan rasa, dan kedalaman ruh yang ada di
hati. Lisan yang menyampaikan dengan bahasa lugas bahkan tegas tetapi bertabur kelembutan bahkan
keindahan.

Jangan Kalah dari Iblis

Iblis adalah musuh nyata anak cucu Adam. Korbannya, bapak manusia itu berikut istrinya. Bagaimana
Adam dan istrinya bisa tertipu oleh Iblis, padahal keduanya telah diberi panduan dan peringatan
langsung oleh Allah yang memberi keduanya kenikmatan surgawi.

Inilah kunci ‘keberhasilan’ Iblis,

‫الناصحين لمن لكما إني وقاسمها‬

Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. “Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang
memberi nasehat kepada kamu berdua” (QS. Al A’raf: 21)
Iblis yang jelas-jelas musuh mencoba mendekat dengan meyakinkan bahwa dirinya bukanlah musuh.
Tetapi pemberi nasehat. Dia hadir bak pahlawan yang membawa kasih sayang dengan untaian kalimat
penuh makna.

Bahkan Iblis bersumpah untuk semakin meyakinkan itu. Bahwa ia benar-benar tulus untuk menasehati.
Ia bersumpah tidak akan mencelakai tetapi akan menolong dan menunjuki sebuah rahasia kebesaran
dan kebahagiaan.

Kalimat jahat Iblis berbungkus nasehat, mampu mengubah. Mengubah kebenaran yang ditunjukkan
Allah kepada Adam agar jangan mendekati pohon yang ditunjuk agar tidak menjadi orang yang dzalim.
Inilah kalimat Iblis yang mampu menggoyahkan Adam dan istri,

َ‫ن رب ُكما نها ُكما ما وقال‬


َْ ‫شجرةَ هذهَ ع‬
َّ ‫َل ال‬ َْ ‫ْالخالدينَ منَ ت ُكونا أ َْو ملكيْنَ ت ُكونا أ‬
ََّ ‫ن إ‬

Dan syaitan berkata: “Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu
berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)”. (Qs. Al A’raf:
20)

Kalimatnya jelas, baik, lugas dan menyampaikan sebuah kebaikan dan kebesaran. Tawaran kebesaran
dan kebahagiaan Iblis inilah yang mampu membuat Adam lupa akan larangan Rabb nya.

Mengapa kalimat Iblis efektif?

Karena disampaikan dengan cara menasehati.

Bukan sekadar memerintah untuk melanggar: Dekati saja pohon itu!

Tidak juga dengan memarahi: Mengapa kamu mau menjadi orang bodoh yang mau dilarang-larang!

Tidak menampakkan permusuhan walau ia musuh. Tetapi menampakkan diri sebagai orang dekat yang
mengasihi.

Dengarkan sekali lagi kalimat Iblis yang ‘menasehati’,

“Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak
menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)”.

Kini, tahukah kita mengapa Iblis ‘berhasil’ mengubah?

Cara Iblis ini selalu menjadi jalan yang ditempuh oleh para pelaku kejahatan dan kerusakan untuk
merayu korbannya. Mereka tidak datang dengan wajah menyeramkan dengan aroma busuknya. Tetapi
hadir sebagai penolong, pengasih yang berucap dengan kalimat penuh makna, lembut, empati dan
menyampaikan jalan kebesaran serta menawarkan kebahagiaan yang lebih besar.

Begitulah,

Para orang tua jangan kalah dari Iblis


Dan

Belajarlah dari Luqman, bahwa kalimat harus nasehat.

Resume “Kurikulum Pendidikan Anak Usia 1-7 tahun” (Bagian 1)


Kajian Bulanan HSMN Depok
Narasumber: Ust. Herfi Ghulam Faizi
Tanggal: 16 April 2016

Bismillaahi rahmaani rahiim..

Pendidikan.. merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan.

Kita dapati urgensi pendidikan di dalam Quran melalui surat Ali Imron. Surat ini
menuturkan bagaimana Imron bersama istrinya, Hana, mendidik putrinya, Maryam.
Kemudian, dituturkan pula bagaimana Maryam mendidik anak laki-lakinya yaitu Isa as
menjadi seorang Rosul Allah.

Pun, jika kita membaca dalam Quran surat Jumuah ayat 2, Allah berfirman, “ialah yang
mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-
benar dalam kesesatan yang nyata”. Dalam ayat ini, disebutkan bahwa Rosul
mengemban tugas untuk mendidik ummatnya.

Beginilah Quran berbicara tentang urgensi pendidikan…

Bahkan, begitu pentingnya pendidikan, Allah menamakan Dzatnya dengan sebutan


“Robb”, dimana kata Robb tersebut salah satunya berasal dari kata “tarbiyah” yang berarti
pendidikan. Di dalam surat Al Alaq ayat 4, Allah berfirman: “Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam,”.

Maka, dengan jelas kita dapati luhurnya pendidikan di dalam Islam.

***

TAHAPAN PENDIDIKAN ANAK

Dalam pembahasan mengenai tahapan pendidikan anak, kita dapati di dalam Al Quran
serta Hadits yang menyebutkan mengenai usia manusia.
Surat Al Ahqaf ayat 15: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada
dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya
adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat
puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau
yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat
berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau
dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.

Ayat ini menunjukkan bahwa empat puluh tahun ialah usia kematangan, ketika seseorang
berdoa agar berbakti kepada orangtua (kematangan adab terhadap orangtua) dan
mampu beramal sholih (kematangan amal sholih).

Hadits Rosulullaah shollallaahu ‘alayhi wassalaam: “Perintahkan lah anak-anak kalian


untuk sholat saat berumur tujuh tahun, dan pukul lah mereka jika tidak sholat saat
berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR Abu Dawud).

Hadits ini menunjukkan bahwa usia tujuh dan sepuluh tahun ialah “pos” atau titik-titik
penting yang mempengaruhi kematangan anak di usia selanjutnya. Hadits ini sekaligus
menunjukkan rentang atau lama waktu pendidikan anak dalam menegakkan sholat yaitu,
tiga tahun (tujuh hingga sepuluh).

