Oleh :
Disampaikan kepada :
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
A. Tata Cara Perhitungan, Penyetoran, Pelaporan PPh 21/26
1. Dasar Hukum
a. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun
2009;
b. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008;
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif
Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang
Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
d. Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan PPh Pasal
21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan, dan Tunjangan
Hari Tua;
e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Bagi Pejabat Negara,
PNS, Anggota TNI. Anggota POLRI, dan Pensiunannya Atas Penghasilan yang
Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
f. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 181/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Isi
Surat pemberitahuan, Serta Tata Cara Pengambilan, pengisian,
Penandatanganan, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan.
g. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 80/PMK.03/2010 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan
Tanggal Jatuh tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat
Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan
Pajak, Serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak;
h. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 186/PMK.03/2007 tentang Wajib Pajak
Tertentu yang Dikecualikan dari Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda
karena Tidak Menyampaikan Surat Pemberitahuan Dalam Jangka Waktu yang
Ditentukan;
i. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara
Pengembalian Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang;
1
j. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 246/PMK.03/2008 tentang Beasiswa
yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan;
k. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya
Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan
Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan;
l. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
m. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 254/PMK.03/2008 tentang Penetapan
Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian dan
Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan
Pemotongan Pajak Penghasilan;
n. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-57/PJ/2009 tanggal 25 Mei 2009
tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-31/PJ/2009
tanggal 25 Mei 2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/Atau Pajak
Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi;
o. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2009 tanggal 25 Mei 2009
tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pasal 26 dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
21 dan/atau Pasal 26.
2
3. Pemotong PPh Pasal 21/26
Termasuk pemotong PPh Pasal 21/26 adalah Bendahara atau Pemegang Kas
Pemerintah termasuk Bendahara atau Pemegang Kas pada Pemerintah Pusat
termasuk institusi TNI dan POLRI, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga
pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik
Indonesia di luar negeri.
3
5. Objek PPh Pasal 21/26
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh pasal 26 adalah:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa
Penghasilan yang Bersifat Teratur maupun Tidak Teratur;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur
berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c. penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati
jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pegawai berhenti bekerja;
d. penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga KerjaLepas, berupa upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara
bulanan;
e. imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupamhonorarium, komisi, fee,
dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan jasa yang dilakukan;
f. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama
dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun;
g. penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang
diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang
tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
h. penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain
yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
i. penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang
masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan.
Termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
a. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak penghasilan yang bersifat final; atau
b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit). (didasarkan pada harga pasar atas barang
yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian kenikmatan yang diberikan).
4
6. Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21/26
a. Bendahara menyetor PPh Pasal 21 yang tidak ditanggungPemerintah dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Bank Persepsi atau Kantor Pos
paling lama tanggal 10 bulantakwim berikutnya. Apabila tangal 10 jatuh pada
hari libur maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya.
b. Atas PPh Pasal 21 yang terutang bagi pejabat negara, PNS, anggotaTNI, POLRI
yang PPh-nya ditanggung Pemerintah, Bendahara melaporkan penghitungan
PPh pasal 21 yang terutang dalam daftar gaji kepada KPPN.
c. Bendahara melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang sekalipun nihil dengan
menggunakan SPT Masa paling lama tanggal 20 bulan takwim berikutnya.
Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, pelaporan dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
5
1) Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atau 20% lebih tinggi dari tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh (khusus untuk Wajib Pajak yang tidak
memiliki NPWP) diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi pegawai
tetap, pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayar secara
bulanan.
