Anda di halaman 1dari 11

KRITIK IBNU RUSYD TERHADAP AL GHAZALI

I. PENDAHULUAN
Di antara kitab-kitab yang sangat populer dalam dunia filsafat Islam bahkan dalam
lingkungan filsafat Kristen di zaman pertengahan adalah “Tahafut al-Falasifah” karya Imam
Al-Ghazali dan kitab “Tahafut at-Tahafut” karya Ibn Rusyd. Dua kitab tersebut sangat erat
kaitannya sehingga yang satu tidak disebut tanpa lainnya, terutama kitab yang terakhir ini
yang di dalamnya Ibn Rusyd menangkis serangan al-Ghazali paragraf demi paragraf. Kitab
yang pertama ditulis pada tahun 484 H, sedangkan kitab yang kedua ditulis lebih kurang
seratus tahun sesudah itu.
Al Ghazali, dalam penutup “Tahafut al-Falasifah” dengan uslub dialogis mengkafirkan
para filosof dan keharusan memberi hukuman mati bagi siapa yang menganut aqidah mereka
itu. Karena mereka menyimpang dalam tiga perkara: (1) pandangannya tentang keqadiman
alam. (2) pandangannya bahwa pengetahuan Tuhan itu tidak menjangkau “al Juziat al
hadisah min al asykhas, partial yang merupakan ciptaan baru dari suatu komponen dan, (3)
pandangannya tentang kebangkitan rohani dan jasad dan penghimpunannya kelak di
akhirat.1[1]
Pandangan-pandangan al-Ghazali seperti yang disebutkan di atas mendapat
sanggahan/kritikan dari Ibn Rusyd sekaligus sebagai pembelaan terhadap filosof, dalam
karyanya yang terkenal “Tahafut al-Tahafut”. Uraian mengenai sanggahan Ibn Rusy
dipandangan – pandangan tersebut dan pembelaan terhadap parafilosof menjadi sangat
menarik karena akan menyuguhkan kejelasan mengenai kedudukan filsafat dalam pemikiran
Islam. Pemikiran filosofis al-Ghazali cenderung untuk disepakati mempengaruhi belahan
Timur Dunia Islam sampai dewasa ini dan dituding sebagai biang keladi redupnya kreatifitas
dan dinamika dalam berfilsafat. Sementara itu pemikiran filosofis Ibn Rusyd dimulai
diselidiki dan disepakati mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam pemikiran Barat sejak
abad pertengahan.2[2]

1[1]Al-Ghazali, Tahafut al-falasifah, (TahqiqSulaiman Dunia, Kairo: Dar al Ma’arif, 1966), hal. 307-
308.

2[2]Ahmad Fuad Al-Ahwany, Dalamsegi-segi PemikiranFilsafatDalam Islam, Ahmad Daudy (edt.)