Dengan menggunakan landasan hadits tersebut di atas, tahapan pendidikan anak akan
dibagi menjadi per tiga tahun, yaitu:

1. usia 1 – 3 tahun
2. usia 4 – 6 tahun
3. usia 7 – 9 tahun
4. usia 10 – 12 tahun

Dalam psikologi modern, masa usia dini disebut dengan istilah “golden age”. Namun
Rosulullaah sholallaahu ‘ala yhi wassalaam serta para ulama menyebutkan, bahwa usia
awal atau enam tahun pertama ialah “usia fithroh” yang penting untuk membangun
pondasi akhlak anak yang ingin dicapai di usia kematangannya. Keberhasilan
pendidikan pada usia 1 – 6 tahun menentukan keberhasilan pada usia 7 – 10 tahun, dan
keberhasilan pendidikan usia 7 – 10 tahun mempengaruhi nilai-nilai yang akan dianut
anak ketika mencapai usia di atas 10 tahun, dst.

Perhatikan, bahwa mendidik anak ialah membangun, seperti halnya membangun dinding
yang kokoh, bagaimana kita membangun pondasi di awal kemudian setahap demi
setahap dinding bertambah kokoh dan tinggi. Mendidik bukan seperti “puzzle”, dimana
kita menempel kan satu potongan ke potongan lainnya. Ketika kita mendapatkan suatu
ilmu, kita “tempelkan” ke anak. Ketika mendapatkan ilmu lain lalu kita “tempelkan” lagi ke
anak. Potongan demi potongan yang kita tempelkan itu sesungguhnya tidak
mengokohkan!

Ingat, bagaimana Allah menggambarkan di dalam al Quran seorang Muslim yang baik
layaknya pohon yang akarnya menancap kuat dan cabangnya menjulang ke langit, yang
menghasilkan buah manis dengan izin Robbnya. Itu lah yang kita harapkan dari
pendidikan anak-anak kita.

***

KURIKULUM PENDIDIKAN ANAK

Pembahasan mengenai kurikulum pada masing-masing tahapan pendidikan anak akan


meliputi tiga hal:

1. Kebutuhan dasar atau pokok yang dibutuhkan anak


2. Bahaya atau ancaman yang dapat terjadi pada anak di usia tersebut
3. Nilai-nilai yang perlu ditanamkan pada anak

I. KURIKULUM PENDIDIKAN ANAK USIA 1 – 3 TAHUN

Anak pada usia 1 – 3 tahun diumpamakan seperti tanah yang sedang subur-suburnya,
apapun yang ditanam pada tanah itu, maka in sha Allah akan tumbuh. Begitu pun jika
kita menanamkan nilai-nilai yang bermanfaat pada anak usia 1-3 tahun, maka in sha Allah
nilai itu akan bermanfaat hingga anak tumbuh dewasa.

Kebutuhan Dasar atau Pokok yang Dibutuhkan Anak

1. Kebutuhan Makanan

Di dalam al Quran, usia ini disebut dengan usia Rodho’ah atau usia penyusuan. Saat
Rodho’ah, al Quran menganjurkan kepada wanita untuk menyempurnakan persusuan
selama dua tahun secara utuh jika tidak ada udzur.

Para ulama menyebutkan bahwa menyusui merupakan amalan yang paling utamabagi
seorang ibu setelah melahirkan. Hal ini disebabkan karena menyusui ialah ibadah yang
terkait dengan momentum. Ibadah yang terkait dengan momentum artinya, bahwa tidak
ada ibadah lain yang lebih utama, lebih tinggi nilainya, dibandingkan dengan ibadah lain
karena terkait waktu. Sebagai contoh, ketika waktu sholat Jumat tiba, maka amalan yang
paling utama ialah bersegera memenuhi panggilan sholat Jumat untuk menunaikan
sholat, bukan amalan lainnya seperti sedekah, membangun masjid, dsb. Maka, begitu
juga dengan menyusui bagi ibu yang baru melahirkan. Menyusui merupakan ibadah yang
paling utama dan jalan yang paling cepat untuk mendekatkan diri kepada Allah bagi
seorang ibu. Bahkan ada hikmah yang terkandung di dalam nifas. Allah memberikan
kelonggaran atau udzur bagi ibu yang nifas untuk meninggalkan sholat, puasa, dsb agar
ibu bisa optimal mendampingi anak yang baru lahir.

Menyusui merupakan bagian dari pendidikan yang paling lama di tahapan usia ini karena
ia begitu penting. Allah menyebutkan kisah mengenai ibunda Musa yang menyusui
secara khusus pada kisah nabi Musa as di dalam al Quran. Bahkan Rosulullaah
sholallaahu ‘alayhi wassalaam menunda hukum rajam bagi ibu yang telah berzina hingga
selesai masa penyusuannya karena begitu pentingnya menyusui. Menyusui merupakan
bentuk kasih sayang kepada sang anak agar anak tumbuh kuat jasmani serta rohaninya.
*

Disebutkan bahwa ada sebuah penelitian di Suriah terhadap dua kelompok anak usia 1
hingga 6 tahun. Kelompok pertama merupakan anak-anak yang langsung diasuh oleh
ibunya. Sementara kelompok kedua ialah anak-anak yang dimasukkan ke yayasan
pendidikan sosial (seperti taman bermain, sekolah, dsb) yang berpisah dengan ibunya
selama beberapa jam per hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak di
kelompok pertama menunjukkan kematangan dan ketenangan sikap yang lebih baik
dibandingkan dengan anak-anak pada kelompok kedua meskipun anak tersebut berada
di yayasan pendidikan terbaik.

Lembaga pendidikan terbaik ialah ibu. Masa-masa menyusui amat mahal untuk
dilewatkan. Menyusui bukan hanya untuk menguatkan jasmani anak, namun juga untuk
membangun rohaninya. Ketika menyusui, ibu bukan sekadar memberikan ASI, namun
mentransfer nilai-nilai bahkan keimanan. Penting bagi seorang ibu untuk menjaga
ketenangan diri ketika menyusui, sebagaimana disebutkan di dalam al Quran bahwa
Allah menghibur Maryam agar jangan bersedih setelah ia melahirkan. Maka, dampingi
lah anak di masa-masa ini, dampingi secara utuh bukan hanya oleh ibu namun juga
ayahnya.

