Anda di halaman 1dari 17

KEBANKSENTRALAN

KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA DENGAN SASARAN KESTABILAN


HARGA (INFLATION TARGETTING)

OLEH KELOMPOK 4 :

1. NI PUTU IAS PRAPNUWANTI (1515151013)


2. AZIZA NABILA ISNANI (1515151061)
3. SANG AYU KADEK NOPIANI (1515151136)
4. I KETUT GEDE PANDE SUPRIAWAN (1515151027)
5. I DEWA AGUNG ALIT SANTHIKA (1515151139)

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN PROGRAM NON REGULER

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2017
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA DENGAN SASARAN KESTABILAN
HARGA (INFLATION TARGETTING)

BAB I
KAJIAN TEORI

1.1 DEFINISI DAN TUJUAN KEBIJAKAN MONETER

Kebijakan moneter adalah kebijakan bank sentral atau otoritas moneter dalam bentuk
pengendalian besaran moneter dan suku bunga untuk mencapai tujuan perekonomian yang
diinginkan. Pada umumnya, besaran moneter meliputi uang primer (M0). Sementara
itu,tujuan kebijakan moneter meliputi terjaganya stabilitas ekonomi makro yang antara lain
dicerminkan oleh stabilitas harga (rendahnya laju inflasi), membaiknya perkembangan output
rill (pertumbuhan ekonomi), serta cukup luasnya lapangan/kesempatan kerja yang tersedia.

Pengendalian jumlah uang beredar sangat penting dalam perekonomian karena jumlah
uang beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan harga-harga (inflasi) dan pada
akhirnya mengurangi daya beli masyarakat. Sebaliknya, jumlah uang beredar yang terlalu
rendah akan dapat mengakibatkan kelesuan ekonomi (resesi) dan pada lanjutannya
mengakibatkan penurunan kemakmuran masyarakat. Sementara itu, mekanisme transmisi
kebijakan moneter melalui suku bunga dalam mempengaruhi pereonomian dilakukan dengan
penetapan suku bunga. Suku bunga yang terlalu tinggi akan menyebabkan tingginya biaya
dana yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan investasi dan pada gilirannya akan
berdampak pada terjadinya kelesuan ekonomi (resesi). Sebaliknya, suku bunga yang terlalu
rendah akan menyebabkan biaya daya menurun yang akan mendorong peningkatan investasi
dan pertumbuhan ekonomi. Namun jika pertumbuhan ekonomi tidak diimbangi dengan
peningkatan penawaran agregat maka akan dapat mendorong tingkat harga-harga (inflasi).

Kebijakan moneter tersebut di atas merupakan bagian integral dari kebijakan ekonomi
makro, yang pada umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan siklus kegiatan ekonomi,
sifat perekonomian suatu Negara tertutup atau terbuka, serta factor-faktor fundamental
ekonomi lainnya. Dalam pelaksanaannya, strategi kebijakan moneter dilakukan berbeda-beda
dari suatu Negara dengan Negara lain sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan
mekanisme transmisi yang diyakini berlaku pada perekonomian yang bersangkutan.
Berdasarkan strategi dan transmisi yang dipilih, dirumuskan kerangka operasional kebijakan
moneter.
1.2 KEBIJAKAN MONETER DAN SIKLUS KEGIATAN EKONOMI

Untuk mengelola dan memengaruhi perkembangan perekonomian agar dapat


berlangsung dengan baik dan stabil, pemerintah dan atau otoritas moneter biasanya
melakukan langkah-langkah yang dikenal dengan kebijakan stabilisasi ekonomi makro. Inti
dari kebijakan tersebut dasarnya adalah pengelolaan sisi permintaan dan sisi penawaran suatu
perekonomian agar mengarah pada kondisi keseimbangan dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang berkesinambungan. Kebijakan moneter sebagai salah satu kebijakan ekonomi
makro pada umumnya diterapkan sejalan dengan siklus kegiatan ekonomi (business cycle).
Sebagaimana diketahui business cycle merupakan suatu jenis fluktuasi yang terjadi secara
regular pada perkembangan ekonomi suatu Negara. Siklus tersebut umumnya terdiri dari
ekspansi yang terjadi pada kurun waktu tertentu ketika dunia usaha meningkat kegiatannya,
yang kemudian diikuti oleh perlambatan kegiatan ekonomi atau resesi, sampai akhirnya
kembali pada pulihnya perkembangan ekonomi dengan fase ekspansi pada siklus berikutnya.
Urutan dari perubahan-perubahan tersebut terjadi secara berulang, meskipun lamanya kurun
waktu satu siklus ekonomi dapat bervariasi antara satu tahun samapai dengan sepuluh tahun
atau dua belas tahun.

Perkembangan ekonomi suatu Negara tertentu mengalami pasang surut (siklus)


sejalan dengan business cycle. Sehubungan dengan hal tersebut maka kebijakan moneter
yang diterapkan juga perlu disesuaikan dengan pergerakan kegiatan ekonomi. Pada kondisi
ketika perekonomian sedang mengalami perkembangan yang meningkat tentu kebijakan
moneter berbeda dengan kebijakan moneter yang diterapkan pada saat perekonomian sedang
melambat (depression atau slump). Dalam kajian literature dikenal dengan dua jenis
kebijakan moneter, yaitu kebijakan ekonomi ekspansif adalah kebijakan moneter yang
ditunjukan untuk mendorong kegiatan ekonomi, yang antara lain dilakukan melalui
peningkatan jumlah uang beredar atau penurunan suku bunga kebijakan. Sebaliknya,
kebijakan moneter kontraktif adalah kebijakan moneter yang ditujukan untuk memperlambat
kegiatan ekonomi, yang antara lain dilakukan melalui penurunan jumlah uang beredar atau
peningkatan suku bunga kebijakan.

