Anda di halaman 1dari 16

TINJAUAN PUSTAKA

PTERIGIUM

I. DEFINISI

Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang
patogenesisnya masih belum jelas.1 Pterigium (L. Pterygion = sayap) adalah suatu
proses degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk segitiga (sayap)
yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi permukaan kornea
antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman.2-4 Pterigium pertama kali
ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah mata pertama di dunia 1000 tahun
sebelum masehi.4 Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi
sampai lesi fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak
topografi kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik kornea.5
Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi degeneratif, pterigium juga
menampilkan ciri-ciri seperti tumor, seperti kecenderungan untuk menginvasi
jaringan normal dan tingkat rekurensi yang tinggi setelah reseksi, dan dapat hidup
berdampingan dengan lesi premalignan sekunder.6 Banyak literatur melaporkan
faktor-faktor etiologi berikut yang mungkin menjadi penyebab terjadinya pterigium:
radiasi ultraviolet (UV), radang mata kronis, efek toksik zat kimia. Baru-baru ini,
beberapa virus juga memiliki kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi.1-3,7

II. EPIDEMIOLOGI DAN INSIDENS

Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian


dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Studi
epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang
kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis dalam peri-khatulistiwa garis
lintang 370 utara dan selatan khatulistiwa 'sabuk pterigium'.8
Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit hitam
(usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13 ° utara khatulistiwa,
memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan tingkat prevalensi
orang kulit putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari
(1,2%). Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40 tahun di pedesaan
Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang lebih dari 40 memiliki
tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan orang Indonesia lebih dari
40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih tinggi daripada
semua ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali dengan penduduk kulit
hitam dari Barbados. 9
Secara umum studi lain pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera meningkat
seiring bertambahnya usia.9 Hal yang jarang terjadi untuk seseorang menderita
pterigium sebelum usia 20 tahun. Pasien lebih dari dari 40 tahun memiliki prevalensi
tertinggi untuk terjadinya pterigium, sementara pasien berusia 20-40 tahun dilaporkan
memiliki insiden tertinggi terjadinya pterigium.10 Hal yang berbeda dengan beberapa
studi dimana pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki.9
Tingkat rekurensi pada pasca ekstirpasi di Indonesia berkisar 35 % - 52 %.
Data di RSCM angka rekurensi pterigium mencapai 65,1 % pada penderita dibawah
usia 40 tahun dan sebesar 12,5 % diatas 40 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian
terdahulu yang menyebutkan bahwa kekambuhan pasca transplantasi limbal sel
sebesar 14 % dan kekambuhan pasca bare sclera sebesar 40-75 % serta conjungtival
graft sebesar 3-5%.3

III. ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi permukaan


aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Nama konjungtiva (conjoin:
bergabung) diberikan kepada membran mukosa ini karena fakta bahwa ia
menhubungkan bola mata dengan kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak
mata ke limbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut sakus konjungtiva
yang terbuka di depan fisura palpebral.2
Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian (Gam. 1): Konjungtiva
palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata dan melekat kuat
pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni konjungtiva marginal, tarsal,
orbital.2,11 Konjungtiva marginal membentang dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm
pada bagian belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis.
Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva lebuih tepatnya.
Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular. Bagian ini
melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya
melekat pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal
dan forniks.2
Konjungtiva bulbaris. melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat
pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea.2,11
bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral dan kapsul Tenon.
Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva bulbaris sekitar kornea disebut
konjungtiva limbal.2
Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada
struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secaralonggar dengan struktur
dibawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus.
Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix dapat bergerak bebas
bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.11
Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan
adenoid, dan lapisan fibrosa.2
1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing daerah
dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal memiliki 5
lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel:
lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel
datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan
superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan
lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan
yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng.
2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari
retikulum jaringan ikat halus dengan jerat dimana terdapat limfosit. Lapisan ini
paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak ditemukan ketika
bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini
menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan
reaksi folikuler.
3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis. Lapisan
ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva tarsal, di mana
lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan saraf dari
konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul Tenon di daerah
konjungtiva bulbar.

Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan kelenjar
lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler yang
terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva tarsal) dan kelenjar
Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus
yang penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris
terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival forniks,
sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring
(terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus
inferior). 2,12

Gambar 1. Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks,


konjungtiva palpebralis.dikutip dari kepustakaan 11
Gambar 2. Vaskularisasi Konjungtiva dikutip dari kepustakaan 2
Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna merah muda
dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas lateralnya berbentuk
cekung. Korunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di canthus bagian
dalam. Pada kenyataannya, massa ini merupakan potongan modifikasi kulit dan
ditutupi dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar keringat, kelenjar sebasea
dan folikel rambut.2
Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yakni arkade
arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan arteri ciliaris anterior
(Gam. 2). Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-cabang dari
arkade arteri perifer dan marginal palpebra. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua
set pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari
arteri kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari arteri
ciliaris anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva posterior membentuk anastomosis
dengan arteri konjungtiva anterior dan membentuk arkade pericorneal. Vena
konjungtiva bermuara ke dalam vena pleksus kelopak mata dan beberapa mengelilingi
kornea dan bermuara ke vena ciliaris anterior. Sistem limfatik konjungtiva tersusun
dalam dua lapisan, yakni superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi lateral
bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi medial bermuara ke limfonodus
submandibular.2,12 Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus
trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif
sedikit.12

IV. ETIOLOGI

Etiologi pterigium sepenuhnya diketahui. Tetapi penyakit ini lebih sering pada
orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang paling mungkin adalah
pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar sinar matahari (sinar
ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki
disebut-sebut sebagai faktor etiologi mungkin.1-3,7
Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada
kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan
faktor pertumbuhan jaringan yangmenginduksi angiogenesis dan proliferasi sel.1
Radiasi cahaya UV tipeB menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam
patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan
human papillomavirus dapat juga terlibat dalam patogenesis pterigium.8

V. KLASIFIKASI
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu: 13
1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3:
 Tipe I: Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea.
Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan
kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami
inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami
keluhan lebih cepat.
 Tipe II: disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium sering nampak
kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat
primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan
menimbulkan astigmat.
 Tipe III: pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optic.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optic
membedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai kornea >4mm
dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus
rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas
ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata
serta kebutaan.
2. Berdasarkan stadium pterigium dibagai ke dalam 4 stadium yaitu:7,13
 Stadium 1 : invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang transparan dan
tipis, pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas pada limbus
kornea.
 Stadium 2: lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan dan
menginvasi kornea tapi belum mencapai pupil.
 Stadium 3:lapisan tebal seperti daging yang menutupi pupil, vaskularisasi
yang jelas
 Stadium 4: pertumbuhan telah melewati pupil.
3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:2,13
 Pterigium progresif: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrate di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
 Pterigium regresif:tipis,atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membrane, tetapi tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus
diperiksa dengan slitlamppterigium dibagi 3 yaitu:13
 T1(atrofi):pembuluh darah episkleral jelas terlihat.
 T2(intermediet):pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
 T3(fleshy,opaque):pembuluh darah tidak jelas.

