Anda di halaman 1dari 8

PENGARUH PENAMBAHAN MINYAK BIJI ALPUKAT TERHADAP UNJUK KERJA MESIN

DIESEL 4JA-1, OHV


Cokro Daniel Santosa1), Dr. Willyanto Anggono, S.T., M.Sc.2), Dr. Teng Sutrisno, S.T., M.T. 3)
Program Otomotif Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Teknologi Industri Universitas Kristen Petra1,2,3)
Jl. Siwalankerto 121-131, Surabaya 60236. Indonesia 1,2,3)
Phone: 0062-31-8439040, Fax: 0062-31-84176581,2,3)
E-mail : m24413005@john.petra.ac.id1), willy@petra.ac.id2), sutrisno@petra.ac.id3)

Abstrak
Dalam penggunaan sumber daya alam terutama dalam pemakaian bahan bakar minyak bumi pada mesin
diesel terus meningkat. Hal ini dapat mengakibatkan menipisnya cadangan bahan bakar minyak pada masa
kedepan. Pemanfaatan biodiesel dari minyak nabati maupun hewani dapat diterapkan. Hal ini dapat mengurangi
kelangkaan minyak bumi. Biodiesel yang dihasilkan dari limbah biji alpukat dapat diekstrak untuk diambil
kandungan minyaknya. Hal ini menggunakan cara soxhlet, kemudian diambil metil ester dengan metode
transesterifikasi menggunakan KOH sebanyak 1% dari berat minyak dan 20% methanol dari berat minyak. Proses
ini memerlukan pengadukan dengan kecepatan 400 rpm selama kurang lebih 1-1,5 jam. Campuran biodiesel B10
dan B20 dari minyak biji alpukat memenuhi spesifikasi Dirjen Migas pertamina.

1. Pendahuluan
Semakin majunya jaman di dunia dan zbakar diesel, dapat digunakan kebanyakan mesin
bertambahnya populasi di dunia maka kebutuhan energi diesel, dapat mengurangi emisi atau pencemaran gas
juga semakin tinggi khusunya dalam pemanfaatan yang menyebabkan pemanasan global, dapat
sumber daya alam minyak bumi, Minyak bumi yang mengurangi emisi udara beracun.
terbentuk dari fosil pelapukan sisa-sisa makhluk hidup Alpukat terdiri dari 65% daging buah
yang mati. Hal ini melalui proses yang sangat lama (mesokarp), 20% biji (endocarp), dan 15% minyak. Biji
sekitar 300-350 juta tahun. Keterbatasan persediaan alpukat mengandung minyak yang hampir sama dengan
akan bahan baku minyak bumi akan semakin menipis kedelai sehingga biji alpukat yaitu dapat dijadikan
bila diambil terus-menerus dan dapat menurunkan sebagai sumber minyak nabati. Minyak biji alpukat
kuantitasnya tanpa ada tindakan perawatan pada bumi, dapat diperoleh dengan metode ekstraksi maupun
Hal ini dapat dimanfaatkan dengan menggantikan bahan metode pengepresan. Metode ekstraksi menyebabkan
bakar fosil dengan bahan bakar alternatif yaitu minyak kehilangan minyak dalam proses lebih sedikit, sehingga
nabati khususnya mesin yang mengkonsumsi bahan minyak yang dihasilkan lebih banyak (2). Metode yang