Dalam pelaksanaannya, efektivitas kebijakan moneter tersebut tergantung pada


hubungan antara uang beredar dan variabel ekonomi utama seperti pertumbuhan ekonomi dan
inflasi. Dari sejumlah literature, inflasi,dan pertumbuhan ekonomi adalah bahwa dalam
jangka panjang, hubungan antara pertumbuhan uang beredar dan inflasi adalah sempurna,
sedangkan hubungan antara pertumbuhan uang atau inflasi dan pertumbuhan ekonomi
cenderung mendekati nol. Tememuan ini menunjukkan adanaya consensus bahwa dalam
jangka panjang, kebijakan moneter hanya akan berdampak pada inflasi dan tidak banyak
pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi rill. Perbedaan pendapat yang masih berlanjut baik
dalam tataran teoretis maupun empiris ialah terkait dengan ada tidaknya dan kalau ada,
seberapapun kuat pengaruh uang beredar terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka
pendek.
Terlepas dari perbedaan sudut pandang diatas, umumnya kalangan praktisi maupun
akademisi meyakini bahwa dalam jangka pendek kebijakan moneter ekspansif dalam
mendorong kegiatan ekonomi yang sedang mengalami resesi yang berkepanjangan.
Sebaliknya, kebijakan moneter kontraktif dapat memperlambat laju inflasi yang pada
umumnya terjadi pada saat kegiatan perekonomian sedang mengalami boom.

Salah satu contoh yang dapat dijelaskan disini adalah situasi pada kurun waktu atau
fase kegiatan perekonomian sedang mengalami resesi (misalnya dari A ke B). Bank Sentral
dapat memperpendek periode resesi dengan melakukan kebijakan moneter yang ekspansif
sehingga perekonomian dapat lebih cepat menglami pemulihan kembali (recovery).
Sebaliknya, dalam kondisi perekonomian mengalami perkembangan yang meningkat, bank
sentral dapat menghindari pemanasan kegiatan ekonomi (overheating) dengan melakukan
kebijakan moneter yang kontraktif. Pola penerapan kebijakan moneter yang secara aktif
bersifat ‘ memperlunak’ fluktuasi kegiatan ekonomi tersebut dikenal dengan counter-cyclical
monetary policy.

Gambar grafik 1.1

1.3 KEBIJAKAN MONETER DAN KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO LAIN

Penerapan kebijakan moneter tidak dapat dilakukan secara terpisah dengan penerapan
kebijakan ekonomi makro lainnya, seperti kebijakan fiscal dan kebijakan sektor rill. Pada
gambar dibawah sebagai contoh terlihat bahwa dalam neraca fiscal pembiayaan yang berasal
dari perbankan dalam negeri memiliki keterkaitan dengan tagihan bersih kepada pemerintah
pusat dalam neraca moneter, begitu pula perubahan cadangan devisa pada neraca pembayaran
memiliki keterkaitan dengan aktiva luar negeri bersih pada neraca moneter.
Pengertian optimal disiniadalah pelaksanaan anatar kebijakan dapat dikoordinasikan
dengan baik sehingga tidak menimbulkan dampak yang bertentangan satu sama lain bagi
pencapaian tujuan kebijakan ekonomi makro secara keseluruhan. Salah satu contoh
penerapan bauran kebijakan yang banyak dikenal adalah bauran kebijakan –fiskal (monetary-
fiscal policy mix). Apabila perekonomian mengalami resesi berkepanjangan, kebijakan
moneter dan fiscal yang sama-sama ekspansif dan dikoordinasikan secara tepat dapat
mendorong kegiatan ekonomi dengan pengaruh yang moderat pada perkembangan inflasi. Di
sisi lain, dalam hal perekonomian mengalami pertumbuhan yang terlalu cepat dan mengalami
masalah kenaikan harga-harga secara tajam (overheating), kebijakan moneter dan fiscal yang
sama-sama kontraktif dan terkoordinasi akan bermanfaat bagi upaya untuk mengurangi laju
ekspansi kegiatan perekonomian tersebut agar tekanan inflasi mereda.

1.4 KEBIJAKAN MONETER DALAM PEREKONOMIAN TERBUKA

Dalam era perekonomian global, interaksi ekonomi antar Negara merupakan salah
satu aspek penting dari perkembangan ekonomi suatu Negara yang semakin terbuka. Dengan
semakin besarnya keterkaitan antar negara, semakn terbuka juga perekonomian suatu negara
yang bersangkutan, yang tercermin pada peningkatan transaksi perdagangan dan arus dana
antar negara. Sebuah negara yang tidak dapat memenuhi kebutuhan barang dan jasa tertentu
dari produksi di dalam negeri dapat mengimpor barang dan jasa tersebut dari negara lain. Di
sisi lain, suatu negara dapat mengekspor barang dan jasa yang diproduksinya kepada negara
lain yang membutuhkan. Demkian pula arus dana antarnegara semakin meningkat dengan
semakin terbukanya perekonomian dan globalisasi keuangan. Pendanaan investasi pada suatu
negara tidak hanya terbatas pada kredit perbankan ataupun penjualan saham obligasi di pasar
modal dalam negeri, tetapi dapat pula berasal dari penanaman modal asing, pinjaman luar
negeri atau surat-surat yang dibeli oleh investor asing.