2) 5% atau 6% (khusus untuk Wajib Pajak yang tidakmemiliki NPWP) dari
upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku
harianyang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja
lepas yang jumlahnya melebihi Rp 150.000,- sehari dan penghasilan
kumulatif dalam satu bulan kalender tidak melebihi Rp6.000.000,00;
3) Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atau 20% lebih tinggi dari tarif Pasal
17 ayat (1) huruf a UU PPh (khusus untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki
NPWP) atas jumlah kumulatif dari dasar pengenaan dan pemotongan PPh
Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh bukan pegawai. Dasar
pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 tenaga ahli adalah 50% dari
jumlah penghasilan bruto;
4) Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atau 20% lebih tinggi dari tarif Pasal
17 ayat (1) huruf a UU PPh (khusus untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki
NPWP) diterapkan atas jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali
pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh
peserta kegiatan.
5) 20% bersifat fi nal diterapkan terhadap penghasilan bruto yang diterima
atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri, dengan
memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang
berlaku antara Republik Indonesia dengan negara domisili Wajib Pajak luar
negeri tersebut.
6
a) 0% diterapkan atas penghasilan yang dibayarkan berupa Honorarium
dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima oleh PNS
Golongan I dan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan
Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b) 5% diterapkan atas penghasilan yang dibayarkan berupa Honorarium
dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima oleh PNS
Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Perwira Pertama, dan pensiunannya;
c) 15% diterapkan atas penghasilan yang dibayarkan berupa Honorarium
dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima Pejabat Negara,
PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan
Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya;
2. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas
jumlah penghasilan bruto berupa penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
yang menjadi beban APBN atau APBD setelah dikurangi dengan biaya
jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena
Pajak. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan
teratur setiap bulan termasuk gaji ke-13 yang menjadi beban APBN atau
APBD yang dihitung dengan tarif ini ditanggung oleh pemerintah;
3. Dalam hal PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya
diangkat sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga yang tidak
termasuk sebagai Pejabat Negara, atas penghasilan yang menjadi beban
APBN atau APBD terkait dengan kedudukannya sebagai pimpinan dan/atau
anggota pada lembaga tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan tidak
ditanggung oleh Pemerintah;
4. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas
jumlah penghasilan bruto berupa penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
yang menjadi beban APBN atau APBD setelah dikurangi dengan biaya
jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena
Pajak ditambah tarif 20% lebih tinggi apabila Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak. Tambahan PPh Pasal 21 sebesar 20% dipotong dari
penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan Anggota
7
POLRI dan pensiunannya pada saat penghasilan tetap dan teratur setiap
bulan dibayarkan.
d. Cara Penghitungan
1) Pengenaan PPh Pasal 21 bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil,
anggota TNI, POLRI dan para Pensiunan termasuk janda/duda dan atau
anak-anaknya yang dibebankan kepada Keuangan Negara/Daerah
(APBN/APBD)
a) Atas penghasilan yang dibayarkan berupa:
• Gaji kehormatan;
• Gaji atau uang pensiun, dan
• Tunjangan yang terkait dengan gaji kehormatan, gaji atau uang pensiun
yang dibebankan kepada Keuangan Negara Daerah.
PPh Pasal 21-nya dihitung dengan cara sebagai berikut:
• Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil dan anggota TNI,POLRI,
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a X Penghasilan Kena Pajak (PKP).
Penghasilan Kena Pajak = (penghasilan bruto – biaya jabatan - iuran
pensiun - PTKP).
• Bagi penerima pensiun bulanan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a X
Penghasilan Kena Pajak (PKP). Penghasilan Kena Pajak =
(penghasilan bruto – biaya pensiun – PTKP).
b) Atas penghasilan yang dibayarkan berupa:
- Honorarium;
- Uang sidang;
- Uang hadir;
- Uang lembur;
- Imbalan prestasi kerja, dan
- Imbalan lain dengan nama apapun;
yang dibebankan kepada Keuangan Negara/ daerah, pengenaan PPH
Pasal 21-nya dipotong sebesar 15% jumlah bruto penghasilan tersebut
dan bersifat fi nal kecuali Pegawai Negeri Sipil golongan II-d ke bwah
atau Anggota ABR berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah atau
Ajun Inspektur Polisi Satu ke bawah. c) Atas penghasilan yang
dibayarkan.