(Jakarta: BulanBintang, 1984), hal. 66.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana kritik dan argumentasi Ibnu Rusyd atas Al – Ghazali?
B. Bagaimana kontekstualisasi pemikiran Ibnu Rusyd terhadap problematika sosial keagamaan?
III. PEMBAHASAN
A. Kritik dan argumentasi Ibnu Rusyd terhadap Al - Ghazali
Sebagaimana telah diketahui bahwa al-Ghazali mengkafirkan para filosof dalam tiga hal: (1)
Qadimnya Alam, (2) Tuhan tidak mengetahui juz’iyat dan (3) kebangkitan dan pengumpulan
jasad hari kiamat.3[3]
1. Keqadiman/kekekalan Alam
Menanggapi kritikan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd mengarang kitab Tahufut- al-Tahafut.
Pertama, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham qadim-nya alam itu tidak bertentangan
dengan ajaran Al-Qur’an. Menurut Ibn Rusyd, konsep Al-Ghazali tentang alam, bahwa alam
mempunyai permulaan dalam zaman mengandung arti, ketika Tuhan menciptakan alam tidak
ada sesuatu disamping Tuhan, Tuhan ketika itu dalam kesendiriannya dan karenanya Tuhan
menciptakan alam dari tiada atau nihil. Al – Ghazali mempunyai konsep yang sangat berbeda
dari konsepsi yang dimiliki para filsuf muslim. Al-Ghazali menolak konsepsi filosofis yang
mengatakan bahwa dunia ini kekal dan diciptakan lewat proses emanasi.4[4]Bagi para filsuf
muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikitpun tidak dipahami mereka sebagai alam yang
ada dengan sendirinya.5[5]Konsep Al-Ghazali kata Ibn Rusyd tidak sesuai dengan
kandungan Al-Qur’an. Didalam Al-Qur’an digambarkan bahwa sebelum alam diciptakan
Tuhan, telah ada sesuatu disampingnya. Ayat 7 dari surat Hud mengatakan:
5Q$-ƒr& Ïp-GÅ™ ’Îû uÚö‘F{$#ur ÏNºuq»yJ¡¡9$# t,n=y{ “Ï%©!$# uqèdur
ß`|¡ômr& öNä3•ƒr& öNà2uqè=ö7uŠÏ9 Ïä!$yJø9$# ’n?tã ¼çmä©ö•tã šc%Ÿ2ur
ÏNöqyJø9$# ω÷èt/ .`ÏB šcqèOqãèö6¨B Nä3¯RÎ) |Mù=è% úÈõs9ur 3 WxyJtã
×ûüÎ7•B Ö•ósÅ™ žwÎ) !#x‹»yd ÷bÎ) (#ÿrã•xÿŸ2 tûïÏ%©!$# £`s9qà)u‹s9
ÇÐÈ

3[3]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, (Jakarta: UII Press, 1979), hlm.
65.

4[4] Oliver leaman, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Rajawali, 1989), hlm.56.

5[5]Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung : Pustaka Setia, 2009), hlm. 232.
Artinya: “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah
singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang
lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu
akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini
tidak lain hanyalah sihir yang nyata".
Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi telah ada
unsur lain disamping Tuhan, yaitu air. Selanjutnya ayat 30 dari surat Al-Anbiya’ mengatakan:
uÚö‘F{$#ur ÏNºuq»yJ¡¡9$# ¨br& (#ÿrã•xÿx. tûïÏ%©!$# t•tƒ óOs9urr&
¨@ä. Ïä!$yJø9$# z`ÏB $oYù=yèy_ur ( $yJßg»oYø)tFxÿsù $Z)ø?u‘ $tFtR%Ÿ2
ÇÌÉÈ tbqãZÏB÷sムŸxsùr& ( @cÓyr >äóÓx«
Artinya:Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi
itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.
dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga
beriman?
Ayat tersebut mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya berasal dari
unsur yang satu, kemudian menjadi dua benda yang berlainan.6[6] Dan ( Q. S. al- Fushiat
ayat 11 ) yang artinya kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih
merupakan uap. Benda – benda lain seperti air dan uap menurut Ibnu Rusyd merupakan cikal
bakal terjadinya alam.7[7]

Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapat Al-Ghazali bahwa
alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat hadis serta menegaskan bahwa pendapat Al-
Ghazali tidak sesuai dengan kandungan Al-Qur’an. Yang sesuai dengan kandungan Al-
Qur’an sebenarnya adalah konsep Al-Farabi, Ibn Sina, dan filusuf-filusuf lain. Disamping itu,
kata Khalaqa dalam Al-Qur’an, kata Ibn Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari
“tiada”, seperti yang dikatakan Al-Ghazali, tetapi dari “ada”, seperti yang dikatakan filosof-
filosof (Q.S. Al – Mukminun : 12 )
ÇÊËÈ &ûüÏÛ `ÏiB 7's#»n=ß™ `ÏB z`»|¡SM}$# $oYø)n=yz ô‰s)s9ur

6[6] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada,1993), hlm.
127.

7[7] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 52.
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah”.