2. Kebutuhan Perhatian

Anak membutuhkan perhatian dari ayah dan ibunya. Dr. Muhammadn Khoyr Asya’al
menyebutkan bahwa pengasuhan oleh orang yang berbeda-beda (misalnya suatu hari
diasuh bibi, di lain hari di asuh nenek, dan di hari lain di asuh tetangga) bagi anak di usia
tiga tahun pertama akan membahayakan hubungan cinta anak dengan orangtua
nya yang tidak dapat ditebus ketika usia anak terlewat. Oleh karena itu, penting untuk
membangun hubungan cinta antara orangtua dan anak yang erat dan kuat di usia ini.
Perhatikan fenomena yang muncul di anak-anak usia “remaja” yang memiliki hubungan
yang kurang baik dengan orangtuanya, atau memiliki adab yang kurang baik terhadap
orangtuanya, jika ditelusuri kembali salah satunya disebabkan karena adanya kesalahan
pola hubungan orangtua dan anak di tiga tahun pertama.

Bahaya atau Ancaman bagi Anak


Setelah masa menyusui di dua tahun pertama, tibalah masa penyapihan. Penyapihan
dapat menjadi bahaya atau ancaman bagi anak jika dilakukan secara tidak tepat. Dalam
pandangan anak, limpahan cinta yang ia dapatkan sebelumnya berubah ketika disapih
dengan tidak tepat. Jika penyapihan tidak tepat, penyapihan dapat meruntuhkan
hubungan atau bangunan cinta orangtua dengan anak yang telah dibangun di masa
penyusuan sebelumnya, dan memunculkan rasa benci dalam diri anak.

Oleh karena itu, penyapihan perlu dipersiapkan dengan baik, tidak bisa hanya dalam
waktu 1 atau 2 hari, agar hubungan cinta itu tetap terjaga dengan baik. Para ulama
menyarankan bahwa pelukan, dekapan dan usapan di kepala anak harus diberikan ketika
anak sudah tidak disusui. Ketika anak meminta disusui, berikan pelukan, dekapan dan
usapan tersebut kepada anak.

Nilai-nilai yang Perlu Ditanamkan pada Anak

Ingat, usia ini diumpamakan tanah yang subur. Maka tanamkan lah sebanyak banyaknya
nilai kebaikan. Dalam usia ini yang perlu ditanamkan ialah:

1. Al Hubbu/Cinta

Beberapa penelitian pada pelaku tindak kriminal menyebutkan bahwa pelaku tindak
kriminal tersebut tidak mendapatkan kasih sayang atau cinta dari orangtuanya, baik
secara terpaksa (seperti karena orangtua meninggal) atau karena orangtuanya ada
namun tidak memberikan cinta padanya. Cinta begitu penting bagi anak. Cinta dalam
bahasa anak usia 1 hingga 3 tahun bukan berupa ungkapan atau kata-kata “sayang” dan
sebagainya, atau pun berupa hadiah dan pemberian. Anak belum mengerti arti ungkapan
maupun nilai suatu hadiah. Bagi anak, bahasa cinta yang dimengerti oleh anak ialah
keberadaan dan perhatian orangtua ketika duduk bersama-sama dengan anak. Maka,
perbanyaklah duduk dan habiskan waktu bersama anak sebagaimana Rosulullaah
sholallaahu ‘alayhi wassalaam menghabiskan waktu dengan cucu-cucunya, Hasan dan
Husein untuk bermain, atau ketika beliau menggendong Umamah, cucu beliau dari
Utsman bin Affan ra, ketika beliau sholat.

2. Al Lughoh/Bahasa

Mari belajar pentingnya bahasa dari Imam Syafi’i dan Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi
wassalaam.

Imam Syafi’i merupakan ahlul bayt, nasabnya bertemu dengan nasab Rosulullaah
sholallaahu ‘alayhi wassalaam di Abdu Manaf (kakek Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi
wassalaam yang kedua)**. Karena sang ibu ingin menjaga agar Imam Syafi’i tidak
melupakan asal usulnya tersebut, maka ia dibawa hijrah dari Gaza menuju Mekkah.
Ketika masih kecil ia tinggal bersama dengan suku Hudzail yang berada di dekat Mekkah.
Pada saat itu, suku Hudzail merupakan suku yang memiliki bahasa Arab terfasih. Karena
itulah, Imam Syafi’i tumbuh dengan bahasa Arab yang fasih dan memiliki kemahiran
dalam bersyair. Diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata “Seandainya di dalam
syair itu tidak terdapat kebohongan, tentulah aku menjadi seorang penyair”. Meskipun
demikian, beliau memiliki gubahan syair terutama syair-syair mengenai ilmu, perantauan,
dan lain-lain yang menunjukkan kecintaan beliau terhadap bahasa dan syair. Kecintaan
terhadap bahasa itu tumbuh karena pendidikan di masa awal bersama dengan suku
Hudzail.

Begitu pula dengan Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi wassalaam. Rosulullaah sholallaahu


‘alayhi wassalaam menghabiskan lima tahun pertama di Bani Saad bersama dengan
Halimah dan keluarganya. Pada saat itu, Bani Saad pun terkenal dengan kefasihan
bahasanya. Pernah suatu ketika, Abu Bakar ra berkata, ” Ya Rosulullaah, aku tidak
pernah menemui orang Arab yang lebih fasih daripada dirimu”. Rosulullaah menjawab,
“Aku ialah orang Quraisy yang paling fasih karena aku di asuh di perkampungan Bani
Saad”. Dari jawaaban beliau, jelas bahwa beliau mengaitkan kefasihan beliau dengan
pengasuhan masa kecilnya di Bani Saad.

Pelajaran yang dapat dipetik ialah..

