Anda di halaman 1dari 392

MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Toksikologi Lingkungan


Dosen Pengampu : Dr. Pranoto, M.Sc.

Disusun oleh :
1. Intan Kartika C (M0314046)
2. Maulana Malik A. (M0315036)
3. Saras Nur Aisyiyah (M0315058)

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat limpahan
rahmat, taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini. Buku ini berjudul “KUMPULAN MAKALAH TOKSIKOLOGI
LINGKUNGAN”. Makalah ini disusun bertujuan sebagai penunjang dalam
mengetahui tentang mata kuliah toksikologi lingkungan.
Diucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung proses
penyusunan buku ini. Disadari bahwa buku ini masih dikatakan belum sempurna,
namun kami sudah berusaha sebaik-baiknya. Semoga buku ini bermanfaat bagi
mahasiswa lainnya. Buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan demi
kesempurnaan buku ini.
Akhir kata, disampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan buku ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah
SWT senantiasa meridhai segala usaha.

Surakarta, Desember 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN


BAHAN PESTISIDA DAN DAYA KERJA
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Toksikologi Lingkungan
Dosen Pengampu : Dr. Pranoto, M.Sc.

Disusun oleh Kelompok I :


4. Agustina Tri Utami (M0314003)
5. Aufara Mahayum (M0314012)
6. Ema Nur Annisa (M0314026)
7. Ikrima Nur Hayati (M0314041)
8. Syahna Febrianastuti (M0314072)
9. Umam Hasan Setiawan (M0314077)

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
ini dengan lancar.
Tujuan yang hendak kami capai dalam pembuatan tugas makalah ini yaitu
menjelaskan tentang Bahan Pestisida dan Daya Kerja.
Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapat bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Pranoto, M.Sc selaku dosen Mata Kuliah Toksikologi Lingkungan.
2. Orang tua yang telah memberi dukungan.
3. Teman-teman yang telah memberikan saran dan bantuan dalam pembuatan
makalah ini.
Kami harap tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila terjadi
kesalahan dalam penulisan ini, kritik dan saran sangat kami harapkan.

Surakarta, 24 September 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................. iv


Kata Pengantar ................................................................................................ v
Daftar Isi .......................................................................................................... vi
Daftar Tabel .................................................................................................... vii
Daftar Lampiran ............................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ ix
A. Latar Belakang ..................................................................................... ix
B. Rumusan Masalah ................................................................................ ix
C. Tujuan .................................................................................................. ix
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ ix
A. Pestisida ............................................................................................... xi
B. Pembagian Pestisida ............................................................................. xii
C. Dinamika Pestisida Dalam Lingkungan ............................................... xxv
D. Dinamika Bahan Kimia di Dalam Tubuh Organisme .......................... xxvi
E. Fungisida .............................................................................................. xxxi
F. Insektisida ............................................................................................ xxxiii
G. Herbisida dan Daya Kerja .................................................................... xxxviii
BAB III PENUTUP ........................................................................................ xliii
A. Kesimpulan .......................................................................................... xliii
B. Saran ..................................................................................................... xliii
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... xliv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jenis dan Sasaran Pestisida ............................................................... xii


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran LATIHAN SOAL ........................................................................... 33


Lampiran KUNCI JAWABAN ....................................................................... 37
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini, perkembangan akan pertumbuhan penduduk di Indonesia
maupun di dunia sangat drastis. Hal tersebut yang diperkirakan dapat memicu
adanya lonjakan akan kebutuhan-kebutuhan untuk menunjang hidup manusia,
terlebih kebutuhan pangan. Dengan lahan yang semakin menyempit karena
penggunaan lahan sebagai permukiman, maka diperlukan beberapa teknik atau
metode untuk mampu menghasilkan produk yang banyak dalam waktu yang
singkat. Misalnya saja pada lahan pertanian yang tidak begitu luas, petani dituntut
untuk menghasilkan padi yang banyak dalam waktu yang singkat. Salah satu cara
untuk menyelesaikan tuntutan tersebut adalah dengan mengembangkan bahan-
bahan kimia yang mampu untuk menghambat pertumbuhan makhluk-makhluk
pengganggu tanaman padi, seperti pestisida, insektisida dan herbisida. Dengan
terhambatnya pertumbuhan makhluk-makhluk pengganggu tersebut, maka
pertumbuhan padi atau tanaman pokok lain yang sangat diharapkan hasilnya, akan
dapat berjalan dengan baik dan dalam waktu yang lebih singkat. Oleh karena itu,
dalam makalah ini akan dibahas secara rinci mengenai pestisida, dinamika
pestisida dalam lingkungan, dinamika bahan kimia di dalam tubuh organisme,
fungisida, insektisida, herbisida dan daya kerja.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan pestisida, fungisida, insektisida dan herbisida
serta daya kerja?
2. Bagaimana dinamika pestisida dalam lingkungan?
3. Bagaimana dinamika bahan kimia di dalam tubuh organisme?
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengertian atau definisi pestisida, fungisida,
insektisida dan herbisida serta daya kerja.
2. Untuk mengetahui dinamika pestisida dalam lingkungan.
3. Untuk mengetahui dinamika bahan kimia di dalam tubuh organisme.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pestisida
Pestisida atau sering disebut pembasmi hama adalah bahan yang
digunakan untuk mengendalikan, menolak, atau membasmi organisme
pengganggu. Nama ini berasal dari kata pest yang berarti hama kemudian
ditambahkan akhiran –cide yang memiliki makna sebagai pembasmi.
Sasarannya bermacam-macam, misalnya serangga, tikus, gulma, burung,
mamalia, ikan, dan mikroba yang dianggap mengganggu kelangsungan
makhluk hidup (Wikipedia, 2017).
FAO mendefinisikan pestisida sebagai zat atau campuran zat yang
bertujuan untuk mencegah, membunuh, atau mengendalikan hama tertentu,
termasuk vektor penyakit bagi manusia dan hewan, spesies tanaman atau
hewan yang diinginkan yang dapat menyebabkan kerusakan selama produksi,
pemrosesan, penyimpanan, transportasi, atau pemasaran bahan pertanian
termasuk hasil hutan, hasil perikanan, dan hasil perikanan. Istilah ini juga
mencakup zat yang mengendalikan pertumbuhan tanaman, merontokkan
daun, mengeringkan tanaman, mencegah kerontokan buah, dan sebagainya
yang berguna untuk mengendalikan hama dan meminimalisir efek dari
keberadaan hama, baik sebelum maupun setelah panen.
Pembagian Pestisida
Secara umum, jenis-jenis pestisida beserta sasarannya disajikan dalam
tabel 1. berikut ini (Wikipedia, 2017).
Tabel 1. Jenis dan Sasaran Pestisida
No. Jenis Pestisida Sasaran
1. Herbisida Gulma
2. Arborisida Semak atau Belukar
3. Algisida atau Algasida Alga
4. Avisida Burung
5. Bakterisida Bakteri
6. Fungisida Fungi
7. Insektisida Serangga
8. Mitisida atau Akarisida Tungau
9. Molluskisida Siput
10. Nematisida Nematode
11. Rodentisida Rodent
12. Virusida Virus
13. Larvisida Ulat
14. Silvisida Pohon hutan
15. Ovisida Telur
16. Pisisida Ikan mujahir
17. Termisida Rayap
18. Predasida Predator atau Hewan vertebrata

Pestisida dapat dibedakan menjadi beberapa golongan, yang meliputi


(Untung, 2001).
1. Berdasarkan cara masuknya ke tubuh hama
a. Racun Perut
Pestisida memasuki tubuh hama melalui saluran pencernaan
(perut). Hama terbunuh bila pestisida tersebut termakan oleh hama.
Pestisida lama umumnya merupakan racun perut, sedangkan
pestisida modern sangat sedikit yang merupakan racun perut. Namun
ada juga pestisida modern yang aksinya pada serangga melalui perut
yaitu kelompok Insektisida Sistemik. Insektisida ini diserap oleh
tanaman dan ditranslokasikan dalam jaringan tanaman. Serangga
yang menghisap cairan tanaman yang sudah mengandung insektisida
akan mati. Oleh karena insektisida sistemik juga memiliki sifat racun
perut maka dapat dimasukkan dalam kelompok racun perut.
Biasanya insektisida sistemik tidak dimasukkan dalam racun perut.
b. Racun Kontak
Pestisida memasuki tubuh serangga bila serangga mengadakan
kontak dengan insektisida atau serangga berjalan di atas permukaan
yang telah disemprot pestisida. Disini pestisida masuk ke dalam
tubuh serangga melalui dinding tubuh. Insektisida modern pada
umumnya merupakan racun kontak.
c. Fumigan
Fumigan merupakan insektisida yang mudah menguap menjadi
gas dan masuk ke dalam tubuh serangga melalui sistem pernafasan
atau sistem trakhea yang kemudian diedarkan ke seluruh jaringan
tubuh. Karena sifatnya yang mudah menguap fumigan biasanya
digunakan untuk mengendalikan hama gudang/simpanan yang
berada di ruang atau tempat tertutup dan juga untuk mengendalikan
hama yang berada di dalam tanah.
2. Berdasarkan sifat kimianya
Insektisida dapat kita bagi menurut sifat dasar senyawa
kimianya yaitu Insektisida Anorganik yang tidak mengandung unsur
karbon dan Insektisida Organik yang mengandung unsur karbon.
Insektisida lama yang digunakan sebelum tahu 1945 umumnya
merupakan insektisida anorganik sedangkan insektisida modern setelah
DDT (diklorodifeniletana) ditemukan umumnya merupakan insektisida
organik. Insektisida organik masih dapat dibagi menjadi insektisida
organik alami dan insektisida organik sintetik. Insektisida organik alami
merupakan insektisida yang terbuat dari tanaman (insektisida botanik)
dan bahan alami lainnya. Sedangkan insektisida sintetik merupakan hasil
buatan pabrik dengan melalui proses sintesis kimiawi. Insektisida
modern pada umumnya merupakan insektisida organik sintetik.
Pembagian menurut sifat kimia yang lebih tepat adalah menurut
komposisi atau susunan senyawa kimianya. Pembagian insektisida
organik sintetik menurut susunan kimia bahan aktif (senyawa yang
memiliki sifat racun) terdiri dari 4 kelompok besar yaitu Organochlorine
(OC), Organophosphate (OP), Karbamat, dan Pirethroid Sintetic (SP).
Selain 4 kelompok besar tersebut masih ada beberapa kelompok
insektisida yang kurang banyak digunakan dalam praktek pengendalian
hama.
a. Organochlorine (OC)
Organoklorin atau sering disebut Hidrokarbon Klor merupakan
kelompok insektisida sintetik yang pertama dan paling tua dan
dimulai dengan ditemukannya DDT oleh Paul Mueller (Swiss) pada
tahun 1940-an. DDT dalam sejarah kemanusiaan menjadi insektisida
yang paling kontroversial karena di satu pihak merupakan insektisida
sintetik pertama yang diproduksi besar-besaran dan jasanya sangat
besar bagi kemanusiaan. PM Churchill pernah menyebut DDT
sebagai “Serbuk Ajaib”. Di sisi lain karena dampaknya yang
membahayakan kepada lingkungan hidup, Rachel Carson pada tahun
1962 menyebut DDT sebagai “Minuman Kematian”.
Setelah DDT, kemudian berhasil dikembangkan banyak jenis
insektisida yang mirip dengan DDT dan kemudian dikelompokkan
dalam golongan Hidrokarbon Klor. Semua insektisida dalam
kelompok ini mengandung Klorin, Hidrogen dan Karbon. Terkadang
ada juga yang mengandung Oksigen dan Sulfur.
Insektisida OC merupakan racun kontak dan racun perut, efektif
untuk mengendalikan larva, nimfa dan imago dan bias juga untuk
pupa dan telur. Cara kerja (Mode of Action) OC belum diketahui
secara lengkap. Secara umum dapat dikatakan bahwa keracunan
serangga oleh insektisida tersebut ditandai dengan terjadinya
gangguan pada sistem syaraf pusat yang mengakibatkan terjadinya
hiperaktivitas, gemetaran, kejang-kejang dan akhirnya terjadi
kerusakan syaraf dan otot serta kematian.
Insektisida golongan OC pada umumnya memiliki toksisitas
‘sedang’ untuk mamalia. Masalah yang paling merugikan bagi
lingkungan dan kesehatan masyarakat adalah sifat persistensinya
yang sangat lama di lingkungan baik di tanah maupun di dalam
jaringan tanaman dan dalam tubuh hewan. Misalnya DDT di daerah
subtropis dalam kurun waktu 17 tahun residunya masih 39% di
dalam tanah, sedangkan residu Endrin setelah 14 tahun masih
dijumpai sebanyak 40%. Persistensi OC di lingkungan menimbulkan
dampak negatif seperti perbesaran hayati dan masalah keracunan
kronik yang membahayakan kesehatan masyarakat. Masalah lain
yang timbul adalah berkembangnya sifat resistensi serangga hama
sasaran seperti nyamuk dan lalat terhadap DDT.
Oleh karena bahayanya Insektisida golongan Organoklorin sejak
tahun 1973 dilarang penggunaannya untuk hama pertanian di
Indonesia kecuali Endosulfan dan Dieldrin yang diijinkan secara
terbatas untuk pengendalian rayap, namun sayangnya penggunaan
DDT untuk sektor kesehatan masih dianjurkan secara terbatas
sampai akhir tahun 1991.
Kelompok Organoklorin masih dapat dibagi menjadi 3
subkelompok yaitu.
1) DDT dan senyawa dekatnya seperti Metoksiklor, Dikofol,
BHC, atau HCH
2) Siklodien yang terdiri dari Aldrin, Endrin, Dieldrin, Klordan,
Heptaklor dan Endosulfan
3) Terpene Klor seperti Toksafena
Menurut Wikipedia (2017), organoklorin bekerja dengan
mengganggu keseimbangan ion kalium-natrium di dalam jaringan
saraf. Akan tetapi, penggunaan organoklorin ini telah dilarang di
berbagai Negara karena dapat membahayakan lingkungan dan
kesehatan serta bersifat sangat persisten.
b. Organophosphate (OP)
Insektisida OP dengan unsur P sebagai inti yang aktif saat ini
merupakan kelompok insektisida yang terbesar dan sangat bervariasi
jenis dan sifatnya. Saat ini telah tercatat sekitar 200.000 senyawa OP
yang pernah dicoba dan diuji untuk mengendalikan serangga. OP
merupakan insektisida yang sangat beracun bagi serangga dan
bersifat baik sebagai racun kontak, racun perut maupun fumigan.
Berbeda dengan OC, senyawa OP di lingkungan kurang stabil
sehingga lebih cepat terdegredasi dalam senyawa-senyawa yang
tidak beracun. Daya racun OP mampu menurunkan populasi
serangga dengan cepat, persistensinya di lingkungan sedang
sehingga OP secara bertahap dapat menggantikan insektisida OC.
Sampai saat ini OP masih merupakan kelompok insektisida yang
paling banyak digunakan di dunia.
Kebanyakan insektisida OP adalah penghambat bekerjanya
enzim asetilkolinesterase. Kita ketahui bahwa dalam sistem syaraf
serangga antara sel syaraf atau neuron dengan sel-sel lain termasuk
sel otot terdapat “celah” yang disebut sinapse. Enzim Asetilkolin
yang dibentuk oleh sistem syaraf pusat berfungsi untuk
mengantarkan pesan atau impuls dari sel syaraf ke sel otot melalui
sinapse. Setelah impuls diantarkan ke sel-sel otot proses
penghantaran impuls tersebut dihentikan oleh karena bekerjanya
enzim lain yaitu enzim asetilkolinestarase. Dengan enzim tersebut
asetilkolin dipecah menjadi asam asetat dan kolin. Adanya
asetilkolinestarase menyebabkan sinapse menjadi kosong lagi
sehingga pengantaran impuls berikutnya dapat dilakukan.
Insektisida OP menghambat bekerjanya enzim
asetilkolinesterase yang berakibat terjadi penumpukan asetilkolin
dan terjadilah kekacauan pada sistem penghantaran inpuls ke sel-sel
otot. Keadaan ini menyebabkan pesan-pesan berikutnya tidak dapat
diteruskan, otot kejang dan akhirnya terjadi kelumpuhan (paralisis)
dan kematian.
OP memiliki berbagai bentuk alkohol yang melekat pada atom-
atom P dan berbagai bentuk ester asam fosforik. Ester-ester ini
mempunyai kombinasi oksigen, karbon, sulfur dan nitrogen. OP
yang dikembangkan dari kombinasi ini dapat dibagi menjadi 3
kelompok derivat yaitu : Alifatik, Fenil, dan Heterosiklik. Derivat
Alifatik strukturnya ditandai oleh senyawa dengan rantai karbon
yang lurus dan tidak berbentuk cincin. Derivat Alifatik meliputi
insektisida-insektisida antara lain TEPP, Malathion, Dimetoat,
Dikrotofos, Mitamidofos, Asefat, dan lain-lain. Derivat Fenil terlihat
dari adanya cincin-cincin fenil dimana salah satu H ditempati oleh
“moiety” P sedangkan lainnya (satu atau lebih) diganti oleh CH3, Cl,
CN, NO2 atau S. Stabilitas derivat ini lebih besar daripada derivat
Alifatik sehingga residunya dapat lebih lama di lingkungan.
Insektisida OP yang termasuk derivat fenil adalah Metil Parathion,
Paration, Fention, Fonofos, dan lain-lain. Derivat Heterosiklik
seperti fenil mereka memiliki bangunan rantai tetapi perbedaannya
satu atau beberapa atom C ditempati oleh O, N atau S. Juga
bangunan rantai dari kelompok ini mempunyai 3, 5 atau 6 atom.
Senyawa-senyawa kelompok ini paling stabil dan lama bertahan di
lingkungan. Yang termasuk derivat ini antara lain Klorpirifos,
Fention, Temephos, metidation dan lain-lain.
c. Karbamat
Karbamat merupakan insektisida yang berspektrum lebar dan
telah banyak digunakan secara luas untuk pengendalian hama.
Golongan ini relatif baru jika dibandingkan 2 kelompok pestisida
sebelumnya (OC dan OP). Semua insektisida Karbamat mempunyai
bangunan dasar asam karbamat. Cara karbamat mematikan serangga
sama dengan golongan OP yaitu melalui penghambatan aktivitas
enzim kolinesterase pada sistem syaraf. Perbedaannya bahwa pada
karbamat penghambatan enzim kolinesterase-nya bersifat bolak-
balik (reversible) sedangkan pada OP tidak bolak balik. Insektisida
tersebut cepat terurai dan hilang daya racunnya dari tubuh binatang
sehingga tidak terakumulasi dalam jaringan lemak atau susu seperti
OC. Beberapa karbamat memiliki toksisitas rendah bagi mamalia
tetapi ada yang sangat beracun. Contoh insektisida golongan
karbamat adalah Aldikarb, Metiokarb, Metomil, Propoxur, dan lain-
lain.
d. Piretroid Sintetik (SP)
Piretroid merupakan kelompok insektisida organik sintetik
konvensional yang paling baru, digunakan secara luas sejak tahun
1970-an dan saat ini perkembangannya sangat cepat. Keunggulan SP
karena memiliki pengaruh “knock down” atau mematikan serangga
dengan cepat. Tingkat toksisitas rendah bagi manusia. Kelompok SP
merupakan tiruan dari bahan aktif insektisida botani Piretrum yaitu
Sinerin I yang berasal dari bunga Chrysanthenum cinerariaefolium.
Sebagai insektisida botani piretrum memiliki keunggulan yaitu daya
knock down yang tinggi tetapi sayangnya di lingkungan bahan alami
ini tidak bertahan lama karena mudah terurai oleh sinar ultraviolet.
Kecuali itu penggunaan di lapangan kurang praktis dan mahal karena
piretrum harus dahulu diekstrasi dari bunga krisan. Dari rangkaian
penelitian kimiawi dengan melakukan sintesis terhadap susunan
kimia piretrum dapat diperoleh bahan kimiawi yang memiliki sifat
insektisidal mirip dengan piretrum dan bahan tersebut mempunyai
kemampuan untuk bertahan lebih lama di lingkungan serta dapat
diproduksi di pabrik. Jenis pestisida buatan yang mirip piretrum
diberi nama pirethrin yang kemudian menjadi modal dasar bagi
pengembangan insektisida golongan SP lainnya.
Insektisida SP seringkali dikelompokkan menurut generasi
perkembangannya di laboratorium. Biasanya, generasi yang lanjut
merupakan perbaikan sifat SP generasi sebelumnya. Sasaran
perkembangan SP kecuali sifat-sifat yang disebutkan di atas juga
mencari dosis aplikasi yang sekecil mungkin dengan kemampuan
mematikan serangga hama setinggi mungkin sehingga diperoleh
efisiensi ekonomis yang tinggi. Sampai saat ini sudah dikenal 4
generasi SP. Salah satu anggota generasi pertama adalah Allethrin.
Generasi kedua adalah Resmethrin. Generasi ketiga adalah
Fenvalerate dan Permethrin. Generasi keempat adalah cypermethrin,
fluvalinat dan Deltamethrin dan lain-lain.
Meskipun daya mematikan SP sangat tinggi dan sangat sedikit
menghadapi permasalahan lingkungan, namun pestisida ini
menghadapi masalah utama yaitu percepatan perkembangan strain
hama baru yang tahan terhadap insektisida SP.
e. Fumigan
Fumigan sangat mudah menguap, kebanyakan mengandung satu
atau lebih gas halogen yaitu Cl, Br dan F. Banyak yang sangat
beracun bagi serangga hama sehingga dapat membunuh serangga di
ruang tertutup. Oleh karena itu fumigan banyak digunakan untuk
mengendalikan hama simpanan/gudang, hama rumah kaca, dan
rayap. Beberapa fumigan juga digunakan untuk perlakuan tanah.
Beberapa contoh fumigan antara lain: CH3Br, Kloropikrin,
Naftalena, dan lain-lain.
f. Minyak Tanah
Minyak tanah sejak abad ke-18 telah digunakan untuk
mengendalikan serangga yang merugikan manusia antara lain untuk
nyamuk dan hama buah-buahan. Masalah utama yang dihadapi
dalam penggunaan minyak tanah adalah fitotoksisitasnya yang
tinggi. Oleh karena itu sebelum digunakan minyak tanah harus
disuling lebih dahulu dengan tehnik tertentu. Minyak tanah yang
telah disuling efektif untuk pengendalian tungau, aphid dan kutu-
kutu tanaman.
g. Sulfonilurea
Pestisida ini membunuh tanaman dengan menghambat enzim
asetolaktat sintase.
h. Biopestisida
Biopestisida dikembangkan dari bahan alami, biasanya dari
hewan, tumbuhan, bakteri, bahkan dari bahan tambang mineral.
Contohnya adalah minyak kanola dan baking soda mampu
digunakan sebagai pestisida.
i. Insektisida lain
Masih banyak kelompok insektisida lain di luar yang telah
disebutkan sebelumnya seperti Formamidin, Tiosianat, Organotin
dan lain-lain. Termasuk dalam kelompok ini adalah pestisida
Anorganik yang sudah lama tidak digunakan lagi setelah adanya
insektisida organik sintetik. Termasuk dalam Anorganik adalah
Kalium Arsenat, Pb Arsenat, Kriolid dan Belerang. Umumnya
pestisida tersebut adalah racun perut. Kelemahan pestisida anorganik
adalah toksisitas tinggi untuk mamalia termasuk manusia, residu di
lingkungan persisten, fitotoksisitas tinggi, masalah ketahanan hama
terhadap insektisida dan efisikasinya lebih rendah bila dibandingkan
insektisida organik sintetik.
3. Berdasarkan formulasi pestisida
Bahan aktif insektisida merupakan bahan penyusun terpenting, suatu
formulasi pestisida untuk dipasarkan tidak diproduksikan oleh pabrik
dalam bentuk murni. Bahan aktif murni hanya dibuat khusus untuk
keperluan penelitian atau pengawasan mutu formulasi insektisida. Pada
tingkat permulaan produksi insektisida lebih dahulu dibuat apa yang
disebut bahan aktif teknis. Bahan ini merupakan campuran bahan aktif
murni dan bahan antara lainnya. Agar bahan aktif teknis tersebut dapat
lebih efektif dan efisien dalam mengendalikan hama sasaran yang tempat
hidup dan cara hidupnya bervariasi sebelum dipasarkan, bahan teknis
tersebut lebih dahulu dicampur dengan bahan penguat (sinergis) dan
bahan pembantu (ajuvan). Bahan-bahan tambahan yang tidak bersifat
insektisidal tersebut secara umum sering disebut inert ingredient.
Pemberian bahan-bahan pembantu dapat meningkatkan adhesi atau
pelekatan, pencampuran, tekanan permukaan, persistensi di lingkungan
dan sebagai pembawa insektisida.
Sinergis merupakan bahan yang tidak beracun bagi serangga namun
bila bahan tersebut dicampurkan dapat menambah toksisitas insektisida.
Biasanya campuran tersebut berbanding 10:1 atau 8:1 antara sinergis dan
insektisida. Beberapa sinergis adalah piperonil butoksid dan MGK 264.
Bahan pembantu atau Ajuvan ada bermacam-macam diberikan
antara lain.
a. Solven untuk meningkatkan daya larut;
b. Diluent sebagai bahan pembawa dan daya “penyelimutan”;
c. Stiker untuk meningkatkan daya lekat;
d. Surfaktan untuk meningkatkan daya sebar dan pembasahan
permukaan;
e. Deodoran untuk memberikan bau harum.
Campuran bahan aktif teknis, sinergis dan bahan pembantu disebut
formulasi pestisida. Ada produsen pestisida yang menghasilkan bahan
aktif teknis insektisida tertentu, tetapi ada banyak produsen pestisida
yang membeli bahan aktif teknis dari suatu perusahaan dan menambah
dengan bahan-bahan pembantu tertentu yang kemudian dipasarkan
sebagai formulasi pestisida dengan nama dagang tertentu. Oleh karena itu
untuk satu jenis bahan aktif di pasar terdapat banyak formulasi dengan
nama dagang yang berbeda. Perbedaan antara beberapa formulasi untuk
jenis bahan aktif yang sama dapat disebabkan pada perbedaan dalam
susunan bahan tambahan dan bahan pembantu dan juga pada susunan
bahan pembentuk bahan aktif teknis. Secara umum ada banyak sekali
jenis formulasi pestisida telah dikembangkan untuk kepentingan pemakai
dan telah tersedia di pasar.
a. Emulsifiable Concentrate (EC)
EC merupakan formulasi insektisida yang paling umum dan
banyak diproduksi. Formulasi ini terdiri dari aktif teknis, cairan
pelarut untuk bahan aktif dan perantara emulsi (“Emulsifier”). Suatu
emulsi minyak dalam air terbentuk bila formulasi ini dicampur
dengan air sehingga terbentuk cairan seperti susu. Emulsifier
memungkinkan melarutkan bahan kimia yang sukar larut dalam air.
Juga bahan ini mengurangi tekanan permukaan dari semprotan
sehingga dapat lebih menyebar dan membasahi permukaan yang
disemprot. Zat ini pula yang memungkinkan kontak yang lebih baik
dengan kutikula serangga.
b. Wettable Powders (WP)
WP atau tepung basah merupakan formulasi yang umum
digunakan setelah EC. WP merupakan formulasi pestisida kering
yang agak pekat yang ditujukan agar dapat larut dan diencerkan
dalam air untuk disemprotkan. Suatu partikel suspensi terbentuk
apabila dicampurkan dengan air. Hal ini dapat diperoleh dengan
menambahkan surfaktan sebagai bahan penyebar dan pembasah.
Dibandingkan dengan EC, WP mempunyai toksisitas pada tanaman
yang lebih rendah, tetapi sayangnya WP kurang baik untuk alat
penyemprot sehingga alat menjadi kurang awet, sering macet pada
nozzle sehingga sewaktu disemprotkan harus sering dilakukan
pengadukan.
c. Flowable Powder
Pada beberapa keadaan senyawa insektisida hanya dapat dibuat
dalam bentuk padat atau semi padat. Untuk menambahkan
keuntungan sifat pencampuran formulasi EC dan larutan senyawa
yang padat tersebut kemudian digiling secara basah dengan diluen
lempung dan air, sehingga diperoleh bahan teknis yang tergiling
halus dan basah sehingga bentuknya seperti puding. Formulasi ini
kemudian dapat dicampur dengan air sehingga dapat disemprotkan.
Karena keadaannya yang demikian formulasi F dalam
penggunaannya harus selalu diaduk agar insektisida tidak keluar dari
suspensi dan mengendap pada dasar tangki penyemprot.
d. Soluble Powder
Berbeda dengan formulasi WP, SP dapat larut dalam air
membentuk suatu larutan yang sesungguhnya. Formulasi ini berupa
bubuk kering yang dapat larut dan mengandung 75-95% bahan aktif.
Bahan inert berupa adjuvant untuk menyebarkan dan melekatkan
insektisida pada permukaan tanaman. Pengadukan mula-mula
diperlukan tetapi setelah terjadi larutan pengadukan tidak diperlukan
lagi. Relatif hanya sedikit macam insektisida yang dapat
diformulasikan dengan cara ini.
e. Solution
Formulasi S atau larutan dibuat dengan melarutkan insektisida
pada zat pelarut organik untuk dapat digunakan secara langsung bagi
pengendalian hama. Formulasi ini jarang digunakan pada tanaman
karena dapat menyebabkan fitotoksisitas yang gawat.
Penggunaannya sering untuk pengendalian serangga-serangga yang
menyerang ternak dan pengendalian jentik-jentik nyamuk yang ada
pada permukaan air. Suatu jenis khusus suatu formulasi larutan yang
berkonsentrasi tinggi yang saat ini sering digunakan pada daerah-
daerah yang sering kesulitan air adalah formulasi ULV (Ultra Low
Volume). Formulasi ULV disemprotkan langsung tanpa memerlukan
air tetapi memerlukan alat penyemprot khusus seperti “mikron air”
yang dapat menghasilkan butiran semprot yang sangat lembut.
Apabila kondisi cuaca memungkinkan (kecepatan angin rendah) dan
cara penyemprotannya benar, maka penyemprotan dengan ULV
sangat ekonomis karena selain menghemat air juga jumlah
insektisida yang digunakan lebih sedikit bila dibandingkan dengan
formulasi EC. Formulasi ULV di Indonesia telah lama digunakan di
program IKR (Intensifikasi Kapas Rakyat) dengan alasan umumnya
daerah pertanaman kapas merupakan daerah yang kering.
f. Dust (D)
Formulasi dust atau debu merupakan formulasi insektisida yang
paling tua dan sederhana. Formulasi tersebut diperoleh dengan
menggiling toksikan atau insektisida menjadi serbuk yang halus
kemudian dicampur dengan bahan organik seperti tepung tempurung
tanaman wallnut, bubukan mineral profilit, bentonik dan talk.
Persentase bahan aktif insektisida biasanya berkisar antara 1-10%.
Formulasi dust mungkin aplikasinya yang paling mudah, cukup
dengan alat “duster” yang sederhana hingga insektisida dapat
dikenakan pada tanaman. Tetapi formulasi ini merupakan formulasi
yang paling tidak efektif dan tidak ekonomis terutama bila
digunakan di luar karena banyak yang terhembus oleh angin (drift)
sehingga sangat sedikit yang mengenai sasaran. Kelemahan yang
lain bahwa formulasi ini berbahaya bagi lebah madu dan imago
parasitoid yang termasuk hymenoptera sehingga prospek
penggunaannya untuk PHT kurang baik.
g. Granules (G)
Formulasi granule atau butiran ini dibuat dengan memberikan
insektisida cair pada partikel-partikel kasar dari bahan yang mudah
menyerap. Partikel-partikel ini dapat dibentuk dari tongkol jagung,
tempurung tanaman wallnut, lempung atau bahan lainnya.
Insektisida diserap kedalam butiran dan kemudian di sebelah luar
ditutup oleh suatu lapisan. Kandungan bahan aktif antara 2% sampai
40%. Karena ukuran butiran lebih besar daripada dust maka
formulasi G lebih aman bagi pemakai dibanding formulasi D atau
EC karena mengurangi kemungkinan dihirup. Penggunaannya di
lapangan adalah dengan menyebarkan di sekitar tanaman atau
membenamkan ke dalam tanah di sekitar pangkal tanaman. Oleh
karena itu formulasi G paling banyak digunakan untuk
mengendalikan hama-hama di tanah atau untuk aplikasi insektisida
sistemik seperti Karbofuran 3G untuk pengendalian hama penggerek
batang padi.
h. Aerosol
Aerosol merupakan formulasi yang paling sering digunakan
untuk insektisida yang digunakan dalam rumah tangga, di
pekarangan, atau di dalam rumah kaca. Dalam pembuatan formulasi
ini insektisida lebih dahulu dilarutkan dalam zat pelarut berupa
minyak yang menguap. Larutan ini kemudian diberi tekanan udara
dalam kaleng dengan gas propelan seperti karbondioksida atau
fluorokarbon. Apabila disemprotkan larutan akan menjadi partikel-
partikel yang sangat kecil dan secara cepat menguap meninggalkan
droplet-droplet mikroskopik di udara. Meskipun penggunaannya
praktis namun karena aerosol hanya memiliki prosentase bahan aktif
insektisida yang sangat rendah, harganya relatif sangat mahal.
i. Poisonous Baits (B)
Formulasi B atau umpan beracun menggabungkan bahan yang
dapat dimakan hama atau yang menarik hama dengan insektisida
agar meningkatkan efektivitas perlakuan. Jenis umpan sangat
bervariasi tergantung pada renspos hama terhadap umpan.
j. Slow Release Formulations (SR)
Dalam pemakaian berbagai formulasi insektisida umumnya
efektivitasnya berjangka pendek sehingga agar diperoleh hasil
pengendalian yang optimal perlu diadakan perlakuan insektisida
beberapa kali dalam satu musim tanam yang dapat meningkatkan
biaya pengendalian. Muncullah keinginan unsstuk memperoleh
formulasi yang memungkinkan pengaruh insektisida dapat
diperpanjang dan tidak sering diadakan pengulangan perlakuan agar
dapat lebih menghemat biaya. Saat ini telah dapat diproduksikan
berbagai bentuk formulasi SR seperti “Kepingan Lalat” atau Fly
Strip, Kerah Kutu Anjing, atau Flea Collars. Bentuk SR lain adalah
mikroenkapsulasi insektisida. Contohnya mikroencapsulasi methyl
paration. Disini insektisida diselimuti oleh kapsul yang mempunyai
lubang-lubang mikroskopis sehingga insektisida keluar dari kapsul
secara berlahan-lahan. Dengan menggunakan formulasi tersebut
diharapkan petani dapat mengurangi jumlah aplikasi, tidak harus
tepat dalam menetapkan waktu pengendalian, dan mengurangi
bahaya bagi pekerja. Tetapi jenis formulasi ini sebaliknya akan
memperpanjang ancaman dan bahaya bagi serangga yang
bermanfaat seperti lebah madu dan imago parasitoid dan predator.
Dinamika Pestisida Dalam Lingkungan
Pestisida merupakan salah satu agen pencemar lingkungan baik melalui
udara, air maupun tanah yang dapat berakibat langsung terhadap komunitas
hewan, tumbuhan terlebih manusia. Pestisida yang masuk ke dalam
lingkungan melalui beberapa proses baik pada tataran permukaan tanah
maupun bawah permukaan tanah. Masuk ke dalam tanah berjalan melalui
pola biotransformasi dan bioakumulasi oleh tanah, proses reabsorbsi oleh
akar serta masuk langsung melalui infiltrasi aliran tanah.
Gejala ini akan mempengaruhi kandungan bahan pada sistem air tanah
hingga proses pencucian zat pada tahap penguraian baik secara biologis
maupun kimiawi dalam tanah. Proses pencucian (leaching) bahan-bahan
kimiawi tersebut pada akhirnya mempengaruhi kualitas air tanah baik
setempat maupun secara region dengan 5 berkelanjutan. Apabila proses
pemurnian unsur-unsur residu pestisida berjalan dengan baik dan tervalidasi
hingga aman pada wadah-wadah penampungan air tanah, misal sumber mata
air, sumur resapan dan sumur gali untuk kemudian di konsumsi oleh
penduduk, maka fenomena pestisida masuk ke dalam lingkungan bisa
dikatakan aman. Namun demikian jika proses tersebut kurang berhasil atau
bahkan tidak berhasil secara alami, maka kondisi sebaliknya yang akan
terjadi.
Penurunan kualitas air tanah serta kemungkinan terjangkitnya penyakit
akibat pencemaran air merupakan implikasi langsung dari masuknya pestisida
ke dalam lingkungan. Aliran permukaan seperti sungai, danau dan waduk
yang tercemar pestisida akan mengalami proses dekomposisi bahan
pencemar. Dan pada tingkat tertentu, bahan pencemar tersebut mampu
terakumulasi hingga dekomposit. Pestisida di udara terjadi melalui proses
penguapan oleh foto-dekomposisi sinar matahari terhadap badan air dan
tumbuhan. Selain itu, masuknya pestisida di udara disebabkan oleh driff yaitu
proses penyebaran pestisida ke udara melalui penyemprotan oleh petani yang
terbawa oleh angin. Akumulasi pestisida yang terlalu berat di udara pada
akhirnya akan menambah parah pencemaran udara. Gangguan pestisida oleh
residunya terhadap tanah biasanya terlihat pada tingkat kejenuhan karena
tingginya kandungan pestisida persatuan volume tanah. Unsur-unsur hara
alami pada tanah makin terdesak dan sulit melakukan regenerasi hingga
mengakibatkan tanah masam dan tidak produktif (Sutanto, 2002).
Dinamika Bahan Kimia di Dalam Tubuh Organisme
Pestisida mengandung berbagai jenis bahan kimia yang berbahaya.
Pestisida tidak saja beracun terhadap organisme sasaran tetapi juga terhadap
organisme lainnya. Dimana salah satunya terhadap manusia. Keterpaparan
pestisida terhadap manusia dapat diestimasi melalui pengukuran residu
pestisida dalam lingkungan (udara, air, tanah dan tanaman). Udara dapat
dengan mudah terkontaminasi pestisida selama proses penyemprotan.
Butiran-butiran pestisida selama penyemprotan menjadi partikel halus dapat
melayang jauh terbawa angin. Residu pestisida dapat pula terjadi di tanah,
apabila pestisida disemprotkan pada tanaman/tanah tidak mencapai sasaran
dan jatuh ke permukaan tanah dan selanjutnya diserap kedalam tumbuhan
jenis umbi-umbian. Apabila residu pestisida itu terdapat pada rumput lalu
tertelan oleh ternak, maka pestisida tersebut dapat terdeteksi melalui daging
dan susu ternak tersebut.
Jalur masuk pestisida ke dalam tubuh manusia melalui beberapa macam.
Pestisida dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai rute, yakni
(Djojosumarto, 2004).
1. Penetrasi lewat kulit (dermal contamination)
Pestisida yang menempel di permukaan kulit dapat meresap ke
dalam tubuh dan menimbulkan keracunan. Kejadian kontaminasi
pestisida lewat kulit merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi.
Pekerjaan yang menimbulkan resiko tinggi kontaminasi lewat kulit
adalah.
a. Penyemprotan dan aplikasi lainnya, termasuk pemaparan langsung
oleh droplet atau drift pestisida dan menyeka wajah dengan tangan,
lengan baju, atau sarung tangan yang terkontaminsai pestisida.
b. Pencampuran pestisida.
c. Mencuci alat-alat aplikasi
2. Terhisap lewat saluran pernafasan (inhalation)
Keracunan pestisida karena partikel pestisida terhisap lewat hidung
merupakan terbanyak kedua setelah kulit. Gas dan partikel semprotan
yang sangat halus (kurang dari 10 mikron) dapat masuk ke paru-paru,
sedangkanpartikel yang lebih besar (lebih dari 50 mikron) akan
menempel di selaput lendir atau kerongkongan. Pekerjaan-pekerjaan
yang menyebabkan terjadinya kontaminasi lewat saluran pernafasan
adalah.
a. Bekerja dengan pestisida (menimbang, mencampur, dsb) di ruang
tertutup atau yang ventilasinya buruk.
b. Aplikasi pestisida berbentuk gas atau yang akan membentuk gas,
aerosol, terutama aplikasi di dalam ruangan, aplikasi berbentuk
tepung mempunyai resiko tinggi.
c. Mencampur pestisida berbentuk tepung (debu terhisap pernafasan).

3. Masuk ke dalam saluran pencernaan makanan lewat mulut (oral)


Pestisida keracunan lewat mulut sebenarnya tidak sering terjadi
dibandingkan dengan kontaminasi lewat kulit. Keracunan lewat mulut
dapat terjadi karena
a. Kasus bunuh diri.
b. Makan, minum, dan merokok ketika bekerja dengan pestisida.
c. Menyeka keringat di wajah dengan tangan, lengan baju, atau sarung
tangan yang terkontaminasi pestisida.
d. Drift pestisida terbawa angin masuk ke mulut.
e. Makanan dan minuman terkontaminasi pestisida.
Rute penyerapan pestisida ke dalam tubuh dapat melalui tiga cara yakni
melalui kulit, saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Pestisida yang
masuk kedalam tubuh akan di metabolisme dan distribusikan ke dalam
jaringan dan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui urine. Pestisida
distribusikan dan disimpan di dalam jaringan lemak dan di biotransformasi di
dalam bagian tubuh akan terdapat dalam darah, urine, jaringan lemak dan lain
sebagainya. Setelah diserap dari usus maka yang tinggi substansi
lipophilienya akan diekresikan ke dalam empedu sebagai akibat resirkulasi
enterohepathik (Yusnani dkk, 2013).
Ketika pestisida organofosfat dan karbamat memasuki tubuh manusia
pestisida ini akan menempel pada emzim cholinesterase didalam darah.
Karena cholinesterase tidak dapat memecahkan acetylcholin, impuls syaraf
mengalir terus (konstanta) menyebabkan kejang-kejang yang cepat dan
akhirnya mengarah kepada kelumpuhan. Dengan terbentuknya senyawa-
senyawa tersebut maka terjadi penurunan aktivitas cholinesterase, sehingga
emzym tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan demikian
maka pengukuran cholinesterase dalam darah dapat dijadikan indikator dalam
menentukan keracunan pestisida organofosfat dan karbamat.
Penggunaan pestisida dalam kegiatan pertanian dapat mengakibatkan
dampak negatif pada kesehatan manusia, misalnya : (a) terdapat residu
pestisida pada produk pertanian; (b) bioakumulasi dan biomagnifikasi melalui
rantai makanan. Manusia sebagai makhluk hidup yang letaknya paling ujung
dari rantai makanan dapat memperoleh efek biomagnifikasi yang paling
besar. Dampak ini ditimbulkan oleh pestisida golongan organoklorin; (c)
keracunan pestisida, yang sering terjadi pada pekerja dengan pestisida.
Dampak negatif pestisida terhadap kesehatan manusia, baik secara langsung
maupun tak langsung yang dihubungkan dengan sifat dasar bahan kimianya
(Keman, 2001 dan Djojosumarto, 2000).
1. Organoklorin (OK)
Merupakan racun kontak dan racun perut. Merugikan lingkungan
dan kesehatan masyarakat karena sifat persistensinya sangat lama di
lingkungan, baik di tanah maupun jaringan tanaman dan dalam tubuh
hewan. Persistensi organoklorin menimbulkan dampak negatif seperti
biomagnifikasi dan masalah keracunan kronik yang membahayakan.
Herbisida senyawa 2,3,7,8 –TCDD merupakan senyawa toksik untuk
ternak termasuk manusia, masuk lewat kontak kulit atau saluran
pencernakan, menginduksi enzim oksidase, karsinogen kuat, teratogenik
serta menekan reaksi imun. Toksisitas golongan organoklorin ini yaitu
sebagai anastesi, narkotik dan racun sistemik. Cara kerja spesifiknya
adalah sebagai depressant system saraf pusat (narkosis), kerusakan
jaringan liver dan kerusakan jaringan ginjal.
2. Organofosfat (OP)
Racun ini merupakan penghambat yang kuat dari enzim
cholinesterase pada syaraf. Asetyl cholin berakumulasi pada
persimpangan-persimpangan syaraf (neural jungstion) yang disebabkan
oleh aktivitas cholinesterase dan menghalangi penyampaian rangsangan
syaraf kelenjar dan otot-otot. Organofosfat disintesis pertama kali di
Jerman pada awal perang dunia ke-II.
Bahan tersebut digunakan untuk gas syaraf sesuai dengan tujuannya
sebagai insektisida. Pada awal sintesisinya diproduksi senyawa tetraethyl
pyrophosphate (TEPP), parathion dan schordan yang sangat efektif
sebagai insektisida tetapi juga toksik terhadap mamalia. Penelitian
berkembang tersebut dan ditemukan komponen yang paten terhadap
insekta tetapi kurang toksik terhadap manusia (misalnya : malathion).
Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis
pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang.
Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan
kematian, tetapi diperlukan beberapa milligram untuk dapat
menyebabkan kematian pada orang dewasa. Organofosfat menghambat
aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel
darah merah. Organofosfat dapat terurai di lingkungan dalam waktu ± 2
minggu (Yusniati, 2008).
3. Karbamat
Pengaruh fisiologis yang primer dari racun golongan karbamat
adalah menghambat aktifitas enzym cholinesterase darah dengan gejala-
gejala seperti senyawa organofospat.
4. Senyawa Arsenat
Pada keadaan keracunan akut ini menimbulkan gastroentritis dan
diarhoe yang menyebabkan kekejangan yang hebat sebelum
menimbulkan kematian. Pada keadaan kronis menyebabkan pendarahan
pada ginjal dan hati.
5. Piretroid
Piretroid merupakan senyawa kimia yang meniru struktur kimia
(analog) dari piretrin. Piretrin sendiri merupakan zat kimia yang bersifat
insektisida yang terdapat dalam piretrum, kumpulan senyawa yang di
ekstrak dari bunga semacam krisan piretroid memiliki beberapa
keunggulan, diantaranya diaplikasikan dengan takaran relatif sedikit,
spektrum pengendaliannya luas, tidak persisiten, dan memiliki efek
melumpuhkan yang sangat baik. Namun karena sifatnya yang kurang
atau tidak selektif, banyak piretroid yang tidak cocok untuk program
pengendalian hama terpadu.
Fungisida
Fungisida adalah zat kimia yang digunakan untuk mengendalikan
cendawan (fungi). Fungisida umumnya dibagi menurut cara kerjanya di
dalam tubuh tanaman sasaran yang diaplikasi, yakni fungisida nonsistemik,
sistemik, dan sistemik lokal. Pada fungisida, terutama fungisida sistemik dan
non sistemik, pembagian ini erat hubungannya dengan sifat dan aktifitas
fungisida terhadap jasad sasarannya.

Adapun keuntungan yang diperoleh dari penggunaan fungisida adalah


(Djodjosumarto, 2000).
1. Mudah diaplikasikan
2. Memerlukan sedikit tenaga kerja
3. Penggunaanya praktis
4. Jenis dan ragamnya bervariasi
5. Hasil pengendalian tuntas
Dalam pengendalian cendawan patogen digunakan senyawa kimia
fungisida. Berdasarkan cara kerjanya, fungisida dibagi menjadi tiga jenis,
yaitu.
1. Fungisida Sistemik
Fungisida sistemik diabsorbsi oleh organ-organ tanaman dan
ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya melalui pembuluh angkut
maupun melalui jalur simplas (melalui dalam sel). Pada umumnya
fungisida sistemik ditranslokasikan ke bagian atas (akropetal), yakni dari
organ akar ke daun. Beberapa fungisida sistemik juga dapat bergerak ke
bawah, yakni dari daun ke akar.
2. Fungisida Non Sistemik
Fungisida non sistemik tidak dapat diserap dan ditranslokasikan di
dalam jaringan tanaman. Fungisida non sistemik hanya membentuk
lapisan penghalang di permukaan tanaman (umumnya daun) tempat
fungisida disemprotkan. Fungisida ini hanya berfungsi mencegah infeksi
cendawan dengan cara menghambat perkecambahan spora atau miselia
jamur yang menempel di permukaan tanaman. Karena itu, fungisida
kontak berfungsi sebagai protektan dan hanya efektif bila digunakan
sebelum tanaman terinfeksi oleh penyakit. Akibatnya, fungisida
nonsistemik harus sering diaplikasikan agar tanaman secara terus-
menerus terlindungi dari infeksi baru.
3. Fungisida Sistemik Lokal
Fungisida sistemik lokal diabsorbsi oleh jaringan tanaman, tetapi
tidak ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya. Bahan aktif hanya
akan terserap ke sel-sel jaringan yang tidak terlalu dalam dan tidak
sampai masuk hingga pembuluh angkut.

Menurut mekanisme kerjanya, fungisida dibagi menjadi dua kelompok, yaitu.


1. Multisite Inhibitor
Multisite inhibitor adalah fungisida yang bekerja menghambat
beberapa proses metabolisme cendawan. Sifatnya yang multisite inhibitor
ini membuat fungisida tersebut tidak mudah menimbulkan resistensi
cendawan. Fungisida yang bersifat multisite inhibitor (merusak di banyak
proses metabolisme) ini umumnya berspektrum luas. Contoh bahan
aktifnya adalah maneb, mankozeb, zineb, probineb, ziram, thiram.
2. Monosite Inhibitor
Monosite inhibitor disebut juga sebagai site specific, yaitu fungisida
yang bekerja dengan menghambat salah satu proses metabolisme
cendawan, misalnya hanya menghambat sintesis protein atau hanya
menghambat respirasi. Sifatnya yang hanya bekerja di satu tempat ini
(spectrum sempit) menyebabkan mudah timbulnya resistensi candawan.
Contoh bahan aktifnya adalah metalaksil, oksadisil, dan benalaksil.
Dilihat dari fungsi kerjanya, fungisida dibedakan atas.
1. Fungisidal, yaitu membunuh jamur
2. Fungistatik, yaitu berarti hanya menghambat pertumbuhan jamur
3. Genestatik, yaitu berarti mencegah terjadinya sporulasi
Berdasarkan kegunaan umum, fungisida dibedakan menjadi.
1. Fungisida Protektan
2. Fungisida penutup luka
3. Fungisida eradikan
4. Perlakuan tanah (fumigan)
5. Perlakuan gudang penyimpanan
Berdasarkan cara aplikasinya fungisida dikelompokkan menjadi.
1. Penyemprotan/penghembusan pada bagian-bagian tanaman di atas
permukaan tanah
2. Perlakuan benih/bahan perbanyakan tanaman
3. Perlakuan pada tanah (fumigasi)
4. Perlakuan terhadap luka
5. Perawatan pasca panen
6. Desinfektan untuk gudang penyimpanan.

Insektisida
1. Pengertian Insektisida
Insektisida secara umum adalah senyawa kimia yang digunakan
untuk membunuh serangga pengganggu (hama serangga). Insektisida
dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, tingkah laku,
perkembangbiakan, kesehatan, sistem hormon, sistem pencernaan, serta
aktivitas biologis lainnya hingga berujung pada kematian serangga
pengganggu tanaman (Kardinan, 2002). Insektisida memiliki pengaruh
yang cukup besar terhadap lingkungan pertanian. Hal ini sesuai dengan
pendapat yang menyatakan bahwa “Insektisida dapat mengendalikan
lingkungan pertanian” (Baehaki, 2002).
2. Jenis Insektisida
a. Menurut cara kerjanya di dalam tanaman, insektisida dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu (Baehaki, 2002).
1) Insektisida Sistemik
Insektisida sistemik diserap oleh bagian-bagian tanaman
melalui stomata, meristem akar, lentisel batang, dan celah-celah
alami. Selanjutnya insektisida akan melewati sel-sel menuju ke
jaringan pengangkut baik xylem maupun floem. Insektisida akan
meninggalkan residunya pada sel-sel yang telah dilewatinya.
Melalui pembuluh angkut inilah insektisida ditranslokasikan ke
bagian-bagian tanaman lainnya baik kearah atas (akropetal) atau
ke bawah (basipetal), termasuk ke tunas yang baru tumbuh.
Serangga akan mati apabila memakan bagian tanaman yang
mengandung residu insektisida.
2) Insektisida Non-Sistemik
Insektisida non-sistemik tidak dapat diserap oleh jaringan
tanaman, tetapi hanya menempel pada bagian luar tanaman.
Lamanya residu insektisida yang menempel pada permukaan
tanaman tergantung jenis bahan aktif (berhubungan dengan
presistensinya), teknologi bahan, dan aplikasinya. Serangga
akan mati apabila memakan bagian tanaman
yang permukaannya terkena residu insektisida. Residu
insektisida pada permukaan tanaman akan mudah hilang oleh
hujan dan siraman. Oleh karena itu, dalam aplikasi insektisida
ini harus memperhatikan cuaca dan jadwal penyiraman.
3) Insektisida Sistemik Lokal
Insektisida ini hanya mampu diserap oleh jaringan daun,
akan tetapi tidak dapat ditranslokasikan ke bagian tanaman
lainnya. Insektisida yang jatuh ke permukaan atas daun akan
menembus epidermis atas kemudian masuk ke
jaringan parenkim pada mesofil (daging daun) dan menyebar ke
seluruh mefosil daun (daging/daun) hingga mampu masuk
kedalam sel pada lapisan epidermis daun bagian bawah
(permukaan daun bagian bawah).
b. Menurut asal bahan yang digunakan, insektisida dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu (Baehaki, 2002).
1) Insektisida Kimia Sintetik
Insektisida kimia sintetik meruipakan jenis insektisida yang
banyak kita kenal seperti organofosfor, karbamat, piretroid
sintetik, dan lain sebagainya.
2) Insektisida Botani
Insektisida botani merupakan insektisida yang berasal dari
ekstrak tumbuhan. Contoh ekstrak tumbuhan yang dapat
dijadikan insektisida botani yaitu.
a) Ekstrak sejenis bunga krisan (Chrisanthemum sp-
Compositae/Asteraceae)
b) Ekstrak biji nimba (Azadirahtin- Nimbo)
c) Ekstrak akar tuba (Rotenon-Biocin)
3) Insektisida Mikroorganisme
Contoh mikroorganisme yang dapat dijadikan insektisida
mikroorganisme yaitu.
a) Beauveria Bassiana (Bevaria P/Bassiria AS)
b) Bacillus Thuringigiensis (Bactospeine WP, Thuricide HP,
Turex WP).
3. Sejarah Penggunaan Insektisida
Pada tahun 1800an, para pekerja kebun diketahui telah
menggunakan sabun untuk mengontrol pertumbuhan hama serangga. Di
awal abad ke 19, sabun yang terbuat dari minyak ikan paling banyak
digunakan untuk mengontrol pertumbuhan hama serangga. Cara-cara
tersebut cukup efektif, tetapi sabun tersebut harus diberikan berkali-kali
dan kadang justru mematikan tanaman. Sehingga para pekerja kebun
menggantinya dengan penggunaan campuran bawang putih, bawang
merah, dan lada atau berbagai jenis makanan lainnya untuk mengontrol
pertumbuhan hama serangga, namun cara tersebut tidak cukup efektif
membunuh serangga.
Penggunaan insektisida sintetik pertama kali dimulai di tahun
1930an dan mulai meluas setelah berakhirnya Perang Dunia II. Pada
tahun 1945 hingga 1965, insektisida golongan organoklorin digunakan
secara luas baik untuk pertanian maupun kehutanan. Salah satu produk
yang paling terkenal adalah insektisida DDT yang dikomersialkan sejak
tahun 1946. Selanjutnya, mulai bermunculan golongan insektisida
sintetik lain seperti organofosfat, karbamat, dan pirethroid di tahun
1970an sampai sekarang (Walhi, 1987).
4. Cara Kerja Insektisida
Insektisida dapat membunuh serangga dengan dua mekanisme kerja,
yaitu dengan meracuni makanannya (tanaman) dan dengan langsung
meracuni serangga tersebut. Proses insektisida meracun dan mematikan
serangga (mode of action) hanya disebut secara garis besar seperti racun
kontak, racun perut, atau racun pernafasan. Hasil penelitian yang ada,
secara garis besar menunjukkan ada lima macam mode of action
insektisida, yaitu (Novizan, 2002).
a. Insektisida yang mempengaruhi sistem syaraf.
b. Insektisida yang menghambat produksi energi.
c. Insektisida yang mempengaruhi pertumbuhan serangga hama (Insect
Growth Regulator).
d. Insektisida yang mempengaruhi keseimbangan air tubuh.
e. Insektisida yang merusak jaringan pencernaan serangga.

5. Keracunan Insektisida pada Manusia


Keracunan insektisida pada manusia, dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu.
a. Keracunan sedang
Keracunan sedang insektisida pada manusia meliputi nausea,
muntah-muntah, kejang atau kram perut, hipersaliva, hiperhidrosis,
fasikulasi otot, dan bradikardi.
b. Keracunan berat
Keracunan berat insektisida pada manusia meliputi diare, reaksi
cahaya negatif, sesak nafas, sianosis, edema paru, inkontenesia urin
dan feses, kovulsi, koma, blokade jantung sampai akhirnya
meninggal dunia.
6. Efek Penggunaan Insektisida
Insektisida seringkali digunakan melebihi dosis yang seharusnya
karena petani beranggapan semakin banyak insektisida yang
diaplikasikan maka akan semakin bagus hasilnya. Beberapa petani
bahkan mencampurkan perekat pada insektisida agar tidak mudah larut
terbawa air hujan. Namun, penggunaan perekat ini justru mengakibatkan
tingginya jumlah residu pestisida pada hasil panen yang nantinya akan
menjadi bahan konsumsi manusia. Menurut data WHO, sekitar 500 ribu
orang meninggal dunia setiap tahunnya dan diperkirakan 5 ribu orang
meninggal setiap 1 jam 45 menit akibat pestisida dan atau insektisida.
Penggunaan insektisida sintetik juga dapat mengakibatkan terjadinya
pencemaran lingkungan. Hal ini dikarenakan insektisida tertentu dapat
tersimpan di dalam tanah selama bertahun-tahun, sehingga dapat
merusak komposisi mikroba tanah serta mengganggu ekosistem perairan
(Walhi, 1987).
7. Resistensi Insektisida
Resistensi insektisida merupakan suatu kenaikan proporsi individu
dalam populasi yang secara genetik memiliki kemampuan untuk tetap
hidup meski terpapar satu atau lebih senyawa insektisida. Peningkatan
individu ini terutama oleh karena matinya individu-individu yang sensitif
insektisida sehingga memberikan peluang bagi individu yang resisten
untuk terus berkembangbiak dan meneruskan gen resistensi pada
keturunannya. Resistensi terhadap insektisida pertama kali dilaporkan
terjadi pada tahun 1914 oleh AL Melander. Penggunaan kapur sulfur
untuk mematikan hama tanaman anggrek pada satu minggu pertama
percobaan. Namun ketika dilakukan pengulangan perlakuan insektisida,
90% hama tetap hidup. Tingkat resistensi serangga hama pada insektisida
terus meningkat seiiring dengan kemunculan dan penggunaan berbagai
jenis insektisida sintetik pada tahun-tahun berikutnya (Purba, 2002).
Herbisida dan Daya Kerja
1. Pengertian Herbisida
Herbisida merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk
mengendalikan, mematikan, dan menghambat pertumbuhan gulma tanpa
mengganggu tanaman pokok (Tjitrosoedirdjo et al., 1984). Herbisida
dapat mempengaruhi satu atau lebih proses-proses pertumbuhan (seperti
pada proses pembelahan sel, perkembangan jaringan, pembentukan
klorofil, fotosintesis, respirasi, metabolisme nitrogen, aktivitas enzim,
dan sebagainya) yang sangat diperlukan tumbuhan untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Herbisida yang diaplikasikan
dengan dosis tinggi pada tumbuhan akan mematikan seluruh bagian dari
jenis tumbuhan. Pada dosis yang lebih rendah, herbisida akan membunuh
tumbuhan pengganggu dan tidak merusak tumbuhan pokoknya (Riadi,
2011).
2. Jenis Herbisida
a. Menurut waktu aplikasinya, herbisida dibedakan menjadi tiga, yaitu
(Sukmana, 2002).
1) Pre Plant
Herbisida pre plant yaitu herbisida yang diaplikasikan pada
saat tanaman belum ditanam tetapi tanah sudah diolah.
2) Pre Emergence
Herbisida pre emergence yaitu herbisida yang diaplikasikan
sebelum benih tanaman atau biji gulma berkecambah. Pada
perlakuan ini, benih dari tanaman sudah ditanam sedangkan
gulma belum tumbuh.
3) Post Emergence
Herbisida post emergence yaitu herbisida yang
diaplikasikan pada saat gulma dan tanaman sudah lewat stadium
perkecambahan. Aplikasi herbisida dapat dilakukan pada saat
tanaman masih muda maupun sudah tua.
b. Menurut cara aplikasinya, herbisida dibedakan menjadi dua, yaitu
(Sukmana, 2002).
1) Aplikasi Melalui Daun
a) Bersifat kontak, yaitu berarti herbisida ini hanya mematikan
bagian hijau tumbuhan yang terkena semprotan. Herbisida
ini cocok untuk mengendalikan gulma setahun, karena bila
terkena akan menyebabkan mati secara keseluruhan.
b) Bersifat kontak selektif, yaitu herbisida yang hanya
membunuh satu atau beberapa spesies gulma.
c) Bersifat kontak non selektif, yaitu herbisida yang dapat
membunuh semua jenis tumbuhan yang terkena, terutama
bagian yang berwarna hijau.
2) Aplikasi Melalui Tanah
Umumnya herbisida yang diberikan melalui tanah adalah
herbisida bersifat sistemik. Herbisida ini disemprotkan ke tanah,
kemudian diserap oleh akar dan ditranslokasikan bersama aliran
transpirasi sampai ke side of action pada jaringan daun dan
menghambat proses pada photosystem II pada fotosintesis.
c. Menurut bentuk molekulnya, herbisida dibedakan menjadi dua, yaitu
(Riadi, 2011).
1) Herbisida Anorganik
Herbisida anorganik merupakan suatu herbisida yang
tersusun secara anorganik. Contoh herbisida anorganik adalah
ammonium sulfanat, ammonium sulfat, ammonium tiosianat,
kalsium sianamida, tembaga sulfat, nitrat, dan fero sulfat.
2) Herbisida Organik
Herbisida organik merupakan suatu herbisida yang tersusun
secara organik. Contoh herbisida organik adalah amida,
bipiridilium, dan dinitroanilin.
3. Sejarah Penggunaan Herbisida
Penggunaan herbisida sebagai salah satu cara mengendalikan
pertumbuhan gulma telah dilakukan mulai pada awal abad ke-20 dengan
herbisida pertama yang disintesis adalah 2,4-D. Penggunaan herbisida ini
terus dilakukan karena memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan
cara pengendalian gulma yang lain. Sifat dari herbisida yang efektif,
selektif, dan sistemik itulah yang menyebabkan jenis pestisida ini banyak
digunakan oleh para petani (Nasution, 1986).
4. Cara Kerja Herbisida
Pada umumnya herbisida bekerja dengan mengganggu proses
anabolisme senyawa penting seperti pati, asam lemak, dan asam amino
melalui kompetisi dengan senyawa yang normal dalam proses tersebut.
Herbisida menjadi kompetitor karena memiliki struktur yang mirip dan
menjadi ko-substrat yang dikenali oleh enzim dan menjadi sasarannya.
Cara kerja lain adalah dengan mengganggu keseimbangan produksi
bahan-bahan kimia yang diperlukan tumbuhan. Suatu herbisida dikatakan
efektif atau tidak itu bergantung pada mode of action suatu herbisida.
Suatu herbisida memiliki tujuh jenis mode of action, yaitu
(Sukmana, 2002).
a. Menghambat sintesis asam amino.
b. Menghambat sintesis lemak.
c. Menghambat fotosintesis.
d. Menghambat pembelahan sel.
e. Menghambat sintesis pigmen.
f. Melakukan perusakan sel.
g. Merusak sistem kerja hormon.
5. Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Herbisida
a. Keuntungan Penggunaan Herbisida
Berikut adalah keuntungan yang diberikan oleh herbisida, yaitu
(Sukmana, 2002).
1) Dapat menggendalikan gulma sebelum mengganggu.
2) Dapat mencegah kerusakan perakaran tanaman
3) Lebih efektif membunuh gulma tahunan dan semak belukar
4) Dapat menaikkan hasil panen tanaman dibandingkan dengan
perlakuan penyiangan biasa.

b. Kerugian Penggunaan Herbisida


Berikut adalah kerugian yang diberikan oleh herbisida, yaitu
(Sastroutomo, 1990).
1) Menimbulkan species gulma yang resisten, akibat penggunaan
yang terus menerus dari satu jenis herbisida di dalam suatu
lahan, maka akan terjadi perubahan dominansi dalam komunitas
gulma dari jenis-jenis yang peka menjadi jenis-jenis yang
toleran.
2) Menimbulkan polusi dan residu yang dapat meracuni tanaman.
6. Resistensi Herbisida
Resistensi herbisida didefinisikan sebagai ketahanan gulma terhadap
herbisida dengan dosis yang jauh lebih besar dari yang biasa digunakan.
Munculnya gulma rentan tersebut berkembang seiring dengan waktu
penggunaan herbisida. Perkembangan resistensi herbisida ini sebenarnya
merupakan proses evolusi dimana terjadi perubahan komposisi genetik
dalam tanaman yang mengakibatkan tanaman tersebut menjadi resisten
terhadap herbisida tertentu. Cara untuk mengatasi resistensi gulma yang
telah terjadi dapat dilakukan dengan mengubah formulasi dari herbisida
tersebut atau dengan cara melakukan pengkombinasian herbisida. Respon
dari pengkombinasian herbisida dibagi menjadi tiga jenis, yaitu
(Zimdahl, 2007).
a. Respon pertama yaitu bersifat aditif yang ditandai dengan samanya
hasil yang diperoleh terhadap pengendalian gulma baik ketika
herbisida tersebut diaplikasikan tunggal maupun dicampur herbisida
dengan bahan aktif yang berbeda.
b. Respon kedua yaitu bersifat antagonis, hal ini terjadi jika campuran
kedua bahan aktif memberikan respon yang lebih rendah dari yang
diharapkan.
c. Respon yang ketiga yaitu bersifat sinergis, dimana respon dari
pencampuran herbisida lebih tinggi daripada respon yang
diharapkan.
BAB III
KESIMPULAN

B. Kesimpulan
1. Pestisida atau sering disebut pembasmi hama adalah bahan yang
digunakan untuk mengendalikan, menolak, atau membasmi organisme
pengganggu. Sedangkan Insektisida adalah senyawa kimia yang
digunakan untuk membunuh serangga pengganggu (hama serangga).
2. Fungisida adalah zat kimia yang digunakan untuk mengendalikan
cendawan (fungi).
3. Herbisida merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk
mengendalikan, mematikan, dan menghambat pertumbuhan gulma tanpa
mengganggu tanaman pokok.
Saran
Agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi orang-orang yang
membacanya, menjadi motivasi atau pengetahuan yang baru tentang Bahan
Pestisida dan Daya Kerja sehingga dapat dikembangkan untuk menjalankan
kehidupan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Baehaki, Ir. 2002. Insektisida Pengendalian Hama Tanaman. Bandung : Angkasa.


Djojosumarto, Panut. 2000. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. . Yogyakarta :
Kanisius. Halaman 46.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pestisida diakses pada Senin, tanggal 25 September
2017.
Kardinan. 2002. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Keman, S. 2001. Bahan Ajar Toksikologi Lingkungan. Surabaya : Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
Nasution, U. 1986. Gulma dan Pengendaliannya di Perkebunan Karet Sumatera
Utara dan Aceh. Jakarta : PT. Gramedia.
Novizan, Ir. 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan.
Jakarta : Agromedia Pustaka.
Purba, M. 2002. Kimia untuk SMA Kelas 2. Jakarta : Erlangga.
Riadi, M. 2011. Herbisida dan Aplikasinya. Fakultas Pertanian Universitas
Hasanuddin : Jurusan Budidaya Pertanian.
Sastroutomo. 1990. Ekologi Gulma. Jakarta : Gramedia.
Sukmana, Y. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Sutanto, Rachman. 2002. Pertanian Organik. Yogyakarta : Kanisius.
Tritrosoedirdjo, Soekisman, U., Hidajat, W., dan Joedojono. 1984. Pengolahan
Gulma di Perkebunan. Jakarta : PT. Gramedia.
Untung, Kasumbogo.2001.Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu.UGM Press
Walhi.1987. Teropong Masalah Pestisida (Terompet). Jakarta : Wahana
Lingkungan Hidup.
Yusnani, Daud, A, dan Anwar. 2013. Identifikasi Residu Pestisida Golongan
Organofosfat Pada Sayuran Kentang Di Swalayan Lottemart Dan Pasar
Terong Kota Makassar Tahun 2013. Makassar : UNHAS.
Zimdahl, R. L. 2007. Fundamentals of Weed Science (Third Edition). Colorado
State University : Departemant of Bioagricultural Science and Pest
Management.

LAMPIRAN
LATIHAN SOAL
A. PILIHAN GANDA
1. Berikut ini adalah jenis-jenis insektisida, kecuali … .
a. Insektisida Sistemik
b. Insektisida Non-Sistemik
c. Insektisida Fungi
d. Insektisida Kimia Sintetik
e. Insektisida Botani
2. Penggunaan insektisida sintetik pertama kali dimulai pada tahun … .
a. 1930an
b. 1925an
c. 1800an
d. 1945an
e. 1970an
3. Salah satu jenis herbisida menurut waktu aplikasinya adalah … .
a. Herbisida Organik
b. Pre Emergence
c. Pasca Emergence
d. Herbisida Anorganik
e. Pasca Plant
4. Herbisida yang pertama berhasil disintesis adalah … .
a. 2,6-D
b. Herbisida Anorganik
c. 2,2-B
d. Herbisida Organik
e. 2,4-D
5. Respon dari pengkombinasian herbisida dibagi menjadi tiga jenis, yaitu
berturut-turut bersifat … .
a. Sinergis, Aditif, dan Antagonis
b. Sinergis, Efektif, dan Aditif
c. Aditif, Antagonis, dan Sinergis
d. Aditif, Antagonis, dan Efektif
e. Efektif, Sinegis, dan Aktif
6. Zat kimia yang digunakan untuk mengendalikan cendawan (fungi) adalah
... .
a. Insektisida
b. Fungisida
c. Herbisida
d. Pestisida
7. Fungisida yang diabsorbsi oleh organ-organ tanaman dan
ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya melalui pembuluh angkut
maupun melalui jalur simplas disebut … .
a. Fungisida Sistemik
b. Fungisida Non-sistemik
c. Fungisida Sistemik Lokal
d. Fungisida Sistemik Non Lokal
8. Jalur masuk pestisida kedalam tubuh manusia melalui beberapa macam,
kecuali ... .
a. Melalui kulit
b. Melalui saluran pencernaan
c. Melalui saluran pernafasan
d. Melalui rambut
9. Insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya dan sering
menyebabkan keracunan pada orang adalah … .
a. Senyawa arsenat
b. Karbamat
c. Organofosfat
d. Organoklorin
10. Di bawah ini adalah fungisida berdasarkan fungsi kerjanya, kecuali ... .
a. Fungisidal
b. Fungistatik
c. Protektan
d. Genestatik
11. Insektisida yang mudah menguap menjadi gas dan masuk ke dalam tubuh
serangga melalui sistem pernafasan atau sistem trakhea yang kemudian
diedarkan ke seluruh jaringan tubuh dinamakan … .
a. Fumigan
b. Racun kontak
c. Piretroid Sintetik
d. Dust
e. Granules
12. Formulasi berupa bubuk kering yang dapat larut dan mengandung 75-
95% bahan aktif merupakan formulasi insektisida ... .
a. Flowable powder
b. Soluble powder
c. Fumigan
d. Dust
e. Slow Release Formulations
13. Suatu formulasi menggabungkan bahan yang dapat dimakan hama atau
yang menarik hama dengan insektisida agar meningkatkan efektivitas
perlakuan disebut dengan … .
a. Piretroid Sintetik
b. Racun perut
c. Poisonous Baits
d. Slow Release Formulations
e. Granules
14. Berikut ini merupakan insektisida berdasarkan susunan kimia bahan
aktifnya, kecuali … .
a. Organochlorin
b. Organophosphate
c. Carbamat
d. Fumigan
e. Pirethroid Sintetik
15. Dibawah ini bukan merupakan keunggulan dari Pirethroid sintetik adalah
... .
a. Memiliki pengaruh knock down
b. Mematikan serangga dengan cepat
c. Tingkat toksisitas rendah bagi manusia
d. Dapat di produksi secara masal (pabrik)
e. Berasal dari alam

B. URAIAN
1. Apakah yang dimaksud dengan resistensi insektisida dan resistensi
herbisida?
2. Sebutkan keuntungan dan kerugian dalam penggunaan herbisida!
3. Jelaskan keuntungan yang diperoleh dari penggunaan fungisida menurut
Djodjosumarto!
4. Jelaskan yang dimaksud dengan Multisite Inhibitor!
5. Bagaimana keunggulan dan kekurangan dari penggunaan insektisida
slow release formulations?
LAMPIRAN
KUNCI JAWABAN

A. PILIHAN GANDA
1. C. Insektisida Fungi
2. A. 1930an
3. B. Pre Emergence
4. E. 2,4-D
5. C. Aditif, Antagonis, dan Sinergis
6. B. Fungisida
7. A. Fungisida Sistemik
8. D. Melalui rambut
9. C. Organofosfat
10. C. Protektan
11. A. Fumigan
12. B. Soluable powder
13. C. Poisonous Baits
14. D. Fumigan
15. E. Berasal dari alam
B. URAIAN
1. Resistensi insektisida merupakan suatu kenaikan proporsi individu dalam
populasi yang secara genetik memiliki kemampuan untuk tetap hidup
meski terpapar satu atau lebih senyawa insektisida. Sedangkan, resistensi
herbisida didefinisikan sebagai ketahanan gulma terhadap herbisida
dengan dosis yang jauh lebih besar dari yang biasa digunakan.
2. Keuntungan dam kerugian penggunaan Herbisida
b. Keuntungan Penggunaan Herbisida
1) Dapat menggendalikan gulma sebelum mengganggu.
2) Dapat mencegah kerusakan perakaran tanaman
3) Lebih efektif membunuh gulma tahunan dan semak belukar
4) Dapat menaikkan hasil panen tanaman dibandingkan dengan
perlakuan penyiangan biasa.
c. Kerugian Penggunaan Herbisida
1) Menimbulkan species gulma yang resisten, akibat penggunaan
yang terus menerus dari satu jenis herbisida di dalam suatu
lahan, maka akan terjadi perubahan dominansi dalam komunitas
gulma dari jenis-jenis yang peka menjadi jenis-jenis yang
toleran.
2) Menimbulkan polusi dan residu yang dapat meracuni tanaman.
3. Adapun keuntungan yang diperoleh dari penggunaan fungisida menurut
Djodjosumarto adalah:
a. Mudah diaplikasikan
b. Memerlukan sedikit tenaga kerja
c. Penggunaanya praktis
d. Jenis dan ragamnya bervariasi
e. Hasil pengendalian tuntas
4. Multisite inhibitor adalah fungisida yang bekerja menghambat beberapa
proses metabolisme cendawan. Sifatnya yang multisite inhibitor ini
membuat fungisida tersebut tidak mudah menimbulkan resistensi
cendawan. Fungisida yang bersifat multisite inhibitor (merusak di banyak
proses metabolisme) ini umumnya berspektrum luas. Contoh bahan
aktifnya adalah maneb, mankozeb, zineb, probineb, ziram, thiram.
5. Keunggulan : pengaruh insektisida dapat diperpanjang dan tidak sering
diadakan pengulangan perlakuan agar dapat lebih menghemat biaya.
Kekurangan : memperpanjang acanaman dan bahaya bagi serangga yang
bermanfaat seperti lebah madu dan imago parasitoid dan predator.
MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN
LOGAM BERAT DAN DAYA KERJA
Untuk memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Toksikologi Lingkungan
Dosen Pengampu: Dr. Pranoto, M.Sc.

