Anda di halaman 1dari 3

TANGGUNG JAWAB KREATOR

Oleh: Muhammad Zuhri

Ketika bayi manusia lahir, sebuah matahari kesadaran mulai terbit dari cakrawala kehidupan. Ia datang bertitah-titah dengan
segala kelembutan dan ketidaktahuannya akan arti kehadiran. Kemudian setapak demi setapak ia berusaha mengenal peta
semestanya. Ia hapalkan nama-nama, ia pahami makna-makna, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya.

Tak putus-putusnya ia menjamah kenyataan. Dengan rasa ingin tahunya yang besar disingkapkannya misteri demi misteri
kehidupan, sampai akhirnya menjadi dewasa.

Sejak itu setiap kali ia berangkat menyatakan diri di dalam semestanya, ia mulai tertuntut berbagai tanggung jawab terhadap
semua akibat yang ditimbulkan. Ia mulai merasakan beratnya bereksistensi secara otentik. Namun ia terus melangkah. Ia tahu,
tidak ada jalan balik di sana. Tidak ada ruang lain baginya untuk melarikan diri. Lebih dari itu ia bahkan telah menemukan
dirinya sebagai tanggung jawab itu sendiri. Seolah hidup ini memang sebuah titipan.

Sungguh telah Kami tawarkan amanat itu kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi mereka enggan
menerimanya karena takut akan menghianatinya. Tetapi manusia bersedia memikulnya. Ia sungguh dzalim dan bodoh
sekali. (Qur'an, Al-Ahzab:72)

Tetapi realita kehidupan yang kita saksikan tidak selalu tampak demikian. Hukum kehidupan tidak sekeras dan sekejam itu. Di
sana banyak terdapat kelonggaran, pengampunan, dan penundaan akibat perbuatan. Di sana banyak sekali pribadi-pribadi
yang lemah, sakit, tercecer dan ada pula yang terbelenggu sumpah kepada pihak yang lebih kuat. Mereka perlu mendapatkan
kesempatan untuk berbenah diri supaya kemudian dapat berubah sikap.

Semua itu bisa dimaklumi karena mereka tidak berangkat bersama-sama dalam menempuh hidup, menjadi dewasa, dan
menemukan identitas diri. Apalagi fasilitas hidup yang mereka miliki sangat beragam. Sejak dari potensi diri, karakter, sarana,
kesempata, sampai kepada masalah yang dihadapinya tidak ada yang sama. Mereka berbeda hampir di dalam semua. Oleh
karena itu setiap individu hanya dibebani untuk memikul semestanya sendiri sesuai dengan kemampuannya. (lihat Qur'an, Al-
Baqarah:286)

Adapun tanggung jawab bersama hanya bisa ditegakkan melewati kesepakatan terlebih dahulu. Itulah rupanya hukum
keadilan yang paling dasar di dalam kehidupan ini.
  

Medan Tanggung Jawab


Setelah kita memaklumi keunikan setiap individu dengan tanggung jawabnya yang tak terpisahkan, kita beralih mengamati
medan tanggung jawab mereka. Ketika Al-Qur'an mengidentifikasikan orang-orang lalai, tergambar di sana dimensi-dimensi
tempat beroperasinya tanggung jawab.

Mereka mempunyai hati yang tidak digunakan untuk mengerti. Mereka mempunyai mata yang tidak digunakan untuk
melihat. Mereka mempunyai telinga yang tidak digunakan untuk mendengar. Seperti binatang-lah mereka, bahkan
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Qur'an, Al-A'raf:179)

Meskipun mereka masih dapat melangsungkan hidup secara fisikal, namun sebagai manusia sebenarnya mereka itu telah
mati. Karena ruang yang dijelajahinya tinggal ruang yang bersifat fisikal. Sedang ruang gerak dan bertumbuhnya ummat
manusia adalah tanggung jawab.