1. Gunakan bahasa yang benar dengan anak, jangan menggunakan bahasa cadel.
2. Hindarkan berinteraksi dengan orang yang berbahasa buruk seperti suka
mencela, memaki, mengolok atau mengeluh.
3. Jangan biarkan anak duduk sendiri di depan televisi, karena media banyak
mengandung nilai yang dapat merusak pendidikan anak di tahapan selanjutnya.
4. Gunakan kalimat-kalimat dengan pola berirama atau nada; seperti dalam
mengucapkan kalimat-kalimat thoyyibah, dalam membaca doa-doa harian, dalam
membaca surat-surat pendek sehingga lebih mudah diingat.

Kefasihan dalam berbahasa dan kemampuan berbahasa yang baik begitu penting.
Seringkali kesalahan dalam suatu perkara disebabkan karena kekeliruan berbahasa.
Begitu pentingnya kefasihan berbahasa, hingga dikisahkan dalam al Quran bahwa nabi
Musa as memohon kepada Allah agar beliau didampingi Harun as ketika menghadapi
Firaun, karena Harun as memiliki lisan yang lebih fasih. Maka, pendidikan berbahasa
yang baik penting bagi anak di usia awalnya.

Resume “Kurikulum Pendidikan Anak Usia 7 – 9 tahun” (Bagian 3)


Kajian Bulanan HSMN Depok
Narasumber: Ust. Herfi Ghulam Faizi
Tanggal: 15 Mei 2016
Bismillaahi rohmaani rohiim..

Apakah visi pendidikan anak dalam keluarga Muslim?

Visi pendidikan anak dalam keluarga Muslim bukan sekadar menjadikan anak cerdas,
atau menguasai keahlian tertentu atau bakatnya, atau bukan pula memiliki profesi yang
baik. Visi pendidikan keluarga Muslim terdapat di al Quran surat at Tahrim ayat 6 yaitu
untuk menjaga anak-anak kita dari api neraka! Anak yang bahagia dan sukses bukan
hanya di dunia, namun juga kelak di akhirat.

Dalam ayat berikutnya di surat yang sama, Allah mengingatkan bahwa pendidikan anak
harus berorientasi kepada akhirat, jika kita mengarahkan pendidikan anak hanya untuk
dunia, maka kita sama halnya seperti orang-orang kafir.

Kemudian di ayat 8 di surat yang sama, Allah memperingatkan kita untuk memperbanyak
taubat. Taubat berbeda halnya dengan istighfar, taubat dilakukan untuk kesalahan yang
besar sementara istighfar ialah untuk kesalahan yang kecil.

Setelah Allah memberikan visi pendidikan keluarga Muslim di ayat 6, Allah


memperingatkan kita untuk memperbanyak taubat. Mengapa demikian? Ini berarti bahwa
kesalahan dalam pendidikan anak merupakan kesalahan yang besar, yang kita perlu
bertaubat padanya, bukan sekadar istighfar. Kesalahan pendidikan anak bukan hanya
akan menyengsarakan anak di dunia namun juga di akhirat.

Oleh karena itu, kita perlu belajar dari Quran, Sunnah, Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi
wassalaam dan para sahabat, generasi terbaik yang paling utama, mengenai pendidikan
anak. Bahkan Allah telah memerintahkan generasi-generasi nabi Musa ‘alayhi salaam
agar belajar kepada generasi terbaik itu di dalam Taurot, begitu pula Allah
memerintahkan generasi nabi Isa ‘alayhi salaam agar belajar kepada generasi para
sahabat di dalam Injil. Padahal, ketika Taurot dan Injil diturunkan kepada kaumnya nabi
Musa dan nabi Isa, generasi Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi wassalaam ini belum hadir.
Jika umat-umat terdahulu saja belajar kepada generasi para sahabat, bukan kah kita
lebih pantas untuk belajar dari Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi wassalaam dan generasi
para sahabat itu?

Pada bagian sebelumnya telah di bahas mengenai pendidikan anak pada fase 1-3 tahun
dan 4-6 tahun. Kali ini, pembahasan akan meliputi pendidikan anak pada fase 7-9 tahun.

Sekilas, mari kita kilas sedikit mengenai pendidikan anak pada fase 4-6 tahun.

Pada fase ini, anak ialah peniru yang ulung, maka alangkah baik jika kita menanamkan
kebaikan-kebaikan dalam diri anak. Bagaimana caranya? Yaitu, dengan membangun
interaksi al Quran dalam diri anak, karena al Quran ialah sumber dari segala kebaikan,
segala kebaikan terangkum di dalamnya. Oleh karena itu, pada fase ini, bangun cinta
anak kepada al Quran terlebih dahulu, sebelum anak mengenal nilai-nilai di dalamnya
atau mengajarkan hafalan al Quran kepadanya. Dengan membangun cinta terlebih
dahulu, anak akan lebih mudah menerima nilai-nilai yang ada di dalamnya. Dengan
membangun cinta terlebih dahulu, anak akan lebih mudah menghafal al Quran.

Bagaimana cara membangun kecintaan anak terhadap al Quran?

Pertama, ceritakan kisah interaksi para sahabat dan salafush sholih dalam berinteraksi
dengan al Quran, kisah bagaimana Allah memuliakan orang-orang yang dekat dengan al
Quran, atau kisah mengenai 80 orang pemuda yang belajar al Quran*, atau kisah
mengenai Imam Syafi’i, kisah-kisah yang menggugah tentang penghafal al Quran untuk
menggugah semangat mereka.

Kedua, kaitkan segala pertanyaan anak dengan al Quran, apapun pertanyaan mereka
sesungguhnya ada di al Quran. Dahulu, para sahabat tumbuh begitu dekat dengan al
Quran karena Allah mendidik mereka untuk menyelesaikan segala masalah dengan al
Quran. Ketika ada suatu masalah, mereka selalu menunggu wahyu dari Allah untuk
memberikan jawabannya dari al Quran. Dengan pola yang sama, maka diharapkan anak
dapat bergantung pada dan dekat dengan al Quran. Jika ada suatu permasalahan anak
mengingat pada al Quran, itu ialah pertanda baik bahwa karakter Quran tumbuh dalam
dirinya.