8
2) Pengenaan PPh Pasal 21 bagi selain Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil,
anggota TNI, POLRI dan para Pensiunan yang dibebankan kepada
Keuangan Negara/Daerah
a) Upah harian, Upah mingguan, Upah satuan, Upah borongan, Uang saku
harian adalah penghasilan bruto harian dikurangi Rp150.000,- (seratus
lima puluh ribu rupiah) sepanjang jumlah yang diterimanya dalam satu
bulan takwim tidak melebihi Rp1.320.000,- (satu juta tiga ratus dua
puluh ribu rupiah) dan tidak dibayarkan secara bulanan. Contoh pada
halaman sebelumnya.
b) Honorarium, Uang saku, Hadiah/penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apapun, komisi, dan Pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang diterima oleh
bukan pegawai dipotong PPh Pasal 21 berdasarkan penerapan tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh X 50% X penghasilan bruto.
c) Honorarium, Uang saku, Hadiah/penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apapun, komisi, dan Pembayaran lain secara berkesinambungan
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang
diterima oleh bukan pegawai yang memiliki NPWP dan hanya
menerima penghasilan dari pemberi kerja tersebut dipotong PPh Pasal
21 berdasarkan penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh X
((50% X penghasilan bruto) - PTKP).
d) Honorarium, uang saku, uang representasi, uang rapat dan hadiah
/penghargaan dan penghasilan sejenis lainnya yang diterima oleh
peserta kegiatan (perlombaan, rapat, konferensi, sidang, pertemuan,
kunjungan kerja, anggota kepanitiaan, pendidikan pelatihan dan
magang, kegiatan lainnya) dipotong PPh Pasal 21 berdasarkan
penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh X jumlah bruto untuk
setiap pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah.
3) Penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh orang pribadi dengan status
WP luar negeri, sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa dan kegiatan Tarif
20% x penghasilan bruto dan bersifat final atau tarif berdasarkan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Apabila WP luar negeri tersebut
berubah status, maka pemotongan PPh Pasal 21-nya tidak bersifat final.
9
B. Penyusunan SPT Massa PPh Pasal 21/26
Sarana bagi Wajib Pajak untuk melaporkan kewajiban pemungutan PPh atas pembayaran
penghasilan kepada Pegawai dan Bukan Pegawai orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan
adalah dengan menggunakan Formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26. Selama ini formulir SPT
Masa PPh Pasal 21/26 ini diberi kode Formulir 1721. Namun mulai 1 Januari 2014, bentuk
Formulir 1721 ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara
pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-
14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013. Seperti dinyatakan dalam peraturan tersebut, SPT baru ini
mulai diberlakukan per tanggal 1 Januari 2014. Sebagaimana telah diketahui, sesuai dengan
ketentuan Pasal 21 UU PPh, para pemberi kerja, dana pensiun, bendahara pemerintah, badan
yang membayar honorarium dan sejenisnya serta para penyelenggara kegiatan, ditugaskan
untuk melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21.
Pemotongan PPh Pasal 21 ini wajib mereka lakukan terhadap imbalan (penghasilan) yang
mereka bayarkan (atau terutang) kepada WP orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan. Sedangkan bila si WP orang pribadi penerima penghasilan
tersebut berstatus sebagai WP luar negeri, maka jenis PPh yang harus dipotong adalah PPh
Pasal 26. PPh Pasal 21/26 yang telah dipotong tersebut selanjutnya harus disetorkan ke kas
negara sesuai dengan jangka waktu yang sudah ditetapkan. Dalam hal ini jika terjadi
keterlambatan setor, para subjek pemotong PPh Pasal 21/26 tersebut dapat dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga 2% per bulan.