Disusun Oleh:

1. Betty Nurhayati (M0313014)


2. Era Putri Anandita (M0314028)
3. Eric Bestono (M0314029)
4. Faisal Atif Fawazeni (M0314031)
5. Ilham Tri Utomo (M0314043)
6. Tika Diah Utami (M0314073)

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya, makalah dengan judul
“Logam Berat dan Daya Kerja” ini dapat diselesaikan dengan baik. Dalam
penyusunan makalah ini, kami mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, diucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Pranoto selaku Dosen mata kuliah Toksikologi Lingkungan


Program Studi Kimia FMIPA UNS.
2. Teman-teman yang telah memberikan saran dan bantuan dalam
penyusunan makalah ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai logam berat dan daya kerjanya. Kami
juga menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan
makalah ini, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membaca. Sebelumnya mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan mohon kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan di masa depan.

Surakarta, 11 Oktober 2017

Tim Penyusun

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1


B. Perumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan ......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3

A. Logam Berat ................................................................................................. 3


B. Efek Logam Berat Terhadap Kesehatan Manusia ........................................ 5
C. Sumber Pencemaran Logam Berat di Lingkungan ...................................... 10
D. Daya Kerja Toksikan dalam Metabolisme Manusia .................................... 13
E. Bahan Toksik dalam Makanan, Produk Konsumen dan Industri Kerajinan 17

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 21

A. Kesimpulan .................................................................................................. 21
B. Saran ............................................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 22

LAMPIRAN ...................................................................................................... 24

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran LATIHAN SOAL ............................................................................. 25


Lampiran KUNCI JAWABAN .......................................................................... 30

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Peningkatan kegiatan pembangunan dan kegiatan manusia dalam kegiatan


industri dan kehidupan sehari-hari dewasa ini semakin pesat, yang semuanya
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Walaupun demikian
kemajuan yang dicapai tidak pernah terlepas dari risiko negatif yang
berpengaruh terhadap perubahan lingkungan melalui pencemaran yang pada
akhirnya akan berdampak pada manusia. Perkembangan industri sangat didukung
oleh kemajuan teknologi. Teknologi akan mempermudah pekerjaan manusia
sebagai pelaksana kegiatan industri, dan menjadi daya dukung yang dominan
bagi dunia industri. Namun perkembangan dunia industri tersebut kadang kurang
didukung dengan kesadaran akan efek dari kegiatan industri tersebut. Salah satu
dampak dari aktivitas tersebut adalah limbah, baik berupa limbah cair maupun
padat yang seperti limbah dari kegiatan industri. Contohnya seperti kegiatan
industi kerajinan.

Limbah biasanya dapat berasal dari industri maupun rumah tangga yang
melibatkan unsur-unsur logam seperti Timbal (Pb), Arsen (As), Kadmium (Cd),
Merkuri (Hg), Krom (Cr), Nikel (Ni), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), dan
Cuprum (Cu). Limbah tersebut umumnya merupakan limbah yang tidak dapat
atau sulit didegradasi oleh mikroorganisme, sehingga akan terjadi akumulasi.

Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai logam
berat, efek logam berat terhadap kesehatan manusia, pencemaran logam berat,
sumber asal pencemaran logam di lingkungan, daya kerja toksikan dalam
metabolisme manusia, bahan toksik dalam makanan dan produk konsumen, dan
bahan kimia dalam industri kerajinan.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Apa itu logam berat dan bagaimana efek logam berat terhadap kesehatan
manusia?
2. Bagaimana pencemaran logam berat dan sumber asal pencemaran logam
di lingkungan?
3. Bagaimana daya kerja toksikan dalam metabolisme manusia?
4. Apa saja bahan toksik dalam makanan, produk konsumen dan bahan kimia
dalam industri kerajinan?

C. TUJUAN

Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui definisi logam berat dan efek logam berat terhadap
kesehatan manusia.
2. Untuk mengetahui pencemaran logam berat dan sumber asal pencemaran
logam di lingkungan.
3. Untuk mengetahui daya kerja toksikan dalam metabolisme manusia.
4. Untuk mengetahui bahan toksik dalam makanan, produk konsumen dan
bahan kimia dalam industri kerajinan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. LOGAM BERAT
Logam berat merupakan unsur logam yang memiliki densitas lebih besar
dari 5 g/cm3dalam air laut, logam berat terdapat dalam bentuk terlarut dan
tersuspensi. Dalam keadaan kondisi alam ini, logam berat dibutuhkan oleh
organisme untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya (Philips, 1980dan
Effendi, 2000). Peningkatan kadar logam berat dalam air sungai umumnya
disebabkan oleh masuknya limbah industri, pertambangan, pertanian dan
dosmetik yang banyak mengandung logam berat. Peningkatan kadar logam berat
dalam air akan mengakibatkan logam berat yang awalnya dibutuhkan untuk
berbagai proses metabolisme akan berubah menjadi racun bagi organisme akuatik.
Menurut Nordberg., et al. (1986) logam berat jika sudah terserap ke dalam
tubuh maka tidak dapat dimusnakan tetapi akan tetap tinggal di dalam tubuh
hingga nantinya dibuang melalui proses ekskresi. Hal serupa juga terjadi apabila
suatu lingkungan terutama di perairan telah terkontaminasi logam berat maka
untuk proses pembersihannya akan sulit sekali untuk dilakukan. Kontaminasi
logam berat ini dapat berasald ari faktor alam seperti kegiatan vulkanik atau
gunung berapi dan kebakaran hutan atau faktor manusia seperti pembakaran
bahan bakar berupa minyak bumi, pertambangan, peleburan, proses kegiatan
industri, kegiatan pertanian, peternakan, dan kehutanan, serta limbah buangan
termasuk sampah rumah tangga.
Logam berat umumnya bersifat racun terhadap makhluk hidup, walaupun
beberapa diantaranya diperlukan dalam jumlah kecil. Melalui berbagai perantara,
seperti udara, makanan, maupun air yang terkontaminasi oleh logam berat. Logam
berat tersebut mampu terdistribusi ke bagian tubuh manusia dan sebagian akan
terakumulasikan. Jika keadaan ini berlangsung terus-menerus, dalam jangka
waktu lama dapat mencapai jumlah yang membahayakan kesehatan manusia
(Yatim, 1979).

Logam-logam berat yang berbahaya yang sering mencemari lingkungan


antara lain merkuri (Hg), timbal (Pb), arsenik (As), kadmium (Cd), kromium (Cr),
dan nikel (Ni). Logam-logam berat tersebut diketahui dapat terakumulasi di dalam
tubuh suatu mikroorganisme, dan tetap tinggal dalam jangka waktu lama sebagai
racun. Peristiwa yang menonjol dan dipublikasikan secara luas akibat pencemaran
logam berat adalah pencemaran merkuri (Hg) yang menyebabkan Minamata
desease di teluk Minamata, Jepang dan pencemaran kadmium (Cd)
yangmenyebabkan Itai-itai disease di sepanjang sungai Jinzo di Pulau Honsyu,
Jepang (Darmono, 1995).
Merkuri (Hg) adalah unsure renik pada kerak bumi hanya sekitar 0,08
mg/l dan hanya ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil dalam perairan alami.
Kadar merkuri pada perairan tawar alami berkisar antara 10- 100 nanogram/liter
(Moore, 1991 dan Effendi 200). Merkuri merupakan satu-satunya logam yang
berada dalam bentuk cairan dalam suhu normal. Merkuri terdapat di alam dalam
bentuk logam, garam anorganik dan garam organik. Dalam bentuk garam
anorganik merkuri dapat menyebabkan kerusakan hati dan ginjal. Komponen
merkuri yang paling berbahaya adalah metil-merkuri (merkuri organik), yang
dapat menyebabkan kematian kelainan syaraf yang tidak dapat diperbaiki dan
kelainan genetika. Apabila dibandingkan dengan komponen merkuri lainnya,
komponen metal merkuri mempunyai kemungkinan paling rendah terkontaminasi
dalam tubuh manusia dan paling lambat diekskresikan (Supriharyono, 2000).
Menurut Vouk (1986) yang mengatakan bahwa terdapat 80 jenis dari 109
unsur kimia di muka bumi ini yang telah teridentifikasi sebagai jenis logam berat.
Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat ini dapat dibagi dalam dua
jenis, yaitu.
1. Jenis pertama adalah logam berat esensial, di mana keberadaannya
dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun
dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh
logam berat ini adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn dan lain sebagainya.

2. Jenis kedua adalah logam berat tidak esensial atau beracun, di mana
keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau
bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain.
Logam berat ini dapat menimbulkan efek kesehatan bagi manusia
tergantung pada bagian mana logam berat tersebut terikat dalam tubuh. Daya
racun yang dimiliki akan bekerja sebagai penghalang kerja enzim, sehingga
proses metabolisme tubuh terputus. Lebih jauh lagi, logam berat ini akan
bertindak sebagai penyebab alergi, mutagen, teratogen atau karsinogen bagi
manusia. Jalur masuknya adalah melalui kulit, pernapasan dan pencernaan.
Niebor dan Richardson menggunakan istilah logam berat untuk
menggantikan pengelompokan ion-ion logam ke dalam kelompok biologi dan
kimia (bio-kimia). Pengelompokan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Logam-logam yang dengan mudah mengalami reaksi kimia bila
bertemu dengan juga dengan unsur oksigen atau disebut juga dengan
oxygen-seeking metal.
2. Logam-logam yang dengan mudah mengalami reaksi kimia bila
bertemu dengan unsur nitrogen dan atau unsur belerang (sulfur) atau
disebut juga nitrogen/sulfur seeking metal.
3. Logam antara atau logam transisi yang memiliki sifat khusus sebagai
logam pengganti (ion pengganti) untuk logam-logam atau ion-ion
logam.
Menurut Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
(1990) sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokan ke dalam 3 kelompok,
berikut.
a. Bersifat toksik tinggi yang terdiri dari atas unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn.

b. Bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co.

c. Bersifat tosik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe.

B. EFEK LOGAM BERAT TERHADAP KESEHATAN MANUSIA

Bahaya logam berat merupakan reaksi kimia yang terjadi ketika tubuh
terpapar atau terkontiminasi zat yang bersifat racun dalam intensitas
tertentu. Logam berat hakikatnya ada disekitar kita tetapi tidak banyak orang yang
menyadari jika logam berat dapat mudah masuk dalam tubuh dan memicu
munculnya kelainan dan keluhan penyakit berbahaya didalam jaringan tubuh.
Logam berat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu logam berat esensial dan logam
berat yang tidak esensial. Di bawah ini adalah beberapa logam berat yang
berpengaruh terhadap kesehatan manusia (Widowati dkk, 2008).

1. Arsen (As)

Logam berat jenis arsen terdapat pada makanan hasil laut misalnya
kepiting, kerang, lobster, cumi-cumi dan sebagainya. Namun tidak
menutup kemungkinan bahaya logam berat banyak terdapat pula pada
kemasan produk makanan yang menggunakan Poly Vinyl Chloride (PVC)
dan zat syrofoam. Bahaya yang ditimbulkan : zat poly vinyl chloride dan
syrofoam jika masuk dalam tubuh dalam jumlah yang berlebihan dapat
menyebabkan zat tersebut menjadi racun bernama arsen yang
menyebabkan munculnya kanker paru dan hati, kerusakan ginjal,
kerusakan lambung dan sakit kerongkongan.

2. Timbal (Pb)

Timbal merupakan logam berat yang mudah terakumulasi dalam


jumlah tak terbatas pada tanaman jenis rerumputan misalnya padi, gandum
dan sebagainya. Ketika tanah pertanian berada dekat dengan industri yang
membuang limbahnya sembarangan maka cepat atau lambat bahaya logam
berat berupa dampak bahaya keracunan timbal bagi kesehatan tubuh
manusiaakan mudah terjadi melalui tanah pertanian atau tanah penduduk.
Jika tanah serta air dalam lokasi pertanian ternyata tercemar bahan timbal
dalam konsentrasi yang tinggi maka yang akan terjadi adalah hasil panen
melimpah dengan kondisi gizi yang telah mengandung racun. Bahaya
logam berat yang ditimbulkan : timbal menyebabkan seseorang terserang
keracunan yang diawali dengan gejala sakit perut, sakit kepala, tubuh
limbung, kejang kejang, tekanan darah menurun, muntah muntah,
terserang diare bahkan pingsan mendadak.

3. Tembaga (Cu)

Sayuran dan buah buahan yang ketika dalam perawatan mendapat


penyemprotan obat hama pestisida secara teratur dengan dosis yang tinggi
sampai panen maka sayuran atau buah yang dipanen akan terpapar oleh
pestisida dimana pestisida berpotensi besar sebagai bahaya logam berat
bagi hasil pertanian atau perkebunan karena terbukti didalamnya
terkandung zat racun bernama tembaga (Cu). Bahaya yang
ditimbulkan:logam berat tembaga yang masuk dan mengendap dalam
tubuh manusia dalam intensitas yang sangat tinggi dapat menimbulkan
alergi gatal dan kemerahan yang tidak mudah disembuhkan, dapat
merusak plasenta bayi pada ibu hamil dan iritasi gastrointestinal akut.

4. Merkuri (Hg)

Merkuri banyak mengendap dan berakumulasi pada tanah bekas


atau lokasi penambangan yang masih aktif beraktifitas.Tambang yang
dimaksud adalah nikel, emas dan sebagainya.Tanah , bebatuan dan air
disekitar penambangan akan terpapar dan tercemar merkuri dalam jumlah
yang besar dan mampu mencemari lingkungan penduduk yang memiliki
jarak dalam radius 1 kilometer dari pusat penambangan. Bahaya logam
berat merkuri terdapat pula pada bahan dasar pembuatan kosmetik sebagai
pemutih kulit. Bahaya yang ditimbulkan:merkuri dapat merusak saraf saraf
tubuh termasuk otak, menyebabkan kemunduran intelegency (kecerdasan),
merusak jaringan kulit paling dalam, mengiritasi organ tubuh, merusak
dinding pembuluh arteri dan aliran darah serta menghancurkan pigmen
dipermukaan kulit sehingga kulit dapat berubah warna menjadi gelap dan
iritasi.

5. Nikel (Ni)

Logam nikel bersifat kuat, keras, liat , berwarna putih keperakaan


namun sebagian besar memiliki senyawa yang berwarna kehijauan dan
kebiruan. Logam nikel dapat larut dalam air asin (laut) , didalam tanah,
terdapat pada tumbuhan terutama kacang kacangan dan banyak pula
terdapat pada daun teh kering. Adanya logam berbahaya ini melekat pada
tumbuhan dikarenakan tanah telah terkontiminasi dengan limbah logam
nikel.Bahaya logam berat jenis nikel yaitu ketika tumbuhan telah
mengamukulasi logam nikel yang ada didalam tanah secara bertahap maka
dalam tempo kurang dari satu bulan sejak penyebaran logam nikel akibat
telah berdiri indiustri yang membuang limbahnya maka akan berpotensi
besar berpindah pada tubuh manusia sesaat setelah mengkonsumsinya.
Paparan logam nikel yang berbahaya bagi kesehatan jaringan tubuh dapat
terdapat pada udara yang kotor termasuk rokok.Bahaya yang ditimbulkan
:jika jumlah nikel terlalu banyak didalam tubuh dan tidak mampu di
keluarkan oleh hati melalui urin, buang air besar dan keringat secara
normal maka logam nikel dapat menyebabkan kerusakan paru-paru dan
munculnya sel abnormal didalam DNA yang dapat berubah menjadi sel
kanker. Hal tersebut disebabkan jika terlalu banyak zat logam nikel
didalam tubuh maka fungsi hati menjadi mengalami penurunan dan
kelainan.

6. Seng (Zn)

Seng atau timah sari adalah logam yang bersifat mudah mencair
pada suhu yang rendah. Logam seng mempunyai warna putih kebiruan dan
berkilaun . Seng merupakan salah satu unsur alam yang paling banyak
dipermukaan kerak bumi dan yang paling banyak dicari didalam proses
penambangan yaitu jenis sfalerit (seng sulfida). Logam seng dapat
mengendap dan menyebar didalam tanah dan meracuni tanaman pangan
atau tanaman buah-buahan yang jika masuk dalam tubuh manusia akan
merugikan kesehatan. Bahaya Logam berat jenis seng juga sering muncul
karena dijadikan pelat seng yang biasa digunakan untuk keperluan bahan
bangunan yang tanpa sengaja terhirup atau memuai karena terkena udara
yang panas atau suhu tinggi.Bahaya yang ditimbulkan :mengkonsumsi
makanan yang mengandung zat logam seng dapat menyebabkan tubuh
sangat lemah, daya tahan tubuh menurun, mudah terkena flu dan
mempercepat penularan penyakit dari orang lain, terserang ataksia dan
serangan defisiensi logam seng.

7. Kadmium (Cd)

Logam jenis kadmium termasuk logam yang lunak dan berwarna


putih keperakan yang berkilau yang biasanya digunakan dalam pembuatan
cat, stabilisator PVC, pembuatan alloys dengan titik lebur paling rendah,
pembuatan timah hitam, industri pembuatan batu batere, untuk pengatur
dan menstabilkan pembelah reaksi nuklir dan lain lain. Jika ada
pembuangan limbah industri jenis kadmium selama bertahun tahun dan
mengenai dasar tanah serta bebatuan disekitarnya maka alam sekitarnya
akan terkontiminasi dan mengakumulasi menjadi racun yang berbahaya
bagi struktur dan kesuburan tanah, Tanaman yang ditanam dan air yang
ada didalam tanah. Jika diuji dipenelitian zat logam berbahaya ternyata
sampel tanah mengandung kadmium dibawah 1 ppm maka tanah dan air
didekat lokasi penambangan kadmium dapat benar-benar telah
terakumukasi racun dari limbah logam tersebut. Bahaya yang ditimbulkan
: bahaya logam berat jenis kadmium yaitu jika tubuh terpapar logam jenis
kadmium dalam kadar yang sangat banyak dan jangka panjang maka dapat
menyebabkan kerusakan hati, paru paru, ginjal dan kelainan pada
pembuluh darah.

8. Berilium (Be)

Be bersifat toksik pada manusia melalui paparan inhalasi, kontak


kulit, kontak mata, dan melalui makanan dan minuman (peroral). Paparan
Be per oral mengakibatkan toksisitas lebih rendah dibandingkan inhalasi.
Paparan per oral mengakibatkan sebagian Be tidak diabsorpsi dan
diekskresi melalui feses. Paparan inhalasi Be bersifat akut, subkronik, dan
kronik. Bahaya yang ditimbulkan : efek toksik akut berupa pneumonitis
atau granuloma paru-paru. Target toksisitas paparan subkronik Be adalah
system pernapasan, sedangkan efek inhalasi kronis berupa beriliosis
kronis, dengan gejala batuk, gangguan pernapasan dan penurunan berat
badan, cepat lelah, kesulitan bernapas, dan kelelahan. Paparan Be lewat
kulit bisa mengakibatkan peradangan kulit, gatal-gatal, kemerahan,
pembengkakan kulit, dan kulit bernanah. Be juga bersifat karsinogenik
terutama kanker paru-paru.

9. Kromium (Cr)

Kromium (Cr) adalah logam berat melimpah yang terdapat di alam


dengan bentuk oksida, yaitu (Cr(0), Cr(III), dan Cr(IV), Cr(III) merupakan
mikronutrien bagi makhluk hidup yang terlibat dalam produksi insulin,
menghasilkan energi dari glukosa, metabolisme karbohidrat, kofaktor
insulin, tetapi bersifat toksik dalam dosis besar. Bahaya yang ditimbulkan
: defesiensi Cr(III) bisa mengganggu metabolisme glukosa, lemak, dan
protein serta mengganggu pertumbuhan.Cr(IV) bersifat karsinogenik
terhadap alat pernafasan, dan toksik terhadap kulit, mata, alat pernapasan,
alat pencernaan serta bisa ditransfer ke embrio melalui plasenta.

10. Mangan (Mn)

Mn merupakan mikronutrien esensial bagi manusia, tanaman dan


hewan. Bahaya yang ditimbulkan: toksisitas Mn bisanya terjadi melalui
paparan inhalasi dengan gejala gangguan permanen sistem syaraf
ekstrapiramidal, gangguan kejiwaan serta sirosis hati.

11. Selenium (Se)

Se merupakan mikrounsur esensial bagi manusia dan


hewan.Defisiensi Se pada manusia mengakibatkan gangguan mental,
meningkatkan resiko terserang kanker, penyakit jantung, penuaan, dan
berbagai penyakit karena kelemahan sistem imunitas. Bahaya yang
ditimbulkan : toksisitas kronis pada manusia menunjukkan gejala gigi
pucat, kekeringan kulit, gangguan gastrointestinal, kerusakan hati dan
empedu, anemia dan gangguan sistem syaraf. Toksisitas akut berupa mual,
muntah, sakit perut gangguan fungsi hati, sakit/nyeri otot, perubahan
kimia darah yang meliputi peningkatan kadar Hb dan hematokrit.

C. SUMBER ASAL PENCEMARAN LOGAM BERAT DI LINGKUNGAN

1. Arsen (As)

Sumber pencemaran arsen dalam lingkungan pembakaran batubara dan


pelelehan logam merupakan sumber utama pencemaran arsen dalam udara.
Pencemaran arsen terdapat di sekitar pelelehan logam (tembaga dan timah hitam).
Arsen merupakansalah satu hasil sampingan dari proses pengolahan bijih logam
non-besi terutama emas, yang mempunyai sifat sangat beracun. Ketika tailing dari
suatu kegiatan pertambangan dibuang di dataranatau badan air, limbah unsur
pencemar kemungkinan tersebar di sekitar wilayah tersebut dan
dapatmenyebabkan pencemaran lingkungan. Bahaya pencemaran lingkungan ini
terbentuk jika tailing yangmengandung unsur tersebut tidak ditangani secara tepat.
Tingginya tingkat pelapukan kimiawi dan aktivitas biokimia pada wilayah tropis,
akan menunjangpercepatan mobilisasi unsur-unsur berpotensi racun. Selanjutnya
dapat memasuki sistem air permukaanatau merembes ke dalam akifer-akifer air
tanah setempat. Ini terjadi di negara-negara yang memproduksi emas dan logam
dasar (Herman, D.Z. 2006). Sumber pencemaran arsen juga dapat berasal dari
faktor berikut ini.
1. Pembakaran kayu yang diawetkan oleh senyawa arsen pentavalen, dapat
menaikkan kadar arsen diudara.
2. Pusat listrik tenaga panas bumi (geothermal) yang dapat menyebabkan
kontaminasi arsen pada udara ambient. Pupuk yang di dalamnya mengandung
arsen.

2. Timbal (Pb)

Penggunaan Pb dalam industri kimia cukup luas antara lain, dalam


industri bateri, industri keramik, industri cat. Selain itu meningkatnya
konsentrasi Pb di udara dapat berasal dari hasil pembakaran bahan bakar
bensin dalam berbagai senyawa Pb terutama PbBrCl dan PbBrCl.2PbO.
Senyawa Pb halogen terbentuk selama pembakaran bensin, karena dalam
bensin yang sering ditambahkan cairan anti letupan (anti ketok) yang
terdiri dari 62% TEL, 18% etildiklorida dan 2% bahan-bahan lainnya.
Senyawa yang berperan sebagai zat anti ketok adalah timbal oksida.
Timbal oksida ini terdapat dakam partikel-partikel yang tersebar dalam
ruang bakar bensin. Senyawa Pb sukar larut dalam air tetapi mudah larut
dalam minyak atau lemak (Fardiaz, 1992).

3. Merkuri (Hg)

Sumber utama Merkuri (Hg) di atmosfer adalah penguapan Hg dari


tanah dan air, disamping itu pembakaran "fossil-fuels" terutama batu bara.
Kadar Hg diudara akan naik dapat disebabkan oleh pembuangan sampah
padat seperti termo meter Hg, switch listrik, dan battery juga pemakaian
cat yang mengandung Hg, anti jamur dan pestisida serta
pembakaran limbah minyak. Sumber utama pada air adalah dari buangan
industri (terutama industri tambangemas) dan proses pelapukan batuan
karena pengaruh iklim. Pencemaran Hg yang pernah diidentifikasi
bersumber dari pabrik plastik dengan bahan baku vinylklorida dan
asetaldehida. Industri penambangan logam, industri biji besi, termasuk
metal plating, industri yang memproduksi bahan kimia, baik organik
maupun anorganik, dan offshore dumping sampah domestik, lumpur dan
lain-lain

4. Cadmium (Cd)

Tahun 1947, masyarakat Jepang yang berdiam di pinggiran sungai


Jintsu, Toyama, juga terjangkit penyakit yang aneh semacam penyakit
rematik. Biasanya penyakit nyeri tulang ini disebut penyakit ita ita. Tahun
1968 setelah para ahli melakukan penelitian diketahui bahwa penyakit ini
disebabkan oleh racun limbah logam Cadmium (Cd) dari Perusahaan
Tambang Mitsui dan Perusahaan Pemisahaan Logam Kamioka. Racun
Cadmium (Cd) awalnya dimulai dengan perubahan warna kuning pada
gigi, kemudian diikuti gangguan pada rongga hidung, bersin, hilangnya
indra penciuman, dan mulut menjadi kering. Tanda-tanda yang paling khas
dari penyakit ini adalah nyeri pada punggung dan otot kaki. Logam berat
Cadmium paling banyak dalam bentuk Cd bervalensi H, yang berikatan
dengan gugus anorganik (halida, oksida, sulfida). Cadmium (Cd) dengan
gugusan karbonat, sulfida dan hidroksida mempunyai kelarutan yang
sangat rendah sehingga Cadmium (Cd) di lingkungan perairan banyak
terdapat dalam sedimen. Cadmium (Cd) biasanya dihasilkan sebagai
produk industri seng dan keperluan industri tambang lainnya dan dapat
ditemukan pada: (1) endapan sulfid terutama biji seng; (2) endapan biji
timbal dan tembaga; (3) batu bara yang mengandung belerang tinggi.
Gunung berapi merupakan sumber kadmium terbesar secara alami. Dari
pertambangan, kadmium tidak ditambang secara tersendiri, tetapi
merupakan bahan ikutan dari pengolahantambang dan produksi timah
hitam (Pb), Seng (Zn), Kuprum (Cu), batu bara dan minyak (Dewi 2010).
Melalui interaksi dengan rantai makanan akhirnya kadmium yang telah
mencemari lingkungan perairan akan sampai pada manusia.

5. Kromium (Cr)

Logam kromium (Cr) juga beracun bagi manusia. Pengaruh racun ini pada
awalnya juga diketahui di Jepang pada tahun 1960, dimana masyarakat yang
tinggal di daerah sekitar pabrik Kiryama, Nippon-Denko Concern di Pulau
Hokkaido banyak menderita penyakit kanker paru-paru. Awalnya penyakit ini
tidak diketahui penyebabnya, setelah melalui penelitian ternyata penyakit tersebut
diketahui sebagai akibat dari masyarakat menghirup limbah debu Industri tersebut
di atas yang mengandung kromium bervalensi IV (Cr4+) dan (Cr6+).

6. Timbal (Pb)

Timbal (Pb) juga salah satu logam berat yang mempunyai daya toksik yang
tonggo terhadap manusia, karena dapat merusak perkembangan otak pada anak-
anak, menyebabkan penyumbatan sel-sel darah merah, anemia dan mempengaruhi
anggota tubuh lain. Timbal dapat diakumulasi langsung dari air dan dari sedimen
oleh organisme laut. Dewasa ini pelapasan Pb ke atmosfer meningkat tajam akibat
pembakaran minyak dan gas bumi yang turut menyumbang pembuangan Pb ke
atmosfer. Selanjutnta Pb tersebut jatuh ke laut mengikuti air hujan.

D. DAYA KERJA TOKSIKAN DALAM METABOLISME MANUSIA

1. Mekanisme Efek Toksik

Perjalanan zat kimia dalam tubuh diawali dari masuknya zat tersebut
ke dalam tubuh melalui intravaskuler (injeksi IV, intrakardial, intraarteri)
atau ekstravaskuler (oral, inhalasi, injeksi intramuskuler, rektal).
Selanjutnya zat masuk sirkulasi sistemik dan distribusikan keseluruh
tubuh. Proses distribusi memungkinkan zat atau metabolitnya sampai pada
tempat kerjanya (reseptor). Zat kimia ditempat kerjanya atau reseptornya
berinteraksi dan dampaknya menimbulkan efek. Interaksi dari zat kimia
atau metabolitnya yang berlebihan dapat menghasilkan efek toksik. Jadi,
penentu ketoksikan suatu zat kimia adalah sampai nya zat kimia utuh atau
metabolit aktifnya di sel sasaran dalam jumlah yang berlebihan. Pada sisi
lain, zat kimia dapat mengalami metabolisme menjadi senyawa non aktif
dan dieksresikan (eliminasi) yang dapat mengurangi sampainya atau
jumlah zat kimia dalam sel sasarannya. Dengan demikian, timbulnya efek
toksik dipengaruhi juga oleh selisih antara absorbsi dan distribusi dengan
eleminasinya. Jadi toksisitas suatu zat sangat ditentukan oleh absorbsi,
distribusi, metabolisme, dan eksresi.

a. Keracunan Tembaga (Cu) bagi Organisme

Sebagai logam berat, Cu (tembaga) berbeda dengan logam-logam


berat lainnya seperti Hg, Cd, dan Cr. Logam berat Cu digolongkan ke
dalam logam berat di pentingkan atau logam berat esensial, artinya
meskipun Cu merupakan logam berat beracun, unsur logam ini sangat
diperlukan tubuh meski dalam jumlah yang sedikit. Toksisitas yang
dimiliki oleh Cu baru akan bekerja dan memperlihatkan pengaruhnya
bila logam ini telah masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah
besar atau melebihi nilai teloransi organisme terkait. Biota perairan
sangat peka terhadap kelebihan Cu dalam badan perairan tempat
hidupnya. Konsentrasi Cu terlarut yang mencapai 0.01 ppm, akan
mengakibatkan kematian bagi fitoplankton. Hal ini disebabkan daya
racun Cu telah menghambat aktivitas enzim dalam pembelahan sel
fitoplankton. Bentuk tembaga yang paling beracun berupa debu-debu Cu
yang dapat mengakibatkan kematian pada dosis 3,5mg/kg. Pada manusia,
efek keracunan utama ditimbulkan akibat terpapar oleh debu atau uap
logam Cu. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalur
pernafasan sebelah atas, juga kerusakan atropik pada selaput lendir yang
berhubungan dengan hidung. Kerusakan itu merupakan akibat dari
gabungan sifat iritatif yang dimiliki oleh debu atau uap Cu tersebut.
b. Keracunan Oleh Logam Pb

Keracunan yang ditimbulkan oleh persenyawaan logam Pb dapat


terjadi karena masuknya persenyawaan logam tersebut ke dalam tubuh.
Proses masuknya Pb ke dalam tubuh dapat melalui beberapa jalur, yaitu
melalui makanan dan minuman, udara, dan perembesan atau penetrasi
pada selaput atau lapisan kulit.

Senyawa Pb yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan


minuman akan diikutkan dalam proses metabolisme tubuh. Namun
demikian jumlah Pb yang masuk bersama makanan dan minuman ini
masih mungkin ditolerir oleh lambung disebabkan asam lambung (HCl)
mempunyai kemampuan untuk menyerap logam Pb. Tetapi walaupun
asam lambung mempunyai kemampuan untuk menyerap keberadaan
logam Pb ini, pada kenyataannya Pb lebih banyak dikeluarkan oleh tinja.

Pada jaringan dan organ tubuh, logam Pb akan terakumulasi pada


tulang, karena logam ini dalam bentuk ion (Pb2+) mampu menggantikan
keberadaan ion Ca2+ (kalsium) yang terdapat dalam jaringan tulang. Di
samping itu, pada wanita hamil logam Pb dapat melewati plasenta dan
kemudian akan ikut masuk dalam sistem peredaran darah janin dan
selanjutnya setelah bayi lahir, Pb akan dikeluarkan bersama air susu.

Senyawa Pb organik umumnya masuk ke dalam tubuh melalui jalur


pernafasan atau penetrasi melewati kulit. Penyerapan lewat kulit ini dapat
terjadi karena senyawa ini dapat larut dalam minyak dan lemak. Senyawa
seperti tetraetil-Pb, dapat menyebabkan keracunan akut
pada sistem syaraf pusat, meskipun proses keracunan tersebut terjadi
dalam waktu yang cukup panjang dengan kecepatan penyerapan yang
kecil.

Pada pengamatan yang dilakukan terhadap para pekerja yang


bekerja menangani senyawa Pb, tidak ditemukan keracunan kronis yang
berat. Gejala keracunan kronis ringan yang ditemukan berupa insomnia
dan beberapa macam gangguan tidur lainnya, sedangkan gejala pada
kasus keracunan akut ringan berupa penurunan tekanan darah dan berat
badan. Keracunan akut yang cukup berat dapat mengakibatkan koma
bahkan kematian. Meskipun jumlah Pb yang diserap oleh tubuh hanya
sedikit, logam ini ternyata menjadi sangat berbahaya. Hal itu disebabkan
senyawa-senyawa Pb dapat memberikan efek racun terhadap fungsi
organ yang tedapat dalam tubuh.

Keracunan yang disebabkan oleh keberadaan logam Pb dalam


tubuh mempengaruhi banyak jaringan dan organ tubuh. Organ-organ
tubuh yang banyak menjadi sasaran dari peristiwa keracunan logam Pb
diantaranya. sistem syaraf, sistem ginjal, sistem reproduksi, sistem
endokrin, dan jantung. Setiap bagian yang diserang oleh racun Pb akan
memperlihatkan efek yang berbeda-beda.

c. Keracunan Merkuri

Keracunan yang disebabkan oleh merkuri ini, umumnya berawal


dari kebiasaan memakan makanan dari laut, terutama sekali ikan, udang,
dan tiram yang telah terkontaminasi oleh merkuri. Awal peristiwa
kontaminasi merkuri terhadap biota laut dimulai dengan masuknya
buangan industri yang mengandung merkuri ke dalam perairan teluk
(lautan). Selanjutnya dengan adanya proses biomagnifikasi yang bekerja
di lautan, konsentrasi merkuri yang masuk akan terus ditingkatkan.
Setelah itu, merkuri akan berasosiasi dengan system rantai makanan,
sehingga masuk ke dalam tubuh biota perairan dan ikut termakan oleh
manusia bersama makanan yang diambil dari perairan yang tercemar
oleh merkuri. Di samping itu, merkuri juga masuk bersama bahan
makanan pokok seperti gandum dan beras yang telah diberi senyawa
merkuri pada waktu pembibitan dan penyemaian.

d. Keracunan kadmium (Cd)


Keracunan yang disebabkan oleh Cd dapat bersifat akut dan
keracunan kronis. Keracunan akut yang disebabkan oleh Cd, sering terjadi
pada pekerja di industri-industri yang berkaitan dengan logam. Peristiwa
keracunan akut ini dapat terjadi karena para pekerja tersebut terkena
paparan uap logam Cd atau CdO. Gejala-gejala keracunan akut yang
disebabkan oleh logam Cd dapat berupa timbulnya rasa sakit dan panas
pada bagian dada. Akan tetapi gejala keracunan itu tidak langsung muncul
begitu si penderita terpapar oleh uap logam Cd ataupun CdO. Gejala
keracunan akut ini muncul setelah 4-10 jam sejak si penderita terpapar
oleh uap logam Cd. Akibat dari keracunan logam Cd ini, dapat
menimbulkan penyakit paru-paru yang akut. Penyakit paru-paru akut ini
dapat terjadi bila penderita terpapar oleh uap Cd dalam waktu 24 jam.
Selain itu, keracunan akut yang disebabkan oleh uap Cd atau CdO dapat
menimbulkan kematian bila konsentrasi yang mengakibatkan keracunan
tersebut berkisar dari 2500 sampai 2900 mg/m3.Keracunan yang bersifat
kronis ini membawa akibat yang buruk dan lebih menakutkan bila
dibandingkan dengan keracunan akut. Pada keracunan kronis yang
disebabkan oleh Cd, umumnya berupa kerusakan-kerusakan pada banyak
sistem fisiologis tubuh. Sistem-sistem tubuh yang dapat dirusak oleh
keracunan kronis logam Cd ini diantaranya, pada sistem urinaria (ginjal),
sistem respirasi (pernafasan / paru-paru), sistem sirkulasi (darah) dan
jantung. Di samping semua itu, keracunan kronis tersebut juga merusak
kelenjar reproduksi, sistem penciuman bahkan dapat mengakibatkan
kerapuhan pada tulang.

2. Jalur Masuk Toksik

Jalur masuk bahan kimia ke dalam tubuh berbeda menurut situasi paparan.
Metode kontak dengan racun melalui cara berikut.
a. Tertelan
Efeknya bisa lokal pada saluran cerna dan bisa juga sistemik.
Contoh kasus: overdosis obat, pestisida.
b. Topikal (melalui kulit)
Efeknya iritasi lokal, tapi bisa berakibat keracunan sistemik. Kasus
ini biasanya terjadi di tempat industri. Contoh: soda kaustik,
pestida organofosfat.
c. Topikal (melalui mata)
Efek spesifiknya pada mata dan bisa menyebabkan iritasi lokal.
Contoh : asam dan basa, atropin.
d. Inhalasi
Iritasi pada saluran nafas atas dan bawah, bisa berefek pada absopsi
dan keracunan sistemik. Keracunan melalui inhalasi juga banyak
terjadi di tempat-tempat industri. Contoh : atropin, gas klorin, CO
(karbon monoksida).
e. Injeksi
Efek sistemik, iritasi lokal dan bisa menyebabkan nekrosis. Masuk
ke dalam tubuh bisa melalui intravena, intramuskular, intrakutan
maupun intradermal.

E. BAHAN TOKSIK DALAM MAKANAN, PRODUK KOMSUMEN DAN


INDUSTRI KERAJINAN
1. Bahan Toksik dalam Produk Konsumen

Produk konsumen adalah produk-produk yang dibeli konsumen akhir, baik


individu maupun rumah tangga, untuk memenuhi kebutuhan personal (Simamora,
2001). Dewasa ini banyak ditemukan produk konsumen mengandung bahan
toksik. Bahan toksik adalah bahan kimia yang dapat menyebabkan bahaya
terhadap kesehatan manusia atau menyebabkan kematian apabila terserap ke
dalam tubuh. Meningkatnya penggunaan senyawa kimia berbahaya pada produk
konsumen mengakibatkan gangguan kesehatan dan merusak lingkungan (Pohan,
2014).
Salah satu bahan toksik dalam produk konsumen adalah logam berat.
Toksisitas logam berat dalam tubuh manusia dapat terjadi dengan cara termakan
(melalui saluran pencernaan), dan penetrasi melalui kulit. Menurut Gossel dan
Bricker, ada 5 logam berbahaya pada manusia yaitu arsen (As), kadmium (Cd),
timbal (Pb), merkuri (Hg), dan besi (Fe) (Darmono, 2001).

2. Bahan Toksik dalam Makanan

Semua bahan pangan alami mengandung timbal (Pb) dalam konsentrasi


kecil, dan selama persiapan makanan mungkin kandungan timbal (Pb) akan
bertambah. Timbal pada makanan dapat berasal dari peralatan masak, alat-alat
makan, dan wadah-wadah penyimpanan yang terbuat dari alloy Pb atau keramik
yang dilapisi glaze (Fardiaz, 1992). Selain dalam bahan pangan, dalam air minum
juga dapat ditemukan senyawa timbal apabila air tersebut disimpan atau dialirkan
melalui pipa yang merupakan alloy dari logam timbal (Palar, 2008).

Kadar maksimum Pb yang masih dianggap aman dalam darah anak-anak


sesuai dengan yang diperkenankan oleh WHO dalam Depkes (2001) adalah 10
μg/dl darah, sedangkan untuk orang dewasa adalah 10-25 μg/dl darah (Naria,
2005). Bila manusia terpapar oleh Pb dalam normal atau batasan toleransi , maka
daya racun yang dimiliki oleh Pb akan tetap bekerja dan bila jumlah yang diserap
telah mencapai atau bahkan melebihi batas ambang maka individu yang terpapar
akan memperlihatkan gejala keracunan Pb yang lebih banyak menyerang bagian
tubuh (Kurniawan, 2008).

3. Bahan Kimia dalam Industri Kerajinan

Limbah industri kerajinan terutama tekstil disamping mengandung bahan


pencemar organik yang tinggi, juga mengandung bahan pewarna organik rantai
panjang yang relatif sukar diolah dengan proses biologis. Berikut ini adalah
beberapa zat yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia :
a. Alkilfenol

Alkilfenol yang biasa digunakan termasuk Nonilfenol (NPs). NPs banyak


digunakan dalam industri tekstil untuk proses pencucian dan pewarnaan.
Bahan-bahan ini bersifat racun untuk kehidupan air. NPs akan bertahan dalam
lingkungan dan dapat terakumulasi dalam jaringan tubuh. Kemiripan struktur
kimianya dengan hormon estrogen alamiah dapat mengganggu perkembangan
seksual pada beberapa organisme termasuk menyebabkan feminisasi ikan.

b. Pthalates

Pthalates adalah kelompok bahan kimia yang umum digunakan untuk


melunakan PVC (Polyvinyl Chloride). Pada industri tekstil, bahan-bahan ini
digunakan dalam pembuatan kulit buatan, karet dan PVC, serta beberapa
pewarna. Kadar racun dari pthalates seperti DEHP (bis (2-ethylhexyl)
pthalates) bersifat toksik bagi reproduksi mamalia, karena dapat mengganggu
perkembangan testis di awal kehidupan.

c. Azodyes

Azodyes atau pewarna azo adalah salah satu dari jenis pewarna utama yang
digunakan industri tekstil. Beberapa pewarna azo terdegradasi saat digunakan
dan melepaskan bahan-bahan kimia yang dikenal sebagai aromatic amina.
Beberapa aromatic amina tersebut dapat menyebabkan kanker. Uni Eropa
telah melarang penggunaan pewarna azo yang dapat melepaskan gugus amina
penyebab kanker yang berkontak langsung dengan kulit manusia.

d. Tributltin

Tributiltin (TBT) banyak digunakan untuk cat anti bocor pada kapal. TBT
sukar terurai di lingkungan dan akan menumpuk dalam tubuh dan dapat
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan reproduksi.

e. Soda Api (NaOH)


Sodium hidroksida tersedia dalam bentuk serpihan atau dalam bentuk cair
dengan konsentrasi yang bermacam-macam. Penggunaan dalam industri
tekstil:

1) Untuk mengontrol nilai pH


2) Fiksasi pewarna-pewarna reaktif
3) Pewarnaan dengan indigo dan naftol
4) Proses pengelantangan dengan hidrogen peroksida
5) Sebagai zat penghilang kanji

f. Asam Klorida (HCl)

HCl adalah cairan kekuningan dengan aroma kuat yang menusuk, dan bersifat
sangat korosif. Penggunaan dalam industri tekstil:

1) Sebagai unsur saponifikasi bagi zat warna indigosol.


2) Sebagai zat penghilang kanji pada jenis kanji alam.

g. Natrium Nitrit (NaNO2)

Sodium nitrit adalah bubuk kristal putih kekuningan yang dapat dilarutkan
dalam air. Sodium nitrit adalah agen pengoksidasi yang kuat. Penggunaan
dalam industri tekstil yaitu sebagai unsur oksidasi untuk pembentukan
pewarna tangki.

h. Natrium Silikat (Na2SiO3)

Sodium silikat (water glass) adalah senyawa alkali yang kuat. Penggunaan
dalam industri tekstil:

1) Digunakan sebagai bahan pengikat untuk zat-zat pewarna reaktif.


2) Sebagai stabilisator dalam proses pengelantangan dengan peroksida

i. Brominated Flame Retardants (BFR)


Brominated Flame Retardants (BFR) adalah bahan kimia resisten dan
bioakumulatif yanng jenisnya sekarang banyak hadir di lingkungan sekitar
kita. Polybrominated Diphenyl Ethers (PBDE) adalah salah satu kelompok
BFR yang paling umum digunakan untuk membuat beragam bahan-bahan
tahan api, termasuk tekstil. Beberapa PBDE mampu mengganggu sistem
hormon yang terlibat dalam perkembangan dan pertumbuhan seksual.

j. Sodium Karbonat (Na2CO3)

Sodium karbonat adalah bubuk kristal putih yang dikenal juga sebagai abu
soda. Penggunaan dalam industri tekstil :

1) Untuk menyesuaikan pH pada kolam pewarna.


2) Memperbaiki kemurnian pada pewarna dalam proses pewarnaan.
3) Digunakan untuk proses pemasakan kain wol dan sutera (degumming).

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Logam berat merupakan unsur logam dalam bentuk terlarut dan tersuspensi
yang memiliki densitas lebih besar dari 5 g/cm3dalam air laut, umumnya
bersifat racun terhadap makhluk hidup
2. Logam-logam berat yang berbahaya yang sering mencemari lingkungan
antara lain merkuri (Hg), timbal (Pb), arsenik (As), kadmium (Cd), kromium
(Cr), dan nikel (Ni).

3. Toksisitas suatu zat sangat ditentukan oleh absorbsi, distribusi, metabolisme,


dan eksresi.

4. Ada 5 logam berbahaya yang banyak ditemukan di suatu produk yaitu arsen
(As), kadmium (Cd), timbal (Pb), merkuri (Hg), dan besi (Fe). Semua bahan
pangan makanan mengandung timbal (Pb) dalam konsentrasi kecil.
Sedangkan, pada industri kerajinan banyak terdapat alkilfenol, pewarna azo,
TBT, natrium nitrit, dsb.

B. SARAN
Perkembangan industri, teknologi, dan ilmu pengetahuan membawa
dampak positif dan negatif terhahap segala segi kehidupan manusia. Sehubungan
dengan hal itu, hendaknya manusia dapat memanfaatkan perkembangan teknologi,
industri dan ilmu pengetahuan secara bijak dan semestinya sehingga kerusakan
lingkungan dapat diminimalkan.
DAFTAR PUSTAKA

Darmono.1995. Logam Dalam Sistim Biologi Mahluk Hidup. Jakarta: Universitas


Indonesia Press
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran Hubungannya dengan
Toksikologi Senyawa Logam. Jakarta: UI Press.
Effendi, H. 2000.Telaahan Kualitas Air. Bogor : IPB.
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: PT. Kanisius.
Kurniawan, W. 2008. Hubungan Kadar Pb dalam Darah dengan Profil Darah
pada Mekanik Kendaraan Bermotor di Kota Pontianak. Tesis. Semarang:
Universitas Diponegoro. Palar, Heryando. 2004. Pencemaran dan
Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta.
Palar, H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Pohan, Fitrianti. 2014. Analisis Bibliometrika Terhadap Jurnal Ilmiah Terbitan
Indonesia pada Database Scimago Journals And Country Rank.
Purnomo, Dony. 2009. Logam Berat Sebagai Penyumbang Pencemaran Air
Laut. Program Pascasarjana. ITB
Ratnaningsih, A. 2004. Pengaruh Kadmium Terhadap Gangguan Patologik Pada
Ginjal Tikus Percobaan. Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi, 5 (1) :
53-63.
Simamora. 2001. Memenangkan Pasar dengan Pemasaran Efektif dan Profitabel.
Edisi Pertama. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Soemirat. 2003. Toksikologi Lingkungan. Bandung: Universitas Gadjah Mada
Press.
Sofyan, Yatim.1979. Distribusi Logam Berat dalam Air Laut Teluk Jakarta.
Majalah BATAN XII 3.
Strisno, Budiyono. 2004. Pengaruh Pencemaran Kadmium Pada Aur Sumur
Untuk Minum dan Memasak Terhadap Kesehatan Wanita Di Desa Bambe
Kecamatan Driyorejo Gresik. Kesehatan Lingkungan IndonesiaVol 3. No.1
Oktober 2004.
Supriharyono, M.S. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di
Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Yudatomo. 2009. Logam Berat (Heavy Metal). PT. YTL Jawa Timur, Paiton 5 &
6). Jawa Timur.
LAMPIRAN
LATIHAN SOAL

A. PILIHAN GANDA

1. Apa saja faktor keberhasilan dari metode bioremidiasi…

a. Heterogenitas unsur pencemar


b. Kesentrasi senyawa yang mengandung logam berat
c. Toksisitas logam berat tersebut
d. Kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan mikrobia
e. Semua benar

2. Bagaimana cara menjaga kebersihan air tanah, kecuali…..

a. Menempatkan daerah industri atau pabrik jauh dari daerah perumahan


atau pemukiman
b. Membiarkan pelaku pencemaran air tanpa adanya tindakan yang tegas
c. Pembuangan limbah industri diatur sehingga tidak mencermari lingkungan
atau ekosistem
d. Pengawasan terhadap penggunaan jenis-jenis pestisida dan zat-zat kimia
lain yang dapat menimbulkan pencemaran
e. Memperluas gerakan penghijauan

3. Pencemaran logam berat apa yang dapat menimbulkan gejala dapat merusak
plasenta bayi pada ibu hamil dan iritasi gastrointestinal akut……

a. Tembaga
b. Merkuri
c. Arsen
d. Timbal
e. Kromium

4. Pencemaran logam berat apa yang dapat menimbulkan gejala tubuh lemah,
hilangnya keseimbangan, bintik merah pada kulit, menurunnya jumlah sel
darah putih dan anemia.....

a. Tembaga
b. Selenium
c. Molibdenum
d. Kromium
e. Timbal

5. Berdasarkan sudut pandang toksikolagi, logam berat dapat dibedakan


menjadi 2 jenis yaitu..
a. Logam berat esensial dan non esensial
b. Logam berat toksik dan non toksik
c. Logam berat primer dan sekunder
d. Logam berat kadar tinggi dan kadar rendah
e. Logam berat murni dan non murni
6. Teknik pengolahan limbah menggunakan tanaman dikenal dengan istilah..
a. Eichornia
b. Aquaticplants
c. Fitoremediasi
d. Cucullatamediasi
e. Eritomediasi

7. Menurut FAO/WHO, konsumsi Cd per minggu yang dapat ditoleransi


manusia adalah...
a. 400-500
b. 100-150
c. 250-350
d. 450-550
e. 600-700

8. Suatu protein yang mampu mengikat logam yang tersusun dari


beberapa asam amino seperti sistein dan glisin disebut sebagai..
a. Fitosistein
b. Fitoglisin
c. Fitokelatin
d. Fitoavicennia
e. Fitoamin
9. Menurut Gossel dan Bricker, ada 5 logam berbahaya apabila terpapar pada
makhluk hidup khususnya manusia yaitu...

a. As, Cd, Pb, Hg, Fe

b. As, Cd, Mn, Hg, Fe

c. As, Cd, Pb, Au, Mn

d. As, Cd, Pb, Hg, Mn

e. As, Cd, Au, Al, Fe

10. Kadar maksimum Pb (timbal) yang masih dianggap aman dalam darah
orang dewasa menurut Departemen Kesehatan tahun 2001 adalah.... μg/dl

a. 10 – 35

b. 15 – 45

c. 10 – 40

d. 15 – 30

e. 10 – 25
11. Zat kimia yang sering digunakan sebagai cat anti bocor pada kapal namun
sukar terurai di lingkungan dan berpotensi mengganggu sistem kekebalan
tubuh dan reproduksi makhluk hidup adalah...
a. Soda api
b. Tributiltin
c. Alkilphenol
d. Sodium nitrat
e. Sodium silikat

12. Penggunaan soda api (NaOH) dalam industri tekstil dibawah ini benar,
kecuali....
a. Untuk mengontrol nilai pH
b. Fiksasi pewarna-pewarna reaktif
c. Sebagai zat penghilang kanji
d. Sebagai bahan pembuatan karet dan PVC
e. Membantu proses pewarnaan dengan naftol

13. Timbulnya perubahan warna kuning pada gigi, kemudian diikuti gangguan
pada rongga hidung, bersin, hilangnya indra penciuman, dan mulut
menjadi kering. Tanda-tanda yang paling khas dari penyakit ini adalah
nyeri pada punggung dan otot kaki adalah ciri ciri keracunan logam..
a. Kadmium
b. Karbon
c. Kromium
d. Tembaga
e. Arsen

14. Pembakaran batubara dan pelelehan logam merupakan sumber utama


pencemaran logam?
a. Merkuri
b. Arsen
c. Zink
d. Oksigen
e. Kromium
15. Yang menjadi sumber utama Merkuri di atmosfer adalah
a. Industri tekstil
b. Penguapan dari tanah dan air dan pembakaran fosil
c. Bengkel motor
d. Pabrik
e. Asap kendaraan

B. URAIAN

1. Berdasarkan sudut pandang toksikolagi, logam berat dapat dibedakan


menjadi 2 jenis, sebut dan jelaskan.
2. Sebut dan jelaskan jalur masuk toksikan ke dalam tubuh manusia
3. Mengapa Uni Eropa melarang penggunaan pewarna azo/azodyes dalam
kegiatan industri mereka?
4. Jelaskan mengenai Nonylphenols (NPs) yang sering digunakan dalam
industri tekstil untuk proses pencucian dan pewarnaan !
5. Sebutkan masalah-masalah yang dapat muncul akibat akumulasi logam
berat yang terjadi di tanah.

LAMPIRAN

KUNCI JAWABAN
A. PILIHAN GANDA
1. E

2. B

3. A

4. C

5. A

6. C

7. A

8. C

9. A

10.E

11.B

12.D

13.A

14.B

15.B
B.URAIAN

1. a) Logam Berat esensial dimana keberadaannya dalam jumlah tertentu


sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang
berlebihan dapat menimbulkan efek racun.

b) Logam Berat non esensial dimana keberadaannya dalam tubuh masih


belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun.

2. Jalur masuk toksikan ke dalam tubuh

a) Tertelan
Efeknya bisa lokal pada saluran cerna dan bisa juga sistemik. Contoh
kasus: overdosis obat, pestisida.
b) Topikal (melalui kulit)

Efeknya iritasi lokal, tapi bisa berakibat keracunan sistemik. Contoh:


soda kaustik, pestida organofosfat.

c) Topikal (melalui mata)

Efek spesifiknya pada mata dan bisa menyebabkan iritasi lokal.


Contoh : asam dan basa, atropin.

d) Inhalasi
Iritasi pada saluran nafas atas dan bawah, bisa berefek pada absopsi
dan keracunan sistemik. Contoh : atropin, gas klorin, CO (karbon
monoksida).
e) Injeksi
Efek sistemik, iritasi lokal dan bisa menyebabkan nekrosis. Masuk
ke dalam tubuh bisa melalui intravena, intramuskular, intrakutan
maupun intradermal
3. Uni Eropa telah melarang penggunaan pewarna azo/azodyes, karena
pewarna azo dapat melepaskan gugus amina penyebab kanker apabila
berkontak langsung dengan kulit manusia
4. NPs bersifat racun untuk kehidupan air. NPs akan bertahan dalam
lingkungan dan dapat terakumulasi dalam jaringan tubuh. Kemiripan
struktur kimianya dengan hormon estrogen alamiah dapat mengganggu
perkembangan seksual pada berbagai organisme termasuk menyebabkan
feminisasi ikan.
5. Masalah yang dapat muncul akibat akumulasi logam di tanah di
antaranya:

a. Masuknya logam berat ke tanah dapat mempengaruhi seluruh


kehidupan pada tanah yang merupakan faktor penentu produktivitas
tanah.
b. Masuknya logam berat tanah juga menyebabkan penurunnan kualitas
sifat kimia tanah. Karena unsur hara yang ada di dalam tanah tidak
tersedia bagi tanaman dan menghambat penyerapan unsur hara.
c. Dengan menurunnya produktifitas tanah maka hasil panen tanaman
akan menurun baik kualiatas maupun kuantitas.
MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN BAHAN
BERBAHAYA DAN BERACUN (B3)

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Toksikologi


Lingkungan Dosen Pengampu : Dr. Pranoto, M.Sc.

Disusun oleh Kelompok III :

1. Alfianita Utama P. (M0314005)

2. Bondan Mutiara W. S. (M0314015)

3. Faradilla Prabasiwi A. (M0314032)

4. Indah Retnosari (M0314045)

5. Maulana Malik A. G (M0315036)

6. Dian Permatasari (M0313018)

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas ini dengan lancar. Tujuan yang hendak kami capai dalam pembuatan
tugas makalah ini yaitu menjelaskan tentang Bahan Berbahaya dan Beracun
(B3).

Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapat bantuan dari berbagai


pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Pranoto, M.Si selaku dosen Mata Kuliah Toksikologi Lingkungan.

2. Orang tua yang telah memberi dukungan.

3. Teman-teman yang telah memberikan saran dan bantuan dalam pembuatan


makalah ini.

Kami harap tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila terjadi
kesalahan dalam penulisan ini, kritik dan saran sangat kami harapkan.

Surakarta, 29
September 2017

Penyusun

DAFTAR ISI
Halaman Judul .......................................................................................................... i

Kata Pengantar ........................................................................................................ ii

Daftar Isi ................................................................................................................. .iii

Daftar Lampiran ...................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang.............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 1

C. Tujuan ........................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 3

A. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) ............................................................ 3

B. Karakteristik Bahan Kimia B3 ...................................................................... 3

C. Sumber Limbah B3 ..................................................................................... ..9

D. Dampak B3 Terhadap Kesehatan Manusia ................................................ .10

E. Toksikologi Limbah B3 .............................................................................. .17

F. Hukum dalam Penanganan B3 .................................................................... .17

BAB III PENUTUP ............................................................................................... .24

A. Kesimpulan ................................................................................................. .24

B. Saran ........................................................................................................... .24

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ .26

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran LATIHAN SOAL ................................................................................. 27

Lampiran KUNCI JAWABAN ............................................................................. 33


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dan pertumbuhan industri di era globalisasi dari


tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, namun peningkatan industri
ini menyebabkan berbagai permasalahan baik pada lingkungan dan
dampaknya terhadap makhluk hidup. Salah satu masalah yang ditimbulkan
dari meningkatnya pertumbuhan industri ini yaitu adanya pencemaran
yang ditimbulkan berupa adanya logam logam berat yang dapat
mengganggu lingkungan dan masyarakat (Nastiti, 2004). Logam logam
berat ini banyak dihasilkan dari proses industri seperti Timbal (Pb), Arsen
(As), Kadmium (Cd), Merkuri (Hg), Krom (Cr), Nikel (Ni), Kalsium (Ca),
Magnesium (Mg), dan Cuprum (Cu), namun dari berbagai jenis logam
berat ini ada yang tergolong dalam logam berat B3, yaitu karena sifat
(toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau
jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan
manusia. Diperlukan suatu pengetahuan khusus dalam pengelompokan
limbah limbah berbahaya tersebut sehingga akan dapat lebih baik dan
mudah dalam penanganannya (PP 85 tahun 1999).
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai
pengertian limbah B3, klasifikasi limbah B3, efek yang ditimbulkan oleh
B3 terhadap kesehatan manusia, pencemaran limbah B3, sumber asal
pencemaran limbah B3 di lingkungan, daya kerja toksikan dalam
metabolisme manusia, pengolahan dan penanganan limbah B3, bahan
toksik dalam makanan dan produk konsumen, dan bahan kimia dalam
industri kerajinan.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan bahan berbahaya dan beracun (B3)?


2. Bagaimana karakteristik bahan kimia B3?
3. Bagaimana sumber limbah B3 dan d
4. Dampak B3 terhadap kesehatan manusia?
5. Bagaimana toksikologi limbah B3?
6. Bagaimana hukum dalam penanganan B3?
C. Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian atau definisi bahan berbahaya dan


beracun(B3),
2. Untuk mengetahui karakteristik bahan kimia B3,
3. Untuk mengetahui sumber limbah B3
4. Untuk mengetahu dampak B3 terhadap kesehatan manusia,
5. Untuk mengetahui toksikologi limbah B3,
6. Untuk mengetahui hukum dalam penanganan B3.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)


B3 atau Bahan Berbahaya dan Beracun menurut OSHA
(Occupational Safety and Health of the United State Government) adalah
bahan yang karena sifat kimia maupun kondisi fisiknya berpotensi
menyebabkan gangguan pada kesehatan manusia, kerusakan properti dan
atau lingkungan. Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah
setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang
mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity,
flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya
yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak,
mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.
Menurut PP No. 18 tahun 1999,yang dimaksud dengan limbah B3 adalah
sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan
atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup
manusia serta mahluk hidup lain.
Limbah B3 dapat berbentuk padat, cair dan gas yang dihasilkan
baik dari proses produksi maupun proses pemanfaatan produksi industri
tersebut yang mempunyai sifat berbahaya dan sifat beracun terhadap
ekosistem karena dapat bersifat korosif, eksplosif, toksik, reaktif, mudah
terbakar, menghasilkan bau, radioaktif dan bersifat karsinogenik terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan( Gambiro, 2000). Limbah B3
dikarakterisasikan berdasarkan beberapa parameter, yaitu total solids
residu (TSR), kandungan fixed residu (FR), kandungan volatile solids
residue (VSR), kadar air (sludge moisture content), volume padatan, dan
karakter atau sifat B3 (toksisitas, sifat korosif, sifat mudah terbakar, sifat
mudah meledak, beracun, dan sifat kimia serta kandungan senyawa kimia).
Contoh limbah B3 adalah logam berat, spt Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pd, Mn, Hg,
dan Zn serta zat kimia, seperti pestisida, sianida, sulfide dan fenol. Cd
dihasilkan dari lumpur dan limbah industri kimia tertentu. Hg dihasilkan
dari industri klor-alkali, industri cat, kegiatan pertambangan, industri
kertas, dan pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan
timah hitam dan accu. Logam-logam berat pada umumnya bersifat racun
sekalipun dalam konsentrasi rendah. Limbah B3 dapat diidentifikasi
menurut sumber, uji karakteristik, dan uji toksikologi.

B. Karakteristik Bahan Kimia B3

1. Limbah B3 dapat dibedakan berdasarkan karakteristiknya mnurut PP


85 tahun 1999 yaitu:

a. Bahan Kimia Beracun (Toxic)

Bahan kimia beracun adalah bahan kimia yang dapat menyebabkan


bahaya terhadap kesehatan manusia atau menyebabkan kematian
apabila terserap ke dalam tubuh karena tertelan, lewat pernafasan atau
kontak lewat kulit. Pada umumnya zat toksik masuk lewat pernafasan
atau kulit dan kemudian beredar keseluruh tubuh atau menuju organ-
organ tubuh tertentu. Zat-zat tersebut dapat langsung mengganggu
organ-organ tubuh tertentu seperti hati, paru-paru, dan lain-
lain. Tetapi dapat juga zat-zat tersebut berakumulasi dalam tulang,
darah, hati, atau cairan limpa dan menghasilkan efek kesehatan pada
jangka panjang. Pengeluaran zat-zat beracun dari dalam tubuh dapat
melewati urine, saluran pencernaan, sel efitel dan keringat.

b. Bahan Kimia Korosif (Corrosive)

Bahan kimia korosif adalah bahan kimia yang karena reaksi kimia
dapat mengakibatkan kerusakan apabila kontak dengan jaringan tubuh
atau bahan lain. Zat korosif dapat bereaksi dengan jaringan seperti
kulit, mata, dan saluran pernafasan. Kerusakan dapat berupa luka,
peradangan, iritasi (gatal-gatal) dan sinsitisasi (jaringan menjadi amat
peka terhadap bahan kimia).

c. Bahan Kimia Mudah Terbakar (Flammable)

Bahan kimia mudah terbakar adalah bahan kimia yang mudah


bereaksi dengan oksigen dan dapat menimbulkan kebakaran. Reaksi
kebakaran yang amat cepat dapat juga menimbulkan ledakan.
d. Bahan Kimia Peledak (Explosive)

Bahan kimia peledak adalah suatu zat padat atau cair atau
campuran keduanya yang karena suatu reaksi kimia dapat
menghasilkan gas dalam jumlah dan tekanan yang besar serta suhu
yang tinggi, sehingga menimbulkan kerusakan disekelilingnya. Zat
eksplosif amat peka terhadap panas dan pengaruh mekanis (gesekan
atau tumbukan), ada yang dibuat sengaja untuk tujuan peledakan atau
bahan peledak seperti trinitrotoluene (TNT), nitrogliserin dan
ammonium nitrat (NH4NO3).

e. Bahan Kimia Oksidator (Oxidation)

Bahan kimia oksidator adalah suatu bahan kimia yang mungkin


tidak mudah terbakar, tetapi dapat menghasilkan oksigen yang dapat
menyebabkan kebakaran bahan-bahan lainnya.

f. Bahan Kimia Reaktif Terhadap Air (Water Sensitive Substances)

Bahan kimia reaktif terhadap air adalah bahan kimia yang amat
mudah bereaksi dengan air dengan mengeluarkan panas dan gas yang
mudah terbakar.

g. Bahan Kimia Reaktif Terhadap Asam (Acid Sensitive Substances)

Bahan kimia reaktif terhadap asam adalah bahan kimia yang amat
mudah bereaksi dengan asam menghasilkan panas dan gas yang mudah
terbakar atau gas-gas yang beracun dan korosif.

h. Gas Bertekanan (Compressed Gases)

Gas bertekanan adalah gas yang disimpan dibawah tekanan, baik


gas yang ditekan maupun gas cair atau gas yang dilarutkan dalam
pelarut dibawah tekanan.

i. Bahan Kimia Radioaktif (Radioactive Substances)


Bahan kimia radioaktif adalah bahan kimia yang mempunyai
kemampuan memancarkan sinar radioaktif dengan aktivitas jenis lebih
besar dari 0,002 microcurie/gram. Suatu bahan kimia dapat termasuk
diantara satu atau lebih golongan di atas karena memang mempunyai
sifat kimia yang lebih dari satu sifat.

2. Berdasarkan United Nation / North America UN/UNA, Bahan Kimia


Berbahaya ini dibagi menjadi 7:

a. Kelas 1 : Mudah Meledak

Semua bahan atau benda yang dapat menghasilkan efek ledakan,


termasuk bahan yang dalam campuran tertentu atau jika mengalami
pemanasan, gesekan, tekanan dapat mengakibatkan peledakan.
Contoh : Amonium nitrate, Amonium perchlorate, amonium picrate,
detonator untuk ammunisi, diazodinitrophenol, dinitropenol, dynamite,
bubuk mesiu, picric acid, (TNT, Nitro Glycerine, Amunisi, bubuk
untuk blasting)

b. Kelas 2 : Gas-Gas

Terdiri dari gas yang mudah terbakar (acetelyne, LPG, Hydrogen,


CO, ethylene, ethyl flouride, ethyl methyl ether, butane, neopentane,
propane, methane, methyl chlorodiline, thinner, bensin. Gas
bertekanan yang tidak mudah terbakar (oksigen, nitrogen, helium,
argon, neon, nitrous oxide, sulphur hexafolride). Gas Beracun
(chlorien, methil bromide, nitric oxide, ammonium-anhidrous, arsine,
boron trichloride carbonil sulfit, cyanogen, dll

c. Kelas 3 : Cairan Yang Mudah Menyala (Flammable Gas)

Cairan yang mudah menyala bila kontak dengan sumber


penyalaan. Cairan yang mempunyai titik penyalaan kurang dari
61⁰C. Uap dari bahan yang termasuk kelas ini dapat
mengakibatkan pingsan bahkan kematian.
Contoh : Yang mudah menyala (flammable solids), Bahan padat yang
mudah menyala (petrol, acetone, benzene, butanol, chlorobenzene, 2
chloropropene ethanol, carbon disuliphide, di-iso-propylane.

d. Kelas 4 : Padatan

Bahan padat yang mudah menyala bila kontak dengan sumber


penyalaan dari luar seperti percikan api atau api. Bahan ini siap
menyala jika mengalami gesekan
Contoh : sulpur, pospor, picric acid, magnesium, alumunium powder,
calcium resinate, celluloid, dinitrophenol, hexamine. Bahan Padat yang
mudah terbakar secara spontan (spontaneously Combustible
Substances). Bahan padat kelas ini dalam keadaan biasa mempunyai
kemampuan yang besar untuk terbakar secara spontan. Beberapa jenis
mempunyai kemungkinan besar untuk menyala sendiri ketika lembab
atau kontak dengan udara lembab Juga dapat menghasilkan gas
beracun ketika terbakar. Contoh : carbon, charcoal-non-activated,
carbon black, alumunium alkyls, phosphorus.
Padatan Yang Mudah Menyala (Flammable Solids). Bahan yang
berbahaya ketika basah (Dangerous when wet) Padatan atau cairan
yang dapat menghasilkan gas mudah terbakar ketika kontak dengan
air. Bahan ini juga meningkatkan gas beracun ketika kontak dengan
kelembaban, air atau asam. Contoh : calcium carbide, potassium
phosphide, potassium, maneb, magnesium hydride, calcium
manganese silicon, boron trifluoride dimethyl etherate, barium,
aluminium hydride.

e. Kelas 5 : Bahan Beroksidasi (Oxidizing Agent)

Organic peroxides dapat membantu pembakaran dari material yang


mudah terbakar. Jika terpapar panas atau api pada waktu yang lama
dapat mengakibatkan peledakan. Jika bereaksi dengan material yang
lain efeknya akan lebih berbahaya. Dekomposisi dari bahan ini dapat
menghasilkan racun dan gas yang mudah terbakar. Contoh : benzol
peroxides, methyl ethyl ketone peroxide, dicetyl perdicarbonate,
peracetic acid.
Poisonous (Toxic) Substances bahan yang dapat menyebabkan
kematian atau cidera pada manusia jika tertelan, terhirup atau kontak
dengan kulit. Contoh : cyanohydrin, calcium cyanide, carbon
tetrachloride, dinitrobenzenes, epichlorohydrin mercuric nitrate, dll.
Harmful (Toxic) Substances bahan yang dapat membahayakan pada
manusia jika tertelan, terhirup atau kontak dengan kulit. Contoh :
acrylamide, 2-amino-5-diethylamino pentane, amonium fluorosilicate,
chloroanisidines dll

f. Kelas 6 : Bahan Beracun Atau Mengakibatkan Infeksi

Bahan yang dapat mengakibatkan infeksi dan bahan yang


mengandung organisme penyebab penyakit. Contoh : tisue dari pasien,
tempat pengembang biakan virus, bakteri, tumbuhan atau hewan

g. Kelas 7 : Bahan Yang Beradiasi

Radioactive bahan yang mengandung material atau combinasi dari


material yang dapat memancarkan radiasi secara spontan. Contoh :
uranium, 90Co, tritium, 32P, 35S, 125I, 14C.

3. Mendeteksi Kandungan B3 dalam Limbah

Dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Uji kualitatif adalah


Screening test atau Fingerprint test. Uji kualitatif ini untuk mengetahui
karakteristik suatu limbah dengan maksud untuk mengantisipasi
langkah-langkah dan penanganan limbah tersebut serta untuk
membedakan/ mengidentifikasi suatu jenis limbah dengan limbah
lainnya( Sucipto dkk., 2014). Uraian beberapa parameter dalam
Screening test / Fingerprint test yang dapat dijadikan indikasi awal
karakteristik limbah B3 dijelaskan sebagai berikut:
a. pH

Hasil pengukuran pH jika pH kurang lebih sama dengan 5 atau pH


kurang lebih sama dengan 12,5, maka limbah tersebut dapat
dinyatakan sebagai golongan limbah B3 karena bersifat korosif.

b. Reaktifitas Air

Reaktifitas air ini merupakan suatu parameter untuk menguji


reaktifitas menggunakan air. Suatu limbah dapat dinyatakan bersifat
reaktif apabila dalam pengujiannya terjadi gejala-gejala seperti adanya
pelepasan gas, terbentuknya emulsi, perubahan temperatur dan lain-
lain.

c. Pengoksidasi

Dalam pengujian pengoksidasi ini apabila suatu limbah


menunjukan adanya kandungan senyawa oksidan (oksidan positif),
maka dapat diambil kesimpulan bahwa limbah tersebut mempunyai
indikasi sebagai limbah B3. Karena apabila senyawa oksidan
bercampur dengan senyawa organik dapat bereaksi secara spontan
menghasilkan panas, gas atau bahkan menimbulkan ledakan.

d. Mudah Terbakar

Seperti kita ketahui bahwa salah satu karakteristik bahan kimia


B3 adalah mudah meledak atau mudah terbakar. Sehingga ketika suatu
limbah didekatkan pada suatu nyala api , apabila sampel langsung
terbakar maka dapat diindintikasi limbah tersebut memiliki
karakteristik mudah terbakar.

e. Kandungan Amonia
Dalam hal ini gas amonia pelu diuji karena termasuk gas yang
beracun. Apabila suatu limbah mengandung gas amonia, dapat
dinyatakan bahwa limbah tersebut kemungkinan termasuk kedalam
limbah B3, karena apabila bercampur dengan suatu basa maka akan
bersifat reaktif.

f. Kandungan Sianida

Sama halnya dengan amonia, gas sianida ini merupakan gas yang
beracun dan mematikan. Apabila suatu limbah mengandung sianida
positif, maka dapat dinyatakan bahwa limbah tersebut kemungkinan
termasuk kedalam limbah B3, karena apabila bercampur dengan suatu
asam maka akan bersifat reaktif.

g. Kandungan Sulfida

Gas sulfida merupakan gas yang beracun dan mematikan.


Apabila suatu limbah mengandung sianida positif, maka dapat
dinyatakan bahwa limbah tersebut kemungkinan termasuk kedalam
limbah B3, karena apabila bercampur dengan suatu asam maka akan
bersifat reaktif.

4. Sifat Limbah B3

Limbah B3 memiliki sifat mudah terbakar dan meledak, dan


limbah tersebut bisa berupa gas, cair, cair ataupun padat dengan
karakteristik yang berbeda.

a. Limbah yang bersifat reaktif adalah limbah-limbah yang


mempunyai beberapa sifat berikut :

1) Limbah yang pada keadaan normal tidak stabil dan dapat


menyebabkan perubahan tanpa peledakan.
2) Limbah yang dapat bereaksi hebat dengan air.
3) Apabila tercampur air akan meledak, menghasilkan gas, uap,
asap beracun yang membahayakan bagi manusia dan
lingkungan.
4) Limbah sianida, sulfida, atau amoniak yang dapat
membahayakan kesehatan manusia.
5) Limbah yang mudah meledak atau bereaksi pada suhu dan
tekanan standar (25˚C,760 mmHG).
6) Limbah yang menyebabkan kebakaran karena
melepas/menerima oksigen.

b. Limbah beracun adalah limbah yang mengandung pencemar yang


bersifat beracun bagi manusia atau lingkungan yang dapat
menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila masuk ke
dalam tubuh melalui pernapasan, kulit, atau mulut.
c. Limbah yang menyebabkan infeksi ialah bagian tubuh manusia
yang diamputasi dan cairan dari tubuh manusia yang terkena
infeksi, limbah dari laboratorium atau limbah lainnya yang
terinfeksi kuman penyakit yang dapat menular.
d. Limbah yang bersifat korosif adalah limbah yang bersifat :

1) Menyebabkan iritasi pada kulit.


2) Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja dengan
laju korosi lebih besar dari 6,35mm/tahun dengan temperatur
55˚C. 3) mempunyai pH sama atau kurang dari 2 untuk limbah
bersifat asam atau lebih besar dari 12,5 untuk bersifat basa.

C. Sumber Limbah B3

1. Sumber limbah B3 dibedakan menjadi beberapa menurut PP 85 tahun


1999 yaitu :

a. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik

Limbah B3 yang berasal bukan dari proses utamanya, tetapi berasal


dari kegiatan pemeliharaan alat, pencucian, inhibitor korosi, pelarutan
kerak, pengemasan, dll. Contohnya adalah asap kendaraan bermotor
dan asap dari cerobong pabrik.

b. Limbah B3 dari sumber spesifik

Limbah B3 sisa proses suatu industri atau kegiatan tertentu.


Contohnya mercuri, arsen, dan deterjen.

c. Limbah B3 dari sumber lain

Bahan Kimia kadaluwarsa, tumpahan, sisa kemasan dan buangan


produk yang tidak memenuhi spesifikasi. Limbah ini berasal dari
produk yang tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan atau tidak
dapat dimanfaatkan kembali.

2. Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi


pada pemisahan awal dan banyak mengandung biomassa senyawa
organik yang stabil dan mudah menguap.
b. Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses
koagulasi dan flokulasi
c. Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses
pengolahan dengan lumpur aktif sehingga banyak mengandung
padatan organik berupa lumpur dari hasil proses tersebut.
d. Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi
dengan digested aerobic maupun anaerobic di mana
padatan/lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak
mengandung padatan organik.

D. Dampak B3 Terhadap Kesehatan Manusia

Limbah industri baik berupa gas, cair maupun padat umumnya termasuk
kategori atau dengan sifat limbah B3. Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)
yang sangat ditakuti adalah limbah dari industri kimia. Limbah dari industri kima
pada umumnya mengandung berbagai macam unsur logam berat yang mempunyai
sifat akumulatif dan beracun (toxic) sehingga berbahaya bagi kesehatan manusia.
Limbah pertanian yang paling utama ialah pestisida dan pupuk.

Limbah B3 dari kegiatan industri yang terbuang ke lingkungan akhirnya


akan berdampak pada kesehatan manusia. Dampak itu dapat langsung dari sumber
ke manusia, misalnya meminum air yang terkontaminasi atau melalui rantai
makanan, seperti memakan ikan yang telah menggandakan (biological
magnification) pencemar karena memakan mangsa yang tercemar( Huffman dan
Lee, 1996).

Dampak B3 terhadap Kesehatan, antara lain :

1. Air Raksa /Hargentum/ Hg/ Mercury

Elemen Hg berwarna kelabu-perak, sebagai cairan pada suhu


kamar dan mudah menguap bila dipanaskan.Hg2+ (Senyawa
Anorganik) dapat mengikat carbon, membentuk senyawa
organomercury. Methyl Mercury (MeHg) merupakan bentuk penting
yang memberikan pemajanan pada manusia.

Industri yang memberikan efluents Hg adalah :

a. Yang memproses chlorin,


b. Produksi Coustic soda,
c. Tambang dan prosesing biji Hg,
d. Metalurgi dan elektroplating,
e. Pabrik Kimia,
f. Pabrik Tinta,
g. Pabrik Kertas,
h. Penyamakan Kulit,
i. Pabrik Tekstil,
j. Perusahaan Farmasi,
k. Penambangan emas tradisional.

Sebagian senyawa mercury yang dilepas ke lingkungan akan


mengalami proses methylation menjadi methylmercury (MeHg) oleh
microorganisme dalam air dan tanah. MeHg dengan cepat akan
diakumulasikan dalam ikan atau tumbuhan dalam air permukaan.
Kadar mercury dalam ikan dapat mencapai 100.000 kali dari kadar air
disekitarnya.

Kelompok Resiko Tinggi Terpajan Hg. Orang-orang yang


mempunyai potensial terpajan Hg diantaranya :

a. Pekerja pabrik yang menggunakan Hg.


b. Janin, bayi dan anak-anak :

MeHg dapat menembus placenta karena sistem syaraf sensitif


terhadap keracunan Hg.

c. Masyarakat pengkonsumsi ikan yang berasal dari daerah perairan


yang tercemar mercury.

Mercury termasuk bahan teratogenik. MeHg didistribusikan


keseluruh jaringan terutama di darah dan otak. MeHg terutama
terkonsentrasi dalam darah dan otak, 90% ditemukan dalam darah
merah, Efek yang ditimbulkan yaitu :

a. Efek Fisiologis

Efek toksisitas mercury terutama pada susunan saraf pusat (SSP)


dan ginjal, dimana mercury terakumulasi yang dapat menyebabkan
kerusakan SSP dan ginjal antara lain tremor, kehilangan daya ingat.

b. Efek pada pertumbuhan

MeHg mempunyai efek pada kerusakan janin dan terhadap


pertumbuhan bayi. Kadar MeHg dalam darah bayi baru lahir
dibandingkan dengan darah ibu mempunyai kaitan signifikan. Bayi
yang dilahirkan dari ibu yang terpajan MeHg bisa menderita kerusakan
otak dengan manifestasi : Retardasi mental, Tuli, Penciutan lapangan
pandang, Buta, Microchephaly, Cerebral Palsy, Gangguan menelan

c. Efek yang lain

Efek terhadap sistem pernafasan dan pencernaan makanan dapat


terjadi pada keracunan akut. Inhalasi dari elemental Mercury dapat
mengakibatkan kerusakan berat dari jaringan paru.Sedangkan
keracunan makanan yang mengandung Mercury dapat menyebabkan
kerusakan liver.

2. Chromium

Chromium adalah suatu logam keras berwarna abu-abu dan sulit


dioksidasi meski dalam suhu tinggi. Chromium digunakan oleh
industri : Metalurgi, Kimia, Refractory (heat resistent application).
Dalam industri metalurgi, chromium merupakan komponen penting
dari stainless steels dan berbagai campuran logam.

Dalam industri kimia chromium digunakan sebagai :

a. Cat pigmen (dapat berwarna merah, kuning, orange dan hijau).


b. Chrome plating.
c. Penyamakan kulit.
d. Treatment Wool.

Chromium terdapat stabil dalam 3 valensi. Berdasarkan urutan


toksisitasnya adalah Cr-O, Cr-III, Cr-VI. Electroplating, penyamakan
kulit dan pabrik textil merupakan sumber utama pemajanan chromium
ke air permukaan. Limbah padat dari tempat prosesing chromium yang
dibuang ke landfill dapat merupakan sumber kontaminan terhadap air
tanah.

Kelompok resiko tinggi terkena chromium yaitu mereka yang


merupakan :
a. Pekerja di industri yang memproduksi dan menggunakan Cr.
b. Perumahan yang terletak dekat tempat produksi akan terpajan Cr-
VI lebih tinggi
c. Perumahan yang dibangun diatas bekas landfill, akan terpajan
melalui pernafasan (inhalasi) atau kulit.

Pemajanan chromium pada tubuh makhluk hidup ini yaitu melaui :

a. Inhalasi terutama pekerja


b. Kulit
c. Oral : masyarakat pada umumnya

Dampak Kesehatan apabila terkena chromium yaitu :

a. Efek Fisiologi :

1) Cr (III) merupakan unsur penting dalam makanan (trace


essential) yang mempunyai fungsi menjaga agar metabolisme
glucosa, lemak dan cholesterol berjalan normal.
2) Organ utama yang terserang karena Cr terhisap adalah paru-
paru, sedangkan organ lain yang bisa terserang adalah ginjal,
lever, kulit dan sistem imunitas.
3) Efek pada Kulit : Dermatitis berat dan ulkus kulit karena
kontak dengan Cr-IV.
4) Efek pada Ginjal :Bila terhirup Cr-VI dapat mengakibatkan
necrosis tubulus renalis.
5) Efek pada Hati :Pemajanan akut Cr dapat menyebabkan
necrosis hepar.
6) Bila terjadi 20 % tubuh tersiram asam Cr akan mengakibatkan
kerusakan berat

hepar dan terjadi kegagalan ginjal akut.

3. Cadmium (Cd)
Cadmium merupakan bahan alami yang terdapat dalam kerak
bumi. Cadmium murni berupa logam berwarna putih perak dan lunak,
namun bentuk ini tak lazim ditemukan di lingkungan. Umumnya
cadmium terdapat dalam kombinasi dengan elemen lain seperti Oxigen
(Cadmium Oxide), Clorine (Cadmium Chloride) atau belerang
(Cadmium Sulfide). Kebanyakan Cadmium (Cd) merupakan produk
samping dari pengecoran seng, timah atau tembaga cadmium yang
banyak digunakan berbagai industri, terutama plating logam, pigmen,
baterai dan plastik.
Sumber utama pemajanan Cd berasal dari makanan karena
makanan menyerap dan mengikat Cd, misalnya : tanaman dan ikan.
Tidak jarang Cd dijumpai dalam air karena adanya resapan dari tempat
buangan limbah bahan kimia. Dampak pada kesehatan Beberapa efek
yang ditimbulkan akibat pemajanan Cd adalah adanya kerusakan
ginjal, liver, testes, sistem imunitas, sistem susunan saraf dan darah.

4. Cupper (Cu) / Tembaga

Tembaga merupakan logam berwarna kemerah-merahan dipakai


sebagai logam murni atau logam campuran (suasa) dalam pabrik
kawat, pelapis logam, pipa dan lain-lain. Pemajanan pada manusia
melalui pernafasan, oral dan kulit yang berasal dari berbagai bahan
yang mengandung tembaga.Tembaga juga terdapat pada tempat
pembuangan limbah bahan berbahaya. Senyawa tembaga yang larut
dalam air akan lebih mengancam kesehatan. Cu yang masuk ke dalam
tubuh, dengan cepat masuk ke peredaran darah dan didistribusi ke
seluruh tubuh.

Dampak terhadap Kesehatan, Cu dalam jumlah kecil (1 mg/hr)


penting dalam diet agar manusia tetap sehat. Namun suatu intake
tunggal atau intake perhari yang sangat tinggi dapat membahayakan.
Bila minum air dengan kadar Cu lebih tinggi dari normal akan
mengakibatkan muntah, diare, kram perut dan mual. Bila intake sangat
tinggi dapat mengakibatkan kerusakan liver dan ginjal, bahkan sampai
kematian.

5. Timah Hitam (Pb)

Sumber emisi antara lain dari : Pabrik plastik, percetakan,


peleburan timah, pabrik karet, pabrik baterai, kendaraan bermotor,
pabrik cat, tambang timah dan sebagainya. Pemajanan: melalui Oral
dan Inhalasi. Dampak pada Kesehatan : Sekali masuk ke dalam tubuh
timah didistribusikan terutama ke 3 (tiga) komponen yaitu:

a. Darah,
b. Jaringan lunak (ginjal, sumsum tulang, liver, otak),
c. Jaringan dengan mineral (tulang + gigi).

Tubuh menimbun timah selama seumur hidup dan secara normal


mengeluarkan dengan cara yang lambat. Efek yang ditimbulkan adalah
gangguan pada saraf perifer dan sentral, sel darah, gangguan
metabolisme Vitamin D dan Kalsium sebagai unsur pembentuk tulang,
gangguan ginjal secara kronis, dapat menembus placenta sehingga
mempengaruhi pertumbuhan janin.

6. Nickel (Ni)

Nikel berupa logam berwarna perak dalam bentuk berbagai


mineral.Ni diproduksi dari biji Nickel, peleburan/ daur ulang besi,
terutama digunakan dalam berbagai macam baja dan suasa serta
elektroplating.Salah satu sumber terbesar Ni terbesar di atmosphere
berasal dari hasil pembakaran BBM, pertambangan, penyulingan
minyak, incenerator.Sumber Ni di air berasal dari lumpur limbah,
limbah cair dari “Sewage Treatment Plant”, air tanah dekat lokasi
landfill.Pemajanan: melalui inhalasi, oral dan kontak kulit.

Dampak terhadap Kesehatan: Ni dan senyawanya merupakan


bahan karsinogenik. Inhalasi debu yang mengandung Ni-Sulfide
mengakibatkan kematian karena kanker pada paru-paru dan rongga
hidung, dan mungkin juga dapat terjadi kanker pita suara.

7. Pestisida

Pestisida mengandung konotasi zat kimia dan atau bahan lain


termasuk jasad renik yang mengandung racun dan berpengaruh
menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan
manusia, kelestarian lingkungan dan keselamatan tenaga kerja.
Pestisida banyak digunakan pada sektor pertanian dan
perdagangan/komoditi.Pemajanan melalui : Oral, Inhalasi, Kulit.

Dampak pada Kesehatan : Pestisida golongan Organophosphat dan


Carbamat dapat mengakibatkan keracunan Sistemik dan menghambat
enzym Cholinesterase (Enzim yang mengontrol transmisi impulse
saraf) sehingga mempengaruhi kerja susunan saraf pusat yang
berakibat terganggunya fungsi organ penting lainnya dalam tubuh.
Keracunan pestisida golongan Organochlorine dapat merusak saluran
pencernaan, jaringan, dan organ penting lainnya.

8. Arsene

Arsene berwarna abu-abu, namun bentuk ini jarang ada di


lingkungan. Arsen di air di temukan dalam bentuk senyawa dengan
satu atau lebih elemen lain. Senyawa Arsen dengan oksigen, clorin
atau belerang sebagai Arsen inorganik, sedangkan senyawa dengan
Carbon dan Hydrogen sebagai Arsen Organik.Arsen inorganik lebih
beracun dari pada arsen organik.

Suatu tempat pembuangan limbah kimia mengandung banyak


arsen, meskipun bentuk bahan tak diketahui (Organik/ Inorganik).
Industri peleburan tembaga atau metal lain biasanya melepas arsen
inorganik ke udara. Arsen dalam kadar rendah biasa ditemukan pada
kebanyakan fosil minyak, maka pembakaran zat tersebut menghasilkan
kadar arsen inorganik ke udara Penggunaan arsen terbesar adalah
untuk pestisida. Pemajanan Arsen ke dalam tubuh manusia umumnya
melalui oral, dari makanan / minuman. Arsen yang tertelan secara
cepat akan diserap lambung dan usus halus kemudian masuk ke
peredaran darah.

Dampak terhadap Kesehatan:Arsen inorganik telah dikenal sebagai


racun manusia sejak lama, yang dapat mengakibatkan kematian. Dosis
rendah akan mengakibatkan kerusakan jaringan. Bila melalui mulut,
pada umumnya efek yang timbul adalah iritasi saluran makanan, nyeri,
mual, muntah dan diare. Selain itu mengakibatkan penurunan
pembentukan sel darah merah dan putih, gangguan fungsi jantung,
kerusakan pembuluh darah, luka di hati dan ginjal.

9. Nitrogen Oxide (NOx)

NOx merupakan bahan polutan penting dilingkungan yang berasal


dari hasil pembakaran dari berbagai bahan yang mengandung
Nitrogen. Pemajanan manusia pada umumnya melalui inhalasi atau
pernafasan. Dampak terhadap kesehatan berupa keracunan akut
sehingga tubuh menjadi lemah, sesak nafas, batuk yang dapat
menyebabkan edema pada paru-paru.

10. Sulfur Oxide (SOx)

Sumber SO2 bersal dari pembakaran BBM dan batu bara,


penyulingan minyak, industri kimia dan metalurgi. Dampak pada
kesehatan berupa keracunan akut:

a. Pemajanan lewat ingesti efeknya berat, rasa terbakar di mulut,


pharynx, abdomen yang disusul dengan muntah, diare, tinja merah
gelap (melena). Tekanan darah turun drastis.
b. Pemajanan lewat inhalasi, menyebabkan iritasi saluran pernafasan,
batuk, rasa tercekik, kemudian dapat terjadi edema paru, rasa
sempit didada, tekanan darah rendah dan nadi cepat.
c. Pemajanan lewat kulit terasa sangat nyeri dan kulit terbakar.
11. Karbonmonoksida (CO)

Karbonmonoksida adalah gas yang tidak berbau dan tidak


berwarna, berasal dari hasil proses pembakaran tidak sempurna dari
bahan bakar yang mengandung rantai karbon (C).Pemajanan pada
manusia lewat inhalasi.

Dampak pada kesehatan :

a. Keracunan akut

Terjadi setelah terpajan karbonmonoksida berkadar tinggi. CO


yang masuk kedalam tubuh dengan cepat mengikat haemoglobine
dalam darah membentuk karboksihaemoglobine (COHb), sehingga
haemoglobine tidak mempunyai kemampuan untuk mengikat
oksigen yang sangat diperlukan untuk proses kehidupan dari pada
jaringan dalam tubuh. Hal ini disebabkan karena CO mempunyai
daya ikat terhadap haemoglobine 200 sampai 300 kali lebih besar
dari pada oksigen, yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi
otak atau hypoxia, susunan saraf, dan jantung, karena organ
tersebut kekurangan oksigen dan selanjutnya dapat mengakibatkan
kematian.

b. Keracunan kronis

Terjadi karena terpajan berulang-ulang oleh CO yang berkadar


rendah atau sedang.Keracunan kronis menimbulkan kelainan pada
pembuluh darah, gangguan fungsi ginjal, jantung, dan darah.

E. Toksikologi Limbah B3

Menurut PP No. 85 tahun 1999, selain berdasarkan sumber dan uji


karakteristik, suatu limbah B3 dapat juga diidentifikasi berdasarkan uji
toksikologi. Uji toksikologi digunakan untuk mengetahui sifat akut atau
kronik limbah yang dimaksud. Penentuan sifat akut limbah dilakukan
dengan uji hayati untuk mengukur hubungan dosis - respons antara limbah
dengan kematian hewan uji, untuk menetapkan nilai LD50.

LD50 (Lethal Dose fifty) adalah dosis limbah (gram / Kg Berat


Badan) yang dapat menghasilkan 50% respons kematian pada populasi
hewan uji. Nilai tersebut diperoleh dari analisis data secara grafis dan atau
statistik terhadap hasil uji hayati tersebut. Sifat kronis limbah B3 (toksik,
mutagenik, karsinogenik, teratogenik) ditentukan dengan cara
mengevaluasi sifat zat pencemar yang terdapat dalam limbah dengan cara
mencocokkan zat pencemar tersebut dengan PP 85/1999.

F. Hukum dan Penanganan B3

Limbah B3 perlu dikelola sebab jumlah dan jenis bahan kimia yang
beredar meningkat. Dengan beredarnya segala jenis limbah B3, maka
banyak terjadi kasus-kasus kecelakaan, keracunan, atau gangguan
kesehatan serta lingkungan yang disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya : penanganan dan penggunaan pestisida yang kurang baik dan
tepat, peredaran bahan kimia berbahaya yang sudah dilarang (arsen, garam
dan sianida), sistem pengemasan dan penandaan (simbol/label yang tidak
memadai), sistem penyimpanan yang tidak memenuhi persyaratan teknis.
Dalam upaya penanganan limbah B3, pengindentifikasian karakteristik
berbahaya dan beracun dari limbah suatu bahan yang dicurigai, merupakan
langkah awal yang paling mendasar ( Sari dkk., 2013). Dengan
diketahuinya karakteristik limbah, maka suatu upaya penanganan terpadu
akan dapat diterapkan yang terdiri dari pengendalian, pengurangan,
pengumpul, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan
akhir (PP No. 74 tahun 2001).

Strategi penanganan untuk mengoptimalkan sistem pengelolaan, adalah :


1. Hazardous waste minimization, adalah mengurangi sampai
seminimum mungkin jumlah limbah kegiatan industri.
2. Daur ulang dan recovery. Untuk cara ini dimaksudkan memanfaatkan
kembali sebagai bahan baku dengan metoda daur ulang
3. Proses pengolahan. Proses ini untuk mengurangi kandungan unsur
beracun sehingga tidak berbahaya dengan cara mengolahnya secara
fisik, kimia dan biologis.
4. Secured landfill. Cara ini mengkonsentrasikan kandungan limbah B3
dengan fiksasi kimia dan pengkapsulan, untuk selanjutnya dibuang ke
tempat pembuangan aman
5. Proses detoksifikasi dan netralisasi. Untuk menetralisasi kadar racun.
6. Incinerator, yaitu memusnahkan dengan cara pembakaran pada alat
pembakar khusus.

Pengelolaan Limbah B3 menurut LaGrenga (2001) yaitu:

1. Pengelolaan limbah B3 merupakan suatu kegiatan yang mencakup


penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan
penimbunan akhir.
2. Tujuan dari pengelolaan limbah B3 untuk melindungi kesehatan
masyarakat dan mencegah pencemaran lingkungan. Selain itu untuk
melindungi air tanah yang disebabkan cara penanganan limbah B3
yang belum memadai.
3. Cara yang dilaksanakan dengan mengendalikan elemen fungsional dan
menetapkan pola pengelolaannya.

Pengelolaan limbah :

a. Penyimpanan

Penyimpanan merupakan kegiatan penampungan sementara


limbah B3 sampai jumlahnya mencukupi untuk diangkut
ataudiolah.Hal ini dilakukan dengan pertimbangan efisiensi dan
ekonomis.Penyimpanan limbah B3 untuk waktu yang lama tanpa
kepastian yang jelas untuk dipindahkan ke tempat fasilitas
pengolahan, penyimpanan dan pengolahan tidak
diperbolehkan.Penyimpanan dalam jumlah yang banyak dapat
dikumpulkan di lokasi pengumpulan limbah.

Limbah cair dapat dimasukkan kedalam drum dan disimpan


dalam gudang yang terlindung dari panas dan hujan, sedangkan
limbah B3 berbentuk padat/lumpur dapat disimpan dalam bak
penimbun yang dasarnya dilapisi dengan lapisan kedap air.
Penyimpanan harus mempertimbangkan jenis dan jumlah limbah
B3 yang dihasilkan.

Jenis dan karakter limbah B3 akan menentukan bentuk


bahan pewadahan yang sesuai dengan sifat limbah B3, sedangkan
jumlah limbah B3 dan periode timbulan menentukan volume yang
harus disediakan. Bahan yang digunakan untuk wadah dan sarana
lainnya dipilih berdasarkan karakteristik buangan. Contoh untuk
buangan yang korosif disimpan dalam wadah yang terbuat dari
fiber glass.

b. Pengangkutan

Apabila tidak ditangani di tempat, limbah B3 diangkut ke


sarana penyimpanan, pengolahan akhir, dengan menggunakan
sarana pengangkutan seperti, truk, kereta api dan kapal. Untuk
menjaga agar limbah B3 ditangani sesuai prosedur yang benar,
harus dilakukan sejak sumber sampai ke tempat pembuangan akhir
(tracking system)

c. Pengolahan

Limbah B3 memerlukan pengolahan sebelum dibuang ke


pembuangan akhir atau didaur ulang, baik secara fisik, kimia,
biologis atau pembakaran. Kombinasi dari cara pengolahan
seringkali diterapkan untuk memperoleh hasilyang efektif tetapi
murah biayanya dan dapat diterima oleh lingkungan.
Pengolahan ditujukan untuk mengurangi dan
menghilangkan racun/detoksitasi, merubah bahan berbahaya
menjadi kurang berbahaya atau mempersiapkan proses berikutnya.
Pengolahan teknologi secara tepat tergantung jenis yang akan
diolah, dan tergantung dari bentuk limbah (padat, cair, gas atau
Lumpur).

Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi :

1) Bahan industri harus sesuai dengan karakter limbah B3


2) Kontainer harus telindung dari hujan dan berventilasi.
3) Lantai dasar bangunan harus kedap air untuk menghindari
bocor.
4) Drum yang berisi limbah yang mudah bereaksi harus disimpan
terpisah, untuk mengurangi kemungkinan kebakaran, ledakan
dan atau keluarnya gas beracun.
5) Semua drum yang disimpan harus dalam keadaan tertutup dan
tidak bocor.
6) Semua drum harus diberi label yang memuat informasi
tentang jenis limbah bahan berbahaya dan beracun tersebut

d. Pembuangan Akhir (Disposal)

Pembuangan akhir ke tanah dibedakan atas landfill dan


sumur injeksi. Pembuangan ke tanah bukan merupakan akhir
permasalahan dari industri pengolahan sampah B3. Penimbunan ke
dalam tanah merupakan cara yang popular dan umum. Cara ini
mudah dilaksanakan, tidak perlu keahlian khusus maupun alat
khusus, biaya awal rendah, namun untuk jangka waktu lama
penimbunan menjadi mahal. Buangan industri berakibat lain karena
bahan kimia seperti hidrokarbon dan bahan kimia sintetis adalah
non biodergradabel, sehingga bila ditimbun materi tersebut akan
berada di sana untuk selamanya.
Menurut Damanhuri dan Enri (2010) terdapat banyak metode pengolahan
limbah B3 di industri, tiga metode yang paling populer di antaranya ialah:

1. Chemical Conditioning

Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical


conditioning. Tujuan utama dari chemical conditioning ialah:

a. Menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam


lumpur

b. Mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur

c. Mendestruksi organisme patogen

d. Memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioningyang masih


memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada
proses digestion

e. Mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam


keadaan aman dan dapat diterima lingkungan

1) Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai


berikut:
a) Concentratiothickening

Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang


akan diolah dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat
yang umumnya digunakan pada tahapan ini ialah gravity
thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya
merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya
pada tahapan de-watering selanjutnya. Walaupun tidak
sepopuler gravity thickener dan centrifuge, beberapa unit
pengolahan limbah menggunakan proses flotationpada tahapan
awal ini.

b) Treatment, stabilization, andconditioning


Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa
organik dan menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat
dilakukan melalui proses pengkondisian secara kimia, fisika, dan
biologi. Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan adanya
proses pembentukan ikatan bahan-bahan kimia dengan partikel
koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan
memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian
dan destruksi. Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan
adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi.
Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini
ialah lagooning, anaerobic digestion,aerobic digestion, heat
treatment, polyelectrolite flocculation, chemical conditioning,
dan elutriation.

c) De-wateringanddrying

De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau


mengurangi kandungan air dan sekaligus mengurangi volume
lumpur. Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah
pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying
bed, filter press, centrifuge, vacuum filter, dan belt press.

d) Disposal

Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa


proses yang terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet
air oxidation, dancomposting. Tempat pembuangan akhir limbah
B3 umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atauinjection well.

2) Solidification/Stabilization

Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/


stabilization juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara
umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah
dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi
bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah
tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan
suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses
tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti
yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya
dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:

a) Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam


limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar
b) Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation
tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur
kristal pada tingkat mikroskopik
c) Precipitation
d) Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara
elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
e) Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan
menyerapkannya ke bahan padat
f) Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun
menjadi senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau
bahkan hilang sama sekali

Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen,


kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di
lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant
mixing. Peraturan mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh
BAPEDAL berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-
04/BAPEDAL/09/1995.

2. Incineration

Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang


menarik dalam teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi
volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat).
Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah
padat karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat
yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi
menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki
beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen limbah B3
dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu,
insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.

Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan


energi (heating value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam
mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga
menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi.
Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah
padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single
chamber, multiple chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit.
Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan
karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara
simultan (Mato dan Kesengga, 1997).

Limbah B3 kebanyakan terdiri dari karbon, hydrogen dan oksigen.


Dapat juga mengandung halogen, sulfur, nitrogen dan logam berat.
Hadirnya elemen lain dalam jumlah kecil tidak mengganggu proses
oksidasi limbah B3. Struktur molekul umumnya menentukan bahaya dari
suatu zat organic terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Bila
molekul limbah dapat dihancurkan dan diubah menjadi karbon dioksida
(CO2), air dan senyawa anorganik, tingkat senyawa dapat berkurang.
Untuk penghancuran dengan panas merupakan salah satu teknik untuk
mengolah limbah B3 (Watts, 1997).

Inceneration adalah alat untuk menghancurkan limbah berupa


pembakaran dengan kondisi terkendali. Limbah dapat terurai dari senyawa
industri menjadi senyawa sederhana seperti CO2 dan H2O. Incenerator
efektif terutama untuk buangan industri dalam bentuk padat, cair, gas,
lumpur cair dan lumpur padat. Proses ini tidak biasa digunakan limbah
industri seperti lumpur logam berat (heavy metal sludge) dan asam
anorganik. Zat karsinogenik patogenik dapat dihilangkan dengan
sempurna bila insenerator dioperasikan. Incenerator memiliki kelebihan,
yaitu dapat menghancurkan berbagai senyawa industri dengan sempurna,
tetapi terdapat kelemahan yaitu operator harus yang sudah terlatih. Selain
itu biaya investasi lebih tinggi dibandingkan dengan metode lain dan
potensi emisi ke atmosfir lebih besar bila perencanaan tidak sesuai dengan
kebutuhan operasional.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa :
1. B3 atau Bahan Berbahaya dan Beracun ialah setiap bahan sisa (limbah)
suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya
dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan
corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan
lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.
2. Limbah B3 dapat dibedakan berdasarkan karakteristiknya yaitu: Bahan
Kimia Beracun (Toxic), Bahan Kimia Korosif (Corrosive), Bahan
Kimia Mudah Terbakar (Flammable), Bahan Kimia Peledak
(Explosive), Bahan Kimia Oksidator (Oxidation), Bahan Kimia Reaktif
Terhadap Air (Water Sensitive Substances), Bahan Kimia Reaktif
Terhadap Asam (Acid Sensitive Substances), Gas Bertekanan
(Compressed Gases), Bahan Kimia Radioaktif (Radioactive
Substances).
3. Sumber limbah B3 dibedakan menjadi beberapa yaitu : Limbah B3
dari sumber tidak spesifik, Limbah B3 dari sumber spesifik, Limbah
B3 dari sumber lain.
4. Limbah dari industri kima pada umumnya mengandung berbagai
macam unsur logam berat yang mempunyai sifat akumulatif dan
beracun (toxic) sehingga berbahaya bagi kesehatan manusia, dan
berdampak bagi kelangsungan hidupnya.
5. Sifat kronis limbah B3 (toksik, mutagenik, karsinogenik, teratogenik)
ditentukan dengan cara mengevaluasi sifat zat pencemar yang terdapat
dalam limbah dengan cara mencocokkan zat pencemar tersebut dengan
PP 85/1999.
6. Dengan beredarnya segala jenis limbah B3, maka banyak terjadi kasus-
kasus kecelakaan, keracunan, atau gangguan kesehatan serta
lingkungan. Dengan diketahuinya karakteristik limbah, maka suatu
upaya penanganan terpadu akan dapat diterapkan yang terdiri dari
pengendalian, pengurangan, pengumpul, penyimpanan, pengangkutan,
pengolahan dan pembuangan akhir.
B. Saran
Limbah B3 ( Bahan Berbahaya dan Beracun) sangat berbahaya dan dapat
mempengaruhi kesehatan masyarakat yang bermukim di sekitar tempat
usaha/kegiatan yang menghasilkan limbah B3 tersebut. Oleh karena itu pihak
perusahaan harus memperhatikan bahaya serta cara pengelolaan limbah tersebut
agar tidak mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Damanhuri, Enri. 2010. Diktat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun


(B3). Jurusan Teknik Lingkungan. Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan ITS; Surabaya.

Gambiro, H. 2000. Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Pusat


pengembangan bahan ajar-UMB.

Huffman, GL., dan Lee, C.C. 1996. Review Madical waste


management/incineration. Journal of Hazardous Materialls 48, 1-30.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No.Kep. 187/Men/1999 Tentang


Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya di Tempat Kerja. (online).

LaGrega, M. D., Buckingham, P. D., & Evans, J. C. (2001). Hazardous Waste


Management. Singapore: McGraw-Hill.

Mato, R.R.A.M., dan Kassenga, G.R. 1997. A study on problem of


management of medical solid waste in Dar es Salaam and their remidial
measures. Resources, Conservation, and Recycling 21, 1-16.

Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan


Berbahaya dan Beracun.

Sari, Kumala, Tika,. 2013. Makalah Pengelolaan Limbah B3; Pengelolaan


Limbah B3 PT. Indominco Mandiri. Jurusan Teknik Lingkungan.
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS; Surabaya.

Sekretariat Negara. 1999. Peraturan Pemerintahan RI No. 18 Tahun 1999


tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Jakarta,
Indonesia.

Sucipto, Cecep, Dani. 2014. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Gosyen


Publishing, Yogyakarta.
Watts, R. J. 1997. Hazardous Waste Sources, Pathways, Receptor. New York :
John wiley & sons, inc
LATIHAN SOAL

I. Pilihan Ganda

1. Jenis limbah B3 dapat dibedakan berdasarkan karakteristiknya,


yaitu..

a. Bahan Kimia Beracun (Toxic), Bahan Kimia Korosif


(Corrosive), Bahan Kimia Peledak (Explosive)
b. Bahan Kimia Korosif (Corrosive), Bahan Kimia Peledak
(Explosive), Bahan Kimia Pemanis (Sweetener)
c. Bahan Kimia Beracun (Toxic), Bahan Kimia Korosif
(Corrosive), Bahan Kimia Pengawet (Representative)
d. Bahan Kimia Berwarna (Colored), Bahan Kimia Korosif
(Corrosive), Bahan Kimia Mudah Terbakar (Flammable)
e. Bahan Kimia Mudah Terbakar (Flammable), Bahan Kimia
Radioaktif (Radioactive Substances), Cairan Bertekanan
(Compressed Liquid)

2. Bahan Kimia Reaktif Terhadap Asam (Acid Sensitive Substances)


adalah..

a. Bahan kimia yang tidak mudah bereaksi dengan asam


menghasilkan panas dan gas yang mudah terbakar atau gas-
gas yang beracun dan radioaktif.
b. Bahan kimia yang tidak mudah bereaksi dengan basa
menghasilkan panas dan uapyang mudah terbakar atau uap-
uap yang beracun dan korosif.
c. Bahan kimia yang amat mudah bereaksi dengan garam
menghasilkan panas dan gas yang mudah terbakar atau gas-
gas yang aman namun korosif.
d. Bahan kimia yang dapat bereaksi dengan asam
menghasilkan panas dan gas yang mudah terbakar atau gas-
gas yang beracun dan tidak korosif.
e. Bahan kimia yang amat mudah bereaksi dengan asam
menghasilkan panas dan gas yang mudah terbakar atau gas-
gas yang beracun dan korosif.

3. Berdasarkan United Nation / North America UN/UNA, Bahan


Kimia Berbahaya ini dibagi menjadi 7, diantaranya adalah..

a. Kelas 1 : Mudah Meledak; Kelas 2 : Gas-Gas; Kelas 3 :


Cairan Yang Mudah Menyala (Flammable Gas)
b. Kelas 4 : Padatan; Kelas 5 : Bahan Beroksidasi (Oxidizing
Agent); Kelas 6 : Bahan Beracun Atau Mengakibatkan
Infeksi; Kelas 7 : Bahan Yang Beradiasi.
c. Kelas 3 : Cairan Yang Mudah Menyala (Flammable Gas);
Kelas 4 : Padatan; Kelas 5 : Bahan Beroksidasi (Oxidizing
Agent)
d. Kelas 5 : Bahan Beroksidasi (Oxidizing Agent); Kelas 6 :
Bahan Beracun Atau Mengakibatkan Infeksi; Kelas 7 :
Bahan Yang Beradiasi
e. a, b, c, d benar

4. untuk mendeteksi kandungan B3 dalam limbah, dilakukan uji


secara kualitatif dan kuantitatif, uji kualitatif yang dilakukan
adalah..

a. Screening test
b. Fingerprint test
c. Scanning test
d. Trial test
e. a dan b benar

5. Limbah dapat dinyatakan sebagai golongan limbah B3 karena


bersifat korosif, apabila memiliki pH sebesar..

a. kurang lebih sama dengan 10,5


b. kurang lebih sama dengan 12,5
c. kurang lebih sama dengan 4
d. kurang lebih sama dengan 7
e. kurang lebih sama dengan 9,5

6. Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan


menjadi..

a. Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki


sedimentasi pada pemisahan awal dan banyak mengandung
biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah
menguap.
b. Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses
koagulasi dan hidrogenasi
c. Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari
proses pengolahan dengan lumpur aktif sehingga banyak
mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil
proses tersebut.
d. Hanya jawaban a benar
e. b dan c benar

7. Beberapa Industri yang memberikan efluents Hg adalah..

a. Pabrik yang memproses chlorin, Produksi Coustic soda,


Tambang dan prosesing biji Ag
b. Metalurgi dan elektroplating, Pabrik Kimia, Pabrik Tahu
c. Pabrik tempe, Penyamakan Kulit, Pabrik Tekstil
d. Pabrik Tekstil, Perusahaan Farmasi, Penambangan pasir
tradisional
e. Produksi Coustic soda, metalurgi dan elektroplating,
perusahaan Farmasi

8. Kelompok resiko tinggiterkena chromium yaitumereka yang


merupakan..
a. Pekerja di industri yang memproduksi dan menggunakan C.
b. Perumahan yang terletak jauh dari tempat produksi akan
terpajan Cr-VI lebih tinggi.
c. Perumahan yang dibangun diatas bekas landfill, akan
terpajan melalui pernafasan (inhalasi) atau kulit.
d. Perumahan yang terletak dekat tempat produksi akan
terpajan Ag-II lebih tinggi.
e. Pekerja di industri yang memproduksi dan menggunakan
Ca.

9. Dampak pada kesehatan berupa keracunan akut gas SOx adalah..

a. Pemajanan lewat ingesti efeknya berat, rasa terbakar di


mulut, pharynx, abdomen yang disusul dengan muntah,
diare, tinja merah gelap (melena).
b. Pemajanan lewat inhalasi, menyebabkan iritasi saluran
pernafasan, batuk, rasa tercekik, kemudian dapat terjadi
edema paru, rasa sempit didada, tekanan darah rendah dan
nadi cepat.
c. Pemajanan lewat kulit terasa sangat nyeri dan kulit
terbakar.
d. Tekanan darah turun drastis.
e. Semua jawaban benar.

10. Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 adalah chemical


conditioning. Tujuan utama dari chemical conditioning adalah..
a. Mereduksi volume dengan mengurangi kandungan oksigen
dalam lumpur
b. Mendestruksi organisme baik.
c. Memanfaatkan hasil samping proses chemical
conditioningyang masih memiliki nilai ekonomi seperti gas
sulfur oksida yang dihasilkan pada proses digestion
d. Mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan
dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan.
e. Semua jawaban benar
11. Tujuan dari De-watering and drying dalam proses Chemical
conditioning adalah untuk..

a. Menghilangkan atau mengurangi kandungan air dan


sekaligus mengurangi volume lumpur.
b. Menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan
patogen.
c. Mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan cara
meningkatkan kandungan padatan.
d. Mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan
dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan.
e. Semua benar.

12. Peraturan mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh..

a. BAPEDAL berdasarkan Kep-05/BAPEDAL/09/1990 dan


Kep-04/BAPEDAL/09/1992
b. BAPEDAL berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan
Kep-04/BAPEDAL/09/1995
c. BAPEDAL berdasarkan Kep-02/BAPEDAL/08/1995 dan
Kep-04/BAPEDAL/09/1993
d. BAPEDAL berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1996 dan
Kep-04/BAPEDAL/09/1999
e. BAPEDAL berdasarkan Kep-02/BAPEDAL/08/1995 dan
Kep-04/BAPEDAL/09/1997

13. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat


dibagi menjadi 6 golongan, yaitu diantaranya..

a. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip


macroencapsulation tetapi bahan pencemar tidak
terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat
mikroskopik
b. Precipitation
c. Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat
secara elektrokimia pada bahan pemadat melalui
mekanisme koagulasi.
d. Absorbsi, yaitu proses penguapan bahan pencemar dengan
menyerapkannya ke bahan padat
e. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa
beracun menjadi senyawa lain yang tingkat toksisitasnya
lebih tinggi.

14. Limbah yang bersifat reaktif adalah limbah-limbah yang


mempunyai beberapa sifat berikut :

1) Limbah yang pada keadaan normal tidak stabil dan dapat


menyebabkan perubahan tanpa peledakan.
2) Limbah yang tidak dapat bereaksi dengan air.
3) Apabila tercampur air akan meledak, menghasilkan gas,
uap, asap beracun yang membahayakan bagi manusia dan
lingkungan.
4) Limbah kalsium, karbon, dan amoniak yang dapat
membahayakan kesehatan manusia.
5) Limbah yang mudah meledak atau bereaksi pada suhu dan
tekanan standar (25˚C, 760mmHG).
6) Limbah yang menyebabkan kebakaran Karena melepas /
menerima oksigen.

Jawaban yang tepat adalah..

a. 1), 2), dan 3)


b. 2), 3), dan 4)
c. 4), 5), dan 6)
d. 1), 5), dan 6)
e. 3), 4), dan 6)

15. Sekali masuk ke dalam tubuh timah didistribusikan terutama ke 3


(tiga) komponen yaitu..
a. Darah
b. Jaringan lunak (ginjal, sumsum tulang, liver, otak)
c. Jaringan dengan mineral (tulang + gigi).
d. Hanya a benar
e. Semua benar

II. Esai

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan B3 atau Bahan Berbahaya dan


Beracun?
2. Sebutkan pembagian jenis bahan kimia berbahaya berdasarkan United
Nation / North America UN/UNA!
3. Sebutkan beberapa dampak kesehatan yang terjadi bila terkena
chromium!

Jawab :

4. Sekali masuk ke dalam tubuh timah didistribusikan terutama ke 3


(tiga) komponen yaitu apa sajakah?
5. Sebutkan tujuan utama dari chemical conditioning!
III. Jawaban Soal

Pilihan Ganda

1. A
2. E
3. E
4. E
5. B
6. D
7. E
8. C
9. E
10. D
11. A
12. B
13. B
14. D
15. E

Essai

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan B3 atau Bahan Berbahaya dan


Beracun?

Jawab :

Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah


setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang
mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat
(toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi
atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan
kesehatan manusia.
2. Sebutkan pembagian jenis bahan kimia berbahaya berdasarkan
United Nation / North America UN/UNA!

Jawab :

a. Kelas 1 : Mudah Meledak

Semua bahan atau benda yang dapat menghasilkan efek


ledakan. Contoh : Amonium nitrate, Amonium perchlorate.

b. Kelas 2 : Gas-Gas

Terdiri dari gas yang mudah terbakar (acetelyne, LPG,


Hydrogen, CO, ethylene, ethyl flouride).

c. Kelas 3 : Cairan Yang Mudah Menyala (Flammable Gas)

Cairan yang mudah menyala bila kontak dengan sumber


penyalaan. Cairan yang mempunyai titik penyalaan kurang dari
61⁰C. Contoh :Bahan padat yang mudah menyala (petrol,
acetone, benzene, butanol).

d. Kelas 4 : Padatan

Bahan padat yang mudah menyala bila kontak dengan


sumber penyalaan dari luar seperti percikan api atau api. Bahan
ini siap menyala jika mengalami gesekan. Contoh : sulpur,
pospor, picric acid, magnesium, alumunium powder.

f. Kelas 5 : Bahan Beroksidasi (Oxidizing Agent)

Organic peroxides dapat membantu pembakaran dari


material yang mudah terbakar. Contoh : benzol peroxides,
methyl ethyl ketone peroxide, dicetyl perdicarbonate, peracetic
acid.
g. Kelas 6 : Bahan Beracun Atau Mengakibatkan Infeksi

Bahan yang dapat mengakibatkan infeksi dan bahan yang


mengandung organisme penyebab penyakit. Contoh : tisue dari
pasien, tempat pengembang biakan virus, bakteri, tumbuhan
atau hewan

h. Kelas 7 : Bahan Yang Beradiasi

Radioactive bahan yang mengandung material atau


combinasi dari material yang dapat memancarkan radiasi
secara spontan.Contoh : uranium, 90Co, tritium, 32P, 35S,
125I, 14C.

3. Sebutkan beberapa dampak kesehatan yang terjadi bila terkena


chromium!

Jawab :

a. Cr (III) merupakan unsur penting dalam makanan (trace


essential) yang mempunyai fungsi menjaga agar metabolisme
glucosa, lemak dan cholesterol berjalan normal.
b. Organ utama yang terserang karena Cr terhisap adalah paru-
paru, sedangkan organ lain yang bisa terserang adalah ginjal,
lever, kulit dan sistem imunitas.
c. Efek pada Kulit :Dermatitis berat dan ulkus kulit karena kontak
dengan Cr-IV.
d. Efek pada Ginjal :Bila terhirup Cr-VI dapat mengakibatkan
necrosis tubulus renalis.
e. Efek pada Hati :Pemajanan akut Cr dapat menyebabkan
necrosis hepar.
f. Bila terjadi 20 % tubuh tersiram asam Cr akan mengakibatkan
kerusakan berat hepar dan terjadi kegagalan ginjal akut.

4. Sekali masuk ke dalam tubuh timah didistribusikan terutama ke 3


(tiga) komponen yaitu apa sajakah?
Jawab :

a. Darah,
b. Jaringan lunak (ginjal, sumsum tulang, liver, otak),
c. Jaringan dengan mineral (tulang + gigi).

5. Sebutkan tujuan utama dari chemical conditioning!

Jawab :

a. Menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di


dalam lumpur
b. Mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam
lumpur
c. Mendestruksi organisme patogen
d. Memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning
yang masih memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang
dihasilkan pada proses digestion
e. Mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan
dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan.
MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN
“DINAMIKAN TOKSIKAN DALAM LINGKUNGAN”

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Toksikologi Lingkungan


Dosen Pembimbing: Dr. Pranoto, M.Sc.

Disusun oleh Kelompok IV:

1. Annisa Dinan Ghaisani (M0314007)


2. Diah Ayu Rivani (M0314019)
3. Ema Nova Fajariani (M0314025)
4. Fatimah Riska Prasetyaningrum (M0314034)
5. Intan Kartika C (M0314046)
6. Rafinda Marsha Aliestyani (M0314061)
7. Saras Nur Aisyiyah (M0315058)

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
ini dengan lancar. Tujuan yang hendak dicapai dalam pembuatan tugas makalah
ini yaitu menjelaskan tentang Dinamikan Toksikan dalam Lingkungan.
Dalam penyusunan tugas ini, kami mendapat bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada:
4. Bapak Dr. Pranoto, M.Sc. selaku dosen MKP Toksikologi Lingkungan.
5. Orang tua yang telah memberi dukungan
6. Teman – teman yang telah memberikan saran dan bantuan dalam
pembuatan tugas ini.
Kami harap tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila terjadi
kesalahan dalam penulisan ini, kritik dan saran sangat diharapkan.

Surakarta, 8 Nopember 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i


KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3
A. Perpindahan Polutan di Lingkungan ..................................................................... 3
B. Reaksi Perpindahan Polutan di Lingkungan ......................................................... 5
C. Karakteristik Media Lingkungan ........................................................................ 13
D. Penelitian Toksikologi secara Meruang dan Mewaktu ....................................... 19
BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 23
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 23
B. Saran .................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 24
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kadar tertinggi yang diijinkan (KTD) logam-logam berat (mg/L) ................... 12

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan salah satu komponen lingkungan alam yang hidup
bersama dengan komponen alam lainnya serta mengelola dan merawat lingkungan
sekitar. Manusia adalah makhluk yang memiliki akal dan pikiran, peranannya
dalam mengelola lingkungan sangat besar. Manusia dapat dengan mudah
mengatur alam dan lingkungannya sesuai dengan yang diinginkan melalui
pemanfaatan ilmu dan teknologi yang dikembangkannya. Akibat perkembangan
ilmu dan teknologi yang semakin pesat, kebudayaan manusia pun berubah dimulai
dari budaya hidup berpindah-pindah, kemudian hidup menetap dan mulai
mengembangkan buah pikirannya yang terus berkembang sampai sekarang ini.
Hasilnya berupa teknologi yang dapat membuat manusia lupa akan tugasnya
dalam mengelola bumi. Teknologi yang mereka ciptakan digunakan untuk hal-hal
yang tidak semestinya dilakukan, sifat dan perilakunya semakin berubah
cenderung menuju hal-hal yang konsumtif dan boros sehingga menyebabkan
kerusakan lingkungan.
Kerusakan lingkungan disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah
pencemaran. Pencemaran ada yang diakibatkan oleh alam, dan ada pula yang
diakibatkan oleh perbuatan manusia. Namun, saat ini banyak terjadi pencemaran
akibat dari ulah manusia seperti pencemaran air, tanah dan udara. Pencemaran
membuat masuknya polutan ke dalam lingkungan dan tersebar dalam ekosistem.
Polutan ini mengalami berbagai macam reaksi yang terlibat dengan lingkungan
yang ada di sekitarnya, baik pada medium udara, air maupun tanah. Akibatnya
karakteristik pada suatu ekosistem dapat berubah dan berpotensi menimbulkan
ketidakseimbangan ekosistem. Dengan adanya dampak tersebut, maka kini
banyak penelitian yang memanfaatkan teknologi untuk menerapkan toksikologi
dalam penyelesaian masalah-masalah di lingkungan. Makalah ini membahas
mengenai perpindahan polutan di lingkungan, karakteristik media lingkungan dan
penelitian toksikologi secara meruang dan mewaktu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perpindahan dan reaksi polutan di lingkungan ?
2. Bagaimana karakteristik media lingkungan?
3. Bagaimana penelitian toksikologi secara meruang dan mewaktu?
C. Tujuan
1. Mengetahui perpindahan dan reaksi polutan pada lingkungan.
2. Mengetahui karakteristik media lingkungan.
3. Mengetahui penelitian toksikologi secara meruang dan mewaktu.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Perpindahan Polutan di Lingkungan


Pengertian polusi yaitu masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat
energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan
lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas
lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya
(Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982).
Sedangkan polutan adalah suatu zat yang menjadi sebab pencemaran terhadap
lingkungan. Jadi, polutan disebut juga sebagai zat pencemar. Suatu zat atau bahan
dapat disebut sebagai zat pencemar atau polutan apabila zat atau bahan tersebut
mengalami hal-hal sebagai berikut:
1. Jumlahnya melebihi jumlah normal/ambang batas.
2. Berada pada tempat yang tidak semestinya.
3. Berada pada waktu yang tidak tepat.
Sifat polutan sendiri yaitu :
1. Merusak untuk sementara, tetapi bila telah bereaksi dengan zat
lingkungan tidak merusak lagi.
2. Merusak dalam jangka waktu yang lama. Contohnya yaitu Pb, Pb tidak
merusak bila konsentrasinya rendah. Akan tetapi dalam waktu yang lama,
Pb dapat terakumulasi dalam tubuh sampai tingkat yang merusak.
Transformasi atau perpindahan bahan toksik di lingkungan yang terjadi secara
fisik antara lain dapat melalui proses: perpindahan meteorologik, pengambilan
biologik, penyerapan, volatilisasi, aliran, pencucian dan jatuhan. Transformasi
kimia dapat melalui proses fotolisis, oksidasi, hidrolisis dan reduksi. Transportasi
bahan kimia diketahui terjadi baik di dalam kompartemen lingkungan
(intraphase) maupun diantara kompartemen-kompartemen tersebut
(interphase), dan menjadi poin penting dalam memahami dan
menginterpretasi data toksikologi lingkungan. Skenario yang paling mungkin
dalam lepasnya suatu bahan kimia ke dalam lingkungan akan melibatkan
proses-proses: pelepasan bahan kimia ke dalam suatu kompartemen, kemudian
mengalami proses partisi ke dalam beberapa kompartemen lingkungan,
kemudian melakukan gerakan dan reaksi dalam setiap kompartemen, lalu
mengalami partisi dalam setiap kompartemen dan biota yang terdapat dalam
kompartemen lingkungan tersebut, dan akhirnya sampai ke suatu lokasi aktif
(reseptor) pada organisme dengan konsentrasi yang cukup tinggi dan durasi
yang cukup lama untuk menimbulkan suatu dampak. Oleh karena itu, dinamika
bahan kimia (chemodynamics) adalah studi tentang pelepasan bahan kimia,
distribusi, degradasi dan deposisi-nya di dalam lingkungan. Sedangkan
transformasi biologi berlangsung melalui proses biotransformasi. Penyebaran
bahan toksik di lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh sejumlah proses
pengangkutan seperti evaporasi (penguapan), presipitasi, pencucian dan aliran.
Penguapan akan menurunkan konsentrasi bahan toksik dalam air, sedangkan
presipitasi, pencucian dan aliran cenderung meningkatkan konsentrasi bahan
toksik.
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses perpindahan polutan, yaitu :
1. Faktor Meteorologis
Faktor meteorologis mempunyai peranan yang penting dalam menentukan
kualitas udara di suatu daerah. Faktor ini meliputi :
a. Kecapatan dan arah angin,
b. Kelembaban,
c. Suhu udara,
d. Tekanan udara dan
e. Aspek tinggi permukaan
2. Difusi
Difusi merupakan peroses penyebaran zat pencemar di udara. Proses difusi
toksikan di udara terbagi dua yaitu :
a. Difusi molekuler adalah perjalanan penyerapan zat ke dalam atmosfer
melalui kontak molekul, pada umumnya berjalan lambat.
b. Difusi turbulensi adalah penyerapan atau peresapan zat ke dalam atmosfer
karena adanya proses turbulensi.
3. Dispersi
Proses dispersi toksikan di atmosfer melibatkan tiga mekanisme utama, yaitu
:
a. Gerakan global
b. Fluktuasi turbulensi
c. Difusi toksikan terhadap lingkungan sekitar akibat perbedaan konsentrasi.
4. Presipitasi atau jatuhan
Presipitasi merupakan peristiwa di mana terjadi proses diatmosfer seperti
hujan ataupun salju, lapisan kabut, turbulensi, serta karakteristik permukaan
merupakan faktor utama dalam pembersihan atmosfer sehingga zat pencemar
dapat terendapkan. Proses pembersihan atau penghilangan zat pencemar ini terjadi
melalui dua mekanisme, yaitu rain out dan wash out.
a. Rain out terjadi pada saat proses kondensasi dengan partikel pencemar
sebagai butir kondensasi.
b. Wash out terjadi pada saat air hujan dalam perjalananya menuju
permukaan bereaksi dengan partikel-partikel pencemar.
B. Reaksi Perpindahan Polutan di Lingkungan
1. Proses reaksi Bahan polutan pada medium udara
Polutan udara yang paling umum adalah Partikulat, Ozon, CO, SO2, NO2, dan
Pb (Timbal). Polutan ini selain dapat mengganggu kesehatan dan lingkungan, juga
dapat merusak bangunan. Dari keenam jenis polutan tersebut, yang paling
membahayakan kesehatan secara luas adalah Partikulat dan Ozon.
1. Partikulat
Partikulat adalah campuran dari partikel padat dan tetesan cairan yang
terdapat di udara. Beberapa jenis partikel, seperti debu, kotoran, jelaga
atau asap, cukup besar untuk dapat dilihat oleh mata. Yang lainnya hanya
dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop elektron.
Partikel terdiri dari berbagai ukuran dan bentuk, serta dapat terbentuk
dari ratusan jenis bahan kimia. Partikel terbagi menjadi partikel primer dan
partikel sekunder. Partikel primer adalah partikel yang diemisikan
langsung dari sumbernya, misalnya partikel yang dihasilkan dari lokasi
konstruksi, jalan tak beraspal, cerobong, dll. Partikel sekunder terbentuk
oleh reaksi kimia yang kompleks di atmosfer, misalnya SOx dan NOx.
Ukuran partikel berdampak langsung terhadap potensinya dalam
mengganggu kesehatan. Partikel yang berukuran <10 mikrometer,
menyebabkan masalah yang terbesar karena dapat masuk ke dalam paru-
paru, bahkan ke dalam aliran darah. Terpapar oleh partikel ukuran kecil ini
dapat menimbulkan resiko pada kesehatan paru-paru dan juga jantung,
seperti :
a) Kematian dini pada penderita penyakit paru dan jantung
b) Serangan jantung
c) Detak jantung yang tidak beraturan
d) Memperburuk penyakit asma
e) Menurunkan kemampuan fungsi paru-paru
f) Kesulitan bernafas

2. Ozon (O3)
Ozon ditemukan di atmosfer bumi dan di permukaan tanah. Ozon di
atmosfer bumi berfungsi untuk melindungi bumi dari sinar matahari yang
berbahaya, sedangkan Ozon di permukaan tanah adalah komponen utama
dari kabut asap. Ozon di permukaan tanah tercipta karena reaksi kimia
antara Nitrogen Oksida (NOx) dengan Volatile Organic Compounds
(VOC). Sumber utama NOx dan VOC adalah emisi kegiatan industri, gas
buang kendaraan, uap dari bahan bakar minyak, pelarut dari bahan kimia.
Pada siang hari yang panas dan cerah, Ozon dapat mencapai tingkat
membahayakan kesehatan. Menghirup udara yang mengandung Ozon
dapat memicu sejumlah masalah kesehatan seperti batuk, iritasi
tenggorokan, dan nyeri dada. Selain itu, Ozon dapat memperburuk kondisi
penderita bronchitis dan asma, serta dapat mengurangi fungsi paru-paru
dan menyebabkan peradangan paru-paru. Paparan berulang-ulang dapat
menyebabkan parut pada jaringan paru yang permanen.
3. Karbon Monoksida (CO)
Karbon monoksida adalah gas tak berwarna, tak berbau, yang
dihasilkan dari proses pembakaran. Bila terhirup, CO dapat
membahayakan kesehatan karena mengurangi pengiriman oksigen ke
organ tubuh, seperti ke jantung, otak, dan jaringan tubuh lainnya. Pada
tingkat yang sangat tinggi, CO dapat menyebabkan kematian. Karbon
monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak
berasa. Secara alami karbon monoksida dihasilkan pada proses kebakaran
hutan, reaksi di dasar laut, reaksi terpena, oksidasi metana (CH4), dan
degradasi klorofil. Sumber CO lainnya yang berkaitan dengan kegiatan
manusia adalah pembakaran tidak sempurna bahan bakar kendaraan
bermotor, dan asap rokok. Pembakaran bahan bakar secara tidak sempurna
banyak terjadi pada kendaraan bermotor, dan penyulingan minyak. Karbon
monoksida juga banyak dihasilkan pada proses pengolahan bijih besi dan
pembuatan kertas.
Karbon monoksida dapat menurunkan kapasitas darah dalam
mengangkut oksigen. Sebagai akibatnya, kebutuhan tubuh akan oksigen
tidak terpenuhi dengan baik. Akibat lebih lanjut yang ditimbulkan adalah
terganggunya fungsi koordinasi dan mental. Secara berurutan gejala yang
ditimbulkan CO, dengan semakin meningkatnya konsentrasi, adalah sakit
kepala, pusing, badan lemah, telinga berdengung, mabuk, muntah-muntah,
sulit bernafas, lemah otot, tidak sadar, pingsan, dan mati.
Gas CO dapat bertahan di udara selama kurang lebih satu bulan. Oleh
radikal hidroksil, CO teroksidasi menjadi CO2. Gas CO di udara juga dapat
berkurang jumlahnya karena adanya proses biologi dalam tanah, dan
pindah ke lapisan stratosfer yang kemudian diikuti dengan oksidasi
menjadi CO.
4. Sulfur Oksida (SO2)
Sumber utama dari emisi SO2 adalah pembakaran bahan bakar fosil di
pembangkit listrik dan kegiatan industri lainnya. SO2 dihubungkan dengan
sejumlah kondisi buruk pada sistem pernafasan.
Menurut Sopiah (2005) siklus senyawa belerang di atmosfer
melibatkan H2S, SO2, SO3 dan SO4. Gas buangan hasil pembakaran pada
umumnya mengandung gas SO2 lebih banyak daripada gas SO3, SO2 akan
mengalami serangkaian reaksi seperti berikut.
2 SO2(g) + O2 (Udara) → 2 SO3(g)
SO2(g) + H2O(l) → H2SO3
SO3(g) + H2O(l) → H2SO4
Gas SO2 juga dapat membentuk garam sulfat apabila bereaksi dengan
oksida logam, yaitu melalui proses kimiawi berikut:
4 MgO(s) + 4 SO2(g) → 3 MgSO4(s) + MgS(s)
Belerang dalam batubara berupa mineral besi pirit (FeS2) dan dapat pula
berupa logam sulfida lainnya seperti PbS, HgS, ZnS, CuFeS2 dan Cu2S.
Pada suhu tinggi logam sulfida mudah dioksidasi menjadi oksida logam
melalui reaksi berikut:
2 ZnS(s) + 3 O2(g) → 2 ZnO(s) + 2 SO2(g)
2 PbS(s) + 3 O2(g) → 2 PbO(s) + 2 SO2(g)
Selain terbentuk oksida logam, ada kemungkinan pula terbentuk secara
langsung seperti yang terjadi pada tembaga. Reaksinya sebagai berikut:
Cu2S(s) + 2 O2(g) → 2 CuO(s) + SO2(g)
Cu2S(s) + O2(g) → 2 Cu(s) + SO2(g)
Mineral – mineral logam banyak terikat dalam bentuk sulfida. Pada proses
peleburan logam, logam sulfida diubah menjadi logam oksida. Proses ini
juga sekaligus melepaskan belerang dari kandungan logam karena
belerang merupakan pengotor logam. Dari gambaran di atas tampak bahwa
pada proses industri besi dan baja (tanur pelebut logam) akan banyak
dihasilkan gas SOx yang akan menyebar ke lingkungan sekitarnya.
5. Nitrogen Oksida (NO2)
NO2 terbentuk secara cepat dari emisi kendaraan bermotor dan
pembangkit listrik. Selain berkontribusi dalam pembentukan Ozon
dipermukaan tanah dan partikulat, NO2 juga merupakan penyebab
sejumlah kondisi buruk yang menyerang system pernafasan. Gas nitrogen
oksida banyak dihasilkan pada pembakaran minyak, kayu, batu bara, dan
juga banyak didapatkan pada asap rokok. Gas tersebut juga banyak
dihasilkan sebagai buangan pada industri bahan peledak (TNT = trinitro
toluena), penyulingan minyak, dan industri semen. Gas NO seperti juga
CO dapat menurunkan kapasitas darah dalam mengangkut oksigen. Gas
NO dapat mengiritasi mata, hidung, tenggorokan, dan paru-paru. Daya
rusak gas NO2 terhadap daun pada tanaman meningkat dengan adanya gas
SO2.
Gas NO dan NO2 dapat bertahan di udara selama 5 hari, sedangkan
N2O dapat bertahan relatif lebih lama, yaitu antara 4 sampai 8 tahun. Gas
NO dapat teroksidasi menjadi NO2, yang kemudian dapat bereaksi dengan
air hujan atau uap air membentuk asam nitrat (HNO3-). Gas N2O bergerak
ke atas dan dapat mencapai lapisan stratosfer, serta mengalami oksidasi
menjadi NO. Gas NO berperan besar dalam menjaga kestabilan jumlah
ozon di stratosfer. Di udara, oksida nitrogen dapat pula mengalami
pengurangan jumlah sebagai akibat larut dalam air hujan, kontak dengan
tanah, bangunan dan batuan, terserap oleh air dan tanaman.
6. Timbal (Pb)
Timbal (Pb) adalah logam yang sangat beracun dan berada di sekitar
kita. Timbal tersedia di alam dengan kadar antara 50 ppm sampai dengan
400 ppm di dalam tanah. Pertambangan, peleburan, dan kegiatan
pengilangan (refinery) telah meningkatkan secara substansial kadar timbal
di lingkungan. Sumber utama dari emisi Pb adalah dari bahan bakar
kendaraan bermotor dan kegiatan industri.
7. Hidrokarbon (HK)
Hidrokarbon merupakan salah satu polutan udara yang senyawanya
terdiri dari unsur karbon (C) dan hidrogen (H). Biasanya HK sebagai
polutan udara berbentuk gas pada suhu ruang. Senyawa HK dapat
berinteraksi dengan nitrogen oksida menghasilkan smog yang berwarna
gelap.
Senyawa HK banyak dihasilkan pada proses kebakaran hutan,
pembakaran bahan bakar (misalnya minyak, kayu, dan batu bara) secara
tidak sempurna, penyulingan minyak, pabrik petrokimia, penguapan
pelarut organik, peruraian senyawa organik (terbentuk CH4) dan proses
lain pada tanaman yang belum dapat diketahui dengan jelas.
Senyawa HK aromatik, seperti benzena dan benzopirena dapat
menyebabkan kanker pada hewan dan bersifat karsinogenik terhadap
manusia. Senyawa HK berperan besar pada reaksi fotokimia. Pada reaksi
fotokimia, HK bersama dengan NOx dan O2 membentuk smog. Di udara
gas metana (CH4) dapat teroksidasi oleh radikal hidroksil menghasilkan
gas CO. Gas CH4 dapat bertahan selama 1 sampai 2 tahun di udara.
2. Proses reaksi Bahan polutan pada medium Tanah
Ketika suatu zat berbahaya atau beracun telah mencemari permukaan tanah,
maka ia dapat menguap, tersapu air hujan dan atau masuk ke dalam tanah.
Pencemaran yang masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai zat
kimia beracun di tanah. Zat beracun di tanah tersebut dapat berdampak
langsung kepada manusia ketika bersentuhan atau dapat mencemari air tanah dan
udara di atasnya. Kontaminasi oleh logam berat seperti kadmium (Cd), seng
(Zn), plumbum (Pb), kuprum (Cu), kobalt (Co), selenium (Se) dan nikel (Ni)
menjadi perhatian serius karena dapat menjadi potensi polusi pada
permukaan tanah maupun air tanah dan dapat menyebar ke daerah sekitarnya
melalui air, angin, penyerapan oleh tumbuhan, dan bioakumulasi pada rantai
makanan (Chaney dkk., 1998).
Beberapa bahan kimia beracun yang dibuang bersama-sama dengan limbah
oleh industri juga dapat menyebabkan polutan dalam tanah. Salah satunya limbah
dari industri dan proses pertambangan yang menghasilkan limbah berbahaya,
seperti logam berat dan radioaktif. Air yang mengalir melewati daerah
pertambangan sering bersifat sangat asam, karena mengandung asam sulfaf
(H2SO4). Jika air limbah ini masuk ke sungai atau danau, tanah sepanjang aliran
air tersebut akan terkontaminasi oleh bahan-bahan kimia. Kualitas tanah menjadi
buruk dan senyawa beracun dapat terakumulasi dalam tanaman. Logam berat dan
radioaktif adalah polutan lainnya yang dapat berasal dari pertambangan. Senyawa
ini terabsorbsi oleh tanaman dan akhirnya masuk ke tubuh binatang melalui
tanaman. Logam berat, seperti arsen, kadmium, kromium sebagai kromat (CrO42-),
nikel, kobalt, titanium, dan berilium, dapat menyebabkan kanker pada manusia.
Logam-logam tersebut dapat bereaksi dengan enzim. Air raksa dapat
menyebabkan kelumpuhan syaraf, dan kematian, serta cacat pada janin. Jika uap
Hg terhirup dapat menyebabkan iritasi pada paru-paru, gemetar, luka bakar pada
rongga mulut, dan iritasi pada anggota tubuh lainnya, serta kanker kulit.
Beberapa logam mempunyai kemampuan menggantikan logam lainnya dalam
tubuh. Hal ini terjadi karena bahan kimia beracun tersebut mempunyai sifat yang
hampir sama dengan logam yang digantikannya. Logam Sr90 yang merupakan
logam radioaktif dan merupakan logam hasil reaksi nuklir, dapat terakumulasi dan
menggantikan Ca pada tulang sumsum manusia dan binatang vertebrata. Sinar
radioaktifnya dapat menyebabkan kanker dan perubahan genetik. Kadmium
mempunyai sifat hampir sama dengan zink, sehingga dapat menggantikan zink
dalam tubuh. Zink dalam jumlah kecil mempunyai fungsi sebagai pemecah lemak.
Tanpa zink lemak akan terkumpul dalam sistem sirkulasi darah dan menyebabkan
tekanan darah tinggi dan penyakit jantung. Hasil peluruhan uranium, radium
(Rs226) dan torium dapat menggantikan kalsium dalam tulang dan menghambat
proses pembentukan sel darah merah, yang berujung pada anemia.
3. Proses reaksi Bahan polutan pada medium Air
Proses reaksi bahan polutan dalam medium air dipengaruhi beberapa fakor
sebagai berikut:
a. Bahan kimia persisten
Pestisida dapat berada dalam air karena adanya penggunaan pestisida
dalam pertanian dan pembuangan limbah industri pestisida. Pestisida
berbahaya bagi lingkungan (Eglinton, 1975) karena:
1. Pestisida mudah larut dalam lemak dan dapat terakumulasi dalam
lemak sampai konsentrasi yang tinggi, hingga menyebabkan
kerusakan jaringan,
2. Pestisida mempunyai kecenderungan biomagnification.
3. Pestisida terdegradasi secara lambat atau tidak terdegradasi sama
sekali.
Air sumur merupakan sarana bagi masyarakat untuk memperoleh air
dan memenuhi kebutuhan sehari-hari baik untuk mencuci maupun untuk
dikonsumsi yang berasal dari air tanah. Pupuk kimia yang diberikan ke
lahan pertanian, tidak seluruhnya digunakan oleh tanaman namun ada pula
yang terserap ke dalam tanah dan bercampur dengan air tanah yang
mengakibatkan pencemaran air tanah.
Salah satu contoh pupuk buatan yang banyak digunakan pada lahan
pertanian adalah pupuk NPK. Pengkonsumsian air sumur dengan kadar
nitrat tinggi, akan menimbulkan beberapa gangguan kesehatan seperti
gondok, methemoglobinemia, dan sebagainya. Nitrat yang masuk ke
dalam tubuh, 6 % akan direduksi menjadi nitrit yang bersifat karsinogenik.
Batas normal kadar nitrat pada air bersih menurut Permenkes No.
416/1990 adalah sebesar 50 mg/l, dan pada air minum adalah sebesar 10
mg/l (WHO). Air sumur yang telah tercemar pupuk kimia tidak dapat
digunakan sebagai bahan baku air minum.
b. Logam Beracun
Penyebab terjadinya pencemaran logam berat pada perairan itu sendiri
biasanya berasal dari masukan air yang terkontaminasi oleh limbah
buangan industri dan pertambangan. Disamping adanya sumber alami
yang membuat masuknya logam berat ke dalam peraian, seperti: logam-
logam yang dibebaskan aktivitas gunung berapi di laut dalam dan logam-
logam yang dibebaskan dari partikel atau sedimen oleh proses kimiawi,
serta logam yang berasal dari sungai dan hasil abrasi pantai oleh aktivitas
gelombang dan lain-lain. Logam berat sebagai polutan yang masuk ke
dalam air itu dapat mengikuti rantai makanan mulai dari fitoplankton
sampai ikan predator dan pada akhirnya sampai ke manusia. Bila polutan
ini berada dalam jaringan tubuh organisme laut tersebut dalam konsentrasi
yang tinggi, kemudian dijadikan sebagai bahan makanan maka akan
berbahaya bagi kesehatan manusia Dan seperti penjelasan sebelumnya
bahwa logam berat dianggap berbahaya bagi kesehatan bila terakumulasi
secara berlebihan di dalam tubuh. Beberapa di antaranya bersifat
membangkitkan kanker (karsinogen). Demikian pula dengan bahan pangan
dengan kandungan logam berat tinggi dianggap tidak layak konsumsi.
Logam berat dapat menimbulkan efek kesehatan bagi manusia tergantung
pada bagian mana logam berat tersebut terikat dalam tubuh. Daya racun
yang dimiliki akan bekerja sebagai penghalang kerja enzim, sehingga
proses metabolisme tubuh terputus. Lebih jauh lagi, logam berat ini akan
bertindak sebagai penyebab alergi, mutagen, teratogen atau karsinogen
bagi manusia. Jalur masuknya adalah melalui kulit, pernapasan dan
pencernaan. Logam berat jika sudah terserap ke dalam tubuh maka tidak
dapat dihancurkan tetapi akan tetap tinggal di dalamnya hingga nantinya
dibuang melalui proses eksresi. Manusia sebagai mahluk omnivora
(pemakan segala), rentan sekali terkena penyakit yang berasal dari bahan
makanan yang tercemar oleh logam berat. Sumber-sumber kontaminannya
yaitu sayur-sayuran maupun ternak yang terkontaminasi logam berat dari
air penyiramnya yang mengandung logam berat atupun rumput yang
dimakan ternak yang terkontaminasi oleh logam berat dari air yang
diserapnya.
Logam berat (heavy metal atau trace metal) sendiri merupakan istilah
yang digunakan untuk menamai kelompok metal dan metalloid dengan
densitas/ berat jenis lebih besar dari 5 g/cm3. Sesungguhnya, istilah logam
berat hanya ditujukan kepada logam yang mempunyai berat jenis lebih
besar dari 5 g/cm3. Namun, pada kenyataannya, unsur-unsur metaloid yang
mempunyai sifat berbahaya juga dimasukkan ke dalam kelompok
tersebut. Dengan demikian, yang termasuk ke dalam kriteria logam berat
saat ini mencapai lebih kurang 40 jenis unsur. Berdasarkan sudut pandang
toksikologi, logam berat dapat dibagi dalam dua jenis. Jenis pertama
adalah logam berat esensial, di mana keberadaannya dalam jumlah
tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah
yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini
adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn, dan lain sebagainya. Jenis kedua adalah logam
berat tidak esensial atau beracun, di mana keberadaannya dalam tubuh
masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun,
seperti Hg, Cd, Pb, Cr, As dan lain-lain. Konsentrasi maksimum logam
berat yang diijinkan dalam air dapat dilihat pada Tabel 1:

Tabel 1. Kadar tertinggi yang diijinkan (KTD) logam-logam berat (mg/L).