III. Kurikulum Pendidikan Anak usia 7 – 9 tahun

Kebutuhan Dasar atau Pokok yang Dibutuhkan Anak

Pada usia ini, secara fitroh anak sudah menunjukkan kemandirian dirinya, melakukan
suatu tanggung jawab, dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Anak sudah mampu
untuk mengerjakan suatu tugas yang bersifat spesifik (atau dengan instruksi jelas) yang
diamanahkan kepadanya. Anak pun mulai memperhatikan urusan rumah tangga,
bagaimana orangtua mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan ikut terlibat di dalamnya.

Selain itu, anak sudah memperhatikan kehidupan sosialnya. Ketika ia misalnya di-
bully atau dikucilkan oleh teman-teman bermainnya, ia akan merasakan adanya dampak
sosial, ia tidak bisa lagi bersikap cueksebagaimana pada fase sebelumnya. Hal ini
disebabkan munculnya keinginan untuk berinteraksi sosial dalam diri anak. Ia juga sudah
mampu memilih teman yang sesuai dengan dirinya. Itu lah sebabnya mengapa kita perlu
membangun “selera baik” pada anak di fase sebelumnya. Jika seleranya sudah
terbangun dengan baik, kita tidak perlu kuatir dengan siapa ia berteman. Pada usia ini,
anak pun sudah bisa berargumentasi atas pilihan-pilihannya.

Dan yang paling penting, anak pada usia ini, secara fitroh, sudah muncul dahaga atas
spritualitas (kecuali jika pada fase sebelumnya tidak ditanamkan soal spiritualitas, maka
fitroh ini bisa saja tidak muncul). Itulah mengapa pada usia ini Rosulullaah sholallaahu
‘alayhi wassalaam memerintahkan para orangtua untuk memerintahkan anak sholat,
termasuk juga ibadah lainnya (sholat dijadikan landasan mengapa anak juga harus
diperintahkan melaksanakan ibadah lainnya, karena sholat ialah amalan utama yang
akan dihisab kelak). Jika pada usia ini tidak tampak tanda religiulitas dalam diri anak,
maka bisa jadi kita telah merusak fitroh anak di fase fase sebelumnya.

Jika kita perhatikan sejak pembahasan pembahasan sebelumnya, sesungguhnya Allah


telah mengatur fitroh anak pada fase usianya masing-masing. Sehingga, tugas utama
orangtua sesungguhnya ialah memupuk dan menyiram fitroh fitroh tersebut. Orangtua
berperan untuk menciptkan kondisi agar fitroh-fitroh tersebut tumbuh subur dalam diri
anak.

Pada fase usia 7-9 tahun ini, tugas pokok orangtua ialah memuaskan dahaga spiritualitas
anak, dan mengaitkannya dengan perihal ghoib. Pertumbuhan spiritualitas anak tumbuh
dengan dahsyat. Anak akan mudah mengikuti orangtua dalam perkara ibadah. Jika
orangtua sholat, anak pun akan sholat. Arahkan anak untuk melaksanakan sholat dan
ibadah-badah lainnya, seperti do’a, dzikir, silaturrohim, dsb.

Selain dahaga spiritualitas, pada usia ini timbul kecenderungan merenung dalam diri
anak. Jika dihadapkan pada suatu permasalahan, anak akan cenderung menarik diri,
kemudian memikirkan permasalahan tersebut. Salah satu hikmahnya, mengapa
Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi wassalaam memerintahkan anak untuk sholat pada usia
ini, karena sholat membutuhkan perenungan dan penghayatan.

Untuk mengasah kemampuan perenungan anak, ajak anak sesering mungkin untuk
mengamati alam. Ajak ia untuk melihat langit biru siapa yang menciptakan, melihat daun
siapa yang mewarnainya, melihat kasih sayang burung terhadap anak-anaknya dsb.
Anak usia ini senang memperoleh informasi melalui orangtuanya, bukan hanya tentang
alam, bahkan termasuk kisah-kisah mukjizat para rosul dan nabi. Ketika diajak untuk
mengamati sesuatu, ia tidak akan menganggap orangtuanya “lebay”, namun ia akan
tertarik untuk turut mengamati dan berpikir. Berbeda dengan anak pada usia selanjutnya,
jika diajak untuk mengamati sesuatu, sangat mungkin ia akan berpikir orangtuanya
berlebihan. Sedapat mungkin, jauhkan atau kurangi interaksi anak dari gadget, televisi,
games, dsb. Karena hal-hal demikian dapat mematikan kecenderungan anak untuk
berpikir dan merenung.

Contoh dialog perenungan antara orangtua dengan anak:

Orangtua mengajak anak melihat pohon jati, lalu berkata, “Lihat nak, ini pohon jati. Pohon
ini banyak berpuasa. Ketika musim kemarau, ia gugurkan daunnya, untuk membuat
lingkaran baru pada batangnya. Setiap tahun bertambah lah satu lingkaran, semakin
lama semakin banyak sehingga kualitas kayunya sangat tinggi. Begini lah ibarat orang
yang berpuasa. Jika kamu ingin berkualitas tinggi, nak, perbanyak lah puasa…”
Orangtua mengajak anak melihat daun yang berguguran, lalu berkata, ” Nak, tahu tidak,
jumlah daun yang berguguran ini ada berapa?”. Anak kemungkinan besar akan
menjawab, “Tidak tahu…”. Maka orangtua bisa mengatakan, “Tapi, Allah tahu, nak. Allah
tahu setiap daun yang berguguran. Karena tidak ada daun yang jatuh, kecuali sudah
tertulis di Lauh Mahfudz…”.