Keterbukaan ekonomi suatu negara akan membawa konsekuensi pada perencanaan


dan pelaksanaan kebijakan ekonomi makro, termasuk kebijakan moneternya. Hal itu karena
semakin besar transaksi perdagangan dan keuangan internasional yang dilakukan oleh suatu
negara, semakin besar pula aliran dana luar negeri yang masuk dan keluar dari negara
bersangkutan. Aliran dana luar negeri tersebut selanjutnya akan mempengaruhi jumlah uang
yang beredar, suku bunga, dan nilai tukar dalam perekonomian, yang pada akhirnya akan
berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Mekanisme dan besarnya pengaruh
aliran dana luar nnegeri tersebut akan dipengaruhi oleh sistem nilai tukar dan sistem devisa
yang dianut negara yang bersangkutan.

Secara teoritis kondisi tersebut diatas dapat dijelaskan dengan model Mundell-fleming
untuk melihat dampak ekspansi kebijakan moneter dan penyesuaian nilai tukar terhadap
perekonomian. Pada gambar dibawah terlihat ekspansi kebijakan moneter (LM ke LM) dalam
suatu negara yang menganut sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate system)
akan menurunkan tingkat suku bunga dan menaikkan output perekonomian tersebut.
Pengaruh selanjutnya adalah pelemahan nilai tukar (depresiasi) negara yang bersangkutan
yang berdampak positif bagi peningkatan ekspor. Turunnya suku bunga dalam negeri yang
relative lebih rendah dari suku bunga negara lain akan mendorong terjadinya capital outflow,
namun demikian keuntungan dari surplus neraca perdagangan akibat kenaikan ekspor dapat
menutup capital outflow sehingga secara keseluruhan neraca pembayaran (balance of
payments, BOP) mengalami surplus (BP ke BP). Bagi perekonomian secara keseluruhan,
dampak kebijakan moneter ekspansif dalam sistem nilai tukar mengambang adalah
meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan surplus neraca pembayaran. Kebijakan moneter
ekspansif akan menguntungkan negara yang menganut sistem floating exchange rate.

1.5 SISTEM NILAI TUKAR

Nilai tukar suatu mata uang didefinisikan sebagai harga relatif dari suatu mata uang
terhadap mata uang lainnya. Pada dasarnya terdapat tiga sistem nilai tukar, yaitu (1) fixed
exchange rate (sistem nilai tukar tetap), (2) managed floating exchange rate (sistem nilai
tukar mengambang terkendali), dan (3) floating exchange rate (sistem nilai tukar
mengambang). Pada system nilai tukar tetap, nilai tukar atau kurs suatu mata uang terhadap
mata uang lain ditetapkan pada nilai tertentu, misalnya, nilai tukar rupiah terhadap mata uang
dollar Amerika adalah Rp. 8.000, per dollar. Pada nilai tukar ini bank sentral akan siap untuk
menjual atau membeli kebutuhan devisa untuk mempertahankan nilai tukar yang ditetapkan.
Apabila nilai tukar tersebut tidak dapat dipertahankan, bank sentral dapat melakukan
devaluasi ataupun revaluasi atas nilai tukar yang ditetapkan.

Grafik 1.2

System floating exchange rate

Devaluasi adalah kebijakan yang diambil pemerintah suatu negara untuk secara
sepihak menentukan nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap mata uang lainnya;
misalnya nilai tukar rupiah yang semula ditetapkan Rp. 8.000 per dollar AS diturunkan
menjadi Rp. 9.000 per dollar AS. Sebaliknya revaluasi adalah kebijakan menaikan nilai tukar
negara tersebut terhadap mata uang lain. Kebijakan devaluasi atau revaluasi biasanya
dilakukan dalam rangka mempertahankan kinerja perdagangan luar negeri suatu negara.
Sebagai contoh, kebijakan devaluasi dalam jangka pendek dapat meningkatkan daya saing
sehingga merangsang kegiatan ekspor, dengan asumsi ngara laintidak membalas dengan
melakukan tindakan devaluasi dan eksportir dapat meningkatkan efidiensi produksi untuk
pemenuhan permintaan ekspornya.

Pada system nilai tukar mengambang, nilai tukar dibiarkan bergerak sesuai dengan
kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. Dengan demikian, nilai tukar akan
menguat apabila terjadi kelebihan penawaran valuta asing. Bank sentral dapat saja melakukan
intervensi di pasar valuta asing, yaitu dengan menjual devisa dalam hal terjadi kekurangan
pasokan atau membeli devisa apabila terjadi kelebihan penawaran untuk menghindari gejolak
nilai tukar yang berlebihan di pasar. Akan tetapi intervensi dimaksud tidak diarahkan untuk
mencapai target tingkat nilai tukar tertentu atau dalam kisaran tertentu.

Sistem nilai tukar mengambang terkendali merupakan system yang ada diantara kedua
system nilai tukar di atas. Dalam system nilai tukar itu, bank sentral menetapkan suatu
kisaran tertentu dari pergerakan nilai tukar yang disebut intervention band (batas pita
intervensi). Nilai tukar akan ditentukan sesuai dengan mekanisme pasar sepanjang berada di
dalam batas kisaran pita intervensi tersebut. Apabila nilai tukar menembus batas atas atau
batas bawah dari kisaran tersebut, bank sentral akan secara otomatis melakukan intervensi di
pasar valuta asing sehigga nilai tukar bergerak kembali ke dalam pita intervensi.