bakar diesel. Untuk mencengah kelangkahan minyak digunakan untuk memperoleh minyak biji alpukat pada
bumi yaitu bahan bakar fosil sebagai sumber energi penelitian ini yaitu dengan ekstraksi. Ekstraksi adalah
yang tidak dapat di produksi secara cepat oleh bumi, proses pemisahan komponen – komponen dalam larutan
Tentu akan melihat sumber-sumber energi lain yang berdasarkan perbedaan kelarutannya (solubilitas). Biji
mudah diperoleh, pembaruan secara cepat, yaitu alpukat dikupas kulit arinya, kemudian dicuci dan
biodiesel yang harganya lebih murah dan terjangkau. dibersihkan dengan air. Lalu dipotong-potong dan
Biodiesel merupakan salah satu bahan bakar alternatif dikeringkan Selanjutnya, dihaluskan dengan
yang ramah terhadap lingkungan. Proses pendapatan menggunakan blender. Kemudian diayak dengan
biodiesel dapat diperoleh dari minyak tumbuhan dan ayakan 50 mesh, Sehingga diperoleh bubuk biji alpukat.
minyak nabati yang berasal dari alam. Metode ini memanfaatkan perbedaan kelarutan
Solusi untuk mengatasi ini dapat digantikan antara minyak dan bahan – bahan lain di dalam biji
dengan biiodiesel yang terbuat dari minyak biji alpukat, alpukat terhadap pelarut. Sifat selektivitas pelarut yang
Hampir semua orang mengenal dan menyukai buah digunakan menentukan tingkat kemurnian minyak biji
alpukat karena buahnya yang lezat dan mudah didapat. alpukat yang diperoleh. Oleh karena itu, pemilihan jenis
Namun kebayakan orang hanya memakan daging pelarut memegang peranan yang sangat penting. Cara
buahnya saja, sedangkan bijinya dibuang dan menjadi kerja ekstraksi dengan pelarut yaitu dengan cara
limbah begitu saja. Oleh karena itu, perlu penanganan memasukkan bahan yang diekstraksi ke dalam soklet.
terhadap limbah biji alpukat dengan dilakukan Ekstraksi berlangsung secara sistematik pada suhu
penelitian mengenai biji alpukat. Biji alpukat tertentu dengan menggunakan pelarut. Pelarut akan
mengandung minyak yang hampir sama dengan kedelai berpenetrasi ke dalam bahan. Larutan yang dipakai N-
sehingga biji alpukat dapat dijadikan sebagai sumber Heksana, Minyak hasil ekstraksi dengan pelarut
minyak nabati. Minyak dari biji alpukat dapat diperoleh mempunyai keunggulan yaitu bau yang mirip bau
dari proses transesterifikasi (1). Keuntungan pemakaian alamiah. Suhu yang optimal adalah 98,4°C, larutan N-
biodiesel dibandingkan dengan petrodiesel diantaranya Heksana 250ml, berat biji 20 gr, yield yang dihasilkan
adalah bahan baku dapat diperbaharui (renewable), 34% (2).
penggunaan lebih efisien, dapat menggantikan bahan