Selain mengasah sifat merenung dalam diri anak seperti di atas, ceritakan kepada anak
kisah para sahabat, dan ajarkan pula tauhid, fiqih, dsb, karena sebentar lagi ia akan
memasuki usia baligh. Ketika ia berusia baligh, akan jatuh taklif sebagaimana orang
dewasa. Ajarkan anak pula mengenai fiqih thoharoh. Dengan fiqih thoharoh, orangtua
sesungguhnya tidak perlu mengajarkan anak tarbiyah jinsiyah (pendidikan seksual).
Pendidikan seksualitas sesungguhnya terdapat di fiqih thoharoh dan fiqih nikah.
Menjelang usia baligh, ajarkan anak fiqih thoharoh. Kemudian ajarkan anak fiqih menikah
ketika anak usia remaja (kira-kira menengah atas). Pendidikan seksualitas tidak perlu
berdiri sendiri, namun ia ada dalam fiqih thoharoh. Ketika pendidikan seksualitas berada
dalam fiqih, anak teringat akan hukum-hukum dan aturan dari Allah, bukan tentang organ-
organ seksual semata.

Untuk menumbuh suburkan spiritualitas dalam diri anak, ada beberapa kaidah yang patut
diperhatikan:

1. Kaidah Cinta

Motivasi anak untuk mempelajari agamanya dengan cinta. Hadapi pembangkangan anak
dengan lemah lembut. Ceritakan karunia dan rahmat Allah, kenikmatan syurga, serta
kurangi pembicaraan mengenai neraka agar anak tumbuh dengan kecintaan kepada
Allah, bukan karena takutnya. Allah sendiri memerintahkan Rosulullaah sholallaahu
‘alayhi wassalaam sebagai pembawa kabar gembira danperingatan. Maka tanamkan
kecintaan kepada Allah, ibadah, Quran dsb terlebih dahulu.

2. Kaidah Pujian

Puji dan banggakan anak atas kebaikannya di hadapan orang lain yang ia cintai dan
dirinya sendiri. Bahkan untuk kebaikan sekecil apapun itu, seperti hanya sekadar
membaca doa setelah bangun tidur. Karena Allah sendiri punmemuji muslim yang
melakukan kebaikan sekecil apapun itu, seperti halnya tersenyum ketika berjumpa
dengan muslim lainnya. Perbanyak pujian untuk memotivasi anak, karena kurangnya
pujian bisa jadi membuat anak kurang termotivasi untuk melakukan amalan. Tidak perlu
kuatir dengan pujian yang dapat mendatangkan riya, karena anak belum mencapai taklif.

3. Kaidah Kesan Baik

Hadirkan kesan baik dalam diri anak tentang ibadah-ibadah dan perintah-perintah
agama. Permudah, dan jangan dipersulit. Misalnya, ketika mengajak anak untuk
berpuasa, dan ketika jam 10 anak sudah tidak kuat berpuasa, maka biarkan ia berbuka,
jangan dipaksakan. Sebagaimana dalam hadits, Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi
wassalaam memberikan mainan untuk memalingkan anak-anak dari rasa lapar ketika
berpuasa, namun ketika anak-anak sudah tidak mampu maka izinkan lah berbuka.

4. Kaidah Hadiah

Berikan hadiah kepada anak atas pencapaiannya, seperti ketika berhasil menghafal surat
tertentu, sholat, dsb. Hadiah merupakan pengokohan atau untuk menyuburkan kebaikan
yang anak sudah lakukan. Selanjutnya, kita dapat menghentikan pemberian hadiah yaitu
ketika anak sudah kokoh dengan ibadahnya tanpa perlu diberi hadiah lagi. Tidak perlu
kuatir anak akan gila hadiah, karena sesungguhnya Allah telah mengatur kecenderungan
dalam diri manusia untuk bosan dengan suatu pola yang sama terus menerus. Pun anak,
akan mengalami kebosanan dengan hadiah nantinya.

5. Kaidah Menekan

Menekan atau “pushing”, merupakan kaidah yang sebenarnya tidak dianjurkan untuk fase
ini. Misalkan, anak diajak ke masjid namun sedang asyik bermain dengan temannya, lalu
kita menekan dengan menakut-nakutinya dengan azab neraka. Alih-alih demikian,
biarkan anak bermain, kemudian sepulangnya kita dari masjid kita bisa mengajak anak
untuk sholat, dengan menemaninya berwudhu, atau dengan cara lainnya.

6. Kaidah Keteladanan

Pendidikan anak seperti halnya cermin, anak akan mengikuti apa yang dilakukan
orangtuanya. Perhatikan pula tempat anak bersekolah. Pilih sekolah karena guru dan
orang-orang sekitarnya, bukan hanya karena fasilitasnya, karena anak akan berinteraksi
lebih banyak dengan guru dan bukan dengan fasilitasnya. Imam Ghazali dalam kitabnya,
Ihya ‘Ulummiddin, mengatakan bahwa guru seperti ranting, jika bengkok maka
bayangannya juga bengkok, dan jika lurus maka bayangannya juga lurus. Guru
memperngaruhi anak kita. Dalam memilih sekolah perlu diperhatikan pula, bagaimana
orang-orang di sekitar mereka yang lainnya termasuk satpam, cleaner service, dsb.

Bahaya atau Ancaman bagi Anak

Yang perlu diperhatikan pada fase usia ini ialah hukuman bagi anak. Hindarkan sedapat
mungkin, hukuman dengan memukul karena hal ini dapat merusak fitroh anak kita. Jika
hukuman sangat diperlukan, maka pilih lah hukuman yang bersifat non fisik, seperti
mengabaikan atau cuek terhadap anak. Mengabaikan merupakan hukuman yang
dicontohkan Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi wassalaam kepada Ka’ab bin Malik karena
ia tidak mengikuti Perang Tabuk, dimana Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi wassalaam
mendiamkan beliau selama 40 hari. Alternatif lainnya, ialah dengan membatalkan atau
mengurangi hal-hal yang disukainya (misalnya membatalkan jalan-jalan yang ia inginkan)
atau dengan meminta anak untuk duduk atau berdiri menghadap ke tembok atau di dalam
ruangan tertentu selama beberapa waktu sehingga membuat anak menjadi jenuh namun
tidak menakutkan baginya.

