Perdarahan Post Partum
Perdarahan Post Partum
Judul .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN
Perdarahan postpartum dapat berasal dari tempat implantasi plasenta, atau robekan
pada jalan lahir dan sekitarnya, yang bila tidak ditangani secara cepat dan tepat dapat
menyebabkan kematian ibu. Penyebab PPS yang paling sering menurut urutan insidensinya
adalah uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik untuk menghentikan perdarahan dari
bekas insersi plasenta (tone), trauma jalan lahir (trauma), sisa plasenta atau bekuan darah
yang menghalangi kontraksi uterus yang adekuat (tissue), dan gangguan pembekuan darah
(thrombus).4
Tujuan pembuatan referat ini adalah membantu penulis dan para pembaca memahami
lebih dalam tentang perdarahan postpartum,dan memahami tindakan yang perlu dilakukan
untuk menanganinya sebagai bagian dari kesatuan pelayanan kesehatan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisidan Klasifikasi
B. Epidemiologi
C. Etiologi
Penyebab PPP adalah 4T yang merupakan singkatan dari Tone, Trauma, Tissue dan
Thrombus.4
1. Tone(70% kasus) diakibatkan oleh atonia uterus atau kelemahan tonus uterus untuk
menghentikan perdarahan dari bekas inersi plasenta.
2. Trauma (20% kasus)merupakan robekan jalan lahir, meliputi laserasi serviks, vagina
dan perineum, perluasan laserasi pada SC, ruptur atau inversi uteri dan trauma non-
traktus genitalia, seperti ruptur subkapsular hepar.
3. Tissue (10% kasus)disebabkan oleh retensi produk konsepsi, plasenta (kotiledon)
selaput atau bekuan yang menghalangi kontraksi uterus yang adekuat, dan plasenta
abnormal.
4. Thrombus(<1% kasus) meliputi abnormalitas pembekuan darah.
3
D. Faktor Risiko
PPP dapat terjadi pada perempuan dengan faktor risiko tertentu, maupun yang tidak
teridentifikasi memiliki faktor risiko secara riwayat maupun klinis. Sebagai upaya
pencegahan, manajemen aktif kala III direkomendasikan bagi seluruh perempuan bersalin.
Manajemen aktif kala III meliputi pemberian uterotonika segera setelah bayi lahir, klem tali
pusat setelah observasi terhadap kontraksi uterus, dan melahirkan plasenta dengan
penegangan tali pusat terkendali diikuti masase uterus.4
4
Tabel 2.2 Faktor Risiko PPP Intrapartum4
5
Tabel 2.3Gejala Klinis Sesuai Darah yang Hilang6
Jumlah Darah yang Tekanan Darah Tanda dan Gejala Derajat Syok
Hilang (Sistolik)
500-1000 mL Normal Palpitasi, takikardi, Terkompensasi
(10-15%) pusing
1000-1500 mL Sedikit menurun Kelemahan, berkeringat, Ringan
(15-25%) (80-1000 mmHg) takikardi
1500-2000 mL Menurun Gelisah, pucat, oligouria Sedang
(25-35%) (70-80 mmHg)
2000-3000 mL Sangat menurun Kolaps, air hunger, Berat
(35-45%) (50-70 mmHg) anuria
F. Pencegahan
6
dan pembedahan untuk mencegah penggunaan darah dan
komponen darah. Optimalisasi eritropoiesis menggunakan asam
folat dan/atau B12 dan/atau terapi eritropoietin.
Jika tersedia, dapat diberikan terapi alternatif, seperti asam
traneksamat, intraoperative cell salvaging, atau reinfusi drain.
