Anda di halaman 1dari 17

1

TUGAS PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

PATOGENESIS BASIL KUSTA DAN PENATALAKSANAANNYA

Oleh:
IMMANUEL FAITHFUL FRANS NABABAN
140100226

Supervisor :
dr. Syahril Rahmat Lubis, SpKK(K)

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT TINGKAT II PUTRI HIJAU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................ i


BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ...................................................................................................... 1
1.3 Manfaat .................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 3
2.1 Patogenesis Basil Kusta (Mycobacterium Leprae) .................................. 3
2.2 Tatalaksana .............................................................................................. 4
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat, Gram positif dan tahan
asam.1
Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075 kasus
dengan jumlah kasus terbanyak terdapat pada regional Asia Tenggara dengan
160.132 kasus. Dalam tahun 2000 sampai 2011, penyakit kusta di Indonesia tidak
mengalami perubahan dan disimpulkan bahwa penyakit kusta masih menjadi
masalah di Indonesia. Adapun jumlah kasus baru penyakit kusta yang tercatat pada
tahun 2011 adalah sebanyak 20.023 kasus.2
Kuman ini menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita
(keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis, dan adanya
kontak yang lama dan berulang-ulang) dan melalui pernapasan.2
Pengobatan penyakit kusta dilakukan dengan Multi Drug Therapy (MDT).
Tujuan dari pengobatan MDT adalah untuk memutuskan mata rantai penularan,
mencegah resistensi obat, memperpendek masa pengobatan, meningkatkan
keteraturan berobat, dan mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya
cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Indikasi dan dosis untuk pengobatan
kusta ditentukan berdasarkan usia, berat badan, dan tipe kusta yang dialami oleh
penderita.2

1.2 Tujuan
Untuk mengetahui tentang patogenesis basil kusta (Mycobacterium leprae) dan
penatalaksanaannya

1
2

1.3 Manfaat
Sebagai sumber informasi dan sumber wawasan untuk pembaca mengenai
patogenesis basil kusta (Mycobacterium leprae) dan penatalaksanaannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Patogenesis Basil Kusta (Mycobacterium Leprae)


Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Mycobacterium leprae
merupakan bakteri Gram positif dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm dan bersifat tahan
asam dan alkohol. Mycobacterium leprae belum dapat dikultur pada laboratorium.1
Kuman ini menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita
(keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis, dan adanya
kontak yang lama dan berulang-ulang) dan melalui pernapasan, bakteri kusta ini
mengalami proses perkembangbiakan dalam waktu 2-3 minggu, pertahanan bakteri
ini dalam tubuh manusia mampu bertahan 9 hari di luar tubuh manusia kemudian
kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata dua
hingga lima tahun bahkan juga dapan memakan waktu lebih dari 5 tahun.2
Pada tahun 1960 Shepard berhasil meninokulasikan Mycobacterium leprae
pada kaki mencit dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Agar dapat
tumbuh diperlukan jumlah minimum Mycobacterium leprae yang disuntikkan dan
kalau melampaui jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan
perkembangbiakan. Sebenarnya Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas
dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih
banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain
disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi
granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif.
Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.1
Dinding sel Mycobacterium leprae terdiri dari peptidoglycan backbone yang
terhubung dengan arabinogalaktan dan asam mikolik. Protein imunogenik
berasosiasi dengan dinding sel, dan juga terdapat pada sitoplasma. Lipoprotein yang
berasosiasi dengan dinding sel, ligan untuk Pattern Recognition Receptors (PRRs)

3
4

seperti TLR2 dan NOD2 dari sistem imun innate, mungkin menginisiasi respon
pada Mycobacterium leprae. Respon ini mungkin penting dalam menentukan gejala
klinis yang muncul nantinya. Sebuah target peptidoglikan dari antibodi dan respon
imun seluler yaitu lipoarabinomannan bergerak melewati membran bagian luar dan
masuk ke dalam membran sel. Phenolic glycolipid I adalah unsur utama, spesifik
spesies dan konstituen imunogenik dari lapisan luar basil yang sangat nonpolar.
Masuknya basil ke dalam saraf diperantarai oleh ikatan oleh trisakarida spesifik
spesies dalam phenolic glycolipid I pada laminin-2 dalam basal lamina akson sel
Schwann. Hal ini memberikan alasan mengapa Mycobacterium leprae merupakan
satu-satunya bakteri yang diketahui menyerang saraf perifer.3
Mycobacterium leprae merupakan bakteri obligat intraseluler, maka respon
imun yang berperan penting dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi adalah respon
imun seluler. Respon imun seluler merupakan hasil dari aktivasi makrofag dengan
meningkatkan kemampuannya dalam menekan multiplikasi atau menghancurkan
bakteri. Respon imun humoral terhadap Mycobacterium leprae merupakan aktivitas
sel limfosit B yang berada dalam jaringan limfosit dan aliran darah. Rangsangan
dari komponen antigen basil tersebut akan mengubah sel limfosit B menjadi sel
plasma yang akan menghasilkan antibodi yang akan membantu proses opsonisasi.
Namun pada penyakit kusta, fungsi respon imun humoral ini tidak efektif, bahkan
dapat menyebabkan timbulnya beberapa reaksi kusta karena diproduksi secara
berlebihan yang tampak pada kusta lepromatosa.4