Jika hukuman-hukuman tersebut ternyata tidak efektif untuk memperbaiki kesalahan


anak, maka para ulama membolehkan hukuman pukulan bagi anak. Pun, orangtua harus
mengetahui bagaimana cara memukul yang baik atau fiqih memukul. Tunjukkan cinta
kepada anak, jangan pukul anak dalam kondisi marah. Ketahui bagian-bagian mana saja
yang boleh dipukul (di bagian yang berkulit tebal, bukan di muka, bukan di bagian yang
terasa sakit). Jangan pukul anak di depan orang yang dicintainya atau di depan anak lain
yang menjadi saingannya, lakukan ketika ia sendiri. Ingat, selalu tunjukkan cinta kepada
anak, dan jangan lakukan dalam keadaan spontan.

Selain hukuman, hindari permainan-permainan maya dari gadget, dsb. Karena ia akan
melemahkan akal anak, dan anak hidup di dunianya sendiri.

Nilai-nilai yang Perlu Ditanamkan pada Anak

Mengenai penanaman nilai dalam diri anak, perhatikan analogi tersebut: Buat garis kecil
pada balon, lalu tiup balon tersebut. Bagaimana kondisi garis tadi? Garis tadi tentunya
akan mengembang seiring dengan berkembangnya balon. Begitu pula kondisi nilai yang
ditanamkan pada anak usia ini. Sekecil apapun nilai itu, nilai itu akan berkembang terus
seiring dengan usia anak.

Dalam pendidikan, jika yang kita tanamkan ia pokok-pokok atau “biang-biang”nya ilmu
terlebih dahulu, maka ketika anak tumbuh, ia akan lebih mudah mempelajari cabang-
cabangnya kemudian. Itulah mengapa ada urutan dalam menuntut ilmu. Pada anak-anak
usia ini ajarkan matan-matan ilmu syar’i terlebih dahulu (misalnya matan Abu Syuja),
nanti ketika anak tumbuh ia akan mampu menguasai cabang ilmunya. Begitu lah para
ulama dahulu menuntut ilmu.

Mari belajar dari Nu’man bin Basyir.

Nu’man bin Basyir ialah periwayat hadits nomor enam dalam hadits arba’in yaitu hadits
mengenai syubhat, sebagai berikut: “Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana
yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar-
yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari
perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.
Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara
haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar
tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah
larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-
Nya…” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599).
Ketika Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi wassalaam wafat, usia Nu’man bin Basyir baru
sembilan tahun. Perhatikan, bahwa ia telah meriwayatkan suatu hadits yang
sesungguhnya bernilai besar padahal usianya masih belia. Mengapa hadits tersebut
bernilai besar? Karena Imam Abu Dawud, menggolongkan hadits tersebut di atas
sebagai salah satu dari empat hadits pokok yang perlu dipelajari oleh seorang muslim
dari ratusan ribu hadits yang beliau hafal. Empat hadits pokok tersebut ialah hadits
mengenai niat, mengenai kecakapan islam, mengenai kesempurnaan iman, dan
mengenai syubhat (yaitu yang diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir di atas). Dengan
empat hadits tersebut, jika seorang muslim dapat memahaminya dengan baik maka ia
sudah dapat memahami Islam secara utuh, karena keempat hadits tadi sudah mencakup
aqidah, ibadah, muamalah, dan akhlak (pokok-pokok Islam). Masing-masing hadits
bernilai seperempat agama. Maka, dapat dikatakan bahwa Nu’man bin Basyir sudah
meriwayatkan perkara yang bernilai seperempat agama di usia yang sangat belia! Ma
sya’ Allah.. Ketika dewasa, Nu’man bin Basyir menjadi seorang ulama besar di Homs,
Syam.

Perhatikan bahwa Nu’man bin basyir diajarkan perkara yang pokok, yaitu mengenai
syubhat, dari Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi wassalaam. Hadits ini kemudian yang
menjadi rujukan banyak cabang ilmu. Maka, inilah yang menjadi panduan mengapa
diperlukan urutan dalam belajar. Di usia tersebut, ajarkan anak-anak perkara-perkara
pokok, yang kemudian perkara itu nantinya akan berkembang seiring dengan bertambah
usianya. Jangan gegabah dalam memananamkan ilmu pada anak. Jangan pula serta
merta ketika ada ilmu, langsung diajarkan kepada anak. Sekali lagi, perhatikan urutan
belajar, mulai dari yang pokok.

Selain Nu’man bin Basyir, ada Hasan bin Ali. Ketika Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi
wassalaam wafat, usianya baru tujuh tahun. Namun, Hasan bin Ali meriwayatkan suatu
hadits yang dipakai oleh hampir seluruh muslim di duniapada saat ini, yaitu bacaan sholat
witir. Itu artinya, Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi wassalaam telah mengajarkan bacan
sholat witir kepada Hasan bin Ali sebelum ia berusia tujuh tahun. Bayangkan di usia yang
begitu muda, Hasan bin Ali telah diajarkan bacaan sholat yang sunnah (sunnah
muakkad). Ma sya’ Allah.. Itu artinya Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi wassalaam telah
mengajarkan yang pokok terlebih dahulu di usia Hasan yang begitu belia. Lagi-lagi ini
pula yang menjadi panduan mengapa perkara yang pokok itu perlu diajarkan terlebih
dahulu sebelum yang lain.

Resume “Kurikulum Pendidikan Anak Usia 1-7 tahun” (Bagian 2)


Kajian Bulanan HSMN Depok
Narasumber: Ust. Herfi Ghulam Faizi
Tanggal: 16 April 2016

II. Kurikulum Pendidikan Anak usia 4 – 6 tahun


Kebutuhan Dasar atau Pokok yang Dibutuhkan Anak

Anak pada usia 4 -6 tahun memiliki gejolak dalam gerak dan gejolak dalam bahasa. Ia
sangat aktif untuk senantiasa bergerak dan juga banyak bicara. Ia pun sangat suka
meniru, apapun bisa ditirunya.

