OLEH KELOMPOK 4 :
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA DENGAN SASARAN KESTABILAN
HARGA (INFLATION TARGETTING)
BAB I
KAJIAN TEORI
Kebijakan moneter adalah kebijakan bank sentral atau otoritas moneter dalam bentuk
pengendalian besaran moneter dan suku bunga untuk mencapai tujuan perekonomian yang
diinginkan. Pada umumnya, besaran moneter meliputi uang primer (M0). Sementara
itu,tujuan kebijakan moneter meliputi terjaganya stabilitas ekonomi makro yang antara lain
dicerminkan oleh stabilitas harga (rendahnya laju inflasi), membaiknya perkembangan output
rill (pertumbuhan ekonomi), serta cukup luasnya lapangan/kesempatan kerja yang tersedia.
Pengendalian jumlah uang beredar sangat penting dalam perekonomian karena jumlah
uang beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan harga-harga (inflasi) dan pada
akhirnya mengurangi daya beli masyarakat. Sebaliknya, jumlah uang beredar yang terlalu
rendah akan dapat mengakibatkan kelesuan ekonomi (resesi) dan pada lanjutannya
mengakibatkan penurunan kemakmuran masyarakat. Sementara itu, mekanisme transmisi
kebijakan moneter melalui suku bunga dalam mempengaruhi pereonomian dilakukan dengan
penetapan suku bunga. Suku bunga yang terlalu tinggi akan menyebabkan tingginya biaya
dana yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan investasi dan pada gilirannya akan
berdampak pada terjadinya kelesuan ekonomi (resesi). Sebaliknya, suku bunga yang terlalu
rendah akan menyebabkan biaya daya menurun yang akan mendorong peningkatan investasi
dan pertumbuhan ekonomi. Namun jika pertumbuhan ekonomi tidak diimbangi dengan
peningkatan penawaran agregat maka akan dapat mendorong tingkat harga-harga (inflasi).
Kebijakan moneter tersebut di atas merupakan bagian integral dari kebijakan ekonomi
makro, yang pada umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan siklus kegiatan ekonomi,
sifat perekonomian suatu Negara tertutup atau terbuka, serta factor-faktor fundamental
ekonomi lainnya. Dalam pelaksanaannya, strategi kebijakan moneter dilakukan berbeda-beda
dari suatu Negara dengan Negara lain sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan
mekanisme transmisi yang diyakini berlaku pada perekonomian yang bersangkutan.
Berdasarkan strategi dan transmisi yang dipilih, dirumuskan kerangka operasional kebijakan
moneter.
1.2 KEBIJAKAN MONETER DAN SIKLUS KEGIATAN EKONOMI
Salah satu contoh yang dapat dijelaskan disini adalah situasi pada kurun waktu atau
fase kegiatan perekonomian sedang mengalami resesi (misalnya dari A ke B). Bank Sentral
dapat memperpendek periode resesi dengan melakukan kebijakan moneter yang ekspansif
sehingga perekonomian dapat lebih cepat menglami pemulihan kembali (recovery).
Sebaliknya, dalam kondisi perekonomian mengalami perkembangan yang meningkat, bank
sentral dapat menghindari pemanasan kegiatan ekonomi (overheating) dengan melakukan
kebijakan moneter yang kontraktif. Pola penerapan kebijakan moneter yang secara aktif
bersifat ‘ memperlunak’ fluktuasi kegiatan ekonomi tersebut dikenal dengan counter-cyclical
monetary policy.
Penerapan kebijakan moneter tidak dapat dilakukan secara terpisah dengan penerapan
kebijakan ekonomi makro lainnya, seperti kebijakan fiscal dan kebijakan sektor rill. Pada
gambar dibawah sebagai contoh terlihat bahwa dalam neraca fiscal pembiayaan yang berasal
dari perbankan dalam negeri memiliki keterkaitan dengan tagihan bersih kepada pemerintah
pusat dalam neraca moneter, begitu pula perubahan cadangan devisa pada neraca pembayaran
memiliki keterkaitan dengan aktiva luar negeri bersih pada neraca moneter.