Page 1 of 8
Ada beberapa variabel yang mempengaruhi dari berat biji yang dimasukan. Setelah proses soxhlet,
proses ekstrasi adalah: Jumlah sovlent, suhu ekstraksi, maka didapatkan minyak biji rambutan yang masih
jenis solvent, ukuran partikel solid, waktu kontak. bercampur N-Heksana dan dilakukan proses pemurnian
Proses pemurnian minyak biji alplukat agar dapat minyak biji rambutan dengan menggunakan alat rotary
digunakan sebagai biodiesel adalah menggunakan evaporator untuk memisahkan N-Heksana yang ada
ukuran 1 liter minyak biji alpukat, 200gr Metanol, 10gr pada minyak tersebut. Proses rotary evaporator
NaOH (3). Buah alpukat berasal dari Amerika Tengah, membutuhkan suhu pemanas 60°C dan waktu selama
yaitu Meksiko, Peru, sampai Venezuela. Kini buah 30-45 menit. Proses ini berjalan didapatkan N-Heksana
alpukat telah menyebar ke seluruh dunia sampai Asia yang terpisah dari minyak dan N-Heksana dapat
Tenggara, termasuk Indonesia dan Filipina. Buah digunakan kembali proses transesterifikasi.
alpukat disebarkan oleh para pedagang ke seluruh dunia, Setelah mendapatkan minyak nabati biji alpukat,
baik ke daerah maupun subtropik. Kandungan minyak maka dilakukan proses transesterifikasi.. Alat yang
tergantung pada sifat ekologis dan ras, contoh ras dibutuhkan adalah magnetic hotplate stirrer,
Guatemala atau alpukat mentega mempunyai termometer, aluminium foil, dan batang stirrer. Bahan
kandungan minyak biji dari 10-13% (4). yang digunakan adalah metanol dengan kadar
Semakin meningkatnya kebutuhan minyak, kemurnian 99,9%, NaOH, dan minyak biji rambutan.
sedangkan penyediaan minyak semakin terbatas, Pada proses transesterifikasi minyak biji alpukat
sehingga untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam menggunakan NaOH sebanyak 1% dari berat minyak
negeri Indonesia harus mengimpor minyak baik dalam dan metanol 20% dari berat minyak. Melarutkan terlebih
bentuk minyak mentah maupun dalam bentuk produk dahulu NaOH ke metanol dengan menggunakan
kilang atau bahan bakar minyak (BBM) seperti minyak magnetic stirrer disamping itu dilakukan juga
solar atau ADO (Automotive Diesel Oil), premium atau pemanasan minyak biji alpukat sampai dengan suhu
bensin, minyak bakar atau FO (Fuel Oil), dan minyak 60oC. Bila keseluruhan NaOH sudah terlarut, maka
tanah. Semakin meningkatnya import minyak dan tahap selanjutnya adalah mencampur larutan tersebut
semakin meningkatnya harga minyak dunia dengan minyak biji alpukat menggunakan magnetic
diperkirakan akan semakin berat beban dan biaya yang hotplate stirrer dengan suhu 60oC dan diaduk dengan
harus ditanggung pemerintah Indonesia dalam kecepatan 400 rpm yang dilakukan selama 1,5 jam.
pengadaan minyak dalam negeri. Oleh karena itu perlu
dipertimbangkan penggunaan sumber energi lain selain
minyak, untuk mengurangi tekanan besarnya konsumsi
minyak. Biofuel yang terdiri atas Bio-diesel dan Bio-
ethanol (ethanol) merupakan pilihan untuk
dipergunakan sebagai sumber energi pengganti minyak.
Biofuel tersebut dapat dibuat dari sumber hayati atau
biomasa. (5). Di Indonesia jumlah produksi buah
alpukat semakin menigkat setiap tahunnya, seperti pada
tahun 2010 produksi mencapai 224,278 ton, tahun 2011 Gambar 2.1. Alat magnet stirrer
meningkat menjadi 275,553 ton, dan tahun 2012
sebanyak 294,200 ton. Maka dari itu betapa banyaknya Setalah minyak biji alpukat selesai proses
limbah biji alpukat yang dihasilkan jika jumlah produksi transesterifikasi, minyak didiamkan selama 24 jam atau
buah alpukat setiap tahunnya meningkat (3). lebih hal ini dilakukan untuk memisahkan metil ester
dan gliserol. Gliserol yang terpisah dapat dijadikan
produk sampingan yaitu sabun.
2. Metode Penelitian Pencampuran metil ester dengan solar dilakukan
Pada penelitian dan percobaan ini telah dengan persentase volume metil ester sebesar 10% dan
dilakukan di Universitas Kristen Petra surabaya. 20% lalu dilakukan pengujian karakteristik fisik dari
Sebelum melakukan pengestrakan biji hal pertama yabg kandungan campuran tersebut di Laboratorium UPPS
harus dilakukan adalah pengeringan biji buah di bawah Pertamina Surabaya. Pengujian karakteristik tediri dari
sinar matahari kurang lebih selama tujuh hari atau beberapa parameter yaitu Density ASTM D-1298,
sampai benar-benar kering. Selanjutnya biji dihaluskan Viskositas kinematik ASTM D-445, Flash Point ASTM
dengan cara ditumbuk menjadi bubuk untuk proses D-94, Pour Point ASTM D-97, Kandungan sulfur
pengestrakan. Langkah berikutnya mempersiapkan alat ASTM D-4294, Pengujian warna ASTM D-6304,
dan bahan, alat yang digunakan adalah timbangan Kandungan air ASTM D-6304, Index Setana Number
digital, gelas ukur, corong, soxhlet, kompor listrik, panci ASTM D-4737, dan Distilasi ASTM D-86. Semua
kecil, selang air, ember, pompa air kecil, kertas saring. pengujian dilakukan dengan standar dari Dirjen Migas
Bahan yang digunakan adalah biji alpukat yang telah yaitu ASTM (American Society for Testing and
kering dan N-Heksana. Pada pengestrakan dilakukan Material).
dengan metode soxhlet. Lama proses pengestrakan Pengujian unjuk kerja mesin dilakukan di
memakan waktu 1-2 jam, dan membutuhkan berat Laboratorium Motor Bakar Universitas Kristen Petra
serbuk biji 80-90 gram, berat N-Hexana dua kali lipat Surabaya dengan menggunakan water brake