7
Tabel 2.6 Penurunan Risiko Pascapersalinan4
Persalinan Normal Risiko Rendah 2 Jam Risiko Intrapartum PPS Perempuan Risiko
Pertama Pascapersalinan Tinggi 1 Jam Pertama Pascapersalinan
Temperatur – dalam 1 jam pertama Temperatur tiap ½ jam
Nadi, respirasi, tekanan darah – 1x Nadi, respirasi, tekanan darah tiap ¼ jam atau
sesuai indikasi
Penilaian fundus/lokia tiap ¼ - ½ jam Penilaian fundus/lokia tiap ¼ - ½ jam
Nyeri – penilaian awal, review jika perlu Nyeri – penilaian awal, review jika perlu
Output urin – dalam 2 jam pertama Output urin – dalam 2 jam pertama
Jika ada indikasi: lanjutkan monitor nadi, Setelah jam pertama: lanjutkan sesuai indikasi
respirasi, dan tekanan darah klinis
Setelah seksio sesarea: gabungkan dengan
observasi rutin paskaoperatif
8
G. Tatalaksana Umum
Masase uterus
Kompresi bimanual
Balon intrauterus atau tamponade kondom
Kompresi eksternal aorta abdominalis
9
Tabel 2.8 Penggunaan Oksitosin dan Ergometrin4
10
Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan Perdarahan Postpartum4
11
H. Penyebab Spesifik
Kemungkinan
Tanda dan Gejala
Penyebab
Atonia uteri Perdarahan segera setelah bayi lahir
Uterus tidak berkontraksi atau lembek
Retensio plasenta Plasenta belum dilahirkan dalam 30 menit setelah bayi lahir
Sisa plasenta Plasenta atau sebagian selaput yang mengandung pembuluh
darah tidak lengkap
Perdarahan dapat muncul 6-10 hari postpartum disertai
subinvolusi uterus
Laserasi jalan lahir Perdarahan segera
Darah segar mengalir setelah bayi lahir
Ruptura uteri Perdarahan segera (intraabdominal atau pervaginam)
Nyeri perut hebat
Kontraksi hilang
Inversio uteri Fundus uteri tidak teraba pada palpasi abdomen
Lumen vagina terisi massa
Nyeri ringan atau berat
Gangguan Perdarahan tidak berhenti, encer, tanpa gumpalan
pembekuan darah Hasil uji pembekuan darah sederhana tidak terbentuk
gumpalan
Terdapat faktor predisposisi: solusio plasenta, kematian janin
dalam uterus, eklampsia, emboli air ketuban
Perdarahan dapat ringan bila bekuan darah menutupi serviks atau ibu
berbaring terlentang
Inversi uterus komplit dapat terjadi tanpa perdarahan
1. Atonia Uteri
12
c. Persalinan dengan aktivitas uterus yang sangat berlebihan atau malah tidak efektif
(lemah)
d. Riwayat perdarahan pascapartum
e. Berbagai upaya untuk mempercepat pelahiran plasenta
f. Pemijatan dan peremasan tanpa henti uterus yang telah berkontraksi.5
Sejumlah senyawa yang digunakan untuk menginduksi kontraksi uterus pascapartum adalah
sebagai berikut:5
a. Oksitosin
Setelah plasenta lahir, diberikan oksitosin intravena dan intramuskular. Hal ini dapat
mencegah sebagian besar kasus atonia uterus.
b. Turunan ergot
Jika oksitosin tidak efektif, diberikan 0,2 mg methylergonovine IM. Obat ini dapat
merangsang uterus untuk berkontraksi adekuat untuk mengendalikan perdarahan. Jika
diberikan secara IV, salah satu efek sampingnya adalah hipertensi yang berbahaya,
khususnya pada preeklamsi.
c. Analog prostaglandin
Misoprostol telah diteliti sebagai profilaksis perdarahan pascapartum. Namun,
pemberian oksitosin dan ergot yang diberikan saat persalinan kala tiga lebih efektif
dibandingkan misoprostol.
Untuk kasus perdarahan yang tidak berespon terhadap oksitosin, lakukan langkah-
langkah berikut:5
Bila atonia tidak terkendali, intervensi bedah dapat menyelamatkan jiwa, berupa
penjahitan kompresi uterus atau packing uterus.