Pengertian optimal disiniadalah pelaksanaan anatar kebijakan dapat dikoordinasikan
dengan baik sehingga tidak menimbulkan dampak yang bertentangan satu sama lain bagi
pencapaian tujuan kebijakan ekonomi makro secara keseluruhan. Salah satu contoh
penerapan bauran kebijakan yang banyak dikenal adalah bauran kebijakan –fiskal (monetary-
fiscal policy mix). Apabila perekonomian mengalami resesi berkepanjangan, kebijakan
moneter dan fiscal yang sama-sama ekspansif dan dikoordinasikan secara tepat dapat
mendorong kegiatan ekonomi dengan pengaruh yang moderat pada perkembangan inflasi. Di
sisi lain, dalam hal perekonomian mengalami pertumbuhan yang terlalu cepat dan mengalami
masalah kenaikan harga-harga secara tajam (overheating), kebijakan moneter dan fiscal yang
sama-sama kontraktif dan terkoordinasi akan bermanfaat bagi upaya untuk mengurangi laju
ekspansi kegiatan perekonomian tersebut agar tekanan inflasi mereda.
Dalam era perekonomian global, interaksi ekonomi antar Negara merupakan salah
satu aspek penting dari perkembangan ekonomi suatu Negara yang semakin terbuka. Dengan
semakin besarnya keterkaitan antar negara, semakn terbuka juga perekonomian suatu negara
yang bersangkutan, yang tercermin pada peningkatan transaksi perdagangan dan arus dana
antar negara. Sebuah negara yang tidak dapat memenuhi kebutuhan barang dan jasa tertentu
dari produksi di dalam negeri dapat mengimpor barang dan jasa tersebut dari negara lain. Di
sisi lain, suatu negara dapat mengekspor barang dan jasa yang diproduksinya kepada negara
lain yang membutuhkan. Demkian pula arus dana antarnegara semakin meningkat dengan
semakin terbukanya perekonomian dan globalisasi keuangan. Pendanaan investasi pada suatu
negara tidak hanya terbatas pada kredit perbankan ataupun penjualan saham obligasi di pasar
modal dalam negeri, tetapi dapat pula berasal dari penanaman modal asing, pinjaman luar
negeri atau surat-surat yang dibeli oleh investor asing.
Secara teoritis kondisi tersebut diatas dapat dijelaskan dengan model Mundell-fleming
untuk melihat dampak ekspansi kebijakan moneter dan penyesuaian nilai tukar terhadap
perekonomian. Pada gambar dibawah terlihat ekspansi kebijakan moneter (LM ke LM) dalam
suatu negara yang menganut sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate system)
akan menurunkan tingkat suku bunga dan menaikkan output perekonomian tersebut.
Pengaruh selanjutnya adalah pelemahan nilai tukar (depresiasi) negara yang bersangkutan
yang berdampak positif bagi peningkatan ekspor. Turunnya suku bunga dalam negeri yang
relative lebih rendah dari suku bunga negara lain akan mendorong terjadinya capital outflow,
namun demikian keuntungan dari surplus neraca perdagangan akibat kenaikan ekspor dapat
menutup capital outflow sehingga secara keseluruhan neraca pembayaran (balance of
payments, BOP) mengalami surplus (BP ke BP). Bagi perekonomian secara keseluruhan,
dampak kebijakan moneter ekspansif dalam sistem nilai tukar mengambang adalah
meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan surplus neraca pembayaran. Kebijakan moneter
ekspansif akan menguntungkan negara yang menganut sistem floating exchange rate.
Nilai tukar suatu mata uang didefinisikan sebagai harga relatif dari suatu mata uang
terhadap mata uang lainnya. Pada dasarnya terdapat tiga sistem nilai tukar, yaitu (1) fixed
exchange rate (sistem nilai tukar tetap), (2) managed floating exchange rate (sistem nilai
tukar mengambang terkendali), dan (3) floating exchange rate (sistem nilai tukar
mengambang). Pada system nilai tukar tetap, nilai tukar atau kurs suatu mata uang terhadap
mata uang lain ditetapkan pada nilai tertentu, misalnya, nilai tukar rupiah terhadap mata uang
dollar Amerika adalah Rp. 8.000, per dollar. Pada nilai tukar ini bank sentral akan siap untuk
menjual atau membeli kebutuhan devisa untuk mempertahankan nilai tukar yang ditetapkan.