Page 2 of 8
dynamometer dan mesin diesel dengan metode Dari data pada gambar 3.1. dapat diketahui
pengereman konstan dan RPM berubah. bahwa solar mempunyai nilai 0,8326 yang paling rendah
diantara lainnya, sedangkan biosolar SPBU dan Biosolar
B10 mempunyai density yang sama dengan nilai 0,839.
Dan B20 mempunyai density tertinggi dengan nilai
0,844.

Viscosity Kinematic
4 3,51

2,74 2,82
3
2,49
Gambar 2.2. Mesin Diesel ISUZU 4JA-1, OHV
cSt
2

0
Solar Biosolar B10 B20
Gambar 3.2. Grafik Viskositas Tiap Bahan Bakar.

Dari data pada gambar 3.2. di dapatkan bahwa


solar murni memiliki nilai viskositas paling rendah
dengan nilai 2,49. Sedangkan biosolar SPBU
Gambar 2.3. Water brake Dynamometer mempunyai nilai viskositas tertinggi dengan nilai 3,51.
Sedangkan B10 mempunyai nilai 2,74, dan B20
mempunyai nilai 2,83.
3. Hasil dan Pembahasan
A. Hasil Uji Karakteristik
Hasil sempel biodiesel campuran minyak biji
alpukat diperoleh dari pegujian yang telah dilakukan di °C Flash Point
Laboratorium UPPS milik Pertamina Surabaya. 80 73
Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan standar 70 63 62
dari American Standard Testing and Material (ASTM). 60 56
Hasil dari uji fisik digunakan sebagai parameter awal
50
berhasil atau tidaknya penelitian yang telah dilakukan.
Bila data hasil uji fisik menunjukkan nilai yang masuk 40
dalam standar bahan bakar diesel, maka sampel yang 30
digunakan dalam percobaan aman dalam pemakaiannya 20
motor diesel.
10
0
Density Solar Biosolar B10 B20
0,845 0,844
Gambar 3.3. Grafik Flash Point Tiap Bahan Bakar.

0,839 0,839 Dari data flash point pada gambar 3.3. bahwa
0,84
Biosolar B20 mempunyai titik flash point paling rendah
dengan nilai 56°C. Sedangkan B10 dan biosolar SPBU
Kg/L

0,835 memiliki selisih 1 angka dimana B10 lebih rendah.


0,8326
Sedangkan solar murni mempunyai nilai paling tinggi
dengan nilai 73°C. Hal ini mempengaruhi titik nyala dari
0,83
sebuah bahan bakar ke ruang bakar mesin. Pada B20
bahan bakar mudah terbakar di ruang bahan bakar hal
0,825 ini dapar menyebabkan mesin cepat panas dan
Solar Biosolar B10 B20 knocking. Bahan bakar B20 lebih cocok untuk mesin
Gambar 3.1 Grafik Perbandingan Density Antar Bahan diesel putaran tinggi.
Bakar

Page 3 of 8
Gambar 3.5. Grafik Kandungan Sulfur Tiap Bahan
Bakar.
°C Pour Point
10 9 Dari data pada gambar 3.5. bahwa biosolar
SPBU memiliki kandungan sulfur paling tinggi dengan
8 nilai 0,136, dan solar murni mempunyai nilai 0,047,
6 Sedangkan B10 mempunyai nilai 0,04. Kandungan
sulfur pada B20 memiliki nilai yang paling rendah yaitu
4
0.035. Bahan bakar jenis solar, B10, B20 memiliki
2 kandungan belerang yang rendah sehingga
0
menghasilkan ramah lingkungan.