Setiap sitem nilai tukar mempunysi kelebihan dan kelemahan. Pemilihn system yang
diterapkan akan tergantung pada situasi dan kondisi negara yang bersangkutan, kususnya
besarnya cadangan devisa yang dimiliki, kebutuhan ekonomi, system devisa yang dianut
(bebas, semi terkontrol, atau terkontrol) dan besarnya volume pasar valuta asing domestic.

Sistem nilai tukar tetap mempunya kelebihan karena adanya kepastian nilai tukar bagi
pasar. Akan tetapi, system ini membutuhkan cadangan devisa yang besar karena keharusan
bank sentral untuk mempertahankan nilai tukar pada level yang ditetapkan. Selain itu system
ini dapat mendorong kecenderungan dunia usaha untuk tidak melakukan hedging
(perlindungan nilai) valuta asingnya terhadap risiko perubahan nilai tukar. Sistem ini
umumnya diterapkan di negara yang mempunyai cadangan devisa besar, dengan system
devisa yang masih relative terkontrol. Sementara itu, sitem nilai tukar mengambang
mempunyai kelebihan dengan tidak perlunya cadangan devisa yang besar karena bank sentral
tidak harus mempertahankan nilai tukar pada suatu level tertentu. Akan tetapi, nilai tukar
yang terlalu berfluktasi dapat menambah ketidakpastian di dunia usaha. Sistem ini umumnya
diterapkan di negara yang mempunyai cadangan devisa relative kecil sementara system
devisa yang dianut cenderung bebas.
Pergerakan nilai tukar di pasar dipengaruhi oleh factor fundamental dan
nonfundamental. Faktor fundamental tercermin dari variable-variabel ekonomi makro seperti,
seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, dan perkembangan ekspor. Sementara itu, factor
nonfundamental, anatara lain berupa, sentiment pasar terhadap perkembangan social politik,
factor psikologi pelaku pasar dalam memperhitungkan informasi, rumor, atau perkembangan
lain dalam menentukan nilai tukar sehari-hari.

1.6 SISTEM DEVISA

Devisa merupakan asset keuangan yang digunakan dalam transaksi internasional.


Penetapan system devisa pada suatu negara ditujukan untuk mengatur pergerakan lalu lintas
devisa antara penduduk dan bukan penduduk dari suatu negara ke negara lain. Pada dasarnya
ada tiga system devisa yaitu, (i) system devisa terkontrol, (ii) system devisa semi terkontrol,
dan (iii) system devisa bebas. Pemilihan system devisa mana yang dianut akan tergantung
kondisi negara yang bersangkutan, khususnya keterbukaan ekonominya dalam arti seberapa
jauh negara yang bersangkutan ingin mengintegrasikan ekonominya dengan ekonomi global.

Pada system devisa terkontrol, devisa pada dasarnya dimiliki oleh negara. Oleh
karena itu, setiap perolehan devisa oleh masyarakan harus diserahkan kepada negara dan
setiap penggunaan devisa harus memperoleh izin dari negara. Pada system devisa semi
terkontrol, kewajiban penyerahan dan izin dari negara ditetapkan untuk perolehan dan
penggunaan devisa-devisa tertentu, sementara jenis devisa lainnya dapat secara bebas
diperoleh dan dipergunakan. Pada system devisa bebas, masyarakat dapat secara bebas
memperoleh dan menggunakan devisa.

1.7 SISTEM NILAI TUKAR, SISTEM DEVISA, DAN KEBIJAKAN MONETER

Pada dasarnya, pemilihan system nilai tukar dan system devisa, serta independensi
kebijakan moneter dari pengaruh perkembangan luar negeri merupakan tiga isu strategis
dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter dalam perekonomian terbuka.
Umumnya, dalam hal diterapkan system devisa terkontrol, mobilitas aliran dana dari dan ke
luar negeri cenderung terkendali sehingga dampaknya terhadap perkembangan jumlah uang
beredar di dalam negeri juga relatif tidak besar. Sementara itu, dalam hal diterapkan system
devisa bebas, mobilitas aliran dana dari dan ke luar negeri akan semakin meningkat, baik
dalam jumlah maupun fluktuasi. Sebagai akibatnya, Perkembangan jumlah uang beredar di
dalam negeri akan banyak dipengaruhi oleh aliran dana luar negeri tersebut.

Seberapa jauh kemampuan kebijakan moneter dalam mengatasi pengaruh aliran dana
luar negeri tersebut akan dipengaruhi oleh system nilai tukar yang dianut. Apabilai suatu
negara menerapkan system nilai tukar tetap, kebijakan moneter harus diarahkan untuk
mempertahankan nilai tukar pada tingkat yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kebijakan
moneter sulit dilaksanakan secara independen karena aliran dana luar negeri yang terjadi akan
berpengaruh langsung terhadap perkembangan jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi,
dan inflasi di dalam negeri. Sebaliknya, apabila suatu negara menerapkan system nilai tukar
mengambang, aliran dana luar negeri akan berpengaruh langsung terhadap perkembangan
nilai tukar di pasar. Oleh karena itu, kebijakan moneter dapat lebih independen untuk
difokuskan pada pengendalian jumlah uang beredar dan dampaknya terhadap pertumbuhan
ekonomi dan inflasi di dalam negeri.