c. Senyawa Patogen
Limbah domestik yang paling dominan adalah jenis limbah organik
berupa kotoran manusia dan hewan. Jenis limbah domestik yang lain
adalah limbah domestik anorganik yang diakibatkan oleh plastik serta
penggunaan deterjen, sampo, cairan pemutih, pewangi dan bahan
kimia lainnya. Limbah domestik yang berasal dari limbah anorganik
relatif lebih sulit untuk terdegradasi. Apabila kuantitas dan intensitas
limbah domestik ini masih dalam batas normal, alam masih mampu
melakukan proses kimia, fisika, dan biologi secara alami. Namun,
peningkatan populasi manusia telah menyebabkan peningkatan
kuantitas dan intensitas pembuangan limbah domestik sehingga
membuat proses penguraian limbah secara alami menjadi tidak
seimbang (Sasongko.,2006). Kualitas air secara biologis ditentukan
oleh banyak parameter, yaitu parameter mikroba pencemar, patogen
dan penghasil toksin. Banyak mikroba yang sering bercampur dengan
air khususnya pada air tanah dangkal. Mikroba yang paling berbahaya
adalah mikroba yang berasal dari feses yaitu bakteri E.Coli. Mikroba
yang berasal dari air yang tercemar dapat menyebabkan gangguan
kesehatan bagi manusia (Karyadi, 2010). Pencemaran limbah dalam
suatu perairan mempunyai hubungan dengan jenis dan jumlah
mikroorganisme dalam perairan tersebut. Air buangan kota dan desa
yang berpenduduk padat tidak hanya meningkatkan pertumbuhan bakteri
coliform akan tetapi juga meningkatkan jumlah bakteri patogen seperti
Salmonella, Shigella dan Vibrio cholera. Mikroorganisme yang pada
umumnya terdapat pada limbah domestik dalam jumlah banyak yaitu
bakteri kelompok coliform, Escherichia coli dan Streptococcus faecalis.
Beberapa bakteri yang merupakan indikator kualitas suatu perairan
adalah coliform , fecal coli dan Salmonella. Terdapat tiga kelompok
bakteri indikator pencemaran perairan rekreasi pantai yaitu fekal
coliform, fekal streptococus dan patogen (Feliatra, 2002).
d. Sedimen
Sedimen merupakan padatan inert dengan ukuran yang bervariasi
yang tererosi dari permukaan tanah oleh tiupan angin, banjir, dan air
irigasi. Keberadaannya dalam air dapat menyebabkan polusi air dan tanah.
Sedimen yang berasal dari erosi tanah pertanian kadang-kadang
mengandung pupuk dan insektisida, sehingga konsentrasi kedua zat
tersebut dapat meningkat dalam air.
e. Senyawa halogen
Sintesis senyawa kloroform, bromodiklorometana, dibromo
klorometana, dan bromoform mendasarkan pada reaksi klorinasi. Selain
itu, metode klorinasi juga digunakan untuk membunuh bakteri dalam air.
Klorinasi pada air minum berkaitan erat dengan timbulnya penyakit kanker
pada konsumen air yang telah diklorinasi (Morton, 2009).
C. Karakteristik Media Lingkungan
1. Karakteristik pada Medium Udara
a. Sifat dan Susunan Atmosfer
Atmosfer merupakan campuran berbagai macam gas yang bersifat
homogen. Udara kering pada atmosfer mengandung gas nitrogen +78%,
oksigen + 21%, karbon dioksida 0,03%, argon 0,9%, metana, kalium, dan
lain- lain + 0,07 %. Secara detail, gas-gas penyusun atmosfer bumi dapat
dikategorikan menjadi dua golongan, yaitu :
1. Gas-gas penyusun dengan konsentrasi relatif tetap (permanent
gases) pada kondisi normal, yaitu nitrogen (N2), oksigen (O2),
argon (Ar), neon (Ne), helium (He), hidrogen (H2), xenon (Xe).
2. Gas-gas penyusun dengan konsentrasi bervariasi (variable gases)
pada kondisi normal, tergantung latitude, dan kondisi atmosfer
setiap saat. Gas-gas tersebut adalah uap air (H2O) mulai 0-4 %,
karbondioksida (CO2) sekitar 0,038 %, metana (CH4) sekitar
0,00017 %, dinitrogen oksida (N2O), ozon (O3), dan
kloroflourokarbon (CFC) dalam kadar sangat kecil.
Atmosfer mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
1. Tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak dirasakan kecuali dalam
bentuk angin.
2. Dinamis dan elastis sehingga dapat mengembang dan menyusut
serta dapat bergerak atau berpindah.
3.Transparan dalam beberapa bentuk radiasi.
4. Mempunyai massa sehingga menimbulkan tekanan.
Karakteristik atmosfer sangat luas disebabkan oleh ketinggian. Faktor-
faktor lain yang menyebabkan perbedaan karakteristik, yaitu iklim, waktu,
garis lintang atau altitude dan aktivitas solar. Temperatur atmosfer sangat
bervariasi mulai dari yang terendah -138 oC – 1700o C. Tekanannya
menurun tajam dari 1 atm pada permukaan air laut. Dengan adanya
perbedaan temperatur dari tekanan tersebut maka sifat kimia dari atmosfer
sangat berbeda disebabkan oleh perbedaan altitude atau ketinggian.
b. Lapisan Atmosfer
a. TROPOSFER
Lapisan ini berada pada level yang terendah, campuran gasnya paling
ideal untuk menopang kehidupan di bumi. Dalam lapisan ini kehidupan
terlindung dari sengatan radiasi yang dipancarkan oleh benda-benda langit
lain. Dibandingkan dengan lapisan atmosfer yang lain, lapisan ini adalah
yang paling tipis (kurang lebih 15 kilometer dari permukaan tanah). Dalam
lapisan ini, hampir semua jenis cuaca, perubahan suhu yang mendadak,
angin tekanan dan kelembaban yang kita rasakan sehari-hari berlangsung.
Suhu udara pada permukaan air laut sekitar 27 ℃, dan semakin naik ke
atas, suhu semakin turun. Dan setiap kenaikan 100 m suhu berkurang 0,61
℃ (sesuai dengan Teori Braak). Pada lapisan ini terjadi peristiwa cuaca
seperti hujan, angin, musim salju, kemarau, dsb. Ketinggian yang paling
rendah adalah bagian yang paling hangat dari troposfer, karena permukaan
bumi menyerap radiasi panas dari matahari dan menyalurkan panasnya ke
udara. Biasanya, jika ketinggian bertambah, suhu udara akan berkurang
secara tunak (steady), dari sekitar 17℃ sampai -52℃. Pada permukaan
bumi yang tertentu, seperti daerah pegunungan dan dataran tinggi dapat
menyebabkan anomali terhadap gradien suhu tersebut.Di antara stratosfer
dan troposfer terdapat lapisan yang disebut lapisan Tropopause, yang
membatasi lapisan troposfer dengan stratosfer.
b. STRATOSFER
Perubahan secara bertahap dari troposfer ke stratosfer dimulai dari
ketinggian sekitar 11 km. Suhu di lapisan stratosfer yang paling bawah
relatif stabil dan sangat dingin yaitu − 70oF atau sekitar − 57oC. Pada
lapisan ini angin yang sangat kencang terjadi dengan pola aliran yang
tertentu. Disini juga tempat terbangnya pesawat. Awan tinggi
jenis cirrus kadang-kadang terjadi di lapisan paling bawah, namun tidak
ada pola cuaca yang signifikan yang terjadi pada lapisan ini.
c. MESOSFER
Kurang lebih 25 mil atau 40 km di atas permukaan bumi terdapat
lapisan transisi menuju lapisan mesosfer. Pada lapisan ini, suhu kembali
turun ketika ketinggian bertambah, sampai menjadi sekitar − 143oC di
dekat bagian atas dari lapisan ini, yaitu kurang lebih 81 km di atas
permukaan bumi. Suhu serendah ini memungkinkan terjadi
awan noctilucent, yang terbentuk dari kristal es.
d. TERMOSFER
Transisi dari mesosfer ke termosfer dimulai pada ketinggian sekitar 81
km. Dinamai termosfer karena terjadi kenaikan temperatur yang cukup
tinggi pada lapisan ini yaitu sekitar 1982oC. Perubahan ini terjadi karena
serapan radiasi sinar ultra violet. Radiasi ini menyebabkan reaksi kimia
sehingga membentuk lapisan bermuatan listrik yang dikenal dengan
nama ionosfer, yang dapat memantulkan gelombang radio. Sebelum
munculnya era satelit, lapisan ini berguna untuk membantu memancarkan
gelombang radio jarak jauh. Dari bagian tengah stratosfer keatas, pola
suhunya berubah menjadi semakin bertambah semakin naik, karena
bertambahnya lapisan dengan konsentrasi ozon yang bertambah. Lapisan
ozon ini menyerap radiasi sinar ultra violet. Suhu pada lapisan ini bisa
mencapai sekitar 18oC pada ketinggian sekitar 40 km.
Lapisan stratopause memisahkan stratosfer dengan lapisan berikutnya.
e. IONOSFER
Lapisan ionosfer yang terbentuk akibat reaksi kimia ini juga merupakan
lapisan pelindung Bumi dari batu meteor yang berasal dari luar angkasa
karena ditarik oleh grafitasi bumi, dilapisan ionosfir ini batu meteor
terbakar dan terurai, jika sangat besar dan tidak habis dilapisan udara
ionosfir ini maka akan jatuh sampai kepermukaan Bumi yang disebut
Meteorit. Fenomena aurora yang dikenal juga dengan cahaya utara atau
cahaya selatan terjadi disini. Pada lapisan ini, gas-gas akan terionisasi,
oleh karenanya lapisan ini sering juga disebut lapisan ionosfer. Molekul
oksigen akan terpecah menjadi oksigen atomik di sini. Proses pemecahan
molekul oksigen dan gas-gas atmosfer lainnya akan menghasilkan panas,
yang akan menyebabkan meningkatnya suhu pada lapisan ini. Suhu pada
lapisan ini akan meningkat dengan meningkatnya ketinggian. Ionosfer
dibagi menjadi tiga lapisan lagi, yaitu :
1. Lapisan Udara Terletak antara 80 – 150 km dengan rata-rata 100
km dpl. Lapisan ini tempat terjadinya proses ionisasi tertinggi.
Lapisan ini dinamakan juga lapisan udara KENNELY dan
HEAVISIDE dan mempunyai sifat memantulkan gelombang radio.
Suu udara di sini berkisar – 70° C sampai +50° C .
2. Lapisan udara F Terletak antara 150 – 400 km. Lapisan ini
dinamakan juga lapisan udara APPLETON.
3. Lapisan udara atom Pada lapisan ini, materi-materi berada dalam
atom. Letaknya lapisan ini antara 400 – 800 km. Lapisan ini
menerima panas langsung dari matahari, dan diduga suhunya
mencapai 1200° C .
f. EKSOSFER
Eksosfer adalah lapsan bumi yang terletak paling luar. Adanya refleksi
cahaya matahari yang dipantulkan oleh partikel debu meteoritik.
Cahaya matahari yang dipantulkan tersebut juga disebut sebagai cahaya
Zodiakal. Lapisan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut;
1. Eksosfer lapisan atmosfer kelima, terletak pada ketinggian 800-
1000 km dari permukaan bumi.
2. Lapisan ini merupakan lapisan paling panas
3. Molekul debu dapat meninggalkan atmosfer sampai ketinggian
3.150 km dari permukaan bumi
4. Lapisan ini disebut juga ruang antarplanet dan geostasioner
5. Lapisan ini sangat berbahaya karena merupakan tempat terjadi
kehancuran meteor dari angkasa luar.
g. MAGNETOSFER
Karena medan magnetik bumi terdapat pada lapisan ini, maka ia
dinamai Magnetosfer. Lapisan ini berfungsi seperti perisai dan terletak
antara 3.000-30.000 km (1.850-18.500 mil) diatas permukaan bumi.
Wilayah ini, yang melindungi bumi dari radiasi yang berasal dari
antariksa, disebut Sabuk Van Allen.
2. Karakteristik pada Medium Air
Hidrosfer sangat penting bagi kehidupan dibumi. Tak ada mahluk hidup
yang dapat hidup tanpa air. Hidrosfer juga dapat meredam teriknya panas
matahari, karena energi cahaya matahari digunakan untuk menguapkan air.
Dengan hidrosfer terjadi pula sirkulasi air. Akibat dari adanya siklus air ini,
maka ada berbagai macam aliran air yang dikenal antara lain, air laut menjadi
bertambah asin, terbentuknya sungai-sungai, danau-danau dan air tanah. Erosi
juga dapat mengubah permukaan tanah dan membentuk pebatuan sedimen.
Menurut para ahli diperkirakan sebanyak 1,35.1012 m3 sebagian besar
terdiri dari air asin sebanyak 97,2%. Sedang yang berupa air danau, sungai,
air tanah dan uap air (awan) hanya sebesar 0,6%. Intinya komposisi kimia
relatif di laut didominasi oleh enam unsur utama (Na , Mg , Ca , K , Cl , dan
S) . Enam unsur ini hampir sama di seluruh perairan laut di dunia. Senyawa-
senyawa ini biasa di kalkulasikan sebagai “salinitas”. Dari keenam unsur
kimia yang selalu ada di laut, hanyalah kalsium memperlihatkan variasi kecil
tetapi dapat diukur.
Air yang ada di perairan laut tidak berbentuk air murni namun bersenyawa
dengan beberapa garam, ukuran garam-garam yang terlarut di dalam air laut
menggunakan satuan salinitas (salinity). Salinitas di laut umumnya berkisar
antara 33-37% tergantung pada kondisi wilayahnya, yakni wilayah yang
banyak curah hujan, muara sungai, limpasan es dan salju, dan daerah yang
setengah tertutup (semi-enclosed). Khusus di laut merah sering terjadi proses
penguapan (evaporasi) yang sangat cepat, kadar salinitasnya dapat mencapai
40%. Pengikatan ion dalam tingkat tertentu, untuk pasangan ion antara
delapan ion terlarut paling banyak dalam air laut, yaitu Na+ , K+, Ca2+, Cl-,
HCO3-, CO32- dan SO42-, yang membentuk lebih 99% total ion terlarut.
Zat terlarut kebanyakan mempunyai waktu residen lebih lama daripada
waktu pengadukan. Hal ini memungkinkan terjadi karena siklus ulang di
dalam perairan, terutama karena keterlibatannya dalam reaksi biologi.
Disamping itu, dapat terjadi juga pertukaran di sepanjang dasar laut dan
bidang batas udara-laut. Zat terlarut itu pada akhirnya akan berpindah dari
larutan air ke sedimen di dasar laut dan batuan melalui proses bolak-balik.
3. Karakteristik pada Medium Tanah
a. Sifat biologi tanah
Tanah dihuni oleh bermacam-macam mikro organisme. Jumlah tiap grup
mikro organisme sangat bervariasi, ada yang terdiri dari beberapa individu,
akan tetapi ada pula yang jumlahnya mencapai jutaan per gram tanah.
Mikroorganisme tanah itu sendirilah yang bertanggung jawab atas pelapukan
bahan organik dan pendauran unsur hara. Dengan demikian mereka
mempunyai pengaruh terhadap sifat fisik dan kimia tanah (Anas 1989).
Selanjutnya Anas (1989), menyatakan bahwa jumlah total mikroorganisme
yang terdapat didalam tanah digunakan sebagai indeks kesuburan tanah
(fertility indeks), tanpa mempertimbangkan hal-hal lain. Tanah yang subur
mengandung sejumlah mikroorganisme, populasi yang tinggi ini
menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup ditambah
lagi dengan temperatur yang sesuai, ketersediaan air yang cukup, kondisi
ekologi lain yang mendukung perkembangan mikroorganisme pada tanah
tersebut. Jumlah mikroorganisme sangat berguna dalam menentukan tempat
organisme dalam hubungannya dengan sistem perakaran, sisa bahan organik
dan kedalaman profil tanah. Data ini juga berguna dalam membandingkan
keragaman iklim dan pengelolaan tanah terhadap aktifitas organisme didalam
tanah (Anas 1989).
b. Sifat fisik tanah
1) Bahan induk tanah
Bahan induk merupakan materi utama dari tanah yang dibentuk oleh
berbagai faktor melalui proses kimiawi, biologis dan fisika. Bahan induk
tanah secara umum adalah Quartz (SiO2), Kalsit (CaCO3), Feldspar dan
Biotit.
2) Tekstur tanah
Komponen mineral dari tanah adalah pasir, lumpur dan tanah liat,
proporsi dari kombinasi ketiga bahan tersebut akan menentukan tekstur
tanah (menyerupai kombinasi antara tepung, air dan telur). Hal yang
dipengaruhi oleh tesktur tanah mencakup porositas, permeabilitas
(kemampuan menyerap), infiltrasi, dan kapasitas kandungan air. Tanah
dan Pasir dan lumpur merupakan produk dari material induk yang
mengalami proses fisika dan kimiawi. Tanah liat merupakan produk dari
pengendapan material induk yang larut sebagai material sekunder.
3) Kepadatan tanah
Tingkat kepadatan tanah umumnya berkisar antara 2,6 hingga 2,75
g/cm3 dan biasanya tidak dapat berubah. Kepadatan partikel tanah yang
banyak mengandung material organik lebih rendah daripada tanah yang
sedikit mengandung material organik. Tanah dengan kepadatan rendah
dapat menyimpan air lebih baik namun bukan berarti cocok untuk
pertumbuhan tanaman. Tanah dengan kepadatan tinggi menunjukkan
tingkat kandungan pasir yang tinggi.
4) Porositas tanah
Porositas mirip seperti kepadatan, hanya saja porositas berarti ruang
kosong (pori pori) diantara tekstur tanah yang tidak terisi dengan mineral
atau bahan organik namun terisi oleh gas atau air. Semakin tinggi
kepadatan tanah maka semakin rendah porositasnya dan sebaliknya
semakin rendah kepadatan tanah semakin rendah porositasnya. Idealnya,
total porositas dari tanah adalah sekitar 50 % dari total volume tanah.
Ruang untuk gas dibutuhkan tanah untuk menyediakan oksigen yang
berguna untuk organisme dalam menguraikan material organik, humus dan
akar tanaman. Porositas juga mendukung pergerakan serta penyimpanan
air serta nutrisi. Tingkat porositas tanah dibagi menjadi 4 kategori yaitu
sangat baik dengan tingkat porositas kurang dari 2 μm, baik dengan tingkat
porositas 2-20 μm, sedang dengan tingkat porositas 20-200 μm dan kasar
dengan porositas 200 μm hingga 2 mm.
5) Temperatur tanah
Tanah memiliki temperatur yang bervariasi mulai dari tingkat dingin
ekstrim -20°C hingga tingkat panas ekstrim mencapai 60°C. Temperatur
tanah penting bagi germinasi biji tanaman, pertumbuhan akar tanaman
serta menyediakan nutrisi bagi tanaman tersebut. Tanah yang berada 50
cm dibawah permukaan cenderung memiliki temperatur yang lebih tinggi
sekitar 1,8°C.
6) Warna tanah
Warna tanah seringkali menjadi faktor paling dasar bagi kita untuk
membedakan jenis jenis tanah. Umumnya, warna tanah ditentukan oleh
kandungan material organik, kondisi drainase, minearologi tanah dan
tingkat oksidasi. Pengembangan dan distribusi warna tanah berasal dari
proses kimiawi dan tingkat pelapukan material organik. Ketika mineral
primer dalam bahan induk lapuk, elemen tanah akan dikombinasikan pada
senyawa dan warna yang baru. Mineral besi merupakan mineral sekunder
yang akan menghasilkan warna kuning atau kemerahan pada tanah,
material organik akan menghasilkan warna hitam kecoklatan atau coklat
(warna subur). Mangan, sulphur dan nitrogen akan menghasilkan warna
hitam.
7) Konsistensi tanah
Konsistensi tanah berarti kemampuan tanah untuk menempel pada
objek lain dan kemampuan tanah untuk menghindari deformasi atau
berpisah. Konsistensi diukur dengan 3 kondisi kelembapan yaitu: kering,
lembap dan basah. Konsistensi tanah bergantung pada tingkat banyaknya
tanah liat.
D. Penelitian Toksikologi Secara Meruang dan Mewaktu
Zaman era globalisasi seperti saat ini, penelitian tentang toksikologi
lingkungan berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Banyak
penelitian-penelitian yang memanfaatkan teknologi masa kini untuk
memaksimalkan hasil yang ingin dicapai. Salah satu penelitian yang telah
dilakukan adalah penerapan toksikologi pada rekayasa teknologi dalam
lingkungan.
Teknologi dapat didefinisikan teknik yang bersumber dari keadaan
pengetahuan manusia saat ini tentang bagaimana cara untuk memadukan
sumber-sumber, guna menghasilkan produk-produk yang dikehendaki,
menyelesaikan masalah, memenuhi kebutuhan, atau memuaskan keinginan,
meliputi metode teknis, keterampilan, proses, teknik, perangkat dan bahan
mentah. Rekayasa adalah proses berorientasi tujuan dari perancangan dan
pembuatan peralatan dan sistem untuk mengeksploitasi fenomena alam dalam
konteks praktis bagi manusia, seringkali menggunakan hasil-hasil dan teknik-
teknik dari ilmu. Teknologi seringkali merupakan konsekuensi dari ilmu dan
rekayasa. Salah satu contoh rekayasa teknologi dalam lingkungan yaitu
fitoremediasi, fitotoksikologi, bioremediasi dan lain-lain. Istilah fitoremediasi
berasal dari kata Inggris phytoremediation. Kata ini sendiri tersusun atas dua
bagian kata, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani phyton yaitu tumbuhan
dan remediation yang berasal dari kata Latin remedium yang berarti
menyembuhkan. Fitoremediasi berarti juga menyelesaikan masalah dengan
cara memperbaiki kesalahan atau kekurangan. Dengan demikian pengertian
fitoremediasi adalah pemanfaatan tumbuhan, mikroorganisme untuk
meminimalisasi dan mendetoksifikasi bahan pencemar, karena tanaman
mempunyai kemampuan menyerap logam-logam berat dan mineral yang
tinggi atau sebagai fitoakumulator dan fotochelator. Konsep pemanfaatan
tumbuhan dan mikroorganisme untuk meremediasi tanah terkontaminasi
bahan pencemar adalah pengembangan terbaru dalam teknik pengolahan
limbah. Fitoremediasi dapat diaplikasikan pada limbah organik maupun
anorganik juga unsur logam (As, Cd, Cr, Hg, Pb, Zn, Ni dan Cu) dalam
bentuk padat, cair dan gas (Darliana, 2009).
Tumbuhan mempunyai kemampuan untuk menahan substansi toksik
dengan cara biokimia dan fisiologisnya serta menahan substansi non nutritive
organik yang dilakukan pada permukaan akar. Bahan pencemar tersebut akan
dimetabolisme atau diimobolisasi melalui sejumlah proses termasuk reaksi
oksidasi, reduksi dan hidrolisa enzimatis. Mekanisme fisiologi fitoremediasi
dibagi sebagai berikut.
1. Fitoekstraksi adalah pemanfaatan tumbuhan pengakumulasi bahan
pencemar untuk memindahkan logam berat atau senyawa organik dari
tanah dengan cara mengakumulasikannya di bagian tumbuhan yang
dapat dipanen.
2. Fitodegradasi adalah pemanfaatan tumbuhan dan asosiasi
mikroorganisme untuk mendegradasi senyawa organik.
3. Rhizofiltrasi adalah pemanfaatan akar tumbuhan untuk menyerap bahan
pencemar, terutama logam berat, dari air dan aliran limbah.
4. Fitostabilisasi adalah pemanfaatan tumbuhan untuk mengurangi bahan
pencemar dalam lingkungan.
5. Fitovolatilisasi adalah pemanfaatan tumbuhan untuk menguapkan bahan
pencemar/ pemanfaatan tumbuhan untuk memindahkan bahan
pencemar dari udara (Darliana,2009).
Penerapan teknologi fitoremediasi menggunakan tumbuhan sebagai
agensia pembersih lingkungan bukanlah hal yang baru. Sejak lama kita telah
mengenal manfaat tumbuhan sebagai pengusir zat beracun dari udara,
sehingga adanya tumbuhan dianggap sebagai penyegar udara di sekitarnya.
Dengan semakin dipahami fisiologi dan genetika dari tumbuhan, maka
pemanfaatan tumbuhan sebagai agensia pembersih lingkungan dapat makin
diperluas cakupannya dan diperhitungkan manfaatnya dari segi rekayasa serta
nilai ekonominya. Pemanfaatan tumbuhan untuk remediasi lingkungan sangat
ditentukan oleh pemahaman tentang penyerapan logam serta penyerapan dan
atau degradasi senyawa organik oleh tumbuhan. Tumbuhan harus bersifat
hipertoleran agar dapat mengakumulasi sejumlah besar logam berat di dalam
batang serta daun. Tumbuhan harus mampu menyerap logam berat dari dalam
larutan tanah dengan laju penyerapan yang tinggi. Tumbuhan harus
mempunyai kemampuan untuk mentranslokasi logam berat yang diserap akar
ke bagian batang serta daun (Darliana,2009).
Selain mempunyai kemampuan menyerap logam berat, tumbuhan mampu
menyerap dan mendegradasi zat organik serta hara. Kemampuan ini
dimanfaatkan dalam pengendalian serta pemulihan lingkungan yang tercemar
dengan memadukan berbagai jenis tumbuhan mengingat keunggulan yang
dipunyai oleh masing-masing jenis tanaman. Salah satu contoh tanaman yang
digunakan pada proses fitoremediasi lahan perairan adalah tumbuhan timbul
dan tumbuhan mengapung seperti Scirpus californicus, Zizaniopsis miliaceae,
Panicum helitomom, Pontederia cordata, Sagittaria lancifolia, dan
Typhalatifolia adalah yang terbaik digunakan pada ekosistem perairan untuk
mengolah limbah. Spesies tumbuhan mengapung digunakan karena tingkat
pertumbuhannya yang tinggi, dan kemampuannya untuk langsung menyerap
hara langsung dari kolom air. Akarnya menjadi tempat filtrasi dan adsorpsi
padatan tersuspensi dan pertumbuhan mikroba yang menghilangkan unsur-
unsur hara dari kolom air. Tanaman tenggelam tidak direkomendasikan pada
pengolah limbah, karena produksinya rendah, banyak spesies yang tidak
tahan terhadap kondisi eutrofik dan memiliki efek yang merugikan bagi alga
dalam kolom air. Namun tumbuhan tenggelam mungkin memiliki peran yang
penting bila dikombinasikan dengan jenis tanaman lain dalam sistem
pengolah limbah (Darliana,2009).
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1. Perpindahan polutan di lingkungan terjadi dengan cara pelepasan polutan dari
sumber polutan ke dalam ekosistem, selanjutnya mengalami proses distribusi
dan transpor melalui daur atau siklus biogeokimia serta mengalami
transformasi fisik atau biologis kemudian dapat menyebabkan efek lethal
(kematian) dan sublethal pada organisme. Dalam tubuh organisme, polutan
dapat mengalami biotransformasi dan bioakumulasi sehingga menyebabkan
terjadi perubahan karakteristik dan dinamika populasi, struktur dan fungsi
komunitas dan fungsi ekosistem.
2. Atmosfer terdiri dari beberapa lapisan, yaitu troposfer, stratosfer, mesosfer,
termosfer, eksosfer, ionosfer dan magnetosfer. Hidrosfer menyebabkan
terjadinya sikuls air sehingga terbentuk sungai, danau, air tanah, dan air laut
bersenyawa dengan garam terlarut sehingga menjadi asin. Tanah sebagai
tempat berbagai macam mikroorganisme memiliki sifat fisik seperti tekstur,
ruang pori, porositas, dan derajat keasaman (pH).
3. Penelitian yang telah dilakukan adalah penerapan toksikologi pada rekayasa
teknologi dalam lingkungan dengan fitoremidiasi, yaitu pemanfaatan
tumbuhan, mikroorganisme untuk meminimalisasi dan mendetoksifikasi
bahan pencemar dengan menyerap logam-logam berat dan mineral yang
tinggi. Mekanisme fisiologi fitoremediasi meliputi fitoekstraksi,
fitodegradasi, rizhofiltrasi, fitostabilisasi dan fitovolatilisasi.

B. Saran
Pada tosikologi dapat diketahui toksisitas suatu bahan, sehingga dapat dibuat
baku mutu lingkungan dan teknologi konservasi lingkungan. Berdasarkan hasil
studi literatur ini, penerapan dan pengembangan teknologi dalam konservasi
lingkungan masih sedikit ditemukan. Oleh karena itu, disarankan untuk terus
mempelajari dan menemukan alternatif konservasi lingkungan yang lebih baik dan
mudah diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. UPT Produksi Media Informasi.
Lembaga Sumberdaya Informasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB Press.

Baver, L.D. 1972. Soil Physics 4 th. Edition. New York: John Wiley and Sons.

Butler, G. C.1978. Principles of Ecotoxicology (SCOPE). John Wiley & Sons:


New York.

Darliana, Ina. 2009. Fitoremediasi Sebagai Teknologi Alternatif Perbaikan


Lingkungan. Bandung : Universitas Bandung Raya.

Feliatra, 2002. Sebaran Bakteri Escherichia Coli Di Perairan Muara Sungai


Bantan Tengah Bengkalis Riau.

Foth. 1994. Dasar - Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Erlangga.

Hakim, N., M. N. Nyakpa., A. M. Lubis., S. G. Nugroho., M. R. Saul., M. A.


Diha., G. B. Hong., dan H. H. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.
Lampung: Universitas Lampung.

Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.

James, Girard. 2010. Principles of Environmental Chemistry, Sudbury: Jones &


Bartlett Learning.

John, Wright. 2003. Environmental chemistry. London: Routledge.

Jorge G. 2007. Environmental chemistry: fundamentals. Berlin: Springer.

Karyadi, L. 2010. Partisipasi Masyarakat Dalam Program instalasi


Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal di RT 30 RW 07 Kelurahan
Warungboto, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Skripsi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.

Morton Lippmann. 2009. Environmental toxicants: human exposures and their


health effects. Toronto: Wiley-Interscience.

Pani, 2007. Textbook of Environmental Chemistry, New Delhi: International Pvt.


Ltd.

Sasongko, A.L.2006. Kontribusi Air Limbah Domestik Penduduk Di Sekitar


Sungai Tuk Terhadap Kualitas Air Sungai Kaligarang Serta Upaya
Penanganannya (Studi Kasus Kelurahan Sampangan Dan Bendan Ngisor
Kecamatan Gajah Mungkur Kota Semarang). Tesis Program Pasca
Sarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.

Sopiah, Nida. 2005. Transformasi kimia senyawa belerang, dampak dan


penanganannya. Jurnal Teknologi Lingkungan P3TL-BPPT. 6.(1) :339-343.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
SOAL DAN JAWABAN
I. PILIHAN GANDA
1. Pengertian polusi disebutkan dalam peraturan….
A. Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 Tahun
1983
B. Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 5 Tahun
1982
C. Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 Tahun
1982
D. Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 5 Tahun
1983
E. Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 6 Tahun
1982
2. Transportasi bahan kimia yang terjadi di dalam kompartemen lingkungan
disebut….
A. intraphase
B. intraphase
C. outerphase
D. counterphase
E. extraphase
3. Berikut merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi proses perpindahan
polutan, kecuali….
A. Faktor Meteorologis
B. Faktor Difusi
C. Faktor Dispersi
D. Faktor Presipitasi
E. Faktor Induksi
4. Proses pembersihan atau penghilangan zat pencemar yang terjadi pada saat air
hujan dalam perjalanannya menuju permukaan bereaksi dengan partikel-
partikel pencemar disebut….
A. Clear off
B. Wash out
C. Rain out
D. Clean up
E. Clean out
5. Polutan udara yang paling umum adalah Partikulat, Ozon, CO, SO2, NO2, dan
Pb. Dari keenam jenis polutan tersebut, yang paling membahayakan kesehatan
secara luas adalah….
A. CO dan SO2
B. Ozon dan CO
C. Partikulat dan Ozon
D. Partikulat dan Pb
E. NO2 dan Pb
6. Campuran dari partikel padat dan tetesan cairan yang terdapat di udara
dinamakan….
A. Debu
B. Jelaga
C. Asap
D. Partikulat
E. Kotoran
7. Ozon di permukaan tanah tercipta karena reaksi kimia antara….
A. NOx dan VOC
B. CO dan SO2
C. CO dan VOC
D. VOC dan SO2
E. NOx dan CO
8. Gas tak berwarna, tak berbau, yang dihasilkan dari proses pembakaran
disebut….
A. CO2
B. CO
C. SO2
D. NO2
E. NO
9. Emisi yang sumber utamanya adalah pembakaran bahan bakar fosil di
pembangkit listrik dan kegiatan industri lainnya adalah emisi gas….
A. NO2
B. NO
C. CO2
D. CO
E. SO2
10. Mineral – mineral logam banyak terikat dalam bentuk….
A. Sulfida
B. Klorida
C. Karbonat
D. Sulfonat
E. Oksida
11. Gas yang terbentuk secara cepat dari emisi kendaraan bermotor dan
pembangkit listrik yaitu….
A. CO
B. NO
C. CO2
D. NO2
E. SO2
12. . Timbal tersedia di alam dengan kadar antara…di dalam tanah.
A. 40 ppm sampai dengan 500 ppm
B. 50 ppm sampai dengan 400 ppm
C. 50 ppm sampai dengan 500 ppm
D. 40 ppm sampai dengan 400 ppm
E. 60 ppm sampai dengan 400 ppm
13. Air yang mengalir melewati daerah pertambangan sering bersifat sangat asam,
karena mengandung….
A. HNO3
B. HCl
C. H2S
D. H3PO4
E. H2SO4
14. Di atmosfer, antara stratosfer dan troposfer terdapat lapisan yang disebut
lapisan….
A. Mesosfer
B. Termosfer
C. Tropopause
D. Ionosfer
E. Eksosfer
15. komposisi kimia relatif di laut didominasi oleh enam unsur utama, yaitu....
A. Na , Mg , Ca , K , Cl , dan P
B. Na , Mg , Ca , K , Cl , dan Fe
C. Na , Mg , Ca , K , Cl , dan F
D. Na , Mg , Ca , K , Cl , dan S
E. Na , Mg , Ca , K , Cl , dan O

II. ESSAY

1. Ada berapa cara transformasi (perpindahan) polutan di lingkungan? Sebutkan!


Jawaban :
Ada 3 cara transformasi polutan di lingkungan, yaitu:
a. Transformasi Fisika, meliputi : proses perpindahan meteorologik,
pengambilan iologik, penyerapan, volatilisasi, aliran, pencucian dan jatuhan.
b. Transformasi Kimia, meliputi: proses fotolisis, oksidasi, hidrolisis dan
reduksi.
c. Transformasi Biologi, meliputi: proses biotransformasi.
2. Bagaimana suatu bahan toksik dalam air dapat mengalami penurunan atau
kenaikan konsentrasi?
Jawaban:
a. Konsentrasi bahan toksik dalam air akan menurun apabila terjadi proses
penguapan.
b. Konsentrasi bahan toksik dalam air akan meningkat apabila terjadi proses
pencucian, aliran, dan presipitasi.
3. Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi proses perpindahan polutan?
Jawaban:
a. Faktor Meteorologis: Kecepatan dan arah angin, kelembaban, suhu udara,
tekanan udara dan aspek tinggi permukaan.
b. Faktor Difusi, merupakan proses penyebaran zat pencemar di udara. Proses
difusi toksikan di udara terbagi dua, yang pertama yaitu difusi molekuler
(perjalanan penyerapan zat ke dalam atmosfer melalui kontak molekul, pada
umumnya berjalan lambat) dan yang kedua adalah difusi turbulensi
(penyerapan atau peresapan zat ke dalam atmosfer karena adanya proses
turbulensi).
c. Faktor Dispersi: Gerakan global, fluktuasi turbulensi, difusi toksikan
terhadap lingkungan sekitar akibat perbedaan konsentrasi.
d. Presipitasi atau jatuhan, Presipitasi merupakan peristiwa di mana terjadi
proses di atmosfer seperti hujan ataupun salju, dimana lapisan kabut,
turbulensi, serta karakteristik permukaan merupakan faktor utama dalam
pembersihan atmosfer sehingga zat pencemar dapat terendapkan.
4. Apa perbedaan antara partikel primer dan partikel sekunder?
Jawaban:
a. Partikel Primer yaitu partikel yang diemisikan langsung dari sumbernya,
misalnya partikel yang dihasilkan dari lokasi konstruksi, jalan tak beraspal,
cerobong, dll.
b. Partikel Sekunder yaitu partikel yang terbentuk oleh reaksi kimia yang
kompleks di atmosfer, misalnya SOx dan NOx.
5. Apa yang disebut dengan fitoremediasi dan bagaimana mekanisme
fisiologinya?
Jawaban:
- Fitoremediasi adalah pemanfaatan tumbuhan, mikroorganisme untuk
meminimalisasi dan mendetoksifikasi bahan pencemar, karena tanaman
mempunyai kemampuan menyerap logam-logam berat dan mineral yang tinggi
atau sebagai fitoakumulator dan fotochelator.

- Mekanisme fisiologi fitoremediasi:


a. Fitoekstraksi adalah pemanfaatan tumbuhan pengakumulasi bahan pencemar
untuk memindahkan logam berat atau senyawa organik dari tanah dengan
cara mengakumulasikannya di bagian tumbuhan yang dapat dipanen.
b. Fitodegradasi adalah pemanfaatan tumbuhan dan asosiasi mikroorganisme
untuk mendegradasi senyawa organik.
c. Rhizofiltrasi adalah pemanfaatan akar tumbuhan untuk menyerap bahan
pencemar, terutama logam berat, dari air dan aliran limbah.
d. Fitostabilisasi adalah pemanfaatan tumbuhan untuk mengurangi bahan
pencemar dalam lingkungan.
e. Fitovolatilisasi adalah pemanfaatan tumbuhan untuk menguapkan bahan
pencemar/ pemanfaatan tumbuhan untuk memindahkan bahan pencemar
dari udara.
MAKALAH KIMIA TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN
“TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN: KARAKTERISTIK METODE UJI
HAYATI”
Dosen pengampu: Dr.Pranoto, M.Sc

Disusun oleh :
1. Arum Anindiyan Kusumaningtyas M0314011
2. Elsa Ninda Karlinda Putri M0314023
3. Grace Theodora M0314036
4. Sintia Wardani M0314070
5. Ucik Refani Kurnia S M0314076
6. Winda Maharditya M0315066

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


SURAKARTA
2017
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
DAFTAR ISI .......................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
A. Latar Belakang ........................................................................................1
B. Tujuan......................................................................................................2
C. Rumusan Masaah ....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................3
A. Toksikologi Lingkungan .........................................................................3
B. Karakteristik Metode Uji Hayati .............................................................3
C. Uji Hayati ................................................................................................4
D. Uji Hayati Subkronis-kronis....................................................................8
E. Uji Pemulihan ..........................................................................................10
F. Metode Statis ...........................................................................................11
G. Metode Semi Statis (Ranewal) ................................................................11
H. Metode Sirkulasi Ulang ...........................................................................12
I. Uji Alir Konstan (Flow Through) ...........................................................13
J. Metode Mikrokosm dan Mesokosm ........................................................14
K. Metode Lapangan ....................................................................................17
L. Metode Pendekatan TRIAD ....................................................................17
M. Variasi Metode Uji Toksisitas .................................................................19
N. Kelemahan dan KelemahanMetode Uji Hayati .......................................22
BAB IIIPENUTUP .............................................................................................24
A. Kesimpulan..............................................................................................24
B. Saran ........................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................25
LAMPIRAN ........................................................................................................27
Latihan Soal ........................................................................................................27
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kategori nilai LD50................................................................................4


Tabel 2. Tanda Keracunan Organ .......................................................................7
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWTkarena atas berkat


limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini. Makalah ini berjudul “TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN:
KARAKTERISTIK METODE UJI HAYATI”.Makalah ini disusun bertujuan
sebagai penunjang dalam mengetahui tentang karakteristik metode uji hayati dan
bioremediasi
Kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung
proses penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
dikatakan belum sempurna, namun kami sudah berusaha sebaik-baiknya. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi mahasiswa lainnya. Makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.

Surakarta, November 2017

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Proses Modernisasi yang akan menaikan konsumsi sehingga produksi juga
harus meningkat, dengan demikian industrialisasi dan penggunaan energi akan
meningkat yang tentunya akan meningkatkan resiko toksikologis.
Proses industrialisasi akan memanfaatkan bahan baku kimia, fisika, biologi yang
akan menghasilkan buangan dalam bentuk gas, cair, dan padat yang meningkat.
Buangan ini tentunya akan menimbulkan perubahan kualitas lingkungan yang
mengakibatkan resiko pencemaran, sehingga resiko toksikologi juga akan
meningkat. Toksikologi lingkungan dibahas dalam kimia lingkungan karena
berhubungan dengan adanya perubahan lingkungan yang disebabkan oleh
kehadiran zat kimia.
Beberapa bahasan yang dibahas dalam toksikologi lingkungan umumnya
ang berhubungan dengan uji toksisitas, yaitu menggunakan pengujian zat kimia
terhadap makhluk hidup. Selain itu dilakukannya uji hayati, yaitu uji yang
dilakukan untuk mengevaluasi potensi relatif dari bahan-bahan kimia dengan jalan
membandingkan pengaruh-pengaruh tersebut pada biota dengan kontrol yang
menggunakan biota yang sama (Hutagalung, 1992). Tujuan dari uji hayati adalah
untuk mengetahui konsentrasi bahan uji (bahan kimia atau limbah) serta
perubahan suhu, pH yang dapat menimbulkan pengaruh yang merugikan
sekelompok biota dengan kondisi kontrol (Hutagalung, 1992). Salah satu cara
yang paling cepat dan terbaik untuk mengetahui akibat dari suatu pencemaran
terhadap komunitas perairan adalah dengan menggunakan uji hayati atau bioassay
(Dominguez, 1985).
Berdasarkan uraian diatas, makalah ini menitikberatkan terhadap
pendalaman materi toksikologi lingkungan mengenai karakteristik metode uji
hayati. Pendalaman materi diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
mengenai toksikologi lingkungan.
B. TUJUAN
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mengetahui toksikologi lingkungan.
2. Mengetahui tentang uji hayati akut, subkronis-kronis dan pemulihan.
3. Mengetahui tentang metode statis, semi-statis dan sirkulasi ulang.
4. Mengetahui uji alir konstan (flow through).
5. Mengetahui metode mikrokosm dan mesokosm, metode lapangan, dan
metode pendekatan TRIAD.
6. Mengetahui variasi metode uji toksisitas.
7. Mengetahui kelebihan dan kelemahan metode uji hayati.

C. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah makalah ini adalah:
1. Bagaimana toksikologi lingkungan?
2. Bagaimana uji hayati akut, subkronis-kronis dan pemulihan?
3. Bagaimana metode statis, semi-statis dan sirkulasi ulang?
4. Bagaimana uji alri konstan (flow through)?
5. Bagaimana metode mikrokosm dan mesokosm, metode lapangan dan metode
pendekatan TRIAD?
6. Bagaimana variasi metode uji toksisitas?
7. Bagaimana kelebihan dan kelemahan metode uji hayati?
BAB II
PEMBAHASAN

A. TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN
Toksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari efek merugikan
dari bahan kimia terhadap organisme hidup. Potensi efek merugikan yang
ditimbulkan oleh bahan kimia di lingkungan sangat beragam dan bervariasi
sehingga ahli toksikologi mempunyai spesialis kerja bidang tertentu. Toksikologi
lingkungan adalah suatu studi yang mempelajari efek dari bahan polutan terhadap
kehidupan dan pengaruhnya terhadap ekosistem yang digunakan untuk
mengevaluasi kaitan antara manusia dengan polutan yang ada di lingkungan.
Pencegahan keracunan memerlukan perhitungan dari:
1. Toxicity: deskripsi dan kuantifikasi sifat-sifat toksis zat kimia
2. Hazard: kemungkinan zat kimia untuk menimbulkan cidera
3. Risk: besarnya kemungkinan zat kimia menimbulkan karacunan
4. Safety: keamanan
Kehadiran zat kimia beracun alamiah di dalam lingkungan diasumsikan
akan selalu konstan,kecuali ditambah oleh aktivitas manusia seperti penambahan
logam beracun kedalam lingkungan oleh kegiatan-kegiatan industry dan kemajuan
teknologi. Pengaruh kehadiran berbagai jenis zat kimia beracun tersebut di dalam
lingkungan mungkin dapat diketahui dengan cepat,akan tetapi pengaru negative
pada umumnya baru diketahui setelah masuknya zat kimia tersebut dalam jangka
waktu cukup lama.

B. KARAKTERISTIK METODE UJI HAYATI


Dalam Peraturan Pemerintah No. 85 tahun 1999 pasal 6 disebutkan bahwa
limbah B-3 dapat diidentifikasi menurut sumber atau uji karakterisasi atau uji
toksisitas. Uji toksisitas adalah untuk menentukan sifat akut atau khronik limbah.
Pada dasarnya pengujian toksisitas bertujuan untuk menilai efek racun terhadap
organisme, menganalisis secara obyektif resiko yang dihadapi akibat adanya racun
di lingkungan. Uji hayati adalah uji yang dilakukan untuk mengevaluasi potensi
relatif dari bahan-bahan kimia dengan jalan membandingkan pengaruh-pengaruh
tersebut pada biota dengan kontrol yang menggunakan biota yang sama. Tujuan
dari uji hayati adalah untuk mengetahui konsentrasi bahan uji (bahan kimia atau
limbah) serta perubahan suhu, pH yang dapat menimbulkan pengaruh yang
merugikan sekelompok biota dengan kondisi kontrol (Hutagalung, 1992). Salah
satu cara yang paling cepat dan terbaik untuk mengetahui akibat dari suatu
pencemaran terhadap komunitas perairan adalah dengan menggunakan uji
hayatiatau bioassay (Dominguez, 1985).

C. UJI HAYATI AKUT


Ketoksikan akut adalah derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi
secara singkat (24 jam) setelah pemberian dalam sediaan uji. Uji toksisitas
akutdilakukan untuk mengukur derajat efek suatu senyawa yang diberikan pada
hewan coba tertentu, dan pengamatannya dilakukan pada 24 jam pertama setelah
perlakuan. Salah satu cara memperoleh data kuantitatif uji toksisitas yaitu dengan
penentuan Lethal Dose 50 (LD50). LD50 didefinisikan sebagai dosis suatu zat yang
secara statistik diperkirakan akan membunuh 50% hewan percobaan (Paramveer
et al. 2010). Pengaruh LD50 secara umum diukur menggunakan dosis bertingkat.
Pemberian senyawa pada hewan coba yang lazim adalah peroral. Menurut
Environmental Protection Agency (EPA 2002), LD50 digunakan untuk
mengetahui kematian 50% hewan percobaan dalam 24-96 jam. Menurut Hajra et
al. (2012), Toksisitas akut dilakukan untuk mengetahui mortalitas dan respon
hewan percobaan selama 24 jam pertama setelah pemberian senyawa dan
pengamatan berlangsung selama 7 hari. Kategori nilai LD50 dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kategori nilai LD50(Saputri, 2014)
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji toksisitas sebagai berikut:
1. Cara Perlakuan
Umumnya perlakuan yang diberikan agar terjadi proses peracunan sama
dengan cara bagaimana orang akan terkena racun tersebut. Cara paling umum
adalah melalui mulut. Jika melalui mulut, zat itu harus diberikan dengan sonde.
Peracunan dengan cara mencampurkan zat kimia dalam makanan
mengakibatkan tidak tepatnya dosis dan umumnya akan mengurangi toksisitas
zat kimia.
Dalam pembuatan larutan atau suspensi zat yang toksik, diperlukan bahan
tambahan untuk memudahkan penggunaannya, bahkan jika zat yang toksik
tersebut merupakan cairan, diperlukan bahan pengecer. Bahan bahan yang
digunakan harus memiliki efek racun sekecil mungkin atau bahkan tanpa efek
beracun, dan tidak bereaksi dengan zat yang toksik. Bahan bahan tersebut
umumnya merupakan pelarut seperti air, air garam, perasan sayur mayur, dadn
turunan selulosa.
Volume zat yang toksik dalam larutan dan suspensi dapat berpengaruh
terhadap toksisitas. Volume yang terlalu besar dan berlebihan dapat
menyebabkan akibat tidak langsung terhadap hewan. Sebaliknya jika volume
dikurangi, konsentrasi akan naik, ini merupakan kenyataan yang dpat
meningkatkan toksisitas. Oleh karena itu, jika sejumlah besar zat yang toksik
digunakan pada hewan, dianjurkan untuk diberikan dalam dosis yang terbagi.
Perlakuan melalui kulit dan pernapasan makin meningkat, tidak hanya
pada zat kimia yang ditunjukkan untuk penggunaan bagi manusia, tetapi juga
zat kimia yang membawa dampak gangguan kesehatan untuk orang yang
menanganinya.
2. Dosis dan Jumlah Hewan
Tujuan uji LD50 adalah menetapkan dosis yang akan membunuh 50%
hewan dan menentukan slope kurva dosis vs respon. Oleh karena itu, selain
penentuan dosis yang membunuh kira-kira separuh dari hewan uji coba, dosis
yang membunuh lebih dari separuh (lebih disukai yang kurang dari 90%) dan
dosis ketiga yang membunuh kurang dari separuh (lebih disukai yang lebih dari
10%). Empat atau lebih dosis sering digunakan dengan harapan paling sedikit
tiga di antaranya akan jatuh pada deretan yang tepat.
Rasio kecil di antara dosis yang dipakai dapat diterima hanya apabila
informasi tentang pendekatan toksisitas akut tersedia. Jika tidak, sebuah
pendekatan dapat dihasilkan dengan sebuah uji coba pendahuluan dengan
prosedur seperti yang diusulkan Well (1952). Dalam menetapkan LD50 banyak
hewan yang diperlukan. Pada hewan anjing umumnya digunakan dalam jumlah
yang jauh lebih sedikit.
3. Faktor Lingkungan
Kandang dapat mempengaruhi LD50 suatu zat kimia melalui beberapa
cara. Misalnya, LD50 isoproterenol pada tikus yang dikurung sendiri kurang
dari 50 mg/kg, sedangkan pada 10 tikus yang dikurung bersama dalam satu
kandang kira kira 800 mg/kg. Meskipun demikian, pengaruh seperti ini
terhadap nilai LD50 untuk kebanyakan zat kimia hanya sedikit. Tipe kandang
dan tipe kotoran juga dapat mempengaruhi reaksi hewan terhadap zat yang
toksik.
4. Temperatur
Kelembaban nisbi yang lebih tinggi dapat meningkatkan toksisitas akut
dan menghasilkan sebuah angka dosis LD50 yang lebih rendah, karena potensi
pengaruh faktor-faktor ini terhadap LD50 kondisi sebenarnya pada saat uji
coba dilaksanakan harus dicatat dan dilaporkan.
5. Pengamatan dan Pemeriksaan
Setelah perlakuan zat toksik hewan harus diperiksa tidak hanya jumlah
dan waktu kematian, tetapi juga saraf sentral, saraf otonom dan pengaruh
terhadap tingkah laku termasuk reaksi awal, intensitas, dan lama reaksinya
(Sperling, 1976). Rincian tipe-tipe pengamatan yang harus dikerjakan dan
penilaian hasil pengamatan terhadap tanda-tanda keracunan dan organ yang
dipengaruhi sebagai tuntunan untuk mempermudah penganmatan hewan
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Tanda Keracunan Organ
Sistem Tanda-tanda Keracunan
Saraf Otonom Eksoftalmos (mata memerah), hidung berlendir,
liur keluar, diare, sering buang air kecil, dan
membran niktiton terelaksasi
Perilaku Kurang tenang, gelisah, posisi duduk dengan
kepala mendongak, memandang kosong ke
depan, kepala menunduk, depresi berat, kaki
menggaruk-garuk, terengah-engah, mudah
terganggu, sikap bermusuhan agresif maupun
defensif, ketakutan, bingung, aktivitas aneh
Perasa/Sensori Sensitif terhadap rasa sakit, righting, kornea
labirin (rongga telinga), refleks setempat dan
pada kaki belakang, sensitif terhadap suara dan
sentuhan, nistaghmus, phonaton
Saraf Otot Aktivitas meningkat atau menurun, fasikulasi,
gemetar, kejang-kejang, otot tidak dapat
digerakkan, gangguan prostat, ekor
membengkok ke bawah dan ke depan, kaki
belakang lemah, refleks jelek, ophistotonus,
kedutan, kematian
Pembuluh Darah Detak jantung naik atau turun, sianosis,
Jantung penyumbatan / gangguan pembuluh darah
jantung, pelebaran pembuluh darah jantung,
perdarahan
Pernapasan/Respiratori Hipopnea, dispnea, apnea
Mata/Okular Midriasis, miosis, lakrimasi, ptosis, nistagmus,
siklopledia, refleks sinar pupilar
Gastrointestinal/ Air liur keluar terus, feses dan urin berdarah,
Gastrourinari sembelit, buang air besar dan kecil tidak
terkontrol
Kulit (cutaneous) Alopesia, gemetar seperti anjing, edema,
bengkak

Jangka waktu pengamatan harus cukup lama sehingga adanya akibat


yang lambat atau tertunda, termasuk kematian, tidak akan terlewat. Autopsi
menyeluruh harus dilaksanakan pada setiap hewan yang mati termasuk paling
sedikit beberapa dari yang tetap hidup, terutama hewan hewan yang mati
termasuk paling sedikit beberapa dari yang tetap hidup, terutama hewan-
hewan yang abnormal saat penghentian eksperimen.
6. Evaluasi Data (Hubungan “Dosis-Respon”)
Akibat adanya variasi individual dalam setiap grup hewan itu tidak mati
pada dosis kimia yang sama. Oleh karena itu, frekuensi respons, misalkan
kematian akan meningkat seiring meningkatnya dosis. Disaat angka kematian
akibat yang lain diplotkan terhadap dosis pada sebuah skala logaritma,
didapatkan kurva bentuk S.
7. Potensi Relatif
Potensi masing masing toksikan jelas berbeda. Dianjurkan untuk
memeriksa pula confidence limit dan slope pada kurva dosis-respon. Jika
confidence limit dua LD50 tumpang tindih, bahan dengan LD50 lebih rendah
mungkin kurang beracun dibandingkan bahan lain. Grafik yang lebih datar ini
tampaknya menyebabkan lebih banyak kematian.

D. UJI HAYATI SUBKRONIS-KRONIS


Uji toksisitas subkronis dilakukan untuk mengevaluasi efek senyawa,
apabila diberikan kepada hewan uji secara berulang-ulang. Biasanya diberikan
senyawa uji setiap hari selama kurang lebih 10% dari masa hidup hewan, yaitu 3
bulan untuk tikus dan 1-2 tahun untuk anjing. Uji toksisitas sub kronis
menyangkut evaluasi seluruh hewan untuk mengetahui efek patologi kasar dan
efek histologi. Uji ini dapat menghasilkan informasi toksisitas zat uji yang
berkaitan dengan organ sasaran, efek pada organ itu, dan hubungan dosis efek dan
dosis respons. Informasi tersebut dapat memberi petunjuk jenis penelitian khusus
lainnya yang perlu dilakukan (Hendriani, 2007).
Uji toksisitas kronis dilakukan dengan memberikan senyawa uji berulang-
ulang selama masa hidup hewan uji atau sebagian besar masa hidupnya, misalnya
18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk tikus, dan 7-10 tahun untuk anjing dan
monyet.Parameter yang digunakan untuk pengujian subkronik atau jangka pendek
ini adalah sebagai berikut:
1. Hewan Uji
Sekurang-kurangnya digunakan dua jenis hewan, hewan pengeratdan
bukan hewan pengerat. Biasanya dapat digunakan tikus dananjing, dari dua
jenis kelamin, sehat, dewasa, umur 5 sampai 6 minggu untuk tikus, dan 4-6
bulan untuk anjing.
2. Jumlah Hewan Uji
Masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor hewan pengerat atauempat
ekor anjing untuk setiap jenis kelamin. Bila pada percobaanakan dilakukan
pengorbanan/pembedahan, maka jumlah hewan ujiharus sudah
dipertimbangkan sebelumnya.
3. Dosis Uji
Sekurang-kurangnya digunakan tiga kelompok dosis dan satu kelompok
kontrol untuksetiap jenis kelamin. Dosis dan jumlah kelompok dosis harus
cukup, hingga dapatdiperoleh dosis toksik dan dosis tidak berefek. Dosis toksik
harus menyebabkan gejalatoksik yang nyata pada beberapa hewan uji dan
terjadinya kematian tidak boleh lebihdari 10%, sedangkan dosis tidak berefek
tidak boleh menyebabkan gejala toksik. Sebagaidosis toksik biasanya
digunakan 10-20% dari harga LD50, denganmempertimbangkan hasil yang
diperoleh pada uji pendahuluan, tingkat dosis lainditetapkan dengan faktor
perkalian tetap 2 sampai 10.
4. Batas Uji
Bila pada dosis 1000 mg/kg bobot tubuh tidak dihasilkan efek toksik,
dosis tidak perludinaikkan lagi, meskipun dosis yang diharapkan untuk
manusia belum dicapai.
5. Cara Pemberian Zat Uji
Pada dasarnya zat uji harus diberikan sesuai dengan cara pemberian atau
pemaparanyang diharapkan pada manusia. Bila diberikan secara oral, dapat
diberikan dengancara pencekokan menggunakan sonde atau secara ad libitum
di dalam makanan atauminuman hewan. Bila zat uji akan dicampur dengan
makanan atau minuman hewan,jumlah zat uji yang ditambahkan harus
diperhitungkan berdasarkan jumlah makananatau minuman yang dikonsumsi
setiap hari.
6. Lama Pemberian Zat Uji
Lama pemberian zat uji selama 28 sampai 90 hari atau 10% dari seluruh
umurhewan, diberikan tujuh hari dalam satu minggu.
E. UJI PEMULIHAN
Remedisi (Pemulihan) merupakan proses degradasi biologis pada kondisi
terkontrol menjadi suatu bahan yang tidak berbahaya atau konsentrasinya di
bawah batas yang ditentukan oleh lembaga berwenang. Menurut United States
Environmental Protection Agency, Remediasi adalah suatu proses alami untuk
membersihkan bahan-bahan kimia berbahaya. Ketika mikroba mendegradasi
bahan berbahaya tersebut,akan dihasilkan air dan gas tidak berbahaya seperti CO2.
Bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk mengatasi masalah
lingkungan dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme
yang dimaksud adalah khamir, fungi (mycoremediasi), yeast, alga dan bakteri
yang berfungsi sebagai agen bioremediator. Selain dengan memanfaatkan
mikroorganisme, bioremediasi juga dapat pula memanfaatkan tanaman air.
Tanaman air memiliki kemampuan secara umum untuk menetralisir komponen-
komponen tertentu di dalam perairan dan sangat bermanfaat dalam proses
pengolahan limbah cair (misalnya menyingkirkan kelebihan nutrien, logam dan
bakteri patogen). Penggunaan tumbuhan ini biasa dikenal dengan istilah
fitoremediasi.Bioremediasi juga dapat dikatakan sebagai proses penguraian
limbah organik/anorganik polutan secara biologi dalam kondisi terkendali.
Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar
menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air)
atau dengan kata lain mengontrol, mereduksi atau bahkan mereduksi bahan
pencemar dari lingkungan. Jenis-jenis bioremediasi meliputi (Nugrohoet al.,
2006):
1. Bioremediasi yang melibatkan mikroba terdapat 3 macam yaitu:
a. Biostimulasi,yaitu memperbanyak dan mempercepat pertumbuhan mikroba
yang sudah ada di daerah tercemar dengan cara memberikan lingkungan
pertumbuhan yang diperlukan, yaitu penambahan nutrien dan oksigen.
b. Bioaugmentasi, yaitu penambahan produk mikroba komersial ke dalam
limbah cair untuk meningkatkan efisiensi dalam pengolahan limbah secara
biologi.
c. Bioremediasi Intrinsik, terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang
tercemar.
2. Bioremediasi berdasarkan lokasi, meliputi:
a. In situ, yaitu dapat dilakukan langsung di lokasi tanah tercemar ( proses
bioremediasi yang digunakan berada pada tempat lokasi limbah tersebut).
b. Ex situ, yaitu bioremediasi yang dilakukan dengan mengambil limbah
tersebut lalu ditreatment ditempat lain, setelah itu baru dikembalikan ke
tempat asal.

F. METODE STATIS
Static Test, adalah metode uji dimana selama uji berlangsung tidak
dilakukan penggantian larutan maupun pemindahan organisme uji. Keuntungan
metode ini adalah metode ini sederhana dan murah, sumber daya yang diperlukan
minim (ruang, tenaga, dan peralatan) selain itu volume sampel yang diperlukan
lebih sedikit. Akan tetapi, ada beberapa kelemahan yang menyebabkan kerugian
metode ini terutama jika kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) dan
Biological Oxygen Demand (BOD) tinggi akan menyebabkan penurunan
Dissolved Oxygen (DO) dengan cepat, memungkinkan terjadinya penguapan
senyawa toksik ataupun adsorpsi pada permukaan labu percobaan, umumnya
kurang sensitif dari pada tes statis yang diperbaharui atau tes aliran air kontinyu
akibat senyawa toksik telah terdegradasi atau teradsorpsi sehingga menurunkan
nilai toksisitas yang sesungguhnya.

G. METODE SEMI STATIS (RANEWAL)


Ranewal Test, adalah suatu metode uji dimana organismenya didedahkan ke
dalam larutan uji dalam komposisi yang sama secara periodik berulang selama uji
berlangsung (dengan interval waktu pengulangan setiap 24 jam). Hal ini dilakukan
dengan memindahkan organisme atau replikasi larutan, serta melakukan
penggantian larutan uji. Dengan penggantian larutan, maka organisme uji akan
terekspos oleh larutan segar/baru dengan konsentrasi yang sama setiap 24 jam
sekali ataupun interval waktu lain yang ditentukan (Husni dan Esmiralda, 2010).
Ada beberapa kelebihan metode ini, yaitu:
1. Mengurangi kemungkinan penurunan DO pada larutan uji dengan
kandungan COD dan BOD tinggi.
2. Mengurangi kemungkinan hilangnya toksikan akibat penguapan atau
adsorpsi pada labu percobaan.
3. Organisme uji yang kehilangan energi dengan cepat akan mengkonsumsi
pada saat larutan uji diperbaharui/diganti sehingga tetap terjaga kondisi
yang sehat.
Akan tetapi, kelemahan metode ini adalah:
1. Memerlukan volume effluent yang lebih besar.
2. Umumnya kurang sensitif dibandingkan dengan tes aliran air kontinu
akibat terdegradasinya toksikan atau teradsorpsi.
3. Kelemahan lain juga kecilnya kemungkinan untuk dapat mendeteksi
variasi temporal pada buangan.

H. METODE SIRKULASI ULANG


Sistem resirkulasi air merupakan salah satu cara mempertahankan kondisi
kualitas air pada kisaran yang optimal. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan
Nana et al. (2007) bahwa sistem resirkulasi akan menstabilkan kualitas air seperti
oksigen yang tinggi, suhu air yang intervensi akumulasi sisa pakan dan feses ke
dalam media. Secara umum metode sirkulasi ulang adalah memanfaatkan air
buangan (limbah) untuk dialirkan dalam sistem.
Metode sirkulasi dilakukan dengan cara pergantian air secara berkala sesuai
jumlah persentase air yang diganti dan penggunaan air yang sekali pakai.
Pergantian air dilakukan dengan menambahkan air dari air tandon yang telah
dipersiapkan. Pembuangan air dilakukan dengan metode sipon yaitu
menggunakan selang yang diberi saringan pada ujung yang berada di dalam
akuarium agar ikan tidak tersedot dan terbuang.
Resirkulasi air adalah sistem pada teknik budidaya yang mempertahankan
kesegaran air diatas ambang toleransi selama periode tertentu tanpa mengganggu
pertumbuhan ikan. Sistem resirkulasi ini merupakan sistem air yang dipakai terus
menerus dengan memakai sistem filtrasi. Sistem ini memerlukan aliran air yang
dapat terkendali serta pompa untuk mengalirkan air tersebut. Hal yang pertama
dilakukan pada sistem resirkulasi adalah air dipompa dan dimasukkan kedalam
akuarium, selanjutnya air buangan dari akuarium tadi dimasukkan kedalam bak
filter untuk penjernihan setelah melewati filter air dapat digunakan kembali untuk
mengisi air di akuarium.

I. UJI ALIR KONSTAN (FLOW THROUGH)


Flow Through Test, adalah suatu metode uji yang larutan ujinya diganti
(mengalir) secara kontinyu selama masa pengujian berlangsung. Dalam uji
toksisitas dengan aliran kontinyu ada dua tipe yang dapat dilakukan:
1. Sampel dipompakan ke dalam reaktor uji secara kontinu dari sistem
pengenceran.
2. Sampel yang diambil secara grab atau komposit dikumpulkan secara periodik
kemudian dipompakan secara kontinu dari tangki pengumpul ke sistem
pengencer.
Beberapa kelebihan penelitian pada air mengalir dibandingkan dari pada air
statis, antara lain:
1. Memberikan evaluasi toksisitas akut yang lebih mewakili sumber toksikan
terutama jika sampel dipompakan secara kontinu langsung dari sumber.
2. Konsentrasi DO dalam wadah uji lebih terpelihara.
3. Dapat digunakan pada faktor beban (biomasa) yang lebih tinggi.
4. Kemungkinan toksikan menguap dan atau teradsorpsi dapat ditekan.
Kelemahan dari metode ini adalah:
1. Memerlukan jumlah sampel yang besar begitu pula dengan air pengencer yang
diperlukan.
2. Peralatan uji lebih kompleks dan mahal serta memerlukan pemeliharaan dan
pengawasan.
3. Memerlukan ruangan yang lebih besar.
4. Sesuai dengan jumlah tenaga yang diperlukan maka sulit untuk dapat
dilakukan secara multipel.

J. METODE MIKROKOSM DAN MESOKOSM


1. Mikrokosm
Tes di laboratorium daerah mikrokosmos yang baik dalam hal biaya dan
ketepatan ekotoksikologi ketika memilih antara single-spesies dan tes
mikrokosmos luar ruangan (Barryand Logan, 1998). Mereka menawarkan
sejumlah besar kriteria efek dan mempertimbangkan beberapa interaksi antara
spesies (persaingan, predasi, dll.), Sementara presentasi tingkat yang cukup
standardisasi dan peniruan (Cairns dan Cherry, 1993).
Dua pendekatan untuk mikrokosmos laboratorium dikembangkan yaitu
mikrokosmos laboratorium berdasarkan komunitas alami (Van Donketal, 1995)
dapat memberikan hasil lebih dekat dengan apa yang dapat diamati dalam
ekosistem alam, tetapi lebih sulit untuk meniru (Barry dan Logan, 1998). Sebagai
alternatif, mikrokosmos laboratorium dapat sepenuhnya sintetis (orgnotobiotic,
Taub, 1969), atau dihasilkan dari yang lingkungan dan sedimen sehingga
mengandung sejumlah tertentu spesies dari kultur laboratorium dan saham
pemuliaan.
Mengenai mikrokosmos gnotobiotic, menyebutkan dapat dibuat dari
Standard Aquatic Microcosmos (SAM) (Penaklukan dan Taub, 1989), yang
sistem 3-L digunakan untuk menguji efek dari zat beracun pada masyarakat
beragam organisme laboratorium selama 63 hari. Clement dilaksanakan jenis lain
dari gnotobiotic laboratorium mikrokosmos. Laboratorium mikrokosmos air
bioassay (Clement andCadier, 1998) memungkinkan mengevaluasi respon dari
lima spesies terkena bersamaan, dibawah kondisi di mana mereka berinteraksi
satu sama lain dan lingkungan, zat beracun diperkenalkan melalui kolom air atau
sedimen(Babut dkk., 2002).
Meskipun kegunaannya untuk penilaian ekotoksikologi, masalah berulang
mikrokosmos bioassay adalah variabilitas respon yang diperoleh, yang
mempengaruhi kapasitas deteksi dan sensitivitas poin toksisitas akhir (Caquetetal,
2001). Variabilitas ini berhubungan dengan bioassay mikrokosmos, karena
variabilitas biologis dan perbanyakan sumber variabilitas dalam sistem yang
kompleks dengan peningkatan variasi dengan waktu. Masalah lain yang dihadapi
dalam kondisi batch adalah keterbatasan produksi primer akibat konsumsi nutrisi
dan kemungkinan akumulasi metabolit (amonia atau nitrit).
2. Mesokosm
Mesokosm adalah alat eksperimental yang membawa sebagian kecil dari
lingkungan alam dalam kondisi yang terkendali. Dengan cara ini mesokosms
menyediakan hubungan antara studi lapangan observasional yang terjadi di
lingkungan alam, tetapi tanpa replikasi, dan percobaan laboratorium yang
terkendali yang mungkin terjadi dalam kondisi yang agak tidak wajar.
Eksperimen tidak dapat menjelaskan setiap faktor yang biasanya mungkin
terjadi di lingkungan aslinya. Mesokosms menghindari masalah ini sebagai
percobaan dilakukan di lingkungan alam, tetapi dalam tempat yang cukup kecil
bahwa variabel yang penting dapat dikendalikan. Mesokosms telah digunakan
untuk mengevaluasi bagaimana organisme atau komunitas mungkin bereaksi
terhadap perubahan lingkungan, melalui manipulasi yang disengaja dari variabel
lingkungan, seperti peningkatan suhu, karbon dioksida atau tingkat pH.
Keuntungan mesokosm memberikan apa yang sudah kita ketahui faktor
yang mungkin berpengaruh akan menghasilkan reaksi positif atau negatif dari
bidang studi yang menarik. Memanipulasi sesuatu dapat memberikan ide untuk
apa yang diharapkan jika sesuatu terjadi dalam ekosistem atau lingkungan. Untuk
mesokosms dalam ruangan, ruang pertumbuhan memungkinkan kita untuk
mengontrol percobaan. Tanaman dapat ditempatkan dalam ruang pertumbuhan
dan memanipulasi udara, suhu, panas dan cahaya distribusi dan mengamati efek
bila terkena jumlah yang berbeda dari masing-masing faktor(Sala, 2000).
Rumah kaca juga berkontribusi terhadap mesokosm meskipun kadang-
kadang, hal itu dapat menyebabkan perubahan iklim, campur dengan percobaan
dan mengakibatkan data yang tidak efisien (Kennedy,1995). Menggunakan ruang
pertumbuhan untuk percobaan laboratorium kadang-kadang merugikan karena
jumlah terbatas ruang. Kelemahan lain untuk menggunakan mesokosms tidak
memadai meniru lingkungan, menyebabkan organisme untuk menghindari
pemberian reaksi tertentu terhadap perilaku alam di lingkungan aslinya
(Dudzik,1979).
Mazzeo (2010) meneliti kebiasaan makan ikan Hoplias malabaricus bila
terkena jumlah yang berbeda dari fitoplankton, zooplankton, dan kompetisi. Tiga
bulan sebelum melakukan percobaan, mereka mempertahankan curah hujan rata-
rata, suhu udara, dan secara keseluruhan subtropis lingkungan. Menggunakan 12
unit, mereka mengisinya dengan air akuifer, pasir dan tanaman dan membuat
mereka dalam isolasi sampai lingkungan menjadi cocok untuk fitoplankton
muncul. Setelah persiapan yang cermat (Mazzeo, 2010)mulai percobaan membagi
unit-unit dalam kategori kontrol (zooplankton dan fitoplankton) dan 3 percobaan:
(multidentata Jenynsia dengan zooplankton dan fitoplankton), (juvenile Hoplias
malabaricus dengan zooplankton dan fitoplankton), dan (Large Hoplias
malabaricus, Jenynsia multidentata, zooplankton, dan fitoplankton) dan perbedaan
biomassa yang diamati dalam kondisi yang berbeda.
Flanagan dan McCauley (2010) menguji efek dari pemanasan iklim
terhadap konsentrasi karbon dioksida di kolam dangkal dengan menciptakan
delapan silinder berbentuk mesokosms in situ. Mereka dibagi menjadi empat
kontrol dan empat percobaan pada kampus kolam University of Calgary. Dengan
hati-hati mempertahankan sedimen dan suhu dari setiap perubahan, produksi
zooplankton dan ganggang berhasil. Setelah manipulasi (memompa panas menjadi
air), mereka mengukur sedimen di dasar kolam untuk konsentrasi karbon
dioksida. Setelah mengumpulkan data dan menganalisanya. (Flanagan dan
McCauley, 2010) menyimpulkan bahwa karena pemanasan lingkungan di kolam,
karbon dioksida dari kolam akan meningkat ke dalam lingkungan, pada gilirannya
akan mengurangi jumlah karbon dioksida di dalam sedimen secara tidak langsung
memodifikasi siklus karbon ekosistem itu.
Mesokosm berguna untuk mempelajari nasib polutan di lingkungan laut
serta menyediakan kemampuan untuk melakukan percobaan manipulatif
terkendali yang tidak bisa dilakukan di lingkungan laut alami. Sejak 1976,
Ekosystem Laut Research Laboratory (MERL) di University of Rhode Island
telah melakukan studi polusi dan studi ekologi kelautan eksperimental
menggunakan tank mesokosm menggambar air dari dekat Narragansett Bay
(Kloss,1989).

K. METODE LAPANGAN
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan maka uji hayati dengan
metode lapangan merupakan metode yang sering digunakan karena dalam metode
ini tidak hanya spesies tunggal yang diamati tetapi juga ekosistem di lapangan
sehingga akan diperoleh hasil yang lebih akurat. Dalam prosesnya, penentuan
kualitas air dengan metode lapangan biasanya menggunakan bio indikator yang
berasal dari makrobenthos atau mikrobenthos.

L. METODE PENDEKATAN TRIAD


Triad adalah sebuah pendekatan oleh United States Environmental
Protection Agency untuk pengambilan keputusan untuk pembersihan lokasi
limbah berbahaya. Selama akhir 1990an, para pendukung teknologi dari sektor
lingkungan di Amerika Serikat mengembangkan pendekatan ini dengan
menggabungkan inovasi dalam manajemen dan teknologi dengan gagasan dari
pengalaman pembersihan limbah berbahaya.
Tujuan mereka adalah untuk membentuk kerangka kerja untuk sensor dan
alat lingkungan real-time, untuk memperbaiki pengambilan keputusan di lokasi
yang terkontaminasi. Hal ini menghasilkan serangkaian gagasan yang lebih formal
di tahun 2001 yang kemudian dikenal sebagai pendekatan Triad. Gagasan tersebut
melahirkan Komunitas Praktik pada tahun 2005 (Crumbling dkk, 2003).
Istilah Triad mewakili tiga elemen: perencanaan proyek sistematis, strategi
kerja dinamis, dan teknologi sampling dan analitik yang inovatif. Sementara
elemen Triad telah lama digunakan untuk pembersihan situs, paket Triad
menerapkan praktik pengelolaan ini bersama dengan prinsip panduan seperti
berikut:
1. Menggunakan proses perencanaan, yang mencakup partisipasi semua
pemangku kepentingan (termasuk tim proyek multidisipliner, regulator federal
dan negara bagian, penasihat hukum, anggota masyarakat, dan profesional
lingkungan lainnya), untuk menentukan jenis data yang dibutuhkan dan untuk
mengevaluasi apakah situs tersebut dapat diuntungkan dari teknologi
pengukuran real-time.
2. Diskusi manajemen ketidakpastian, keterwakilan data, dan strategi penutupan
lokasi.
3. Penggunaan model situs yang mengenali karakterisasi situs merupakan elemen
yang digunakan pada semua tahap perbaikan.
4. Penggunaan teknologi sampling, pengukuran, dan pengelolaan data untuk
mendukung strategi manajemen yang tidak pasti.
5. Tim proyek yang memiliki komunikasi, kepercayaan, diskusi tentang
kepentingan dan tujuan individu, dan keahlian di bidang yang sesuai.
Berikut ini merupakan tiga elemen penting dari pendekatan triad:
1. Perencanaan Proyek yang sistematis
Perencanaan proyek akan mengidentifikasi masalah dan mendorong
pemangku kepentingan untuk menegosiasikan langkah-langkah yang
diperlukan untuk menengahi risiko kontaminasi lingkungan terhadap
kesehatan manusia dan ekologi. Tujuan spesifik sebuah proyek (pembangunan
kembali, revitalisasi, dll.) Mungkin berbeda, namun tujuan spesifik selama
proses SPP adalah:
a. Menentukan masalah: identifikasi tujuan proyek, kendala, pemangku
kepentingan, kerangka peraturan, dan keputusan primer / sekunder.
b. Mengembangkan model situs: membangun dan memelihara model situs
yang menangkap informasi yang berkaitan dengan keputusan primer /
sekunder yang harus dilakukan. Istilah CSM diperbarui dengan
mengidentifikasi kesenjangan data, dan mengembangkan strategi kerja
dinamis untuk mengisi kesenjangan data.
c. Mengevaluasi dan mengelola ketidakpastian: mengevaluasi dan mengelola
ketidakpastian yang terkait dengan pengambilan keputusan dalam konteks
CSM sehingga keputusan dapat dibuat dengan tingkat kepercayaan yang
dapat diterima.
2. Strategi kerja dinamis
Strategi kerja dinamis adalah strategi yang dapat disesuaikan dengan
kondisi situs saat informasi baru tersedia saat pekerjaan sedang berjalan.
Adaptasi ini mungkin sebagai tanggapan terhadap kegiatan pengumpulan data
yang dirancang untuk menangani kejadian yang tidak diketahui oleh CSM,
atau mungkin juga sebagai respons terhadap kondisi situs yang sama sekali
tidak terduga yang dihadapi selama masa kerja.Strategi kerja dinamis sebagai
bagian dari pendekatan Triad dapat disertakan dalam hampir setiap kegiatan
yang terkait dengan karakterisasi lokasi dan remediasi limbah berbahaya. Ini
mencakup keseluruhan strategi proyek, program sampling dinamis dan
analisis untuk tujuan karakterisasi, rancangan tindakan perbaikan,
implementasi, dan pemantauan kinerja, pemantauan jangka panjang untuk
situs yang memerlukannya, rencana penutupan, dan penjaminan mutu /
kegiatan pengendalian mutu (Robbat dkk, 1998).
3. Pengambilan sampel yang inovatif
Seringkali disebut sebagai sistem pengukuran 'real-time', ini adalah
teknologi analisis atau pengukuran yang mampu menghasilkan data dengan
cukup cepat untuk mengarahkan kemajuan aktivitas lapangan (karakterisasi
atau remediasi) saat mereka berlangsung. Contoh metode analisis meliputi
fluoresensi X-ray (XRF), kromatografi gas portabel dan teknologi
spektrometri massa (GC-MS), dan kit uji immunoassay. Metode analisis
lapangan baru berkembang dengan cepat. Namun, beberapa telah
menggunakan pendekatan laboratorium standar dengan hasil turn-around yang
cepat. Analisis ini memungkinkan pembuatan keputusan di lapangan dan
memastikan konsistensi internal logis di antara konsep Triad.

