Anda di halaman 1dari 5

TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENCABUTAN HAK POLITIK

Negara hukum yang disandang negara Republik Indonesia, sebagaimana yang telah
ditegaskan dalam UUD 1945 adalah negara yang berdasar atas hukum (rechstaat), tidak
berdasarkan kekuasaan belaka (maachtstaat). Sebagai negara hukum, tindakan pemerintah
maupun rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan sewenang-wenang
dari pihak penguasa dan tindakan rakyat menurut kehendaknya sendiri.

Indonesia sendiri sebagai Negara hukum seperti di tegaskan dalam Undang-Undang


Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. telah mengatur
secara komperhensif mengenai Hak Asasi Manusia dalam Pasal 27 UUD 1945 sampai dengan
pasal Pasal 34 UUD 1945.

Hal ini menandakan bahwa komitmen Indonesia dalam menegakan Hak Asasi Manusia
telah secara tegas di atur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
yang mengatur Hak Asasi Manusia antara lain: Hak Sipil, Politik, Ekonomi, Budaya dan Sosial.
Sejak bergulirnya reformasi, isu pemberantasan korupsi selalu menjadi tema sentral dalam
penegakan hukum di Indonesia. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang
ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Korupsi merupakan masalah serius, yang dapat
membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan social,
ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat
naun perbuatan ini akan menjadi budaya.

Perkembangan isu kontemporer mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia bukan hanya
tentang pelanggaran secara fisik atau kekerasan tetapi lebih mengarah kepada pencabutan Hak
Politik bagi Koruptor yang telah menjadi Pro Kontra di kalangan masyarakat karena banyaknya
kasus korupsi di Indonesia banyak pihak yang mendukung tentang pencabutan hak politik bagi
koruptor serta yang menentang gagasan tersebut.

Hak politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia
yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar menusia bebas menikmati hak
politik yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara. Perubahan Konstitusi Undang-
Undang Dasar Negara RI tahun 1945 yang terjadi sebanyak 4 (empat) kali semasa reformasi
bergulir, tidak ketinggalan, isu yang sangat krusial seperti hak asasi manusia (HAM), ditampung
kedalam satu Bab khusus mengenai HAM. Hak-hak dasar yang diakui secara universal kini
mendapatkan pengakuan yang kuat oleh negara, hak inipun menjadi hak konstitusional
(constitutional right) yang dijamin oleh hukum tertinggi.

Pencabutan Hak Politik bagi terpidana Korupsi merupakan salah satu bentuk pembatasan
terhadap Hak Asasi Manusia yang telah di atur secara tegas dalam konstitusi Indonesia,
pencabutan hak politik bukan saja melanggar HAM akan tetapi lebih dari pada itu Negara telah
melakukan diskriminasi terhadap warga Negara yang pada hakikatnya UUD 1945 telah jelas
mengatur dan melindungi HAM rakyat Indonesia, dalam pasal 28 I ayat 4 menyatakan bahwa:
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah.”

Dalam hal ini telah jelas bahwa tugas Negara terutama pemerintah adalah melindungi
Hak Asasi Manusia tanpa adanya perbedaan atau diskrimanasi yang pada prinsipsiya setiap
warga Negara memiliki hak yang sama dalam berpolitik yaitu dalam memilih dan di pilih.
Hukuman pencabutan hak politik bagi koruptor bukan hal yang tepat untuk diterapkan. Sebab,
hukuman penjara dan perampasan aset oleh negara seperti yang diterapkan saat ini sudah cukup
berat dan memberi efek jera bagi pelakunya.

Adanya hukuman hukuman mati diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang
Tindak Pidana Korupsi. Hukuman tersebut menjadi bagian dari Pasal 2 ayat 1 yang mengatur
tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan Negara yang
menyatakan bahwa: "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan".

Anas Urbaningrum adalah terpidana korupsi yang terbukti melakukan tindak pidana
korupsi dan pencucian uang terkait proyek Hambalang dan proyek APBN lainnya. Vonis yang
dijatuhkan oleh hakim sangat berat karena anas tidak hanya mendapatkan pidana penjara dan
denda, namun hakim memberatkan pidanannya dengan menjatuhkan pidana tambahan berupa
pencabutan hak politik. Dengan dalih bahwa Anas adalah pejabat publik tidak semestinya
melakukan perbuatan korupsi yang merugikan keuangan negara. Bahwa yang dimaksud pejabat
publik berdasarkan UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention
Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) pada
lampiran Pasal 2 huruf a adalah:

“Setiap orang yang memegang suatu jabatan legislatif, eksekutif, administratif atau
yudisial dari satu negara peserta, ditunjuk atau dipilih, tetap atau sementara, dibayar atau
tidak dibayar, terlepas dani senioritas orang itu; Setiap orang lain yang melaksanakan
fungsi publik, termasuk suatu instansi publik atau perusahaan publik, atau yang
menyediakan suatu pelayanan publik, sebagaimana (ditetapkan) dalam hukum nasional
negara peserta dan seperti yang diterapkan dalam bidang hukum yang bersangkutan di
negara peserta; Setiap orang lain yang ditetapkan sebagai "pejabat publik" dalam hukum
nasional suatu negara peserta. Namun demikian, untuk tujuan beberapa tindakan-tindakan
khusus sebagaimana dimuat dalam Bab II Konvensi ini“pejabat publik” dapat juga berarti
setiap orang yang melakukan fungsi publik atau (memberikan), (menyediakan) suatu
pelayanan publik sebagaimana ditetapkan dalam hukum nasional negara peserta dan
sebagaimana diterapkan dalam bidang hukum yang berkaitan dalam hukum negara
peserta itu.”
Vonis pidana tambahan berupa pencabutan hak dapat membuat jera, karena sesuai
dengan tujuan utama pemidanaan di samping membuat jera pelaku juga bersifat preventif,
deterrence dan reformatif. Menurut Utrecht, pemidanaan bertujuan sebagai prevensi atau
perlindungan kepada masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat
itu. Sedangkan tujuan yang bersifat deterrence adalah untuk menimbulkan rasa takut untuk
melakukan kejahatan yang dibagi menjadi tujuan deterrence yang bersifat individual yang
dimaksudkan agar pelaku menjadi jera untuk melakukan kejahatan, dan yang bersifat publik
yaitu agar anggota masyarakat lain merasa takut melakukan kejahatan serta yang bersifat jangka
panjang untuk dapat memelihara keajegan sikap masyarakat terhadap pidana.