Uraian di atas menunjukan bahwa dalam perekonomian terbuka stabilitas nilai tukar,
kebebasan mobilitas dana luar negeri, dan independensi pelaksanaan kebijakan moneter tidak
dapat dicapai secara bersamaan. Kondisi tersebut dalam literatur ekonomi dikenal dengan
istilah impossible trinity.

Yang dapat dicapai oleh bank sntral hanyalah dua dari tiga kondisi di atas. Jadi,
apabila diinginkan stabilitas nilai tukar dengan penerapan system nilai tukar tetap,
independensi kebijakan moneter mengharuskan pembatasan mobilitas dana luar negeri
melalui penerapan system devisa terkontrol. Sebaliknya, apabila dikehendaki kebebasan
mobilitas dana luar negeri dengan penerapan system devisa bebas, independensi kebijakan
moneter mengharuskan dianutnya system nilai tukar mengambang agar seperti diuraikan di
atas pengaruh mobilitas dana luar negeri tersebut dapat terserap oleh perubahan nilai tukar
(dengan konsekuensi nilai tukar tidak selalu stabil) dan jumlah uang beredar di dalam negeri
tetap terkendali.

1.8 KERANGKA STRATEGIS KEBIJAKAN MONETER

Kerangka strategis kebijakan moneter pada dasarnya terkait dengan penetapan tujuan
akhir kebijakan moneter dan strategi untuk mencapainya. Dalam kaitan ini, seperti telah
dijelaskan sebelumnya, tujuan akhir yang ingin dicapai kebijakan moneter lebih terkait
dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Melalui pencapaian tujuan ini, kebijakan moneter
dapat memberikan kontribusi optimal pada pencapaian stabilitas ekonomi makro secara
keseluruhan dan penciptaan kesempatan kerja. Permasalahannya adalah bahwa kedua sasaran
kebijakan moneter tersebut belum tentu dapat dicapai bersamaan karena sering kali
pencapaian sasaran-sasaran akhir tersebut bersifat saling bertentangan. Misalnya, upaya
untuk mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja pada
umumnya dapat mendorong peningkatan harga sehingga pencapaian stabilitas ekonomi
makro tidak optimal.

Dengan menyadari kontradiksi pencapaian sasaran tersebut, bank sentral dihadapkan


pada dua alternatif. Pilihan pertama adalah memilih salah satu sasaran untuk dicapai secara
optimal dengan mengabaikan sasaran lainnya, misalnya, memilih pencapaian tingkat inflasi
yang relatif rendah dengan mengabaikan pertumbuhan ekonomi, khususnya dalam jangka
pendek. Pilihan kedua adalah semua sasarn diusahakan untuk dapat dicapai, tetapi tidak ada
satu pun yang dicapai secara optimal, misalnya, mencapai tingkat inflasi yang tidak terlalu
rendah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sedikit lebih tinggi. Karena menyadari
kelemahan tersebut, dewasa ini beberapa negara secara bertahap telah bergeser menerapkan
kebijakan moneter yang lebih memfokuskan pada sasaran tunggal, yaitu stabilitas harga,
sebagai sasaran jangka menengah-panjang. Hal itu sejalan dengan perkembangan teori dan
temuan empiris bahwa kebijakan moneter hanya berpengaruh pada inflasi dan tidak pada
pertumbuhan ekonmi dalam jangka menengah-panjang.

Secara prinsip terdapat strategi dalam mencapai tujuan kebijakan kebijakan moneter.
Setiap strategi memiliki karakteristik sesuai dengan indicator tertentu yang digunakan sebagai
nominal anchor (jangkar nominal) atau semacam ‘sasaran antara’ dalam mencapai tujuan
akhir. Beberapa strategi kebijakan moneter tersebut, antara lain, ialah (i) exchange rate
targeting (penargetan nilai tukar), (ii) monetary targeting (penargetan besaran moneter), (iii)
inflation targeting (penargetan inflasi), (iv) implicit but notexplicit anchor (strategi kebijakan
moneter tanpa jangkar yang tegas).

1.9 PENARGETAN NILAI TUKAR

Strategi kebijakan moneter dengan penargetan nilai tukar mendasarkan pada


keyakinan bahwa nilai tukarlah yang paling dominan pengaruhnya terhadap pencapaian
sasaran akhir kebijakan moneter. Umumnya, strategi ini ditempuh oleh negara-negara yang
perekonomianya relatif kecil, tetapi sangat terbuka, seperti singapura dan Belanda. Dalam
pelaksanaannya terdapat tiga alternatif yang dapat ditempuh. Pertama, dengan menetapkan
nilai mata uang domestik terhadap harga komoditas tertentu yang diakui secara internasional,
seperti emas (standar emas). Kedua, dengan menetapankan nilai mata uang domestik
terhadap mata uang negara-negara besar yang mempunyai laju inflasi yang rendah. Ketiga,
dengan menyesuaikan nilai mata uang domestik terhadap mata uang negara tertentu ketiga
perubahan nilai mata uang diperkenakan sejalan dengan perbedaan laju inflsi diantara kedua
negara (crawling peg).

Kelebihan dari penargetan nilai tukar, antara lain, adalah sebagai berikut.

Pertama, penargetan nilai tukar dapat meredam laju inflasi yang berasal dari
perubahan harga barang-barang impor. Kedua, penargetan nilai tukar dapat mengarahkan
ekspektasi masyarakat terhadap inflasi. Ketiga, penargetan nilai tukar memberikan kaidah
baku (rules) dan dapat mendisiplinkan pelaksanaan kebijakan moneter. Keempat, penargetan
nilai tukar bersifat cukup sederhana dan jelas sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.

