Studi Awal Terhadap Berbagai Perjanjian Internasional Di Bidang Lingkungan Hidup
Studi Awal Terhadap Berbagai Perjanjian Internasional Di Bidang Lingkungan Hidup
PENDAHULUAN
Sudah sejak zaman dahulu hewan-hewan banyak diburu oleh manusia untuk dijadikan
berbagai kebutuhan hidup seperti : makanan, pakaian, hiasan, obat-obatan dll. Dalam
kurun waktu yang lama hewan-hewan tertentu yang sangat diminati seperti harimau, singa,
badak, beruang, ikan paus, ikan duyung, burung elang serta masih banyak lagi, semakin
lama semakin sedikit bahkan beberapa hewan telah dinyatakan punah. Sudah diakui oleh
manusia bahwa banyak dari spesies -spesies tersebut memiliki nilai yang sangat mahal dari
berbagai segi.
Sementara itu berbagai perjanjian internasional yang mengatur masalah hewan khususnya
ikan paus sudah dikenal sejak tahun 1597 namun terbatas pada perjanjian bilateral. 1
Perjanjian multilateral baru ditandatangani di tahun 1885 yaitu Convention Concerning the
Regulation of Salmon Fishing in the Rhine River Basin di kota Berlin tanggal 30 Juni
1885. Namun pokok persoalan terletak bukan pada sudah dikenalnya perjanjian
internasional yang mengatur mengenai masalah hewan, tetapi pada konsep filosofi dasar
dari perjanjian tersebut. Walaupun tidak seluruhnya, namun pandangan ketika dibuat
perjanjian-perjanjian pada masa pertama adalah didasarkan pada orientasi pemanfaatan
sumber-sumberdaya yang ada. Selain itu faktor kepentingan ekonomi, status sosial, hak
kepemilikan, pengaturan perburuan, komersialisasi, kekuasaan dan tindakan-tindakan lain
yang menganggap persediaan hewan-hewan berlimpah ternyata masih mendominasi
pemikiran diatas. Selain itu banyak ditemukan perjanjian internasional yang masih bersifat
sektoral, bilateral dan regional.
Sejak lahirnya Deklarasi Stockhlom 1972 dan diperkenalkannya konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) orientasi tersebut mulai berubah. Penggunaan
berkelanjutan demi masa depan generasi sekarang maupun mendatang mulai dipakai dalam
berbagai perjanjian internasional. Konsep ini juga mendasari filosofi berbagai perjanjian
internasional mengenai perlindungan hewan yang kini sudah mengarah pada perjanjian
yang bersifat global dan multilateral.
Tabel 1.
3
Birnie, Patricia. W & Alan E Boyle. op. cit. Hal 118.
4
McCormick, John. op. cit.. Hal 18
masih memperbolehkan jenis-jenis burung tersebut untuk diburu dalam bulan-bulan
tertentu.
Setelah berakhirnya sengketa mengenai masalah jurisdiksi perairan dan perburuan anjing
laut di perarian Behring yang dikenal dengan Behring Sea Fur Seals Arbitration 1898
(USA v. Britain (Canada) v. Russia), Amerika Serikat dan Inggris menandatangani
perjanjian bilateral tahun 1911 di kota Washington yang dikenal dengan nama Treaty
Between Great Britain and the USA for the Preservation and Protection of Fur Seals.
Lima bulan kemudian Jepang dan Rusia bergabung untuk memperkuat perjanjian tersebut
yang telah direkomendasi oleh keputusan pengadilan arbitrasi dalam Behring Sea Fur
Seals. Perjanjian ini dikenal dengan nama Convention for the Preservation and Protection
of Fur Seals in the North Pasific yang ditandatangani pada tanggal 7 Juli 1911.