M. VARIASI METODE UJI TOKSISITAS


Menurut National Research Council (1993), uji toksisitas diperlukan untuk
menilai potensi bahaya bagi manusia melalui paparan hewan laboratorium yang
akut, subkronis, dan kronis terhadap pestisida. Jenis toksisitas yang lebih spesifik
yang ditentukan meliputi karsinogenisitas; perkembangan (termasuk
teratogenisitas pada keturunan) dan toksisitas reproduksi; mutagenisitas; dan
neurotoksisitas.
1. Uji Toksisitas Akut
Studi toksisitas akut memberikan informasi tentang potensi bahaya
kesehatan yang mungkin timbul akibat paparan jangka pendek. Penentuan
toksisitas oral, kulit, dan inhalasi akut biasanya merupakan langkah awal
dalam mengevaluasi karakteristik racun dari pestisida. Pada masing-masing
tes ini hewan tersebut terkena bahan uji hanya sekali 1 hari. Bersama dengan
informasi yang berasal dari mata primer dan studi iritasi kulit primer (juga 1
dosis pada 1 hari), yang menilai kemungkinan bahaya akibat kontak pestisida
dengan mata dan kulit, data ini memberikan dasar untuk pelabelan pencegahan
dan dapat mempengaruhi klasifikasi pestisida. untuk penggunaan terbatas.
Data toksisitas akut juga memberikan informasi yang digunakan untuk
menentukan kebutuhan kemasan tahan-anak, untuk persyaratan pakaian
pelindung untuk aplikator, dan untuk perhitungan interval reentry pekerja
pertanian. Jumlah minimum hewan, biasanya orang dewasa, digunakan dalam
penelitian ini dan hanya titik akhir perhatian yang dipantau, yaitu kematian,
efek kulit atau mata yang dapat diamati, sensitivitas kulit, dan perubahan
perilaku neurotoksik yang dapat diamati. Satu pengecualian adalah
dimasukkannya pemeriksaan mikroskopik jaringan saraf pada studi
neurotoksisitas akut yang baru diperlukan.
2. Uji Toksisitas Subkronik
Paparan subkronis tidak menimbulkan efek yang memiliki periode yang
panjang (missal karsinogenisitas). Namun, memberikan informasi tentang
bahaya kesehatan yang mungkin timbul dari paparan berulang terhadap
pestisida selama periode hingga kira-kira 30% dari umur hewan pengerat. Tes
subkronis juga memberikan informasi yang diperlukan untuk memilih tingkat
dosis yang tepat untuk studi kronis, terutama untuk studi karsinogenisitas
dimana MTD harus dipilih. Menurut EPA (1984), tikus yang dipilih untuk
penelitian ini harus dimulai pada bahan uji segera setelah disapih, idealnya
sebelum tikus berumur 6 dan, dalam hal apapun, tidak lebih dari 8 minggu.
3. Uji Toksisitas Kronik
Informasi yang berasal dari penelitian kronis digunakan untuk menilai
potensi bahaya akibat pemaparan pestisida yang berkepanjangan dan berulang
selama sebagian besar masa hidup manusia. Studi ini biasanya berlangsung 12
sampai 24 bulan. Yang sangat penting adalah studi karsinogenisitas jangka
panjang, yang tujuannya adalah untuk mengamati hewan uji untuk
pengembangan lesi neoplastik setelah terpapar seumur hidup pada tingkat
dosis sampai dan termasuk MTD yang ditentukan dari pengujian subklinis.
4. Uji Toksisitas Berkelanjutan
Studi toksisitas berkelanjutan dirancang untuk menilai potensi efek
lanjutan pada keturunan akibat paparan ibu terhadap zat uji selama kehamilan.
Efek ini meliputi kematian organisme yang sedang berkembang, kelainan
struktur, perubahan pertumbuhan, dan kekurangan fungsional. Selain studi
teratologi klasik (sekarang disebut toksisitas berkelanjutan), studi
pascakelahiran diperlukan oleh EPA berdasarkan kasus per kasus. Pada uji
toksisitas ini tikus dan kelinci lebih sering digunakan sebagai hewan uji, tetapi
hewan lain seperti hamster juga dapat digunakan.
5. Uji Mutagenisitas
Uji mutagenisitas diperlukan untuk menilai potensi setiap bahan kimia uji
untuk mempengaruhi materi genetik. Kriteria seleksi tes berfokus pada
kemampuan tes untuk mendeteksi, dengan metode pengujian yang tepat,
kapasitas bahan kimia untuk mengubah materi genetik dalam sel. Bila
ditemukan potensi mutagenik, hal ini digunakan untuk memperkirakan efek
yang dapat diturunkan pada manusia, sebagai bukti dalam pengujian
karsinogenitas, dan untuk menentukan pengujian lanjut mengenai
karsinogenitas apabila diperlukan.
6. Uji Metabolisme Umum
Data dari penelitian tentang absorpsi, distribusi, bioakumulasi, ekskresi,
dan metabolisme pestisida juga memungkinkan evaluasi hasil tes yang lebih
bermakna dan penilaian risiko yang lebih tepat (sebagai hasil ekstrapolasi
yang lebih bermakna dari data hewan terhadap manusia). Data semacam itu
mungkin juga membantu merancang studi toksikologi yang lebih relevan.
Informasi tentang metabolit yang terbentuk pada hewan uji juga digunakan
untuk menentukan apakah pengujian toksisitas lebih lanjut diperlukan pada
metabolit tanaman. Jika metabolit utama terbentuk di pabrik tetapi tidak pada
hewan uji, uji toksisitas terpisah pada metabolit tanaman bisa diperlukan.
Tingkat pengujian yang diperlukan tergantung pada tingkat kekhawatiran yang
diajukan oleh tes toksisitas baterai awal (studi akut dan subklinis, satu studi
teratologi, dan tes mutagenisitas).
7. Uji Neurotoksikologi
Studi neurotoksikologi diperlukan untuk mengevaluasi potensi setiap
pestisida untuk mempengaruhi struktur atau fungsi sistem saraf secara negatif.
N. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN METODE UJI HAYATI
Dewasa ini beberapa jenis musuh alami khususnya jenis mikroorganisme
entomopatogen telah dapat diproduksi dalam skala industri dan dipasarkan
sebagai pestisida atau dikenal sebagai pestisida biologi. Manusia tidak harus
melakukan dengan tergesa-gesa mengendalikan dengan bahan-bahan (kimia) yang
merusak lingkungan pertanian.
Prinsip-prinsip pengendalian hayati, antara lain:
1. Introduksi, yaitu memindahkan atau mendatangkan musuh alami dari suatu
daerah/negara asal ke daerah baru/dalam negeri dalam upaya pengendalian
hama
2. Augmentasi, yaitu penambahan musuh alami melalui pelepasan musuh alami
di lapangan dengan tujuan untuk lebih menigkatkan peranan dalam menekan
populasi hama
3. Inundasi, yaitu penambahan musuh alami dalam jumlah banyak dengan
tujuan dapat menurunkan populasi hama dengan cepat sampai pada tingkat
yang tidak merugikan
4. Konservasi, yaitu semua upaya berjalan untuk melestarikan/memelihara
musuh alami yang sudah ada di lapangan, antara lain melalui teknik bercocok
tanam, pengaturan jarak tanam, dan penyediaan sumberdaya.
Dalam pelaksanaannya, pengendalian metode uji hayati memiliki kelebihan
juga kekurangan. Kelebihan dari pengendalian metode uji hayati, antara lain:
1. Selektifitas tinggi dan tidak menimbulkan hama baru.
2. Organisme yang digunakan sudah ada di lapangan/lahan.
3. Organisme yang digunakan dapat mencari dan menemukan hama.
4. Dapat berkembang biak dan menyebar secara alamiah hama tidak menjadi
resisten atau terjadi sangat lambat.
5. Pengendalian ini dapat berjalan dengan sendirinya.
6. Tidak ada pengaruh/efek samping yang buruk, seperti pada penggunaan
pestisida.
Sedangkan kelemahan dari pengendalian metode uji hayati ini, antara lain:
1. Pengendalian berjalan lambat.
2. Tidak dapat diramalkan, ditentukan dengan paksa.
3. Sulit dan mahal untuk pengembangannya dan penggunaannya.
4. Memerlukan pengawasan pakar.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Toksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari efek merugikan dari
bahan kimia terhadap organisme hidup.
2. Uji toksisitas akut dilakukan untuk mengukur derajat efek suatu senyawa yang
diberikan pada hewan coba tertentu, dan pengamatannya dilakukan pada 24
jam pertama setelah perlakuan. Uji toksisitas subkronis dilakukan untuk
mengevaluasi efek senyawa, apabila diberikan kepada hewan uji secara
berulang-ulang. Sedangkan, Remedisi (Pemulihan) merupakan proses
degradasi biologis pada kondisi terkontrol menjadi suatu bahan yang tidak
berbahaya atau konsentrasinya di bawah batas yang ditentukan oleh lembaga
berwenang.
3. Static Test, adalah metode uji dimana selama uji berlangsung tidak dilakukan
penggantian larutan maupun pemindahan organisme uji. Ranewal Test, adalah
suatu metode uji dimana organismenya didedahkan ke dalam larutan uji dalam
komposisi yang sama secara periodik berulang selama uji berlangsung. Sistem
resirkulasi air merupakan salah satu cara mempertahankan kondisi kualitas air
pada kisaran yang optimal.
4. Flow Through Test, adalah suatu metode uji yang larutan ujinya diganti
(mengalir) secara kontinyu selama masa pengujian berlangsung.
5. Tes di laboratorium daerah mikrokosmos yang baik dalam hal biaya dan
ketepatan ekotoksikologi ketika memilih antara single-spesies dan tes
mikrokosmos luar ruangan sedangkan Mesokosm adalah alat eksperimental
yang membawa sebagian kecil dari lingkungan alam dalam kondisi yang
terkendali. Metode lapangan tidak hanya spesies tunggal yang diamati tetapi
juga ekosistem di lapangan.
6. Variasi metode uji toksisitas meliputi uji toksisitas akut, subkronik, kronik,
berkelanjutan, mutagenisitas, metabolism umum dan uji neurotoksikologi
7. Kelebihan dari pengendalian metode uji hayati adalah selektivitas tinggi dan
tidak menimbulkan hama baru, Organisme yang digunakan sudah ada di
lapangan/lahan. Kelemahannya adalah Memerlukan pengawasan pakar,
pengendalian berjalan lambat dan tidak dapat diramalkan.
B. SARAN
Karakteristik metode uji hayati sangat diperlukan untuk menganalisis
toksisitas yang ada dilingkungan tanpa adanya penggunaan bahan berbahaya dan
beracun saat analisis. Oleh karena itu, lingkungan yang terletak didekat industri
atau sumber pencemar dapat dilakukan uji hayati ini untuk penenganan
lingkungan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Crumbling, D.M., Griffith, J. and Powell, D.M., 2003. Improving decision


quality: Making the case for adopting next‐generation site characterization
practices. Remediation Journal, 13(2): 91-111.
Dominguez, G. 1985. Guidebook Toxics Subtances Control Act vol I. CRC press,
Inc. Boca Raton, florida 334341. P.p. 847.
[EPA] Environmental Protection Agency. 2002. Methods for Measuring the Acute
Toxicity of Effuents and Receiving Waters to Freshwater and Marine
Organism. Washington (US): United States Environmental Protection
Agency. p 41-50.
Hajra S, Mehta A, Panday P. 2012. Immunostimulating activity of methanolic
extract of Swietenia mahagoni seeds.Int J Pharm Pharm Sci.4(1):442-445.
Hendriani, Rini. 2007. Uji Toksisitas Subkronis Kombinasi Ekstrak Etanol Buah
Mengkudu (Morinda citrifolia Linn.) dan Rimpang Jahe Gajah (Zingiber
officianale Rose)pada Tikus Wistar. Universitas Padjajaran.
Husni, H dan Esmiralda M.T. 2010. Uji Toksisitas Akut Limbah Cair Industri
Tahu Terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio Lin). Studi Kasus Limbah Cair
Industri Tahu. Universitas Andalas.
Hutagalung, H. 1992. Metode analisis air laut, sedimen dan biota. Buku 2. Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Osenaologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta. 183 halaman.
Klaasen, S.D. 2001. Casarett and Doull’s Toxicology: The Basic Science of
Poisons, 6th ed. Mc Graw-Hill: United State of America.
National Research Council, 1993. Pesticides in the Diets of Infants and Children.
National Academies Press.
Nugroho, A.2006. Biodegradasi Sludge Minyak Bumi dalam Skala Mikrokosmos.
MAKARA TEKNOLOGI, 10(2):82-89.
Paramveer D, Chanchal M, Paresh M, Rani A, Shrivastava B, Nema RK. 2010.
Effective alternative methods of LD50 help to save number of
experimentalanimals. J. Chem. Pharm. Res., 2(6):450-453.
Prakoso, C.P., Romadhon, A dan Arisandi, A. 2009. Kajian Uji Hayati Air
Limbah Hasil Instalasi Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit Dr. Ramelan
Surabaya. Jurnal Kelautan, 2(1): 27-31.
Robbat, A., Smarason, S. and Gankin, Y., 1998. Dynamic work plans and field
analytics, the keys to cost‐effective hazardous waste site investigations.
Field Analytical Chemistry & Technology, 2(5): 253-265.
Saputri, M.E.2014. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Biji Mahoni (Swietenia mahagoni
Jacq.) yang Diukur Dengan Penentuan LD50 Terhadap Tikus Putih (Rattus
Norvegius). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Wahyuni, F. S., Putri, I.N dan Arisanti, D. 2017. Uji Toksisitas Subkronis Fraksi
Etil Asetat Kulit Buah Asam Kandis (Garcinia cowa Roxb.) terhadap Fungsi
Hati dan Ginjal Mencit Putih Betina. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 3(2):
202-212.
LATIHAN SOAL

PILIHAN GANDA

1. Derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi secara singkat (24 jam) setelah
pemberian dalam sediaan uji merupakan pengertian dari ...
a. Ketoksikan akut
b. Uji hayati akut
c. Nilai LD50
d. Toksisitas kronis
e. Toksisitas subkronis
2. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji toksisitas adalah, kecuali ...
a. Dosis
b. Cara perlakuan
c. Umur
d. Faktor lingkungan
e. Temperatur
3. Uji toksisitas subkronis dilakukan untuk mengetahui efek ... dan efek ...
a. Patologi kasar, morfologi
b. Patologi kasar, histologi
c. Patologi kasar, patologi halus
d. Patologi halus, histologi
e. Patologi halus, morfologi
4. Parameter yang digunakan untuk pengujian subkronik adalah, kecuali ...
a. Hewan uji
b. Dosis uji
c. Batas uji
d. Jenis kelamin hewan uji
e. Lama pemberian zat uji
5. Bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk mengatasi masalah
lingkungan dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme. Berikut
mikroorganisme yang tidak dapat membantu proses bioremediasi adalah ...
a. Fungi
b. Yeast
c. Alga
d. Bakteri
e. Lalat
6. Metode uji dimana selama uji berlangsung tidak dilakukan penggantian
larutan maupun pemindahan organisme uji merupakan pengertian dari ...
a. Metode statis
b. Metode semi statis
c. Metode lapangan
d. Metode pemulihan
e. Metode sirkulasi ulang
7. Berikut merupakan keuntungan dari metode statis, kecuali ...
a. Sederhana
b. Murah
c. Sensitif
d. Sumber yang diperlukan minim
e. Volume sampel yang diperlukan sedikit
8. Sistem yang digunakan pada metode sirkulasi ulang adalah ...
a. Koagulasi
b. Filtrasi
c. Evaporasi
d. Distilasi
e. Sentrifugasi
9. Pada metode sirkulasi air, pembungan air dilakukan dengan metode sipon.
Metode sipon adalah ...
a. Menggunakan selang yang diberi saringan pada ujung yang berada di
dalam akuarium agar ikan tidak tersedot dan terbuang
b. Menggunakan selang yang diberi saringan di tengah yang berada di dalam
akuarium agar ikan tidak tersedot dan terbuang
c. Menggunakan tandon yang diberi saringan pada ujung yang berada di
dalam akuarium agar ikan tidak tersedot dan terbuang
d. Menggunakan pompa yang diberi saringan di tengah yang berada di dalam
akuarium agar ikan tidak tersedot dan terbuang
e. Menggunakan pompa yang diberi saringan pada ujung yang berada di
dalam akuarium agar ikan tidak tersedot dan terbuang
10. Berikut kelebihan penelitian pada air mengalir dibandingkan dari pada air
statis adalah, kecuali ...
a. Memberikan evaluasi toksisitas akut yang lebih mewakili sumber toksikan
terutama jika sampel dipompakan secara kontinu langsung dari sumber.
b. Konsentrasi DO dalam wadah uji lebih terpelihara.
c. Dapat digunakan pada faktor beban (biomasa) yang lebih tinggi.
d. Kemungkinan toksikan menguap dan atau teradsorpsi dapat ditekan.
e. Memerlukan ruangan yang lebih besar.
11. Pendekatan TRIAD melahirkan Komunitas Praktik pada tahun ...
a. 2002
b. 2003
c. 2004
d. 2005
e. 2006
12. Prinsip panduan yang dibersamai oleh praktik pengelolaan paket TRIAD
adalah, kecuali ...
a. Menggunakan proses perencanaan
b. Penggunaan model situs yang mengenalis karakterisasi situs
c. Diskusi manajemen ketidakpastian
d. Penggunaan teknologi sampling
e. Tim proyek yang tidak memiliki diskusi tentang kepentingan dan tujuan
individu
13. 1. Perencanaan proyek yang sistematis
2. Pengambilan sampel yang praktis
3. Strategi kerja yang dinamis
4. Pengambilan sampel yang inovatif
5. Penggunaan model situs yang mengenali karakterisasi situs
Tiga elemen penting dari pendekatan TRIAD adalah ...
a. 1, 2, dan 3
b. 1, 2, dan 4
c. 1, 2, dan 5
d. 1, 3, dan 4
e. 1, 3, dan 5
14. Dalam penelitian, jenis toksisitas yang lebih spesifik yang ditentukan adalah,
kecuali ...
a. Karsinogenik
b. Toksisitas reproduksi
c. Mutagenesis
d. Mutagenisitas
e. Neurotoksisitas
15. Berikut ini yang bukan merupakan prinsip pengendalian hayati, yaitu ...
a. Introduksi
b. Observasi
c. Augmentasi
d. Inundasi
e. Konservasi
ESSAY

1. Toksisitas akut dapat menyebabkan kematian 50% dari hewan percobaan,


dinyatakan dengan LC50. Nilai LD50 sangat berguna untuk menentukan
klasifikasi zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya. Sebutkan kategori
nilai LD50!
2. Sebutkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji toksisitas!
3. Sebutkan tanda-tanda keracunan pada sistem saraf otonom, perasa, saraf otot,
dan mata!
4. Sebutkan kelebihan dan kekurangan dari metode semi statis!
5. Sebut dan jelaskan prinsip-prinsip pengendalian hayati!
Jawaban:

1. Kategori nilai LD50

2. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji toksisitas sebagai berikut:


a. Cara perlakuan
b. Dosis dan jumlah hewan
c. Faktor lingkungan
d. Temperatur
e. Pengamatan dan pemeriksaan
f. Evaluasi data (hubungan “dosis-respon”)
g. Potensi relatif
3. Saraf Otonom: Eksoftalmos (mata memerah), hidung berlendir, liur keluar,
diare, sering buang air kecil, dan membran niktiton terelaksasi
Perasa/Sensori: Sensitif terhadap rasa sakit, righting, kornea labirin (rongga
telinga), refleks setempat dan pada kaki belakang, sensitif terhadap suara dan
sentuhan, nistaghmus, phonaton
Saraf Otot: Aktivitas meningkat atau menurun, fasikulasi, gemetar, kejang-
kejang, otot tidak dapat digerakkan, gangguan prostat, ekor membengkok ke
bawah dan ke depan, kaki belakang lemah, refleks jelek, ophistotonus,
kedutan, kematian
Mata/Okular: Midriasis, miosis, lakrimasi, ptosis, nistagmus, siklopledia,
refleks sinar pupilar
4. Kelebihan metodesemi statis, yaitu:
4. Mengurangi kemungkinan penurunan DO pada larutan uji dengan
kandungan COD dan BOD tinggi.
5. Mengurangi kemungkinan hilangnya toksikan akibat penguapan atau
adsorpsi pada labu percobaan.
6. Organisme uji yang kehilangan energi dengan cepat akan mengkonsumsi
pada saat larutan uji diperbaharui/diganti sehingga tetap terjaga kondisi
yang sehat.
Sedangkan kelemahan metode semi statis adalah:
4. Memerlukan volume effluent yang lebih besar.
5. Umumnya kurang sensitif dibandingkan dengan tes aliran air kontinu
akibat terdegradasinya toksikan atau teradsorpsi.
6. Kelemahan lain juga kecilnya kemungkinan untuk dapat mendeteksi
variasi temporal pada buangan.
5. Prinsip-prinsip pengendalian hayati, antara lain:
a. Introduksi, yaitu memindahkan atau mendatangkan musuh alami dari
suatu daerah/negara asal ke daerah baru/dalam negeri dalam upaya
pengendalian hama
b. Augmentasi, yaitu penambahan musuh alami melalui pelepasan musuh
alami di lapangan dengan tujuan untuk lebih menigkatkan peranan dalam
menekan populasi hama
c. Inundasi, yaitu penambahan musuh alami dalam jumlah banyak dengan
tujuan dapat menurunkan populasi hama dengan cepat sampai pada tingkat
yang tidak merugikan
d. Konservasi, yaitu semua upaya berjalan untuk melestarikan/memelihara
musuh alami yang sudah ada di lapangan, antara lain melalui teknik
bercocok tanam, pengaturan jarak tanam, dan penyediaan sumberdaya
MAKALAH KIMIA TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN
“TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN: KARAKTERISTIK METODE UJI
HAYATI”
Dosen pengampu: Dr.Pranoto, M.Sc

Disusun oleh :
1. Arum Anindiyan Kusumaningtyas M0314011
2. Elsa Ninda Karlinda Putri M0314023
3. Grace Theodora M0314036
4. Sintia Wardani M0314070
5. Ucik Refani Kurnia S M0314076
6. Winda Maharditya M0315066

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


SURAKARTA
2017
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
DAFTAR ISI .......................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
A. Latar Belakang ........................................................................................1
B. Tujuan .....................................................................................................2
C. Rumusan Masaah ....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................3
A. Toksikologi Lingkungan .........................................................................3
B. Karakteristik Metode Uji Hayati .............................................................3
C. Uji Hayati ................................................................................................4
D. Uji Hayati Subkronis-kronis....................................................................8
E. Uji Pemulihan ..........................................................................................10
F. Metode Statis ...........................................................................................11
G. Metode Semi Statis (Ranewal) ................................................................11
H. Metode Sirkulasi Ulang ...........................................................................12
I. Uji Alir Konstan (Flow Through) ...........................................................13
J. Metode Mikrokosm dan Mesokosm ........................................................14
K. Metode Lapangan ....................................................................................17
L. Metode Pendekatan TRIAD ....................................................................17
M. Variasi Metode Uji Toksisitas .................................................................19
N. Kelemahan dan KelemahanMetode Uji Hayati .......................................22
BAB IIIPENUTUP .............................................................................................24
C. Kesimpulan..............................................................................................24
D. Saran ........................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................25
LAMPIRAN ........................................................................................................27
Latihan Soal ........................................................................................................27
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kategori nilai LD50................................................................................4


Tabel 2. Tanda Keracunan Organ .......................................................................7
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWTkarena atas berkat


limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini. Makalah ini berjudul “TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN:
KARAKTERISTIK METODE UJI HAYATI”.Makalah ini disusun bertujuan
sebagai penunjang dalam mengetahui tentang karakteristik metode uji hayati dan
bioremediasi
Kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung
proses penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
dikatakan belum sempurna, namun kami sudah berusaha sebaik-baiknya. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi mahasiswa lainnya. Makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.

Surakarta, November 2017

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Proses Modernisasi yang akan menaikan konsumsi sehingga produksi juga
harus meningkat, dengan demikian industrialisasi dan penggunaan energi akan
meningkat yang tentunya akan meningkatkan resiko toksikologis.
Proses industrialisasi akan memanfaatkan bahan baku kimia, fisika, biologi yang
akan menghasilkan buangan dalam bentuk gas, cair, dan padat yang meningkat.
Buangan ini tentunya akan menimbulkan perubahan kualitas lingkungan yang
mengakibatkan resiko pencemaran, sehingga resiko toksikologi juga akan
meningkat. Toksikologi lingkungan dibahas dalam kimia lingkungan karena
berhubungan dengan adanya perubahan lingkungan yang disebabkan oleh
kehadiran zat kimia.
Beberapa bahasan yang dibahas dalam toksikologi lingkungan umumnya
ang berhubungan dengan uji toksisitas, yaitu menggunakan pengujian zat kimia
terhadap makhluk hidup. Selain itu dilakukannya uji hayati, yaitu uji yang
dilakukan untuk mengevaluasi potensi relatif dari bahan-bahan kimia dengan jalan
membandingkan pengaruh-pengaruh tersebut pada biota dengan kontrol yang
menggunakan biota yang sama (Hutagalung, 1992). Tujuan dari uji hayati adalah
untuk mengetahui konsentrasi bahan uji (bahan kimia atau limbah) serta
perubahan suhu, pH yang dapat menimbulkan pengaruh yang merugikan
sekelompok biota dengan kondisi kontrol (Hutagalung, 1992). Salah satu cara
yang paling cepat dan terbaik untuk mengetahui akibat dari suatu pencemaran
terhadap komunitas perairan adalah dengan menggunakan uji hayati atau bioassay
(Dominguez, 1985).
Berdasarkan uraian diatas, makalah ini menitikberatkan terhadap
pendalaman materi toksikologi lingkungan mengenai karakteristik metode uji
hayati. Pendalaman materi diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
mengenai toksikologi lingkungan.
B. TUJUAN
Tujuan dari makalah ini adalah:
a. Mengetahui toksikologi lingkungan.
b. Mengetahui tentang uji hayati akut, subkronis-kronis dan pemulihan.
c. Mengetahui tentang metode statis, semi-statis dan sirkulasi ulang.
d. Mengetahui uji alir konstan (flow through).
e. Mengetahui metode mikrokosm dan mesokosm, metode lapangan, dan
metode pendekatan TRIAD.
f. Mengetahui variasi metode uji toksisitas.
g. Mengetahui kelebihan dan kelemahan metode uji hayati.

C. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah makalah ini adalah:
1. Bagaimana toksikologi lingkungan?
2. Bagaimana uji hayati akut, subkronis-kronis dan pemulihan?
3. Bagaimana metode statis, semi-statis dan sirkulasi ulang?
4. Bagaimana uji alri konstan (flow through)?
5. Bagaimana metode mikrokosm dan mesokosm, metode lapangan dan metode
pendekatan TRIAD?
6. Bagaimana variasi metode uji toksisitas?
7. Bagaimana kelebihan dan kelemahan metode uji hayati?
BAB II
PEMBAHASAN

A. TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN
Toksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari efek merugikan
dari bahan kimia terhadap organisme hidup. Potensi efek merugikan yang
ditimbulkan oleh bahan kimia di lingkungan sangat beragam dan bervariasi
sehingga ahli toksikologi mempunyai spesialis kerja bidang tertentu. Toksikologi
lingkungan adalah suatu studi yang mempelajari efek dari bahan polutan terhadap
kehidupan dan pengaruhnya terhadap ekosistem yang digunakan untuk
mengevaluasi kaitan antara manusia dengan polutan yang ada di lingkungan.
Pencegahan keracunan memerlukan perhitungan dari:
1. Toxicity: deskripsi dan kuantifikasi sifat-sifat toksis zat kimia
2. Hazard: kemungkinan zat kimia untuk menimbulkan cidera
3. Risk: besarnya kemungkinan zat kimia menimbulkan karacunan
4. Safety: keamanan
Kehadiran zat kimia beracun alamiah di dalam lingkungan diasumsikan
akan selalu konstan,kecuali ditambah oleh aktivitas manusia seperti penambahan
logam beracun kedalam lingkungan oleh kegiatan-kegiatan industry dan kemajuan
teknologi. Pengaruh kehadiran berbagai jenis zat kimia beracun tersebut di dalam
lingkungan mungkin dapat diketahui dengan cepat,akan tetapi pengaru negative
pada umumnya baru diketahui setelah masuknya zat kimia tersebut dalam jangka
waktu cukup lama.

B. KARAKTERISTIK METODE UJI HAYATI


Dalam Peraturan Pemerintah No. 85 tahun 1999 pasal 6 disebutkan bahwa
limbah B-3 dapat diidentifikasi menurut sumber atau uji karakterisasi atau uji
toksisitas. Uji toksisitas adalah untuk menentukan sifat akut atau khronik limbah.
Pada dasarnya pengujian toksisitas bertujuan untuk menilai efek racun terhadap
organisme, menganalisis secara obyektif resiko yang dihadapi akibat adanya racun
di lingkungan. Uji hayati adalah uji yang dilakukan untuk mengevaluasi potensi
relatif dari bahan-bahan kimia dengan jalan membandingkan pengaruh-pengaruh
tersebut pada biota dengan kontrol yang menggunakan biota yang sama. Tujuan
dari uji hayati adalah untuk mengetahui konsentrasi bahan uji (bahan kimia atau
limbah) serta perubahan suhu, pH yang dapat menimbulkan pengaruh yang
merugikan sekelompok biota dengan kondisi kontrol (Hutagalung, 1992). Salah
satu cara yang paling cepat dan terbaik untuk mengetahui akibat dari suatu
pencemaran terhadap komunitas perairan adalah dengan menggunakan uji
hayatiatau bioassay (Dominguez, 1985).

C. UJI HAYATI AKUT


Ketoksikan akut adalah derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi
secara singkat (24 jam) setelah pemberian dalam sediaan uji. Uji toksisitas
akutdilakukan untuk mengukur derajat efek suatu senyawa yang diberikan pada
hewan coba tertentu, dan pengamatannya dilakukan pada 24 jam pertama setelah
perlakuan. Salah satu cara memperoleh data kuantitatif uji toksisitas yaitu dengan
penentuan Lethal Dose 50 (LD50). LD50 didefinisikan sebagai dosis suatu zat yang
secara statistik diperkirakan akan membunuh 50% hewan percobaan (Paramveer
et al. 2010). Pengaruh LD50 secara umum diukur menggunakan dosis bertingkat.
Pemberian senyawa pada hewan coba yang lazim adalah peroral. Menurut
Environmental Protection Agency (EPA 2002), LD50 digunakan untuk
mengetahui kematian 50% hewan percobaan dalam 24-96 jam. Menurut Hajra et
al. (2012), Toksisitas akut dilakukan untuk mengetahui mortalitas dan respon
hewan percobaan selama 24 jam pertama setelah pemberian senyawa dan
pengamatan berlangsung selama 7 hari. Kategori nilai LD50 dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kategori nilai LD50(Saputri, 2014)

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji toksisitas sebagai berikut:


1. Cara Perlakuan
Umumnya perlakuan yang diberikan agar terjadi proses peracunan sama
dengan cara bagaimana orang akan terkena racun tersebut. Cara paling umum
adalah melalui mulut. Jika melalui mulut, zat itu harus diberikan dengan sonde.
Peracunan dengan cara mencampurkan zat kimia dalam makanan
mengakibatkan tidak tepatnya dosis dan umumnya akan mengurangi toksisitas
zat kimia.
Dalam pembuatan larutan atau suspensi zat yang toksik, diperlukan bahan
tambahan untuk memudahkan penggunaannya, bahkan jika zat yang toksik
tersebut merupakan cairan, diperlukan bahan pengecer. Bahan bahan yang
digunakan harus memiliki efek racun sekecil mungkin atau bahkan tanpa efek
beracun, dan tidak bereaksi dengan zat yang toksik. Bahan bahan tersebut
umumnya merupakan pelarut seperti air, air garam, perasan sayur mayur, dadn
turunan selulosa.
Volume zat yang toksik dalam larutan dan suspensi dapat berpengaruh
terhadap toksisitas. Volume yang terlalu besar dan berlebihan dapat
menyebabkan akibat tidak langsung terhadap hewan. Sebaliknya jika volume
dikurangi, konsentrasi akan naik, ini merupakan kenyataan yang dpat
meningkatkan toksisitas. Oleh karena itu, jika sejumlah besar zat yang toksik
digunakan pada hewan, dianjurkan untuk diberikan dalam dosis yang terbagi.
Perlakuan melalui kulit dan pernapasan makin meningkat, tidak hanya
pada zat kimia yang ditunjukkan untuk penggunaan bagi manusia, tetapi juga
zat kimia yang membawa dampak gangguan kesehatan untuk orang yang
menanganinya.
8. Dosis dan Jumlah Hewan
Tujuan uji LD50 adalah menetapkan dosis yang akan membunuh 50%
hewan dan menentukan slope kurva dosis vs respon. Oleh karena itu, selain
penentuan dosis yang membunuh kira-kira separuh dari hewan uji coba, dosis
yang membunuh lebih dari separuh (lebih disukai yang kurang dari 90%) dan
dosis ketiga yang membunuh kurang dari separuh (lebih disukai yang lebih dari
10%). Empat atau lebih dosis sering digunakan dengan harapan paling sedikit
tiga di antaranya akan jatuh pada deretan yang tepat.
Rasio kecil di antara dosis yang dipakai dapat diterima hanya apabila
informasi tentang pendekatan toksisitas akut tersedia. Jika tidak, sebuah
pendekatan dapat dihasilkan dengan sebuah uji coba pendahuluan dengan
prosedur seperti yang diusulkan Well (1952). Dalam menetapkan LD50 banyak
hewan yang diperlukan. Pada hewan anjing umumnya digunakan dalam jumlah
yang jauh lebih sedikit.
9. Faktor Lingkungan
Kandang dapat mempengaruhi LD50 suatu zat kimia melalui beberapa
cara. Misalnya, LD50 isoproterenol pada tikus yang dikurung sendiri kurang
dari 50 mg/kg, sedangkan pada 10 tikus yang dikurung bersama dalam satu
kandang kira kira 800 mg/kg. Meskipun demikian, pengaruh seperti ini
terhadap nilai LD50 untuk kebanyakan zat kimia hanya sedikit. Tipe kandang
dan tipe kotoran juga dapat mempengaruhi reaksi hewan terhadap zat yang
toksik.
10. Temperatur
Kelembaban nisbi yang lebih tinggi dapat meningkatkan toksisitas akut
dan menghasilkan sebuah angka dosis LD50 yang lebih rendah, karena potensi
pengaruh faktor-faktor ini terhadap LD50 kondisi sebenarnya pada saat uji
coba dilaksanakan harus dicatat dan dilaporkan.
11. Pengamatan dan Pemeriksaan
Setelah perlakuan zat toksik hewan harus diperiksa tidak hanya jumlah
dan waktu kematian, tetapi juga saraf sentral, saraf otonom dan pengaruh
terhadap tingkah laku termasuk reaksi awal, intensitas, dan lama reaksinya
(Sperling, 1976). Rincian tipe-tipe pengamatan yang harus dikerjakan dan
penilaian hasil pengamatan terhadap tanda-tanda keracunan dan organ yang
dipengaruhi sebagai tuntunan untuk mempermudah penganmatan hewan
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Tanda Keracunan Organ
Sistem Tanda-tanda Keracunan
Saraf Otonom Eksoftalmos (mata memerah), hidung berlendir,
liur keluar, diare, sering buang air kecil, dan
membran niktiton terelaksasi
Perilaku Kurang tenang, gelisah, posisi duduk dengan
kepala mendongak, memandang kosong ke
depan, kepala menunduk, depresi berat, kaki
menggaruk-garuk, terengah-engah, mudah
terganggu, sikap bermusuhan agresif maupun
defensif, ketakutan, bingung, aktivitas aneh
Perasa/Sensori Sensitif terhadap rasa sakit, righting, kornea
labirin (rongga telinga), refleks setempat dan
pada kaki belakang, sensitif terhadap suara dan
sentuhan, nistaghmus, phonaton
Saraf Otot Aktivitas meningkat atau menurun, fasikulasi,
gemetar, kejang-kejang, otot tidak dapat
digerakkan, gangguan prostat, ekor
membengkok ke bawah dan ke depan, kaki
belakang lemah, refleks jelek, ophistotonus,
kedutan, kematian
Pembuluh Darah Detak jantung naik atau turun, sianosis,
Jantung penyumbatan / gangguan pembuluh darah
jantung, pelebaran pembuluh darah jantung,
perdarahan
Pernapasan/Respiratori Hipopnea, dispnea, apnea
Mata/Okular Midriasis, miosis, lakrimasi, ptosis, nistagmus,
siklopledia, refleks sinar pupilar
Gastrointestinal/ Air liur keluar terus, feses dan urin berdarah,
Gastrourinari sembelit, buang air besar dan kecil tidak
terkontrol
Kulit (cutaneous) Alopesia, gemetar seperti anjing, edema,
bengkak

Jangka waktu pengamatan harus cukup lama sehingga adanya akibat


yang lambat atau tertunda, termasuk kematian, tidak akan terlewat. Autopsi
menyeluruh harus dilaksanakan pada setiap hewan yang mati termasuk paling
sedikit beberapa dari yang tetap hidup, terutama hewan hewan yang mati
termasuk paling sedikit beberapa dari yang tetap hidup, terutama hewan-
hewan yang abnormal saat penghentian eksperimen.
12. Evaluasi Data (Hubungan “Dosis-Respon”)
Akibat adanya variasi individual dalam setiap grup hewan itu tidak mati
pada dosis kimia yang sama. Oleh karena itu, frekuensi respons, misalkan
kematian akan meningkat seiring meningkatnya dosis. Disaat angka kematian
akibat yang lain diplotkan terhadap dosis pada sebuah skala logaritma,
didapatkan kurva bentuk S.
13. Potensi Relatif
Potensi masing masing toksikan jelas berbeda. Dianjurkan untuk
memeriksa pula confidence limit dan slope pada kurva dosis-respon. Jika
confidence limit dua LD50 tumpang tindih, bahan dengan LD50 lebih rendah
mungkin kurang beracun dibandingkan bahan lain. Grafik yang lebih datar ini
tampaknya menyebabkan lebih banyak kematian.

D. UJI HAYATI SUBKRONIS-KRONIS


Uji toksisitas subkronis dilakukan untuk mengevaluasi efek senyawa,
apabila diberikan kepada hewan uji secara berulang-ulang. Biasanya diberikan
senyawa uji setiap hari selama kurang lebih 10% dari masa hidup hewan, yaitu 3
bulan untuk tikus dan 1-2 tahun untuk anjing. Uji toksisitas sub kronis
menyangkut evaluasi seluruh hewan untuk mengetahui efek patologi kasar dan
efek histologi. Uji ini dapat menghasilkan informasi toksisitas zat uji yang
berkaitan dengan organ sasaran, efek pada organ itu, dan hubungan dosis efek dan
dosis respons. Informasi tersebut dapat memberi petunjuk jenis penelitian khusus
lainnya yang perlu dilakukan (Hendriani, 2007).
Uji toksisitas kronis dilakukan dengan memberikan senyawa uji berulang-
ulang selama masa hidup hewan uji atau sebagian besar masa hidupnya, misalnya
18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk tikus, dan 7-10 tahun untuk anjing dan
monyet.Parameter yang digunakan untuk pengujian subkronik atau jangka pendek
ini adalah sebagai berikut:
7. Hewan Uji
Sekurang-kurangnya digunakan dua jenis hewan, hewan pengeratdan
bukan hewan pengerat. Biasanya dapat digunakan tikus dananjing, dari dua
jenis kelamin, sehat, dewasa, umur 5 sampai 6 minggu untuk tikus, dan 4-6
bulan untuk anjing.
8. Jumlah Hewan Uji
Masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor hewan pengerat atauempat
ekor anjing untuk setiap jenis kelamin. Bila pada percobaanakan dilakukan
pengorbanan/pembedahan, maka jumlah hewan ujiharus sudah
dipertimbangkan sebelumnya.
9. Dosis Uji
Sekurang-kurangnya digunakan tiga kelompok dosis dan satu kelompok
kontrol untuksetiap jenis kelamin. Dosis dan jumlah kelompok dosis harus
cukup, hingga dapatdiperoleh dosis toksik dan dosis tidak berefek. Dosis toksik
harus menyebabkan gejalatoksik yang nyata pada beberapa hewan uji dan
terjadinya kematian tidak boleh lebihdari 10%, sedangkan dosis tidak berefek
tidak boleh menyebabkan gejala toksik. Sebagaidosis toksik biasanya
digunakan 10-20% dari harga LD50, denganmempertimbangkan hasil yang
diperoleh pada uji pendahuluan, tingkat dosis lainditetapkan dengan faktor
perkalian tetap 2 sampai 10.
10. Batas Uji
Bila pada dosis 1000 mg/kg bobot tubuh tidak dihasilkan efek toksik,
dosis tidak perludinaikkan lagi, meskipun dosis yang diharapkan untuk
manusia belum dicapai.
11. Cara Pemberian Zat Uji
Pada dasarnya zat uji harus diberikan sesuai dengan cara pemberian atau
pemaparanyang diharapkan pada manusia. Bila diberikan secara oral, dapat
diberikan dengancara pencekokan menggunakan sonde atau secara ad libitum
di dalam makanan atauminuman hewan. Bila zat uji akan dicampur dengan
makanan atau minuman hewan,jumlah zat uji yang ditambahkan harus
diperhitungkan berdasarkan jumlah makananatau minuman yang dikonsumsi
setiap hari.
12. Lama Pemberian Zat Uji
Lama pemberian zat uji selama 28 sampai 90 hari atau 10% dari seluruh
umurhewan, diberikan tujuh hari dalam satu minggu.

E. UJI PEMULIHAN
Remedisi (Pemulihan) merupakan proses degradasi biologis pada kondisi
terkontrol menjadi suatu bahan yang tidak berbahaya atau konsentrasinya di
bawah batas yang ditentukan oleh lembaga berwenang. Menurut United States
Environmental Protection Agency, Remediasi adalah suatu proses alami untuk
membersihkan bahan-bahan kimia berbahaya. Ketika mikroba mendegradasi
bahan berbahaya tersebut,akan dihasilkan air dan gas tidak berbahaya seperti CO2.
Bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk mengatasi masalah
lingkungan dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme
yang dimaksud adalah khamir, fungi (mycoremediasi), yeast, alga dan bakteri
yang berfungsi sebagai agen bioremediator. Selain dengan memanfaatkan
mikroorganisme, bioremediasi juga dapat pula memanfaatkan tanaman air.
Tanaman air memiliki kemampuan secara umum untuk menetralisir komponen-
komponen tertentu di dalam perairan dan sangat bermanfaat dalam proses
pengolahan limbah cair (misalnya menyingkirkan kelebihan nutrien, logam dan
bakteri patogen). Penggunaan tumbuhan ini biasa dikenal dengan istilah
fitoremediasi.Bioremediasi juga dapat dikatakan sebagai proses penguraian
limbah organik/anorganik polutan secara biologi dalam kondisi terkendali.
Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar
menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air)
atau dengan kata lain mengontrol, mereduksi atau bahkan mereduksi bahan
pencemar dari lingkungan. Jenis-jenis bioremediasi meliputi (Nugrohoet al.,
2006):
1. Bioremediasi yang melibatkan mikroba terdapat 3 macam yaitu:
d. Biostimulasi,yaitu memperbanyak dan mempercepat pertumbuhan mikroba
yang sudah ada di daerah tercemar dengan cara memberikan lingkungan
pertumbuhan yang diperlukan, yaitu penambahan nutrien dan oksigen.
e. Bioaugmentasi, yaitu penambahan produk mikroba komersial ke dalam
limbah cair untuk meningkatkan efisiensi dalam pengolahan limbah secara
biologi.
f. Bioremediasi Intrinsik, terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang
tercemar.
2. Bioremediasi berdasarkan lokasi, meliputi:
c. In situ, yaitu dapat dilakukan langsung di lokasi tanah tercemar ( proses
bioremediasi yang digunakan berada pada tempat lokasi limbah tersebut).
d. Ex situ, yaitu bioremediasi yang dilakukan dengan mengambil limbah
tersebut lalu ditreatment ditempat lain, setelah itu baru dikembalikan ke
tempat asal.

F. METODE STATIS
Static Test, adalah metode uji dimana selama uji berlangsung tidak
dilakukan penggantian larutan maupun pemindahan organisme uji. Keuntungan
metode ini adalah metode ini sederhana dan murah, sumber daya yang diperlukan
minim (ruang, tenaga, dan peralatan) selain itu volume sampel yang diperlukan
lebih sedikit. Akan tetapi, ada beberapa kelemahan yang menyebabkan kerugian
metode ini terutama jika kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) dan
Biological Oxygen Demand (BOD) tinggi akan menyebabkan penurunan
Dissolved Oxygen (DO) dengan cepat, memungkinkan terjadinya penguapan
senyawa toksik ataupun adsorpsi pada permukaan labu percobaan, umumnya
kurang sensitif dari pada tes statis yang diperbaharui atau tes aliran air kontinyu
akibat senyawa toksik telah terdegradasi atau teradsorpsi sehingga menurunkan
nilai toksisitas yang sesungguhnya.

G. METODE SEMI STATIS (RANEWAL)


Ranewal Test, adalah suatu metode uji dimana organismenya didedahkan ke
dalam larutan uji dalam komposisi yang sama secara periodik berulang selama uji
berlangsung (dengan interval waktu pengulangan setiap 24 jam). Hal ini
dilakukan dengan memindahkan organisme atau replikasi larutan, serta
melakukan penggantian larutan uji. Dengan penggantian larutan, maka organisme
uji akan terekspos oleh larutan segar/baru dengan konsentrasi yang sama setiap 24
jam sekali ataupun interval waktu lain yang ditentukan (Husni dan Esmiralda,
2010).
Ada beberapa kelebihan metode ini, yaitu:
1. Mengurangi kemungkinan penurunan DO pada larutan uji dengan kandungan
COD dan BOD tinggi.
2. Mengurangi kemungkinan hilangnya toksikan akibat penguapan atau adsorpsi
pada labu percobaan.
3. Organisme uji yang kehilangan energi dengan cepat akan mengkonsumsi pada
saat larutan uji diperbaharui/diganti sehingga tetap terjaga kondisi yang sehat.
Akan tetapi, kelemahan metode ini adalah:
1. Memerlukan volume effluent yang lebih besar.
2. Umumnya kurang sensitif dibandingkan dengan tes aliran air kontinu akibat
terdegradasinya toksikan atau teradsorpsi.
3. Kelemahan lain juga kecilnya kemungkinan untuk dapat mendeteksi variasi
temporal pada buangan.

H. METODE SIRKULASI ULANG


Sistem resirkulasi air merupakan salah satu cara mempertahankan kondisi
kualitas air pada kisaran yang optimal. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan
Nana et al. (2007) bahwa sistem resirkulasi akan menstabilkan kualitas air seperti
oksigen yang tinggi, suhu air yang intervensi akumulasi sisa pakan dan feses ke
dalam media. Secara umum metode sirkulasi ulang adalah memanfaatkan air
buangan (limbah) untuk dialirkan dalam sistem.
Metode sirkulasi dilakukan dengan cara pergantian air secara berkala sesuai
jumlah persentase air yang diganti dan penggunaan air yang sekali pakai.
Pergantian air dilakukan dengan menambahkan air dari air tandon yang telah
dipersiapkan. Pembuangan air dilakukan dengan metode sipon yaitu
menggunakan selang yang diberi saringan pada ujung yang berada di dalam
akuarium agar ikan tidak tersedot dan terbuang.
Resirkulasi air adalah sistem pada teknik budidaya yang mempertahankan
kesegaran air diatas ambang toleransi selama periode tertentu tanpa mengganggu
pertumbuhan ikan. Sistem resirkulasi ini merupakan sistem air yang dipakai terus
menerus dengan memakai sistem filtrasi. Sistem ini memerlukan aliran air yang
dapat terkendali serta pompa untuk mengalirkan air tersebut. Hal yang pertama
dilakukan pada sistem resirkulasi adalah air dipompa dan dimasukkan kedalam
akuarium, selanjutnya air buangan dari akuarium tadi dimasukkan kedalam bak
filter untuk penjernihan setelah melewati filter air dapat digunakan kembali untuk
mengisi air di akuarium.

I. UJI ALIR KONSTAN (FLOW THROUGH)


Flow Through Test, adalah suatu metode uji yang larutan ujinya diganti
(mengalir) secara kontinyu selama masa pengujian berlangsung. Dalam uji
toksisitas dengan aliran kontinyu ada dua tipe yang dapat dilakukan:
3. Sampel dipompakan ke dalam reaktor uji secara kontinu dari sistem
pengenceran.
4. Sampel yang diambil secara grab atau komposit dikumpulkan secara periodik
kemudian dipompakan secara kontinu dari tangki pengumpul ke sistem
pengencer.
Beberapa kelebihan penelitian pada air mengalir dibandingkan dari pada air
statis, antara lain:
1. Memberikan evaluasi toksisitas akut yang lebih mewakili sumber toksikan
terutama jika sampel dipompakan secara kontinu langsung dari sumber.
2. Konsentrasi DO dalam wadah uji lebih terpelihara.
3. Dapat digunakan pada faktor beban (biomasa) yang lebih tinggi.
4. Kemungkinan toksikan menguap dan atau teradsorpsi dapat ditekan.
Kelemahan dari metode ini adalah:
1. Memerlukan jumlah sampel yang besar begitu pula dengan air pengencer yang
diperlukan.
2. Peralatan uji lebih kompleks dan mahal serta memerlukan pemeliharaan dan
pengawasan.
3. Memerlukan ruangan yang lebih besar.
4. Sesuai dengan jumlah tenaga yang diperlukan maka sulit untuk dapat
dilakukan secara multipel.

J. METODE MIKROKOSM DAN MESOKOSM


1. Mikrokosm
Tes di laboratorium daerah mikrokosmos yang baik dalam hal biaya dan
ketepatan ekotoksikologi ketika memilih antara single-spesies dan tes
mikrokosmos luar ruangan (Barryand Logan, 1998). Mereka menawarkan
sejumlah besar kriteria efek dan mempertimbangkan beberapa interaksi antara
spesies (persaingan, predasi, dll.), Sementara presentasi tingkat yang cukup
standardisasi dan peniruan (Cairns dan Cherry, 1993).
Dua pendekatan untuk mikrokosmos laboratorium dikembangkan yaitu
mikrokosmos laboratorium berdasarkan komunitas alami (Van Donketal, 1995)
dapat memberikan hasil lebih dekat dengan apa yang dapat diamati dalam
ekosistem alam, tetapi lebih sulit untuk meniru (Barry dan Logan, 1998). Sebagai
alternatif, mikrokosmos laboratorium dapat sepenuhnya sintetis (orgnotobiotic,
Taub, 1969), atau dihasilkan dari yang lingkungan dan sedimen sehingga
mengandung sejumlah tertentu spesies dari kultur laboratorium dan saham
pemuliaan.
Mengenai mikrokosmos gnotobiotic, menyebutkan dapat dibuat dari
Standard Aquatic Microcosmos (SAM) (Penaklukan dan Taub, 1989), yang
sistem 3-L digunakan untuk menguji efek dari zat beracun pada masyarakat
beragam organisme laboratorium selama 63 hari. Clement dilaksanakan jenis lain
dari gnotobiotic laboratorium mikrokosmos. Laboratorium mikrokosmos air
bioassay (Clement andCadier, 1998) memungkinkan mengevaluasi respon dari
lima spesies terkena bersamaan, dibawah kondisi di mana mereka berinteraksi
satu sama lain dan lingkungan, zat beracun diperkenalkan melalui kolom air atau
sedimen(Babut dkk., 2002).
Meskipun kegunaannya untuk penilaian ekotoksikologi, masalah berulang
mikrokosmos bioassay adalah variabilitas respon yang diperoleh, yang
mempengaruhi kapasitas deteksi dan sensitivitas poin toksisitas akhir (Caquetetal,
2001). Variabilitas ini berhubungan dengan bioassay mikrokosmos, karena
variabilitas biologis dan perbanyakan sumber variabilitas dalam sistem yang
kompleks dengan peningkatan variasi dengan waktu. Masalah lain yang dihadapi
dalam kondisi batch adalah keterbatasan produksi primer akibat konsumsi nutrisi
dan kemungkinan akumulasi metabolit (amonia atau nitrit).
2. Mesokosm
Mesokosm adalah alat eksperimental yang membawa sebagian kecil dari
lingkungan alam dalam kondisi yang terkendali. Dengan cara ini mesokosms
menyediakan hubungan antara studi lapangan observasional yang terjadi di
lingkungan alam, tetapi tanpa replikasi, dan percobaan laboratorium yang
terkendali yang mungkin terjadi dalam kondisi yang agak tidak wajar.
Eksperimen tidak dapat menjelaskan setiap faktor yang biasanya mungkin
terjadi di lingkungan aslinya. Mesokosms menghindari masalah ini sebagai
percobaan dilakukan di lingkungan alam, tetapi dalam tempat yang cukup kecil
bahwa variabel yang penting dapat dikendalikan. Mesokosms telah digunakan
untuk mengevaluasi bagaimana organisme atau komunitas mungkin bereaksi
terhadap perubahan lingkungan, melalui manipulasi yang disengaja dari variabel
lingkungan, seperti peningkatan suhu, karbon dioksida atau tingkat pH.
Keuntungan mesokosm memberikan apa yang sudah kita ketahui faktor
yang mungkin berpengaruh akan menghasilkan reaksi positif atau negatif dari
bidang studi yang menarik. Memanipulasi sesuatu dapat memberikan ide untuk
apa yang diharapkan jika sesuatu terjadi dalam ekosistem atau lingkungan. Untuk
mesokosms dalam ruangan, ruang pertumbuhan memungkinkan kita untuk
mengontrol percobaan. Tanaman dapat ditempatkan dalam ruang pertumbuhan
dan memanipulasi udara, suhu, panas dan cahaya distribusi dan mengamati efek
bila terkena jumlah yang berbeda dari masing-masing faktor(Sala, 2000).
Rumah kaca juga berkontribusi terhadap mesokosm meskipun kadang-
kadang, hal itu dapat menyebabkan perubahan iklim, campur dengan percobaan
dan mengakibatkan data yang tidak efisien (Kennedy,1995). Menggunakan ruang
pertumbuhan untuk percobaan laboratorium kadang-kadang merugikan karena
jumlah terbatas ruang. Kelemahan lain untuk menggunakan mesokosms tidak
memadai meniru lingkungan, menyebabkan organisme untuk menghindari
pemberian reaksi tertentu terhadap perilaku alam di lingkungan aslinya
(Dudzik,1979).
Mazzeo (2010) meneliti kebiasaan makan ikan Hoplias malabaricus bila
terkena jumlah yang berbeda dari fitoplankton, zooplankton, dan kompetisi. Tiga
bulan sebelum melakukan percobaan, mereka mempertahankan curah hujan rata-
rata, suhu udara, dan secara keseluruhan subtropis lingkungan. Menggunakan 12
unit, mereka mengisinya dengan air akuifer, pasir dan tanaman dan membuat
mereka dalam isolasi sampai lingkungan menjadi cocok untuk fitoplankton
muncul. Setelah persiapan yang cermat (Mazzeo, 2010)mulai percobaan membagi
unit-unit dalam kategori kontrol (zooplankton dan fitoplankton) dan 3 percobaan:
(multidentata Jenynsia dengan zooplankton dan fitoplankton), (juvenile Hoplias
malabaricus dengan zooplankton dan fitoplankton), dan (Large Hoplias
malabaricus, Jenynsia multidentata, zooplankton, dan fitoplankton) dan perbedaan
biomassa yang diamati dalam kondisi yang berbeda.
Flanagan dan McCauley (2010) menguji efek dari pemanasan iklim
terhadap konsentrasi karbon dioksida di kolam dangkal dengan menciptakan
delapan silinder berbentuk mesokosms in situ. Mereka dibagi menjadi empat
kontrol dan empat percobaan pada kampus kolam University of Calgary. Dengan
hati-hati mempertahankan sedimen dan suhu dari setiap perubahan, produksi
zooplankton dan ganggang berhasil. Setelah manipulasi (memompa panas
menjadi air), mereka mengukur sedimen di dasar kolam untuk konsentrasi karbon
dioksida. Setelah mengumpulkan data dan menganalisanya. (Flanagan dan
McCauley, 2010) menyimpulkan bahwa karena pemanasan lingkungan di kolam,
karbon dioksida dari kolam akan meningkat ke dalam lingkungan, pada gilirannya
akan mengurangi jumlah karbon dioksida di dalam sedimen secara tidak langsung
memodifikasi siklus karbon ekosistem itu.
Mesokosm berguna untuk mempelajari nasib polutan di lingkungan laut
serta menyediakan kemampuan untuk melakukan percobaan manipulatif
terkendali yang tidak bisa dilakukan di lingkungan laut alami. Sejak 1976,
Ekosystem Laut Research Laboratory (MERL) di University of Rhode Island
telah melakukan studi polusi dan studi ekologi kelautan eksperimental
menggunakan tank mesokosm menggambar air dari dekat Narragansett Bay
(Kloss,1989).
K. METODE LAPANGAN
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan maka uji hayati dengan
metode lapangan merupakan metode yang sering digunakan karena dalam metode
ini tidak hanya spesies tunggal yang diamati tetapi juga ekosistem di lapangan
sehingga akan diperoleh hasil yang lebih akurat. Dalam prosesnya, penentuan
kualitas air dengan metode lapangan biasanya menggunakan bio indikator yang
berasal dari makrobenthos atau mikrobenthos.

L. METODE PENDEKATAN TRIAD


Triad adalah sebuah pendekatan oleh United States Environmental
Protection Agency untuk pengambilan keputusan untuk pembersihan lokasi
limbah berbahaya. Selama akhir 1990an, para pendukung teknologi dari sektor
lingkungan di Amerika Serikat mengembangkan pendekatan ini dengan
menggabungkan inovasi dalam manajemen dan teknologi dengan gagasan dari
pengalaman pembersihan limbah berbahaya.
Tujuan mereka adalah untuk membentuk kerangka kerja untuk sensor dan
alat lingkungan real-time, untuk memperbaiki pengambilan keputusan di lokasi
yang terkontaminasi. Hal ini menghasilkan serangkaian gagasan yang lebih formal
di tahun 2001 yang kemudian dikenal sebagai pendekatan Triad. Gagasan tersebut
melahirkan Komunitas Praktik pada tahun 2005 (Crumbling dkk, 2003).
Istilah Triad mewakili tiga elemen: perencanaan proyek sistematis, strategi
kerja dinamis, dan teknologi sampling dan analitik yang inovatif. Sementara
elemen Triad telah lama digunakan untuk pembersihan situs, paket Triad
menerapkan praktik pengelolaan ini bersama dengan prinsip panduan seperti
berikut:
1. Menggunakan proses perencanaan, yang mencakup partisipasi semua
pemangku kepentingan (termasuk tim proyek multidisipliner, regulator federal
dan negara bagian, penasihat hukum, anggota masyarakat, dan profesional
lingkungan lainnya), untuk menentukan jenis data yang dibutuhkan dan untuk
mengevaluasi apakah situs tersebut dapat diuntungkan dari teknologi
pengukuran real-time.
2. Diskusi manajemen ketidakpastian, keterwakilan data, dan strategi penutupan
lokasi.
3. Penggunaan model situs yang mengenali karakterisasi situs merupakan elemen
yang digunakan pada semua tahap perbaikan.
4. Penggunaan teknologi sampling, pengukuran, dan pengelolaan data untuk
mendukung strategi manajemen yang tidak pasti.
5. Tim proyek yang memiliki komunikasi, kepercayaan, diskusi tentang
kepentingan dan tujuan individu, dan keahlian di bidang yang sesuai.
Berikut ini merupakan tiga elemen penting dari pendekatan triad:
1. Perencanaan Proyek yang sistematis
Perencanaan proyek akan mengidentifikasi masalah dan mendorong
pemangku kepentingan untuk menegosiasikan langkah-langkah yang
diperlukan untuk menengahi risiko kontaminasi lingkungan terhadap
kesehatan manusia dan ekologi. Tujuan spesifik sebuah proyek (pembangunan
kembali, revitalisasi, dll.) Mungkin berbeda, namun tujuan spesifik selama
proses SPP adalah:
d. Menentukan masalah: identifikasi tujuan proyek, kendala, pemangku
kepentingan, kerangka peraturan, dan keputusan primer / sekunder.
e. Mengembangkan model situs: membangun dan memelihara model situs
yang menangkap informasi yang berkaitan dengan keputusan primer /
sekunder yang harus dilakukan. Istilah CSM diperbarui dengan
mengidentifikasi kesenjangan data, dan mengembangkan strategi kerja
dinamis untuk mengisi kesenjangan data.
f. Mengevaluasi dan mengelola ketidakpastian: mengevaluasi dan mengelola
ketidakpastian yang terkait dengan pengambilan keputusan dalam konteks
CSM sehingga keputusan dapat dibuat dengan tingkat kepercayaan yang
dapat diterima.
2. Strategi kerja dinamis
Strategi kerja dinamis adalah strategi yang dapat disesuaikan dengan
kondisi situs saat informasi baru tersedia saat pekerjaan sedang berjalan.
Adaptasi ini mungkin sebagai tanggapan terhadap kegiatan pengumpulan data
yang dirancang untuk menangani kejadian yang tidak diketahui oleh CSM,
atau mungkin juga sebagai respons terhadap kondisi situs yang sama sekali
tidak terduga yang dihadapi selama masa kerja.Strategi kerja dinamis sebagai
bagian dari pendekatan Triad dapat disertakan dalam hampir setiap kegiatan
yang terkait dengan karakterisasi lokasi dan remediasi limbah berbahaya. Ini
mencakup keseluruhan strategi proyek, program sampling dinamis dan
analisis untuk tujuan karakterisasi, rancangan tindakan perbaikan,
implementasi, dan pemantauan kinerja, pemantauan jangka panjang untuk
situs yang memerlukannya, rencana penutupan, dan penjaminan mutu /
kegiatan pengendalian mutu (Robbat dkk, 1998).
3. Pengambilan sampel yang inovatif
Seringkali disebut sebagai sistem pengukuran 'real-time', ini adalah
teknologi analisis atau pengukuran yang mampu menghasilkan data dengan
cukup cepat untuk mengarahkan kemajuan aktivitas lapangan (karakterisasi
atau remediasi) saat mereka berlangsung. Contoh metode analisis meliputi
fluoresensi X-ray (XRF), kromatografi gas portabel dan teknologi
spektrometri massa (GC-MS), dan kit uji immunoassay. Metode analisis
lapangan baru berkembang dengan cepat. Namun, beberapa telah
menggunakan pendekatan laboratorium standar dengan hasil turn-around yang
cepat. Analisis ini memungkinkan pembuatan keputusan di lapangan dan
memastikan konsistensi internal logis di antara konsep Triad.

M. VARIASI METODE UJI TOKSISITAS


Menurut National Research Council (1993), uji toksisitas diperlukan untuk
menilai potensi bahaya bagi manusia melalui paparan hewan laboratorium yang
akut, subkronis, dan kronis terhadap pestisida. Jenis toksisitas yang lebih spesifik
yang ditentukan meliputi karsinogenisitas; perkembangan (termasuk
teratogenisitas pada keturunan) dan toksisitas reproduksi; mutagenisitas; dan
neurotoksisitas.

1. Uji Toksisitas Akut


Studi toksisitas akut memberikan informasi tentang potensi bahaya
kesehatan yang mungkin timbul akibat paparan jangka pendek. Penentuan
toksisitas oral, kulit, dan inhalasi akut biasanya merupakan langkah awal
dalam mengevaluasi karakteristik racun dari pestisida. Pada masing-masing
tes ini hewan tersebut terkena bahan uji hanya sekali 1 hari. Bersama dengan
informasi yang berasal dari mata primer dan studi iritasi kulit primer (juga 1
dosis pada 1 hari), yang menilai kemungkinan bahaya akibat kontak pestisida
dengan mata dan kulit, data ini memberikan dasar untuk pelabelan pencegahan
dan dapat mempengaruhi klasifikasi pestisida. untuk penggunaan terbatas.
Data toksisitas akut juga memberikan informasi yang digunakan untuk
menentukan kebutuhan kemasan tahan-anak, untuk persyaratan pakaian
pelindung untuk aplikator, dan untuk perhitungan interval reentry pekerja
pertanian. Jumlah minimum hewan, biasanya orang dewasa, digunakan dalam
penelitian ini dan hanya titik akhir perhatian yang dipantau, yaitu kematian,
efek kulit atau mata yang dapat diamati, sensitivitas kulit, dan perubahan
perilaku neurotoksik yang dapat diamati. Satu pengecualian adalah
dimasukkannya pemeriksaan mikroskopik jaringan saraf pada studi
neurotoksisitas akut yang baru diperlukan.
2. Uji Toksisitas Subkronik
Paparan subkronis tidak menimbulkan efek yang memiliki periode yang
panjang (missal karsinogenisitas). Namun, memberikan informasi tentang
bahaya kesehatan yang mungkin timbul dari paparan berulang terhadap
pestisida selama periode hingga kira-kira 30% dari umur hewan pengerat. Tes
subkronis juga memberikan informasi yang diperlukan untuk memilih tingkat
dosis yang tepat untuk studi kronis, terutama untuk studi karsinogenisitas
dimana MTD harus dipilih. Menurut EPA (1984), tikus yang dipilih untuk
penelitian ini harus dimulai pada bahan uji segera setelah disapih, idealnya
sebelum tikus berumur 6 dan, dalam hal apapun, tidak lebih dari 8 minggu.
3. Uji Toksisitas Kronik
Informasi yang berasal dari penelitian kronis digunakan untuk menilai
potensi bahaya akibat pemaparan pestisida yang berkepanjangan dan berulang
selama sebagian besar masa hidup manusia. Studi ini biasanya berlangsung 12
sampai 24 bulan. Yang sangat penting adalah studi karsinogenisitas jangka
panjang, yang tujuannya adalah untuk mengamati hewan uji untuk
pengembangan lesi neoplastik setelah terpapar seumur hidup pada tingkat
dosis sampai dan termasuk MTD yang ditentukan dari pengujian subklinis.
4. Uji Toksisitas Berkelanjutan
Studi toksisitas berkelanjutan dirancang untuk menilai potensi efek
lanjutan pada keturunan akibat paparan ibu terhadap zat uji selama kehamilan.
Efek ini meliputi kematian organisme yang sedang berkembang, kelainan
struktur, perubahan pertumbuhan, dan kekurangan fungsional. Selain studi
teratologi klasik (sekarang disebut toksisitas berkelanjutan), studi
pascakelahiran diperlukan oleh EPA berdasarkan kasus per kasus. Pada uji
toksisitas ini tikus dan kelinci lebih sering digunakan sebagai hewan uji, tetapi
hewan lain seperti hamster juga dapat digunakan.
5. Uji Mutagenisitas
Uji mutagenisitas diperlukan untuk menilai potensi setiap bahan kimia uji
untuk mempengaruhi materi genetik. Kriteria seleksi tes berfokus pada
kemampuan tes untuk mendeteksi, dengan metode pengujian yang tepat,
kapasitas bahan kimia untuk mengubah materi genetik dalam sel. Bila
ditemukan potensi mutagenik, hal ini digunakan untuk memperkirakan efek
yang dapat diturunkan pada manusia, sebagai bukti dalam pengujian
karsinogenitas, dan untuk menentukan pengujian lanjut mengenai
karsinogenitas apabila diperlukan.
6. Uji Metabolisme Umum
Data dari penelitian tentang absorpsi, distribusi, bioakumulasi, ekskresi,
dan metabolisme pestisida juga memungkinkan evaluasi hasil tes yang lebih
bermakna dan penilaian risiko yang lebih tepat (sebagai hasil ekstrapolasi
yang lebih bermakna dari data hewan terhadap manusia). Data semacam itu
mungkin juga membantu merancang studi toksikologi yang lebih relevan.
Informasi tentang metabolit yang terbentuk pada hewan uji juga digunakan
untuk menentukan apakah pengujian toksisitas lebih lanjut diperlukan pada
metabolit tanaman. Jika metabolit utama terbentuk di pabrik tetapi tidak pada
hewan uji, uji toksisitas terpisah pada metabolit tanaman bisa diperlukan.
Tingkat pengujian yang diperlukan tergantung pada tingkat kekhawatiran yang
diajukan oleh tes toksisitas baterai awal (studi akut dan subklinis, satu studi
teratologi, dan tes mutagenisitas).
7. Uji Neurotoksikologi
Studi neurotoksikologi diperlukan untuk mengevaluasi potensi setiap
pestisida untuk mempengaruhi struktur atau fungsi sistem saraf secara negatif.

N. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN METODE UJI HAYATI


Dewasa ini beberapa jenis musuh alami khususnya jenis mikroorganisme
entomopatogen telah dapat diproduksi dalam skala industri dan dipasarkan
sebagai pestisida atau dikenal sebagai pestisida biologi. Manusia tidak harus
melakukan dengan tergesa-gesa mengendalikan dengan bahan-bahan (kimia) yang
merusak lingkungan pertanian.
Prinsip-prinsip pengendalian hayati, antara lain:
1. Introduksi, yaitu memindahkan atau mendatangkan musuh alami dari suatu
daerah/negara asal ke daerah baru/dalam negeri dalam upaya pengendalian
hama
2. Augmentasi, yaitu penambahan musuh alami melalui pelepasan musuh alami
di lapangan dengan tujuan untuk lebih menigkatkan peranan dalam menekan
populasi hama
3. Inundasi, yaitu penambahan musuh alami dalam jumlah banyak dengan
tujuan dapat menurunkan populasi hama dengan cepat sampai pada tingkat
yang tidak merugikan
4. Konservasi, yaitu semua upaya berjalan untuk melestarikan/memelihara
musuh alami yang sudah ada di lapangan, antara lain melalui teknik bercocok
tanam, pengaturan jarak tanam, dan penyediaan sumberdaya.
Dalam pelaksanaannya, pengendalian metode uji hayati memiliki kelebihan
juga kekurangan. Kelebihan dari pengendalian metode uji hayati, antara lain:
1. Selektifitas tinggi dan tidak menimbulkan hama baru.
2. Organisme yang digunakan sudah ada di lapangan/lahan.
3. Organisme yang digunakan dapat mencari dan menemukan hama.
4. Dapat berkembang biak dan menyebar secara alamiah hama tidak menjadi
resisten atau terjadi sangat lambat.
5. Pengendalian ini dapat berjalan dengan sendirinya.
6. Tidak ada pengaruh/efek samping yang buruk, seperti pada penggunaan
pestisida.
Sedangkan kelemahan dari pengendalian metode uji hayati ini, antara lain:
1. Pengendalian berjalan lambat.
2. Tidak dapat diramalkan, ditentukan dengan paksa.
3. Sulit dan mahal untuk pengembangannya dan penggunaannya.
4. Memerlukan pengawasan pakar.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Toksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari efek merugikan dari
bahan kimia terhadap organisme hidup.
2. Uji toksisitas akut dilakukan untuk mengukur derajat efek suatu senyawa yang
diberikan pada hewan coba tertentu, dan pengamatannya dilakukan pada 24
jam pertama setelah perlakuan. Uji toksisitas subkronis dilakukan untuk
mengevaluasi efek senyawa, apabila diberikan kepada hewan uji secara
berulang-ulang. Sedangkan, Remedisi (Pemulihan) merupakan proses
degradasi biologis pada kondisi terkontrol menjadi suatu bahan yang tidak
berbahaya atau konsentrasinya di bawah batas yang ditentukan oleh lembaga
berwenang.
3. Static Test, adalah metode uji dimana selama uji berlangsung tidak dilakukan
penggantian larutan maupun pemindahan organisme uji. Ranewal Test, adalah
suatu metode uji dimana organismenya didedahkan ke dalam larutan uji dalam
komposisi yang sama secara periodik berulang selama uji berlangsung. Sistem
resirkulasi air merupakan salah satu cara mempertahankan kondisi kualitas air
pada kisaran yang optimal.
4. Flow Through Test, adalah suatu metode uji yang larutan ujinya diganti
(mengalir) secara kontinyu selama masa pengujian berlangsung.
5. Tes di laboratorium daerah mikrokosmos yang baik dalam hal biaya dan
ketepatan ekotoksikologi ketika memilih antara single-spesies dan tes
mikrokosmos luar ruangan sedangkan Mesokosm adalah alat eksperimental
yang membawa sebagian kecil dari lingkungan alam dalam kondisi yang
terkendali. Metode lapangan tidak hanya spesies tunggal yang diamati tetapi
juga ekosistem di lapangan.
6. Variasi metode uji toksisitas meliputi uji toksisitas akut, subkronik, kronik,
berkelanjutan, mutagenisitas, metabolism umum dan uji neurotoksikologi
7. Kelebihan dari pengendalian metode uji hayati adalah selektivitas tinggi dan
tidak menimbulkan hama baru, Organisme yang digunakan sudah ada di
lapangan/lahan. Kelemahannya adalah Memerlukan pengawasan pakar,
pengendalian berjalan lambat dan tidak dapat diramalkan.
B. SARAN
Karakteristik metode uji hayati sangat diperlukan untuk menganalisis
toksisitas yang ada dilingkungan tanpa adanya penggunaan bahan berbahaya dan
beracun saat analisis. Oleh karena itu, lingkungan yang terletak didekat industri
atau sumber pencemar dapat dilakukan uji hayati ini untuk penenganan
lingkungan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Crumbling, D.M., Griffith, J. and Powell, D.M., 2003. Improving decision
quality: Making the case for adopting next‐generation site characterization
practices. Remediation Journal, 13(2): 91-111.
Dominguez, G. 1985. Guidebook Toxics Subtances Control Act vol I. CRC press,
Inc. Boca Raton, florida 334341. P.p. 847.
[EPA] Environmental Protection Agency. 2002. Methods for Measuring the Acute
Toxicity of Effuents and Receiving Waters to Freshwater and Marine
Organism. Washington (US): United States Environmental Protection
Agency. p 41-50.
Hajra S, Mehta A, Panday P. 2012. Immunostimulating activity of methanolic
extract of Swietenia mahagoni seeds.Int J Pharm Pharm Sci.4(1):442-445.
Hendriani, Rini. 2007. Uji Toksisitas Subkronis Kombinasi Ekstrak Etanol Buah
Mengkudu (Morinda citrifolia Linn.) dan Rimpang Jahe Gajah (Zingiber
officianale Rose)pada Tikus Wistar. Universitas Padjajaran.
Husni, H dan Esmiralda M.T. 2010. Uji Toksisitas Akut Limbah Cair Industri
Tahu Terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio Lin). Studi Kasus Limbah Cair
Industri Tahu. Universitas Andalas.
Hutagalung, H. 1992. Metode analisis air laut, sedimen dan biota. Buku 2. Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Osenaologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta. 183 halaman.
Klaasen, S.D. 2001. Casarett and Doull’s Toxicology: The Basic Science of
Poisons, 6th ed. Mc Graw-Hill: United State of America.
National Research Council, 1993. Pesticides in the Diets of Infants and Children.
National Academies Press.
Nugroho, A.2006. Biodegradasi Sludge Minyak Bumi dalam Skala Mikrokosmos.
MAKARA TEKNOLOGI, 10(2):82-89.
Paramveer D, Chanchal M, Paresh M, Rani A, Shrivastava B, Nema RK. 2010.
Effective alternative methods of LD50 help to save number of
experimentalanimals. J. Chem. Pharm. Res., 2(6):450-453.
Prakoso, C.P., Romadhon, A dan Arisandi, A. 2009. Kajian Uji Hayati Air
Limbah Hasil Instalasi Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit Dr. Ramelan
Surabaya. Jurnal Kelautan, 2(1): 27-31.
Robbat, A., Smarason, S. and Gankin, Y., 1998. Dynamic work plans and field
analytics, the keys to cost‐effective hazardous waste site investigations.
Field Analytical Chemistry & Technology, 2(5): 253-265.
Saputri, M.E.2014. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Biji Mahoni (Swietenia mahagoni
Jacq.) yang Diukur Dengan Penentuan LD50 Terhadap Tikus Putih (Rattus
Norvegius). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Wahyuni, F. S., Putri, I.N dan Arisanti, D. 2017. Uji Toksisitas Subkronis Fraksi
Etil Asetat Kulit Buah Asam Kandis (Garcinia cowa Roxb.) terhadap Fungsi
Hati dan Ginjal Mencit Putih Betina. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 3(2):
202-212.
LATIHAN SOAL
PILIHAN GANDA

1. Derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi secara singkat (24 jam) setelah
pemberian dalam sediaan uji merupakan pengertian dari ...
a. Ketoksikan akut
b. Uji hayati akut
c. Nilai LD50
d. Toksisitas kronis
e. Toksisitas subkronis
2. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji toksisitas adalah, kecuali ...
a. Dosis
b. Cara perlakuan
c. Umur
d. Faktor lingkungan
e. Temperatur
3. Uji toksisitas subkronis dilakukan untuk mengetahui efek ... dan efek ...
a. Patologi kasar, morfologi
b. Patologi kasar, histologi
c. Patologi kasar, patologi halus
d. Patologi halus, histologi
e. Patologi halus, morfologi
4. Parameter yang digunakan untuk pengujian subkronik adalah, kecuali ...
a. Hewan uji
b. Dosis uji
c. Batas uji
d. Jenis kelamin hewan uji
e. Lama pemberian zat uji
5. Bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk mengatasi masalah
lingkungan dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme. Berikut
mikroorganisme yang tidak dapat membantu proses bioremediasi adalah ...
a. Fungi
b. Yeast
c. Alga
d. Bakteri
e. Lalat
6. Metode uji dimana selama uji berlangsung tidak dilakukan penggantian
larutan maupun pemindahan organisme uji merupakan pengertian dari ...
a. Metode statis
b. Metode semi statis
c. Metode lapangan
d. Metode pemulihan
e. Metode sirkulasi ulang
7. Berikut merupakan keuntungan dari metode statis, kecuali ...
a. Sederhana
b. Murah
c. Sensitif
d. Sumber yang diperlukan minim
e. Volume sampel yang diperlukan sedikit
8. Sistem yang digunakan pada metode sirkulasi ulang adalah ...
a. Koagulasi
b. Filtrasi
c. Evaporasi
d. Distilasi
e. Sentrifugasi
9. Pada metode sirkulasi air, pembungan air dilakukan dengan metode sipon.
Metode sipon adalah ...
a. Menggunakan selang yang diberi saringan pada ujung yang berada di
dalam akuarium agar ikan tidak tersedot dan terbuang
b. Menggunakan selang yang diberi saringan di tengah yang berada di dalam
akuarium agar ikan tidak tersedot dan terbuang
c. Menggunakan tandon yang diberi saringan pada ujung yang berada di
dalam akuarium agar ikan tidak tersedot dan terbuang
d. Menggunakan pompa yang diberi saringan di tengah yang berada di dalam
akuarium agar ikan tidak tersedot dan terbuang
e. Menggunakan pompa yang diberi saringan pada ujung yang berada di
dalam akuarium agar ikan tidak tersedot dan terbuang
10. Berikut kelebihan penelitian pada air mengalir dibandingkan dari pada air
statis adalah, kecuali ...
a. Memberikan evaluasi toksisitas akut yang lebih mewakili sumber toksikan
terutama jika sampel dipompakan secara kontinu langsung dari sumber.
b. Konsentrasi DO dalam wadah uji lebih terpelihara.
c. Dapat digunakan pada faktor beban (biomasa) yang lebih tinggi.
d. Kemungkinan toksikan menguap dan atau teradsorpsi dapat ditekan.
e. Memerlukan ruangan yang lebih besar.
11. Pendekatan TRIAD melahirkan Komunitas Praktik pada tahun ...
a. 2002
b. 2003
c. 2004
d. 2005
e. 2006
12. Prinsip panduan yang dibersamai oleh praktik pengelolaan paket TRIAD
adalah, kecuali ...
a. Menggunakan proses perencanaan
b. Penggunaan model situs yang mengenalis karakterisasi situs
c. Diskusi manajemen ketidakpastian
d. Penggunaan teknologi sampling
e. Tim proyek yang tidak memiliki diskusi tentang kepentingan dan tujuan
individu
13. 1. Perencanaan proyek yang sistematis
2. Pengambilan sampel yang praktis
3. Strategi kerja yang dinamis
4. Pengambilan sampel yang inovatif
5. Penggunaan model situs yang mengenali karakterisasi situs
Tiga elemen penting dari pendekatan TRIAD adalah ...
a. 1, 2, dan 3
b. 1, 2, dan 4
c. 1, 2, dan 5
d. 1, 3, dan 4
e. 1, 3, dan 5
14. Dalam penelitian, jenis toksisitas yang lebih spesifik yang ditentukan adalah,
kecuali ...
a. Karsinogenik
b. Toksisitas reproduksi
c. Mutagenesis
d. Mutagenisitas
e. Neurotoksisitas
15. Berikut ini yang bukan merupakan prinsip pengendalian hayati, yaitu ...
a. Introduksi
b. Observasi
c. Augmentasi
d. Inundasi
e. Konservasi
ESSAY

1. Toksisitas akut dapat menyebabkan kematian 50% dari hewan percobaan,


dinyatakan dengan LC50. Nilai LD50 sangat berguna untuk menentukan
klasifikasi zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya. Sebutkan kategori
nilai LD50!
2. Sebutkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji toksisitas!
3. Sebutkan tanda-tanda keracunan pada sistem saraf otonom, perasa, saraf otot,
dan mata!
4. Sebutkan kelebihan dan kekurangan dari metode semi statis!
5. Sebut dan jelaskan prinsip-prinsip pengendalian hayati!

Jawaban:

6. Kategori nilai LD50

7. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji toksisitas sebagai berikut:


a. Cara perlakuan
b. Dosis dan jumlah hewan
c. Faktor lingkungan
d. Temperatur
e. Pengamatan dan pemeriksaan
f. Evaluasi data (hubungan “dosis-respon”)
g. Potensi relatif
8. Saraf Otonom: Eksoftalmos (mata memerah), hidung berlendir, liur keluar,
diare, sering buang air kecil, dan membran niktiton terelaksasi
Perasa/Sensori: Sensitif terhadap rasa sakit, righting, kornea labirin (rongga
telinga), refleks setempat dan pada kaki belakang, sensitif terhadap suara dan
sentuhan, nistaghmus, phonaton
Saraf Otot: Aktivitas meningkat atau menurun, fasikulasi, gemetar, kejang-
kejang, otot tidak dapat digerakkan, gangguan prostat, ekor membengkok ke
bawah dan ke depan, kaki belakang lemah, refleks jelek, ophistotonus,
kedutan, kematian
Mata/Okular: Midriasis, miosis, lakrimasi, ptosis, nistagmus, siklopledia,
refleks sinar pupilar
9. Kelebihan metodesemi statis, yaitu:
1. Mengurangi kemungkinan penurunan DO pada larutan uji dengan kandungan
COD dan BOD tinggi.
2. Mengurangi kemungkinan hilangnya toksikan akibat penguapan atau adsorpsi
pada labu percobaan.
3. Organisme uji yang kehilangan energi dengan cepat akan mengkonsumsi pada
saat larutan uji diperbaharui/diganti sehingga tetap terjaga kondisi yang sehat.
Sedangkan kelemahan metode semi statis adalah:
1. Memerlukan volume effluent yang lebih besar.
2. Umumnya kurang sensitif dibandingkan dengan tes aliran air kontinu akibat
terdegradasinya toksikan atau teradsorpsi.
3. Kelemahan lain juga kecilnya kemungkinan untuk dapat mendeteksi variasi
temporal pada buangan.
10. Prinsip-prinsip pengendalian hayati, antara lain:
a. Introduksi, yaitu memindahkan atau mendatangkan musuh alami dari
suatu daerah/negara asal ke daerah baru/dalam negeri dalam upaya
pengendalian hama
b. Augmentasi, yaitu penambahan musuh alami melalui pelepasan musuh
alami di lapangan dengan tujuan untuk lebih menigkatkan peranan dalam
menekan populasi hama
c. Inundasi, yaitu penambahan musuh alami dalam jumlah banyak dengan
tujuan dapat menurunkan populasi hama dengan cepat sampai pada tingkat
yang tidak merugikan
d. Konservasi, yaitu semua upaya berjalan untuk melestarikan/memelihara
musuh alami yang sudah ada di lapangan, antara lain melalui teknik
bercocok tanam, pengaturan jarak tanam, dan penyediaan sumberdaya
MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN
“POTENSI TOKSISITAS BAHAN POLUTAN”

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Toksikologi Lingkungan


Dosen Pembimbing: Dr. Pranoto, M.Sc.

Disusun oleh Kelompok 3:

1. Betty Nurhayati (M0314014)


2. Era Putri Anandita (M0314028)
3. Eric Bestono (M0314029)
4. Faisal Atif Fawazeni (M0314031)
5. Ilham Tri Utomo (M0314043)
6. Tika Diah Utami (M0314073)

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTASMATEMATIKADAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan lancar. Tujuan yang hendak kami capai dalam pembuatan
makalah ini yaitu menjelaskan terkait Potensi Toksisitas Bahan Polutan.
Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapat bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada:
7. Bapak Dr. Pranoto, M.Sc. selaku dosen MKP Toksikologi Lingkungan.
8. Orang tua yang telah memberi dukungan
9. Teman – teman yang telah memberikan saran dan bantuan dalam
pembuatan makalah ini.
Kami harap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis sendiri.
Adapun saran dan kritik yang membangun dari pembaca sekalian sangat dinanti
demi pembuatan makalah yang lebih baik kedepannya.

Surakarta, 6 Desember 2017

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i


KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
D. Latar Belakang ...................................................................................................... 2
E. Rumusan Masalah ................................................................................................. 2
F. Tujuan ................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3
E. Faktor Fisika dan Kimia Bahan Kimia.................................................................. 3
F. Periode Pendedahan .............................................................................................. 6
G. Faktor Lingkungan .............................................................................................. 10
H. Interaksi Antar Bahan Kimia .............................................................................. 12
I. Nutrisi.................................................................................................................. 15
J. Faktor Biologi ..................................................................................................... 16
BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 18
C. Kesimpulan ......................................................................................................... 18
D. Saran .................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 20
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, manusia dengan segala
kehebatannya semakin berinovasi untuk memudahkan kehidupannya. Saat
ini, berbagai macam bangunan telah didirikan untuk difungsikan sebagai
perumahan, pusat perbelanjaan, rekreasi, pusat industri, dan lain
sebagainya. Semua perkembangan ini tentu saja membawa dampak positif
bagi kelangsungan hidup manusia. Namun disisi lain, kemajuan zaman
dan modernisasi bidang industri juga membawa dampak buruk terutama
bagi lingkungan dan manusia itu sendiri.
Bahan-bahan yang digunakan dalam proses industri seringkali
meracuni lingkungan, terlebih apabila tidak diimbangi dengan cara
penanganan yang benar. Beberapa contoh aktivitas manusia yang
berdampak buruk terhadap lingkungan, antara lain asap pabrik dan
kendaraan bermotor, penggunaan insektisida yang berlebihan,
pembuangan air detergen yang tidak ramah lingkungan secara langsung ke
tanah, penggunaan alat- alat listrik yang berlebihan, dan penggunaan
bahan-bahan pembersih yang berbahaya. Dampak polutan terhadap
lingkungan, antara lain terganggunya keseimbangan lingkungan, punahnya
berbagai spesies flora dan fauna, berkurangnya kesuburan tanah,
meledaknya pertumbuhan hama, menyebabkan terjadinya lubang ozon,
dan terjadinya pemekatan hayati. Sedangkan bagi manusia, kehadiran
bahan-bahan polutan dapat bersifat racun bagi tubuh yang dapat
menimbulkan berbagai macam penyakit berbahaya.
Efek merugikan/toksik pada sistem biologis dapat disebabkan oleh
bahan kimia yang mengalami biotransformasi dan dosis serta suasananya
cocok untuk menimbulkan keadaan toksik. Respon terhadap bahan toksik
tersebut antara lain tergantung kepada sifat fisik dan kimia, situasi
paparan, kerentanan sistem biologis, sehingga bila ingin mengklasifikasi
toksisitas suatu bahan harus mengetahui macam efek yang timbul dan
dosis yang dibutuhkan serta keterangan mengenai paparan dan sasarannya.
Faktor utama yang berkaitan dengan toksisitas dan situasi paparan adalah
cara atau jalan masuknya serta durasi dan frekuensi paparan.
Oleh karena itu, perlu dikaji mengenai sifat toksisitas bahan polutan
dalam lingkungan. Dalam makalah ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai
faktor fisika dan kimia bahan kimia, periode pendadahan, faktor
lingkungan, interaksi antar bahan kimia, faktor biologi, dan nutrisi dalam
kaitannya dengan potensi toksisitas bahan polutan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor fisika dan kimia bahan kimia yang mempengaruhi sifat
toksisitas bahan polutan?
2. Apa yang dimaksud dengan periode pendadahan?
3. Apa saja faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap toksisitas
bahan polutan?
4. Bagaimana interaksi antar bahan kimia dalam mempengaruhi
toksisitas?
5. Apa sajakah faktor biologi dalam toksisitas bahan polutan?
6. Bagaimana pengaruh nutrisi dengan toksisitas bahan polutan?

C. Tujuan
1. Mengetahui faktor fisika dan kimia bahan kimia yang mempengaruhi
sifat toksisitas bahan polutan
2. Mengetahui tentang periode pendadahan
3. Mengetahui faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap toksisitas
bahan polutan
4. Mengetahui interaksi antar bahan kimia dalam mempengaruhi
toksisitas
5. Mengetahui faktor biologi dalam toksisitas bahan polutan
6. Mengetahui pengaruh nutrisi terhadap toksisitas bahan polutan
BAB II
PEMBAHASAN

Bahan Polutan adalah zat atau bahan yang dapat mengakibatkan


pencemaran. Syarat-syarat zat diakatakan polutan bila keberadaannya dapat
mengakibatkan kerugian terhadap makhluk hidup contohnya, karbon dioksida
dengan kadar 0,033% di udara berfaedah bagi tumbuhan, tetapi bila lebih
tinggi dari 0,033% dapat memberikan efek merusak. Suatu zat dapat disebut
polutan apabila jumlahnya melebihi jumlah normal, berada pada waktu yang
tidak tepat, dan berada pada tempat yang tidak tepat. Sifat dari polutan adalah
merusak untuk sementara, tetapi bila telah bereaksi dengan zat lingkungan
tidak merusak lagi, serta merusak dalam jangka waktu lama. Contohnya Pb
tidak merusak bila konsentrasinya rendah. Akan tetapi dalam jangka waktu
yang lama, Pb dapat terakumulasi dalam tubuh sampai tingkat yang merusak.
Pada dasarnya, faktor yang dapat mempengaruhi ketoksikan racun
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor yang berasal dari racun (faktor
intrinsik racun) dan yang berasal dari makhluk hidup (faktor intrinsik
makhluk hidup). Racun merupakan bahan atau zat kimia yang berbahaya
tubuh. Karena itu, ketoksikannya tidak lepas dari sifat fisika atau kimia
bawaan dari racun tersebut. Dengan kata lain, faktor kimia merupakan salah
satu penentu ketoksikan racun. Efek toksik racun diawali oleh masuknya
racun tertentu ke dalam tubuh. Makanan yang masuk ke dalam tubuh, dapat
berupa bahan mentah, bahan olahan segar, atau produk makanan jadi olahan
pabrik. Pengolahan bahan pangan dan proses pabrikasi, juga merupakan
faktor yang dapat mempengaruhi ketoksikan racun.

A. Faktor fisika dan kimia bahan kimia


1. Faktor kimia
Tubuh manusia memiliki beraneka ragam membran biologis
yang merupakan penghalang bagi translokasi racun dengan sifat fisika-
kimia yang khas. Namun, nyatanya senyawa non polar (misalnya
etanol) mampu melintasi semua membran biologis dengan cepat.
Ketidak-polaran suatu senyawa, salah satunya ditentukan oleh tingkat
ionisasinya dalam larutan. Oleh karena itu, tingkat ionisasi racun
dalam larutan merupakan salah satu penentu kemampuannya melintasi
membran dan translokasinya di dalam tubuh. Selain itu, komponen
lemak dalam membran juga bertanggung jawab
terhadap permeabililitas membran suatu zat kimia, maka kelarutan
racun di dalam lipid juga termasuk penentu kemampuan toksikan
melintasi membran biologis.
Pada umumnya, senyawa tidak terionkan lebih mudah larut di
dalam lemak, sehingga akan lebih mudah ditranslokasikan daripada
senyawa yang terionkan. Sedangkan aksi biologis suatu zat kimia
berkaitan erat dengan struktur kimianya dan komponen-komponen
kimia yang ada pada tempat aksi. Kesesuaian struktur ini, menjadi
salah satu penentu keefektifan antaraksi, antar racun, dan tempat aksi
maupun tempat metabolitsmenya. Sehingga, faktor kimia yang
mempengaruhi ketoksikan racun dapat digolongkan menjadi dua,
antara lain:
 Sifat kimia atau fisika-kimia yang secara individual maupun
kolektif menentukan kemampuan racun melintasi membran
biologis.
 Kekhasan struktur kimia racun, yang memungkinkan terjadinya
reaksi pada tempat aksi tertentu, atau yang menjadikan rentan
terhadap metabolisme.

a. Sifat Fisika Kimia.


Sifat fisika-kimia racun akan menentukan keefektifan
translokasinya, karena akan menentukan ionisasi dan kelarutan
dalam lemak. Sebagian besar racun berupa asam atau basa organik
lemah, karena itu hanya bentuk tak-terionkan saja yang mudah
larut di dalam lemak. Tingkat ionisasi ditentukan oleh harga pKa
racun dan pH medium dimana racun tersebut larut. Contoh pada
ionisasi benzene dan anilin di lambung dan usus. Di dalam
lambung, perbandingan antara bentuk tak-terionkan dan terionkan
dari asam benzoat adalah 100:1. Dengan demikian, asam benzoat
dapat segera melintas membran dan masuk ke dalam plasma.
Ionisasai benzoat dalam plasma ini akan mempersulit
terjadinya keadaaan seimbang, sehingga mempermudah absorpsi
bentuk asam benzoat yang tak terionkan dari lambung. Hal yang
sebaliknya dijumpai pada usus. Oleh karena itu, asam benzoat lebih
mudah diabsorpsi oleh lambung daripada usus, sehingga proses
distribusi dan eliminasi asam benzoat ditentukan oleh tingkat
ionisasinya. Contoh diatas menunjukkan bahwa bentuk senyawa
yang tak terionkan terutama elektrolit organik, lebih mudah larut
dalam lipid, sehingga akan lebih mudah ditranslokasikan di dalam
tubuh, mengingat permeabilitas membran biologis ditentukan oleh
komponen lemak. Dengan cara demikian, ketersediaan racun di
tempat aksinya, juga ditentukan oleh sifat fisika-kimia yang
dimiliki oleh suatu zat racun serta ketoksikannya.

b. Struktur Kimia
Kekhasan struktur kimia yang dimiliki oleh racun akan
menentukan aksi atau antaraksi racun dengan tempat aksi tertentu
di dalam tubuh, atau kerentanannya terhadap perubahan
metabolisme. Menurut Loomis (1978), aksi zat kimia dibedakan
menjadi dua yaitu: aksi kimia tak khas dan aksi kimia khas.
Demikian pula aksi kimia racun. Racun mungkin secara potensial
mampu menimbulkan efek berbahaya pada semua jaringan.
Misalnya asam atau basa dengan kadar tinggi, dapat menimbulkan
kerusakan semua sel dengan cara presipitasi protein yang berakibat
dengan denaturasi protein dan gangguan keutuhan membran sel.
Aksi inilah yang disebut aksi tak khas racun. Aksi zat kimia atau
racun yang tak khas ini dapat ditimbulkan oleh larutan pekat aneka
ragam racun yang bersifat tajam dan perusak.
Kerusakan yang ditimbulkan berkisar dari perusakan
sebagian sampai menyeluruh pada komponen penyusun sel.
Sehingga dalam hal ini, tidak diperlukan struktur kimia yang khas
dari racun atau pun tempat aksinya. Dengan demikian, ketoksikan
racun berhubungan langsung dengan kadar racun yang bersentuhan
dengan sel biologis tertentu. Berbeda dengan aksi asam atau basa
kuat diatas, sebagian besar racun beraksi secara khas pada tempat
aksi tertentu di dalam tubuh, dalam kadar yang jauh dibawah
kadar yang diperlukan untuk menimbulkan aksi yang tak khas.
Dalam hal ini struktur kimia racun berperan penting. Di dalam
tubuh, agar racun dapat berantaraksi dengan tempat aksi (reseptor,
makromolekul, biopolymer) atau tempat aktif enzim, racun tersebut
harus memiliki afinitas terhadap tempat aksi khas, sedangkan agar
dapat menimbulkan efek toksik tertentu, maka racun harus
memiliki aktivitas intrinsik, yaitu kemampuan yang menyebabkan
perubahan di dalam molekul reseptor.
Kedua syarat ini harus dipenuhi. Artinya, racun yang hanya
memiliki afinitas terhadap tempat aksi tertentu tetapi tidak
memiliki aktivitas intrinsik, maka tidak akan menimbulkan efek
toksik yang khas. Racun hanya mampu melekat dan berikatan
dengan tempat aksi, tetapi tidak mampu mengadakan perubahan
pada molekul tempat aksinya, sehingga tidak menimbulkan efek
toksik. Dengan kata lain, afinitas diperlukan untuk berikatan
dengan tempat aksi, sedangkan aktivitas intrinsik diperlukan untuk
mengadakan perubahan dalam molekul tempat aksi menuju ke
perubahan biokimia, fungsional, dan struktural. Jadi, kesesuaian
struktur kimia racun dengan tempat aksinya merupakan faktor
penentu ketoksikan.

2. Faktor Intrinsik Makhluk Hidup


Pada dasarnya, faktor intrinsik makhluk hidup adalah kondisi
makhluk hidup yang meliputi berbagai keadaan fisiologis serta
patologis yang dapat mempengaruhi ketoksikan suatu racun, melalui
pengaruhnya atas keefektifan translokasi racun di dalam tubuh, atau
kerentanan tempat aksi terhadap aksi racun. Oleh karena itu, kondisi
makhluk hidup dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu kondisi
normal (fisiologis) dan tidak normal (patologis).
 Keadaan fisiologis meliputi: berat badan, umur suhu tubuh,
kecepatan pengosongan lambung, kecepatan alir darah, status
gizi, kehamilan, genetika, jenis kelamin, irama sirkadian, irama
diurnal
 Keadaan patologi meliputi: penyakit saluran cerna, penyakit
kardiovaskular, penyakit hati, dan penyakit ginjal

B. PERIODE PENDEDAHAN

Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses
fisika, biokimia, dan biologik yang sangat rumit dan komplek. Dalam menelaah
interaksi xenobiotika/tokson dengan organisme hidup terdapat dua aspek yang
perlu diperhatikan, yaitu: kerja xenobiotika pada organisme dan pengaruh
organisme terhadap xenobiotika. Yang dimaksud dengan kerja tokson pada
organisme adalah sebagai suatu senyawa kimia yang aktif secara biologik pada
organisme tersebut (aspek toksodinamik). Sedangkan reaksi organisme terhadap
xenobiotika/tokson umumnya dikenal dengan periode toksokinetik. Terdapat tiga
periode dalam proses toksik senyawa racun di dalam lingkungan, yakni (1)
periode eksposur/pendedahan (exposure phase), (2) periode kinetik (kinetic
phase), (3) periode dinamik (dynamic phase).

Periode pendedahan merupakan kontak suatu organisme dengan


xenobiotika, pada umumnya, kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek toksik/
farmakologi setelah xenobiotika terabsorpsi. Umumnya hanya tokson yang berada
dalam bentuk terlarut, terdispersi molekular dapat terabsorpsi menuju sistem
sistemik. Dalam konstek pembahasan efek obat, periode ini umumnya dikenal
dengan periode farmaseutika. Periode farmaseutika meliputi hancurnya bentuk
sediaan obat, kemudian zat aktif melarut, terdispersi molekular di tempat
kontaknya. Sehingga zat aktif berada dalam keadaan siap terabsorpsi menuju
sistem sistemik. Periode ini sangat ditentukan oleh faktor-faktor farmseutika dari
sediaan farmasi.
Dalam periode ini terjadi kotak antara xenobiotika dengan organisme atau
dengan lain kata, terjadi paparan xenobiotika pada organisme. Paparan ini dapat
terjadi melalui kulit, oral, saluran pernafasan (inhalasi) atau penyampaian
xenobiotika langsung ke dalam tubuh organisme (injeksi).
Jika suatu objek biologik terpapar oleh sesuatu xenobiotika, maka, kecuali
senyawa radioaktif, efek biologik atau toksik akan muncul, jika xenobiotika
tersebut telah terabsorpsi menuju sistem sistemik. Umumnya hanya xenobiotika
yang terlarut, terdistribusi molekular, yang dapat diabsorpsi. Dalam hal ini akan
terjadi pelepasan xenobiotika dari bentuk farmaseutikanya. Misalnya paparan
xenobiotika melalui oral (misal sediaan dalam bentuk padat: tablet, kapsul, atau
serbuk), maka terlebih dahulu kapsul/tablet akan terdistegrasi (hancur), sehingga
xenobiotika akan telarut di dalam cairan saluran pencernaan. Xenobiotika yang
terlarut akan siap terabsorpsi secara normal dalam duodenal dari usus halus dan
ditranspor melalui pembuluh kapiler mesenterika menuju vena porta hepatika
menuju hati sebelum ke sirkulasi sistemik.
Penyerapan xenobiotika sangat tergantung pada konsentrasi dan lamanya
kontak antara xenobiotika dengan permukaan organisme yang berkemampuan
untuk mengaborpsi xenobiotika tersebut. Dalam hal ini laju absorpsi dan jumlah
xenobitika yang terabsorpsi akan menentukan potensi efek biologik/toksik. Pada
pemakaian obat, periode ini dikenal dengan periode farmaseutika, yaitu semua
proses yang berkaitan dengan pelepasan senyawa obat dari bentuk farmasetikanya
(tablet, kapsul, salep, dll). Bagian dosis dari senyawa obat, yang tersedia untuk
diabsorpsi dikenal dengan ketersediaan farmaseutika. Pada kenyataannya sering
dijumpai, bahwa sediaan tablet dengan kandungan zat aktif yang sama dan dibuat
oleh fabrik farmasi yang berbeda, dapat memberikan potensi efek farmakologik
yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan
farmaseutikanya. Perbedaan ketersediaan farmaseutika suatu sediaan ditentukan
oleh sifat fisiko-kimia, umpamanya ukuran dan bentuk kristal, demikian pula jenis
zat pembantu (tambahan pada tablet) dan metode fabrikasi. Disamping bentuk
farmaseutika yang berpengaruh jelas terhadap absorpsi dan demikian pula tingkat
toksisitas, sifat fisiko-kimia dari xenobiotika (seperti bentuk dan ukuran kristal,
kelarutan dalam air atau lemak, konstanta disosiasi) tidak boleh diabaikan dalam
hal ini. Laju absorpsi suatu xenobiotika ditentukan juga oleh sifat membran
biologi dan aliran kapiler darah tempat kontak. Suatu xenobiotika, agar dapat
diserap/diabsorpsi di tempat kontak, maka harus melewati membran sel di tempat
kontak. Suatu membran sel biasanya terdiri atas lapisan biomolekular yang
dibentuk oleh molekul lipid dengan molekul protein yang tersebar diseluruh
membran.
Jalur utama bagi penyerapan xenobiotika adalah saluran cerna, paru-paru,
dan kulit. Namun pada keracunan aksidential, atau penelitian toksikologi, paparan
xenobiotika dapat terjadi melalui jalur injeksi, seperti injeksi intravena,
intramuskular, subkutan, intraperitoneal, dan jalur injeksi lainnya.

1. Pendedahan melalui kulit


Pendedahan (pemejanan) yang palung mudah dan paling lazim
terhadap manusia atau hewan dengan segala xenobiotika, seperti misalnya
kosmetik, produk rumah tangga, obat topikal, cemaran lingkungan, atau
cemaran industri di tempat kerja, ialah pemejanan sengaja atau tidak
sengaja pada kulit. Kulit terdiri atas epidermis (bagian paling luar) dan
dermis, yang terletak di atas jaringan subkutan. Tebal lapisan epidermis
adalah relatif tipis, yaitu rata-rata sekitar 0,1-0,2 mm, sedangkan dermis
sekitar 2 mm. Dua lapisan ini dipisahkan oleh suatu membran basal.
Lapisan epidermis terdiri atas lapisan sel basal (stratum
germinativum), yang memberikan sel baru bagi lapisan yang lebih luar. Sel
baru ini menjadi sel duri (stratum spinosum) dan, natinya menjadi sel
granuler (stratum granulosum). Selain itu sel ini juga menghasilkan
keratohidrin yang nantinya menjadi keratin dalam stratum corneum terluar,
yakni lapisan tanduk. Epidermis juga mengandung melanosit yang
mengasilkan pigmen dan juga sel langerhans yang bertindak sebagai
makrofag dan limfosit. Dua sel ini belakangan diketahui yang terlibat
dalam berbagai respon imun.
Dermis terutama terdiri atas kolagen dan elastin yang merupakan
struktur penting untuk mengokong kulit. Dalam lapisan ini ada beberapa
jenis sel, yang paling banyak adalah fibroblast, yang terlibat dalam
biosintesis protein berserat, dan zat-zat dasar, misalnya asam hialuronat,
kondroitin sulfat, dan mukopolisakarida. Disamping sel-sel tersebut,
terdapat juga sel lainnya antara lain sel lemak, makrofag, histosit, dan
mastosit. Di bawah dermis terdapat jaringan subkutan. Selain itu, ada
beberapa struktur lain misalnya folikel rambut, kelenjar keringan, kelenjar
sebasea, kapiler pembuluh darah dan unsur syaraf. Pejanan kulit terhadap
tokson sering mengakibatkan berbagai lesi (luka), namun tidak jarang
tokson dapat juga terabsorpsi dari permukaan kulit menuju sistem
sistemik.
2. Pendedahan melalui jalur inhalasi
Pemejanan xenobiotika yang berada di udara dapat terjadi melalui
penghirupan xenobiotika tersebut. Tokson yang terdapat di udara berada
dalam bentuk gas, uap, butiran cair, dan partikel padat dengan ukuran yang
berbeda-beda. Disamping itu perlu diingat, bahwa saluran pernafasan
merupakan sistem yang komplek, yang secara alami dapat menseleksi
partikel berdasarkan ukurannya. Oleh sebab itu ambilan dan efek toksik
dari tokson yang dihirup tidak saja tergantung pada sifat toksisitasnya
tetapi juga pada sifat fisiknya.
Saluran pernafasan terdiri atas nasofaring, saluran trakea dan bronkus,
serta acini paru-paru, yang terdiri atas bronkiol pernafasan, saluran
alveolar, dan alveoli. Nasofaring berfungsi membuang partikel besar dari
udara yang dihirup, menambahkan uap air, dan mengatur suhu. Umumnya
partikel besar ( > 10 µm) tidak memasuki saluran napas, kalau masuk akan
diendapkan di hidung dan dienyahkan dengan diusap, dihembuskan dan
berbangkis. Saluran trakea dan bronkus berfungsi sebagai saluran udara
yang menuju alveoli. Trakea dan bronki dibatasi oleh epiel bersilia dan
dilapisi oleh lapisan tipis lendir yang disekresi dari sel tertentu dalam
lapisan epitel. Dengan silia dan lendirnya, lapisan ini dapat mendorong
naik partikel yang mengendap pada permukaan menuju mulut. Partikel
yang mengandung lendir tersebut kemudian dibuang dari saluran
pernafasan dengan diludahkan atau ditelan. Namun, butiran cairan dan
partikel padat yang kecil juga dapat diserap lewat difusi dan fagositosis.
Fagosit yang berisi partikel-partikel akan diserap ke dalam sistem limfatik.
Beberapa partikel bebas dapat juga masuk ke saluran limfatik. Partikel-
partikel yang dapat terlarut mungkin diserap lewat epitel ke dalam darah.
Alveoli merupakan tempat utama terjadinya absorpsi xenobiotika
yang berbentuk gas, seperti carbon monoksida, oksida nitrogen, belerang
dioksida atau uap cairan, seperti bensen dan karbontetraklorida.
Kemudahan absorpsi ini berkaitan dengan luasnya permukaan alveoli,
cepatnya aliran darah, dan dekatnya darah dengan udara alveoli. Laju
absorpsi bergantung pada daya larut gas dalam darah. Semakin mudah
larut akan semakin cepat diabsorpsi.

3. Pendedahan melalui saluran pencernaan


Pemejanan tokson melalui saluran cerna dapat terjadi bersama
makanan, minuman, atau secara sendiri baik sebagai obat maupun zat
kimia murni. Pada jalur ini mungkin tokson terserap dari rongga mulut
(sub lingual), dari lambung sampai usus halus, atau pendedahan tokson
dengan sengaja melalui jalur rektal. Kecuali zat yang bersifat basa atau
asam kuat , atau zat yang dapat merangsang mukosa, pada umumnya tidak
akan memberikan efek toksik kalau tidak diserap.
Cairan getah lambung bersifat sangat asam, sehingga senyawa asam-
asam lemah akan berada dalam bentuk non-ion yang lebih mudah larut
dalam lipid dan mudah terdifusi, sehingga senyawa-senyawa tersebut akan
mudah terserap di dalam lambung. Berbeda dengan senyawa basa lemah,
pada cairan getah lambung akan terionkan oleh sebab itu akan lebih mudah
larut dalam cairan lambung. Senyawa basa lemah, karena cairan usus yang
bersifat basa, akan berada dalam bentuk non-ioniknya, sehingga senyawa
basa lemah akan lebih mudah terserap melalui usus ketimbang lambung.
Pada umumnya tokson melintasi membran saluran pencernaan menuju
sistem sistemik dengan difusi pasif, yaitu transpor dengan perbedaan
konsentrasi sebagai daya dorongnya. Namun disamping difusi pasif, juga
dalam usus, terdapat juga transpor aktif, seperti tranpor yang tervasilitasi
dengan zat pembawa (carrier), atau pinositosis.

C. FAKTOR LINGKUNGAN

1. Faktor-faktor yang terkait dengan pemaparan


Bagi suatu bahan kimia berikut metabolit atau produk konversinya,
untuk dapat menimbulkan respon buruk atau memiliki dampak toksik pada
organisme perairan maka senyawa/bahan kimia tersebut harus berada
dalam posisi kontak dan bereaksi dengan reseptor yang tepat pada
organisme, dengan konsentrasi yang cukup tinggi dan durasi kontak yang
cukup lama. Konsentrasi dan waktu pemaparan yang dibutuhkan untuk
dapat menimbulkan dampak atau respon buruk bervariasi menurut jenis
bahan kimia, spesies organisme dan tingkat keparahan dampak yang
ditimbulkan. Dalam pendugaan dampak toksik bahan kimia, faktor-faktor
yang nyata terkait dengan pemaparan adalah: jenis, durasi, frekuensi
pemaparan dan konsentrasi bahan kimia. Organisme perairan dapat
terpapar pada bahan kimia yang terdapat dalam air, sedimen dan
bahanbahan makanan. Bahan kimia hidrofilik (larut dalam air) lebih tinggi
tingkat ketersediaannya dibanding dengan bahan kimia hidrofobik (sulit
larut dalam air). Bahan kimia hidrofobik umumnya teradsorpsi erat atau
terikat erat dalam partikel terlarut, bahan-bahan organik atau sistem-sistem
biologis. Bahan-bahan kimia hidrofilik dapat memasuki tubuh organisme
melalui permukaan tubuh, insang atau mulut. Oleh karenanya, jalur
pepamaparan dapat mempengaruhi faktor-faktor kinetik seperti absorpsi,
distribusi, biotransformasi dan ekskresi yang pada akhirnya menentukan
tingkat toksisitas suatu bahan kimia.
2. Faktor-faktor yang terkait dengan organisme
Spesies memiliki tingkat kerentanan yang berbeda terhadap bahan
kimia. Perbedaan kerentanan ini diduga disebabkan oleh beberapa hal
seperti: perbedaan aksesibilitas toksikan terhadap organisme dimana
beberapa spesies tertentu memiliki kemampuan untuk secara efektif
mengeluarkan bahan toksik dalam waktu singkat (contoh: mekanisme
penutupan cangkang dan kemampuan melakukan metabolisme anaerob
pada kerang/bivalvia). Selain itu, laju dan pola metabolisme dan ekskresi
dapat mempengaruhi tingkat kerentanan tersebut. Hal lain yang
mempengaruhi tingkat kerentanan organisme terhadap toksikan adalah
faktor genetis, bahan makanan, serta status kesehatan dan nutrisi/gizi
organisme. Faktor usia atau stadia perkembangan organisme juga
menentukan tingkat kerentanan (vulnerability), yang disebabkan oleh
perkembangan mekanisme detoksifikasi lebih berkembang pada individu
dewasa.
3. Faktor-faktor eksternal
Toksisitas bahan kimia dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal
organisme yang terkait erat dengan ketersediaan bahan kimia dalam media
air seperti DO, pH, pE, suhu dan bahan padat terlarut.
4. Faktor-faktor yang terkait dengan bahan kimia
Faktor ini terutama yang berhubungan dengan komposisi bahan kimia.
Ketidak-murnian (impurities) suatu bahan kimia dijumpai dari batch-batch
yang dihasilkan oleh produsen yang berbeda. Hal lain yang patut dicatat
adalah perbedaan tingkat kelarutan, tekanan penguapan dan pH. Karena
faktor-faktor ini secara jelas mempengaruhi ketersediaan, persistensi,
transfromasi dan bentuk/nasib akhir bahan kimia di lingkungan perairan.

D. Interaksi Antar Bahan Kimia


Interaksi bahan kimia terjadi melalui mekanisme :
1. Perubahan dalam absorbsi
2. Absorbsi toksikan dalam tubuh manusia
Tempat penyerapan utama bagi toksikan adalah saluran
pencernaan, paru dan kulit. Dalam studi toksikologi sering juga diberikan
melalui jalur khusus yaitu melalui injeksi intraperitoneal, intramuskuler
dan sub kutan
3. Absorbsi toksikan pada saluran pencernaan
Saluran pencernaan merupakan jalur penting dalam absorbsi
toksikan. Beberapa toksikan di lingkungan masuk melalui rantai makanan,
kecuali zat yang kaustik atau nsangat iritan pada saluran pencernaan.
Sebagian besar dari toksikan tidak menimbulkan efek toksik kecuali kalau
mereka diserap. Absorbsi dapat terjadi di seluruh saluran pencernaan,
mulut dan rectum umumnya tidak begitu penting bagi absorbsi toksikan di
lingkungan. Lambung merupakan tempat penyerapan yang baik untuk
asam lemah dengan bentuk non ion yang larut dalam lemak, sebaliknya
basa lemah yang sangat mengion dan tidak larut dalam lemak tidak akan
mudah diserap di lambung, umumnya akan diserap di usus. Akibatnya
basa organik akan lebih banyak diserap di usus daripada di lambung.
4. Absorbsi toksikan pada paru
Toksikan yang di absorbsi oleh paru biasanya berupa gas seperti :
carbon monoksida, nitrogen dioksida, dan sulfur dioksida serta aerosol.
Tempat penimbunan aerosol ditentukan ukuran partikelnya. Partikel
ukuran 5 mm atau lebih besar biasanya ditimbun pada daerah
nasopharyngeal. Partikel di daerah ini dapat dihilangkan saat pembersihan
hidung atau saat bersin. Partikel yang larut akan dilarutkan dalam mucus
dan dibawa ke pharynx taau diserap epitel masuk ke darah. Partikel
dengan ukuran 2 s/d 5 mm ditimbun pada darah tracheabroncheoli paru,
tempat ia akan dibersihkan oleh pergerakan cilia saluran pernafasan. Laju
pergerakan cilia pada mucus bervariasi menurut bagian saluran pernafasan
dan merupakan mekanisme penghilangan yang cepat dan efisien.
5. Absorbsi toksikan pada kulit
Umumnya kulit relatif impermeabel, karenanya merupakan
pelindung yang baik untuk mempertahankan fungsi kulit manusia dari
lingkungannya. Meskipun demikian beberapa zat kimia dapat diserap
lewat kulit dalam jumlah yang cukup banyak sehingga menimbulkan efek
sistemik. Contoh : insektisida dapat menyebabkan kematian pada petani
setelah diabsorbsi melalui kulit.
6. Pengikatan protein
7. Protein plasma
Protein plasma dapat mengikat senyawa asing dan beberapa
komponen fisiologik normal dalam tubuh. Peningkatan bahan kimia pada
protein plasma mempunyai arti penting dalam toksikologi karena beberapa
reaksi racun dapat dihasilkan jika agen dipindahkan dari protein plasma.
8. Biotransformasi atau ekskresi dari zat toksik
Fase biotransformasi
Reaksi enzym dalam biotransformasi ada 2 tipe yaitu reaksi phase I dan
phase II
a. Phase I : Yang termasuk reaksi ini adalah oksidasi, reduksi dan hidrolisis.
Umumnya reaksi phase I mengubah bahan yang masuk ke dalam sel
menjadi lebih bersifat hidrophilik (mudah larut dalam air dari pada bahan
asalnya)
b. Phase II : Terdiri dari reaksi sintesi dan konjugasi. Reaksi phase II ini
merupakan proses biosintesis yang mengubah bahan asing atau metabolit
dari phase I membuat ikatan kovalen dengan molekul endogen menjadi
konjugat.
Reaksi enzymatik phase I
a. Karakteristik enzym mikrosomal phase I. Phase I merupakan jalur
biotransformasi yang predominan
b. Cytokrom P-450. Sistem enzym yang paling penting pada phase I adalah
cytokrom P-450 yang mengandung monooksigenase
Reaksi enzymatik phase II
Reaksi biotransformasi pada phase II ini merupakan reaksi biosintesis
sehingga membutuhkan energi, hal ini dilakukan dengan aktivasi kofaktor.
a. Glukoronosyltransferase
Glukorodinasi merupakan salah satu dari proses konjugasi pada phase II,
yang mengubah bahan eksogen dan endogen menjadi bahan yang lebih
larut dalam air dan metabolitnya diekskresi lewat urine atau empedu
b. Sulfotransferase
Reaksi konjugasi yang penting untuk kelompok hydroksil adalah sulfasion
dikatalisis oleh sulfotransferase, enzym ini ditemukan di liver, ginjal, usus,
paru dan fungsi primernya mentransfer sulfat anorganik pada grup
hydroksil pada phenol dan aliphatic alkhohol.
c. Methylasi
Reaksi konjugasinya menurunkan kelarutan bahan kimia terhadap air dan
atau memperbaiki kemampuan untuk berperan dalam reaksi konjugasi
yang lain.
d. Konjugasi asam amino
Reaksi yang penting untuk xenobiotik yang mengandung asam karboxyl
adalah konjugasi dengan asam amino membentuk ikatan amide (peptide)
antara kelompok asam karboxylik dari xenobiotik dan kelompok asam
amino.
Beberapa terminology telah digunakan untuk menjelaskan interaksi
farmakologi dan toksikologi tersebut.

1. Efek aditif
Efek aditif adalah suatu situasi dimana efek gabungan dari dua
bahan kimia sama dengan jumlah dari efek masing-masing bahan bila
diberikan sendiri-sendiri (misalnya : 2+3=5). Sebagai contoh: bila dua
insektisida organofosfat diberikan secara beramaan, hambatan terhadap
cholinesterase biasanya aditif. Efek sinergistik adalah situasi dimana efek
gabungan dari dua bahan kimia jauh melampaui penjumlahan dari tiap-tiap
bahan kimia bila diberikan secara sendiri-sendiri (misalnya: 2+3=20).
Sebagai contoh, CCl4 (karbon tetraklorida) dan C2H5OH (etanol) yang
keduanya adalah senyawa hepatotoksik bila secara bersamaan diberikan
akan menghasilkan kerusakan hati yang jauh lebih hebat daripada jumlah
masing-masing efek secara individual.

2. Potensiasi
Potensiasi adalah keadaan dimana suatu senyawa kimia tidak
mempunyai efek toksik terhadap sistem atau organ tertentu, tapi bila
ditambahkan ke bahan kimia lain akan membuat bahan tersebut menjadi
jauh lebih toksik (misalnya: 0+2=10). Sebagai contoh, isopropanol tidak
bersifat hepatotoksik, tetapi bila zat tersebut diberikan disamping
pemberian karbon tetraklorida, efek hepatotoksik dari karbon tetraklorida
akan menjadi jauh lebih besar dibandingkan bila hanya diberikan secara
sendiri.

3. Antagonistis
Antagonistis adalah situasi dimana dua bahan kimia bila diberikan
secara bersamaan efeknya saling mempengaruhi dalam arti saling
meniadakan efek toksik (misalnya: 4+6=8 atau 4+0=1). Efek antagonis
dari bahan-bahan kimia sering kali merupakan efek yang dikehendaki
dalam toksikologi dan merupakan dasar dari berbagai antidote.

E. Nutrisi
Nurisi disebut juga zat Gizi. Nutrisi adalah zat dalam makanan yang
dibutuhkan organisme untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai
dengan fungsinya. Nutrisi diperoleh dari hasil pemecahan makanan oleh sistem
pencernaan dan seringkali disebut dengan istilah sari-sari makanan. Nutrisi terbagi
dalam 2 golongan, yaitu makronutrisi dan mikronutrisi.

1. Makronutrisi
Makronutrisi adalah adalah nutrisi yang di butuhkan tubuh dalam jumlah
yang besar dan biasanya berfungsi sebagai sumber energi. Yang termasuk
makronutrisi adalah:
a. Karbohidrat
Contoh makanan sumber karbohidrat: beras, gandum, singkong,
kentang, dll
b. Protein
Contoh makanan sumber protein: susu, telur, daging, ikan, kacang-
kacangan, dll
c. Lemak
Contoh makanan sumber lemak: susu, telur, kacang-kacangan,
kelapa, dll
2. Mikronutrisi
Mikronutrisi adalah nutrisi yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah sedikit
dan berfungsi untuk mendukung proses metabolisme tubuh, yang termasuk
kedalam mikronutrisi adalah:
a. Vitamin
Contoh makanan sumber vitamin: Buah-buahan, sayur-sayuran, dll
b. Mineral
c. Contoh makanan sumber minderal: buah-buahan, sayur-sayuran,
dll
d. Air
Air di temukan dalam bentuk sejatinya atau dalam semua jenis
bahan pangan meski dalam kosentrasi yang sedikit.
Walaupun hampir semua jenis makanan mengandung setidaknya 1 atau
semua jenis makronutrisi, tetapi tidak semua makanan mengandung mikronutrisi.
Karena itu kedua jenis makanan ini harus di padukan agar di peroleh nutrisi yang
di butuhkan tubuh. Nutrisis dalam jumlah yang memadai dan sesuai dengan
kebutuhan akan memberikan energi bagi tubuh untuk dapat tumbuh dan
berkembang serta memperbaiki jaringan yang rusak. Kekurangan nutrisi akan
membuat tubuh organisme tidak tumbuh dan berkembang sesuai dengan
takdirnya, bahkan dapat menyebabkan penyakit hingga berakhir dengan kematian.
Terganggunya proses metabolisme tubuh merupakan gejala awal kekurangan
nutrisi.
Zat gizi mempunyai fungsi penting yang antara satu dengan yang lainnya
saling mendukung dan bekerja sama untuk tetap menjaga agar tubuh dapat
memperoleh pasokan yang di butuhkan. Beberapa jenis nutrisi dapat menjadi
penganti bagi yang lainnya. Meski hal ini tidak dianjurkan oleh pakar kesehatan.
Kebutuhan nutrisi harus di penuhi oleh nutrisi yang bersangkutan. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak di inginkan. Berikut ini adalah beberapa fungsi
nutrisi bagi tubuh.
Fungsi Nutrisi adalah:
1. Sumber energi
2. Pendukung dan pengatur proses metabolism
3. Menjaga keseimbangan metabolism
4. Pembentuk sel-sel jaringan tubuh
5. Memperbaiki sel-sel yang rusak
6. Mempertahankan fungsi organ tubuh, dll

F. Faktor Biologi
Tempat aksi racun dapat berupa enzim, reseptor, atau protein. Enzim dan
protein nirenzim ada di dalam tubuh menurut ciri khas model genetika masing-
masing anggota populasi makhluk hidup, maka cacat genetika dalam anggota
suatu jenis makhluk hidup dapat menyebabkan kekurangan jumlah atau
ketidaksempurnaan molekul enzim. Adanya cacat genetika ini dapat berdampak
negatif atau positif terhadap ketoksikan racun. Misalnya racun didalam tubuh
oleh enzim dimetabolisme menjadi metabolit yang kurang toksik daripada zat
kimia induknya.

Bila suatu makhluk hidup mengalami cacat genetika, ketidaksempurnaan


molekul enzim yang terlibat dalam metabolisme racun menyebabkan terbentuknya
metabolit tak toksik jauh lebih sedikit daripada yang terbentuk pada individu
normal. Akibatnya makhluk hidup tersebut akan lebih rentan terhadap ketoksikan
racun. Dalam hal ini, cacat genetika memberikan dampat negatif. Sebaliknya
apabila metabolit racun yang terbentuk bersifat toksik, maka makhluk hidup
tersebut justru akan terhindar dari ketoksikan racun. Karena jumlah metabolit
toksik yang terbentuk jauh lebih sedikit daripada individu normal. Dalam hal ini,
cacat genetika berdampak positif. Cacat genetika pada sistem pemetabolisme
xenobiotika atau tempat aksi tertentu, memungkinkan timbulnya dampak
negatif bagi individu terhadap ketoksikan racun. Hal ini dapat terjadi karena
penumpukan xenobiotika ataupun perubahan kerentanan tempat aksi racun. Jadi
akibat dari cacat genetika dapat berdampak negatif atau positif bagi individu
terhadap ketoksikan racun.

1. Dikatakan berdampak positif bila cacat genetika menyebabkan individu


resisten terhadap ketoksikan suatu racun.
2. Sebalilnya dikatakan berdampak negatif bila cacat genetika
menyebabkan individu lebih rentan terhadap ketoksikan racun tertentu.
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1. Faktor fisika dan kimia dari bahan kimia yang mempengaruhi sifat
toksisitas bahan polutan yaitu sifat kimia atau fisika-kimia yang secara
individual maupun kolektif menentukan kemampuan racun dalam
melintasi membran biologis. Kekhasan struktur kimia racun, yang
memungkinkan terjadinya reaksi pada tempat aksi tertentu, atau yang
menjadikan rentan terhadap metabolisme.
2. Periode pendedahan merupakan kontak suatu organisme dengan
xenobiotika pada umumnya.
3. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap toksisitas bahan polutan
antara lain:
a. Faktor-faktor terkait pemaparan
b. Faktor-faktor terkait organisme
c. Faktor eksternal
d. Faktor-faktor yang terkait bahan kimia
4. Interaksi antar bahan kimia dalam mempengaruhi toksisitas terjadi melalui
beberapa mekanisme salah satunya adalah adsorpsi toksikan dalam tubuh
manusia.
5. Faktor biologi dalam toksisitas bahan polutan adalah enzim, reseptor dan
protein.
6. Pengaruh nutrisi dengan toksisitas bahan polutan adalah apabila nutrisi
dalam tubuh makhluk hidup telah mencukupi maka tubuh akan lebih baik
dalam menangani toksisitas.

B. Saran
Agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi orang-orang yang
membacanya, menjadi motivasi atau pengetahuan yang baru tentang Potensi
Toksisitas Bahan Polutan sehingga dapat dikembangkan untuk menjalankan
kehidupan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anas, I. 1989.Biologi Tanah dalam Praktek.Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air.UPT Produksi Media Informasi.


Lembaga Sumberdaya Informasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB Press.

Anas, I. 1989.Biologi Tanah dalam Praktek.Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air.UPT Produksi Media Informasi.


Lembaga Sumberdaya Informasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB Press.

Cotton dan Wilkinson. 2009. Kimia Anorganik Dasar. Jakarta : UI-Press


Darmono. 2006. Lingkungan Hidup dan Pencemaran Hubungannya dengan
Toksikologi Seyawa Logam. Jakarta : UI-Press
Darmono. 2009. Farmasi Forensik dan Toksikologi. Jakarta : UI-Press
James, Girard. 2010. Principles of Environmental Chemistry, Sudbury: Jones &
Bartlett Learning.

John, Wright. 2003. Environmental chemistry. London: Routledge.

Jorge G. 2007. Environmental chemistry: fundamentals. Berlin: Springer.

Karyadi, L. 2010. Partisipasi Masyarakat Dalam Program instalasi


Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal di RT 30 RW 07 Kelurahan
Warungboto, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Skripsi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.

Mun’im Idries, A. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bina Rupa Aksara
Mun’im Idries, A. 2008. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses
Penyidikan. Jakarta : Sagung Seto.
Sopiah, Nida. 2005. Transformasi kimia senyawa belerang, dampak dan
penanganannya. Jurnal Teknologi Lingkungan P3TL-BPPT.6.(1) :339-343.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
SOAL DAN JAWABAN
I. PILIHAN GANDA
MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN
ANALISA KIMIA
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Toksikologi
Lingkungan Dosen Pengampu : Dr. Pranoto, M.Sc.

Disusun oleh Kelompok III :


1. Alfianita Utama P. (M0314005)
2. Bondan Mutiara W.S. (M0314015)
3. Faradilla Prabasiwi A. (M0314032)
4. Indah Retnosari (M0314045)
5. Maulana Malik A. G (M0315036)
6. Dian Permatasari (M0313018)

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga dapat diselesaikannya tugas ini
dengan lancar. Tujuan yang hendak dicapai dalam pembuatan tugas makalah ini
yaitu menjelaskan tentang Analisa Kimia.

Dalam penyusunan makalah ini, bantuan dari berbagai pihak banyak


diperoleh. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Pranoto, M.Si selaku dosen Mata Kuliah Toksikologi Lingkungan.

2. Orang tua yang telah memberi dukungan.

3. Teman-teman yang telah memberikan saran dan bantuan dalam pembuatan


makalah ini.

Diharapkan tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila terjadi


kesalahan dalam penulisan ini, kritik dan saran sangat diharapkan.

Surakarta, 27 November 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................................ i
Kata Pengantar .......................................................................................................... ii
Daftar Isi....................................................................................................................iii
Daftar Lampiran ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 3
A. Analisa Kimia................................................................................................. 3
B. Pencuplikan .................................................................................................... 5
C. Contoh Pencuplikan Berdasarkan Wujud Benda ........................................... 6
D. Pengubahan Keadaan Cuplikan.................................................................... ..8
E. Pengukuran Cuplikan ................................................................................... .10
F. Perhitungan Serta Interpretasi Data Hasil Pengukuran Cuplikan ................ .10
G. Instrumen Analisa Kimia ............................................................................. .11
H. Aplikasi Instrumen Analisa Kimia ............................................................... .29
BAB III PENUTUP ............................................................................................... .31
A. Kesimpulan .................................................................................................. .31
B. Saran ........................................................................................................... .31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ .32
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran LATIHAN SOAL ................................................................................ 34

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan IPTEK di era globalisasi dari tahun ke tahun semakin
meningkat, namunpeningkatan IPTEK ini mengakibatkan suatu
permasalahan lingkungan. Manusia dan makhluk hidup merupakan pokok
utama yang merasakan dampak dari adanya pencemaran lingkungan,
karena sering terpapar bahan bahan yang bersifat racun ataupu naman.
Adanya bahan atau zat yang beracun ini dapat menyebabkan tubuh
mengalami gangguan. Bahan atau zat yang beracun ini disebut toksik,
sedangkan ilmu yang mempelajari batas aman dari bahan kimia adalah
toksikologi (Casarett dan Doulls, 1986). Toksikologi lngkungan adalah
ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik yang dihasilkan dari suatu
kegiatan dan menimbulkan pencemaran lingkungan.
Toksikologi lingkungan ini dibahas dalam kimia lingkungan karena
berhubungan dengan adanya perubahan lingkungan yang disebabkan oleh
kehadiran zat kimia, berhubungan dengan uji toksisitas yaitu pengujian
suatu zat kimia terhadap makhluk hidup contohnya. Teori atau cara – cara
dalam melakukan analisis kimia baik secara kualitatif maupun kuantitatif
ini berhubungan dengan apa yang terdapat dalam sampel, berapa banyak
zat dalam sampel dengan mencari informasi berdasarkan ukuran sampel
dan proporsi konstituen yang ditetapkan. Analisi kimia ini memiliki
penerapan yang luas yang tidak hanya berperan dalam bidang kimia saja
tetapi dapat juga diterapkan pada bidang-bidang lain maupun masyarakat.
Permasalahan lingkungan yang ada jika dibiarkan terus menerus
dapat membahyakan bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup.
Diperlukan suatu penanganan untuk meminimalkan dampak dari
permasalahan dengan mengetahui penyebab dan kandungan yang ada
dalam masalah tersebut. Sehingga dalam suatu penanganan permasalahan
lingkungan ini dapat dilakukan dengan cara menganalisis hingga
didapatkan suatu data dan hasil, dapat dilakukan langkah atau suatu
pencegahan.

C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan analisa kimia?
2. Bagaimana pencuplikan sampel dalam analisa kimia?
3. Bagaimana instrumen dalam analisa kimia?
D. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan analisa kimia.
2. Untuk mengetahui pencuplikan sampel dalam analisa kimia.
3. Untuk mengetahui instrumen dalam analisa kimia.

BAB II
PEMBAHASAN
A. ANALISA KIMIA
Analisis kimia diartikan suatu rangkaian pekerjaan untuk memeriksa/
mengetahui/ menentukan kandungan dari suatu sampel dengan tujuan tertentu.
Rangkaian pekerjaan tersebut dapat berupa penentuan kadar suatu komponen,
komposisi, struktur, sifat fisis, sifat kimia,fungsi senyawa dan masih banyak lagi
yang akan kita temukan di dunia 'keanalisan'. Secara umum analisis kimia dibagi
menjadi dua bagian, yaitu analisis kimia kualitatif dan analisis kimia kuantitatif.
Pembagian ini didasari atas tujuan dari kegiatan analisis itu sendiri.
1. Analisis Kimia Kualitatif
Analisis Kimia Kualitatif adalah suatu rangkaian pekerjaan analisis yang
bertujuan mengetahui keberadaan(bisa juga identifikasi) suatu ion,unsur,
atau senyawa kimia lain baik organik maupun anorganik dalam suatu
sampel yang kita analisa. contoh : misalnya kita mempunyai sampel air
minum, dan diminta dicek apakah mengandung logam berat atau tidak.
maka untuk mengetahuinya kita melakukan teknik analisa secara
kualitatif.
2. Analisis Kimia Kuantitatif
Analisis Kimia Kuantitatif adalah suatu rangkaian pekerjaan analisis yang
bertujuan untuk mengetahui jumlah suatu unsur atau senyawa dalam suatu
sampel yang kita analisa. contoh : misal kita memperoleh tempe dan
diminta menentukan kadar protein dalam tempe tersebut. maka untuk
mengetahuinya kita lakukan analisa kuantitatif (Day, 1986).
Bila kita perhatikan perbedaan dari analisis kualitatif dan
kuantitatif yang paling umum adalah pada tujuan dan hasil analisa. jika
pada kualitatif diminta untuk menentukan keberadaan suatu zat, pada
kuantitatif diminta untuk menentukan jumlah suatu zat. dan dari hasil
analisa,umumnya analisa kualitatif memberikan hasil berupa data secara
objektif, sedangkan pada kuantitatif umumnya memberikan hasil berupa
data matematis (numerik).
Dalam suatu pengerjaan Analisis Kimia tentu diperlukan suatu
instrumen(peralatan) untuk menunjang keperluan analisa. Menurut teknik
dan instrumennya Analisis Kimia dibagi menjadi dua, yaitu Analisis
konvensional(tradisional) dan Analisis instrumental (modern). Analisis
Konvensional adalah suatu teknik analisa menggunakan alat-alat
konvensional, misalnya pada salah satu contoh metode analisis titrimetri
yang menggunakan peralatan gelas kaca. sedangkan Analisis Instrumental
adalah suatu teknik analisa menggunakan peralatan canggih dan modern
misalnya spektrofotometri yang menggunakan alat spektrofotometer
ataupun titrimetri secara konduktometris ataupun potensiometris.
Sebetulnya kurang tepat juga jika diklasifikasikan berdasarkan
keberadaan instrumennya, karena ada suatu kasus analisa yang bisa
menggunakan kedua cara tersebut, tapi ada juga yang dalam kasus
tertentu yang dikhususkan hanya dengan satu cara saja dikarenakan tujuan
analisa atau keingin-tercapainya suatu faktor (ketelitian misalnya). tetapi
untuk mewakili tentang teknik dan instrumennya klasifikasi diatas pun
tidak disalahkan juga karena pada intinya segala sesuatu yang
berhubungan dengan analisis kembali pada tujuan kita melakukan suatu
analisa.
Analisis Kimia Konvensional diantaranya :
a. Gavimetri
Analisis Gravimetri, atau analisis kuantitatif berdasarkan bobot,
adalah proses isolasi serta penimbangan suatu unsur atau senyawa
tertentu dari unsur tersebut, dalam bentuk yang semurni mungkin.
Unsur atau senyawa itu dipisahkan dari suatu porsi zat yang sedang
diselidiki, yang telah ditimbang (Day, 1994). Persyaratan yang harus
dipenuhi agar metode gravimetri berhasil sebagai berikut.
1) Proses pemisahan hendaknya cukup sempurna sehingga kuantitas
analit yang tak-terendapkan secara analitis tak-dapat dideteksi (
biasanya 0,1 mg atau kurang, dalam menetapkan penyusunan
utama dari suatu makro ).
2) Zat yang ditimbang hendaknya mempunyai susunan yang pasti dan
hendaknya murni, atau sangat hampir murni. Bila tidak akan
diperoleh hasil yang galat. Metode yang dapat dilakukan dalam
analisis gravimetri :
a) Gravimetri cara penguapan, misalnya untuk menentukan kadar
air, (air kristal atau air yang ada dalam suatu spesies).
b) Gravimetri elektrolisa, zat yang dianalisa di tempatkan di
dalam sel elektrolisa. sehingga logam yang mengendap pada
katoda dapat ditimbang.
c) Gravimetri metode pengendapan menggunakan pereaksi yang
akan menghasilkan endapan dengan zat yang dianalisa
sehingga mudah di pisahkan dengan cara penyaringan.
Misalmya Ag+ diendapkan sebagai AgCl. Ion besi (Fe3+)
diendapkan sebagai Fe(OH)3 yang setelah dipisahkan,
dipijarkan dan ditimbang sebagai Fe2O3

b. Volumetri
Analisis volumetri merupakan teknik penetapan jumlah sampel
melalui perhitungan volume. Dalam analisis titrimetri (hingga kini
sering dinamai analisis Volumetri), zat yang akan ditetapkan dibiarkan
bereaksi dengan suatu reagensia yang cocok yang ditambahkan sebagai
larutan baku, dan volume larutan yang diperlukan untuk mengakhiri
reaksi ditetapkan (Stiono, 1994). Sehingga dalam teknik volumetri,
alat pengukur volume menjadi bagian terpenting, dalam hal ini buret
adalah alat pengukur volume yang dipergunakan dalam analisis
volumetrik (Wiryawan, 2011). Tipe reaksi yang biasa digunakan dalam
titrimetri adalah titrasi.
Titrasi atau disebut juga volumetri merupakan metode analisis
kimia yang cepat, akurat dan sering digunakan untuk menentukan
kadar suatu unsur atau senyawa dalam larutan. Titrasi didasarkan pada
suatu reaksi yang digambarkan sebagai :
aA + bB hasil reaksi
dimana : A adalah penitrasi (titran), B senyawa yang dititrasi, a dan b
jumlah mol dari A dan B. Volumetri (titrasi) dilakukan dengan cara
menambahkan (mereaksikan) sejumlah volume tertentu (biasanya dari
buret) larutan standar (yang sudah diketahui konsentrasinya dengan
pasti) yang diperlukan untuk bereaksi secara sempurna dengan larutan
yang belum diketahui konsentrasinya.Untuk mengetahui bahwa
reaksi berlangsung sempurna, maka digunakan larutan indikator yang
ditambahkan ke dalam larutan yang dititrasi (Zulfikar, 2010).

B. PENCUPLIKAN
Pencuplikan adalah memperoleh suatu sampel yang mewakili
semua komponen dn banyak komponen-komponen tersebut dalam suatu
sampel ruahan (bulk). Proses itu melibatkan suatu aplikasi statistik dalam
arti bahwa kita akan menarik kesimpulan mengenai susunan sampel
ruahan dri analisis terhadap bagian yang sangat kecil dari bahan itu.
Desain pencuplikan (sampling design) dibuat peneliti untuk memperoleh
sampel dari seluruh anggota populasi. Desain pencuplikan merupakan
bagian penting dari desain penelitian (research design), karena itu
keduanya harus konsisten. Pencuplikan perlu didesain karena dua alasan.
Pertama, memilih subyek penelitian secara gegabah akan mengakibatkan
kesalahan sistematis yang disebut bias seleksi (selection bias). Kedua,
ukuran sampel mempengaruhi presisi penelitian; ukuran sampel yang
tidak cukup besar akan memperbesar kesalahan random (random error).
Pencuplikan (sampling) memberikan sejumlah keuntungan
(Gerstman, 1998; Kothari, 1990; Cochran, 1977): (1) Mengurangi biaya
penelitian; (2) Meningkatkan kecepatan pengumpulan dan analisis data;
(3) Meningkatkan akurasi pengumpulan data karena berkurangnya
volume kerja; (4) Memperluas perolehan informasi tentang berbagai
faktor. Pendeknya pencuplikan memberikan cara praktis, cepat, dan
ekonomis untuk memperoleh informasi yang diinginkan peneliti.
Ciri-ciri desain pencuplikan yang baik:
1. Menghasilkan sampel yang representatif dalam studi deskriptif, atau
sampel-sampel yang dapat diperbandingkan dengan valid dalam studi
analitik.
2. Mampu meminimalkan kesalahan pencuplikan (sampling error).
3. Mampu mengontrol sistematis dalam studi analitik.

C. CONTOH PENCUPLIKAN BERDASARKAN WUJUD BENDA


1. Zat padat
Batubara adalah contoh dari bahan yang sukar untuk di cuplik dan
akan digunakan untuk menggambarkan metode-metode yang digunakan
untuk bahan padat. Langkah pertama dalam prosedur pencuplikan
adalah memilih suatu porsi besar batubara, yang disebut sampel kasar
(gross), yang meskipun tak homogen, mewakili komposisi rata-rata dari
massa keseluruhan. Ukuran sampel yang diperlukan bergantung pada
faktor-faktor seperti ukuran partikel dan homogenitas partikel. Dalam
kasus batubara sampel kasar. Haruslah sekitar 500 kg jika partikel-
partikelnya tak lebih dari sekitar 2,5 cm panjang, lebar ataupun
tingginya.
Terdapat banyak teknik yang digunakan untuk memperoleh sampel
kasar. Jika batubara itu dalam keadaan bergerak, pada suatu ban
berjalan jenis tertentu, suatu bagian tertentu dapat disimpangkan secara
sinambung untuk memberikan sampel kasar itu. Di pihak lain jika
batubara itu akan disekopi dari dalam truk, dapatlah disisihkan tiap
sekopan yang ke-50 untuk membentuk sampel (contoh).
Setelah sampel itu dipilih, batubara itu ditumbuk atau diremuk dan
secar bersistem dicampur dan ukurannya dikurangi. Satu metode yang
digunakan untuk mengurangi sampel batubara adalah dengan
mengonggokkan sampel menjadi suatu kerucut dengan menggunakan
sekop. Pejalkan kerucut itu. Kemudian dibagi empat sama besar dua
bagian diantaranya dibuang .suatu peranti mekanis untuk membagi-bagi
sampel disebut pengocok ( riftle). Pengocok itu terdiri dari sebarisan
talang kecil melandai yang diatur sedemikian rupa sehingga tiap talang
secara selang seling membuang sampel dalam arah yang berlawanan,
dengan cara ini sampel itu terbagi dua secara otomatis.
Di laboratorium sampel dapat digerus lebih lanjut dengan lesung
dan alu. Sering perlu menggerus sampel agar dapat lolos lewat ayakan
dengan mesh tertentu, diharabkan bahwa sampel laboratoriumyang final
sekitar 1g,bersifat mewakili sampel kasar itu. Data analisis yang
diperoleh tak dapat lebih baik dari pada keseksamaan yang dilakukan
dalam prosedur pencuplikan sampel (Lukum, 2008).
2. Cairan
Jika cairan yang akan dianalisis itu homongen.maka prosedur
pencuplikan sampel bersifat langsung dan sederhana.proses itu akan
jauh lebih sulit jika cairan itu heterogen sebagai contoh, dalam hal
cairan yang mengalir dalam sistem pipa, sampel sering diambil dari
titik-titik yang berlainan dalam sistem itu dalam suatu danau atau
sungai,sampel dapat diambil pada lokasi yang berlainan dan pada
kedalaman yang berbeda-beda. Kadang-kadang tidak dikehendaki satu
sampel rata untuk sistem cair keseluruhan itu misalnya, dalam menguji
pemumian alamiah dari suatu sungai yang tercemar dengan
limbah/kotoran maka sampel dapat diambil pada sejumlah tempat
kearah hilir dari masuknya kotoran tersebut.
Piranti yang disebut pencuplik caplok (grab samplers) dapat
digunakan untuk mengumpulkan sampel dari perairan besar pada
pelbagai kedalaman. Piranti semacam ini terdiri dari suatu botol sampel
dalam suatu wadah logam yang cukup berat untuk memaksa botol
kosong itu terbenam pada kedalaman yang diinginkan. Botol sampel itu
ditutup dengan suatu sumbat yang diberi tali dan ujungnya dipegangi
oleh sipengambil sampel. Piranti itu diturunkan ke kedalaman yang
diinginkan kemudian sumbat ditarik keluar dan botol sampel itu akan
terisi penyublikan itu dilengkapi bola apung yang secara otomatis akan
menyumbat botol setelah terisi cairan.
3. Gas
Dewasa ini orang berminat untuk mencuplik sampel udara berkat
upaya yang diarahkan keperbaikan kualitas udara yang kita hirup.
Tentu saja udara merupakan campuran rumit yang mengandung materi
butiran maupun sejumlah senyawaan gas susunannya tergantung pada
sejumlah faktor, seperti misalnya lokasi, temperatur, angin, dan hujan.
Dalam mengumpulkan suatu sampel udara untuk analisis, volume yang
diambil dan laju serta lamanya pencuplikan merupakan faktor-faktor
penting. Udara dialirkan lewat sederetan penyaring halus untuk
mengucilkan materi butiran, dan lewat sekolom larutan dalam mana
terjadi suatu reaksi kimia untuk memperangkap komponen yang
diinginkan.setelah dikumpulkan pada suatu penyaring (filter), materi
butiran dapat ditetapkan oleh analisis kimia atau dengan
menimbangnya.