Kami ciptakan manusia dari inti sari tanah. Manusia didalam al-Qur’an diciptakan
bukan dari “tiada” tetapi dari sesuatu yang “ada”, yaitu intisari tanah seperti disebut oleh ayat
diatas. Ibn Rusyd memang tidak menerima konsep penciptaan dari tiada. “tiada”, kata ibnu
rusyd tidak bisa berubah menjadi “ada”, yang terjadi , yang “ada” berubah menjadi “ada”
dalam bentuk lain. Contohnya, adanya bumi dan langit, ‘’ada’’ yang berasal dari bentuk
materi asal yang empat (api,udara,air,dan tanah) diubah Tuhan menjadi “ada” dalam bentuk
langit dan bumi. Dan yang qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumi susunannya
adalah baru (hadis).8[8]
Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibnu rusyd tidak membawa kepada ateisme,
karena qadim dalam pemikiran falsafah bukan hanya berarti sesuatu yang tidak diciptakan,
tetapi juga berarti sesuatu yang diciptakan dalam keadaan terus-menerus.9[9] Jadi Tuhan
qadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah pencipta, sedangkan alam qadim berarti
alam diciptakan. Dengan demikian sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapi adalah
ciptaan Tuhan. Alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan ini tetap akan ada
sebagaimana yang digambarkan oleh Al-Qur’an ayat 47-48 Surat Ibrahim.
$uZs9 $yJßgãBöqs%ur $uZÎ=÷WÏB ÈûøïuŽ|³t6Ï9 ß`ÏB÷sçRr& (#þqä9$s)sù
(#qçR%s3sù $yJèdqç/¤‹s3sù ÇÍÐÈ tbr߉Î7»tã
ÇÍÑÈ tûüÅ3n=ôgßJø9$# šÆÏB
Artinya: Maka Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-
Nya kepada rasul-raaul-Nya; Sesungguhnya Allah Maha perkasa, lagi mempunyai
pembalasan. (yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian
pula) langit, dan meraka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat
Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa alam ini sifatnya kekal yaitu dikatakan bahwa langit
dan bumi akan ditukarkan dengan bumi dan langit yang lain. konsep ini mengandung arti
bahwa pada hari kiamat bumi dan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi
materi asal api, udara air, dan tanah kembali. Dari keempat unsur ini, Tuhan akan

8[8]Yaya Sunarya, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : Arfino Raya ,2012), hlm. 96

9[9] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf , hlm. 129.
menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumi dan langit akan hancur pula, dan dari
materi asalnya akan diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan demikianlah seterusnya
tanpa kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagai sesuatu yang berada dalam kejadian terus
menerus adalah sesuai dengan kandungan Al-Qur’an.10[10]
Jadi, Al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan filosof karena
pandangannya tentang qadimnya alam. Menurut Ibnu Rusyd, Al-Farabi dan Al-Ghazali
memberi tafsiran masing-masing tentang ayat-ayat Al-Qur’an mengenai penciptaan alam.
Yang bertentangan bukanlah pendapat filosof dengan Al-Qur’an, tetapi pendapat filosof
dengan pendapat Al-Ghazali.
2. Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam
Menurut Al-Ghazali para filosof Muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui
juz’iyyat (perincian) terhadap apa yang ada di alam. Pernyataan ini menurut Al-Ghazali jelas-
jelas menunjukkan ketidak berimanan mereka. Sebaliknya yang benar, kata Al-Ghazali
adalah Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi yang luput dari
pengetahuan-Nya.11[11]
Dalam rangka menangkis serangan Al- Ghazali terhadap para filsuf muslim, Ibnu
Rusyd menyatakan bahwa filusuf muslim tidaklah mempersoalkan apakah tuhan mengetahui
hal – hal yang juz’i ( perincian yang terjadi ) pada alam semesta ini. Para filsuf muslim
berpendapat bahwa Tuhan mengetahui hal – hal yang bersifat juz’i pada alam ini. Yang
mereka persoalkan adalah bagaimana cara Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i itu.
Menurut Ibnu Sina, Tuhan mengetahui hal-hal yang juz’i dengan juz’i-Nya dan
mengetahui hal-hal yang kully dengan kully-Nya. Para filsuf muslim berpendapat bahwa
pengetahuan Tuhan tentang hal- hal yang bersifat juz’i itu tidaklah seperti pengetahuan
manusia tentang hal – hal yang demikian. Para filosof, kata Ibnu Rusyd telah menarik garis
pemisah antara pengetahuan Allah dan pengetahuan manusia, yakni kedua macam
pengetahuan ini berbeda secara esensial. karena pengetahuan manusia mengambil bentuk
efek ( akibat dari memperhatikan hal – hal yang bersifat juz’i ) , sedangkan pengetahuan
Allah merupakan sebab, yakni sebab bagi munculnya hal – hal yang bersifat juz’i itu. Selain
itu, ketidaksamaan itu tersebut disebabkan oleh pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim, yakni
semenjak azali tuhan mengetahui hal – hal yang bersifat juz’i di alam semesta ini, betapa