1. Kebutuhan Bermain

Bermain bagi anak, ibarat bekerja bagi orang dewasa. Maka, anak yang tidak bermain
sama halnya seperti orang dewasa yang menganggur atau tidak bekerja. Rosulullaah
sholallaahu ‘alayhi wassalaam bersabda, “Gerak anak di usia kecil akan menambah
kecerdasaan akalnya”. Bahkan, al Quran menyebutkan fitroh bermain anak dalam kisah
nabi Yusuf ‘alayhi salaam. Maka, biarkan anak banyak bergerak, bersikap lapang lah jika
sesekali anak memecahkan gelas atau lainnya. Bahkan patut menjadi perhatian jika anak
sedikit bergerak, kecuali jika dalam keadaan belajar.

Begitu pentingnya bermain bagi anak, maka ada panduan yang patut kita simak:

1. Jangan batasi waktu bermain anak, tidak perlu memberi syarat lama waktu
bermain di awal
2. Berikan kesempatan sekali dalam seminggu bagi anak untuk bermain di tanah
atau tempat yang lapang untuk ia berlari, melompat, memanjat, dsb. Biarkan anak
bermain lepas.
3. Jangan bosan jika anak mengajak kita bermain permainan yang sama berulang-
ulang
4. Manfaatkan permainan-permainan yang bermanfaat untuk mengobati akhlak anak
(Dalam pemahaman penulis, ialah untuk mengajarkan adab, bagaimana
berbicara, dsb. Perhatikan, ketika anak bermain boneka, anak meniru bagaimana
kita mengasuh bayi kita).

Ibnu Sina memberikan penjelasan mengenai rutinitas anak pada usia ini dengan cukup
detail, yang dapat dijadikan sebagai panduan:

1. Setelah anak bangun tidur, biarkan anak tenang sebentar.


2. Biarkan anak bermain untuk beberapa waktu.
3. Setelah cukup bermainnya, beri ia makan sedikit.
4. Biarkan anak bermain-main kembali.
5. Setelah itu, beri anak sarapan pagi.

Rentang waktu yang cukup lama antara bermain dengan makan, sehingga anak tidak
menolak makanan. Bahkan Ibnu Sina memberikan penjelasan mengenai penataan
rumah yang sangat detail dalam pendidikan anak-anak (tidak dibahas lebih lanjut)
Melalui hadits, kita juga mengetahui bahwa Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi wassalaam
sangat sering bermain dengan anak-anak, cucu-cucunya, keponakannya, dan anak para
sahabat. Ada suatu hadits yang meriwayatkan tentang Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi
wassalaam dan Abu Umair, anak kecil yang suka bermain burung; yang melalui hadits
tersebut, Imam Syafi’i menurunkan hingga 100 istinbath mengenai pendidikan anak. Dari
Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi wassalaam kita melihat besarnya faidah bermain dengan
anak, maka luangkan waktu untuk bermain dengan anak-anak kita.

2. Kebutuhan Berdialog

Perhatikan, al Quran mengangkat begitu banyak contoh dialog antara ayah dengan
anaknya, misalnya Ibrohim ‘alayhi salaam dengan Ismail ‘alayhi salaam, Yaqub ‘alayhi
salaam dengan Yusuf ‘alayhi salaam, Nuh ‘alayhi salaam dengan Kan’an, Luqman
dengan putranya. Dialog-dialog tersebut dapat dijadikan panduan bagaimana berdialog
antara ayah dengan anak.

Seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, anak pada usia ini memiliki
gejolak bahasa. Sesungguhnya, pada masa-masa ini, Allah mempersiapkan seorang
anak yang akan bersekolah untuk belajar berbahasa. Maka, orangtua sebaiknya
mempersiapkan diri dalam berdialog dengan anak, termasuk halnya dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari anak-anak kita. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan
ketika menjawab pertanyaan anak-anak. Pertama, berkata dengan jujur jika kita tidak
tahu. Kedua, jika kita tidak mengetahui jawaban atas pertanyaan anak, ajak anak untuk
mencari informasinya melalui buku. Ketiga, upayakan bahwa pertanyaan itu
memungkinkan diskusi lebih lanjut (open ended question).

Bahaya atau Ancaman bagi Anak

Anak pada usia ini merupakan peniru ulung (taqlid). Mereka juga seperti kamera dengan
pixel yang sangat tinggi, yang dapat menangkap tindakan kita sekecil apapun. Dr.
Musthofa Abu Sa’ad dalam bukunya yang berjudul “Anak-anak yang Bandel”, beliau
mengatakan bahwa yang memprogram anak pertama kali ialah orangtua, karena anak
akan meniru apapun yang orangtua ucapkan dan meniru sikap apapun yang orangtua
tunjukkan.

Contoh, bagaimana kita bersiap-siap untuk menunaikkan sholat dapat memberikan


teladan bagi anak dan memotivasi dirinya untuk mendirikan sholat. Jika kita memberikan
teladan yang baik, maka kita tidak perlu repot-repot memberikan perintah sholat kepada
anak ketika usianya tujuh tahun dan kita tidak perlu juga repot-repot memukul anak untuk
menunaikan sholat ketika usianya menginjak sepuluh tahun. Diriwayatkan bahwa ketika
Rosulullaah sholallaahu ‘alayhi wassalaam dan Aisyah rodhiyallaahu ‘anha bersiap-siap
sholat, mereka seolah-olah tidak mengenal satu sama lain karena begitu fokusnya dalam
mempersiapkan diri. Lalu, bagaimana kah kita memberikan teladan?
Jika pada fase taqlid ini, kita tidak memberikan teladan sebaik-baiknya kepada anak,
maka dapat menjadi ancaman bagi pendidikan anak di fase selanjutnya. Pada fase ini,
anak mencontoh kita sebagai sosok yang dikaguminya. Namun, ketika kelak anak
memasuki usia sekolah, ia akan mulai mencontoh kepada siapa sosok yang
dikaguminya, bisa jadi saja itu temannya, gurunya, atau orang selainnya.

Nilai-nilai yang Perlu Ditanamkan pada Anak

Pada usia ini, nilai yang perlu ditanamkan anak ialah bagaimana interaksi anak dengan
al Quran, dalam hal bacaan, hafalan, tadabbur, hingga pengamalannya.

Anda mungkin juga menyukai