Apabila nilai tukar tersebut tidak dapat dipertahankan, bank sentral dapat melakukan
devaluasi ataupun revaluasi atas nilai tukar yang ditetapkan.
Grafik 1.2
Devaluasi adalah kebijakan yang diambil pemerintah suatu negara untuk secara
sepihak menentukan nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap mata uang lainnya;
misalnya nilai tukar rupiah yang semula ditetapkan Rp. 8.000 per dollar AS diturunkan
menjadi Rp. 9.000 per dollar AS. Sebaliknya revaluasi adalah kebijakan menaikan nilai tukar
negara tersebut terhadap mata uang lain. Kebijakan devaluasi atau revaluasi biasanya
dilakukan dalam rangka mempertahankan kinerja perdagangan luar negeri suatu negara.
Sebagai contoh, kebijakan devaluasi dalam jangka pendek dapat meningkatkan daya saing
sehingga merangsang kegiatan ekspor, dengan asumsi ngara laintidak membalas dengan
melakukan tindakan devaluasi dan eksportir dapat meningkatkan efidiensi produksi untuk
pemenuhan permintaan ekspornya.
Pada system nilai tukar mengambang, nilai tukar dibiarkan bergerak sesuai dengan
kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. Dengan demikian, nilai tukar akan
menguat apabila terjadi kelebihan penawaran valuta asing. Bank sentral dapat saja melakukan
intervensi di pasar valuta asing, yaitu dengan menjual devisa dalam hal terjadi kekurangan
pasokan atau membeli devisa apabila terjadi kelebihan penawaran untuk menghindari gejolak
nilai tukar yang berlebihan di pasar. Akan tetapi intervensi dimaksud tidak diarahkan untuk
mencapai target tingkat nilai tukar tertentu atau dalam kisaran tertentu.
Sistem nilai tukar mengambang terkendali merupakan system yang ada diantara kedua
system nilai tukar di atas. Dalam system nilai tukar itu, bank sentral menetapkan suatu
kisaran tertentu dari pergerakan nilai tukar yang disebut intervention band (batas pita
intervensi). Nilai tukar akan ditentukan sesuai dengan mekanisme pasar sepanjang berada di
dalam batas kisaran pita intervensi tersebut. Apabila nilai tukar menembus batas atas atau
batas bawah dari kisaran tersebut, bank sentral akan secara otomatis melakukan intervensi di
pasar valuta asing sehigga nilai tukar bergerak kembali ke dalam pita intervensi.
Setiap sitem nilai tukar mempunysi kelebihan dan kelemahan. Pemilihn system yang
diterapkan akan tergantung pada situasi dan kondisi negara yang bersangkutan, kususnya
besarnya cadangan devisa yang dimiliki, kebutuhan ekonomi, system devisa yang dianut
(bebas, semi terkontrol, atau terkontrol) dan besarnya volume pasar valuta asing domestic.
Sistem nilai tukar tetap mempunya kelebihan karena adanya kepastian nilai tukar bagi
pasar. Akan tetapi, system ini membutuhkan cadangan devisa yang besar karena keharusan
bank sentral untuk mempertahankan nilai tukar pada level yang ditetapkan. Selain itu system
ini dapat mendorong kecenderungan dunia usaha untuk tidak melakukan hedging
(perlindungan nilai) valuta asingnya terhadap risiko perubahan nilai tukar. Sistem ini
umumnya diterapkan di negara yang mempunyai cadangan devisa besar, dengan system
devisa yang masih relative terkontrol. Sementara itu, sitem nilai tukar mengambang
mempunyai kelebihan dengan tidak perlunya cadangan devisa yang besar karena bank sentral
tidak harus mempertahankan nilai tukar pada suatu level tertentu. Akan tetapi, nilai tukar
yang terlalu berfluktasi dapat menambah ketidakpastian di dunia usaha. Sistem ini umumnya
diterapkan di negara yang mempunyai cadangan devisa relative kecil sementara system
devisa yang dianut cenderung bebas.