2.2 Tatalaksana
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai dipakai
sejak 1948 dan di Indonesia digunakan pada tahun 1952. Pada tahun 1998 WHO
menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin,
minosiklin dan klaritromisin.1
Pada tahun 1964 ditemukan resistensi terhadap DDS. Oleh sebab itu pada tahun
1982 WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy
(MDT) untuk tipe PB maupun MB. Tujuan dari pengobatan MDT adalah untuk
5

memutuskan mata rantai penularan, mencegah resistensi obat, memperpendek masa


pengobatan, meningkatkan keteraturan berobat, dan mencegah terjadinya cacat atau
mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.2
Multi drug therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat anti kusta, salah
satunya adalah rifampisin sebagai obat antikusta yang bersifat bakterisidal kuat
sedangkan obat anti kusta lain bersifat bakteriostatik. Berikut ini merupakan
kelompok orang yang membutuhkan MD:2
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT
2. Pasien ulangan yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah ini:
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PD maupun MB)
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan
oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pasien pausibasiler untuk pasien dewasa (PB)
Pengobatan bulanan: pada hari pertama (obat diminum di depan petugas)
 2 kapsul rifampisin @300 mg (600 mg)
 1 tablet dapson/DDS 100mg
Pengobatanharian: hari ke 2-sampai hari ke-28
 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9
bulan.

2. Pasien multibasiler untuk pasien dewasa (MB)


Pengobatan bulanan: hari pertama obat diminum di depan petugas
 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg)
 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke-2 sampai hari ke-28
 1 tablet lampren 50 mg
6

 1 tablet dapson/DDS 100 mg


Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18
bulan.

3. Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun)


Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas)
 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Pengobatan harian: hari ke-2 sampai hari ke-28
 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9
bulan.

4. Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)


Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas)
 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Pengobatan harian: hari ke-2 sampai hari ke-28
 1 tablet lampren 50 mg selang sehari
 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18
bulan.

Bagi dewasa dananak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister. Dosis
anak disesuaikan dengan berat badan:
 Rifampisin : 10-15 mg/kgBB
 Dapson : 1-2 mg/kgBB
 Lampren : 1 mg/kgBB
7

Tabel 2.1 Dosis MDT Untuk Pasien Kusta Tipe PB2


Jenis Obat < 5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keterangan
Rifampisin 300 450 600 Minum di
mg/bulan mg/bulan mg/bulan depan
petugas
DDS Berdasarkan 25 50 100 Minum di
berat badan mg/bulan mg/bulan mg/bulan depan
petugas
25 mg/hari 50 mg/hari 100 Minum di
mg/hari rumah

Tabel 2.2 Dosis MDT Untuk Pasien Kusta Tipe MB2


Jenis Obat < 5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keterangan
Rifampisin 300 450 600 Minum di
mg/bulan mg/bulan mg/bulan depan
petugas
Dapson 25 50 100 Minum di
mg/bulan mg/ bulan mg/bulan depan
petugas
Berdasarkan 25 mg/hari 50 mg/hari 100 Minum di
berat badan mg/hari rumah
Lampren 100 150 300 Minum di
mg/bulan mg/bulan mg/bulan depan
petugas
50 mg 2x 50 mg 50 mg per Minum di
seminggu setiap 2 hari rumah
hari