Selanjutnya perlindungan terhadap hewan berpindah khususnya terhadap burung-burung di
Amerika Serikat dan Kanada telah ditandatangani kedua negara ini dengan nama
Convention Between the USA and Great Britain (Canada) for the Protection of
Migratory Birds di kota Washington tanggal 16 Agustus 1916. Kedua negara ini juga
menandatangani Convention Between the USA and Canada Concerning Sockeye Salmon
Fisheries pada tanggal 26 Mei 1930 yang kemudian diamandemen melalui protokol
Ottawa pada tanggal 28 Desember 1956. Protokol Ottawa ini menambahkan jenis ikan
Salmon berwarna merah jambu.
Ikan Paus menjadi komoditi perekonomian yang sangat menguntungkan sejak zaman
dahulu. Orang-orang Basque telah memperdagangkan ikan paus di Teluk Biscay (Bay of
Biscay) sejak abad ke 11 yang terhenti di abad 16 karena persaingannya dengan orang
Inggris dan Belanda.5 Populasi ikan paus semakin hari semakin menipis. Penangkapan
besar-besaran mulai terjadi sejak modernisasi di bidang industri perikanan. Mulai dari
kapal penangkap kemudian diolah hingga sampai pada produksinya dilakukan dengan
teknologi yang efektif dan cepat. Hal ini sangat menguntungkan karena daging, kulit
hingga tulang ikan paus sangat laku diperjual-belikan. Upaya hukum internasional untuk
membatasi penangkapan ikan paus sudah dilakukan sejak tahun 1931 ketika 46 negara
menandatangani Convention for the Regulation of Whaling yang berlaku penuh pada
tanggal 14 Januari 1936. Namun penangkapan dan pembunuhan terhadap hewan ini tidak
terhenti bahkan sampai tahun 1938 sekitar 55.000 ikan paus dari berbagai jenis di
Antartika telah dibunuh. 6 Bahkan konvensi ini mengalami kegagalan karena tidak memiliki
suatu badan yang mampu mencegah penangkapan secara besar-besaran. Setelah
berakhirnya perang dunia ke II atas inisiatif Amerika Serikat ditandatangani International
Convention for the Regulation of Whaling di kota Washington pada tanggal 2 Desember
1946. Berdasarkan Pasal 3 Konvensi ini dibentuk International Whaling Commission yang
dalam pasal 4 menugaskan komisi ini untuk mendorong penelitian dan penyelidikan,
mengumpulkan dan menganalisis informasi statistik dan mempublikasikan informasi
mengenai masalah ikan paus dan stok jenis ikan paus.
Hingga berakhirnya Perang Dunia ke II sampai menjelang diadakan Konperensi
Lingkungan Hidup Manusia di Stockhlom telah banyak disetujui berbagai perjanjian
internasional yang bertujuan melindungi hewan yang berada di laut, daratan maupun udara.
Dibawah ini akan disebutkan data beberapa perjanjian yang ditandatangani antara tahun
1946 - 1972.
5
Sands, Philippe (ed). 1993. Greening International Law, Earthscan Publications Ltd, London. Hal 161.
6
Andersen, Steiner. 1988. Science and Politics in the International Management of Whales dalam
Marine Policy 99,101 dalam Loc. cit.
Tabel 2
“ Sumber-sumber alam dari bumi kita, termasuk udara, air ,tanah, flora dan fauna dan
contoh-contoh representatif dari ekosistem alamiah, harus diselamatkan untuk
kepentingan generasi masa kini dan masa mendatang melalui perencanaan dan
pengelolaan yang cermat. “
Dari prinsip ini, pentingnya konservasi alam termasuk perlindungan terhadap hewan,
menjadi bagian penting dari kebijakan pembangunan nasional suatu negara. Nilai-nilai
ekonomis yang ada pada alam dalam pengelolaannya tidak hanya untuk kepentingan pada
saat sekarang ini saja tapi juga harus memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
Karena itu prinsip ini secara tidak langsung telah memperkenalkan konsep penggunaan
secara berkelanjutan (use sustainable).