Disamping kelebihan-kelebihan diatas, penerapan strategi ini juga mempunyai


kelemahan sebagai berikut. Pertama, penargetan nilai tukar dalam kondisi ketika
perekonomian suatu negara sangat terbuka dan mobilitas dana luar negeri. Kedua, penargetan
nilai tukar dapat menyebabkan setiap gejolak struktural yang terjadi di negara lain akan
ditransmisikan atau berdampak secara langsung pada stabilitas perekonomian domestik.
Ketiga pengaruh nilai tukar retan terhadap tindakan spekulasi dalam pemengangan mata uang
domestik khususnya bagi negara yang memiliki cadangan devisa yang tidak besar.
1.10 PENARGETAN BESARAN MONETER

Pada banyak negara penargetan nilai tukar bukan menjadi pilihan utama dari strategi
kebijakan moneternya karena tidak ada suatu negara yang mata uangnya secara meyakinkan
dapat dijadikan sebagai acuan dalam penetapan strategi oleh negara lain. Untuk itu beberapa
negara lebih memilih penargetan besaran moneter, yaitu dengan menetapkan pertumbuhan
jumblah uang beredar sebagai sasaran antara, misalnya, uang beredar dalam dalam arti
sempet (M1) dan dalam arti luas (M2)16, serta kredit. Kelebihan utama dari penargetan
besaran moneter dibandingkan dengan penargetan nilai tukar adalah dimukinkannya
kebijakan moneter yang independen sehingga bank sentral dapat memfokuskan pencapaian
tujuan yang ditetapkan seperti laju inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan.

Sebagaimana penargetan nilai tukar, penargetan besaran moneter memungkinkan


masyarakat segera mengetahui stance (arah) moneter yang ditemuh oleh bank setral. Sinyal
tersebut diharapkan dapat mengarahkan ekspetasi masyarakatan terhadap laju inflasi yang
akan terjadi serta mengurangi tekanan inflasi. Strategi ini sangat bergantung pada kestabilan
hubungan antara b esaran moneter dan sasaran akhir kebijakan (perkembangan harga dan
output). Dengan semakin berkembangnya instrumen keuangan dan semakin terintergrasinya
perekonomian domestik dengan internasional, kestabilan hubungan tersebut menjadi
terganggu, seperti tercermin pada ketidakstabilan incomevelocity (tingkat perputaran uang
dalam ekonomi). Hal ini antara lain yang menjadi alasan mengapa bank sentral tidak
menerapkan strategi tersebut dengan kaku, atau bahkan meninggalkan strategi itu.

1.1I PENARGETAN INFLASI

Dengan melemahnya hubungn antara besaran moneter dan sasaran akhir dari
kebijakan moneter, banyak negara mulai mengadopsi penargetan inflasi dalam pelaksanaan
kebijakan moneternya. Penargetan inflasi dilakukan dengan mengumumkan kepada publik
mengenai target inflasi dilakukan dengan mengumumkan kepada publik mengenai target
inflasi jangka menengah dan komitmen bank sentral untuk mencapai stabilitas harga sebagai
tujuan janka panjang dari kebijakan moneter. Untuk mencapai sasaran infasi tersebut, strategi
ini tidak mendasarkan pada satu indikator saja, misalnya, nilai tukar atau uang beredar saja,
tetapi mengevaluasi berbagai indikator kunci dan relevan untuk perumusan kebijakan
moneter. Yang diutamakan adalah pencapaian sasaran anatar seperti uang beredar atau nilai
tukar. Dengan menargetan inflasi sebagai jangka nominal, bank sentral dapat menjadi lebih
kredibel dan lebih fokus di dalam mencapai kestabilan harga sebagai tujuan akhir.

Walaupun penargetan dilakukan pada inflasi, strategi ini tidak mengabaikan


pencapaian tujuan kebijakan moneter lainya seperti perkembangan keluaran (output) dan
kesempatan kerja. Dalam hal ini, bank sentral senantiasa berupaya untuk memperhitungkan
stabilitas perkembangan output dan kesempatan kerja (pada tingkat tertentu) dalam jangka
pendek dalam penetapan sasaran inflasi janka-menengah yang ingin dicapai. Selain itu, dalam
rangka meminimukan penurunan output, bank sentral melakukan penyesuaian secara
bertahap sasaran inflasi jangka pendek menuju ke arah pencapaian sasaran laju inflasi jangka
menegah-panjang yang lebih rendah.

1.12 STRATEGI KEBIJAKAN MONETER TANPA JANGKAR YANG TEGAS

Dalam rangkaian mencapai kinerja perekonomian yang memuaskan seperti inflasi


yang rendah dan stabil serta pertumbuhan ekonomi sehat, beberapa negara lebih memilih
strategi kebijakan moneter tanpa mengungkapkan penargetan secara tegas. Akan tetapi, bank
setral tersebut tetap memberikan perhatian dan komitmen untuk mencapai tujuan akhir
kebijakan moneter. Sebagai salah satu cara contoh adalah bank sentral Amerika Serikat yang
tidak menyebutkan secara tegas mengenai jangkan nominal yag digunakan.