D. PENGUBAHAN KEADAAN CUPLIKAN


Sebelum dapat dilakukan suatu pengukuran fisika atau kimia untuk
menetapkan banyaknya analit dalam larutan sample, biasanya perlu untuk
memecahkan masalah “gangguan”. Misalnya, di andaikan si analisis ingin
menetapkan banyaknya tembaga dalam suatu contoh dengan
menambahkan kalium iodide dan mentitrasi ion yang dibebaskan dengan
natrium tiosulfat. Jika larutan itu juga mangandung ion besi (III), maka ion
ini akan mengganggu, karena ion ini juga mengoksidasi iodide menjadi
iod. Gangguan itu dapat dicegah dengan menambahkan natrium fluoride
kedalam larutan, yang akan mengubah besi (III) menjadi kompleks FeF63-
yang stabil. Ini merupakan suatu contoh metode umum dalam mana
gangguan-gangguan secara efektif “dilumpuhkan” dengan cara mengubah
sifat dasar kimianya (Ibnu,2014)
Pada umumnya cuplikan berbentuk padatan oleh karena itu perlu
dilakukan pengubahan bentuk cuplikan tersebut menjadi bentuk larutan
sehingga dapat diukur. Untuk mengubah cuplikan bentuk cair dapat
dilakukan dengan :
1. Cara basah
Cara basah yang dilakukan dengan pelarut langsung menggunakan
pelarut air, asam-asam seperti asam nitrate, asam sulfat, asam klorida,
asam perklorat atau campurannya,dan basa. Kerja pelarut asam pada
umumnya karena kemampuan asam-asam untuk bertindak sebagai
oksidator atau pengompleks. Campuran asam nitrate dan asam
klorida pekat (1:3) yang dikenal sebagai air raja sangat reaktif untuk
melarutkan cuplikan yang mengandung logam-logam seperti emas.
Untuk cuplikan yang tahan terhadap air atau asam seperti silikat,
dapat dilarutkan dengan menggunakan basa seperti natrium kiarbonat
atau natrium karbonat atau natrium peroksida.
2. Cara kering
Cuplikasi dilebur dengan cara dipijarkan, kemudian dilarutkan
dengan air atau asam encer. Untuk mempercepat proses peleburan,
biasanya ditambahkan beberapa tetes asam-asam pekat. Adanya
gangguan atau interferensi dari suatu konstituen terhadap pengukuran
konstituen tertentu perlu diperhatikan. Misalnya, jika kita ingin
menganalisis kadar aluminium dalam suatu cuplikan yang
mengandung besi dalam jumlah yang besar dengan cara
spektrofotometri menggunakan pereaksi aluminon. Baik ion Al3+
maupun ion Fe3+ sama-sama membentuk kompleks berwarna merah
dengan aluminon. Oleh karena itu, sebelum direaksikan dengan
aluminon, Fe3+ harus diubah terlebih dahulu menjadi Fe2+ dengan
menambahkan tioglikolat. Ion Fe2+ tidak membentuk kompleks
berwarna dengan aluminon. Cara lain untuk menghilangkan
gangguan dari konstituen lain adalah dengan pemisahan. Misalnya
pada penentuan Mg dengan metode gravimetri menggunakan
pengendap oksalat. Kalau dalam cuplikan terkandung pula ion besi,
maka ion tersebut dapat turut mengendap sebagai oksalat, disamping
ion Mg. Oleh karena itu, sebelum ditambahkan pereaksi oksalat, ion
besi diendapkan terlebih dahulu sebagai hidroksida pada pH sekitar
6,5. Besi (III) mengendap sebagai hidroksida, sedangkan Mg(II)
tidak,sehingga keduanya dapat dipisahkan dengan cara penyaringan.
Pengubahan analit ke dalam bentuk yang sesuai dengan pengukuran
umumnya dengan melarutkan contoh. Kebanyakan contoh yang
dianalisis larut dalam air. Akan tetapi tidak sedikit zat-zat yang
terdapat di alam tidak larut dalam air. Dua cara yang paling umum
untuk melarutkan contoh adalah dengan asam-asam klorida, nitrat,
sulfat atau perklorat dan dengan zat pelebur asam atau basa yang
diikuti dengan perlakuan air atau asam (Harjadi, 1986).
Kerja pelarut asam tergantung pada beberapa faktor:
a. Reduksi ion hidrogen oleh logam yang lebih aktif dari hidrogen,
misalnya:
Zn(s) + 2H+ Zn2+ + H2 (g)
b. Kombinasi ion hidrogen dengan anion suatu asam lemah,
misalnya:
CaCO3(p) + 2H+ Ca2+ + H2O + CO2(g)
c. Sifat-sifat oksidasi dari anion asam, misalnya:
3Cu(p) + 2NO3- + 8H+ 3Cu2+ + 2NO(g) + 4H2O
d. Kecenderungan anion dari asam untuk membentuk kompleks
yang larut dengan kation zat yang ada dalam larutan, misalnya:
Fe3+ +Cl - FeCl2+
Sebelum melakukan pengukuran maka faktor interferensi atau
pengganggu harus dihilangkan terlebih dulu. Faktor ini dapat dihilangkan
dengan berbagai cara misalnya dengan mengkompleks zat pengganggu,
mengendapkan, menguapkan, mengekstraksi, atau pun dengan melakukan
elektrolisa dan kromatografi.

E. PENGUKURAN CUPLIKAN
Sifat kimia dan fisika digunakan dasar untuk melakukan pengukuran
baik kuantitatif dan kualitatif serta melibatkan reaksi-reaksi kimia
didalamnya, seperti volumetric dan gravimetric. Kedua metode tersebut
dikatakan klasik namun masih digunakan hingga sekarang, karena
menunjukkan ketelitian dan kecermatan yang handal. Selain itu penggunaan
instrument moderen yang lebih canggih yang juga didasarkan sifat fisika
kimia, sekarang ini lebih disukai untuk pengukuran karena memiliki tingkat
ketelitian dan kecermatan yang tinggi serta effisien, efektif, mudah dan cepat
dalam pengoperasiannya. Berbagai sifat fisika dan kimia dapat digunakan
untuk melakukan pengukuran. Teknik pengukuran yang digunakan dapat
dilakukan dengan cara klasik yang berdasarkan reaksi kimia atau dengan
cara instrumen yang berdasarkan sifat fisikokimia.

F. PERHITUNGAN SERTA INTERPRETASI DATA HASIL


PENGUKURAN CUPLIKAN
Hasil pengukuran dengan cara titrasi atau gravimetric misalnya, data
selanjutnnya diolah berdasarkan hubungan stoikiometri yang sederhana
berdasarkan reaksi kimia yang terjadi. Sedangkan dari hasil pengukuran
dengan spektrofotometer, diperoleh data berupa absorbans, yang dapat
dihubungkan dengan konsentrasi atau kadar suatu zat dalam cuplikan. Perlu
di ingat, bahwa hasil-hasil yang diperoleh dengan cara-cara analitik tidaklah
selalu mudah dan sederhana. Oleh karena itu cara statistika kimia dapat
digunakan untuk meminimalisasi kesalahan-kesalahan yang di buat selama
pengerjaan dan pengukuran, agar dapat diperoleh tafsiran data dan
kesimpulan yang tepat dengan tingkat kepercayaan yang tinggi.
Langkah terakhir dalam tahapan analisis dikatakan selesai bila hasil
analisis telah dinyatakan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh si
peminta analisis. Umumnya kadar analat dinyatakan dengan perhitungan
persen. Seperti pada volumetri dan gravimetri perhitungan persen diperoleh
dari hubungan stoikiometri sederhana berdasarkan reaksi kimianya,
sedangkan dalam cara spektroskopi diperoleh dari hubungan absorban dan
konsentrasi analat dalam larutan. Cara-cara statistik biasanya digunakan
untuk menginterpretasi data yang diperoleh.

G. INSTRUMEN ANALISA KIMIA


Instrumen atau piranti ukur merupakan piranti untuk mengukur
sesuatu besaran selama dipengamatan. Piranti itu dapat berupa instrumen
tuding (indicating instrument) dan dapat berupa instrumen rekam
(recording instrument) Istilah “instrumen” digunakan dua maksud yaitu :
1. Instrumen murni yang terdiri dari mekanisme dan bagian-bagian
yang di bangun didalam wadah (rumah) atau piranti yang berkaitan
dengan itu
2. Instrumen murni berikut sembarang alat-alat imbuhan (auxliary)
seperti misalnya: tahanan kondensator atau transformator
instrumen. Sebagai pengganti kata “Instrumen” (piranti) seringkali
dipakai pula kata “alat ukur” (meter).
Penggunaan piranti ukur (instrumen) untuk menentukan harga besaran
yang berubah-ubah, yang seringkali pula untuk keperluan pengaturan
besaran yang perlu berada di batas-batas harga tertentu. Semua piranti
(kimia, listrik, hidrolik, magnit, mekanik, optik, pneumatik) yang
digunakan untuk : menguji, mengamati,mengukur, memantau; mengubah,
membangkitkan, mencatat,menera,memelihara, atau mengemudikan sifat-
sifat badani (fisik) gerakan atau karakteristik lain (Hendayana, 2000).
Pada dasarnya pengukuran (instrumentasi) bertujuan untuk
mendapatkan informasi mengenai sifat-sifat fisik, kimia dan biologi dari
suatu keadan atau proses atau untuk pengaturan sesuai dengan informasi
yang diinginkan. Bantuan alat atau instrumen diperlukan untuk
mentransformasikan informasi tersebut secara kualitatif dan kuantitatif
untuk dapat ditanggapi oleh indera. Istilah yang digunakan dalam
instrumentasi adalah sebagai berikut (Khopkar, 2003):
1. Kepekaan (sensitivity) instrumen adalah perbandingan antara
gerakan linear jarum penunjuk pada instrumen itu dengan
perubahan variabel yang diukur yang menyebabkan gerakan itu.
2. Ketelitian (accuracy) instrumen adalah penyimpangan terhadap
masukan yang diketahui. Ketelitian biasanya dinyatakan dalam
persentase.
3. Ketepatan atau presisi (precision) instrumenadalah kemampuan
instrumen menghasilkan kembali bacaan tertentu dengan ketelitian
yang diketahui.
4. Ketakpastian (uncertainty) instrumen adalah daerah deviasi dari
nilai pengukuran alat (instrumen).
5. Kalibrasi (calibration) instrumen adalah membandingkan nilai
ukuran instrumen dengan nilai ukuran standar.
6. Standar ukuran adalah nilai ukuran yang sudah disepakati sebagai
patokan dalam melakukan pengukuran.
7. Teknik analisis merupakan suatu fenomena ilmiah dasar yang telah
terbukti berguna untuk memberikan informasi mengenai susunan
zat-zat yang dianalisis. Sedangkan metoda analisis merupakan
penerapan yang spesifik dari suatu teknik analisis untuk
memecahkan persoalan analisis.
Metode analisis menggunakan instrumen dapat dibedakan menjadi
spekstroskopi dan kromatografi. Metode spektroskopi merupakan metode
analisa yang didasarkan pada pengukuran serapan sinar monokromatis
oleh suatu lajur larutan berwarna pada panjang gelombamg spesifik
dengan menggunakan monokromator prisma atau kisi difraksi dengan
detektor fototube. Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur
transmitan atau absorban suatu sampel sebagai fungsi panjang
gelombang. Sedangkan pengukuran menggunakan spektrofotometer ini,
metoda yang digunakan sering disebut dengan spektrofotometri.
Spektrofotometri dapat dianggap sebagai perluasan suatu pemeriksaan
visual dengan studi yang lebih mendalam dari absorbsi energi. Absorbsi
radiasi oleh suatu sampel diukur pada berbagai panjang gelombangdan
dialirkan oleh suatu perkam untuk menghasilkan spektrum tertentu yang
khas untuk komponen yang berbeda. Absorbsi sinar oleh larutan
mengikuti hukum Lambert-Beer, yaitu (Day, 1986):

………………….…………………….(1)

Keterangan : Io = Intensitas sinar datang


It = Intensitas sinar yang diteruskan
A = Absorban
a = Absorptivitas
b = Panjang sel/kuvet
c = konsentrasi (g/l)
Adapun jenis – jenis spektroskopi meliputi spektrofotometri UV/Vis,
spektrofotometri infra merah, spektrofotometri serapan atom,
spektrometri resonansi magnet inti, dan spektrometri sinar X.
1. Spektrofotometer UV – Vis
Spektrofotometri ini merupakan gabungan antara
spektrofotometri UV dan Visible. Menggunakan dua buah sumber
cahaya berbeda, sumber cahaya UV dan sumber cahaya visible.
Meskipun untuk alat yang lebih canggih sudah menggunakan hanya
satu sumber sinar sebagai sumber UV dan Vis, yaitu photodiode
yang dilengkapi dengan monokromator.
Untuk sistem spektrofotometri, UV-Vis paling banyak tersedia
dan paling populer digunakan. Kemudahan metode ini adalah dapat
digunakan baik untuk sample berwarna juga untuk sample tak
berwarna. Spektroskopi ultraviolet-visible atau spektrofotometri
ultraviolet-visible (UV-Vis atau UV / Vis) melibatkan spektroskopi
dari foton dalam daerah UV-terlihat. Ini berarti menggunakan cahaya
dalam terlihat dan berdekatan (dekat ultraviolet (UV) dan dekat
dengan inframerah (NIR)) kisaran. Penyerapan dalam rentang yang
terlihat secara langsung mempengaruhi warna bahan kimia yang
terlibat. Di wilayah ini dari spektrum elektromagnetik, molekul
mengalami transisi elektronik. Teknik ini melengkapi fluoresensi
spektroskopi, di fluoresensi berkaitan dengan transisi dari ground
state ke eksited state.

Gambar 1. Instrumentasi UV-VIS


Penyerapan sinar uv dan sinar tampak oleh molekul, melalui 3 proses
yaitu :
a. Penyerapan oleh transisi electron ikatan dan electron anti ikatan,
b. Penyerapan oleh transisi electron d dan f dari molekul
kompleks,
c. Penyerapan oleh perpindahan muatan.
Penyerapan sinar uv-vis dibatasi pada sejumlah gugus
fungsional/gugus kromofor (gugus dengan ikatan tidak jenuh) yang
mengandung electron valensi dengan tingkat eksitasi yang rendah.
Dengan melibatkan 3 jenis electron yaitu : sigma, phi dan non
bonding electron. Kromofor-kromofor organic seperti karbonil,
alken, azo, nitrat dan karboksil mampu menyerap sinar ultraviolet
dan sinar tampak. Panjang gelombang maksimalnya dapat berubah
sesuai dengan pelarut yang digunakan. Auksokrom adalah gugus
fungsional yang mempunyai elekron bebas, seperti hidroksil, metoksi
dan amina. Terikatnya gugus auksokrom pada gugus kromofor akan
mengakibatkan pergeseran pita absorpsi menuju ke panjang
gelombang yang lebih besar (bathokromik) yang disertai dengan
peningkatan intensitas (hyperkromik) (Skoog, 2003).

2. Spektroskopi Inframerah
Spektrofotometer FTIR 8300/8700 merupakan salah satu alat
yang dapat digunakan untuk identifikasi senyawa, khususnya
senyawa organik, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis
dilakukan dengan melihat bentuk spektrumnya yaitu dengan melihat
puncak-puncak spesifik yang menunjukan jenis gugus fungsional
yang dimiliki oleh senyawa tersebut. Sedangkan analisis kuantitatif
dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa standar yang dibuat
spektrumnya pada berbagai variasi konsentrasi. Jumlah energi yang
diperlukan untuk meregangkan suatu ikatan tergantung pada
tegangan ikatan dan massa atom yang terikat. Bilangan
gelombang suatu serapan dapat dihitung menggunakan
persamaan yang diturunkan dari Hukum Hooke. Ikatan yang lebih
kuat dan atom yang lebih ringan menghasilkan frekuensi yang lebih
tinggi. Semakin kuat suatu ikatan, makin besar energi yang
dibutuhkan untuk meregangkan ikatan tersebut. Frekuensi vibrasi
berbanding terbalik dengan massa atom sehingga vibrasi atom yang
lebih berat terjadi pada frekuensi yang lebih rendah (Bruice, 2001).

Gambar 2. Instrumentasi IR
Pancaran infra merah pada umumnya mengacu pada bagian
spektrum elektromagnetik yang terletak di antara daerah tampak dan
daerah gelombang mikro. Sebagian besar kegunaannya terbatas di
daerah antara 4000 cm-1 dan 666 cm-1 (2,5-15,0 µm). Akhir-akhir
ini muncul perhatian pada daerah infra merah dekat, 14.290-4000

cm-1 (0,7-2,5 µm) dan daerah infra merah jauh, 700-200 cm-1
(14,3-50 µm) (Silverstain, 1967). Hasil kemajuan instrumentasi IR
adalah pemrosesan data seperti Fourier Transform Infra Red
(FTIR). Teknik ini memberikan informasi dalam hal kimia,
seperti struktur dan konformasional pada polimer dan polipaduan,
perubahan induksi tekanan dan reaksi kimia. Dalam teknik ini
padatan diuji dengan cara merefleksikan sinar infra merah yang
melalui tempat kristal sehingga terjadi kontak dengan permukaan
cuplikan. Degradasi atau induksi oleh oksidasi, panas, maupun
cahaya, dapat diikuti dengan cepat melalui infra merah. Sensitivitas
FTIR adalah 80-200 kali lebih tinggi dari instrumentasi dispersi
standar karena resolusinya lebih tinggi (Kroschwitz, 1990).
Teknik pengoperasian FTIR berbeda dengan spektrofotometer
infra merah. Pada FTIR digunakan suatu interferometer Michelson
sebagai pengganti monokromator yang terletak di depan
monokromator. Interferometer ini akan memberikan sinyal ke
detektor sesuai dengan intensitas frekuensi vibrasi molekul yang
berupa interferogram (Bassler, 1986). Interferogram juga
memberikan informasi yang berdasarkan pada intensitas spektrum
dari setiap frekuensi. Informasi yang keluar dari detektor diubah
secara digital dalam komputer dan ditransformasikan sebagai
domain, tiap-tiap satuan frekuensi dipilih dari interferogram yang
lengkap (fourier transform). Kemudian sinyal itu diubah menjadi
spektrum IR sederhana. Spektroskopi FTIR digunakan untuk
mendeteksi sinyal lemah, menganalisis sampel dengan konsentrasi
rendah, dan analisis getaran (Silverstain, 1967).

3. Spektroskopi Serapan Atom


Spektrofotometer serapan atom (AAS) merupakan teknik
analisis kuantitafif dari unsur-unsur yang pemakainnya sangat luas di
berbagai bidang karena prosedurnya selektif, spesifik, biaya
analisisnya relatif murah, sensitivitasnya tinggi (ppm-ppb), dapat
dengan mudah membuat matriks yang sesuai dengan standar, waktu
analisis sangat cepat dan mudah dilakukan. AAS pada umumnya
digunakan untuk analisa unsur, spektrofotometer absorpsi atom juga
dikenal sistem single beam dan double beam layaknya
Spektrofotometer UV-VIS. Sebelumnya dikenal fotometer nyala
yang hanya dapat menganalisis unsur yang dapat memancarkan sinar
terutama unsur golongan IA dan IIA.Umumnya lampu yang
digunakan adalah lampu katoda cekung yang mana penggunaanya
hanya untuk analisis satu unsur saja (Skoog, 2003).

Gambar 3. Instrumentasi AAS


Metode AAS berprinsip pada absorbsi cahaya oleh atom.
Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang
tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Metode serapan atom hanya
tergantung pada perbandingan dan tidak bergantung pada temperatur.
Setiap alat AAS terdiri atas tiga komponen yaitu unit teratomisasi,
sumber radiasi, sistem pengukur fotometerik. Teknik AAS menjadi
alat yang canggih dalam analisis. Ini disebabkan karena sebelum
pengukuran tidak selalu memerlukan pemisahan unsur yang
ditentukan karena kemungkinan penentuan satu unsur dengan
kehadiran unsur lain dapat dilakukan, asalkan katoda berongga yang
diperlukan tersedia. AAS dapat digunakan untuk mengukur logam
sebanyak 61 logam. Sumber cahaya pada AAS adalah sumber cahaya
dari lampu katoda yang berasal dari elemen yang sedang diukur
kemudian dilewatkan ke dalam nyala api yang berisi sampel yang
telah teratomisasi, kemudia radiasi tersebut diteruskan ke detektor
melalui monokromator. Chopper digunakan untuk membedakan
radiasi yang berasal dari sumber radiasi, dan radiasi yang berasal dari
nyala api. Detektor akan menolak arah searah arus (DC) dari emisi
nyala dan hanya mengukur arus bolak-balik dari sumber radiasi atau
sampel. Atom dari suatu unsur pada keadaan dasar akan dikenai
radiasi maka atom tersebut akan menyerap energi dan
mengakibatkan elektron pada kulit terluar naik ke tingkat energi
yang lebih tinggi atau tereksitasi. Jika suatu atom diberi energi, maka
energi tersebut akan mempercepat gerakan elektron sehingga
elektron tersebut akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi
dan dapat kembali ke keadaan semula.
Atom-atom dari sampel akan menyerap sebagian sinar yang
dipancarkan oleh sumber cahaya. Penyerapan energi oleh atom
terjadi pada panjang gelombang tertentu sesuai dengan energi yang
dibutuhkan oleh atom tersebut. Sampel analisis berupa liquid
dihembuskan ke dalam nyala api burner dengan bantuan gas bakar
yang digabungkan bersama oksidan (bertujuan untuk menaikkan
temperatur ) sehingga dihasilkan kabut halus. Atom-atom keadaan
dasar yang berbentuk dalam kabut dilewatkan pada sinar dan panjang
gelombang yang khas. Sinar sebagian diserap, yang disebut
absorbansi dan sinar yang diteruskan emisi. Penyerapan yang terjadi
berbanding lurus dengan banyaknya atom keadaan dasar yang berada
dalam nyala. Pada kurva absorpsi, terukur besarnya sinar yang
diserap, sdangkan kurva emisi, terukur intensitas sinar yang
dipancarkan (Skoog, 2003).

4. Spektroskopi Resonansi Magnet Inti


Nuclear Magnetic Resonance (NMR) adalah salah satu metode
analisis yang paling mudah digunakan pada kimia modern. NMR
digunakan untuk menentukan struktur dari komponen alami dan
sintetik yang baru, kemurnian dari komponen, dan arah reaksi kimia
sebagaimana hubungan komponen dalam larutan yang dapat
mengalami reaksi kimia. Meskipun banyak jenis nuclei yang berbeda
akan menghasilkan spektrum, nuclei hidrogen (H) secara histori
adalah salah satu yang paling sering diamati. Spektrokopi NMR
khususnya digunakan pada studi molekul organik karena biasanya
membentuk atom hidrogen dengan jumlah yang sangat besar. Pada
spektrum hidrogen NMR menghadirkan beberapa resonansi yang
menjelaskan pertama bahwa molekul yang dipelajari mengandung
hidrogen. Kedua, jumlah pita dalam spektrum menunjukkan
bagaimana beberapa posisi yang berbeda pada molekul dimana
hidrogen melekat/menempel. Frekuensi dari beberapa resonansi
utama pada spektrum NMR menunjukkan perubahan kimia. Ini
sangat penting untuk menduga bagian dari spektrum NMR yang
mengandung informasi tentang lingkungan masing-masing atom
hidrogen dan struktur dari komponen yang dipelajari. Informasi
ketiga bahwa sebuah spektrum NMR menentukan perbandingan
luas/daerah pita yang berbeda, ini menjelaskan jumlah atom
hidrogen yang relatif yang keluar pada masing-masing posisi pada
molekul yang diperoleh.
Perbandingan ini petunjuk/bukti langsung struktur dari struktur
molekul dan harus mutlak sesuai untuk beberapa struktur yang
diusulkan sebelum struktur tersebut kemungkinan dipertimbangkan
benar. Struktur kompleks pita-pita dapat mengandung informasi
tentang jarak yang memisahkan beberapa atom hidrogen yang
melewati ikatan kovalen dan penyusun spasial atom hidrogen yang
melekat pada molekul, termasuk struktur dasarnya. Struktur dasar
menunjukkan pembungkusan atau penggabungan molekul yang
memiliki ikatan yang panjang, seperti struktur spiral DNA. Struktur
kompleks pita NMR pada mulanya spin coupling diantara beberapa
atom hidrogen. Penggabungan ini merupakan perputaran fungsi jarak
melintasi ikatan dan geometri molekul. Dalam kasus molekul kecil,
pita yang kompleks mungkin disimulasikan tepat dengan
perhitungan mekanika kuantum atau didekati menggunakan
mekanika kuantum yang sesuai dengan aturan.

Gambar 4. Instrumentasi NMR


Prinsip dalam spektrometri NMR yaitu bila sampel yang
mengandung1H atau 13C (bahkan semua senyawa organik)
ditempatkan dalam medan magnet, akan timbul interaksi antara
medan magnet luar tadi dengan magnet kecil (inti). Karena adanya
interaksi ini, magnet kecil akan terbagi atas dua tingkat energi
(tingkat yang sedikit agak lebih stabil (+) dan keadaan yang kurang
stabil (-)) yang energinya berbeda. Karena inti merupakan materi
mikroskopik, maka energi yang berkaitan dengan inti ini
terkuantisasi, artinya tidak kontinyu. Spektroskopi NMR merupakan
alat yang dikembangkan dalam biologi structural. Dasar dari
spektroskopi NMR adalah absorpsi radiasi elektromagnetik
dengan frekuensi radio oleh inti atom. Frekuensi radio yang
digunakan berkisar dari 0,1 sampai dengan 100 MHz. Bahkan,
baru-baru ini ada spektrometer NMR yang menggunakan radio
frekuensi sampai 500 MHz. Inti proton (atom hidrogen) dan
karbon (karbon 13) mempunyai sifat-sifat magnet. Bila suatu
senyawa mengandung hidrogen atau karbon diletakkan dalam bidang
magnet yang sangat kuat dan diradiasi dengan radiasi
elektromagnetik maka inti atom hidrogen dan karbon dari senyawa
tersebut akan menyerap energy melalui suatu proses absorpsi yang
dikenal dengan resonansi magnetik. Absorpsi radiasi terjadi bila
kekuatan medan magnet sesuai dengan frekuensi radiasi
elektromagnetik.
Proton tunggal 1H adalah isotop yang paling penting dalam
hidrogen. Isotop ini melimpah hampir 100% dan jaringan hewan
mengandung 80% air. 1H memproses momen magnetik yang besar
dari nuclei yang penting secara biologi. Ketika pada medan magnet
konstan, frekuensi NMR dari nuclei hanya bergantung pada momen
magnetnya, frekuensi 1H paling tinggi pada spektrometer
yang sama. Sebagai contoh, pada spektrometer 360 MHz untuk
1H, frekuensi untuk 31P adalah 145,76 MHz dan untuk 13C adalah
sekitar 90 MHz. 13C adalah isotop karbon yang dapat digunakan
untuk NMR. Di alam hanya ada 1,1%. Oleh karena itu, spektrum
13C yang diperoleh membutuhkan banyak waktu. Disamping itu
spektrum 13C lebarnya adalah 200 ppm, yang identifikasinya mudah
diperoleh pada metabolisme jaringan. Sensitivitas spektroskopi
13C dapat ditingkatkan dengan spektroskopi proton-observed
carbon-edited (Sastrohamidjojo, 1994).

5. Spektroskopi Sinar X
Prinsip dasar dari analisis spektroskopi sinar-X adalah seperti
halnya tehnik spektroskopi yang lain, yaitu terjadinya interaksi
antara energi dan materi. Dimana yang berfungsi sebagai enerigi
adalah radiasi elektromagnetik dan yang sebagai materi adalah atom
atau molekul dalam senyawa kimia, berkas-berkas elektron
eksternal. Pada spektroskopi sinar-X interaksi antara energi radiasi
elektromagnetik dengan materi akan menghasilkan transmisi
elektronik elektron di kulit dalam. Jika suatu sinar-X atau suatu
electron yang bergerak dengan kecepatan tinggi dari suatu atom,
maka energinya dapat diserap oleh atom. Jika sinar-X tersebut
mempunyai energi yang cukupmembuat sebuah electron keluar dari
salah satu kulit atom yang terluar misalnya kulit K sehingga atom
menjadi terionisasi, suatu electron dari kulit energi yang lebih tinggi,
misalnya kulit L jauh menempati posisi yang ditinggalkan electron
yang lebih dalam. Panjang gelombang dari emisi sinar-X
karakteristrik unsur yang ditembak (Robinson, 1995).

Gambar 5. Instrumentasi Spektroskopi sinar X


Sinar-X dihasilkan di suatu tabung sinar katode dengan
pemanasan kawat pijar untuk menghasilkan elektron-elektron,
kemudian elektron-elektron tersebut dipercepat terhadap suatu
target dengan memberikan suatu voltase, dan menembak target
dengan elektron. Ketika elektron-elektron mempunyai energi yang
cukup untuk mengeluarkan elektron-elektron dalam target,
karakteristik spektrum sinar-X dihasilkan. Spektrum ini terdiri atas
beberapa komponen-komponen, yang paling umum adalah Kα dan
Kβ. Ka berisi, pada sebagian, dari Kα1 dan Kα2. Kα1 mempunyai
panjang gelombang sedikit lebih pendek dan dua kali lebih
intensitas dari Kα2. Panjang gelombang yang spesifik merupakan
karakteristik dari bahan target (Cu, Fe, Mo, Cr). Disaring, oleh
kertas perak atau kristal monochrometers, yang akan menghasilkan
sinar-X monokromatik yang diperlukan untuk difraksi. Tembaga
adalah bahan sasaran yang paling umum untuk diffraction kristal
tunggal, dengan radiasi Cu Kα =05418Å. Sinar-X ini bersifat
collimated dan mengarahkan ke sampel. Saat sampel dan detektor
diputar, intensitas Sinar X pantul itu direkam. Ketika geometri dari
peristiwa sinar-X tersebut memenuhi persamaan Bragg, interferens
konstruktif terjadi dan suatu puncak di dalam intensitas terjadi.
Detektor akan merekam dan memproses isyarat penyinaran ini dan
mengkonversi isyarat itu menjadi suatu arus yang akan dikeluarkan
pada printer atau layar computer (Kardiawan, 1994).

6. Kromatografi
Kromatografi adalah teknik untuk memisahkan campuran
menjadi komponennya dengan bantuan perbedaan sifat fisik masing-
masing komponen. Alat yang digunakan terdiri atas kolom yang di
dalamnya diisikan fasa stasioner (padatan atau cairan). Campuran
ditambahkan ke kolom dari ujung satu dan campuran akan bergerak
dengan bantuan pengemban yang cocok (fasa mobil). Pemisahan
dicapai oleh perbedaan laju turun masing-masing komponen dalam
kolom, yang ditentukan oleh kekuatan adsorpsi atau koefisien partisi
antara fasa mobil dan fasa diam (stationer). Komponen utama
kromatografi adalah fasa stationer dan fasa mobil dan kromatografi
dibagi menjadi beberapa jenis bergantung pada jenis fasa mobil dan
mekanisme pemisahannya (Khopkar, 2003). Adapun jenis – jenis
kromatografi adalah kromatografi cair knerja tinggi, kromatografi
penukar ion, kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis.
a. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Kromatografi Cair Tenaga Tinggi (KCKT) atau biasa juga
disebut dengan High Performance Liquid Chromatography
(HPLC) merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat
digunakan baik untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. HPLC
secara mendasar merupakan sebuah perkembangan tingkat tinggi
dari kromatografi kolom. Selain dari pelarut yang menetes
melalui kolom di bawah pengaruh gravitasi, HPLC didukung
oleh pompa yang dapat memberikan tekanan tinggi sampai
dengan 400 atm. Hal ini membuat HPLC dapat memisahkan
komponen sampel lebih cepat. Saat ini, HPLC merupakan teknik
pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan
pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel dalam berbagai
bidang, antara lain : farmasi, lingkungan, bioteknologi, polimer,
dan industri-industri makanan. Beberapa perkembangan HPLC
terbaru antara lain : miniaturisasi sistem HPLC, penggunaan
HPLC untuk analisis asam-asam nukleat, analisis protein, analisis
karbohidrat, dan analisis senyawa-senyawa kiral.
HPLC adalah singkatan dari High Performance Liquid
Cromatography, yaitu alat yang berfungsi mendorong analit
melalui sebuah kolom dari fase diam ( yaitu sebuah tube dengan
partikel bulat kecil dengan permukaan kimia tertentu) dengan
memompa cairan (fase bergerak) pada tekanan tinggi melalui
kolom. Sampel yang akan dianalisis dijadikan dalam volume
yang kecil dari fase bergerak dan diubah melalui reaksi kimia
oleh fase diam ketika sampel melalui sepanjang kolom. Tujuan
penggunaan alat ini adalah mengetahui kadar asam organik
(Synider and Kirkland, 1979).
HPLC atau High Performance Liquid Chromatography
menggunakan metode kolom. Kromatografi cair ini
menggunakan kolom tabung gelas yang bermacam-macam
diameternya. Luas puncak kromatografi yang dihasilkan pada
kurva elusi menggunakan HPLC, dapat dipengaruhi oleh tiga
proses perpindahan massa, yaitu difussi eddy, difusi longitudinal,
dan transfer massa tidak seimbang. Sedangkan parameter-
parameter yang menentukan berlangsungnya proses-proses
tersebut adalah laju aliran ukuran partikel, dan laju difusi dari
ketebalan stasioner. Prinsip dasar dari HPLC adalah memisahkan
setiap komponen dalam sample untuk selanjutnya diidentifikasi
(kualitatif) dan dihitung berapa konsentrasi dari masing-masing
komponen tersebut (kuantitatif). Sebetulnya hanya ada dua hal
utama yang menjadi krusial point dalam metode HPLC. Yang
pertama adalah proses separasi/pemisahan dan yang kedua adalah
proses identifikasi. Dua hal ini mejadi faktor yang sangat penting
dalam keberhasilan proses analisa (Khopkar, 2008).

Gambar 6. Instrumentasi KCKT


Prinsip dasar dari KCKT atau HPLC adalah pemisahan
analit-analit berdasarkan kepolarannya dengan bantuan pompa
bertekanan tinggi untuk mendorong fasa gerak. Adapun prinsip
kerja dari alat HPLC adalah ketika suatu sampel yang akan diuji
diinjeksikan ke dalam kolom maka sampel tersebut kemudian
akan terurai dan terpisah menjadi senyawa-senyawa kimia (
analit ) sesuai dengan perbedaan afinitasnya. Hasil pemisahan
tersebut kemudian akan dideteksi oleh detector (spektrofotometer
UV, fluorometer atau indeks bias) pada panjang gelombang
tertentu, hasil yang muncul dari detector tersebut selanjutnya
dicatat oleh recorder yang biasanya dapat ditampilkan
menggunakan integrator atau menggunakan personal computer
(PC) yang terhubung online dengan alat HPLC tersebut.
Pemisahan dengan HPLC dapat dilakukan dengan fase normal
(jika fase diamnya lebih polar dibanding dengan fase geraknya)
atau fase terbalik (jika fase diamnya kurang non polar dibanding
dengan fase geraknya). Berdasarkan pada kedua pemisahan ini,
sering kali HPLC dikelompokkan menjadi HPLC fase normal
dan HPLC fase terbalik.

b. Kromatografi Gas
Kromatografi gas merupakan salah satu teknik pemisahan
senyawa berdasarkan perbedaan distribusi pergerakan yang
terjadi di antara fase gerak dan fase diam untuk pemisahan
senyawa yang berada pada larutan. Senyawa gas yang terlarut
dalam fase gerak, akan melewati kolom partisi yang merupakan
fase diam. Senyawa yang memiliki kesesuaian kepolaran dengan
bahan yang berada di dalam fase diam yang diletakkan di dalam
kolom partisi akan cenderung bergerak lebih lambat daripada
senyawa yang memiliki perbedaan kepolaran dengan bahan yang
ada di kolom partisi(Faricha et al, 2014).

Gambar 7. Instrumentasi Kromatografi Gas


Penggunaan suhu yang meningkat (biasanya pada kisaran 50-
350°C) bertujuan untuk menjamin bahwa solute akan menguap
dan karenanya akan cepat terelusi (Gandjar dan Rohman, 2007).
Waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan di
kolom disebut waktu tambat (waktu retensi, retention time, Rt)
yang diukur mulai saat penyuntikan sampel sampai saat elusi
terjadi (dihasilkan puncak atau peak) (Gritter, dkk., 1985).
Komponen campuran dapat diidentifikasikan dengan
menggunakan waktu tambat (waktu retensi) yang khas pada
kondisi yang tepat. Waktu tambat ialah waktu yang menunjukkan
berapa lama suatu senyawa tertahan dalam kolom. waktu tambat
diukur dari jejak pencatat pada kromatogram dan serupa dengan
volume tambat dalam KCKT ( kromatografi cair kinerja tinggi )
dan Rf dalam KLT ( kromatografi lapisan tipis ).

c. Kromatografi Penukar Ion


Kromatografi Pertukaran ion adalah proses pemurnian
senyawa spesifik di dalam larutan campuran atau proses
substitusi satu jenis senyawa ionik dengan yang lain terjadi pada
permukaan fase stasioner. Fase stasioner tersebut merupakan
suatu matriks yang kuat (rigid), yang permukaannya mempunyai
muatan, dapat berupa muatan positif maupun negatif. Mekanisme
pemisahan berdasarkan pada daya tarik elektrostatik.
Kromatografi pertukaran ion adalah jenis kromatografi yang
melibatkan reaksi kimia dalam pemisahannya. Dengan demikian,
kesetimbangan yang terjadi di permukaan berbeda dengan
kesetimbangan kromatografi lainnya. Komponen ionik akan
tertahan secara selektif karena berkaitan dengan penukar ion
yang ada pada fase diam. Kromatografi ini mempunyai
keterbatasan karena berkaitan dengan perhitungan kimia (Basset,
1994).
Gambar 8. Instrumentasi Kromatografi Penukar Ion
Menurut Hendayana (2010) bila matriks padat tersebut
mempunyai gugus fungsional yang bermuatan negatif seperti
gugus sulfonat (-SO3-), maka akan dapat berfungsi sebagai
penukar kation. Sebaliknya, bila bermuatan positif, misalnya
mempunyai gugus amin kuaterner (-N(CH)3+), maka akan dapat
berfungsi sebagai penukar anion. Kromatografi ini sangat
bermanfaat untuk memisahkan molekul – molekul bermuatan
terutama ion – ion baik anion maupun kation. Metode ini pertama
kali dikembangkan oleh seorang ilmuwan bernama Thompson
pada tahun 1850. Secara umum, teradapat dua jenis kromatografi
pertukaran ion, yaitu:
1) Kromatografi pertukaran kation, bila molekul spesifik yang
diinginkan bermuatan positif dan kolom kromatografi yang
digunakan bermuatan negatif. Kolom yang digunakan
biasanya berupa matriks dekstran yang mengandung gugus
karboksil (-CH2-CH2-CH2SO3- dan -O-CH2COO-). Larutan
penyangga (buffer) yang digunakan dalam sistem ini adalah
asam sitrat, asam laktat, asam asetat, asam malonat, buffer
MES dan fosfat.
2) Kromatografi pertukaran anion, bila molekul spesifik yang
diinginkan bermuatan negatif dan kolom kromatografi yang
digunakan bermuatan positif. Kolom yang digunakan
biasanya berupa matriks dekstran yang mengandung gugus -
N+(CH3)3, -N+(C2H5)2H, dan –N+(CH3)3. Larutan
penyangga (buffer) yang digunakan dalam sistem ini adalah
N-metil piperazin, bis-Tris, Tris, dan etanolamin.
Metode ini banyak digunakan dalam memisahkan molekul
protein (terutama enzim). Molekul lain yang umumnya dapat
dimurnikan dengan menggunakan kromatografi pertukaran ion
ini antara lain senyawa alkohol, alkaloid, asam amino, dan
nikotin. Kromatografi penukar ion dilakukan dengan fasa diam
yang mempunyai gugus fungsi bermuatan. Pada kromatografi
penukar anion ion cuplikan X- bersaing dengan ion fasa gerak Y-
terhadap bagian ionik pada penukar ion R. Pemisahan ion
sederhana berdasarkan pada perbedaan kekuatan interaksi ion
terlarut dengan resin. Jika senyawa terlarut berinteraksi lemah
dengan adanya ion fasa gerak, ion terlarut keluar awal pada
kromatogram, sedangkan senyawa terlarut yang berinteraksi kuat
dengan resin, berarti lebih kuat terikat dan keluar belakangan.

d. Kromatografi Kolom
Pemisahan komponen secara kromatografi kolom dilakukan
dalam suatu kolom yang diisi dengan fase stasioner dan cairan
(pereaksi) sebagai fase mobil untuk mengetahui banyaknya
komponen contoh yang keluar melalui kolom. Pengisian kolom
dilakukan dengan memasukkan adsorben dalam bentuk larutan
(slurry), dan partikelnya dibiarkan mengendap. Pemisahan
komponen secara kromatografi kolom bertujuan untuk
mengetahui komponen-komponen senyawa kimia yang dapat
terpisah dan kandungan senyawa aktifnya (Hayani, 2007).
Gambar 9. Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom merupakan metode kromatografi klasik
yang masih banyak digunakan. Kromatografi kolom digunakan
untuk memisahkan senyawa-senyawa dalam jumlah yang banyak
berdasarkan adsorpsi dan partisi. Kemasan adsorben yang sering
digunakan adalah silika gel G-60, kieselgur, Al2O3, dan Dianion.
Cara pembuatannya ada dua macam : Cara kering yaitu silika gel
dimasukkan ke dalam kolom yang telah diberi kapas kemudian
ditambahkan cairan pengelusi. Cara basah yaitu silika gel terlebih
dahulu disuspensikan dengan cairan pengelusi yang akan
digunakan kemudian dimasukkan ke dalam kolom melalui
dinding kolom secara kontinyu sedikit demi sedikit hingga
masuk semua, sambil kran kolom dibuka. Eluen dialirkan hingga
silika gel mapat, setelah silika gel mapat eluen dibiarkan
mengalir sampai batas adsorben kemudian kran ditutup dan
sampel dimasukkan yang terlebih dahulu dilarutkan dalam eluen
sampai diperoleh kelarutan yang spesifik. Kemudian sampel
dipipet dan dimasukkan ke dalam kolom melalui dinding kolom
sedikit demi sedikit hingga masuk semua, dan kran dibukadan
diatur tetesannya, serta cairan pengelusi ditambahkan. Tetesan
yang keluar ditampung sebagai fraksi-fraksi (Khopkar, 1990).

e. Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah suatu metode analisis
yang digunakan untuk memisahkan suatu campuran senyawa
secara cepat dan sederhana. Prinsipnya didasarkan atas partisi
dan adsorpsi. Zat penjerap merupakan fase stasioner, berupa
bubuk halus dibuat serba rata dan tipis diatas lempeng kaca. Fase
diam yang umum digunakan adalah silika gel, baik yang fasa
normal maupun fasa terbalik (Roy, dkk, 1991).
Suatu metode pemisahan komponen kimia berdasarkan
prinsip partisi dan adsorpsi antara fase diam (adsorben) dan fase
gerak (eluen), komponen kimia bergerak naik mengikuti cairan
pengembang karena daya serap adsorben (silika gel) terhadap
komponen-komponen kimia tidak sama sehingga komponen
dapat bergerak dengan kecepatan yang berbeda-beda berdasarkan
tingkat kepolarannya dan hal inilah yang menyebabkan
terjadinya pemisahan.
Pada proses pemisahan dengan kromatografi lapis tipis,
terjadi hubungan kesetimbangan antara fase diam dan fase gerak,
dimana ada interaksi antara permukaan fase diam dengan gugus
fungsi senyawa organik yang akan diidentifikasi yang telah
berinteraksi dengan fasa geraknya. Kesetimbangan ini
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : kepolaran fase diam, kepolaran
fase gerak, serta kepolaran dan ukuran molekul.
Gambar 10. Kromatografi Lapis Tipis
Pada kromatografi lapis tipis, eluent adalah fase gerak yang
berperan penting pada proses elusi bagi larutan umpan (feed)
untuk melewati fase diam (adsorbent). Interaksi antara adsorbent
dengan eluent sangat menentukan terjadinya pemisahan
komponen. Oleh sebab itu pemisahan komponen secara
kromatografi dipengaruhi oleh laju alir eluent dan jumlah umpan.
Eluent dapat digolongkan menurut ukuran kekuatan
teradsorpsinya pelarut atau campuran pelarut tersebut pada
adsorben dan dalam hal ini yang banyak digunakan adalah jenis
adsorben alumina atau sebuah lapis tipis silika. Suatu pelarut
yang bersifat larutan relatif polar, dapat mengusir pelarut yang
tak polar dari ikatannya dengan alumina (gel silika). Semakin
dekat kepolaran antara senyawa dengan eluen maka senyawa
akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut. Hal ini
berdasarkan prinsip “like dissolved like”.

H. APLIKASI INSTRUMEN ANALISA KIMIA


1. Spektroskopi
a. UV – Vis
Untuk menentukan zat organik seperti pewarna tekstil dan
anorganik seperti ion – ion logam yang biasanya merupakan
pencemar secara kualitatif dan kuantitatif dalam contoh air.
b. Infra merah
Untuk analisis gugus fungsi, analisis air dalam gliserol,
pengukuran kadar oksigen di dalam darah, dan analisis bahan
anorganik atau organometal.
c. AAS
Untuk menentukan zat – zat anorganik, seperti ion – ion logam
yang biasanya merupakan bahan pencemar dalam sampel
berbentuk cair secara kuantitatif.
d. NMR
Untuk menentukan struktur senyawa organik, memperoleh
informasi struktur dan resolusi dinamik atomik dan studi interaksi
molekuler dari makromolekul biologi pada kondisi larutan, dan
studi struktural protein.
e. Sinar X
Untuk menentukan struktur kristal dengan menggunakan Rietveld
refinement, analisis kuantitatif dari mineral, mengukur keacakan
dan penyimpangan kristal dan karakterisasi material kristal.
2. Kromatografi
a. Kromatografi Cair Tenaga Tinggi
Untuk menentukan pestisida secara kualitatif maupun kuantitatif di
dalam contoh uji berbentuk cair, menentukan kadar vitamin, dan
analisis obat.
b. Kromatografi Gas
Untuk analisis senyawa organik volatil, analisis minyak atsiri,
analisis cemaran pestisida, dan kandungan sulfate ion, SO42- (ion
sulfat) dan nitrogen trioxide ion, NO3- (nitrogen trioksida) yang
terdapat dalam air hujan untuk kontrol agar tidak terjadi hujan
asam.
c. Kromatografi Penukar Ion
Resin penukar kation untuk menurunkan kadar total dissolved solid
(tds) dalam limbah air terproduksi industri MIGAS, pemisahan Ce
dan Nd menggunakan resin dowex 50w-x8 melalui proses
pertukaran ion, pemisahan asam amino atau enzim-enzim, dan
pelunakkan air.
d. Kromatografi Kolom
Untuk pemisahan dan pemurnian senyawa hasil isolasi bahan alam
dan pemurnian campuran senyawa hasil sintesis.
e. Kromatografi Lapis Tipis
Untuk memantau proses reaksi atau sintesis, untuk pemisahan
campuran senyawa dari hasil isolasi, pemisahan campuran senyawa
hasil sintesis, dan menentukan eluen untuk kromatografi kolom.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan adalah sebagai
berikut.
1. Analisis kimia diartikan suatu rangkaian pekerjaan untuk memeriksa/
mengetahui/ menentukan kandungan dari suatu sampel dengan tujuan
tertentu. Rangkaian pekerjaan tersebut dapat berupa penentuan kadar
suatu komponen, komposisi, struktur, sifat fisis, sifat kimia, dan fungsi
senyawa. Analisis kimia terdiri dari dua bagian yaitu analisis kimia
kuantitatif dan analisis kimia kualitatif yang dibedakan berdasarkan
tujuan analisis.
2. Pencuplikan adalah memperoleh suatu sampel yang mewakili semua
komponen dn banyak komponen-komponen tersebut dalam suatu sampel
ruahan (bulk). Proses itu melibatkan suatu aplikasi statistik dalam arti
bahwa kita akan menarik kesimpulan mengenai susunan sampel ruahan
dri analisis terhadap bagian yang sangat kecil dari bahan itu.
3. Instrumen atau piranti ukur merupakan piranti untuk mengukur sesuatu
besaran selama dipengamatan. Piranti itu dapat berupa instrumen tuding
(indicating instrument) dan dapat berupa instrumen rekam (recording
instrument) yang bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai
sifat-sifat fisik, kimia dan biologi dari suatu keadan atau proses atau
untuk pengaturan sesuai dengan informasi yang diinginkan.
Instrumentasi dibedakan menjadi dua, yaitu spektroskopi dan
kromatografi.
B. Saran
1. Supaya melalui makalah ini, dapat memberikan manfaat bagi pembacanya,
di mana pembaca menjadi lebih paham mengenai beberapa metode dan
instrumen untuk analisa kimia dalam toksikologi lingkungan.
2. Menjadi motivasi atau pengetahuan yang baru tentang analisa kimia yang
menunjang ilmu toksikologi lingungan sehingga dapat dikembangkan
untuk menjalankan kehidupan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Basset, dkk.1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta:
EGC
Bassler. 1986, Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik, edisi keempat,
Erlangga, Jakarta
Bruice, P.Y. 2001. Organic Chemistry 3rd edition. Prentice Hall. New Jersey
Casarett & Doulls.1986.Toxicology.Collier Macmillan Canada, Toronto.
Day,R.A.1986.Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Kelima.Jakarta:Erlangga.
Douglas A. Skoog. 2003.Fundamentals of Analytical Chemistry 8th EDITION.
Brooks/Cole Pub Co
Faricha, Anifatul., Rivai Muhammad dan Suwito. 2014. Sistem Identifikasi Gas
Menggunakan Sensor Surface Acoustic Wave dan Metode Kromatografi.
Jurnal Teknik ITS. 3(2):157-162.
Gandjar, G.H., dan Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar
:Yogyakarta.
Gritter, R. J. Bobbit, J. M. Schwatting. 1985. Introduction of Chromatography.
Penerjemah: Kosasih Padmawinata. 1991. Pengantar Kromatografi. Edisi
ke-3. Bandung: Penerbit ITB. Hal: 36-39.
Harjadi,W.1986.Ilmu Kimia Analitik Dasar.Jakarta:PT Gramedia.
Hayani, E. 2007. Pemisahan Komponen Rimpang Temu Kunci Secara
Kromatografi Kolom. Buletin Teknik Pertanian 12 (1): 35-37
Hendayana, Sumar. 2010. Kimia Pemisahan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hendayana, S. 2000. Kimia Analitik Instrumen. Semarang. IKIP Semarang Press
Ibnu,S.2004.Kimia Analitik I (JICA).Malang: Universitas Negeri Malang.
Kardiawan, 1994, Sinar X, Jurusan Pendidikan Fisika IKIP, Bandung.
Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-Press
Khopkar,S.M.2003.Konsep Dasar Kimia Analitik.Jakarta: Universitas Indonesia
Khopkar, S.M. 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI Press : Jakarta
Lukum, P Astin,M.Si.2008.Bahan Ajar Dasar-Dasar Kimia
Analitik.Gorontalo:Universitas Negeri Gorontalo.
Robert M. Silverstein, Francis X. Webster, David J. Kiemle, David L. Bryce.
1967. Spectrometric Identification of Organic Compounds, 8th Edition. New
York: Willey & Sons
Robinson, W. J., 1995, Undergraduate Instrumental Analysis.
Roy J. Gritter, James M. Bobbit, Arthur E. S., 1991. Pengantar Kromatografi.
Penerbit ITB. Bandung.
Sastrohamidjojo, H. (1994). Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti (Nuclear
Magnetic Resonance, NMR). Yogyakarta: Liberty.
Setiono, L dan A. Hadtana P. 1994. Buku Ajar Vogel : Kimia Analisis Kuantitatif
Anorganik. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Sudjadi. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Synider, L. R. dan J.J Kirkland.1979. Introduction to Modern Liquid
Chromatography. New York : John Wiley & Sons, INC.
Wiryawan, Adam. 2011. Prinsip Titrasi. http://www.chem-is-
try.org/materi_kimia/instrumen_analisis/titrasi-volumetri/prinsip-titrasi/
Zulfikar. 2010. Volumetri. http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimia-
kesehatan/pemisahan-kimia-dan-analisis/volumetri/

Lampiran 1 : LATIHAN SOAL

I. Pilihan Ganda
1. Ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik yang dihasilkan dari suatu
kegiatan dan menimbulkan pencemaran lingkungan, disebut..
a. Patologi lingkungan
b. Toksikologi lingkungan
c. Bakteriologi lingkungan
d. Virologi lingkungan
e. Pencemaran lingkungan
2. Suatu rangkaian pekerjaan untuk memeriksa/ mengetahui/ menentukan
kandungan dari suatu sampel dengan tujuan tertentu, disebut..
a. Analisa kimia
b. Identifikasi kimia
c. Penelitian
d. Pemeriksaan sampel
e. Praktikum kimia
3. Secara umum analisis kimia dibagi menjadi dua bagian, yaitu..
a. analisis kimia fisik dan analisis kimia biologis
b. analisis kimia umum dan analisis kimia khusus
c. analisis kimia spesifik dan analisis kimia general
d. analisis kimia kualitatif dan analisis kimia kuantitatif
e. analisis kimia mikro dan analisis kimia makro
4. Menurut teknik dan instrumennya Analisis Kimia dibagi menjadi dua,
yaitu..
a. Analisis fisik dan Analisis biologis
b. Analisis kualitatif dan Analisis kuantitatif
c. Analisis umum dan Analisis khusus
d. Analisis mikro dan Analisis makro
e. Analisis konvensional (tradisional) dan Analisis instrumental
(modern)
5. Proses isolasi serta penimbangan suatu unsur atau senyawa tertentu dari
unsur tersebut, dalam bentuk yang semurni mungkin, disebut..
a. Analisis gravimetri
b. Analisis bobot susut
c. Analisis massa
d. Analisis kadar cairan
e. Analisis jumlah zat padat
6. Umumnya analisa kualitatif memberikan hasil berupa data secara..
a. Subjektif
b. Komulatif
c. Kolektif
d. Objektif
e. integratif
7. Sedangkan pada kuantitatif umumnya memberikan hasil berupa..
a. data matematis (numerik)
b. data persuasif
c. data deskriptif
d. data naratif
e. data subjectif
8. Metode analisis menggunakan instrumen dapat dibedakan menjadi..
a. Spekstrofotometri dan kromatografi
b. Spekstrometer dan kromatogram
c. Spekstrografi dan kromatometer
d. Spekstroskopi dan kromatometer
e. Spekstroskopi dan kromatografi
9. Prinsip dasar dari KCKT atau HPLC adalah..
a. pemisahan analit-analit berdasarkan massa jenisnya dengan
bantuan pompa bertekanan tinggi untuk mendorong fasa gerak
b. pemisahan analit-analit berdasarkan kepolarannya dengan
bantuan pompa bertekanan rendah untuk mendorong fasa diam
c. pemisahan analit-analit berdasarkan kepolarannya dengan
bantuan pompa bertekanan tinggi untuk mendorong fasa diam
d. pemisahan analit-analit berdasarkan titik didihnya dengan
bantuan pompa bertekanan tinggi untuk mendorong fasa gerak
e. pemisahan analit-analit berdasarkan kepolarannya dengan
bantuan pompa bertekanan tinggi untuk mendorong fasa gerak
10. Penggunaan suhu yang meningkat pada kromatografi gas biasanya pada
kisaran..
a. 30-450°C
b. 70-550°C
c. 50-350°C
d. 100-250°C
e. 150-350°C
11. Penggunaan suhu yang meningkat pada kromatografi gas tersebut,
bertujuan untuk..
a. menjamin bahwa solvent akan menguap dan karenanya akan
cepat terelusi
b. menjamin bahwa solute akan mengendap dan karenanya akan
cepat terelusi
c. menjamin bahwa solvent akan menguap dan karenanya tidak akan
cepat terelusi
d. menjamin bahwa solute akan menguap dan karenanya akan cepat
terelusi
e. menjamin bahwa solvent akan mengendap dan karenanya akan
cepat teroksidasi
12. Mekanisme pemisahan pada kromatografi penukar ion terjadi
berdasarkan pada..
a. daya tarik elektrostatik
b. daya tolak-menolak elektrostatik
c. daya tarik elektrodinamik
d. daya tarik antar-molekul
e. daya tarik antar-pelarut
13. Prinsip kromatografi lapis tipis didasarkan atas..
a. distribusi dan adsorpsi
b. absorpsi dan adsorpsi
c. interferensi dan adsorpsi
d. partisi dan adsorbansi
e. partisi dan adsorpsi
14. Pada kromatografi gas, senyawa yang memiliki kesesuaian kepolaran
dengan bahan yang berada di dalam fase diam yang diletakkan di dalam
kolom partisi akan..
a. cenderung bergerak lebih cepat daripada senyawa yang memiliki
perbedaan kepolaran dengan bahan yang ada di kolom partisi
b. cenderung bergerak lebih lambat daripada senyawa yang
memiliki persamaan kepolaran dengan bahan yang ada di kolom
partisi
c. cenderung bergerak lebih teratur daripada senyawa yang memiliki
perbedaan kepolaran dengan bahan yang ada di kolom partisi
d. cenderung bergerak lebih lambat daripada senyawa yang
memiliki perbedaan kepolaran dengan bahan yang ada di kolom
partisi
e. cenderung bergerak bersamaan daripada senyawa yang memiliki
perbedaan kepolaran dengan bahan yang ada di kolom partisi
15. Untuk menentukan struktur senyawa organik, memperoleh informasi
struktur dan resolusi dinamik atomik dan studi interaksi molekuler dari
makromolekul biologi pada kondisi larutan, dan studi struktural protein,
dapat digunakan instrumen..
a. XRD
b. GC
c. NMR
d. HPLC
e. Spektrofotometer UV-Vis

II. Esai
1. Metode analisis menggunakan instrumen dapat dibedakan menjadi
berapa? Sebutkan dan jelaskan!
2. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kerja pelarut
asam!
3. Jelaskan prinsip dari spektrometri NMR!
4. Sebutkan dan jelaskan dua cara pengemasan dalam kromatografi kolom!
5. Sebutkan beberapa keuntungan dari pencuplikan (sampling) menurut
Gerstman, 1998; Kothari, 1990; Cochran, 1977!
Lampiran II : KUNCI JAWABAN

I. Pilihan Ganda
1. B 6. D 11. D
2. A 7. A 12. A
3. D 8. E 13. E
4. E 9. E 14. D
5. A 10. C 15. C

II. Essai
1. Metode analisis menggunakan instrumen dapat dibedakan menjadi
spekstroskopi dan kromatografi. Metode spektroskopi merupakan metode
analisa yang didasarkan pada pengukuran serapan sinar monokromatis
oleh suatu lajur larutan berwarna pada panjang gelombamg spesifik
dengan menggunakan monokromator prisma atau kisi difraksi dengan
detektor fototube. Kromatografi adalah teknik untuk memisahkan
campuran menjadi komponennya dengan bantuan perbedaan sifat fisik
masing-masing komponen.
2. Kerja pelarut asam tergantung pada beberapa faktor:
a. Reduksi ion hidrogen oleh logam yang lebih aktif dari hidrogen,
misalnya:
Zn(s) + 2H+ Zn2+ + H2 (g)
b. Kombinasi ion hidrogen dengan anion suatu asam lemah, misalnya:
CaCO3(p) + 2H+ Ca2+ + H2O + CO2(g)
c. Sifat-sifat oksidasi dari anion asam, misalnya:
3Cu(p) + 2NO3- + 8H+ 3Cu2+ + 2NO(g) + 4H2O
d. Kecenderungan anion dari asam untuk membentuk kompleks yang
larut dengan kation zat yang ada dalam larutan, misalnya:
Fe3+ +Cl - FeCl2+
3. Prinsip dalam spektrometri NMR yaitu bila sampel yang mengandung 1H
atau 13C (bahkan semua senyawa organik) ditempatkan dalam medan
magnet, akan timbul interaksi antara medan magnet luar tadi dengan
magnet kecil (inti). Karena adanya interaksi ini, magnet kecil akan
terbagi atas dua tingkat energi (tingkat yang sedikit agak lebih stabil (+)
dan keadaan yang kurang stabil (-)) yang energinya berbeda. Karena inti
merupakan materi mikroskopik, maka energi yang berkaitan dengan inti
ini terkuantisasi, artinya tidak kontinyu.
4. Ada 2 cara, yaitu :
a. A Cara kering yaitu silika gel dimasukkan ke dalam kolom yang
telah diberi kapas kemudian ditambahkan cairan pengelusi.
b. Cara basah yaitu silika gel terlebih dahulu disuspensikan dengan
cairan pengelusi yang akan digunakan kemudian dimasukkan ke
dalam kolom melalui dinding kolom secara kontinyu sedikit demi
sedikit hingga masuk semua, sambil kran kolom dibuka.
5. Pencuplikan (sampling) memberikan sejumlah keuntungan (Gerstman,
1998; Kothari, 1990; Cochran, 1977):
a. Mengurangi biaya penelitian
b. Meningkatkan kecepatan pengumpulan dan analisis data
c. Meningkatkan akurasi pengumpulan data karena berkurangnya
volume kerja
d. Memperluas perolehan informasi tentang berbagai faktor.
MAKALAH TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN

LC50

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Toksikologi Lingkungan


Dosen Pembimbing: Dr. Pranoto, M.Sc.

Disusun oleh Kelompok IV:

1. Annisa Dinan Ghaisani (M0314007)


2. Diah Ayu Rivani (M0314019)
3. Ema Nova Fajariani (M0314025)
4. Fatimah Riska Prasetyaningrum (M0314034)
5. Intan Kartika C (M0314046)
6. Rafinda Marsha Aliestyani (M0314061)
7. Saras Nur Aisyiyah (M0315058)

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
ini dengan lancar. Tujuan yang hendak kami capai dalam pembuatan tugas
makalah ini yaitu menjelaskan tentang Dinamikan Toksikan dalam Lingkungan.
Dalam penyusunan tugas ini, kami mendapat bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada:
10. Bapak Dr. Pranoto, M.Sc. selaku dosen MKP Toksikologi Lingkungan.
11. Orang tua yang telah memberi dukungan
12. Teman – teman yang telah memberikan saran dan bantuan dalam
pembuatan tugas ini.
Kami harap tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila terjadi
kesalahan dalam penulisan ini, kritik dan saran sangat kami harapkan.

Surakarta, 8 Nopember 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i


KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
G. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
H. Rumusan Masalah ................................................................................................. 2
I. Tujuan.................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3
A. Lethal Concentration-50 (LC50)............................................................................ 3
B. Metode Dalam Penentuan Lethal Concentration-50 (LC50) ................................. 4
C. Klasifikasi dari Lethal Concentration-50 (LC50) .................................................. 6
D. Cara Perhitungan LC50 dari BSLT ...................................................................... 13
BAB III KESIMPULAN ............................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 17
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kriteria tingkatan nilai toksisitas akut LC50-48 jam pada lingkungan
perairan .............................................................................................................................. 6
Tabel 2. Kategori nilai LC50 .............................................................................................. 7
Tabel 3. Hubungan tanda keracunan dengan organ tubuh dan sistem saraf ..................... 9
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan yang besar di dunia yang memiliki wilayah
laut sangat luas, dua pertiganya merupakan wilayah laut, indonesia memiliki
sumber daya alam hayati laut yang besar. Salah satu sumber daya alam
tersebut adalah ekosistem terumbu karang. Ekosistem terumbu karang
merupakan bagian dari ekosistem laut yang menjadi sumber kehidupan bagi
beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu karang bisa hidup
lebih dari 300 jenis karang, lebih dari 200 jenis ikan dan berpuluh-puluh jenis
moluska, krustasea, sponge, algae, lamundan biota lainnya .
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) memacu
terjadinya pencemaran lingkungan baik pencemaran air, tanah dan udara.
Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan kimia
(Casarett and Doulls, 1995). Selain itu toksikologi juga mempelajari
jelas/kerusakan/ cedera pada organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang
diakibatkan oleh suatu materi substansi/energi, mempelajari racun, tidak saja
efeknya, tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme dan
mempelajari kerja kimia yang merugikan terhadap organisme. Banyak sekali
peran toksikologi dalam kehidupan sehari-hari tetapi bila dikaitkan dengan
lingkungan dikenal istilah toksikologi lingkungan dan ekotoksikologi.
Sifat spesifik dan efek suatu paparan secara bersama-sama akan
membentuk suatu hubungan yang lazim disebut sebagai hubungan dosis-
respon. Hubungan dosis-respon tersebut merupakan konsep dasar dari
toksikologi untuk mempelajari bahan toksik :
a. Penggunaan hubungan dosis-respon dalam toksikologi harus
memperhatikan beberapa asumsi dasar. Asumsi dasar tersebut adalah:
Respon bergantung pada cara masuk bahan dan respon berhubungan
dengan dosis
b. Adanya molekul atau reseptor pada tempat bersama bahan kimia
berinteraksi dan menghasilkan suatu respon
c. Respon yang dihasilkan dan tingkat respon berhubungan dengan kadar
agen pada daerah yang reaktif
d. Kadar pada tempat tersebut berhubungan dengan dosis yang masuk
Dari asumsi tersebut dapat digambarkan suatu grafik atau kurva
hubungan dosis-respon yang memberikan asumsi :
(1) Respon merupakan fungsi kadar pada tempat tersebut.
(2) Kadar pada tempat tersebut merupakan fungsi dari dosis.
(3) Dosis dan respon merupakan hubungan kausal.
Pada kurva dosis-respon nampak informasi beberapa hubungan antara
jumlah zat kimia sebagai dosis, organisme yang mendapat perlakuan dan
setiap efek yang disebabkan oleh dosis tersebut. Toksikometrik merupakan
istilah teknis untuk studi dosis-respon, yang dimaksudkan untuk
mengkuantifikasi dosis-respon sebagai dasar ilmu toksikologi.
Toksisitas adalah kemampuan suatu bahan atau senyawa kimia untuk
menimbulkan kerusakan pada saat mengenai bagian dalam atau permukaan
tubuhyang peka. Uji toksisitas digunakan untuk mempelajari pengaruh suatu
bahan kimia toksik atau bahan pencemar terhadap organisme tertentu. Dalam
toksikologi dan uji toksisitas sering digunakan istilah-istilah berikut:
1. Akut : tanggapan berat dan cepat terhadap rangsang, biasanya dalam
waktu 4 hari untuk ikan dan biota akuatik lainnya.
2. Letal : rangsang pada konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian
secara langsung.
3. Bioassay ( uji hayati) : suatu test atau uji yang menggunakan organisme
hidup untuk mengetahui efektifitas suatu bahan hidup ataupun bahan
organik dan anorganik terhadap suatu organisme hidup.
4. Lethal Dose-50/LD50 : dosis bahan toksik yang dapat menyebabkan
kematian 50% populasi organisme uji dalam periode waktu tertentu.
5. Lethal Concentration-50(LC50) : konsentrasi atau kadar bahan toksik
yang dapat menyebabkan kematian 50% populasi atauorganisme uji dalam
periode waktu tertentu.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Lethal Concentration-50 atau LC50?
2. Metode apa saja yang digunakan dalam penentuan Lethal
Concentration-50 atau LC50?
3. Bagaimanakah klasifikasi dari Lethal Concentration-50 atau LC50?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Lethal Concentration-50 atau LC50
2. Untuk mengetahui metodeyang digunakan dalam penentuan Lethal
Concentration-50 atau LC50
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari Lethal Concentration-50 atau LC50

BAB II
PEMBAHASAN

A. Lethal Concentration-50 (LC50)


Uji toksisitas merupakan uji hayati yang berguna untuk
menentukan tingkat toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar dan
digunakan juga untuk pemantauan rutin suatu limbah. Suatu senyawa
kimia dikatakan bersifat “racun akut” jika senyawa tersebut dapat
menimbulkan efek racun dalam jangka waktu singkat. Suatu senyawa
kimia disebut bersifat “racun kronis” jika senyawa tersebut dapat
menimbulkan efek racun dalam jangka waktu panjang (karena kontak yang
berulang-ulang walaupun dalam jumlah yang sedikit).
Ada tiga cara utama bagi senyawa kimia untuk dapat memasuki
tubuh, yaitu melalui paru-paru (pernafasan), mulut, dan kulit. Melalui
ketiga rute tersebut, senyawa yang bersifat racun dapat masuk ke aliran
darah, dan kemudian terbawa ke jaringan tubuh lainnya. Yang menjadi
perhatian utama dalam toksisitas adalah kuantitas/dosis senyawa tersebut.
Sebagian besar senyawa yang berada dalam bentuk murninya memiliki
sifat racun (toksik). Sebagai contohnya adalah senyawa oksigen yang
berada pada tekanan parsial 2 atm adalah bersifat toksik. Konsentrasi
oksigen yang terlalu tinggi dapat merusak sel.
LC50 (Median Lethal Concentration) yaitu konsentrasi yang
menyebabkan kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat
diestimasi dengan grafik dan perhitungan, pada suatu waktu pengamatan
tertentu, misalnya LC50 48 jam, LC50 96 jam sampai waktu hidup hewan
uji.
Suatu konsentrasi mematikan (Lethal Concentration) adalah analisa
secara statistik yang menggunakan uji Whole Effluent Toxicity (WET)
untuk menaksir lethalitas sampel effluen. Test akut digunakan di
Wisconsin untuk menaksir kondisi "akhir dari pipa" (yaitu, effluent yang
tidak dilemahkan, sebagai adanya dibebaskan pada lingkungan).
Konsentrasi effluen dimana 50% dari organisme mati selama test (LC50)
digunakan sebagai pemenuhan titik akhir (endpoint) untuk Test Whole
Effluent Toxicity (WET) akut.
Menurut Meyer dkk. (1982) tingkat toksisitas dari ekstrak tanaman
dapat ditentukan dengan melihat harga LC50-nya. Apabila harga LC50 lebih
kecil dari 1000 μg/ml dikatakan toksik, sebaliknya apabila harga LC50
lebih besar dari 1000 μg/ml dikatakan tidak toksik. Tingkat toksisitas
tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai
antitumor. Semakin kecil harga LC50 semakin toksik suatu senyawa.
B. Metode Dalam Penentuan Lethal Concentration-50 (LC50)
LC50 merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan
derajat toksisitas bahan kimia terhadap makhluk hidup. Alasan
penggunaan nilai ini karena secara eksperimental pengaruh terhadap 50%
dari populasi uji adalah pengukuran toksisitas yang paling mudah diulang
dan ditentukan. LC50 digunakan untuk perlakuan secara inhalasi atau
percobaan toksisitas dalam media air (Klaassen, 1986). Penunjukan efek
toksik yang dihasilkan memberikan indikasi terganggunya proses
pembentukan sel. Dalam hal ini diasumsikan sebagai sel kanker (Anderson
et.al., 1991).
Metode yang telah dikembangkan untuk menentukan nilai LC50
antara lain metode grafik, metode parametrik (probit dan metode logit),
metode non-parametrik (Spearmen-Karber dan Trimmed Spearmen-
Karber), serta interpolasi numerik (moving avarage). Namun, tidak semua
metode sesuai untuk semua data dan metode perhitungan LC50 tidak dapat
dipilih sebelum seluruh pengujian selesai., yaitu :
a. Cara Weil
Cara atau metode Weil ini menggunakan tabel Weil yang telah
ada, dimana tabel tersebut berisi tentang respons dan koefisien
nomor/angka. Pada tabel Weil juga terdiri dari beberapa kelompok
subjek untuk tiap dosis obat, dimana 4 atau lebih kelompok dosis
yang beda dapat digunakan dan jika diukur tiap kelompok menjadi
sama merupakan syarat pada tabel Weil.
Rumus :
Log m = log D + d(f+1)
Ket :
M = nilai LC50
D = dosis terkecil yang digunakan
d = log dari kelipatan dosis
f = suatu nilai dalam tabel weil, karena angka kematian tertentu (r)
b. Metode Probit
Analisis probit merupakan suatu metode yang telah digunakan
secara luas untuk menghitung toksisitas dengan cara
membandingkan setiap konsentrasi ataupun dosis. Metode Probit
ini terutama digunakan untuk menghitung nilai LD50 atau LD95atau
jika presentase kematian yang diperoleh pada uji toksisitas
menunjukkan kurang dari 16% atau lebih dari 84%.
Dalam penggunaan metode probit syaratnya adalah :
1. Memiliki tabel probit
2. Menentukan nilai probit dari setiap % kematian tiap kelompok
hewan uji.
3. Menentukan log dosis tiap-tiap kelompok.
4. Menentukan persamaan garis lurus hubungan antara nilai probit
dengan log dosis.
5. Memasukkan nilai 5 (probit 50% kematian hewan uji) pada
persamaan garis lurus.
Persamaanya :
Y = mX + b
Ket :
Y = 5 = nilai probit dari 50 % kematian hewan coba
X = merupakan nilai LC50 ketika diubah menjadi antilog X.
c. Cara Farmakope Indonesia III ( FI III)
Jika menggunakan cara FI III, maka syarat yang harus dipenuhi adalah
:
1. Dosis yang digunakan merupakan seri dari kelipatan yang tetap
2. Hewan uji yang digunakan harus sama untuk setiap kelompok uji
3. Dosis yang digunakan untuk uji harus mematikan hewan uji mulai
dari 0-100% dan hitungan terbatas pada rentang tersebut.
Rumus :
M = a-b ( - 0,5)
Ket :
M = Log LD50
A = Logaritma dosis terendah yang masih menyebabkan jumlah
kematian 100% tiap kelompok
B = beda log dosis yang berurutan
Pi = jumlah hewan yang mati menerima dosis i dibagi jumlah hewab
seluruhnya yang menerima dosis i

C. Klasifikasi dari Lethal Concentration-50 (LC50)


Berdasarkan kepada lamanya, metode penambahan larutan uji
dan maksud serta tujuannya maka uji toksisitas diklasifikasikan sebagai
berikut (Rosianna, 2006) :
1. Klasifikasi menurut waktu, yaitu uji hayati jangka pendek (short term
bioassay), jangka menengah (intermediate bioassay) dan uji hayati
jangka panjang (long term bioassay).
2. Klasifikasi menurut metode penambahan larutan atau cara aliran
larutan, yaitu uji hayati statik (static bioassay), pergantian larutan
(renewal biossay), mengalir (flow trough bioassay).
3. Klasifikasi menurut maksud dan tujuan penelitian adalah
pemantauan kualitas air limbah, uji bahan atau satu jenis senyawa
kimia, penentuan toksisitas serta daya tahan dan pertumbuhan
organisme uji.
Untuk mengetahui nilai LC50 digunakan uji static. Ada dua tahapan
dalam penelitian (Rossiana, 2006), yaitu:
1. Uji Pendahuluan, untuk menentukan batas kritis konsentrasi yaitu
konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian terbesar mendekati 50%
dan kematian terkecil mendekati 50%.
2. Uji Lanjutan, setelah diketahui batas kritis, selanjutnya ditentukan
konsentrasi akut . Adapun kriteria toksisitas suatu perairan adalah
sebagai berikut (Wagner, et al., 1993; Rossiana, 2006) :
Tabel 1. Kriteria tingkatan nilai toksisitas akut LC50-48 jam pada
lingkungan perairan
Tingkat Racun Nilai (LC50) (ppm)
Racun Tinggi <1
Racun Sedang >1 dan <100
Racun Rendah >100

Nilai LC50 merupakan nilai yang digunakan untuk menyatakan


hasil pengujian apakah effluent yang masuk ke badan air penerima
mengandung senyawa toksik dalam konsentrasi tertentu menyebabkan
kematian hewan uji. Nilai LC50 sangat berguna untuk menentukan
klasifikasi zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya.