Pergerakan nilai tukar di pasar dipengaruhi oleh factor fundamental dan
nonfundamental. Faktor fundamental tercermin dari variable-variabel ekonomi makro seperti,
seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, dan perkembangan ekspor. Sementara itu, factor
nonfundamental, anatara lain berupa, sentiment pasar terhadap perkembangan social politik,
factor psikologi pelaku pasar dalam memperhitungkan informasi, rumor, atau perkembangan
lain dalam menentukan nilai tukar sehari-hari.
Pada system devisa terkontrol, devisa pada dasarnya dimiliki oleh negara. Oleh
karena itu, setiap perolehan devisa oleh masyarakan harus diserahkan kepada negara dan
setiap penggunaan devisa harus memperoleh izin dari negara. Pada system devisa semi
terkontrol, kewajiban penyerahan dan izin dari negara ditetapkan untuk perolehan dan
penggunaan devisa-devisa tertentu, sementara jenis devisa lainnya dapat secara bebas
diperoleh dan dipergunakan. Pada system devisa bebas, masyarakat dapat secara bebas
memperoleh dan menggunakan devisa.
Pada dasarnya, pemilihan system nilai tukar dan system devisa, serta independensi
kebijakan moneter dari pengaruh perkembangan luar negeri merupakan tiga isu strategis
dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter dalam perekonomian terbuka.
Umumnya, dalam hal diterapkan system devisa terkontrol, mobilitas aliran dana dari dan ke
luar negeri cenderung terkendali sehingga dampaknya terhadap perkembangan jumlah uang
beredar di dalam negeri juga relatif tidak besar. Sementara itu, dalam hal diterapkan system
devisa bebas, mobilitas aliran dana dari dan ke luar negeri akan semakin meningkat, baik
dalam jumlah maupun fluktuasi. Sebagai akibatnya, Perkembangan jumlah uang beredar di
dalam negeri akan banyak dipengaruhi oleh aliran dana luar negeri tersebut.
Seberapa jauh kemampuan kebijakan moneter dalam mengatasi pengaruh aliran dana
luar negeri tersebut akan dipengaruhi oleh system nilai tukar yang dianut. Apabilai suatu
negara menerapkan system nilai tukar tetap, kebijakan moneter harus diarahkan untuk
mempertahankan nilai tukar pada tingkat yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kebijakan
moneter sulit dilaksanakan secara independen karena aliran dana luar negeri yang terjadi akan
berpengaruh langsung terhadap perkembangan jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi,
dan inflasi di dalam negeri. Sebaliknya, apabila suatu negara menerapkan system nilai tukar
mengambang, aliran dana luar negeri akan berpengaruh langsung terhadap perkembangan
nilai tukar di pasar. Oleh karena itu, kebijakan moneter dapat lebih independen untuk
difokuskan pada pengendalian jumlah uang beredar dan dampaknya terhadap pertumbuhan
ekonomi dan inflasi di dalam negeri.
Uraian di atas menunjukan bahwa dalam perekonomian terbuka stabilitas nilai tukar,
kebebasan mobilitas dana luar negeri, dan independensi pelaksanaan kebijakan moneter tidak
dapat dicapai secara bersamaan. Kondisi tersebut dalam literatur ekonomi dikenal dengan
istilah impossible trinity.
Yang dapat dicapai oleh bank sntral hanyalah dua dari tiga kondisi di atas. Jadi,
apabila diinginkan stabilitas nilai tukar dengan penerapan system nilai tukar tetap,
independensi kebijakan moneter mengharuskan pembatasan mobilitas dana luar negeri
melalui penerapan system devisa terkontrol. Sebaliknya, apabila dikehendaki kebebasan
mobilitas dana luar negeri dengan penerapan system devisa bebas, independensi kebijakan
moneter mengharuskan dianutnya system nilai tukar mengambang agar seperti diuraikan di
atas pengaruh mobilitas dana luar negeri tersebut dapat terserap oleh perubahan nilai tukar
(dengan konsekuensi nilai tukar tidak selalu stabil) dan jumlah uang beredar di dalam negeri
tetap terkendali.