Prinsip 4 menyatakan :
Dalam perkembangan selanjutnya konvensi ini ternyata sering dilanggar oleh negara-
negara yang menandatangani. Terlepas dari kelemahannya konvensi ini ternyata mampu
menjadi sarana untuk mengawasi dan melawan pedagang gelap dan penyelundup hewan
langka.
Pada bulan September tahun yang sama di kota Gdanks beberapa negara Eropa yang
berdekatan dengan Laut Baltik menandatangani Convention on Fishing and Conservation
of the Living Resources in the Baltic Sea and the Bealts. Sementara itu Jepang dan Uni
Sovyet berhasil mencapai kesepakatan mengenai burung-burung berpindah yang sering
melewati kedua negara tersebut. Convention Between Japan and the USSR for the
Protection of Migratory Birds and Birds in Danger Extinction di tandatangani kedua
negara pada tanggal 10 Oktober 1973. Satu bulan kemudian tepatnya pada tanggal 15
November 1973 di kota Oslo beberapa negara seperti Kanada, Denmark, Norwegia,
Amerika Serikat dan Uni Sovyet menandatangani Agreement on Conservation of Polar
Bears. Persetujuan ini terdiri atas 10 pasal dan berupaya untuk melindungi beruang kutub
sebagai sumber penting di wilayah Artik melalui tindakan konservasi dan pengelolaan.
Penegasan beruang kutub di Artik membutuhkan perlindungan lebih lanjut dapat dilihat
dalam alinea 3 pembukaan Agreement ini dinyatakan :
“ Recognizing that the Polar Bear is a significant resource of the Artic Region which
requires additional protection.”
“ The Taking of Polar Bears shall be prohibited except as provided in article III”
Namun pelarangan ini dapat dikecualikan bila untuk itikad baik ilmiah, tujuan konservasi,
serta mencegah gangguan-gangguan serius dalam pengelolaan sumberdaya alam lainnya.
seperti yang tercantum dalam pasal III (1). Hal yang penting dicatat dalam pasal ini adalah
juga menghargai hak-hak tradisionil masyarakat lokal dan tujuan-tujuan tradisional lainnya.
Tahun berikutnya tercapai perjanjian antara Jepang dan Australia di Tokyo. Bagi Jepang
perjanjian bilateral ini mirip dengan Russia mengenai masalah perlindungan burung
berpindah. Perjanjian bilateral ini dikenal dengan nama Agreement Between Australia and
Japan for the Protection of Migratory Birds and Birds in Danger of Extenction and their
Environmnet tertanggal 6 Februari 1974. Sesudah itu beberapa perjanjian telah
ditandatangani antara lain :
Tabel 3
1. Convention Relative to the Preservation of Fauna and Flora in Their Natural State
Konvensi ini ditandatangani di London, pada tanggal 8 November 1933. Terdiri dari 19
Pasal dan sebuah Annex yang berisi daftar spesies yang dilindungi. Konvensi ini bertujuan
untuk melindungi habitat alamiah hewan dan tumbuhan yang merupakan bagian dari dunia,
khususnya Afrika. Konvensi ini juga mengatur mengenai masalah perlindungan taman
nasional dan melalui pengaturan perburuan dan koleksi spesies tumbuhan dan hewan. Pasal
7 Konvensi ini menegaskan perlindungan terhadap hutan-hutan dan melindungi wilayah-
wilayah yang secara ekonomis berguna bagi hewan-hewan. Dalam pasal 8 konvensi ini
menyebutkan perlindungan terhadap spesies sangat mendesak dan penting yang secara
khusus disebutkan dalam daftar perlindungan pada bagian annex konvensi. Konvensi ini
juga mengatur mengenai perburuan yang menggunakan metode-metode tertentu seperti
penggunaan racun, bahan peledak dll sangat dilarang.