10[10] Yaya Sunarya, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 96-97.

11[11] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, hlm.138-139.


kecilnya hal tersebut. Manusia tidak mengetahui pengetahuan sama sekali, kemudian secara
berangsur – angsur memperoleh pengetahuan setelah memperhatikan bagian demi bagian
secara seksama. Dari itu, kata Ibnu Rusyd, siapa saja yang menyamakan dua macam ilmu
atau pengetahuan ini berarti ia telah mempertemukan hal-hal yang saling bertentangan dan
mengkiaskan yang ghaib dengan yang nyata. Sikap ini tidak benar dan jahil.12[12]
Dengan kata lain bahwa segala peristiwa yang terjadi di alam ini telah diketahui oleh
Tuhan sejak azali, yakni sebelum hal tersebut terwujud dalam bentuknya yang konkrit.
Karena ilmu-Nya terhadap sesuatu itu adalah menjadi sebab bagi terjadinya hal tersebut. Oleh
karena itu, sudah seharusnya kalau cara yang ditempuh Tuhan untuk mengetahui sesuatu
tidak seperti cara yang ditempuh oleh makhluk-Nya itu sendiri.13[13]
3. Kebangkitan Jasmani
Dalam kitab Tahafut Al-Falasifah, Al-Ghazali menunjukan kepada filosof yang
mengatakan bahwa di akhirat nanti manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud rohani,
tidak dalam wujud jasmani. Atas dasar kepercayaan ini, mereka dan para penganut pendapat
tersebut dianggap kafir oleh al-Ghazali, karena dalam al-Qur’an dengan tegas menyatakan
bahwa manusia akan mengalami berbagai kenikmatan jasmani nanti di surga.
Al-Ghazali menolak pendapat filosof yang mengatakan bahwa pada hari kiamat nanti
hanya jiwa (roh) saja yang dibangkitkan, sedangkan badan atau jasad tidak. Menurutnya
bahwa yang dibangkitakan nanti adalah jiwa dan badan, sehingga pahala dan hukuman pun
ada yang bersifat jasmani dan ada pula yang bersifat rohani (spiritual). Bukan seperti yang
dikatakan oleh filosof bahwa pahala dan hukuman itu hanya bersifat spiritual dan hanya
diterima oleh rohani.
Menurut Ibnu Rusyd tidaklah benar apa yang dikatakan oleh Al-Ghazali bahwa
filosof – filosof mengingkari kebangkitan jasmani.14[14]Kebangkitan jasmani sudah tersiar
sekurang – kurangnya seribu tahun yang lalu (dari masa Ibnu Rusyd), sedangkan filsafat
kurang dari masa tersebut, sebab orang pertama yang mengatakan adanya kebnagkita jasmani
ialah nabi – nabi Bani Israel sesudah Nabi Musa a.s.

12[12] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung : Pustaka Setia, 2009), hlm. 236-
237.

13[13] Hasbullah Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam, (Jakarta: Tintamas, 1984), hlm.
72.