Kerangka strategis kebijakan moneter pada dasarnya terkait dengan penetapan tujuan
akhir kebijakan moneter dan strategi untuk mencapainya. Dalam kaitan ini, seperti telah
dijelaskan sebelumnya, tujuan akhir yang ingin dicapai kebijakan moneter lebih terkait
dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Melalui pencapaian tujuan ini, kebijakan moneter
dapat memberikan kontribusi optimal pada pencapaian stabilitas ekonomi makro secara
keseluruhan dan penciptaan kesempatan kerja. Permasalahannya adalah bahwa kedua sasaran
kebijakan moneter tersebut belum tentu dapat dicapai bersamaan karena sering kali
pencapaian sasaran-sasaran akhir tersebut bersifat saling bertentangan. Misalnya, upaya
untuk mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja pada
umumnya dapat mendorong peningkatan harga sehingga pencapaian stabilitas ekonomi
makro tidak optimal.
Secara prinsip terdapat strategi dalam mencapai tujuan kebijakan kebijakan moneter.
Setiap strategi memiliki karakteristik sesuai dengan indicator tertentu yang digunakan sebagai
nominal anchor (jangkar nominal) atau semacam ‘sasaran antara’ dalam mencapai tujuan
akhir. Beberapa strategi kebijakan moneter tersebut, antara lain, ialah (i) exchange rate
targeting (penargetan nilai tukar), (ii) monetary targeting (penargetan besaran moneter), (iii)
inflation targeting (penargetan inflasi), (iv) implicit but notexplicit anchor (strategi kebijakan
moneter tanpa jangkar yang tegas).
Kelebihan dari penargetan nilai tukar, antara lain, adalah sebagai berikut.
Pertama, penargetan nilai tukar dapat meredam laju inflasi yang berasal dari
perubahan harga barang-barang impor. Kedua, penargetan nilai tukar dapat mengarahkan
ekspektasi masyarakat terhadap inflasi. Ketiga, penargetan nilai tukar memberikan kaidah
baku (rules) dan dapat mendisiplinkan pelaksanaan kebijakan moneter. Keempat, penargetan
nilai tukar bersifat cukup sederhana dan jelas sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.
Pada banyak negara penargetan nilai tukar bukan menjadi pilihan utama dari strategi
kebijakan moneternya karena tidak ada suatu negara yang mata uangnya secara meyakinkan
dapat dijadikan sebagai acuan dalam penetapan strategi oleh negara lain. Untuk itu beberapa
negara lebih memilih penargetan besaran moneter, yaitu dengan menetapkan pertumbuhan
jumblah uang beredar sebagai sasaran antara, misalnya, uang beredar dalam dalam arti
sempet (M1) dan dalam arti luas (M2)16, serta kredit. Kelebihan utama dari penargetan
besaran moneter dibandingkan dengan penargetan nilai tukar adalah dimukinkannya
kebijakan moneter yang independen sehingga bank sentral dapat memfokuskan pencapaian
tujuan yang ditetapkan seperti laju inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan.
Dengan melemahnya hubungn antara besaran moneter dan sasaran akhir dari
kebijakan moneter, banyak negara mulai mengadopsi penargetan inflasi dalam pelaksanaan
kebijakan moneternya. Penargetan inflasi dilakukan dengan mengumumkan kepada publik
mengenai target inflasi dilakukan dengan mengumumkan kepada publik mengenai target
inflasi jangka menengah dan komitmen bank sentral untuk mencapai stabilitas harga sebagai
tujuan janka panjang dari kebijakan moneter. Untuk mencapai sasaran infasi tersebut, strategi
ini tidak mendasarkan pada satu indikator saja, misalnya, nilai tukar atau uang beredar saja,
tetapi mengevaluasi berbagai indikator kunci dan relevan untuk perumusan kebijakan
moneter. Yang diutamakan adalah pencapaian sasaran anatar seperti uang beredar atau nilai
tukar. Dengan menargetan inflasi sebagai jangka nominal, bank sentral dapat menjadi lebih
kredibel dan lebih fokus di dalam mencapai kestabilan harga sebagai tujuan akhir.