Ayat tersebut di atas mengisyaratkan wujudnya tiga dimensi kehidupan, dimana tanggung jawab manusia akan dioperasikan,
yaitu medan operasionalnya hati, mata, dan telinga kita.

Hati bagi manusia memiliki peran sebagai pemandu dalam proses hidup.
Mata berperan sebagai alat untuk mengenal struktur semesta, dimana manusia sarana kehidupan dan pengembangan dirinya
didapatkan.
Sedangkan telinga merupakan alat untuk menangkap informasi, dimana manusia dapat merespon situasi kehidupan yang
melibat dirinya setiap saat.

Proses hidup, struktur semesta, dan situasi kehidupan merupakan wilayah operasionalnya tanggung jawab manusia. Oleh
karena itu, Allah berkenan menurunkan ayat-ayat-Nya di sana supaya ummat manusia dapat menangkap dan
mengungkapkannya di dalam karya mereka.

Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di ufuk-ufuk cakrawala dan di dalam hati mereka, sehingga
menjadi jelas bagi mereka bahwa Qur'an itu Haq. (Qur'an, Fushshilat:53)

Orientasi manusia terhadap al-afaq (struktur semesta) akan menghasilkan disiplin-disiplin ilmu dan perspektif-perspektif nilai
yang bermanfaat untuk mengungkapkan Kebenaran Objektif.

Respon jiwa manusia terhadap situasi kehidupan akan menjelmakan karya-karya seni yang berguna untuk mengungkapkan
Kebenaran Subjektif.

Sedang proses hidup manusia di atas jalan yang ditawarkan Al-Qur'an akan melahirkan agama yang penghayatan secara
benar dan bersungguh-sungguh akan menyampaikan manusia kepada Jalan Tuhan, Hikmah, atau Kebenaran
Kontekstual. (lihat Qur'an, Al-Ankabut:69)

Perjuangan mengungkapkan Kebenaran Objektif lewat penemuan ilmu, filsafat dan Kebenaran Subjektif lewat karya seni,
merupakan partisipasi manusia terhadap ke-manajer-an Tuhan. Kedua karya agung manusia tersebut masing-masing
menempati kutub ekstrim yang bertentangan, namun bersifat zaujain (berpasangan) seperti lazimnya wujud-wujud
eksistensial di dunia. (lihat Qur'an, Adz-Dzariat:49)

Interaksi antara keduanya akan menciptakan ketegangan yang mengacu perkembangan hidup manusia. Karena situasi
dilematis selalu menuntut jalan keluar yang memadai. Yaitu sebuah jalan keluar yang tidak mengorbankan salah satu dari
kebenaran yang telah dilahirkan dan tidak pula berakibat memecahkan ummat manusia menjadi dua blok raksasa yang
bertentangan sepanjang masa.

Perjuangan mengungkapkan Kebenaran Kontekstual lewat proses pembentukan diri yang sedemikian rupa sebagaimana
dilakukan oleh para sufi, merupakan jalan keluar dari ketegangan tersebut dan sekaligus merupakan sintesa dari kedua
kebenaran yang telah terungkap sebelumnya.

Sebagai sintesa, Kebenaran Kontekstual itu bersifat tunggal, seperti lazimnya wujud-wujud esensial yang lain. Kebenaran
tersebut bukan lahir dari karya manusia, melainkan perwujudan partisipasi Tuhan terhadap ummat manusia.

Dan barang siapa taqwa kepada Allah (berproses dengan cara yang ditawarkan oleh Al-Qur'an). Allah akan menjadikan
baginya Jalan Keluar (sintesa dari kedua kebenaran yang bertentangan) dan diberi rizki dari arah yang tak dapat
diduga. (Qur'an, Ath-Thalaq:2-3)

Mengapa Allah perlu berpartisipasi terhadap ummat manusia di dalam menempuh dimensi proses dengan mengajarkan Kitab
(Petunjuk Ilahi) dan Hikmah (Kebenaran Kontekstual)? (lihat Qur'an, Al-Baqarah:129). Hal itu disebabkan ummat manusia
tidak memiliki pengetahuan tentang masa depan. Sebagai tandanya ia selalu mengukur masa depan dengan pola masa lalu.
Akibatnya tanpa disadari mereka telah menggali kubur buat diri sendiri, yaitu bersikap membumi.