3. International Convention for the High Seas Fisheries of the North Pasific Ocean
Konvensi ini ditandatangani di kota Tokyo pada tanggal 9 Mei 1952. Ditandatangani oleh
Canada, Jepang dan Amrika Serikat. Terdiri atas 11 Pasal dan sebuah Annex yang berisi
daftar speises yang dilindungi.
“All Animals are born with an equal claim on life and the same rights to excistence”.
(Semua hewan dilahirkan dengan suatu persamaan tuntutan hidup dan persamaan hak
keberadaannya)
Pasal ini menegaskan bahwa hewan merupakan bagian alam yang juga memiliki hak untuk
diperlakukan yang sama dengan keberadaan mahluk hidup lainnya. Pasal 2 menegaskan
peran manusia yang diharapkan tidak mengeksploitasi hewan secara sewenang-wenang.
Pasal 3 menyatakan :
“All animals have the right to the attention, care and protection of man”.
(Semua hewan mempunyai hak untuk diperhatikan, dipelihara dan dilindungi oleh
manusia).
Deklarasi ini dibentuk dan sedang dikembangkan oleh berbagai NGO yang walaupun
tidak mengikat karena belum memiliki status hukum yang jelas. Deklarasi ini menjadi
penting karena menjadi bahan pertimbangan dalam pembentukan beberapa konvensi Eropa
diantaranya European Convention for the Protection of Veterbrate Animals Used for
Experimental and other scientific Purposes tahun 1986 dan European Convention for the
Protection of Pet Animals tahun 1987.
3. UNEP Principles of Conduct in the Field of the Environment for the Guidance of
States in the Conservations and Harmonious Utilization of Natural Resources Shared by
Two or More States.
UNEP Principles ini merupakan bentuk soft law yang sedang dikembangkan oleh UNEP
sebagai petunjuk di bidang lingkungan hidup khususnya konservasi dan penggunaan yang
terharmonisasi sumber-sumber alam yang terbagi di dua negara atau lebih. Dalam prinsip 1
disebutkan perlindungan spesies berpindah yang meminta kerjasama dalam konservasi dan
penggunaannya.
Beberapa jenis satwa tertentu telah berhasil dilindungi. Dibawah ini akan diperinci sbb :
2. Anjing Laut Treaty Between Great Britain and the USA for the
Preservation and Protection of Fur Seals, 1911
1. Ikan Salmon 3
2. Anjing Laut 4
3. Beruang Kutub 1
4. Ikan Paus 3
5. Kerang-kerangan 3
6. Ikan Tuna 2
7. Serangga Locus 4
8. Burung 9
9. Lain-lain 1
JUMLAH PERJANJIAN 30
PENUTUP
Kini sudah banyak perjanjian internasional yang telah diisepakati. Namun persoalan
nampaknya bukan terletak pada ada atau tidaknya suatu perjanjian internasional yang
mengatur. Persoalan pokok adalah sejauhmana negara-negara mematuhi perjanjian yang
telah disepakati tersebut. Dan apabila suatu negara melanggar perjanjian, bersediakah
negara tesebut menerima sanksi sesuai ketentuan hukum internasional yang berlaku ?
Dalam prakteknya persoalan ini semakin rumit mengingat kasus yang terjadi harus dilihat
sebagai “case by case”, sehingga penerapan sering negara lain merasa tidak melanggar,
namin negara lain mengganggap hal tersebut telah melanggar perjanjian. Berbagai
persoalan terkadang sering diberi muatan politis untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
DAFTAR BACAAN
I. Buku
Bernie, Patricia W & Alan E Boyle. 1992. International Law and the Environment, Oxford
University Press, London.
McCormick, John. 1989. The Global Environment Movement, Belhaven Press, London.
Sands, Phillipe. 1993. Greening International Law, Earthscan Publication Ltd, london
DLL
II. Lain-lain
Convention on International Trade Endangered Spesies Wild Flora and Fauna (CITES)