-2
-4
Colour
-3
-6 3,1
3
-6 3
-8
2,9
-10 -9
2,8
Solar Biosolar B10
2,7
B20
2,6
2,5 2,5 2,5
2,5
2,4
Gambar 3.4. Grafik Pour Point Tiap Bahan Bakar. 2,3
2,2
Dari data gambar 3.4. diketahui bahwa solar
Solar Biosolar B10 B20
mempunyai angka pour point paling rendah dengan nilai
-9°C. Sedangkan biosolar pertamina mempunyai angka Gambar 3.6. Grafik Colour Tiap Bahan Bakar.
kebalikan dari solar murni dengan nilai 9°C. Nilai pour
point yang di miliki oleh B-10 dan B-20 beselisih 3 Dari data pada gambar 3.6. diketahui bahwa nilai
angka dimana B-10 mempunyai nilai -6°C, sedangkan colour pada solar murni, B10, B20 mempunyai nilai
B-20 -3°C. Karakteristik ini mempengaruhi titik beku warna yang sama dengan nilai 2,5. Sedangkan biosolar
pada suatu bahan bakar. Dari ini minyak biji alpukat SPBU memiliki nilai 3. Suatu nilia colour tidak
memiliki keistimewahan yang lebih unggul dari biosolar mempengaruhi dalam kinerja mesin, Hal ini hanya
SPBU pertamina dimana titik bekunya lebih rendah. berpengaruh pada sifat fisik warna suatu bahan bakar.
Bahan bakar yang memiliki titik bekunya rendah sangat Semakin rendah nilainya maka bahan bakar lebih
cocok di lingkungan bersuhu dingin, dan tidak mudah berwarna lebih jernih dari pada biosolar SPBU.
membeku.

Sulphur Content PPM Water Content


% wt 200 186
0,16 180
0,136 157
0,14 160
140
0,12 140

0,1 120 109


100
0,08
80
0,06 0,047
0,04 60
0,035
0,04
40
0,02 20
0 0
Solar Biosolar B10 B20 Solar Biosolar B10 B20

Page 4 of 8
Gambar 3.7. Grafik Kandungan Air Tiap Bahan memiliki angka 332°C. Hal ini mempengaruhi titik
Bakar. penguapan pada bahan bakar.

Dari data pada gambar 3.7. diketahui bahwa B20


mempunyai kandungan air tertinggi dengan nilai 186
ppm, sedangkan biosolar SPBU mempunyai nilai paling
rendah dengan nilai 109ppm. Solar murni mempunyai
kandungan air 157 ppm, dan B10 memiliki kandungan
air dengan nilai 140 ppm.
High Heating Value
12815,89
Calculated Cetane Index 14000 2
10104,35
56 12000 10206,25
55 15 9621,323
55 10000

Kkal/Kg
54 8000
53 6000
52
52 4000
51
51 2000
50
50 0
49 Solar Biosolar B10 B20
48 Gambar 3.10. Grafik Perbandingan High Heating
47 Value Setiap Bahan Bakar
Solar Biosolar B10 B20
Dari data pada gambar 3.10. dapat diketahui
Gambar 3.8. Grafik Indeks Setana Tiap Bahan bahwa nilai tertinggi pembakaran terdapat pada Biosolar
Bakar. dengan angka nilai 12815,892 Kkal/Kg. Biosolar
campuran minyak biji alpukat B20 mempunyai nilai
Dari data pada gambar 3.8. diketahui bahwa tertinggi ke dua dengan nilai angka 10206,25 Kkal/Kg.
biosolar SPBU memiliki angka cetane number paling Nilai terendah pada biodiesel minyak biji alpukat B10
timggi dengan nilai 55, Sedangkan solar dan B20 dengan nilai angka 9621,323 Kkal/Kg. Nilai
memiliki angka cetane number yang selisih 1 angka pembakaran ini dipengaruhi oleh massa jenis tiap bahan
dimana B20 dengan nilai 52, dan solar murni 51. bakar, waktu pembakaran dalam alat bom kalorimeter,
Sedangkan B10 meiliki angka terendah yaitu dengan suhu awal sebelum dan sesudah di ledakan, dan sisa
nilai 50. panjang kawat yang berada pada mangkuk kecil uji bom
kalorimeter. Hal yang paling mempengaruhi adalah
suhu ruangan di sekitar pengujian bom kalorimeter.
°C Distillation
B. Hasil Uji Performansi
400 365 Hasil pecobaan uji performasi yang didapat
350 330 332
merupakan hasil percobaan pngujian di Laboratorium
300 Motor Bakar Universitas Kristen Petra dengan metode
234 pengujian pengereman berubah dan RPM berubah dari
250
RPM 3000 sampai turun 1600. Dari pengujian maka
200
diperoleh hasil yaitu daya(HP), torsi (Nm), BMEP
150 (Kg/cm2), SFC (Kg bahan bakar/HP.jam) Efisiensi
100 termal (%) .
50
0
Solar Biosolar B10 B20
Gambar 3.9. Grafik Distilasi Tiap Bahan Bakar.