Bagaimana tidak? Masa lampau manusia lebih banyak ditentukan oleh hal-hal yang bersifat duniawi yang sifatnya sangat
beragam. Efek psikisnya mereka condong untuk memilih yang enak-enak, menyenangkan, ringan, mudah, dan tak banyak
resiko sehingga tidak pernah mengalami proses transendensi.

Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal tidak
baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Qur'an, Al-Baqarah:216)

  

Lahirnya Kebenaran
Semakin jelas bagi kita bahwa apa yang harus dipertanggung-jawabkan oleh setiap kreator sehubungan dengan karyanya
adalah berhasil tidaknya karya tersebut mengungkapkan kebenaran.

Dapatkah hasil karya mereka mengilhami manusia untuk hidup lebih kualifait, damai, utuh, dan lestari? Atau bahkan mereka
mengacu kepada pemburuan terhadap hal-hal yang sementara, tak peduli pada nilai-nilai kemanusiaan, dan individualistis.

Bumi kita ini telah menjadi ajang perebutan kekuasaan, peperangan, dan kekacau-balauan yang sulit dimengerti, karena
penghuninya tak lagi berorientasi terhadap kebenaran. Kalaupun ada yang masih tersisa dari penganut kebenaran, mereka
hanya bermata sebelah.

Al-Qur'an menghimbau kepada orang-orang mukmin untuk memasuki wilayah kebenaran secara utuh dan mencegah mereka
untuk mengikuti rayuan setan, yaitu bersikap menyebelah, ekstrim, dan menolak wujud kebenaran yang tak diketahuinya
hanya karena kebodohan mereka. (lihat Qur'an, Al-Baqarah:207)

Beban tanggung jawab ini tertumpu di bahu kita, ummat dari kurun globalisasi yang konon potensial untuk menyelamatkan
bumi dari ancaman kiamat. Tetapi bagaimana mungkin cita tersebut bisa terwujud, bila gemuruh gerak maju manusia hanya
bersifat fisikal, menolak partisipasi Ilahi.
Dapatkah kebenaran kontekstual yang dulu pernah dikibarkan oleh para sufi diganti dengan otoritas lain yang bersandar
kepada kepentingan duniawi dan kekuatan senjata pemusnah?

Kesadaran global macam apa yang sedang kita miliki sekarang? Amanat siapa yang sedang kita tunaikan saat ini? Dan
Perwakilan (kekhalifahan) siapa yang kita perankan di atas bumi? Golongan kecil Superman atau Hawa Nafsu yang naik daun
menjadi tuhan terbesar dunia, seperti kata Ibnu Arabi dari Andalusia.

Sebelum kita mengangkat bibir untuk menjawab pertanyaan tersebut, biarlah seruling An-Nifari singgah sebentar di gerbang
imajinasi kita:  

"Bila kamu telah berada di puncak kesadaran sebagai manusia (seorang globalis), tetapi
masih juga kamu mampu melakukan pelanggaran, maka siksa yang akan menimpa dirimu
akan seberat semesta ini, dan penderitaannya adalah seluruh penderitaan yang ada".
Ketika kita dengan sekian banyak pelanggaran yang tak kunjung membosankan belum juga pernah merasakan penderitaan
tersebut, maka kita tergolong orang-orang yang dimudahkan Tuhan untuk mengidentifikasi diri.

Cukuplah Allah sebagai saksi!


  

Tabloid Hikmah, Oktober 1994.


  
  

  

Kembali ke
Karya Tulis Pak Muh

converted by Web2PDFConvert.com

Anda mungkin juga menyukai