Walaupun di Amerika Serikat strategi telah berhasil, strategi itu dianggap kurang
terbuka/transpran sehingga masyarakat cenderung mereka maksud dan tujuan kebijakan yang
dikeluarkan oleh bank sentral. Hal ini memicu ketidak pastian dipasar mengenai prospek
perkembangan harga dan output. Ketidak tegasan strategi tersebut juga dapat menurunkan
akuntabilitas bank sentral di mata masyarakat dan parlemen karena tidak adanya kriteria
keberhasilan pencapaian kebijakan moneter yang umunya ditentukan terlebih dahulu.
BAB II
KAJIAN EMPIRIS
Kestabilan harga dan nilai tukar merupakan prasyarat bagi pemulihan ekonomi karena
tanpa itu aktivitas ekonomi masyarakat, sektor usaha, dan sektor perbankan akan terhambat.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya jika fokus utama kebijakan moneter Bank
Indonesia selama krisis ekonomi ini adalah mencapai dan memelihara kestabilan harga dan
nilai tukar rupiah. Apalagi Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia secara
jelas menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah yang di dalamnya mengandung pengertian kestabilan harga (laju
inflasi) dan kestabilan nilai tukar rupiah. Dengan perkataan lain, sesuai dengan UU No. 23
tahun 1999 sasaran kebijakan moneter Bank Indonesia hanya satu (single objective), yaitu
memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal ini berbeda dengan Undang-undang tentang Bank
Sentral yang lama, yaitu UU No. 13 tahun 1968, yang menuntut Bank Indonesia untuk
memenuhi beberapa sasaran sekaligus (multiple objectives), yakni mendorong kegiatan
ekonomi, memperluas kesempatan kerja, dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yang
pencapaiannya pada hakekatnya dapat saling bertolak belakang, terutama dalam jangka
pendek.
Untuk mencapai tujuan di atas, Bank Indonesia hingga saat ini masih menerapkan
kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada pengendalian jumlah uang beredar atau
yang di kalangan akademisi dikenal sebagai quantity approach. Di dalam kerangka tersebut
Bank Indonesia berupaya mengendalikan uang primer (base money) sebagai sasaran
operasional kebijakan moneter. Dengan jumlah uang primer yang terkendali maka
perkembangan jumlah uang beredar, diharapkan juga ikut terkendali. Selanjutnya, dengan
jumlah uang beredar yang terkendali diharapkan permintaan agregat akan barang dan jasa
selalu bergerak dalam jumlah yang seimbang dengan kemampuan produksi nasional sehingga
harga-harga dan nilai tukar dapat bergerak stabil.
Upaya pemulihan kestabilan moneter melalui penerapan kebijakan moneter ketat yang
dibantu dengan upaya pemulihan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional mulai
memberikan hasil positif sejak triwulan IV 1998. Pertumbuhan uang beredar yang melambat
dan suku bunga simpanan di perbankan yang tinggi telah mengurangi peluang dan hasrat
masyarakat dalam memegang mata uang asing sehingga tekanan depresiasi rupiah berangsur
surut. Sejak pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah terhadap USD cenderung menguat dan
kemudian bergerak relatif stabil selama tahun 1999.
Sesuai dengan sistem nilai tukar mengambang yang diterapkan sejak 14 Agustus
1997, perkembangan nilai tukar rupiah lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar. Di
dalam sistem tersebut, penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi sejak pertengahan 1998
hingga akhir 1999 lebih banyak disebabkan oleh meredanya tekanan permintaan valas sejalan
dengan terkendalinya jumlah uang beredar dan turunnya ekspektasi inflasi.Bank Indonesia
hanya melakukan penjualan valas melalui mekanisme pasar pada harga pasar untuk
mensterilisasi atau menyedot kembali ekspansi moneter yang berasal dari pembiayaan defisit
anggaran pemerintah dan bukan terutama itujukan untuk mengarahkan nilai tukar rupiah ke
suatu tingkat tertentu. Pelaksanaan penjualan valas itu pun tidak sampai membahayakan
posisi cadangan devisa Bank Indonesia karena menggunakan devisa yang berasal dari
penarikan hutang luar negeri pemerintah yang memang diperuntukkan untuk mendukung
pembiayaan defisit anggaran pemerintah.