Dari data pada gambar 3.9. bahwa biosolar SPBU


mempunyai nilai tertinggi dengan nilai 365°C, Dan solar
murni memiliki nilai terendah dengan nilai 234°C,
Sedangkan B10 memiliki angka 330°C, dan B20

Page 5 of 8
50,00 8,00E-06
7,00E-06
40,00 6,00E-06
Daya (Hp)

30,00 5,00E-06
4,00E-06

(Kg/Cm²)
20,00 3,00E-06
10,00 2,00E-06
1,00E-06 RPM
0,00 RPM 0,00E+00
1600 1800 2000 2200 2400 2600 2800 3000 1600 1800 2000 2200 2400 2600 2800 3000
SOLAR BIOSOLAR
SOLAR BIOSOLAR
B10 B20
B10 B20
Gambar 3.11. Grafik perbandingan Daya.
Dari gambar 3.11. dapat dilihat perbandingan Gambar 3.13. Grafik perbandingan tekanan efektif
daya dari solar, biosolar, B10, dan B20. Bahwa bahan rata-rata.
bakar solar murni memiliki daya yang paling tinggi pada Dari gambar 3.13. dapat dilihat perbandingan
RPM 2200 dengan nilai angka 41,39 Hp. Daya paling tekanan efektif rata-rata dari masing-masing sempel
rendah didapat pada RPM 3000 dengan nilai 12,06 Hp solar, biosolar, B10, dan B20. Pada biosolar RPM 2000
terhadap B10. Pada RPM 3000 tidak ada beban sama mendapatkan nilai angka 7,04 yang paling tinggi
sekali. Di RPM 1600 solar dan biosolar memiliki nilai diantara lainnya. Pada RPM 3000 pendapatan nilai
angka yang sama. Pada percobaan ini dimana B20 dan angka masih kecil dikarenkan beban pengereman 0%.
B10 memiliki hasil yang kurang baik di setiap RPMnya, Pada RPM 1600 dan 1800 Beban pengereman sangat
dikarenakan jenis bahan bakar ini kurang cocok untuk tinggi, maka dihasilkan angka yang tinggi juga pada saat
mesin dengan beban berat seperti kendaraan niaga. pengujian.
Bahan bakar jenis solar memiliki daya paling baik
diantara RPM 2200-3000. 0,60
0,50
bakar/HP.jam)

160,00
(Kg bahan

140,00 0,40
120,00 0,30
100,00
80,00 0,20
Torsi (Nm)

60,00 0,10
40,00 RPM
20,00 0,00
RPM
0,00 1600 1800 2000 2200 2400 2600 2800 3000
1600 1800 2000 2200 2400 2600 2800 3000 SFC SOLAR SFC BIOSOLAR
SOLAR BIOSOLAR SFC B10 SFC B20
B10 B20 Gambar 3.14. Grafik Konsumsi bahan bakar spesifik.
Gambar 3.12. Grafik Perbandingan Torsi.
Pada gambar 3.14. dapat dilihat perbandingan
Dari gambar 3.12. dapat dilihat perbandingan konsumsi bahan bakar specifik dari masing-masing
torsi dari masing-masing sempel solar, biosolar, B10, sempel solar, biosolar, B10, dan B20. Pada biosolar di
dan B20. Bahwa bahan bakar Biosolar memiliki nilai RPM 1600 memiliki angka yang paling kecil diantara
puncak yang paling tinggi pada RPM 2000 dengan nilai lainnya dengan nilai angka 0,19 Kg bahan bakar/ Hp.
angka 142,17 Nm. Ini adalah titik puncak torsi dari Pada RPM 3000 bahan bakar solar, biosolar, B10, dan
biosolar. Pendapatan torsi pada solar murni dan biosolar B20 yang dihasilkan memiliki nilai angka yang paling
milik pertamina memiliki torsi yang hampir sama di boros. Pada RPM 1800-2400 pemakaian bahan bakar
setiap RPMnya kecuali pada RPM 2000, 2600, dan diantara semua sempel hampir sama. Semakin kecil
2800. Bahan bakar B10 dan B20 Memiliki hasil yang nilai angka yang dihasilkan maka bahan bakar yang di
kurang baik pada setiap RPMnya. Jenis bahan bakar ini konsumsi oleh mesin akan semakin sedikit. Jika
kurang cocok untuk mesin dengan beban berat seperti pengujian dilakukan dengan mesin diesel berteknologi
kendaraan niaga. Bahan bakar B10 dan B20 lebih cocok baru maka konsumsi bahan bakar akan lebih baik di
untuk mobil penumpang yang memiliki beban yang bandingkan dengan mesin lama. Hal ini juga di
ringan dan kecepatan RPM berubah. samakan dengan pemakaian bahan bakar yang
berkualitas baik seperti pertamina DEX yang memiliki
kandungan sulfur yang baik.