14[14] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), hlm.183.
Ibnu Rusyd juga menjelaskan bahwa filosof sebenarnya tidak menolak adanya
kebangkitan jasmani, bahkan semua agama mengakui adanya kehidupan di akhirat. Hanya
saja, kehidupan di akhirat menurut filosof itu tidak sama dengan kehidupan didunia. Hal ini
sesuai dengan hadis: “Di sana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tidak pernah
didengar telinga dan tak pernah terlintas dalam pikiran”. Dan ucapan Ibnu Abbas:” Tidak
akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersifat keduniaan kecuali nama saja.” berarti bahwa di
dalam surga nanti manusia tidak dalam wujud jasad.
Lebih lanjut Ibn Rusyd menganalogikan antara tidur dan kematian. Menurutnya,
bahwa perbandingan antara tidur dan kematian itu merupakan bukti yang terang untuk
mengatakan bahwa jiwa itu hidup terus. Karena aktivitas jiwa berhenti bekerja pada saat tidur
dengan cara tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa
tidaklah berhenti. Oleh karena itu sudah semestinya keadaan jiwa pada saat kematian itu
sama dengan pada saat tidur. Perbandingan ini menurutnya dapat menunjukkan bahwa antara
jiwa dan badan dapat dipisahkan.
Ibnu Rusyd selanjutnya menuduh Al-Ghazali sebagai orang yang tidak konsisten. Dalam
bukunya Tahafut Al-Falasifah al-Ghazali mengatakan bahwa kebangkitan itu tidak hanya
badan, tetapi juga jiwa. Tetapi dalam bukunya mengenai tasawuf, ia mengatakan bahwa
kebangkitan bagi kaum sufi hanya akan terjadi dalam bentuk rohani dan tidak berbentuk
jasmani. Oleh karena itu tidak ada kesepakatan (ijma’) dalam hal ini. Dengan itu maka filosof
yang mengatakan adanya kebangkitan dalam bentuk rohani tidaklah dapat dikafirkan. Namun
demikian Ibn Rusyd berkesimpulan bahwa bagi orang awam soal pembangkitan di akhirat itu
perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, untuk lebih mendorong mereka untuk melakukan
perbuatan yang baik dan menjahui perbuatan jelek.15[15]

B. Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Rusyd terhadap Problematika Sosial – Keagamaan


1. Rules of Dialogue
Sumbangan lain yang diberikan ibnu Rusyd adalah pandangannya mengenai cara
membangun rules of dialogue dalam upaya memahami orang lain di luar kita. Teorinya ini ia
dasarkan pada tiga prinsip epistimologis16[16], yaitu:

15[15]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.231

16[16] Ilyas supena, Filsafat Islam, (Semarang: Walisongo PRESS, 2002), hlm.152.
Pertama, keharusan untuk memahami yang lain dalam sistem referensinya sendiri.
Dalam kasus ini, terlihat dari penerapan metode aksiomatik dalam menafsirkan diskursus
filosofis ilmu – ilmu yunani.
Kedua, dalam kaitan relasi kita dengan barat, adalah prinsip menciptakan kembali hubungan
yang subur antar dua kutub dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd memberi
pendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tapi terjadi
harmoni diantara keduanya, harmoni tidak berarti sama dan identik. Karena itu adanya
perbedaan harus kita hargai.
Ketiga mengembangkan sikap toleransi. Ibnu Rusyd menolak cara - cara Al-Ghazali
menguliti para filosof tidak dengan tujuan mencari kebenaran. “Tujuan saya,” kata Al-
Ghazali, “adalah mempertanyakan tesis mereka dan saya berhasil.” Ibnu Rusyd menjawab,
“Ini tidak sewajarnya dilakukan oleh orang terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak lain
adalah mencari kebenaran bukan menyebarkan keraguan.”
Terlepas dari perbedaan itu, betapapun Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan
nilai nilai beragama yang rasional, toleran, dan ramah. Pengalaman dan pelajaran yang baik
di masa lalu itu pula pernah mengantarkan kejayaan islam di abad pertengahan.