Nilai tukar rupiah yang menguat serta didukung oleh pasokan dan distribusi barang-
barang kebutuhan pokok yang membaik telah mendorong penurunan laju inflasi sejak awal
triwulan IV 1998. Bahkan, laju inflasi bulanan yang sempat mencapai 12,67% pada bulan
Februari 1998, mencatat angka negatif atau deflasi dalam bulan Oktober 1998. Deflasi
tersebut kemudian berlanjut sebanyak tujuh kali berturut-turut selama periode Maret –
September 1999. Dengan perkembangan tersebut, laju inflasi selama tahun 1999 hanya
mencapai 2,0%, jauh lebih rendah daripada laju inflasi selama tahun 1998 yang mencapai
77,6%. Berarti Indonesia telah berhasil mengelakkan bahaya hiperinflasi yang sempat
mengancam selama paruh pertama 1998.
Dalam perkembangan selanjutnya, laju inflasi yang sangat rendah dan nilai tukar
rupiah yang telah jauh menguat dibandingkan di masa puncak krisis telah memberikan ruang
gerak bagi Bank Indonesia untuk memperlonggar kebijakan moneter dan mendorong
penurunan suku bunga domestik. Sebagai cerminan kebijakan moneter yang agak longgar,
pertumbuhan tahunan sasaran indikatif uang primer yang sebelumnya terus diturunkan hingga
mencapai 11,2% pada Juni 1999, sejak awal semester II 1999 mulai dinaikkan hingga
mencapai 15,7% pada Maret 2000. Sejalan dengan itu, suku bunga SBI 1 bulan yang selama
ini menjadi patokan (benchmark) bagi bank-bank terus menurun dari level tertinggi 70,58%
pada September 1998 menjadi 11,0% pada akhir April 2000. Penurunan suku bunga SBI
yang cukup tajam itu diikuti oleh suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) dan simpanan
perbankan dengan laju penurunan yang hampir sama.
Adapun para ekonom sepakat ciri-ciri suatu Negara yang rentan terhadap krisis
moneter adalah apabila Negara tersebut:
Jika ciri-ciri di atas dimiliki oleh sebuah negara, maka dapat dipastikan Negara
tersebut hanya menunggu waktu mengalami krisis ekonomi.
Salah satu dampak dari kapitalisme yakni uang berfluktuasi tak terkontrol tanpa ada
standar acuan yang baku. Konsep uang yang semula digunakan sebagai:
Ketika uang diperdagangkan di pasar valuta asing nilainya akan terus berfluktuasi
mengikuti harga pasar (supply and demand). Berdasarkan realita, kurs pertukaran uang
sesungguhnya dengan fiat money, dimana uang dijadikan komoditas perdagangan amat
sangat merugikan individu maupun tatanan masyarakat. Sebagai contoh jumlah hutang luar
negeri Indonesia yang semula US$ 102 Milyar hanya dalam waktu satu tahun naik lima kali
lipat menjadi US$ 510 Milyar, akibatnya dana yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk
mensejahterakan kehidupan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945, sebagian besar disedot
untuk membayar bunga dan pokok pinjaman. Untuk menutup defisit APBN kembali
pemerintah harus mengandalkan hutang sebagai sumber pendanaan.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
Pengendalian jumlah uang beredar sangat penting dalam perekonomian karena jumlah
uang beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan harga-harga (inflasi)dan pada
akhirnya mengurangi daya beli masyarakat. Sebaliknya, jumlah uang beredar yang terlalu
rendah akan dapat mengakibatkan kelesuan ekonomi (resesi) dan pada lanjutannnya
mengakibatkan penurunan kemakmuran masyarakat. Sementara itu, mekanisme transmisi
kebijakan moneter melalui suku bunga dalam mempengaruhi perekonomian dilakukan
dengan penetapan suku bunga. Suku bunga yang terlalu tinggi akan menyebabkan tingginya
biaya dana yang selanjutnya akan penurunan investasi dan pada gilirannya akan berdampak
pada terjadinya kelesuan ekonomi (resesi). Sebaliknya suku bunga yang terlalu rendah akan
menyebabkan biaya daya menurun yang akan mendorong peningkatan investasidan
pertumbuhan ekonomi.