13
secara sengaja seperti pada tindakan episiotomi untuk mencegah laserasi perineum yang luas,
dalam, dan tidak rata. Di sisi lain, dapat juga terjadi laserasi akibat kesalahan sewaktu
memimpin persalinan, saat persalinan operatif pervaginam seperti ekstraksi cunam atau
vakum, atau trauma akibat alat-alat yang dipakai.5,8
Perlukaan jalan lahir dapat terjadi pada:
e. Dasar panggul: episiotomi atau laserasi perineum spontan
f. Vulva dan vagina
g. Serviks uteri
h. Uterus.
a. Laserasi Perineum
Laserasi perineum umumnya terjadi pada persalinan yang kepala janin lahir terlalu
cepat, persalinan tidak dipimpin dengan baik, adanya jaringan parut pada perineum, atau
persalinan dengan distosia bahu. Laserasi perineum dapat dibagi menjadi 4 tingkat:5,8
Tingkat I: laserasi pada mukosa vagina, frenulum labiorum pudendi, dengan atau
tanpa kulit perineum, tanpa fasia dan otot. Termasuk di dalamnya laserasi periuretral
yang dapat menyebabkan perdarahan banyak
Tingkat II: laserasi pada mukosa vagina, muskulus perinei transversalis, namun belum
mengenai sfingter ani
Tingkat III: laserasi mengenai seluruh perineum hingga otot sfingter ani
Tingkat IV: laserasi meluas hingga mukosa rektum serta otot sfingter ani interna dan
eksterna.
Laserasi perineum tingkat I dapat dijahit dengan catgut secara jelujur (continuous
suture) atau cara angka delapan (figure of eight). Pada laserasi tingkat II dan III seringkali
ditemukan tepi yang tidak rata yang harus dirapikan terlebih dahulu dengan klem dan
gunting, baru dilakukan penjahitan. Otot dijahit dengan catgut, diikuti mukosa vagina dimulai
dari puncak robekan, dan terakhir kulit perineum dijahit interrupted dengan benang sutera.
Laserasi tingkat III diperbaiki mulai dari dinding depan rektum, kemudian fascia perirektal
dan fasia septum rektovaginal, ujung-ujung otot sfingter ani (klem dengan klem Pean lurus),
dan dilanjutkan seperti menjahit pada laserasi tingkat II.5,8
Laserasi vulva sering dijumpai pada persalinan, biasanya ditemukan robekan kecil
pada labium minus, vestibulum atau bagian belakang vulva. Laserasi atau lecet kecil yang
tidak menyebabkan perdarahan banyak tidak perlu dilakukan tindakan. Laserasi yang besar
14
dan banyak berdarah, terutama bila terjadi pada pembuluh darah di daerah klitoris, harus
dilakukan penghentian perdarahan dan penjahitan.5,8
Apabila terjadi robekan pembuluh darah, terutama vena yang terletak di bawah kulit
dan mukosa, misalnya varises yang pecah atau penjahitan luka episiotomi yang tidak
sempurna, dapat terjadi hematoma yang termanifestasi sebagai bagian kulit yang lembek,
bengkak, berubah warna, dan nyeri tekan. Hematoma berukuran kecil cukup dikompres lokal,
namun bila terjadi hematoma yang semakin besar, terlebih lagi bila disertai tanda-tanda
anemia dan pre-syok maka harus dilakukan pengosongan hematoma. Rongga yang kosong
diisi dengan kasa steril dengan ujungnya di luar, kemudian lukanya dijahit terputus atau
jelujur. Penderita kemudian diberi koagulansia, antibiotika, dan roboransia.5,8
c. Laserasi Vagina
Laserasi pada vagina dapat terjadi pada persalinan dengan cunam, ekstraksi bokong,
ekstrasi vakum, reposisi presentasi kepala janin, dan akibat dari simfiolisis. Bentuknya dapat
melintang atau memanjang. Laserasi yang kecil dan superfisial umumnya tidak menyebabkan
perdarahan banyak sehingga tidak diperlukan penanganan khusus. Namun pada robekan lebar
dan dalam yang mengenai pembuluh darah dapat menimbulkan perdarahan hebat dan
memerlukan penjahitan dengan cara terputus-putus atau jelujur. Laserasi vagina sering
disertai laserasi vulva maupun perineum dan bila mengenai puncak vagina dapat meluas
kearah rongga panggul hingga kavum Douglas terbuka dan sebagian serviks uteri dan uterus
terlepas dari vagina (kolporeksis). Bila tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi infeksi
melalui luka dan dapat menimbulkan septikemi.8
d. Laserasi Serviks
Pada partus presipitatus, persalinan operatif, melahirkan kepala janin letak sungsang
secara paksa sebelum bukaan serviks uteri lengkap, atau partus lama hingga terjadi edema
serviks sering ditemukan laserasi serviks. Perdarahan yang sangat banyak akibat laserasi ini
dapat menimbulkan syok dan kematian. Inkompetensi serviks dan infertilitas sekunder juga
dapat terjadi.8 Laserasi sebesar 1-2 cm tidak perlu dijahit kecuali berdarah.5 Penjahitan pada
laserasi serviks dimulai dari puncak robekan dan dilakukan lapis demi lapis untuk
menghindari hematoma bila terdapat rongga di bawah jahitan.8
15
i. Ruptur Uteri
Ruptur uteri atau robeknya dinding rahim terjadi akibat terlampauinya daya regang
miometrium. Risiko terjadinya ruptura uteri lebih tinggi pada bekas seksio sesarea.