Page 6 of 8
35,00 bahwa daya dan torsi bahan bakar pada B10
30,00 menurun sangat banyak diantara bahan bakar
Efisiensi Termal (%)

25,00
lainnya.
4. Pada pengujian efisiensi termal B20 menurun
20,00 sebanyak 4,7% dari solar murni, B10 3,6%,
15,00 sedangkan biosolar hanya 0,2% dari solar murni.
10,00 Hasil dari B20 paling boros diantara semuanya.
5,00 Semakin besar angka penurunan maka semakin
0,00 RPM banyak bahan bakar yang di butuhkan. Demikian
1600 1800 2000 2200 2400 2600 2800 3000 juga dengan pengujian sfc B20 memiliki hasil yang
SOLAR BIOSOLAR sama dengan solar murni, biosolar meningkat
B10 B20 sebanyak 4% dari solar murni, Sedangkan B10
mengalami penurunan sebanyak 4% dari solar
Gambar 3.15. Grafik perbandingan efisiensi termal. murni, Konsumsi B10 sangat boros. Hal ini
Pada gambar 3.15. dapat dilihat perbandingan dikarenakan B10 tidak cocok untuk pemakaian pada
konsumsi bahan bakar specifik dari masing-masing mesin yang bekerja berat. Bahan bakar B10 dan B20
sempel solar, biosolar, B10, dan B20. Bahwa bahan lebih cocok di gunakan pada beban konstan dan
bakar solar murni memiliki nilai angka paling tinggi RPM berubah.
pada RPM 1600 dengan angka 32,95%, pada RPM ini 5. Pada pengujian dengan metode pengereman berubah
biosolar sangat unggul dari pada lainnya karena beban bahan bakar solar memang paling unggul diantara
pengereman yang digunakan sangat tinggi. Pada RPM biodiesel minyak biji alpukat B10 dan B20. Hal ini
2400 dan 2600 bahan bakar B10 serta B20 memiliki dikarenakan nilai uji kalor dari HHV sangat rendah.
tingkat efisien yang lebih unggul dari solar murni dan Hal yang mempengaruhi lainnya adalah kandungan
biosolar. Pada RPM tinggi tingkat efisiensi tidak dari N-Heksana dan methanol yang tersisa dalam
seberapa tinggi pada setiap bahan bakar. Pengujian metil ester sebelum dicampur pada solar murni
dilakukan dari RPM 3000 sampai turun menjadi 1600. sehingga dihasilkan biodiesel. Pengaruh terhadap
Penurunan RPM dengan melakukan peningkatan daya vicositas dan titik didih setiap bahan bakar.
pengereman.
5. Daftar Pustaka
4. Kesimpulan 1. Aguacate, E. L., & Objetivos, I. (n.d.).
Bedasarkan penelitian dan pengujian yang
Persea americana, 1–10
dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Campuran biodiesel dari minyak biji alpukat dapat 2. Atikah Risyad, Resi Levi Permadani, S. M. (2016).
digunakan dengan presentase campuran 20%, EKSTRAKSI MINYAK DARI BIJI ALPUKAT
karena nilai flash point sudah mendekati nilai (Persea Americana Mill) MENGGUNAKAN
minimum dari bahan bakar yang sudah ditetapkan PELARUT N-HEPTANA, 5(1), 34–39.
oleh direktorat jendral minyak dan gas bumi. Flash 3. Dewi, A., Halimah, N., Rohmah, S. S., Fakultas, M.,
point pada B20 memiliki nilai 56°C sedangkan flash Masyarakat, K., Diponegoro, U., & Indonesia, S.
point layak digunakan untuk mesin minimum 53°C. (n.d.). Pengolahan Limbah Biji Alpukat Untuk