Walaupun di Amerika Serikat strategi telah berhasil, strategi itu dianggap kurang
terbuka/transpran sehingga masyarakat cenderung mereka maksud dan tujuan kebijakan yang
dikeluarkan oleh bank sentral. Hal ini memicu ketidak pastian dipasar mengenai prospek
perkembangan harga dan output. Ketidak tegasan strategi tersebut juga dapat menurunkan
akuntabilitas bank sentral di mata masyarakat dan parlemen karena tidak adanya kriteria
keberhasilan pencapaian kebijakan moneter yang umunya ditentukan terlebih dahulu.
BAB II

KAJIAN EMPIRIS

PEMULIHAN EKONOMI MELALUI KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Kestabilan harga dan nilai tukar merupakan prasyarat bagi pemulihan ekonomi karena
tanpa itu aktivitas ekonomi masyarakat, sektor usaha, dan sektor perbankan akan terhambat.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya jika fokus utama kebijakan moneter Bank
Indonesia selama krisis ekonomi ini adalah mencapai dan memelihara kestabilan harga dan
nilai tukar rupiah. Apalagi Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia secara
jelas menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah yang di dalamnya mengandung pengertian kestabilan harga (laju
inflasi) dan kestabilan nilai tukar rupiah. Dengan perkataan lain, sesuai dengan UU No. 23
tahun 1999 sasaran kebijakan moneter Bank Indonesia hanya satu (single objective), yaitu
memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal ini berbeda dengan Undang-undang tentang Bank
Sentral yang lama, yaitu UU No. 13 tahun 1968, yang menuntut Bank Indonesia untuk
memenuhi beberapa sasaran sekaligus (multiple objectives), yakni mendorong kegiatan
ekonomi, memperluas kesempatan kerja, dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yang
pencapaiannya pada hakekatnya dapat saling bertolak belakang, terutama dalam jangka
pendek.

Untuk mencapai tujuan di atas, Bank Indonesia hingga saat ini masih menerapkan
kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada pengendalian jumlah uang beredar atau
yang di kalangan akademisi dikenal sebagai quantity approach. Di dalam kerangka tersebut
Bank Indonesia berupaya mengendalikan uang primer (base money) sebagai sasaran
operasional kebijakan moneter. Dengan jumlah uang primer yang terkendali maka
perkembangan jumlah uang beredar, diharapkan juga ikut terkendali. Selanjutnya, dengan
jumlah uang beredar yang terkendali diharapkan permintaan agregat akan barang dan jasa
selalu bergerak dalam jumlah yang seimbang dengan kemampuan produksi nasional sehingga
harga-harga dan nilai tukar dapat bergerak stabil.

Dengan menggunakan kerangka kebijakan moneter seperti telah diuraikan di atas,


Bank Indonesia pada periode awal krisis ekonomi, terutama selama tahun 1998, menerapkan
kebijakan moneter ketat untuk mengembalikan stabilitas moneter. Kebijakan moneter ketat
terpaksa dilakukan karena dalam periode itu ekspektasi inflasi di tengah masyarakat sangat
tinggi dan jumlah uang beredar meningkat sangat pesat.Di tengah tingginya ekspektasi inflasi
dan tingkat risiko memegang rupiah, upaya memperlambat laju pertumbuhan uang beredar
telah mendorong kenaikan suku bunga domestik secara tajam. Suku bunga yang tinggi
diperlukan agar masyarakat mau memegang rupiah dan tidak membelanjakannya untuk hal-
hal yang tidak mendesak serta tidak menggunakannya untuk membeli valuta asing.

Upaya pemulihan kestabilan moneter melalui penerapan kebijakan moneter ketat yang
dibantu dengan upaya pemulihan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional mulai
memberikan hasil positif sejak triwulan IV 1998. Pertumbuhan uang beredar yang melambat
dan suku bunga simpanan di perbankan yang tinggi telah mengurangi peluang dan hasrat
masyarakat dalam memegang mata uang asing sehingga tekanan depresiasi rupiah berangsur
surut. Sejak pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah terhadap USD cenderung menguat dan
kemudian bergerak relatif stabil selama tahun 1999.

Sesuai dengan sistem nilai tukar mengambang yang diterapkan sejak 14 Agustus
1997, perkembangan nilai tukar rupiah lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar. Di
dalam sistem tersebut, penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi sejak pertengahan 1998
hingga akhir 1999 lebih banyak disebabkan oleh meredanya tekanan permintaan valas sejalan
dengan terkendalinya jumlah uang beredar dan turunnya ekspektasi inflasi.Bank Indonesia
hanya melakukan penjualan valas melalui mekanisme pasar pada harga pasar untuk
mensterilisasi atau menyedot kembali ekspansi moneter yang berasal dari pembiayaan defisit
anggaran pemerintah dan bukan terutama itujukan untuk mengarahkan nilai tukar rupiah ke
suatu tingkat tertentu. Pelaksanaan penjualan valas itu pun tidak sampai membahayakan
posisi cadangan devisa Bank Indonesia karena menggunakan devisa yang berasal dari
penarikan hutang luar negeri pemerintah yang memang diperuntukkan untuk mendukung
pembiayaan defisit anggaran pemerintah.

Nilai tukar rupiah yang menguat serta didukung oleh pasokan dan distribusi barang-
barang kebutuhan pokok yang membaik telah mendorong penurunan laju inflasi sejak awal
triwulan IV 1998. Bahkan, laju inflasi bulanan yang sempat mencapai 12,67% pada bulan
Februari 1998, mencatat angka negatif atau deflasi dalam bulan Oktober 1998. Deflasi
tersebut kemudian berlanjut sebanyak tujuh kali berturut-turut selama periode Maret –
September 1999. Dengan perkembangan tersebut, laju inflasi selama tahun 1999 hanya
mencapai 2,0%, jauh lebih rendah daripada laju inflasi selama tahun 1998 yang mencapai
77,6%. Berarti Indonesia telah berhasil mengelakkan bahaya hiperinflasi yang sempat
mengancam selama paruh pertama 1998.