Umum
- Berikan oksigen.
- Perbaiki kehilangan volume darah dengan pemberian infus cairan intravena (NaCl
0,9% atau Ringer Laktat) sebelum tindakan pembedahan.
16
- Jika kondisi ibu stabil, lakukan seksio sesarea untuk melahirkan bayi dan plasenta.
Khusus
- Jika uterus dapat diperbaiki dengan risiko operasi lebih rendah daripada histerektomi
dan tepi robekan uterus tidak nekrotik, lakukan reparasi uterus (histerorafi). Tindakan
ini membutuhkan waktu yang lebih singkat dan menyebabkan kehilangan darah yang
lebih sedikit dibanding histerektomi.
- Jika uterus tidak dapat perbaiki, lakukan histerektomi subtotal. Jika robekan
memanjang hingga serviks dan vagina, histerektomi total mungkin diperlukan.
Retensio plasenta adalah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah bayi
lahir. Sedangkan sisa plasenta merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim
yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini atau perdarahan post partum lambat
yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan. Menurut Sarwono Prawirohardjo,
retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu
30 menit setelah bayi lahir.5,8
1. Plasenta sudah lepas tapi belum dilahirkan akibat ada yang menghalangi keluarnya
plasenta, tidak adanya usaha untuk melahirkan, atau karena salah penanganan kala III
sehingga terjadi lingkaran kontriksi pada bagian bawah uterus (inkarserasi plasenta)
2. Plasenta belum lepas dari dinding uterus, akibat:
a. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva):
implantasi yang kuat dari villi korialis plasenta sehingga menyebabkan kegagalan
mekanisme separasi fisiologis.
b. Plasenta akreta: implantasi villi korialis plasenta hingga mencapai sebagian lapisan
miometrium, perlekatan plasenta sebagian atau total pada dinding uterus. Pada
plasenta akreta villi chorialis menanamkan diri lebih dalam kedalam dinding rahim
daripada biasa adalah sampai kebatas atas lapisan otot rahim. Plasenta akreta ada yang
kompleta, yaitu jika seluruh permukannya melekat dengan erat pada dinding rahim.
Plasenta akreta yang parsialis, yaitu jika hanya beberapa bagian dari permukaannya
lebih erat berhubungan dengan dinding rahim dari biasa. Plasenta akreta yang
kompleta, inkreta, dan prekreta jarang terjadi. Penyebab plasenta akreta adalah
kelainan desidua, misalnya desisua yang terlalu tipis.
c. Plasenta inkreta: implantasi villi korialis plasenta hingga mencapai / melewati lapisan
miometrium.
d. Plasenta perkreta: implantasi villi korialis yang menembus lapisan miometrium
hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e. Plasenta inkarserata: tertahannya plasenta didalam kavum uteri, disebabkan oleh
kontriksi ostium uteri.