MDT tersedia dalam bentuk blister. Sediaan dan sifat obat pada penatalaksanaan
kusta adalah sebagai berikut.2
1. Obat MDT terdiri atas:
8

a. DDS (dapson)
 Singkatan dari Diamino Diphenyl Sulphone.
 Sediaan berbentuk tablet warna putih 50 mg dan 100 mg.
 Bersifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman
kusta.
b. Lampren (B663) juga disebut klofazimin
 Sediaan berbentuk kapsul lunak 50 mg dan 100 mg, warna coklat.
 Bersifat bakteriostatik, bakterisidal lemah, dan antiinflamasi.
 Cara pemberian secara oral, diminum sesudah makan untuk
menghindari gangguan gastrointestinal.
c. Rifampisin
 Sediaan berbentuk kapsul 150 mg, 300 mg, 450 mg, dan 600 mg.
 Bersifat bakterisidal, 99% kuman kusta mati dalam satu kali
pemberian.
 Cara pemberian secara oral, diminum setengah jam sebelum makan,
agar penyerapan lebih baik.

2. Obat Penunjang (vitamin/roboransia)


Obat neurotropik seperti vitamin B1, B6, dan B12 dapat diberikan.

Pasien dengan keadaan khusus penatalaksanaannya adalah sebagai berikut.2


1. Hamil dan menyusui: regimen MDT aman untuk ibu hamil dan anaknya.
2. Tuberkulosisi: bila seseorang menderita tuberkulosis (TB) dan kusta, maka
pengobatan antituberkulosis dan MDT dapat diberikan bersamaan, dengan
dosis rifampisin sesuai dosis untuk tuberkulosis.
a. Untuk pasien TB yang menderita kusta tipe PB
Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan dapson 100 mg, karena
rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap sesuai
dengan jangka waktu pengobatan PB.
b. Untuk pasien TB yang menderita kusta tipe MB
9

Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lampren karena rifampisin


sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan
dengan jangka waktu pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah selesai
maka pengobatan kusta kembali sesuai blister MDT.
3. untuk pasien PB yang alergi terhadap dapson, dapson dapat diganti dengan
lampren.
4. Untuk pasien MB yang alergi terhadap dapson, pengobatan hanya dengan dua
macam obat saja, yaitu rifampisin dan lampren sesuai dosis dan jangka waktu
pengobatan MB.

Tabel 2.3 Efek Samping Obat MDT dan Penanganan Secara Ringkas2
Masalah Nama Obat Penanganan
Ringan:
 Air seni berwarna Rifampisin Reassurance (menenangkan
merah penderita dengan penjelasan
yang benar) Konseling
 Perubahan warna Clofazimin Konseling
kulit menjadi
coklat
 Masalah Semua obat (3 Obat diminum bersama dengan
gastrointestinal obat dalam MDT) makanan (atau setelah makan)
 Anemia Dapson Berikan tablet Fe dan asam folat
Serius:
 Ruam kulit yang Dapson Hentikan dapson, rujuk
gatal
 Alergi urtikaria Dapson atau Hentikan keduanya, rujuk
Rifampisin
 Ikterus (kuning) Rifampisin Hentikan rifampisin, rujuk
 Shock, purpura, Rifampisin Hentikan rifampisin rujuk
gagal ginjal
10

1. Dapson (DDS)
Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat
sintetase. Jadi tidak seperti pada kuman lain, DDS bekerja sebagai anti
metabolit PABA. Resistensi terhadap DDS timbul sebagai akibat kandungan
enzim sintetase yang terlalu tinggi pada kuman kusta.5
Dosis DDS yang digunakan sebagai MDT adalah 50-100 mg/hari diberikan
sebagai dosis tunggal untuk dewasa atau 2 mg/kgBB dosis tunggal untuk anak-
anak. Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan DDS
biasanya menjadi nol setelah 5-6 bulan. Obat ini sangat murah, efektif dan
relatif aman.5
Efek samping yang mungkin timbul adalah nyeri kepala, erupsi obat,
anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer, nekrolisis
epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia dan methemoglobinemia.
Namun efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.5

2. Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS
dengan dosis 10 mg/kgBB. Rifampisin diberikan setiap bulan. Rifampisin tidak
boleh diberikan sebagai monoterapi oleh karena memperbesar terjadinya
resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh
diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.1
Efek samping rifampisin yang dapat terjadi adalah sebagai berikut.2
a. Gangguan fungsi hati dan ginjal. Pada umumnya dengan pemberian
rfampisin 600mg/ bulan aman bagi hati dan atau ginjal (kecuali ada tanda-
tanda penyakit sebelumnya). Apabila timbul gejala gangguan fungsi hati
dan atau ginjal pengobatan MDT dihentikan sementara, dan dapat
dilanjutkan kembali bila fungsi hati dan ginjal sudah normal. Rujuk pasien
bila gangguan fungsi hati dan ginjal menetap atau berat.
b. Timbul kelainan/erupsi kulit.
c. Gangguan pencernaan misalnya rasa nyeri, mual muntah, dan diare.
11

d. Gejala seperti flu (flu like syndrome) misalnya demam, menggigil, dan
sakit tulang. Dapat diberikan penanganan simtomatik.
e. Perubahan warna urin menjadi merah ini hanya berlangsung sementara.
Perlu diberitahukan kepada pasien agar tidak kaget.

3. Lampren (Klofazimin)
Dosis sebagai antiusta ialah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari,
atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat antiinflamasi sehingga dapat
dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200 mg – 300
mg/hari namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu.1
Dosis yang dipakai pada regimen MDT sangat jarang menimbulkan efek
samping yang berat antara lain:2
a. Gangguan saluran cerna. Mual, muntah, nyeri perut dan diare. Nyeri perut
terjadi karena endapan kristal lampren dalam usus halus menyebabkan
terjadinya inflamasi di ujung usus halus. Jika berat, lampren sebaiknya
dihentikan dan dapat dimulai kembali setelah gejala membaik.
b. Hiperpigmentasi kulit dan mukosa (perubahan warna kulit menjadi
kecoklatan), kering, iktiosis, pruritus, erupsi akneiformis, tuam pada kulit,
dan reaksi fotosensitivitas. Akan menghilang 6-12 bulan setelah lampren
dihentikan.
c. Kulit mukosa kering. Dapat disertai berkurangnya keringat dan ait mata.
Sebaiknya pasien diberitahukan bahwa hal ini juga akan menghilang
setelah pengobatan selesai.
d. Lain-lain: perubahan warna keringat, dahak dan urin, serta aritimia karena
hipokalemia.
Efek samping lampren biasanya dapat ditolerir sehingga pengobatan tidak
perlu dihentikan. Pada kasus kelebihan dosis, bilas lambung (dengan arang
aktif) atau dengan merangsang muntah. Tidak ada antidot spesifik.(4)
12

4. Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/kgBB setiap hari dan untuk Indonesia obat ini
tidak atau jarang dipakai. Distribusi protionamid dalam jaringan tidak merata
sehingga kadar hambar minimalnya sukar ditentukan.1

5. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap
Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis
tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium
leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan
gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat
termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi.
Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan
penghentian pemakaian obat.1
Penggunaan pada anak, remaja, ibu hamil dan menyusui harus hati-hati,
karena pada hewan muda, kuinolon menyebabkan artropati.1

6. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi
daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar
harian 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak,
kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa,
berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan
unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama
kehamilan.1

7. Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas
bakterisidal terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada
penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99%
kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek
13

sampingnya adalah mual, muntah, dan diare yang sering terbukti sering
ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg.1
BAB III
KESIMPULAN

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah


Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat, Gram positif dan tahan
asam. Kuman ini menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan
penderita (keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis, dan
adanya kontak yang lama dan berulang-ulang) dan melalui pernapasan. Sel
Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan Mycobacterium leprae.
Mycobacterium leprae merupakan bakteri obligat intraseluler, maka respon imun
yang berperan penting dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi adalah respon imun
seluler dengan aktivasi makrofag untuk menekan multiplikasi dan membunuh
bakteri. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak
lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi
granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif.
Penatalaksanaan kusta adalah dengan Multi Drug Treatment (MDT) untuk
mencegah terjadinya resistensi. Obat MDT yang umum digunakan adalah Dapson
(DDS), rifampisin, dan lampren (klofamizin). Dosis dan pemberian obat ditentukan
berdasarkan tipe kusta, berat badan, dan usia.

14
15

DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Edisi Ketujuh. Jakatra: Balai Penerbit FKUI; 2015.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Program
Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit & Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2012
3. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 8th ed. USA: McGraw Hill;
2012.
4. Lockwood DNJ, Bryceson ADM. Leprosy. In: Champion RH, Burton JL, Burns
DA, Breathnach SM, editor. Rook. Wilkinson/Ebling Textbook of
Dermatology. 7th ed. London: Blackwel science; 1998.
5. Djuanda A, Menaldi SL, Wisesa TW, Ashadi LN. Kusta Diagnosis dan
Penatalaksanaan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1997.

Anda mungkin juga menyukai