Nilai flash point yang rendah dipengaruhi oleh Pembuatan Dodol Pati Sebagai Alternatif
kandungan N-Heksana yang tertingal di dalam Pengobatan Ginjal, 32–37.
minyak pada saat proses ekstraksi. Hal ini 4. H. M. Rachimoellah, Dyah Ayu Resti, Ali Zibbeni,
mengakibatkan bahan bakar mudah terbakar & I Wayan Susila. (2009). Production of Biodiesel
sebelum sampai ke ruang bakar. through Transesterification of Avocado (Persea
2. Tetapi keistimewahan dari minyak biji alpukat gratissima) Seed Oil Using Base Catalyst. Jurnal
memiliki yang lebih unggul dari biosolar SPBU Teknik Mesin, 11(2), 85–90. Retrievedfrom
pertamina dimana titik bekunya lebih rendah. http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/mes/a
Dimana B10 memiliki nilia flash point -6°C rticle/view/17953
sedangkan B20 memiliki nilai -3°C. Bahan bakar 5. Hermanto, C., Indriani, N. L. P., & Hadiati, S. (2013).
mempunyai nilai titik bekunya rendah sangat cocok Keragaman dan Kekayaan Buah Tropika Nusantara.
di lingkungan bersuhu dingin, dan tidak mudah 6. Minyak, B., & Alpukat, B. (2010). 8/5/2010, c(Tm
membeku meskipun di simpan di dalam tangki 091486), 1–5.
kendaraan. 7. Prasetyowati, Pratiwi, R., & O, F. T. (2010).
3. Pada percobaan pengujian nilai daya, B20 menurun Pengambilan Minyak Biji Alpukat ( Persea
sebanyak 4,25% dari solar murni sedangkan B10 Americana Mill ) Dengan Metode Ekstraksi. Jurnal
4,31% dari solar murni, dan biosolar hanya 0,82% Teknik Kimia, 17(2), 16–24.
dari solar murni. Begitu juga dengan torsinya dimana 8. Rahayu, M. (2005). Teknologi Proses Produksi
B20 memiliki nilai penurunan 3,9% dari solar murni, Biodiesel. Prospek Pengembangan Bio-Fuel
B10 4,11% dari solar murni, dan biosolar hanya Sebagai Subtitusi Bahan Bakar Minyak, 17–28.
0,59%. Dari pengujian yang telah dilakukan di mesin 9. Risnoyatiningsih, S. (2010). Biodiesel From
Avocado Seeds By Transesterification Process.
Page 7 of 8
Jurnal Teknik Kimia, 5(1), 345–351.
10. Suarna, E., Rahayu, M., & Sugiyono, A. (2006).
Prospek dan Tantangan Pemanfaatan Biofuel
sebagai Sumber Energi Alternatif Pengganti Minyak
di Indonesia. … Bio-Fuel Sebagai …, 1–15.
Retrieved from
http://www.reocities.com/markal_bppt/publish/biof
bbm/bisuar.pdf
11. (Kristanto, philip. (2004). Modul praktikum motor
bakar. surabaya: universitas kristen petra)
12.http://www.prosesindustri.com/2015/02/def
enisi-bahan-bakar-diesel-solar.html
13. Suarna, E., Rahayu, M., & Sugiyono, A. (2006).
Prospek dan Tantangan Pemanfaatan Biofuel
sebagai Sumber Energi Alternatif Pengganti Minyak
di Indonesia. … Bio-Fuel Sebagai …, 1–15.
Retrieved from
14.http://www.reocities.com/markal_bppt/publ
ish/biofbbm/bisuar.pdf
15.Risnoyatiningsih, S. (2010). Biodiesel From
Avocado Seeds By Transesterification Process.
Jurnal Teknik Kimia, 5(1), 345–351.

Page 8 of 8

Anda mungkin juga menyukai