17
Beberapa predisposisi terjadinya retensio plasenta yaitu: grandemultipara, kehamilan
ganda sehingga memerlukan implantasi plasenta yang agak luas, kasus infertilitas karena
lapisan endometrium tipis, plasenta previa karena pembuluh darah yang sedikit pada bagian
istmus uterus sehingga perlu masuk jauh kedalam, dan bekas operasi pada uterus.5,8
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi dan miometrium tidak
berelaksasi, melainkan terus menjadi lebih pendek dan tebal. Kavum uteri kemudian
mengecil, disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta. Saat jaringan penyokong
plasenta berkontraksi, maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari
dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa
yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah
yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat otot miometrium yang saling bersilangan,
sehingga kontraksi serat-serat otot akan menekan pembuluh darah dan mengakibatkan
pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti. Bila serabut ketuban belum terlepas,
plasenta belum terlepas seluruhnya dan bekuan darah dalam rongga rahim akan menghalangi
proses retraksi yang normal,sehingga menyebabkan banyak darah hilang. Pengamatan
terhadap persalinan kala III dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis
telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala III persalinan.5,8
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain:
Akreta Parsial: Konsistensi uterus kenyal, tinggi fundus uteri (TFU) setinggi pusat,
bentuk uterus diskoid, perdarahan sedang–banyak, tali pusat terjulur sebagian, ostium
uteri terbuka, separasi plasenta lepas sebagian, syok sering terjadi.
Plasenta Inkarserata: Konsistensi uterus keras, TFU 2 jari bawah pusat, bentuk uterus
globular, perdarahan sedang, tali pusat terjulur, ostium uteri terbuka, separasi plasenta
sudah lepas, syok jarang terjadi.
Plasenta Akreta: Konsistensi uterus cukup, TFU setinggi pusat, bentuk uterus diskoid,
perdarahan sedikit/tidak ada, tali pusat tidak terjulur, ostium uteri terbuka, separasi
plasenta melekat seluruhnya, syok jarang kecuali akibat inversio oleh tarikan kuat
pada tali pusat.
Diagnosis dari retensio plasenta ditegakkan dengan palpasi uterus untuk menlai
kontraksi dan TFU, memeriksa kelengkapan plasenta dan kulit ketuban, melakukan
eksplorasi kavum uteri untuk mencari ada tidaknya sisa plasenta dan ketuban, robekan uterus,
atau plasenta suksenturiata, pemeriksaan inspekulo untuk menyingkirkan kemungkinan
laserasi jalan lahir, serta pemeriksaan laboratorium berubah darah rutin dan clot observation
test (COT).5,8
18
Tatalaksana pada pasien dengan retensio plasenta meliputi:6
1. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCL 0,9% RL dengan
kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM. Lanjutkan infus oksitosin 20 unit dalam
1000 ml larutan NaCL 0,9% RL dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan
berhenti.
2. Lakukan tarikan tali pusat terkendali
3. Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil, lakukan manual plasenta.
4. Untuk sisa plasenta, lakukan eksplorasi digital bila serviks terbuka atau aspirasi
vakum manual atau dilatasi kuretase bila serviks kuncup untuk mengeluarkan bekuan
darah dan jaringan.
5. Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampicillin 2 gr IV dan Metronidazol 500
mg IV)
6. Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terjadi komplikasi
perdarahan hebat atau infeksi.
k. Inversio Uteri
Inversio uteri adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan
keluar lewat ostium uteri eksternum.7 Faktor resiko terjadinya inversio uteri adalah adanya
atonia uteri, serviks masih terbuka lebar, adanya kekuatan yang menarik fundus ke bawah,
tekanan fundus uteri dari atas, dan tekanan intraabdominal yang keras dan kuat (batuk).
19
Inversio uteri pada derajat yang berbeda-bedadan disebut inversio komplit bila uterus
keluar dari serviks.5Berdasarkan derajatnya inversio uteri dibagi menjadi:5
Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan, darah pengganti, dan
pemberian obat
Pemberian tokolitik atau MgSO4 untuk melemaskan uterus yang terbalik sebelum
dilakukan reposisi manual
Plasenta dilepaskan secara manual dan diberikan uterotonika lewat infus atau IM
dengan tangan tetap dipertahankan
Jika ibu sangat kesakitan, berikan petidin 1 mg/kgBB (jangan melebihi 100 mg) IM
atau IV secara perlahan atau berikan morfin 0,1 mg/kgBB IM6
20
Pemberian antibiotik dan transfusi darah sesuai keperluan
Intervensi bedah; laparotomi untuk reposisi dan histerektomi bila uterus sudah
mengalami infeksi dan nekrosis
Reposisi manual
- Pasang sarung tangan DTT
- Pegang uterus pada daerah insersi tali pusat dan masukkan kembali melalui serviks,
dimulai dari bagian fundus. Gunakan tangan lain untuk membantu menahan uterus
dari dinding abdomen. Jika plasenta masih belum terlepas, lakukan plasenta manual
setelah tindakan reposisi.