2. Wawasan Keagamaan
Terdapat empat hal dari pandangan pandangan Ibnu Rusyd yang senantiasa
menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan. Pertama Pluralisme dalam ijtihad.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pintu ijtihad ditutup oleh sebagian kalangan dan
dipersempit dari persoalan hukum hanya menjadi persoalan hukum agama. Akibatnya, sikap
taklid terhadap warisan hukum -hukum fikih yang telah terkodifikasi menjelma begitu saja
menjadi wawasan sosial dan pandangan hidup.
Sikap taklid tersebut juga berawal dari kaburnya pemahaman tentang apa yang disebut agama
(al-din) dan pemahaman agama (al-fikr al-diny).17[17]
Melihat fenomena ini, Ibnu Rusyd mencoba kembali batas batas yang selama ini di
kekang. Dengan bersandar bahwa pemikiran keagamaan bisa berkembang sesuai dengan
perubahan ruang dan waktu, ia mengudar artefak-artefak hukum fikih dari berbagai mazhab,
menganalisisnya dengan model pembacaan sosiologis-hermeneutis, menelisik akar perbedaan

17[17] Ilyas supena, Filsafat Islam, hlm.153


setiap mazhab dalam menggali dalil – dalil yang memproduk suatu hukum, kemudian
menembus jantung hukum fikih itu sendiri, yaitu Al- Qur’an dan sunnah.
Dari setiap ijtihad fikih dua elemen penting yang patut diperhatikan adalah
objektifikasi dan pertimbangan dimensi moral etiknya. Berkenaan dengan pendapat orang
lain Ibnu Rusyd membuang jauh-jauh kebenaran dalam setiap pendapat dan selalu mengajak
yang lain untuk menempatkan pendapat sesuai dengan konteksnya. Berijtihad berarti
meniscayakan untuk membuka kritik dan pembenahan. Kesalahan yang terjadi dalam proses
pergulatan akal jauh lebih baik dari sekedar menerima kebenaran dengan tanpa proses
apapun.
Kedua, kebebasan berfikir dan tradisi kritik Ibnu Rusyd adalah maskot kebangkitan
filsafat dan rasionalisme Islam. Meskipun hidup dalam situasi kegelapan dan terpasungnya
kebebasan berfikir, Ibnu Rusyd justru dengan lantang mengatakan bahwa rasionalisme dan
filsafat sejajar dengan syariat. Dengan fisafat manusia mampu menemukan keagungan tuhan
melalui olah cakrawala atas olah ciptaannya.
Ibnu Rusyd menjadi orang yang pertama kali mengkaji, menganalisis, menjabarkan
serta mengomentari filsafat Aristoteles secara detail dan gamblang. Menurut Muhammad
Arkoun Ibnu Rusyd berhasil menyeimbangkan akal dan iman. Dihadapan keluhuran tradisi
keagamaan dan tradisi filsafat, pandangan Ibnu Rusyd telah mengenalkan kepada kita
mentalitas dan nalar abad pertengahan, baik dalam konteks Arab-Islam ataupun Latin-
Yunani-Kristen. Nalar filsafat telah memainkan peran aktif dalam memelihara hak manusia
untuk mengkritik dan bertanya.
Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat penting, khususnya dalam
mentakwilkan dan menafsirkan Al – Qur’an sebagai kitab teks yang perlu diberi interpretasi
kontekstual. Islam sendiri tidak melarang seseorang untuk berfilsafat, bahkan di Al- qur’an
banyak terdapat ayat yang memerintahkan umatnya untuk mempelajari filsafat. Takwil (
penafsiran ) dan interpretasi teks dibutuhkan untuk menghindari adanya pertentangan antara
pendapat akal serta teks Al – Qur’an, ia memaparkan bahwa takwil yang dimaksud disini
adalah meningglkan arti harfiahnya dan mengambil arti majasinya ( analogi ). Hal ini pula
yang dilakukan para ulama klasik pada periode awal dan pertengahan.
Sebagai ilmu kritis, filsafat memang bagaikan anjing menggonggong, mengganggu
dan menggigit. Berfilsafat berarti selalu merasa tidak puas lantas membuka diri untuk
menerima perdebatan dialektis. Berbeda dengan agama, filsafat selalu
mempertanggungjawabkan setiap keputusannya secara rasional. Dan sejarah peradaban
membuktikan, sebuah bangsa yang menjadikan filsafat sebagai bagian terpenting dalam
proses pendewasaan bangsa akan relative lebih siap untuk maju di berbagai sektor kehidupan.
Ketiga, dialog antar agama, Ibnu Rusyd mengatakan perbedaan agama tidak menjadi
penghalang untuk melakukan dialog. Apabila kita menemukan kebenaran dari agama lain,
kita patut menerima dan menghormatinya. Sebaliknya, jika kita menemukan kesalahan, maka
kita patut memperingatkan dan memaafkannya. Memang, salah satu problem umat beragama
adalah bagaimanana berhubungan dengan umat agama lain. Dalam konteks islam, fikih yang
tersedia mempunyai dilemanya tersendiri sehingga baik secara eksplisit maupun implisit telah
menebarkan kecurigaan terhadap agama lain.18[18]
Dialog antar umat agama sekarang ini semakin dirasa penting seiring meluasnya aksi
kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kuatnya kesadaran agama dalam masyarakat dapat
menjadi faktor pemersatu sekaligus mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah.
Sosiolog muslim, Ibnu Kaldun, mengatakan perasaan seagama memang diperlukan, tetapi
tidak cukup untuk menciptakan perasaan memiliki kesatuan sosial (social belonging).
Untuk itu, setiap pemeluk agama perlu mengungkapkan pandangannya secara tepat
serta mendengarkan pandangan mitra dialog secara terbuka tanpa disertai dengan penilaian
apriori. Melaui dialog, setiap pemeluk agama belajar dari pandangan dan pengalaman satu
sama lain, karena salah satu fungsi utama agama. Jadi, manusia dapat meraih kebenaran
melalui pikirannya sendiri (mandiri) setelah ia berhasil melepaskan diri dari sifat – sifat
hewani. Tingkatan ini oleh Ibnu Bajah disebut dengan istilah mutawwahid. Mutawwahid
dapat diartikan sebagai penyendirian. Mutawahid disini berarti hidup menyendiri sambil
merenungkan berbagai ilmu teoritis. Dengan cara begitu, ia dapat berhubungan dengan al aql
al-fa’al (ful force mind).
Keempat, control atas kebijakan publik. Menurut Ibn Rusyd, islam tidak mempunyai
banyak pemikiran tentang filsafat politik, sementara perebutan kekuasaan amat dahsyat
terjadi. Oleh karena itu, dengan mendasarkan pada filsafat politik Plato, ia menghendaki
seorang pemimpin Negara juga seorang filsuf.