Selanjutnya tugas terakhir para subjek pemotong PPh Pasal 21/26 adalah melaporkan
pelaksanaan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21/26 tersebut kepada KPP tempat
subjek pemotong PPh tersebut terdaftar. Pelaporan tersebut menggunakan media yang
dikenal dengan sebutan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan Pasal 21
Dan/Atau Pasal 26 (lebih sering disebut dengan SPT Masa PPh Pasal 21/26). SPT Masa PPh
Pasal 21/26 tersebut wajib disampaikan dan dilaporkan kepada KPP tempat subjek pemotong
PPh terdaftar NPWP, paling lambat pada tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak (bulan) terutangnya PPh Pasal 21/26. Dalam hal ini jika terjadi
keterlambatan pelaporan, subjek pemotong PPh dapat dikenai sanksi administrasi denda
sebesar Rp 100.000,- untuk setiap SPT Masa PPh yang terlambat dilaporkan.
1. Bentuk Formulir
Bentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 ditetapkan dengan peraturan ini
sebagaimana ditentukan dalam Lampiran 1, terdiri dari:
a) Induk SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721);
10
b) Daftar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Penerima
Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai
Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik
Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya (Formulir 1721-I);
c) Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal
26 - (Formulir 1721-II);
d) Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final) - (Formulir 1721-
III);
e) Daftar Surat Setoran Pajak (SSP) dan/atau Bukti Pemindahbukuan (Pbk) untuk
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721-IV);
f) Daftar Biaya - (Formulir 1721-V);
Sedangkan bentuk Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 yang merupakan dokumen
pendukung dari SPT Masa PPh Pasal 21/26 ditetapkan dalam Lampiran 2 peraturan ini
terdiri dari:
a) Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) atau Pasal 26 -
(Formulir 1721-VI);
b) Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final) - (Formulir 1721-VII);
c) Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Penerima
Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala - (Formulir 1721-
A1);
d) Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pegawai Negeri Sipil atau
Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Polisi Republik Indonesia atau
Pejabat Negara atau Pensiunannya - (Formulir 1721-A2);
Bentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 ini adalah berupa:
- formulir kertas (hard copy); atau
- e-SPT
11
Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya tidak lebih dari
20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau;
2) Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain
pemotongan PPh sebagaimana dimaksud pada angka 1 dengan bukti
pemotongan yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1
(satu) masa pajak; dan/atau
3) Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang
jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak;
dan/atau
4) Melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya
tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak.
b. Pelaporan dengan e-SPT
Bagi Wajib Pajak/Pemotong Pajak yang diperbolehkan untuk melaporkan
SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan formulir dalam bentuk kertas,
namun ingin melaporkannya menggunakan e-SPT, maka dalam ketentuan ini
Wajib Pajak ini diperbolehkan untuk melaporkan dengan menggunakan e-SPT.
Bagi Wajib Pajak/Pemotong Pajak yang tidak memenuhi salah satu dari
keempat ketentuan yang memperbolehkan untuk melaporkan SPT Masa PPh
Pasal 21/26 dengan menggunakan formulir kertas, maka wajib melaporkan SPT
Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan e-SPT.
Apabila Wajib Pajak/Pemotong Pajak yang telah melaporkan SPT Masa PPh
Pasal 21/26 dengan menggunakan e-SPT, maka tidak diperbolehkan lagi
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir
kertas (hard copy) untuk masa-masa pajak berikutnya.
Bagi Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa PPh
Pasal 21/26 dengan e-SPT namun tetap menyampaikannya dengan formulir
kertas, maka atas SPT yang telah dilaporkannya dengan menggunakan formulir
kertas ini dianggap tidak pernah melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26.
12
Masa PPh Pasal 21/26 dengan e-SPT, maka harus menggunakan aplikasi e-SPT yang
telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
13
Dalam Hal Pelaporan Menggunakan e-SPT, SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal
26 dalam bentuk e-SPT harus disampaikan dengan disertai Induk SPT Masa PPh Pasal 21
dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy).
14
Daftar Pustaka
15