VI. PATOFISIOLOGI
Meskipun paparan sinar ultraviolet kronis memainkan peran utama,
patogenesis pterigium belum sepenuhnya dipahami. Infeksi virus, mekanisme
imunologi, remodeling matriks ekstraseluler, faktor pertumbuhan, sitokin,
antiapoptotic mekanisme, dan faktor angiogenik berbagai semuanya telah terlibat
dalam pathogenesis.8,14 Patogenesis pterigium ditandai dengan degenerasi kolagen
dan elastotic proliferasi fibrovaskular yang menutupi epitel.4, 5 Radiasi sinar UV dapat
menyebabkan mutasi pada gen seperti gen supresor tumor p53, sehingga berakibat
pada terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel pterigium. Temuan ini
menunjukkan bahwa pterigium bukan hanya lesi degeneratif, tetapi bisa menjadi
manifestasi dari proliferasi sel yang tak terkendali. Matriks metalloproteinase (MMP)
dan jaringan inhibitor MMPs (TIMPs) pada pinggir pterigium mungkin bertanggung
jawab untuk proses inflamasi, tissue remodeling, dan angiogenesis yang menjadi ciri
pterigium, serta perusakan lapisan Bowman dan invasi pterigium ke dalam kornea.1,6,8
Sinar UV menyebabkan mutasi pada gene suppressor tumor TP53 di sel basal limbal
dan fibroblast elastic gene di epitel limbal (gambar 3). Karen kerusakan pada program
apoptosis p53 oleh sinar UV, mutasi juga terjadi pada gen lainnya. Hal ini
menyebabkan multistep perkembangan pterigium dan tumor sel limbal oleh ekspresi
p53 pada sel epitel limbal.12,15
Mutasi pada gen TP53 atau family TP53 pada sel basal limbal juga
menyebabkan terjadinya produksi berlebih dari TGF-β melalui jalur p53-Rb-TGF-β.
Oleh karena itu, pterigium merupakan tumor secreting TGF-β. Banyaknya sekresi
TGF-β oleh sel pterigium dapat menjelaskan macam-macam perubahan jaringan dan
ekspresi MMP yang terjadi pada pterigium. Pertama, sel pterigium (sel epitel basal
limbal) menghasilkan peningkatan MMP-2, MMP-9, MTI-MMP, dan MT2-MMP,
yang menyebabkan terputusnya perlekatan hemidesmosom. Awalnya, sel pterigium
akan bermigrasi secara sentrifugal ke segala arah menuju ke adjacent dan limbal
corneal, limbus, dan membrane konjungtiva. Karena produksi TGF-β oleh sel ini,
terjadi penipisan jumlah lapisan pada daerah di atas, dan tidak ada massa tumor
yang nampak tapi sebagai tumor yang tidak kelihatan. Selanjutnya, setelah perubahan
pada seluruh sel basal limbus berkembang dan semua hemidesmosom lepas dari sel-
sel ini, terjadi migrasi sel ke kornea diikuti oleh epitel konjungtiva, yang
mengekspresikan 6 jenis MMP dan berkontribusi terhadap penghancuran lapisan
bowman pada kornea. Sebagai tambahan, TGF-β yang diproduksi oleh sel pterigium
menyebabkan peningkatan monosit dan pembuluh darah kapiler dalam lapisan epitel
dan stroma. Kemudian, sekelompok fibroblast normal berkumpul dibawah invasive
epitel limbus di depan tepi yang rusak dari lapisan Bowman dan diaktivasi oleh jalur
TGF-β-bFGF untuk memproduksi MMP-1 dan MMP-3 yang juga membantu dalam
penghancuran lapisan bowman. Beberapa sitokin-sitokin ini mengaktivasi fibroblast
untuk bermigrasi untuk membentuk pulau kecil fibroblast yang memproduksi MMP 1
dan juga berperan dalam penghancuran membran bowman.15 Semua proses di atas
dapat dilihat pada gambar. 4. 15

Gambar 3. Kemungkinan jalur yang berperan dalam proses munculnya pterigium


dikutip dari kepustakaan 15.
Gambar 4. Patogenesis invasif pterigium dikutip dari kepustakaan 15

Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada
1,6,8
daerah yang kekurangan limbal stem cell. Limbal stem cell adalah sumber
regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi
conjungtivalization pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah
pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan
membrane mbuhan jaringan fibrotic. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan
karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi
dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan
akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.6,12
Gambar 5. A. Patogenesis pterigium: kerusakan limbal fokal oleh karena sinar UV
memicu migrasi mutasi limbal stem cell ke central kornea. B. defisiensi limbal stem
cell menyebabkan conjungtivalization kornea dari segala arah dikutip dari
kepustakaan 6

Patogenesis pterigium bisa bisa melibatkan respon inflamasi, seperti sejumlah


besar limfosit infiltrasi sebagian besar sel-T (CD3 +), ditemukan di substantia propria
spesimen pterigium. Hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme imunologi, mungkin
dari tipe hipersensitivitas 1, 3 dan 4 dapat berkontribusi pada patogenesis
pterigium.6,16

VII. GAMBARAN KLINIS


Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan di luar
rumah. Ptrygium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini muncul
sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal.
tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada
epitel kornea anterior disebut garis Stocker. Pterigium terdiri dari tiga bagian
 Apeks (bagian apikal pada kornea),
 Collum (bagian limbal), dan
 Corpus (bagian scleral) membentang antara limbus dan yang canthus2
Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian
tengah kornea. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan
astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan
konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien
kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.2,11

Gambar 6. Pterigium
VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal,
mata sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya
riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah
dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwyat trauma
sebelumnya.12
Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler pada
permukaan kojungtiva. Pterigium dapat memberikan gambaran vaskular dan tebal
tetapi ada juga pterigium yangb avaskuler dan flat. Pterigium paling sering ditemukan
pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan
pterigium pada daerah temporal. 2,12
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi
kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang di
sebabkan oleh pterigium. 12