Dalam perkembangan selanjutnya, laju inflasi yang sangat rendah dan nilai tukar
rupiah yang telah jauh menguat dibandingkan di masa puncak krisis telah memberikan ruang
gerak bagi Bank Indonesia untuk memperlonggar kebijakan moneter dan mendorong
penurunan suku bunga domestik. Sebagai cerminan kebijakan moneter yang agak longgar,
pertumbuhan tahunan sasaran indikatif uang primer yang sebelumnya terus diturunkan hingga
mencapai 11,2% pada Juni 1999, sejak awal semester II 1999 mulai dinaikkan hingga
mencapai 15,7% pada Maret 2000. Sejalan dengan itu, suku bunga SBI 1 bulan yang selama
ini menjadi patokan (benchmark) bagi bank-bank terus menurun dari level tertinggi 70,58%
pada September 1998 menjadi 11,0% pada akhir April 2000. Penurunan suku bunga SBI
yang cukup tajam itu diikuti oleh suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) dan simpanan
perbankan dengan laju penurunan yang hampir sama.
Adapun para ekonom sepakat ciri-ciri suatu Negara yang rentan terhadap krisis
moneter adalah apabila Negara tersebut:

 Memiliki jumlah hutang luar negeri yang cukup besar

 Mengalami inflasi yang tidak terkontrol

 Defisit neraca pembayaran yang besar

 Kurs pertukaran mata uang yang tidak seimbang

 Tingkat suku bunga yang diatas kewajaran

Jika ciri-ciri di atas dimiliki oleh sebuah negara, maka dapat dipastikan Negara
tersebut hanya menunggu waktu mengalami krisis ekonomi.

PERAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN MONETER YANG DILAKUKAN


INDONESIA

Kebijakan moneter yang dilakukan Indonesia dan dampaknya terhadap Perekonomian


Indonesia.Dalam sistem nilai tukar bebas dan perfect capital mobility,kebijakan moneter
lebih efektif dibandingkan kebijakan fiskal dalam upaya mencapai keseimbangan dan
stabilitas makroekonomi.Kebijakan moneter lebih berperan dalam menstimulasi pemulihan
ekonomi.Kebijakan moneter yang efektif menjanjikan tercapainya inflasi yang
rendah,stabilitas nilai tukar,dan suku bunga.

Salah satu dampak dari kapitalisme yakni uang berfluktuasi tak terkontrol tanpa ada
standar acuan yang baku. Konsep uang yang semula digunakan sebagai:

1. alat pertukaran atau media pembayaran

2. alat untuk menyimpan nilai

3. alat satuan hitung

4. juga dipakai sebagai alat spekulasi.

Ketika uang diperdagangkan di pasar valuta asing nilainya akan terus berfluktuasi
mengikuti harga pasar (supply and demand). Berdasarkan realita, kurs pertukaran uang
sesungguhnya dengan fiat money, dimana uang dijadikan komoditas perdagangan amat
sangat merugikan individu maupun tatanan masyarakat. Sebagai contoh jumlah hutang luar
negeri Indonesia yang semula US$ 102 Milyar hanya dalam waktu satu tahun naik lima kali
lipat menjadi US$ 510 Milyar, akibatnya dana yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk
mensejahterakan kehidupan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945, sebagian besar disedot
untuk membayar bunga dan pokok pinjaman. Untuk menutup defisit APBN kembali
pemerintah harus mengandalkan hutang sebagai sumber pendanaan.
BAB III
KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN

Pengendalian jumlah uang beredar sangat penting dalam perekonomian karena jumlah
uang beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan harga-harga (inflasi)dan pada
akhirnya mengurangi daya beli masyarakat. Sebaliknya, jumlah uang beredar yang terlalu
rendah akan dapat mengakibatkan kelesuan ekonomi (resesi) dan pada lanjutannnya
mengakibatkan penurunan kemakmuran masyarakat. Sementara itu, mekanisme transmisi
kebijakan moneter melalui suku bunga dalam mempengaruhi perekonomian dilakukan
dengan penetapan suku bunga. Suku bunga yang terlalu tinggi akan menyebabkan tingginya
biaya dana yang selanjutnya akan penurunan investasi dan pada gilirannya akan berdampak
pada terjadinya kelesuan ekonomi (resesi). Sebaliknya suku bunga yang terlalu rendah akan
menyebabkan biaya daya menurun yang akan mendorong peningkatan investasidan
pertumbuhan ekonomi.

Untuk mengelola dan mempengaruhi perkembangan perekonomian agar dapat


berlangsung dengan baik dan stabil, pemerintah dan otoritas moneter biasanya melakukan
langkah-langkah yang dikenal dengan kebijakan stabilisasi ekonomi makro.
DAFTAR PUSTAKA

 Pengantar kebanksentralan.editor : Dr. Iskandar Simorangkir, S,E,. M.A bab 3.


Kebijakan moneter halaman 61-79.
 Adiningsih, Sri. 2000. “Perkembangan Moneter Perbankan Indonesia“. PT. Gramedia,
Jakarta.
 Boediono, “Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di Indonesia”,
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Volume 1, Nomor 1, Juli
1998.

Anda mungkin juga menyukai