- Jika reposisi manual tidak berhasil, lakukan reposisi hidrostatik.
Reposisi hidrostatik
- Pasien dalam posisi Trendelenburg – dengan kepala lebih rendah sekitar 50 cm dari
perineum.
- Siapkan sistem douche yang sudah didisinfeksi, berupa selang 2 m berujung
penyemprot berlubang lebar. Selang disambung dengan tabung berisi air hangat 3-5 L
(atau NaCl atau infus lain) dan dipasang setinggi 2 m.
- Identifikasi forniks posterior.
- Pasang ujung selang douche pada forniks posterior sambil menutup labia sekitar
ujung selang dengan tangan.
- Guyur air dengan leluasa agar menekan uterus ke posisi semula.
21
- Jika ada infeksi, pasang drain karet.
- Jika inversi sudah diperbaiki, berikan infus oksitosin 20 unit dalam 200 ml cairan
NaCl/Ringer Laktat IV dengan kecepatan 10 tetes/menit.
- Jika dicurigai perdarahan, berikan infus sampai dengan 60 tetes/menit.
- Jika kontraksi uterus kurang baik, berikan ergometrin 0,2 mg atau prostaglandin.
- Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal:
o Ampisilin 2 g IV DAN metronidazol 500 mg IV
o Sefazolin 1 g IV DAN metrodinazol 500 mg IV
- Lakukan perawatan pascabedah jika dilakukan koreksi kombinasi abdominal- vaginal.
- Jika ada tanda infeksi berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas demam
selama 48 jam
o Ampisilin 2 g IV tiap 6 jam
o DAN gentamisin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
o DAN metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
Penyebab HPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai apabila penyebab
lain dapat disingkirkan dan adanya riwayat pernah mengalami hal serupa pada persalinan
sebelumnya. Tanda terjadinya HPP akibat gangguan koagulasi adalah perdarahan tidak
berhenti, encer, tidak terlihat darah gumpalan darah dan kegagalan terbentuknya gumpalan
pada uji pembekuan darah sederhana.6
22
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang
abnormal, waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia,
hipofibrinogenemia, adanya FDP (Fibrin Degradation Product), dan pemanjangan tes
protrombin dan PTT (Partial Thromboplastin Time). Hal ini dapat terjadi pada solusio
plasenta, kematian janin dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis.
23
BAB III
KESIMPULAN
Perdarahan postpartum adalah hilangnya 500 mL atau lebih darah setelah kala III persalinan
usai, atau perdarahan dalam jumlah berapapun, yang dapat menyebabkan perubahan tanda vital.
Perdarahan postpartum dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis persalinan, waktu terjadinya, serta
jumlah darah yang hilang.
Penyebab perdarahan postpartum dapat disebabkan oleh atonia uteri, laserasi jalan lahir,
retensio plasenta dan sisa plasenta, inversio uteri, serta gangguan pembekuan darah (koagulopati).
Gejala klinis yang dapat ditemui pada perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam yang
terus menerus, pucat, tekanan darah menurun, denyut nadi cepat dan halus, ekstremitas dingin,
gelisah, mual, dan tanda-tanda syok lainnya.
Diagnosa perdarahan postpartum ditegakkan dengan menilai gejala klinis, palpasi uterus,
inspekulo, serta pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan laboratorium.
Cara terbaik untuk mencegah perdarahan postpartum adalah memimpin kala II dan kala III
persalinan secara lege artis, serta melaksanakan tatalaksana aktif kala III yang terdiri dari pemberian
uterotonik (oksitosin) segera setelah bayi lahir, pengikatan dan pemotongan tali pusat dini, dan
peregangan tali pusat terkendali dengan dorongan pada uterus saat uterus berkontraksi dengan baik.
Prinsip penanganannya adalah mencegah dan mengatasi syok, mengganti volume darah yang
hilang dan menghentikan perdarahan.
24
DAFTAR PUSTAKA
25