IV. KESIMPULAN
Telah disebutkan bahwa al-Ghazali telah menghukumi kafir terhadap para filosof-
filosof dalam tiga masalah. Keputusan al-Ghazali tersebut tidak dibenarkan oleh Ibnu Rusyd.
Pengkafiran dalam masalah kebangkitan jasmani tidak beralasan karena masalah ini bagi para

18[18] Ilyas supena, Filsafat Islam, hlm.154


filosof adalah persoalan teori. Pengkafiran dalam masalah tidak mengetahuinya Tuhan
terhadap hal-hal yang kecil tidak tepat karena masalah ini tidak menjadi pendapat-pendapat
filosof. Pengkafiran dalam masalah qadimnya alam tidak juga tepat, karena pengertian
qadimnya alam tidak sama dengan apa yang dipahami oleh ulama-ulama Kalam. Sedangkan
kontekstualisasi Ibnu Rusyd dalam bidang sosio-agama yaitu Ibnu Rusyd telah mengajarkan
kita prinsip dan nilai nilai beragama yang rasional, toleran, dan ramah. Ibnu Rusyd juga
senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan, seperti Pluralisme dalam
berijtihad, kebebasan untuk berfikir, beliau juga mengadakan dialog antar umat beragama
bertujuan untuk mencegah kesalahpahaman.

V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan semoga dapat bermanfaat bagi
pembaca maupun penulis. Kami telah berusaha semaksimal mungkin dengan segala
keterbatasan kami, kami menyadari bahwa masih banyak kesalahn dalam penulisan maupun
teknis pembuatan makalah ini. Untuk itu, kritik yang konstruktif sangat kami harapkan untuk
perbaikan makalah yang selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai