Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2017


UNIVERSITAS HALU OLEO

KEJANG DEMAM

Oleh :
Yahdiyani We Tenri Uleng, S.Ked
K1A1 12 028

Pembimbing :
dr. HJ. MUSYAWARAH, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTRAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2017
KEJANG DEMAM

Yahdiyani We Tenri Uleng, Musyawarah

I. PENDAHULUAN

Kejang Demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur

6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu diatas

38ºC) yang tidak terkait dengan kelainan intrakranial, gangguan metabolik,

atau riwayat kejang tanpa demam. Penyebab demam pada pasien kejang

demam biasanya adalah gastroenteritis (38,1%), infeksi saluran nafas atas

(20%), dan infeksi saluran kencing (16,2%).1,2,7

Kejang demam adalah salah satu yang jenis kejang paling umum pada

anak-anak terjadi pada 2-5 persen anak-anak dan biasanya terjadi antara usia 3

bulan dan 5 tahun. Menurut definisi Internasional Epilepsi Association, kejang

demam terjadi pada bayi usia lebih dari 1 bulan bersama-sama dengan penyakit

demam, tanpa bukti infeksi sistem saraf pusat, tanpa riwayat kejang neonatal

atau sebelumnya kejang tak beralasan dan tidak memenuhi fitur kejang

lainnya.2

Insiden kejang demam bervariasi di berbagai tempat dunia, mulai dari 5-

10% di India, 8,8% di Jepang dan 14% di Guam. Penyakit ini dibedakan dari

jenis kejang lainnya pada pertengahan abad kesembilan belas.Tidak ada cara

khusus untuk evaluasi. Observasi merupakan cara untuk mengenali kasus-

kasus kejang demam. Jika ada indikasi klinis maka keadaan sepsis, meningitis,

atau ensefalitis harus disingkirkan.2

1
II. DEFINISI

Ada tiga definisi yang saat ini digunakan untuk menggambarkan kejang

demam. Definisi pertama diterbitkan pada tahun 1980 oleh National Institute of

Health (NIH) yang mendefinisikan kejang demam sebagai sesuatu yang

abnormal, tiba-tiba, sebagai pelepasan muatan listrik yang berlebihan dari

neuron yang dapat menurunkan proses neuron dan dapat berpengaruh pada

organ seperti pada gambaran klinis, yang terjadi pada anak atau masa kanak-

kanak. Biasanya terjadi sekitar usia 3 bulan hingga 5 tahun dan berhubungan

dengan demam tetapi tidak ada kaitannya dengan infeksi intrakranial.3

Definisi kedua diterbitkan oleh International League Against Epilepsy

(ILAE) pada tahun 1993 dan memiliki konsep yang serupa, tetapi diperluas

pada kelompok umur anak berbeda dengan neonatus dan anak dengan gejala

kejang demam.3

Saat ini, American Academy of Pediatrics (AAP) mengdefinisikan

standar definisi kejang demam sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada saat

anak demam dengan kisaran umur antara 6 - 60 bulan dimana tidak ada infeksi

intrakranial, gangguan metabolik atau riwayat kejang tanpa demam.3

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada

kenaikansuhutubuh(suhurektaldiatas38˚C)yangdisebabkan oleh suatu proses

ekstrakranium.4

III. EPIDEMIOLOGI

Insidens di negara-negara barat berkisar antara 3-5%. Di Asia berkisar

antara 4,47% di Singapura, sampai 9,9% di Jepang. Data di Indonesia belum

2
ada secara nasional. Sekitar 80% diantaranya adalah kejang demam sederhana.

Sedikit lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan.4

Kejang demam merupakan jenis kejang yang paling sering, biasanya

merupakan kejadian tunggal dan tidak berbahaya. Berdasarkan studi populasi,

angka kejadian kejang demam di Amerika Serikat dan Eropa 2–7%, sedangkan

di Jepang 9–10%. 21% kejang demam durasinya kurang dari 1 jam, 57%

terjadi antara 1-24 jam berlangsungnya demam, dan 22% lebih dari 24

jam.Sekitar 30% pasien akan mengalami kejang demam berulang dan

kemudian meningkat menjadi 50% jika kejang pertama terjadi usia kurang dari

1 tahun. Sejumlah 9–35% kejang demam pertama kali adalah kompleks, 25%

kejang demam kompleks tersebut berkembang ke arah epilepsi. 5

IV. ETIOLOGI

Beberapa teori dikemukakan mengenai penyebab terjadinya kejang

demam, dua diantaranya adalah karena lepasnya sitokin inflamasi (IL-1 beta),

atau hiperventilasi yang menyebabkan alkalosis dan meningkatkan pH otak

sehingga terjadi kejang.4

Demam yang memicu kejang berasal dari proses ekstrakranial, paling

sering disebabkan karena infeksi saluran napas akut, otitis media akut, infeksi

saluran kemih namun kasusnya jarang, dan infeksi saluran cerna terutama jika

penyebabnya adalah infeksi Shigella atau Campylobacter. Penyakit roseola

infantum jarang menjadi penyebab namun merupakan penyebab klasik. Sebuah

penelitian menemukan penyebab virus sebanyak 86% dari kasus kejang

demam. Imunisasi juga dapat menjadi penyebab lainnya.4,6

3
Kejang demam juga diturunkan secara genetik sehingga eksitasi neuron

terjadi lebih mudah. Pola penurunan genetik hingga sekarang masih belum

ditemukan gambaran spesifiknya dan belum dapat dijelaskan kaitannya.

Mungkin ada hubungannya dengan riwayat keluarga dan mungkin juga karena

multifkatorial. Namun beberapa studi menunjukkan keterkaitan dengan

kromosom tertentu seperti 19p dan 8q13-21, sementara studi lain menunjukkan

pola autosomal dominan.4

V. KLASIFIKASI

Klasifikasi kejang demam dibagi menjadi :

1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)

Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan

umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau

klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.

Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang

demam.7

2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)

Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini :

a. Kejang lama > 15 menit

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau

kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak

tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.

b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang

parsial.

4
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari,di antara

2 bangkitan kejang anak sadar.7

Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang

demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai dengan

demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang

demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun

mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya

infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.7

VI. PATOFISIOLOGI

Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan

letupan aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan sitokin

yang merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring

kejadian demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam

biasanya dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen

endogen atau lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai

pirogen eksogen. LPS menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro-

dan anti-inflamasi sitokin tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6,

interleukin-1 receptor antagonist (IL-1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2).

Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel endotelial circumventricular akan

menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) yang akan mengkatalis

konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian menstimulus pusat

termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan suhu tubuh. Demam

5
juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Pirogen endogen,

yakni interleukin 1ß, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal (glutamatergic)

dan menghambat GABA-ergic, peningkatan eksitabilitas neuronal ini yang

menimbulkan kejang.1

Mekanisme terjadinya kejang demam berhubungan dengan sitokin-

sitokin inflamasi pada demam seperti interleukin (IL)-1β yang berhubungan

dengan terjadinya kejang demam. Gen polimorfisme yang termasuk ke dalam

pengeluaran sitokin tidak dapat dijelaskan dalam penelitian lain. Sebuah

penelitian yang menyajikan data dengan tikus sebagai bahan percobaan

menunjukkan bahwa demam yang disertai dengan kompensasi hiperventilasi,

menyebabkan alkalosis dan peningkatan pH otak. Pada percobaan tikus,

bangkitan kejang dan gambaran elektroensefalografi (EEG) berubah yang

disebabkan oleh hiperventilasi dan alkalosis. Peningkatan suhu pada otak

sendiri dapat menyebabkan kejang demam, namun ini hanya merupakan

percobaan langsung pada tikus yang belum jelas.8

Prichard dan Mc Greal mengemukakan pendapat bahwa anoksia relatif

(keadaan kekurangan oksigen) yang terjadi sewaktu demam mungkin

merupakan penyebab daripada kejang. Mereka mengutarakan bahwa

meningkatnya suhu sebesar 1 derajat fahrenheit akan meningkatkan

metabolisme basal sebesar kira-kira 7%. Rasio sirkulasi serebral terhadap

sirkulasi tubuh seluruhnya jauh lebih tinggi pada anak ketimbang orang

dewasa. Pada orang dewasa kira-kira 18% dari sirkulasi total tubuh pergi ke

otak. Pada anak yang berusia 3 tahun angka ini jauh lebih tinggi yaitu sekitar

6
65%. Pada anak yang lebih muda mungkin lebih tinggi lagi. Bila suhu

meningkat beberapa derajat, aliran darah harus pula ditingkatkan untuk

menjaga agar pasokan oksigen dan glukosa ke otak tetap cukup. Bila

peningkatan aliran darah ini tidak mencukupi, maka terdapatlah anoreksia

relatif yang mungkin memicu kejang.7,8

Kejang demam banyak ditemukan pada riwayat keluarga dengan kejang

demam. Riwayat kejang demam pada usia 1 tahun merupakan faktor risiko

terjadinya kejang demam. Seseorang yang memiliki saudara kandung dengan

riwayat kejang demam memiliki 10-20% faktor risiko terjadinya kejang

demam. Jika memiliki orang tua dan kejang demam berulang, faktor risiko

dapat meningkat 3 kali lipat.7,8

VII. MANIFESTASI KLINIS

Kejang demam baik kejang demam sederhana maupun kejang demam

kompleks awalnya didahului dengan demam, anak dapat terlihat sakit. Demam

tinggi perlu diwaspadai, terutama kenaikan suhu yang berhubungan dengan

terjadinya kejang demam. Demam biasanya sekitar 38˚C, usia anak biasanya

berkisar antara 3 bulan hingga 5 tahun (rata-rata 17 – 23 bulan). Kejang yang

paling sering ditemukan yaitu kejang demam sederhana, tetapi kejang demam

kompleks juga bisa terjadi. Durasi kejang demam sederhana biasanya kurang

dari 15 menit yaitu sekitar 58% penderita, antara 15 – 60 menit pada 28%

penderita dan lebih dari 60 menit pada 14% penderita.8

Kejang selalu didahului oleh naiknya suhu tubuh dengan cepat. Pada

kejang demam simpleks, tipe kejang berupa kejang umum klonik atau tonik-

7
klonik. Adanya tanda kejang demam fokal atau parsial selama maupun sesudah

kejang (misalnya pergerakan satu tungkai saja, atau satu tungkai terlihat lebih

lemah dibanding tungkai yang lain) menunjukkan kejang demam

kompleks.Kejang demam simpleks berlangsung < 15 menit, namun periode

mengantuk atau tertidur pasca iktal dapat terjadi > 15 menit.4,8

Sebagian besar kejang demam terjadi dalam 24 jam pertama sakit, sering

sewaktu suhu tubuh meningkat cepat, tetapi pada sebagian anak, tanda pertama

penyakit mungkin kejang dan pada yang lain, kejang terjadi saat demam

menurun. Derajat demam bukan merupakan faktor kunci yang memicu kejang.

Selama suatu penyakit, setelah demam turun dan naik kembali sebagian anak

tidak kembali kejang walaupun tercapai tingkatan suhu yang sama, dan

sebagian anak lain tidak lagi mengalami kejang pada penyakit demam

berikutnya walaupun tercapai tingkatan suhu yang sama.9

Anamnesis dan pemeriksaan fisis harus diarahkan untuk mencari fokus

infeksi penyebab demam, tipe kejang, serta pengobatan yang telah diberikan

sebelumnya. Selain itu, tanyakan riwayat trauma, riwayat perkembangan dan

fungsi neurologis, serta riwayat kejang demam maupun kejang tanpa demam

dalam keluarga. Pada kejang demam, ditemukan perkembangan dan neurologis

yang normal. Tidak ditemukan tanda-tanda meningitis maupun ensefalitis

(misalnya kaku kuduk atau penurunan kesadaran).4,8

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada umumnya pemeriksaan penunjang pada kejang demam tidak rutin

dilakukan. Pemeriksaan penunjang tersebut antara lain pemeriksaan

8
laboratorium yaitu pemeriksaan darah rutin, kimia darah, elektrolit dan pungsi

lumbal untuk pengambilan cairan serebrospinal, sedangkan untuk pemeriksaan

pencitraan dapat dilakukan pemeriksaan seperti EEG, X-Ray, CT Scan, atau

MRI.1,7

Pemeriksaan laboratorium dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber

infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi

disertai demam.

1. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab

demam pada kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks.

Pemeriksaan darah yang dapat dilakukan yaitu darah rutin untuk

melihat adanya infeksi, pemeriksaan kimia darah seperti kadar gula

darah untuk mengetahui adanya hipoglikemia dan pemeriksaan

elektrolit untuk menentukan ada tidaknya gangguan elektrolit. Dokter

harus fokus mendiagnosa dari penyebab demamnya. Pada kasus kejang

demam, baik pada kejang demam sederhana maupun kejang demam

kompleks, pemeriksaan laboratorium mungkin diperlukan untuk

menentukan penyebab demamnya. Sebagai contoh, anak dengan diare

berat mungkin diperlukan untuk pemeriksaan darah seperti kadar gula

darah dan pemeriksaan elektrolit.1,7

2. Pungsi lumbal

Pemeriksaan pungsi lumbal dilakukan untuk menegakkan atau

menyingkirkan kemungkinan meningitis pada kejang demam kompleks.

9
Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pada bayi

kecil seringkali sulit untuk menegakkan diagnosis meningitis karena

manifestasi klinisnya tidak jelas.1,7

Anjuran untuk dilakukan lumbal pungsi jika :

 Sangat dianjurkan pada anak di bawah 12 bulan karena tanda dan

gejala dari meningitis bakterialis bisa minimal atau tidak spesifik

pada kelompok umur ini.

 Lumbal pungsi dianjurkan pada anak umur 12-18 bulan karena

tanda dan gejala klinis dari meningitis bakterialis mungkin tidak

jelas pada kelompok umur ini.

 Tidak rutin dilakukan pada anak yang berusia di atas 18 bulan,

hanya dilakukan bila tanda meningitis positif.1,4,7

3. Pencitraan

Pemeriksaan seperti X-Ray, CT Scan, atau MRI tidak perlu

dilakukan pada kejang demam sederhana, hanya diindikasikan bila ada

kelainan neurologis fokal, kelainan saraf kranial yang menetap, atau

papiledem pada keadaan kejang demam kompleks untuk menyingkirkan

diagnosa kerja yang lain.1,4,7

4. Elektroensefalografi (EEG)

Elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya

kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada

pasien kejang demam. Oleh karena itu tidak direkomendasikan pada

kejang demam sederhana. Namun dianjurkan pada anak dengan kejang

10
demam usia >6 tahun, ataupun ada gambaran kejang fokal seperti pada

kejang demam kompleks.1,7

IX. DIAGNOSIS

Kejang demam dapat didiagnosis hanya setelah kasus kejang demam lain

disingkirkan. Hal ini mengharuskan kita menyingkirkan berbagai kemungkinan

etiologi, misalnya infeksi susunan saraf pusat, gangguan akut hemostasis air

dan elektrolit, gangguan metabolisme, dan lesi struktural pada susunan saraf.

Pada situasi yang sesuai, hal ini mungkin memerlukan pemeriksaan CSS dan

penentuan elektrolit, gula dan kalsium serum serta pemeriksaan radiologik

yang sesuai misalnya pemindaian CT otak. Pemeriksaan ini tidak perlu

dilakukan secara rutin pada anak yang diperiksa oleh dokter yang

berpengalaman dan terbukti normal secara perkembangan dan neurologis, dan

pada anak yang tidak dicurigai mengidap meningitis. Anak yang lebih muda

yang mungkin lebih sulit dievalusi secara pasti mungkin memerlukan lebih

banyak pemeriksaan diagnostik. Setiap anak yang mengalami kejang disertai

peningkatan suhu memerlukan pengamatan dan tindak lanjut cermat.9

EEG umumnya kejang bermanfaat dalam evaluasi dan penatalaksanaan

pasien kejang demam. Kelainan ditemukan lebih dari 80% rekaman EEG yang

dibuat dalam satu hari kejang demam, tetapi hal ini menurun sampai sekitar

30% dalam 3-5 hari. Kelainan berupa perlambatan yang mencolok, terutama di

posterior dan sering asimetris. Faktor yang cenderung berkaitan dengan

kelainan yang menetap adalah kejang yang parah, demam tinggi

berkepanjangan, dan riwayat disfungsi neurologik. Anak yang memperlihatkan

11
perlambatan yang ekstrim pada EEG cenderung mengalami kejang afebris

rekuren dibandingkan dengan anak yang rekamannya normal. EEG tidak dapat

digunakan untuk memperkirakan anak mana yang akan mengalami kejang

demam berulang atau yang kemudian mengalami epilepsi. Pada anak dengan

kejang demam, temuan EEG cenderung menjadi abnormal seiring dengan

pertambahan usia, tanpa bergantung pada apakah mereka kemudian akan

mengalami kejang-kejang, dan insidensi kelainan EEG pada anggota keluarga

lebih tinggi daripada pada populasi kontrol.9

X. PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan saat kejang

Apabila ditemukan anak dengan kejang, baik itu kejang demam

sederhana maupun kejang demam kompleks, pastikan jalan napas tidak

terhalang, pakaian ketat dilonggarkan, anak diposisikan miring agar lendir

atau cairan dapat mengalir keluar. Periksa tanda vital, baik pernapasan, nadi,

suhu. Berikan antipiretik seperti parasetamol (10-15kg/BB/kali, sampai 4-5

kali) atau ibuprofen (5-10 mg/KgBB/kali, sampai 3-4 kali). Kemudian

lanjutkan tata laksana kejang akut pada anak.7,8

Pada kejang demam sederhana, biasanya kejang demam berlangsung

singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila

datang dalam keadaan kejang baik sederhana maupun kompleks, obat yang

paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan

secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-

12
lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan

dosis maksimal 20 mg.7

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah

pada saat kejang adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-

0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan

kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg. Atau

diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau

dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun.7

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat

diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5

menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,

kemungkinan anak tidak lagi mengalami kejang demam sederhana, namun

masuk ke dalam klasifikasi kejang demam kompleks. Anak dengan kejang

demam kompleks dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan

diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.7

Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena

dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau

kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8

mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.7

Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat

di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat

selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam

sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.7

13
2. Pemberian obat pada saat demam

a. Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi

risiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat

bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang

digunakan adalah 10–15mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih

dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali ,3-4 kali sehari.7

b. Antikonvulsan

1) Pemberian antikonvulsan intermitten

Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat

antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.Profilaksis

intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor

risiko di bawah ini:

 Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral

 Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun

 Usia <6 bulan

 Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius

 Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu

tubuhmeningkat dengan cepat.

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per

oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10

mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis

maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan

14
selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua

bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia,

iritabilitas, serta sedasi.7

2) Pemberian antikonvulsan rumatan

Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam simpleks tidak

berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping

yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan

terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (level of evidence 3,

derajat rekomendasi D). Indikasi pengobatan rumat:

 Kejang fokal

 Kejang lama >15 menit

 Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah

kejang,misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.

 Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:

 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.

 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.

 Kejang demam>4 kali per tahun.

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari

efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian

fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan

kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah

asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur

kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan

15
fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi

dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.7

Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan

rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun

dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.7

16
Diazepam 5-10mg/rektal 0-10 menit
Pre-hospital
Max 2x, jarak 5 menit
10-20 menit

Rumah sakit/ Diazepam 0,25-0,5 mg/kg/iv


UGD Periksa A,B,C
Kecepatan 2 mg/menit, max dosis 20 mg

atau
Mildazolam 0,2mg/kg/iv bolus Periksa EKG, gula
darah, elektrolit,
AGD, koreksi
atau

ICU/UGD Lorazepam 0.05-0.1mg/kg/iv, kecepatan 2m/menit


Kadar
obat darah
Kejang stop, lanjut Fenitoin 20mg/kg/iv (larutkan 10mg/1ml
5-7 mg/kg 12 jam NS), 20-30
kemudian Kec 1 mg/kgBB/menit max dosis 1 gram menit

atau

ICU

Kejang stop, lanjut Fenobarbital 20mg/kg/iv dalam 5- 30-60


4-5 mg/kg 12 jam 10 menit, max dosis 1 g menit
kemudian

ICU Refrakter

Midazolam 0,2 mg/kg/iv Pentoal – Propofol 3-


bolus, lanjut infus 0,02- Tlopental 5-8 5mg/kg/infusion
0,04 mg/kg/jam mg/kg/iv

Gambar 1. Algoritma Tata Laksana Kejang.4

17
XI. PROGNOSIS

Anak-anak dengan kejang demam memiliki kemungkinan 30-50%

mengalami kejang demam berulang, dan 75% nya terjadi dalam satu tahun

setelah awitan yang pertama.Risiko rekurensi bertambah bila :

 Kejang demam terjadi <1 tahun, risiko berulang adalah 50%. Kejang

demam terjadi >1 tahun, risiko berulang adalah 28%;

 Riwayat keluarga kejang demam atau epilepsi;

 Cepatnya kejang setelah demam;

 Kejang yang terjadi pada suhu yang tidak terlalu tinggi (38˚C)

Adanya keempat faktor tersebut meningkatkan risiko kejang demam

berulang hingga 80%. Namun bila tidak satupun faktor di atas ditemukan,

kemungkinan berulang 10-15%. Anak yang mengalami kejang demam

sederhana tidak memiliki risiko lebih tinggi mengidap epilepsi dibanding

populasi normal. Risiko epilepsi di kemudian hari akan meningkat apabila

terdapat :

 Kejang demam kompleks

 Riwayat keluarga epilepsi

 Kejang demam sebelum usia 9 bulan

 Adanya perkembangan yang terlambat atau terdapat kelainan neurologis

sebelumnya.

Adanya satu faktor risiko meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi

4-6%, sementara bila terdapat beberapa faktor risiko sekaligus

kemungkinannya naik hingga 10-49%. Pemberian profilaksis terus-menerus

18
tidak dapat menurunkan risiko kejadian epilepsi. Kematian setelah kejang

adalah hal yang sangan jarang terjadi, bahkan pada anak risiko tinggi

sekalipun.7,8

Pengobatan dengan barbiturat dapat meningkatkan risiko terhadap fungsi

kognitif dan perilaku pada anak. Pada sebuah penelitian acak, rata-rata IQ 7

lebih rendah pada anak dengan kejang demam kompleks, atau kejang demam

berulang yang mendapat terapi fenobarbital selama 2 tahun jika dibandingkan

dengan pemberian placebo. Tidak ada perbedaan bangkitan kejang antara anak

dengan pemberian fenobarbital ataupun placebo.8

XII. INDIKASI MASUK RUMAH SAKIT

Pada kejang demam sederhana, anak <18 bulan sangat disarankan untuk

dilakukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut seperti pungsi lumbal,

sedangkan pada anak >18 bulan tidak harus observasi di rumah sakit jika

kondisi stabil, keluarga perlu diberitahu jika terjadi kejang berulang maka

harus dibawa ke rumah sakit.1

Indikasi rawat rumah sakit :10

1. Kejang demam kompleks

2. Hiperpireksia

3. Usia dibawah 6 bulan

4. Kejang demam pertama kali

5. Terdapat kelainan neurologis

19
XIII. EDUKASI ORANG TUA

Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua.

Pada saat kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan

meninggal. Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:1,7

1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai

prognosis baik.

2. Memberitahukan cara penanganan kejang.

3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.

4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang

efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.

Beberapa hal yang dikerjakan bila anak kejang :1,7

1. Tetap tenang dan tidak panik.

2. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.

3. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah,

bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.

4. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah

tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.

5. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.

6. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.

7. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit.

Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh

diberikan satu kali oleh orangtua.

20
8. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau

lebih, suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti

dengan diazepam rektal, kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar, atau

terdapat kelumpuhan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Arief, RF. Penatalaksanaan Kejang Demam. Ikatan Dokter Indonesia :


Continuing Medical Education CDK-232 Vol.42 No.9 Tahun 2015. Hal.
658 – 661
2. Aliabad,GM, et al. Clinical, Epidemiological, and Laboratory
Characteristics of Patient with Febrile Convulsion. Journal of
Comprehensive Pediatrics. 2013. P. 134-137
3. Khair AM, Elmagrabi D. Review Article: Febrile Seizure and Febrile
Seizure Syndromes: An Updated Overview of Old and Current
Knowledge. Doha: Hindawi Publishing Corporation: Neurology
Research International. 2015.Hal. 1-7
4. Lilihata G, Handryastuti S. Kejang Demam. Dalam: Chris T. Editor.
Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media Aesculapius. 2014.
Hal 102-104
5. de Siqueira LFM. Febrile seizures: Update on diagnosis and
management. Rev Assoc Med Bras. 2010; 56(4): 489-92.
6. Bernard TJ, dkk. Neurologic & Muscular Disorders. Dalam: JR WWH,
Levin MJ, Deterding RR., Abzug MJ, Shondeimer JM. Current
Diagnosis and Treatment. 21st edition. United States of America:
McGraw-Hill. 2012. Hal 765-767
7. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP. Editor. Konsensus Kejang
Demam. Badan Penerbit IDAI. 2016. Hal 1-16
8. Lumbantobing, SM. Kejang Demam (Febrile Convulsions). Jakarta :
Balai Penerbit FK UI. 2015 . Hal. 1-46
9. Fishman, MA. Dalam : Rudolph AM, Hoffman JIE, dan Rudolph CD.
Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 3. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2007. Hal. 2160-2161
10. Pudjiadi, AH, et al. Kejang Demam dalam Pedoman Pelayanan Medis :
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : IDAI. 2009. Hal. 150-153
11. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP. Editor. Konsensus Kejang
Demam. Badan Penerbit IDAI. 2016. Hal 4

22

Anda mungkin juga menyukai