Seseorang untuk bisa korupsi butuh kepintaran bagaimana caranya untuk bisa menyusun
taktik, dan orang mencari yang bisa “dibeli.” Tidak salah jika korupsi masuk dalam lingkup
white collar crime & sophisticated crime, yang menguasai “dunianya” dengan kepribadian
pandai dan terhormat. Koruptor bisa dikatakan orang yang “sakit rohaninya” sehingga patut
dikutuk. Khususnya disektor korupsi politik (political corruption) yang mampu menimbulkan
akibat dahsyat bagi hak asasi manusia.” Mubyarto dan Huntington pun berpendapat untuk
Indonesia sejak dulu yang terjadi adalah korupsi politik dengan dampak yang massive dan
mengancam stabilitas.

Dalam dunia politik, suatu negara demokrasi dengan konsep kedaulatan rakyat yang
diimplementasikan perwujudannya melalui Pemilu (dengan partai sebagai kendaraan politik)
untuk memilih para wakil di Parlemen atau Pemimpinnya guna menduduki jabatan Publik
(seperti Kepala Negara/ Pemerintahan, Kepala Daerah) akan menjadi sangat berbahaya jika
terpilih sosok berkepribadian korup yang akan menciptakan rezim korup & berakibat serta
berdampak pada krisis ekonomi, krisis pemerintahan, krisis hukum dan berujung pada krisis
kepercayaan.

Sejarah pemberantasan korupsi mencatat sudah banyak pelaku korupsi yang berlatar
belakang pejabat publik dikenakan sanksi pidana kemudian berstatus terpidana, akan tetapi
kembali lagi bangkit dan eksis didunianya (baik jabatan negeri maupun jabatan publik) untuk
kembali mendapatkan jabatan/atau kedudukan berstatus tersangka dan terpidana pun masih
berusaha eksis menduduki jabatan di eksekutif & penyelenggara negara seperti diantaranya;
Azirwan (terpidana suap terhadap anggota DPR-RI Al Amin Nasution yang kemudian menjadi
Kadis Kelautan & Perikanan Prov. Kepri), Beberapa eks anggota DPRD Prov. Papua Barat
diantaranya : Jimmi Damianus Idjie, Chaidir Jafar, Robert Riwu dkk (Kesemuanya adalah
anggota DPRD Papua Barat periode 2009 - 2014 adalah terpidana korupsi penyalahgunaan
APBD Papua Barat 2011 sebesar Rp 22 Milyar),” Teddy Tengko (Bupati Kab. Kepulauan Aru
terkait Terpidana Korupsi APBD dari Maluku Utara yang masih bersikukuh untuk menjabat),
yang pada akhirnya mampu membuat usaha negara untuk memberantas korupsi menjadi
kontradiktif karena dalam penyelenggaraan pemerintah dan bernegara menjunjung tinggi etika,
moral dan kejujuran dalam kegiatannya berdasarkan Pancasila & UUDNRI 1945.

Pencabutan hak politik pada dasarnya merupakan tambahan atas hukuman yang sudah
ada. Dengan keputusan itu, terpidana kehilangan hak memilih dan dipilih selain menduduki
jabatan publik. Hakim memandang terpidana telah menyalahgunakan hak dan wewenangnya
sebagai pejabat publik. Dasar hukum pencabutan hak politik tersebut terdapat pada Pasal 10
KUHP dan Pasal 18 UU Tipikor Ayat 1 mengenai pidana tambahan, bisa berupa pencabutan
seluruh atau sebagian hak tertentu. Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk
memilih dan dipilih dalam jabatan publik kepada terpidana korupsi yang telah dinyatakan
terbukti bersalah, dengan sendirinya akan terseleksi secara alamiah di masyarakat. Masyarakat
sudah cerdas dalam menilai seseorang untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik, dan
dengan sendirinya bagi terpidana korupsi akan tereleminir sendiri dalam menentukan hak-haknya
tertentu. Akibat keuangan negara digerogoti oleh koruptor telah menjadikan pertimbangan
mendasar oleh hakim guna memastikan perbuatan korupsi tidak akan terjadi dikemudian hari.
Pencabutan hak politik menjadi jalan tengah untuk melakukan tindakan pencegahan dalam
rangka meminimalisir perbuatan korupsi di Indonesia.

Maka dari itu, hendaknya kepada hakim-hakim pengadilan tindak pidana korupsi untuk
tetap mempertahankan penjatuhan hukuman pencabutan hak politik sebagai bentuk sanksi yang
dapat memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi serta mendorong kepada
pembentuk Undang-Undang untuk segera merumuskan RUU Pencabutan Hak Politik agar
parameter penjatuhan hukuman kepada pelaku tindak pidana korupsi dapat dijangkau oleh hakim
melalui putusan-putusannya.

Anda mungkin juga menyukai