IX. PENATALAKSANAAN

Karena kejadian pterigium berkaitan dengan aktivitas lingkungan, penanganan


pterigium asimptomatik atau dengan iritasi ringan dapat diobati dengan kacamata
sinar UV-blockking dan salep mata. Anjurkan pasien untuk menghindari daerah
berasap atau berdebu sebisa mungkin. Pengobatan pterigium yang meradang atau
iritasi dengan topikal dekongestan atau kombinasi antihistamin dan atau
kortikosteroid topikal ringan empat kali sehari.5
Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang dapat
diindikasikan untuk: (1) alasan kosmetik, (2) perkembangan lanjutan yang
mengancam daerah pupil (sekali pterigium telah mencapai daerah pupil, tunggu
sampai melintasi di sisi lain), (3) diplopia karena gangguan di gerakan okular.2
Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan pterigium
dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.8 Berbagai teknik bedah yang digunakan
saat ini untuk pengelolaan pterigium.4,12
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan
permukaan sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi
pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%. 4,8,12
2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana
teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relative kecil.2,12
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi
untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan
pada bekas eksisi.12
5. Conjungtival graft: menggunakan free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan.2,4,8,12

Rekurensi menjadi masalah setelah dilakukan bedah eksisi yakni sekitar 30-
50%. Tapi hal ini dapat di minimalisir dengan cara berikut:2,8
1. Penggunaan mitomicin C intra dan post operasi
2. Post poerasi beta iradiasi
3. Conjungtival autograft
4. Limbal and limbal–conjunctival transplantation
5. Amniotic membrane transplantation
6. Cultivated conjunctival transplantation
7. Lamellar keratoplasty
8. Fibrin glue

X. DIAGNOSIS BANDING
Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium adalah
lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk karena adhesi
dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada
luka bakar akibat zat kimia pada mata.2
Selain itu pterigium juga didiagnosis banding dengan pingekulum yang
merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbar di daerah nasal atau
temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karenairitasi maupun
karena air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetpi pada
kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.12

XI. KOMPLIKASI

Komplikasi pterigium meliputi iritasi, kemerahan, diplopia, distorsi penurunan


visus dan skar pada konjungtiva , kornea dan otot rektus medial. Komplikasi pasca
operasi termasuk infeksi, diplopia dan terbentuknya jaringan parut. Retina
detachment, perdarahan vitreous dan perforasi bola mata meskipun jarang terjadi. 4,10
Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi: Scleral
dan / atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan
puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk ditangani.10
Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi. Bedah eksisi
sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah
berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts konjungtiva / limbal
2,10
atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi. Pada kesempatan langka,
degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat
terjadi.10

XII. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakn
pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium
rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau
transpalantasi membrane amnion.10

DAFTAR PUSTAKA

1. Dzunic B, Jovanovic P, et al. Analysis of pathohistological characteristics of


pterigium . BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE.
2010;10(4):308-13.
2. Khurana KA. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA, editors.
Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age International.
2007. p. 51 - 82.
3. Swastika AM, Inakawati S. Perbedaan Kekambuhan Paska Ekstirpasi
Pterigium Metode Bare Sclera Dengan Transpalantasi Limbal Stem Sel.
Medical Faculty of Diponegoro University. 2008; 1-18.
4. Raju KV, Chandra A, Doctor R. Management of Pterigium- A Brief Review.
Kerala Journal of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.
5. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal Of
The Bombay Ophthamologists’ Association. 2008;11(4):129-30.
6. Chui J, Coroneo TM, et al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder with
Premalignant Features. The American Journal of Pathology. 2011;178(2):817-
27.
7. Sharma KA, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting in
Pterigium Surgery. Postgraduate Department of Opthalmology, Govt. Medical
College, Jammu. 2004;6(3):149-52.
8. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in pterigium
treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006; 18: 308–313.
9. Gazzard G, Saw MS, et al. Pterigium in Indonesia: prevalence, severity, and
risk factors. Br J Ophthalmol .2002;86:1341–46.
10. Fisher PJ. Pterigium. Updated : 2012. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview. Accessed July
7,2012.
11. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG, Recker
D, Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas 2nd ed. New
York: Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.
12. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Updated : 2009.
Available from: URL: repository.usu.ac.id. Accessed January 23 ,2014.
13. Witcher PJ, Eva RP. Conjunctiva. In: Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology 17th ed. New York: Mc Graw Hill Company. 2007. p. 67 - 72.
14. Garg P. Pathogenesis of Pterigium: role of Eph receptors and ligans ephrins.
Can J Ophthamol. 2009;44(2):138-40.
15. Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT. Pterygia Pathogenesis: Corneal
Invasion by Matrix Metalloproteinase Expressing Altered Limbal Ephitelial
Basal Cells. Arch Ophthamol. 2001;119:695-706.
16. Redy VS, Mitra SK, Kumar V. Ophthocare in Pterigium and Dacryocytis. The
Antiseptic. 1998;95(11):1-4.

Anda mungkin juga menyukai