Tabel 2. Kategori nilai LC50


Kategori LC50 (mg/kgBB)
Supertoksik 5
Amat sangat toksik 5 – 50
Sangat Toksik 50 – 500
Toksik sedang 500 – 5000
Toksik ringan 5000 – 15000
Praktis tidak toksik >15000
Hal hal yang perlu diperhatikan dalam uji toksisitas guna memperoleh nilai
LC50 adalah sebagai berikut :
1. Cara Perlakuan
Umumnya perlakuan yang diberikan agar terjadi proses peracunan
sama dengan cara bagaimana orang akan terkena racun tersebut. Cara
paling umum adalah melalui mulut. Jika melalui mulut, zat itu harus
diberikan dengan sonde. Peracunan dengan cara mencampurkan zat
kimia dalam makanan mengakibatkan tidak tepatnya dosis dan
umumnya akan mengurangi toksisitas zat kimia.
Dalam pembuatan larutan atau suspensi zat yang toksik, diperlukan
bahan tambahan untuk memudahkan penggunaannya, bahkan jika zat
yang toksik tersebut merupakan cairan, diperlukan bahan pengecer.
Bahan bahan yang digunakan harus memiliki efek racun sekecil
mungkin atau bahkan tanpa efek beracun, dan tidak bereaksi dengan
zat yang toksik. Bahan bahan tersebut umumnya merupakan pelarut
seperti air, air garam, perasan sayur mayur, dadn turunan selulosa.
Volume zat yang toksik dalam larutan dan suspensi dapat
berpengaruh terhadap toksisitas. Volume yang terlalu besar dan
berlebihan dapat menyebabkan akibat tidak langsung terhadap hewan.
Sebaliknya jika volume dikurangi, konsentrasi akan naik, ini
merupakan kenyataan yang dpat meningkatkan toksisitas. Oleh karena
itu, jika sejumlah besar zat yang toksik digunakan pada hewan,
dianjurkan untuk diberikan dalam dosis yang terbagi.
Perlakuan melalui kulit dan pernapasan makin meningkat, tidak
hanya pada zat kimia yang ditunjukkan untuk penggunaan bagi
manusia, tetapi juga zat kimia yang membawa dampak gangguan
kesehatan untuk orang yang menanganinya.
2. Dosis dan Jumlah Hewan
Tujuan uji LC50 adalah menetapkan konsentrasi yang akan
membunuh 50% hewan dan menentukan slope kurva konsentrasi vs
respon. Oleh karena itu, selain penentuan dosis yang membunuh kira-
kira separuh dari hewan uji coba, dosis yang membunuh lebih dari
separuh (lebih disukai yang kurang dari 90%) dan dosis ketiga yang
membunuh kurang dari separuh ( lebih disukai yang lebih dari 10%).
Empat atau lebih dosis sering digunakan dengan harapan paling
sedikit tiga di antaranya akan jatuh pada deretan yang tepat.
Rasio kecil di antara dosis yang dipakai dapat diterima hanya
apabila informasi tentang pendekatan toksisitas akut tersedia. Jika
tidak, sebuah pendekatan dapat dihasilkan dengan sebuah uji coba
pendahuluan dengan prosedur seperti yang diusulkan Well(1952).
Dalam menetapkan LC50 banyak hewan yang diperlukan.Anjing
umumnya digunakan dalam jumlah yang jauh lebih sedikit.
3. Faktor Lingkungan
Kandang dapat mempengaruhi LC50 suatu zat kimia melalui
beberapa cara. Misalnya, LC50 isoproterenol pada tikus yang dikurung
sendiri kurang dari 50 mg/kg, sedangkan pada 10 tikus yang dikurung
bersama dalam satu kandang kira kira 800 mg/kg. Meskipun
demikian, pengaruh seperti ini terhadap nilai LC50 untuk kebanyakan
zat kimia hanya sedikit. Tipe kandang dan tipe kotoran juga dapat
mempengaruhi reaksi hewan terhadap zat yang toksik.
4. Temperatur
Kelembaban nisbi yang lebih tinggi dapat meningkatkan toksisitas
akut dan menghasilkan sebuah angka dosis LC50 yang lebih rendah.
Karena potensi pengaruh faktor-faktor ini terhadap LC50 kondisi
sebenarnya pada saat uji coba dilaksanakan harus dicatat dan
dilaporkan.
5. Pengamatan dan Pemeriksaan
Setelah perlakuan zat toksik hewan harus diperiksa tidak hanya
jumlah dan waktu kematian, tetapi juga saraf sentral, saraf otonom dan
pengaruh terhadap tingkah laku termasuk reaksi awal, intensitas, dan
lama reaksinya (Sperling, 1976). Rincian tipe tipe pengamatan yang
harus dikerjakan dan penilaian hasil pengamatan terhadap tanda tanda
keracunan dan organ yang dipengaruhi sebagai tuntunan untuk
mempermudah pengamatan hewan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hubungan tanda keracunan dengan organ tubuh dan sistem saraf

Jangka waktu pengamatan harus cukup lama sehingga adanya


akibat yang lambat atau tertunda, termasuk kematian, tidak akan
terlewat. Autopsi menyeluruh harus dilaksanakan pada setiap hewan
yang mati termasuk paling sedikit beberapa dari yang tetap hidup,
terutama hewan hewan yang mati termasuk paling sedikit beberapa
dari yang tetap hidup, terutama hewan-hewan yang abnormal saat
penghentian eksperimen.
6. Evaluasi Data ( Hubungan “Dosis-Respon” dan Nilai Ambang
Batas (NAB) Bahan Toksik )
Karena adanya variasi individual dalam setiap grup hewan itu tidak
mati pada dosis kimia yang sama. Oleh karena itu, frekuensi respons,
misalkan kematian, akan meningkat seiring meningkatnya dosis. Di
saat angka kematian akibat lain diplot terhadap dosis pada sebuah
skala logaritma, didapat kurva bentuk S.
Penyelidikan hubungan antara dosis atau konsentrasi dan kerja
suatu bahan kimia dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Menguji frekuensi efek yang timbul pada satu kelompok
objek percobaan dengan mengubah-ubah dosis (hubungan dosis-
reaksi=dose-respons relationship).
2. Mengubah-ubah dosis, kemudian mengukur intensitas kerja pada
satu objek percobaan (hubungandosis-kerja=dose-effect
relationship).
Pada cara yang pertama, jumlah objek percobaan yang
menunjukkan efek tertentu akan bertambah sampai maksimum,
sedangkan pada cara yang kedua,intensitas efek yang bertambah.
Perilaku efek suatu bahan kimia digambarkan sebagai peningkatan
dosis akan meningkatkan efek sampai efek maksimal tercapai.
Hubungan dosis-respon biasanya berciri kuantitatif dan haltersebut
yang membedakan dengan paparan di alam dimana kita hanya
mendapatkan kemungkinan perkiraan dosis. Suatu respon dari adanya
paparan dapat berupa respon respon yang mematikan (lethal response)
dan respon yang tidak mematikan (non-lethal response). Bahan kimia
dengan tingkat toksisitas rendah memerluikan dosis besar untuk
menghasilkan efek keracunan dan bahankimia yang sangat toksik
biasanya memerlukan dosis kecil untuk menghasilkan efek keracunan.
a) Hubungan Dosis-Reaksi
Karakteristik paparan dan efek bersama-sama yang
membentuk suatu hubungan korelasisering disebut sebagai
hubungan dosis-respon. Hubungan dosis-respon merupakan konsep
dasardalam toksikologi. Pengertian dosis respon dalam toksikologi
adalah proporsi dari sebuah populasiyang terpapar dengan suatu
bahan dan akan mengalami respon spesifik pada dosis, interval
waktudan pemaparan tertentu.
Hubungan dosis reaksi menentukan berapa persen dari suatu
populasi (misalnya sekelompok hewan percobaan) memberikan
efek/reaksi tertentu terhadap dosis tertentu dari suatu zat. Hasilnya
dapat digambarkan dalam diagram antara dosis dan jumlah individu
dalam kelompok yang menunjukkan efek yang diinginkan.
Banyaknya individu yang menunjukkan efek ini dengan
demikianmerupakan fungsi dosis. Pada kurva dengan gambar
secara linier terhadap dosis, maka dosis yang menyebabkan 50%
individu memberikan reaksi, digunakan sebagai besaran bagi
aktivitas (ED50) atau letalitas/kematian (LD50) dari senyawa yang
diperiksa.

b) Hubungan Dosis-Kerja
Ciri kurva dosis-kerja biasanya dijelaskan berdasarkan
interaksi antara bahan kimia dantempat kerja sesungguhnya yaitu
reseptor. Besarnya efek tergantung pada konsentrasi/dosis zat, juga
dari tetapan kesetimbangan atau tetapan afinitas yaitu parameter
yang menentukan kecenderungan bahan kimia untuk bereaksi
dengan reseptor.
Kurva dosis-kerja dapat juga ditinjau sebagai kurva dosis-
reaksi untuk suatu populasi darisatuan efektor, tiap efektor akan
bereaksi menurut hukum “semua atau tak satupun‟ (all or none).
Implikasinya adalah bahwa reaksi suatu efektor merupakan andil
tertentu bagi efek keseluruhan.Kurva dosis-kerja dengan demikian
menggambarkan peranan setiap efek tersebut secara komulatif.
Dosis, yang menyebabkan efektor memberi reaksi akan tersebar di
sekitar dosis yang menyebabkan50% satuan efektor bereaksi. Jika
50% dari satuan efektor memberikan reaksi maka akan timbul efek
yang merupakan 50% efek maksimum yang mungkin dapat dicapai
oleh senyawa tersebut.
Pada kurva dosis-kerja, dapat dibedakan dua parameter: (1)
afinitas, dan (2) aktivitas instrinsik. Pada prinsipnya sebuah zat
harus mempunyai afinitas terhadap reseptor khas agar
dapatmenimbulkan efek tertentu. Afinitas dapat ditentukan dari
dosis yang dibutuhkan untuk mencapai efek tertentu misalnya 50 %
efek maksimum. Kalau dosis tinggi berarti afinitas rendah, kalau
dosis kecilberarti afinitas besar. Disamping afinitas, suatu zat dapat
mempunyai kemampuan untuk menyebabkan perubahan di dalam
molekul reseptor dan melalui beberapa tingkat reaksi berikutnya
baru kemudian dicapai efek sesungguhnya. Sifat ini disebut
aktivitas intrinsik senyawa bersangkutan. Hal ini menentukan
besarnya efek maksimun yang dapat dicapai oleh senyawa tersebut.
Banyak bahan kimia memiliki afinitas terhadap reseptor khas
akan tetapi tidak mempunyaiaktivitas intrinsik. Zat ini disebut
antagonis kompetitif, dapat bereaksi dengan reseptor akan
tetapitidak menimbulkan efek. Tetapi senyawa ini mampu bersama
pada tempat kerja dengan zat yangmempunyai baik afinitas
maupun aktivitas instrinsik.
c) Hubungan Waktu-Kerja
Jika eksposisi suatu zat hanya terjadi satu kali, seperti pada
keracunan akut, mula-mula efek akan naik tergantung pada laju
absorpsi dan kemudian efek akan turun tergantung pada laju
eliminasi. Di bawah konsentrasi plasma tertentu disebut konsentrasi
sub-efektif atau subtoksik,sedangkan mulai dari konsentrasi
tersebut dinamakan konsentrasi efektif/toksik.
Dengan demikian pada prinsipnya ada tiga cara untuk
mencegah atau menekan efek toksik,yaitu:
• Memperkecil absorpsi atau laju absorpsi, sehingga konsentrasi
plasma tetap berada di bawahdaerah toksik. Hal ini dapat
dicapai dengan penggunaan adsorbensia, misalnya karbon aktif,
dengan pembilasan lambung atau dengan mempercepat
pengosongan lambung-usus dengan laksansia garam. Hal ini
akan mengubah fase eksposisi.
• Meningkatkan eliminasi zat toksik dan/atau pembentukan suatu
kompleks yang tak aktif. Eliminasi dapat ditingkatkan dengan
mengubah pH urin, misalnya dengan pembasaan urin dan
diuresis paksa pada keracunan barbiturat, sedangkan
pembentukan khelat dipakai untuk inaktivasi ionlogam yang
toksik. Hal ini akan mengubah fase toksokinetik.
• Memperkecil kepekaan objek biologik terhadap efek. Dalam hal
ini konsentrasi plasma tak dipengaruhi, akan tetapi batas kritis
konsentrasi toksik minimum ditinggikan. Hampir semua bentuk
penanganan keracunan secara simptomatik berdasarkan prinsip
ini.
Hubungan dosis respon dalam toksikometrik dapat ditentukan
menggunakan LD50. Misalnya ditemukan suatu senyawa kimia baru
dan untuk mengetahui efek toksiknya digunakan LD50. Jumlah
hewan percobaan paling sedikit 10 ekor untuk tiap dosis dengan
rentangdosis yang masuk paling sedikit 3 (dari 0 –100 satuan).
Hubungan dosis dan respon dituangkan dalam bentuk kurva dimana
kurvanya sudah tipikal sigmoid. Semakin banyak jumlah hewan uji
dan rentang dosisnya, kurva sigmoid akan lebih teramati. Dosis
yang terendah menyebabkan kematian hewan uji sebesar 1%.
Kurva sigmoid distribusi normal seperti ini menunjukkan respon
0% pada dosis yang rendah dan respon sebesar 100% pada dosis
yang meningkat tetapi respon tersebut tidak akan melebihi rentang
0–100 %.
Bagaimanapun juga setiap bahan kimia mempunyai threshold
dose yang tidak sama. Threshold dose adalah suatu dosis minimal
yang merupakan dosis efektif dimana dengan dosis yang minimal
tersebut individu sudah dapat memberikan atau menunjukkan
responnya, sehingga untuk tiap individu threshold dose ini pun
berbeda.
7. Potensi Relatif
Potensi masing masing toksikan jelas berbeda.Dianjurkan untuk
memeriksa pula confidence limit dan slope pada kurva dosis-respon.
Jika confidence limit dua LC50t umpang tindih, bahan dengan LC50
lebih rendah mungkin kurang beracun dibandingkan bahan lain.
Grafik yang lebih datar tampaknya menyebabkan lebih banyak
kematian.

D. Cara Perhitungan LC 50 dari BSLT


Lethal Concentration 50 atau biasa disingkat LC 50 adalah suatu
perhitungan untuk menentukan keaktifan dari suatu ekstrak atau senyawa.
Makna LC 50 adalah pada konsentrasi berapa ekstrak dapat mematikan 50
% dari organisme uji, misalnya larva Artemia salina (brine shrimp).
Penentuan LC 50 biasanya banyak digunakan dalam uji toksisitas
pada farmakologi. Perhitungan LC 50 yang sederhana belum banyak,
Perhitungan LC 50 pada Uji BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) ekstrak
Bakteri asal Spons. Berikut Langkah-langkahnya :
1. Buatlah tabel seperti berikut, kemudian masukkan nilai konsentrasi yang
dilakukan, Log10 konsentrasi dan Jumlah larva yang digunakan.

2. Jika sudah melakukan BSLT, tuliskan jumlah larva yang mati pada setiap
kolom Jumlah larva mati sesuai dengan konsentrasinya.
3. Hitung % mortalitasnya dengan cara = ((Jumlah yang mati / Jumlah total
Larva) × 100 %)
4. Perhatikan jumlah larva yang mati pada konsentrasi 0 atau kontrol. Jika
terdapat yang mati maka hitung mortalitas terkoreksi, sesuai ulangan.
5. Setelah % mortalitas terkoreksi didapatkan untuk setiap ulangan maka
rata-ratakan dengan membagi total mortalitas terkoreksi dengan jumlah
ulangan yang dilakukan. Masukkan hasil rata-rata tersebut ke kolom rata-
rata % mortalitas terkoreksi.
6. Cari nilai probit (probability unit) untuk mortalitas terkoreksi yang
didapatkan dan masukkan ke kolom probit. Mencari nilai probit dilakukan
dengan menyesuaikan tabel probit di bawah ini, misalnya mortalitas
terkoreksi 5,26 jika dicari nilai probitnya menjadi 5 = 3,36. Dalam tabel
probit tidak ada bilangan desimal, sehingga harus dibulatkan.

7. Jika nilai probit sudah ada, selanjutnya membuat grafik hubungan antara
nilai probit mortalitas (sumbu y) dan Log10Konsentrasi (sumbu x).
8. Jika sudah ditemukan persamaan grafik, selanjutnya dimasukkan nilai LC
50 yaitu nilai 5. Karena nilai lima mewakili 50% nilai probit atau 50%
kematian larva. Carilah nilai X dengan memasukkan nilai 5 ke persamaan
yang didapatkan. Kemudian tentukan LC50 dengan antilog(x) atau 10x.
LC50 dapat ditentukan dengan menggunakan perangkat lunak seperti R,
SAS, SPSS.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :


1. LC50 (Median Lethal Concentration) merupakan konsentrasi yang
menyebabkan kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat
diestimasi dengan grafik dan perhitungan.
2. Untuk menentukan LC50 dapat dilakukan dengan berbagai metode yaitu
cara weil, metode probit dan cara farmakope indonesia III ( FI III).
3. Uji toksisitas diklasifikasikan sebagai berikut :
a) Klasifikasi menurut waktu, yaitu uji hayati jangka pendek (short term
bioassay), jangka menengah (intermediate bioassay) dan uji hayati
jangka panjang (long term bioassay).
b) Klasifikasi menurut metode penambahan larutan atau cara aliran
larutan, yaitu uji hayati statik (static bioassay), pergantian larutan
(renewal biossay), mengalir (flow trough bioassay).
c) Klasifikasi menurut maksud dan tujuan penelitian adalah
pemantauan kualitas air limbah, uji bahan atau satu jenis senyawa
kimia, penentuan toksisitas serta daya tahan dan pertumbuhan
organisme uji.
Daftar Pustaka

Anderson, J. E., 1991. A Blind Comparison of Simple Bench-Top Bioassays and


Human Tumour Cell Cytotoxicities as Antitumor Prescreens. Phytochem. J
Anal. Vol. 2.
Doul J.,C.D.Klassen and M.O Amdur. 1986. Chemistry Carsinogen in Casarett
and Doull’s Hanbook of Toxicology the Basic Science of poisons 2nd Ed.,
New York : Mac Millan Publishing Co.
Rossiana, N. 2006. Uji Toksisitas Limbah Cair Tahu Sumedang terhadap
Reproduksi
Daphnia carinata KING. Jurnal Biologi. Jurusan Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran.
Bandung.
Wagner, M., Rudolf A.,L., Hilde L., Karl-Heinz. 1993. Probing Activated Sludge
with Oligonucleotides Specific for Proteobacteria: Inadequacy of Culture-
Dependent Methods for Describing Microbial Community Structure.
Applied And Environmental Microbiology. Vol. 59 (5) : 1520-1525
LAMPIRAN

LATIHAN SOAL

A. PILIHAN GANDA
1. Kemampuan suatu bahan atau senyawa kimia untuk menimbulkan
kerusakan pada saat mengenai bagian dalam atau permukaan tubuh yang
peka, disebut dengan...
a. LC50
b. Toksisitas
c. Reseptor
d. Toksikometrik
e. Toksikologi
2. Konsentrasi atau kadar bahan toksik yang dapat menyebabkan kematian
50% populasi atauorganisme uji dalam periode waktu tertentu, disebut....
a. Lethal Concentration-50(LC50)
b. Lethal Dose-50/LD50
c. Bioassay
d. Letal
e. Akut
3. Suatu senyawa kimia dikatakan bersifat “racun akut” jika senyawa tersebut
...
a. Menimbulkan efek racun dalam jangka waktu lama
b. Tidak menimbulkan efek racun
c. Menimbulkan efek racun dalam jangka waktu singkat
d. Mengeluarkan bau
e. Tidak mengeluarkan bau
4. Ada tiga cara utama bagi senyawa kimia untuk dapat memasuki tubuh,
yaitu...
a. paru-paru (pernafasan), mulut, dan kulit
b. paru-paru (pernafasan), mulut, dan telinga
c. paru-paru (pernafasan), hidung, dan tangan
d. paru-paru (pernafasan), telinga, dan kulit
e. paru-paru (pernafasan), mata, dan kaki
5. Metode yang digunakan untuk menghitung nilai LD50 atau LD95 atau jika
presentase kematian yang diperoleh pada uji toksisitas menunjukkan
kurang dari 16% atau lebih dari 84%, adalah...
a. Cara Weil
b. Cara Farmakope Indonesia III
c. Uji toksisitas
d. LC50
e. metode Probit
6. Uji hayati jangka pendek (short term bioassay), jangka menengah
(intermediate bioassay) dan uji hayati jangka panjang (long term
bioassay), merupakan klasifikasi menurut..
a. metode penambahan larutan
b. cara aliran larutan
c. maksud dan tujuan penelitian
d. waktu
e. kegiatan
7. Hal hal yang perlu diperhatikan dalam uji toksisitas guna memperoleh
nilai LC50 adalah, kecuali...
a. Cara perlakuan
b. Dosis dan jumlah hewan
c. Faktor lingkungan
d. Temperatur
e. Perbedaan umur
8. Suatu respon dari adanya paparan dapat berupa respon respon yang
mematikan, disebut juga dengan ...
a. lethal response
b. non-lethal response
c. dose-effect relationship
d. intermediate bioassay
e. renewal biossay
9. Berikut ini yang merupakan kriteria tingkatan nilai toksisitas akut LC50-48
jam pada lingkungan perairan dengan tingkat racun rendah, yaitu ...
a. < 1 ppm
b. >1 dan <100 ppm
c. 1-100 ppm
d. >100 ppm
e. >1 ppm
10. Kategori nilai LC50 pada 50-500 mg/kgBB, adalah...
a. Supertoksik
b. Amat sangat toksik
c. Toksik sedang
d. Toksik ringan
e. Sangat toksik
11. Kategori nilai LC50 yang merupakan praktis tidak toksik, memiliki rentang
nilai pada...
a. 5-50 mg/kgBB
b. 50-500 mg/kgBB
c. >15000 mg/kgBB
d. 500-5000 mg/kgBB
e. 5000-15000 mg/kgBB
12. Menetapkan konsentrasi yang akan membunuh 50% hewan dan
menentukan slope kurva konsentrasi vs respon, merupakan tujuan dari..
a. Uji toksikologi
b. Uji LC50
c. Uji ED50
d. Uji LD50
e. Toksisitas
13. Suatu dosis minimal yang merupakan dosis efektif dimana dengan dosis
yang minimal tersebut individu sudah dapat memberikan atau
menunjukkan responnya, disebut..
a. threshold dose
b. confidence limit
c. slope
d. probability unit
e. over dosis
14. Suatu senyawa kimia disebut bersifat “racun kronis” jika senyawa tersebut
...
a. menimbulkan efek racun dalam jangka waktu singkat
b. menimbulkan efek racun dalam jangka waktu panjang
c. menimbulkan bau
d. berubah bentuk
e. tidak menghasilkan efek apapun
15. Kategori nilai LC50 supertoksik, yaitu..
a. < 5 mg/kgBB
b. 5-50 mg/kgBB
c. 50-500 mg/kgBB
d. 500-5000 mg/kgBB
e. 5000-15000 mg/kgBB

B. URAIAN
1. Apa yang dimaksud dengan LC50 ?
Jawab : LC50 merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan
derajat toksisitas bahan kimia terhadap makhluk hidup. Alasan
penggunaan nilai ini karena secara eksperimental pengaruh terhadap
50% dari populasi uji adalah pengukuran toksisitas yang paling mudah
diulang dan ditentukan. LC50 digunakan untuk perlakuan secara
inhalasi atau percobaan toksisitas dalam media air.
2. Sebutkan syarat-syarat dalam penggunaan metode probit
Jawab :
6. Memiliki tabel probit
7. Menentukan nilai probit dari setiap % kematian tiap kelompok
hewan uji.
8. Menentukan log dosis tiap-tiap kelompok.
9. Menentukan persamaan garis lurus hubungan antara nilai probit
dengan log dosis.
10. Memasukkan nilai 5 (probit 50% kematian hewan uji) pada
persamaan garis lurus.
3. Sebutkan klasifikasi uji toksisitas menurut Rosianna, 2006
Jawab :
4. Klasifikasi menurut waktu, yaitu uji hayati jangka pendek (short
term bioassay), jangka menengah (intermediate bioassay) dan uji
hayati jangka panjang (long term bioassay).
5. Klasifikasi menurut metode penambahan larutan atau cara aliran
larutan, yaitu uji hayati statik (static bioassay), pergantian larutan
(renewal biossay), mengalir (flow trough bioassay).
6. Klasifikasi menurut maksud dan tujuan penelitian adalah
pemantauan kualitas air limbah, uji bahan atau satu jenis senyawa
kimia, penentuan toksisitas serta daya tahan dan pertumbuhan
organisme uji.
4. Apa saja Hal hal yang perlu diperhatikan dalam uji toksisitas guna
memperoleh nilai LC50
jawab :
a. Cara perlakuan
b. Dosis dan jumlah hewan
c. Faktor lingkungan
d. Temperatur
e. Pengamatan dan pemeriksaan
f. Evaluasi Data ( Hubungan “Dosis-Respon” dan Nilai Ambang
Batas (NAB) Bahan Toksik )
g. Potensi relatif
5. Tuliskan kategori nilai LC50
Jawab :
Kategori LC50 (mg/kgBB)
Supertoksik ≤5
Amat sangat toksik 5 – 50
Sangat Toksik 50 – 500
Toksik sedang 500 – 5000
Toksik ringan 5000 – 15000
Praktis tidak toksik >15000
MAKALAH KIMIA TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN
“TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN: BIOREMEDIASI”
Dosen pengampu: Dr. Pranoto, M. Sc.

Disusun oleh:
1. Arum Anindiyan Kusumaningtyas M0314011
2. Elsa Ninda Karlinda Putri M0314023
3. Grace Theodora M0314036
4. Sintia Wardani M0314070
5. Ucik Refani Kurnia S M0314076
6. Winda Maharditya M0315066

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


SURAKARTA
2017
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
DAFTAR ISI .......................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
D. Latar Belakang ........................................................................................1
E. Tujuan .....................................................................................................2
F. Rumusan Masaah ...................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................4
O. Bioremediasi Berbasis Tumbuhan .........................................................4
P. Bioremediasi Berbasis Mikroba ..............................................................7
Q. Bioremediasi Berbasis Hewan Tanah .....................................................10
R. Bioremediasi In Situ ................................................................................10
S. Bioremediasi Ex Situ ...............................................................................11
T. Bioremediasi dengan Bantuan Surfaktan ................................................14
U. Faktor-faktor yang Mempengaruhi .........................................................17
V. Kelebihan dan Kelemahan Bioremediasi ................................................19
BAB III PENUTUP ............................................................................................20
E. Kesimpulan..............................................................................................20
F. Saran ........................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................22
LAMPIRAN ........................................................................................................24
Latihan Soal ..................................................................................................24

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jenis Tanaman Hiperakumulator ..........................................................5


Tabel 2. Kondisi Optimal Pertumbuhan Mikroba dan Biodegradasi Hidrokarbon
.............................................................................................................................18
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Reaksi Kimia dalam Proses Bioremediasi Aerobik ..........................8
Gambar 2. Reaksi Proses Penguraian Benzene ...................................................8
Gambar 3. Reaksi Kimia Anaerob dalam Proses Bioremediasi ..........................8
Gambar 4. Reaksi Fermentasi Mikroorganisme pada Kontaminan Organik ......9
Gambar 5. Reaksi Reduksi Toluene ....................................................................9
Gambar 6. Ilustrasi Mikroorganisme Pemakan Minyak .....................................10
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat limpahan
rahmat, taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini. Makalah ini berjudul “TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN: BIOREMEDIASI”.
Makalah ini disusun bertujuan sebagai penunjang dalam mengetahui tentang
bioremediasi.
Diucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung proses
penyusunan makalah ini. Disadari bahwa makalah ini masih dikatakan belum
sempurna, namun kami sudah berusaha sebaik-baiknya. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi mahasiswa lainnya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, disampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha.

Surakarta, Desember 2017

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Proses industrialisasi akan memanfaatkan bahan baku kimia, fisika,
biologi yang akan menghasilkan buangan dalam bentuk gas, cair, dan padat yang
meningkat. Buangan ini tentunya akan menimbulkan perubahan kualitas
lingkungan yang mengakibatkan resiko pencemaran, sehingga resiko toksikologi
juga akan meningkat. Toksikologi lingkungan dibahas dalam kimia lingkungan
karena berhubungan dengan adanya perubahan lingkungan yang disebabkan oleh
kehadiran zat kimia. Selain itu, masih banyak perusahaan yang belum memiliki
kesadaran akan pentingnya instalasi pengolahan air limbah (IPAL), sedangkan
pencemaran limngkungan bukan hanya berasal dari kegiatan manusia, melainkan
juga dapat berasal dari alam seperti minyak bumi.
Suatu sistem pengolahan limbah diperlukan yang selain murah dan mudah
diterapkan, juga dapat memberi hasil yang optimal dalam mengolah dan
mengendalikan limbah sehingga dampaknya terhadap lingkungan dapat dikurangi.
Salah satu pemikiran yang dapat dikembangkan, adalah pemanfaatan sumberdaya
alam yang telah diketahui memiliki kaitan erat dengan proses penjernihan limbah
rumah tangga, dalam hal ini berbagai jenis tanaman air yang tumbuh pada kolam-
kolam atau genangan air di sekitar permukiman/industri.
Tanaman air merupakan bagian dari vegetasi penghuni bumi ini, yang media
tumbuhnya adalah perairan. Penyebaranya meliputi perairan air tawar, payau
sampai ke lautan dengan beraneka ragam jenis, bentuk dan sifatnya. Jika
memperhatikan sifat dan posisi hidupnya di perairan, tanaman air dapat dibedakan
dalam 4 jenis, yaitu; tanaman air yang hidup pada bagian tepian perairan, disebut

5
marginal aquatic plant; tanaman air yang hidup pada bagian permukaan perairan,
disebut floating aquatic plant; tanaman air yang hidup melayang di dalam
perairan, disebut submerge aquatic plant ; dan tanaman air yang tumbuh pada
dasar perairan, disebut the deep aquatic plant.
Kemampuan tanaman air menjernihkan limbah cair akhir-akhir ini banyak
mendapat perhatian. Berbagai Kemampuan tanaman air menjernihkan limbah cair
akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian (Yusuf, 2008). Berbagai penemuan
tentang hal tersebut telah dikemukakan oleh para peneliti, baik yang menyangkut
proses terjadinya penjernihan limbah, maupun tingkat kemampuan beberapa jenis
tanaman air. Hal tersebut antara lain dikemukakan oleh Stowell (2000) yang
menyatakan bahwa tanaman air memiliki kemampuan secara umum untuk
menetralisir komponen-komponen tertentu di dalam perairan, dan hal tersebut
sangat bermanfaat dalam proses pengolahan limbah cair. Selanjutnya Suriawiria
(2003) mengemukakan bahwa penataan tanaman air di dalam suatu bedengan-
bedengan kecil dalam kolam pengolahan dapat berfungsi sebagai saringan hidup
bagi limbah cair yang dilewatkan pada bedengan. Hal tersebut menunjukkan
bahwa kemampuan tanaman air untuk menyaring bahan-bahan yang larut di
dalam limbah cair potensial untuk dijadikan bagian dari usaha pengolahan limbah
cair. Demikian pula yang dikemukakan oleh Reed (2005) bahwa proses
pengolahan limbah cair dalam kolam yang menggunakan tanaman air terjadi
proses penyaringan dan penyerapan oleh akar dan batang tanaman air, proses
pertukaran dan penyerapan ion, dan tanaman air juga berperan dalam
menstabilkan pengaruh iklim, angin, cahaya matahari dan suhu.
Berdasarkan berbagai fakta dan penemuan tersebut, maka peluang untuk
memanfaatkan tanaman air pada proses bioremediasi limbah rumah tangga
ataupun industri sangat memungkinkan. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan

6
dibahas mengenai macam-macam jenis bioremediasi yang dapat diterapkan dalam
menangani pencemaran lingkungan.

B. TUJUAN
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mengetahui tentang bioremediasi berbasis tumbuhan.
2. Mengetahui tentang bioremediasi berbasis mikroba.
3. Mengetahui tentang bioremediasi berbasis hewan tanah.
4. Mengetahui tentang bioremediasi in situ.
5. Mengetahui tentang bioremediasi ex situ.
6. Mengetahui tentang bioremediasi dengan bantuan surfaktan.
7. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi bioremediasi.
8. Mengetahui kelebihan dan kelemahan bioremediasi.

C. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah makalah ini adalah:
1. Bagaimana yang dimaksud dengan bioremediasi berbasis tumbuhan?
2. Bagaimana yang dimaksud dengan bioremediasi berbasis mikroba?
3. Bagaimana yang dimaksud dengan bioremediasi berbasis hewan tanah?
4. Bagaimana yang dimaksud dengan bioremediasi in situ?
5. Bagaimana yang dimaksud dengan bioremediasi ex situ?
6. Bagaimana yang dimaksud dengan bioremediasi dengan bantuan surfaktan?
7. Bagaimana saja faktor-faktor yang mempengaruhi bioremediasi?
8. Bagaimana saja kelebihan dan kelemahan bioremediasi?

7
BAB II
PEMBAHASAN

Bioremediasi diartikan sebagai proses pendegradasian bahan organik


berbahaya secara biologis menjadi senyawa lain seperti karbondioksida (CO2),
metan, dan air. Bioremediasi merujuk pada penggunaan secara produktif proses
biodegradasi untuk menghilangkan atau mendetoksi polutan (biasanya
kontaminan tanah, air dan sedimen) yang mencemari lingkungan dan mengancam
kesehatan masyarakat. Bioremediasi dibagi menjadi enam, yaitu bioremediasi
berbasis tumbuhan, mikroba, hewan tanah, in situ, ex situ dan bioremediasi
dengan bantuan surfaktan.
A. Remediasi Berbasis Tumbuhan
Remediasi berbasisi tumbuhan atau fitoremediasi merupakan teknologi
proses yag menggunakan tumbuhan untuk menghilangkan atau memulihkan tanah
atau perairan yang telah terkontaminasi oleh logam berat (Gatliff, 1996). Proses
remediasi polutan dari dalam tanah atau air terjadi karena jenis tanaman tertentu
dapat melepaskan zat carriers, yang biasanya berupa senyawa kelat, protein,
glukosida, yang berfungsi mengikat zat polutan tertentu kemudian dikumpulkan
di jaringan tanaman, misalnya pada daun atau akar. Teknologi yang mulai
berkembang ini memanfaatkan kemampuan alamiah tanaman dalam menyerap,
mengakumulasikan dan mendegradasi senyawa pencemar serta menginterasikan
dengan mikroba tertentu (Hardiani, 2008). Oleh karena itu pemilihan jenis
tanaman merupakan salah satu factor keberjasilan dari fitoremediasi.
Tanaman yang mempunyai kemampuan menyerap logam berat dari tanah
oleh akar dan mengakumulasikan dalam berbagai organnya, dikenal sebagai
tanaman hiperakumulator. Jenis tanaman ini angat terbatas. Bebrapa penelitian

8
mengusulkan selain tanaman hiperakumulator, jenis tanaman hipertoleransi yang
mempunyai biomassa tinggi bisa juga digunakan sebagai tanaman alternatif dalam
fitoremediasi (Ebbs, 1998). Batas kadar logam yang terdapat di dalam biomassa,
agar suatu tamanam dapat disebut hiperakumulator berbeda-beda bergantung pada
jenis logamnya. Menurut lasat (2003) sebagai acuan tanaman bersifat
hiperakumulator adalah tanaman yang dapat menyerap logam berat, yang dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis Tanaman Hiperakumulator


Jenis Tanaman Unsur yang Diserap
Thiaspi caerulescens Zink (Zn) dan Kadmium (Cd)
Alyssum sp, Berkheya sp, Sebertia
Nikel (Ni)
acuminate
Brassicacea sp Sulfate
Pteris vittata, Pityrogramma
Arsenik (As)
calomelanos
Pteris vittata, Nicotiana tabacum,
Mercuri (Hg)
Liriodendron tulipifera
Thlaspi caerulescens, Alyssum Senyawa organik (petroleum hydrocarbons,
murale, Oryza sativa PCBs, PAHs, TCE juga TNT)
Brassica sp Emas (Au)
Brassica juncea Selenium (Se)

Fitoremidiasi secara umum dapat dibagi menjadi fitoekstraksi, rizofiltrasi dan


fitostabilisasi yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fitoekstraksi

9
Fitoekstraksi disebut juga fitoakumulasi adalah penyerapan senyawa-senyawa
pencemar logam oleh akar tanaman dan translokasi atau akumulasi senyawa itu ke
bagian tanaman seperti akar, daun atau batang (Hardiani, 2008). Logam
kontaminan dalam tanah: diserap oleh akar (penyerapan), pindah ke tunas
(translokasi), dan disimpan (akumulasi). Tanaman yang mengandung kontaminan
logam dapat dipanen atau dibuang, memungkinkan untuk pemulihan logam.
2. Rhizofiltrasi
Rhizofiltrasi (rhizo = akar) adalah pemanfaatan kemampuan akar tanaman
untuk menyerap, mengendapkan dan mengakumulasikan senyawa-senyaw
pencemar dari aliran limbah. Rhizofiltrasi mempunyai kesamaan dengan
fitoekstrasi tetapi berbeda pada media yang diolah. Pada rhizofiltrasi medianya
adalah air tanah, air permukaan dan air limbah, sedangkan fitoekstrasi medianya
adalah tanah, sedimen dan limbah padat (sludge) (Hardiani, 2008)
Tanaman yang digunakan untuk rhizoliltration tidak ditanam langsung di
situs tetapi harus terbiasa untuk polutan yang pertama. Tanaman hidroponik di
tanam pada media air, hingga sistem perakaran tanaman berkembang. Setelah
sistem akar yang besar pasokan air diganti untuk pasokan air tercemar untuk
menyesuaikan diri tanaman. Setelah tanaman menjadi acclimatised kemudian
ditanam di daerah tercemar di mana serapan akar air tercemar dan kontaminannya
sama. Setelah akar menjadi jenuh kemudian tanaman dipanen dan dibuang.
Perlakuan yang sama dilakukan berulangkali pada daerah yang tercemar sehingga
dapat mengurangi polusi. Percobaan untuk proses ini dilakukan dengan menanan
bunga matahari pada kolam mengandung radio aktif untuk suatu test di
Chernobyl, Ukraina.
3. Fitostabilisasi

10
Fitostabilisasi adalah suatu fenomena diproduksinya kimia tertentu untuk
mengimobilisasi senyawa-senyawa pencemar di daerah rizosfer atau dapat
dikatakan bahwa Fitostabilisasi merupakan penempelan zat-zat contaminan
tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap kedalam batang tumbuhan. Zat-zat
tersebut menempel erat (stabil) pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran
air dalam media. Untuk mencegah kontaminasi dari penyebaran dan bergerak di
seluruh tanah dan air tanah, zat kontaminan diserap oleh akar dan akumulasi,
diabsorbsi akar, terjadi pada rhizosfer (ini adalah daerah di sekitar akar yang
bekerja seperti laboratorium kimia kecil dengan mikroba dan bakteri dan
organisme mikro yang disekresikan oleh tanaman) ini akan mengurangi atau
bahkan mencegah perpindahan ke tanah atau udara, dan juga mengurangi
bioavailibility dari kontaminan sehingga mencegah penyebaran melalui rantai
makanan.. Teknik ini juga dapat digunakan untuk membangun kembali komunitas
tanaman pada daerah yang telah benar-benar mematikan bagi tanaman karena
tingginya tingkat kontaminasi logam.
Keunggulan fitoremediasi jika dibandingkan dengan metode konvensional
lain untuk menanggulangi masalah pencemaran, yaitu biaya operasional relatif
murah, tanaman bisa dengan mudah dikontrol pertumbuhannya dan juga
kemungkinan penggunaan kembali polutan yang bernilai seperti emas
(Phytomining), Fitoremediasi merupakan cara remediasi yang paling aman bagi
lingkungan karena memanfaatkan tumbuhan dan pencemaran pada tanah bisa
berkurang secara alamiah serta dapat memelihara keadaan alami
lingkungan, tanah juga akan mengalami perbaikan akibat adanya aktifitas
akar dan tanah menjadi lebih subur kembali.
Kelemahan fitoremediasi adalah dari segi waktu yang dibutuhkan lebih lama
dan terdapat kemungkinan akibat yang timbul bila tanaman yang telah menyerap

11
polutan tersebut dikonsumsi oleh hewan dan serangga. Dampak negatif yang
dikhawatirkan adalah terjadinya keracunan bahkan kematian pada hewan dan
serangga atau terjadinya akumulasi logam pada predator-predator jika
mengosumsi tanaman yang telah digunakan dalam proses fitoremediasi.
Fitoremediasi belum bisa diterapkan pada semua lahan yang terkontaminasi,
karena proses fitoremediasi tergantung kepada kedalaman dan kemampuan akar
dalam menyerap polutan. Fitoremediasi bergantung dengan kepada keadaan iklim
dan menggunakan cara ini masih membutuhkan waktu yang lama untuk
memulihkan tanah tersebut karena menggunakan tumbuhan.

B. Bioremediasi Bebasis Mikroba


Pengertian dari bioremediasi sendiri adalah proses penguraian limbah
(pencemar) menggunakan agen biologi (mikroba) yang dilakukan dalam kondisi
terkendali (controlled condition). Proses bioremediasi dapat terjadi secara alamiah
oleh mikroba yang terdapat pada lingkungan percemar (intrinsict bioremediation).
Meskipun demikian, sering kali dilakukan beberapa hal untuk mempercepat
proses tersebut. Contohnya dengan menambahkan mikroba (exogenous microbe),
nutrien, donor dan atau akseptor electron. Teknik ini dilakukan berdasarkan
optimasi proses biologi dalam mengurangi bahkan memulihkan dari bahan
pencemar. Bakteri yang diketahui memiliki kemampuan dalam mendegradasi
minyak antara lain Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens, Acinetobacter
baumannii, Baccillus megaterium, Baccillus cereus, Fussarium vertiaculloide,
dan Candida tropicalis (Komarawidjaja, 2009).
Mikroba yang hidup di tanah dan di air tanah dapat “memakan” bahan kimia
berbahaya tertentu, misalnya berbagai jenis minyak. Mikroba mengubah bahan
kimia ini menjadi air dan gas yang tidak berbahaya misalnya CO 2. Bakteri yang

12
secara spesifik menggunakan karbon dari hidrokarbon minyak bumi sebagai
sumber makanannya disebut sebagai bakteri petrofilik. Bakteri inilah yang
memegang peranan penting dalam bioremediasi lingkungan yang tercemar limbah
minyak bumi. Reaksi biodegradasi yang merupakan proses utama dalam
bioremediasi dapat berlangsung dengan atau tanpa oksigen atau yang biasa
disebut sebagai aerobik dan anaerobik.
1. Reaksi Aerobik
Secara sederhana reaksi kimia dalam proses bioremediasi secara aerobik
(Gambar 1) dan contok reaksi peruraian benzene (Gambar 2) dapat dinyatakan
sebagai berikut (Sharma & Reddy, 2004):

Gambar 1. Reaksi Kimia dalam Proses Bioremediasi Aerobik

Gambar 2. Reaksi Proses Penguraian Benzene

2. Reaksi Anaerobik
Sedangkan secara anaerobik, reaksi kimia dalam proses bioremediasi
(Gambar 3) adalah sebagai berikut:

Gambar 3. Reaksi Kimia Anaerob dalam Proses Bioremediasi

13
Reaksi anaerobik dilakukan tanpa kehadiran oksigen bebas (O2). Degradasi
hidrokarbon terjadi akibat kegiatan mikroorganisme mesofil dan termofil.
Mikroba memanfaatkan senyawa lain yang mengandung atom oksigen misalnya
sulfat (SO2) dan nitrat (NO3) untuk menggantikan O2 sebagai penerima elektron.
Menurut Sharma & Eddy (2004), proses biodegradasi secara anaerobik meliputi:
a. Fermentasi
Dalam proses ini mikroorganisme membuat kontaminan organik/ substrat
sebagai donor elektron dan akseptor elektron sehingga senyawa organik tersebut
mengalami aksidasi dan reduksi. Reaksinya dapat dilihat pada Gambar 4 (Sharma
& Eddy, 2004):

Gambar 4. Reaksi Fermentasi Mikroorganisme pada Kontaminan Organik

b. Reduksi Sulfat
Pada proses ini, bakteri SRB (sulfate reducing bacteria) menggunakan besi
asam (ferric iron) atau SO4- sebagai aseptor elektron dan menghasilkan besi
sulfida (ferrous iron) atau H2S sebagai hasil reduksi. Sebagai contohnya adalah
proses bioremediasi pada kontaminan AMD (Acid Mine Drainage).
c. Dinitrifikasi
Pada proses ini, bakteri menggunakan NO3- sebagai akseptor elektron dan
menghasilka NO2-, N2O dan N2 sebagai produk reduksi. Contoh reaksi reduksi
toluene dapat dilihat pada Gambar 5.

14
Gambar 5. Reaksi Reduksi Toluene

d. Penggunaan Bakteri Metanogen


Pada proses ini, bakteri metanogen menggunakan CO2 sebagai aseptor
elektron untuk menghasilkan metana sebagai produk akhir.

C. Remediasi Berbasis Hewan Tanah


Bioremediasi berbasis hewan tanah merupakan bioremediasi yang
memanfaatkan bantuan dari hewan-hewan tanah seperti cacing dan lain
sebagainya. Salah satu contoh bioremediasi dengan bantuan hewan tanah adalah
vermiremediasi. Vermiremediasi merupakan salah satu proses perbaikan
lingkungan tanah terkontaminasi dengan bentuan hewan tanah yang tida lain
adalah cacing tanah. Dimana vermiremediasi ini membutuhkan bantuan substansi
organik seperti asam laktat untuk membuat tanah terkontaminasi menjadi dapat
diakses oleh mikroorganisme yang kemudian mendegradasinya menjadi bentuk
yang lebih sederhana.
Mikroba yang hidup di tanah dan di air tanah dapat ‘memakan’ bahan kimia
berbahaya tertentu, misalnya berbagai jenis minyak. Mikroba mengubah bahan
kimia ini menjadi air dan gas yang tida berbahaya misalnya CO2. Bakteri yang
secara spesifik menggunakan karbon dari hidrokarbon minyak bumi sebagai
sumber makanannya disebut sebagai bakteri petrofilik. Bakteri inilah yang

15
memegang peranan penting dalam bioremediasi lingkungan yang tercemar limbah
minyak bumi.
Bakteri pemakan minyak dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang
umumnya ditemukan pada minyak bumi. Ilustrasi mikroorganisme pemakan
minyak ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Ilustrasi Mikroorganisme Pemakan Minyak

D. Bioremediasi In Situ
Bioremediasi insitu adalah bioremediasi yang dilakukan langsung di lokasi
tanah tercemar (proses bioremediasi yang digunakan berada pada tempat lokasi
limbah tersebut). Proses bioremadiasi in situ pada lapisan surface juga ditentukan
oleh faktor bio-kimiawi dan hidrogeologi. Macam-macam bioremediasi in situ
adalah sebagai berikut:
1. Biostimulasi
Teknik biostimulasi dilakukan dengan penambahan nutrien (N,P) dan
akseptor elektron (O2) pada lingkungan pertumbuhan mikroorganisme untuk
menstimulasi pertumbuhannya.
2. Bioaugmentasi

16
Teknik bioaugmentasi dilakukan dengan menambahkan organisme dari luar
(exogenus microorganism) pada sub permukaan yang dapat mendegradasi
kontaminan spesifik.
3. Biosparging
Teknik biosparging dilakukan dengan menambahkan/ menginjeksikan udara
di bawah tekanan ke dalam air sehingga dapat meningkatkan konsentrasi oksigen
dan kecepatan degradasi.

E. Bioremediasi Ex Situ
Merupakan metode dimana mikroorganisme diaplikasikan pada tanah atau
air terkontaminasi yang telah dipindahkan dari tempat asalnya. Teknik ex situ
terdiri atas:
1. Landfarming
Teknik dimana tanah yang terkontaminasi digali dan dipindahkan pada lahan
khusus yang secara periodik diamati sampai polutan terdegradasi. Landfarming
sering juga disebut dengan landtreatment atau landapplication. Cara ini
merupakan salah satu teknik bioremediasi yang dilakukan di permukaan tanah.
Prosesnya memerlukan kondisi aerob, dapat dilakukan secara in-situ maupun ex-
situ. Landfarming merupakan teknik bioremediasi yang telah lama digunakan, dan
banyak digunakan karena tekniknya sederhana. Beberapa faktor yang perlu
diperhatikan dalam melakukan teknik ini, yaitu kondisi lingkungan, sarana,
pelaksanaan, sasaran dan biaya. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam penerapan teknik lanfarming:

a. Lokasi

17
Untuk lokasi penerapan teknik landfarming, tanah hendaknya memiliki
konduktivitas hidrolik sedang seperti lanau (loam) atau lanau kelempungan
(loamy clay). Apabila diterapkan pada tanah lempung dengan kandungan clay
lebih dari 70% akan sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan sifat lempung yang
mudah mengeras apabila terkena air. Kegiatan landfarming dapat dilakukan secara
ex-situ maupun in-situ. Namun bila letak tanah tercemar jauh diatas muka air
(water table) maka landfarming dapat dilakukan secara in-situ.
pencemar yang tersusun atas bahan yang mempunyai penguapan rendah masih
sesuai untuk ditangani secara labdfarming. Bahan pencemar yang mudah
menguap tidak cocok menggunakan teknik ini karena dilakukan secara terbuka.
Sebaiknya kandungan TPH dibawah 10%.
b. Kemungkinan pelaksanaan
Kemudahan kerja diantaranya apabila tersedia lahan, alat berat untuk
menggali dan meratakan tanah, serta kondisi lingkungan yang mendukung.
Apabila ini dipenuhi, maka memungkinkan untuk diterapkan teknik landfarming
secara ex-situ.
c. Sarana
Sarana yang harus disediakan adalah lahan pengolah, pengendali limpahan
air, pengendali resapan, dan sarana pemantau. Lahan pengolah untuk menampung
tanah tercemar dan tempat pengolahan landfarming dilaksanakan. Pengendali
limpahan air, terutama berfungsi saat musim hujan, untuk menjaga kemungkinan
terjadinya pencemaran baru akibat limpahan air tercampur polutan. Pengendali
resapan terletak di dasar lahan pengolah, biasanya berupa lapisan clay yang
dipadatkan sampai bersifat kedap air (liner). Pengendali yang lebih baik adalah
lapisan plastik geomembran HDPE (High Density Polyethylene). Sarana
pemantau berupa alat pemantau gas, udara, cuaca, air tanah dan sebagainya.

18
d. Pelaksanaan secara ex-situ
Apabila dilaksanakan secara ex-situ, tanah tercemar yang diambil dari lokasi
yang tercemar dibersihkan terlebih dahulu dari batu-batu dan bahan lain.
Selanjutnya tanah dicampur dengan nutrien dan pHnya diatur. Penambahan
nutrient juga disebut biostimulation. Pada jenis tanah tertentu, perlu ditambahkan
bahan penyangga berupa serbuk gergaji, kompos, atau bahan organik lain untuk
meningkatkan porositas dan konduktivitas hidrolik. Setelah tercampur, tanah
ditebarkan di lahan pengolah. Hamparan tanah selalu dijaga kelembabannya agar
kandungan air kurang lebih 15%. Secara periodik, lapisan tanah dibajak agar
tanah mendapat aerasi yang cukup. Penambahan O2 juga disebut bioventing.
Apabila diperlukan pada periode tertentu, juga diberi nutrisi agar proses
biodegradasi cepat berlangsung. Selain penambahan nutrien dan O2, juga dapat
ditambah inokulum mikroba. Nutrien umumnya pupuk NPK/urea dan sumber
karbon yang mudah didegradasi. Dari hasil uji dapat menurunkan TPH sampai
49% Selama kegiatan landfarming, secara periodik dilakukan monitoring untuk
mengamati kandungan pencemar, aktivitas mikroba, dan pengaruhnya terhadap
lingkungan. Dari data hasil monitoring dapat diketahui waktu penyelesaian proses
landfarming.
2. Composting
Teknik yang melakukan kombinasi antara tanah terkontaminasi dengan tanah
yang mengandung pupuk atau senyawa organik yang dapat meningkatkan
populasi mikroorganisme. Teknik ini dilakukan dengan mencampurkan bahan-
bahan yang tercemar dengan bahan organik padat yang relatif mudah terombak,
dan diletakkan membentuk suatu tumpukan. Bahan organik yang dicampurkan
dapat berupa limbah pertanian, sampah organik, atau limbah gergajian. Untuk
mempercepat perombakan kadang-kadang diberi pupuk N, P, atau nutrien

19
anorganik lain. Bahan yang telah dicampur sering ditumpuk membentuk barisan
yang memanjang, yang disebut “windrow”. Selain itu dapat juga ditempatkan
dalam wadah yang besar/luas dan diberi aerasi, khusus untuk bahan yang
tercemari bahan kimia berbahaya. Aerasi diberikan melalui pengadukan secara
mekanis atau menggunakan alat khusus untuk memberikan aerasi. Kelembaban
bahan campuran tetap dijaga.
Setelah diinkubasikan terjadi pertumbuhan mikroba, dan suhu tumpukan
meningkat mencapai 50-60oC. Meningkatnya suhu dapat meningkatkan
perombakan bahan oleh mikroba. Metode composting telah digunakan misalnya
untuk mengatasi tanah yang terkontaminasi klorofenol. Pada skala lapangan
menunjukkan bahwa dengan metode ini dapat menurunkan konsentrasi bahan
peledak TNT, RDX, dan HMX dalam sedimen yang tercemar oleh bahan-bahan
tersebut.
3. Biopiles
Teknik biopile merupakan pengembangan dari teknik pengomposan. Biopile
merupakan salah satu teknik bioremediasi ex-situ yang dilakukan di permukaan
tanah. Teknik ini juga disebut sebagai aerated compost pile. Oleh karena aerasi
pada pengomposan terjadi secara alami, sedangkan pada biopile menggunakan
pompa untuk menginjeksikan oksigen ke dalam tumpukan tanah tercemar yang
diolah. Proses biodegradasi dipercepat dengan optimasi pasokan oksigen,
pemberian nutrien dan mikroba serta pengaturan kelembaban. Biopile merupakan
teknik penanggulangan lahan tercemar yang mirip dengan landfarning.
Pada teknik landfarming, aerasi diberikan dengan cara membolak-balik tanah
dengan cara dibajak, sedangkan pada biopile aerasi diberikan menggunakan
peralatan. Pada biopile ada dua cara pemberian aerasi. Pertama dengan pompa
penghisap untuk memasukkan oksigen dari udara ke lapisan tanah, dan yang ke-

20
dua menggunakan blower untuk menginjeksikan udara ke dalam tanah. Secara
singkat teknik biopile melalui proses sebagai berikut berikut:
a. Diberi aerasi menggunakan pipa-pipa
b. Diberi mikroba pendegradasi bahan pencemar
c. pH diatur dengan pemberian kapur
d. Diberi tambahan nutrien NPK
e. Diberi bulking agent untuk menggemburkan tanah
f. Diberi tanah pencampur untuk menurunkan kandungan bahan pencemar
g. Dari hasil uji dapat menurunkan TPH sampai dibawah 1% dalam waktu 1
bulan
4. Bioreactor
Dengan menngunakan aquaeous reaktor pada tanah atau air yang
terkontaminasi.

F. Bioremediasi dengan Bantuan Surfaktan


Surfaktan (surface active agent) merupakan molekul amfifatik yang terdiri
atas gugus hidrofilik dan hidrofobik sehingga dapat berada di antara cairan
dengan sifat polar dan ikatan hidrogen yang berbeda seperti minyak dan air.
Surfaktan mampu mereduksi tegangan permukaan dan membentuk mikroemulsi
sehingga hidrokarbon dapat larut di dalam air atau sebaliknya (Desai dan Banat,
1997). Sifat kimia surfaktan memiliki kemampuan untuk mengemulsi komponen-
komponen yang mempunyai kelarutan yang rendah. Surfaktan diklasifikasikan
menjadi dua kelompok, yaitu surfaktan sintetik dan biosurfaktan.
1. Surfaktan Sintetik
Komponen hidrofobik biasanya disintesis dari parafin, olefin, alkilbenzena,
alkil fenol dan alkohol. Sedangkan komponen hidrofilik dari sulfat, sulfonat,

21
gugus karboksilat (surfaktan anionik), gugus amonium kuartener (surfaktan
kationik) dan polioksietilen, sukrosa atau polipeptida (surfaktan non ionik).
2. Biosurfaktan
Biosurfaktan merupakan makromolekul ekstra seluler yang diproduksi oleh
bakteri, yeast maupun kapang pada berbagai kondisi substrat (Raza dkk, 2007).
Senyawa ini bersifat amfifatik yakni memiliki komponen hidrofilik dan
hidrofobik serta memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan.
Kemampuan setiap jenis biosurfaktan dalam menurunkan tegangan permukaan
tidaklah sama antara satu dengan yang lain dikarenakan sifat ini bergantung pada
struktur molekulnya (Desai dan Desai, 1993).
Bagian hidrofobik dari biosurfaktan merupakan rantai panjang yang berasal
dari asam lemak, hidroksi asam lemak, atau α-alkil-β-hidroksi asam lemak.
Sedangkan bagian hidrofilik dari biosurfaktan dapat berupa karbohidrat, asam
amino, peptide, fosfat, asam karboksilat, alcohol dan lain sebagainya (Desai dan
Desai, 1993). Menurut Muthusamy dkk (2008), terdapat lima kelompok utama
dalam biosurfaktan yaitu glikolipida, lipopeptida dan lipoprotein, asam lemak dan
fosfolipida, surfaktan polimer dan biosurfaktan particular.
Interaksi yang terjadi pada bioremediasi dengan menggunakan bio/surfaktan:
a. Peran mikroba
Surfaktan mikrobial dapat meningkatkan jumlah bakteri pada limbah
hidrokarbon dengan meningkatkan luas permukaan antara minyak dan air dengan
cara emulsifikasi dan meningkatkan pseudosolubilitas hidrokarbon dengan
partisike dalam misel. Sedangkan pada logam rhamnolipid dapat membentuk
komplek dengan cadmium dengan mereduksi toksisitas selnya. Selain pada
logam cadmium, biosurfaktan lipopetida juga dapat ditambahkan pada uranium
yang bahkan berpotensi menjadi antibiotik. Jadi mikroorganisme mampu

22
membuka gugus hidrofobik dari luar maupun dari dalam serta dapat
meningkatkan dan menurunkan permukaan hidrofobik.
b. Interaksi antara bio/surfaktan dengan lingkungan
Karena sifat amphifiliknya, bio/surfaktan dapat mengubah fasa distribusi
kontaminan dan parameter lingkungan dengan mekanisme - mekanisme yang
berbeda. Fenomena ini dapat mengingkatkan proses bioremediasi baik dengan
penambahan surfaktan secara biologis maupun kimiawi. Mekanisme – mekanisme
tersebut adalah:
1) Emulsifikasi
Biosurfaktan dengan berat molekul besar berpotensi dapat menstabilkan
emulsi antara hidrokarbon cair dan air, sehingga meningkatkan luas permukaan
yang digunakan oleh bakteri untuk melakukan biodegradasi. Namun sangat
jarang digunakan untuk meningkatkan proses biodegradasi hidrokarbon dalam
bioremediasi dan beberapa penelitian memiliki hasil berlawanan dari literatur.
2) Miselarisasi
Pori misel dapat mempartisi fraksi kontaminan hidrofobik namun juga dapat
mengikat kontaminan organic yang merupakan penghambat kerja
mikroorganisme dan molekul organik yang mengakibatkan bakteri menjadi
kurang aktif.
3) Penyerapan ke dalam tanah
Konsentrasi kritis misel pada tanah lebih tinggi dibanding pada air sehingga
mampu meningkatkan kemampuan partisi dari surfaktan. Penggunaan dosis
surfaktan sangat penting karena adanya surfaktan yang hilang selama proses
penyerapan. Derajat penyerapan surfaktan kedalam tanah bergantung fraksi
karbon organik dalam tanah dan sifat kimia surfaktan. Namun pada kasus
penyerapan isotermal didapatkan bahwa molekul surfaktan lebih suka mengikat

23
molekul terserap disbanding tanah. Semakin banyak komponen organik dalam
tanah maka semakin banyak surfaktan yang dibutuhkan untuk melarutkan
kontaminan. Kenyataan lainnya menunjukan bahwa penambahan surfaktan
untuk mengurangi pembentukan miseljuga dapat meningkatkan komponen
karbon organik dalam tanah dengan maksud partisi pada komponen hidrofobik
organik yang diinginkan.

G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bioremediasi


Gordon (1994) menyebutkan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi
bioremediasi, yaitu mikroba, nutrient, dan faktor lingkungan. Ketiga faktor
tersebut diuraikan sebagai berikut.
1. Mikroba
Penambahan jumlah bakteri pada tumpahan minyak mempercepat proses
degradasi dari minyak bumi dan tempat yang paling baik untuk menemukan
mikroba pendegradasi minyak bumi adalah tumpahan minyak itu sendiri.
2. Nutrisi
Nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroba bervariasi menurut jenis mikrobanya,
namun seluruh mikroba memerlukan nitrogen, fosfor dan karbon. Selain itu, ada
beberapa mineral yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, seperti potassium,
mangan, kalsium, besi, tembaga, kobalt dan seng. Pada struktur molekul minyak
bumi, terdapat sejumlah karbon yang dapat didekomposisi mikroba. Kandungna
karbon akan berkurang karena digunakan sebagai sumber energi mikroba, dimana
rantai karbon menghasilkan energi yang tinggi (Nugroho, 2006).
3. Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi laju degradasi antara lain:
a. Oksigen

24
Biodegradasi didominasi oleh proses oksidasi. Enzim-enzim bakteri akan
mengkataliskan pemasukan oksigen ke dalam hidrokarbon sehingga molekul
dapat dikonsumsi untuk metabolisme sel. Kebutuhan oksigen untuk mikroba
aerobik diperoleh dari oksigen terlarut dimana DO (dissolved oxygen) untuk
mikroba aerobik adalah > 2 mgO2/L. Sedangkan untuk proses anaerobik,
kebutuhan oksigen diperoleh dari oksigen yang terikat sebagai NO3.
b. pH
Untuk mendukung kebutuhan mikroba, pH tanah harus berada antara 6- 8
dengan pH optimal 7. Nilai pH tanah asam dapat dinaikkan dengan cara
penambahan kapur dan pH tanah basa dapat diturunkan dengan penambahan
sulfur.
c. Temperatur
Pada temperatur rendah, pergerakan molekul cenderung lambat, dan
molekul-molekul yang menyatu cenderung tidak ikut bereaksi. Peningkatan
temperatur akan meningkatkan kemungkinan terjadinya reaksi dan
meningkatkan laju difusi. Aktivitas mikroba biasanya mempunyai temperatur
optimum antara 15-35oC.
d. Kelembapan
Air diperlukan untuk proses biodegradasi karena kebanyakan reaksi
enzim berlangsung pada fasa larutan.
e. Tekstur tanah
Tekstur tanah mempengaruhi permeabilitas, kelembapan dan kepadatan
dari tanah. Untuk meyakinkan bahwa penambahan oksigen, distribusi nutrient
dan kelembapan tanah apat berlangsung dalam rentang yang tepat, maka
tekstur tanah harus diperhatikan. Misalnya, tanah lempung sangat sulit
diaerasi dan mengakibatkan rendahnya oksigen. Selain itu, sulit untuk

25
mendistribusikan nutrient secara seragam dan menahan air untuk masuk ke
dalam tanah (presipitasi).
Kondisi lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan mikroba dan
biodegradasi hidrokarbon diberikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kondisi Optimal Pertumbuhan Mikroba dan Biodegradasi
Hidrokarbon

Sumber: Vidali, 2001

H. Kelebihan dan Kelemahan Bioremediasi


1. Kelebihan dari teknologi bioremediasi
a. Bioremediasi merupakan teknologi yang lebih sederhan dibandingkan
teknologi pengolahan lainnya
b. Dalam bioremediasi in situ, terjadi minimalisasi emisi senyawa volatile
sehingga dapat mengurangi dampak yang dapat membahayakan
kesehatan
c. Pada teknologi bioremediasi terjadi biodegradasi dan detoksifikasi
kontaminan berbahaya
d. Biaya yang dibutuhkan lebih murah
2. Kelemahan dari teknologi bioremediasi
26
a. Keberhasilah proses bioremediasi sangat tergantung pada kemampuan
operator dalam menciptakan dan mempertahankan kondisi lingkungan
yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme
b. Tidak semua kontaminan dapat didekomposisi dengan menggunakan
bioremediasi karena beberapa jenis kontaminan tidak dapat didegradasi
oleh mikroba
c. Kesulitan terjadi pada konsentrasi kontaminan sangat rendah, karena
degradasi biologis akan berjalan lambat dan mikroorganisme akan
mencari sumber energy lain atau mati
d. Membutuhkan waktu lama
e. Sulit memprediksi performance sistem bioremediasi
f. Sulit melakukan scaling up dari skala laboratorium

27
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Bioremediasi berbasis tumbuhan atau fitoremediasi merupakan teknologi
proses yag menggunakan tumbuhan untuk menghilangkan atau memulihkan
tanah atau perairan yang telah terkontaminasi oleh logam berat.
2. Bioremediasi berbasis adalah proses penguraian limbah (pencemar)
menggunakan agen biologi (mikroba) yang dilakukan dalam kondisi
terkendali (controlled condition).
3. Bioremediasi berbasis hewan tanah merupakan bioremediasi yang
memanfaatkan bantuan dari hewan-hewan tanah seperti cacing dan lain
sebagainya.
4. Bioremediasi in situ adalah bioremediasi yang dilakukan langsung di lokasi
tanah tercemar (proses bioremediasi yang digunakan berada pada tempat
lokasi limbah tersebut).
5. Bioremediasi ex situ merupakan metode dimana mikroorganisme
diaplikasikan pada tanah atau air terkontaminasi yang telah dipindahkan dari
tempat asalnya.
6. Surfaktan (surface active agent) merupakan molekul amfifatik yang terdiri
atas gugus hidrofilik dan hidrofobik sehingga dapat berada di antara cairan
dengan sifat polar dan ikatan hidrogen yang berbeda seperti minyak dan air.
Surfaktan mampu mereduksi tegangan permukaan dan membentuk
mikroemulsi sehingga hidrokarbon dapat larut di dalam air atau sebaliknya.

28
7. Faktor-faktor yang mempengaruhi bioremediasi yaitu mikroba, nutrisi, dan
lingkungan (oksigen, pH, temperatur, kelembapan, tekstur tanah).
8. Kelebihan bioremediasi yaitu merupakan teknologi yang sederhana, dapat
meminimalisasi emisi senyawa volatile, terjadi biodegradasi dan detoksifikasi
kontaminan berbahaya dan biaya yang dibutuhkan lebih murah. Sedangkan
kelemahan bioremediasi yaitu keberhasilan proses bioremediasi sangat
tergantung pada kemampuan operator, tidak semua kontaminan dapat
didekomposisi dengan bioremediasi, sangat sulit terjadi pada konsentrasi
kontaminan yang sangat rendah, membutuhkan waktu yang lama, sulit
memprediksi performance sistem bioremediasi, dan sulit melakukan scaling
up dari skala laboratorium.

B. SARAN

Bioremediasi sangat diperlukan untuk menghilangkan atau mendetoksi


polutan (biasanya kontaminan tanah, air dan sedimen) yang mencemari
lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, lingkungan
yang terletak didekat industri atau sumber pencemar dapat dilakukan bioremediasi
ini untuk penenganan lingkungan lebih lanjut.

29
DAFTAR PUSTAKA

Desai, J. D., & A. J Desai. 1993. Advances in the Production of Biosurfactants


and Their Commercial Applications. Journal Scientific and Industrial
Research. 53: 619-629.
Desai, J.D. and Banat, I.M., 1997. Microbial production of surfactants and their
commercial potential. Microbiology and Molecular biology reviews, 61(1):
47-64.
Ebbs, S. D dan Leon, H. Koshian. 1998. Phytiextraction of Zinc by oat (Avena
sativa), Barley (Hordeum Vulgare) and Indian Mustard (Brassica juncea).
Environmental Science and Technology. Vol 32 (6).
Gatliff, G.E. 1996. Phytoremediation using green plants to clean up contaminated
soil, groundwater and wastewater. Applied Natural Science.
Gordon, R., 1994. Bioremediation and its Application to Exxon Valdez Oil Spill
in Alaska. Ray's Environmental Website. Spring, 30
Hardianni, Henggar. 2008. Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3 dari
Proses Deinking Industri Kertas Secara Fitoremediasi. Jurnal Riset
Industri. Vol 2(2): 64-75.
Komarawidjaja, W. 2009. Karakteristik Dan Pertumbuhan Konsorsium Mikroba
Lokal Dalam Media Mengandung Minyak Bumi. Jurnal Teknik
Lingkungan. Vol 10(1): 114-119.
Lasat, M.M. 2003. The Use of Plants for removal of toxic metals from
contaminated soil. American Association for the advancement of science
environmental science and engginering fellow.
Muthusamy, K., Gopalakrishnan, S., Ravi, T.K. and Sivachidambaram, P., 2008.
Biosurfactants: properties, commercial production and application. Current
science, 736-747.
Nugroho, A., 2006. Bioremediasi Hidrokarbon Minyak Bumi. Jakarta: Graha
Ilmu.
Raza, Z.A., Rehman, A., Khan, M.S. and Khalid, Z.M., 2007. Improved
production of biosurfactant by a Pseudomonas aeruginosa mutant using
vegetable oil refinery wastes. Biodegradation, 18(1): 115-121.
Reed, S.C., E.J. Midlebrooks and R.W Crites. 2005. Natural System of Waste
Management and Treatment McGraw Hill Book Company, New York.
Sharma, H. D., & Reddy, K. R. 2004. Geoenvironmental Engineering. Hoboken,
New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
30
Stowel, R.R., J.C. Ludwig dan G. Thobanoglous. 2000. Towad the Rational
Design of Aquatic Treatments of Wastewater. Departement of Civil
Engineering and Land, Air and Wastewater Resources, University of
California, California.
Suriawiria, U. 2003. Mikrobiologi Air dan Dasar-Dasar Pengolahan Buangan
Secara Biologis, Penerbit Alumni, Bandung.
Vidali, M., 2001. Bioremediation. an overview. Pure and Applied
Chemistry, 73(7): 1163-1172.
Yusuf, Guntur. 2008. Bioremediasi Limbah Rumah Tangga Dengan Sistem
Simulasi Tanaman Air. Jurnal Bumi Lestari. Vol 8(2): 136-144.

31
LATIHAN SOAL

PILIHAN GANDA
1. Bioremediasi diartikan sebagai proses….
a. Pendegredasian bahan organic
b. Pereaksian bahan organic
c. Penambahan bahan organic
d. Penumpukan bahan organic
e. Perlakuan pada bahan organik
2. Fitoremediasi merupakan teknologi proses yag menggunakan….
a. Tumbuhan
b. Bakteri
c. Bahan organik
d. Bahan anorganik
e. SiO2
3. Thiaspi caerulescens merupakan jenis tanaman yang dapat menjerap logam…
a. Zn dan Cd
b. Pb dan Cd
c. Cr dan Zn
d. Pb dan Zn
e. Cr dan Cd
4. Suatu fenomena diproduksinya kimia tertentu untuk mengimobilisasi
senyawa-senyawa pencemar di daerah rizosfer adalah….
a. Fitoremediasi
b. Fitostabilisasi
c. Rhizofiltrasi

32
d. Fitoekstraksi
e. Semua benar
5. Keunggulan fitoremediasi jika dibandingkan dengan metode konvensional lain
untuk menanggulangi masalah pencemaran yaitu…
a. Biaya murah
b. Tanaman bisa dikontrol
c. Aman untuk lingkungan
d. Tanah mengalami perbaikan
e. Semua benar
6. Berikut ini merupakan sifat-sifat dari surfaktan, kecuali....
a. Memiliki sisi hidrofobik dan hidrofilik
b. Meningkatkan viskositas air limbah
c. Dapat memperkecil tegangan permukaan
d. Dapat mengemulsi zat yang sukar larut
e. Dapat membentuk lapisan misel
7. Salah satu mekanisme surfaktan dalam proses bioremediasi adalah dengan
menstabilkan emulsi antara hidrokarbon cair dan air, sehingga meningkatkan
luas permukaan yang digunakan oleh bakteri untuk melakukan biodegradasi.
Mekanisme ini disebut dengan….
a. Miselarisasi
b. Polimerisasi
c. Stabilisasi
d. Pelarutan
e. Emulsifikasi
8. Salah satu faktor yang mempengarusi bioremediasi adalah kondisi lingkungan.
Kondisi lingkungan yang dimaksud antara lain, kecuali….

33
a. pH
b. Kelembaban
c. Salinitas
d. Temperatur
e. Tekstur tanah
9. Kebutuhan bakteri aerobik akan oksigen adalah sebesar…
a. > 2 mgO2/L
b. 0,7-0,9 mgO2/L
c. 0,04-0,1 mgO2/L
d. > 2 gO2/L
e. Tidak memerlukan oksigen
10. Salah satu kelemahan dari proses remediasi adalah…
a. Biaya murah
b. Terjadinya minimalisasi emisi senyawa volatil
c. Terjadinya proses biodegradasi
d. Prosesnya lama
e. Sederhana
11. Salah satu contoh bioremediasi berbasis hewan tanah adalah
a. Vermiremediasi
b. Fitoremediasi
c. Bioremediasi dengan bantuan mikroba
d. Bioremediasi ex situ
e. Bioremidiasi in situ
12. Bakteri yang secara spesifik menggunakan karbon dari hidrokarbon minyak
bumi sebagai sumber makanannya biasa disebut...
a. Bakteri Lactobacillus bulagrius

34
b. Bakteri bacillus subtilis
c. Bakteri petrofilik
d. Bakteri acetobacter
e. Bakteri escherichia coli
13. Teknik dimana tanah yang terkontaminasi digali dan dipindahkan pada lahan
khusus yang secara periodik diamati sampai polutan terdegradasi adalah
a. Composting
b. Biopiles
c. Bioreactor
d. Landfarming
e. Biosparing
14. Berikut merupakan pernyataan yang salah mengenai pengaruh penggunaan
cacing tanah sebagai agen bio dalam proses perbaikan tanah terkontaminasi,
kecuali...
a. Cacing tanah mampu mendegradasi pencemar tanpa bantuan bahan lain
b. Cacing tanah langsung mendegradasi pencemar bersama substansi organik
menjadi bentuk yang lebih sederhana
c. Cacing tanah dan substansi organik bekerja bersama membuat tanah
dapat diakses oleh mikroorganisme yang kemudian mendegradasi
pencemar
d. Cacing tanah dan substansi organik bekerja bersama membuat tanah
terkontaminasi menjadi lebih gembur
e. Cacing tanah mendegrasasi tanah terkontaminasi dengan bantuan subtansi
organik
15. Teknik bioaugmentasi diakukan dengan cara...

35
a. menambahkan nutrien (N, P) dan akseptor elektron (O2) pada lingkungan
pertumbuhan mikroorganisme untuk menstimulasi pertumbuhannya
b. menambahkan organisme dari luar (exogenus microorganism) pada
sub permukaan yang dapat mendegradasi kontaminan spesifik
c. menambahkan/ menginjeksikan udara di bawah tekanan ke dalam air
sehingga dapat meningkatkan konsentrasi oksigen dan kecepatan
degradasi.
d. mencampurkan bahan-bahan yang tercemar dengan bahan organik padat
yang relatif mudah terombak, dan diletakkan membentuk suatu tumpukan
e. tanah yang terkontaminasi digali dan dipindahkan pada lahan khusus yang
secara periodik diamati sampai polutan terdegradasi.

ESSAY
1. Jelaskan dampak negatif yang dikhawatirkan pada proses fitoremediasi!
2. Jelaskan tentang fitoekstraksi!
3. Sebut dan jelaskan mekanisme yang terjadi pada surfaktan saat proses
bioremediasi!
4. Sebutkan kelebihan dan kekurangan dari bioremediasi!
5. Sebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan teknik
landfarming!

Jawaban:

36
1. Dampak negatif yang dikhawatirkan adalah terjadinya keracunan bahkan
kematian pada hewan dan serangga atau terjadinya akumulasi logam pada
predator-predator jika mengosumsi tanaman yang telah digunakan dalam
proses fitoremediasi.
2. Fitoekstraksi disebut juga fitoakumulasi adalah penyerapan senyawa-senyawa
pencemar logam oleh akar tanaman dan translokasi atau akumulasi senyawa
itu ke bagian tanaman seperti akar, daun atau batang. Logam kontaminan
dalam tanah: diserap oleh akar (penyerapan), pindah ke tunas (translokasi),
dan disimpan (akumulasi). Tanaman yang mengandung kontaminan logam
dapat dipanen atau dibuang, memungkinkan untuk pemulihan logam.
3. Mekanisme yang terjadi pada surfaktan saat proses bioremediasi:
a. Emulsifikasi
Biosurfaktan dengan berat molekul besar berpotensi dapat menstabilkan
emulsi antara hidrokarbon cair dan air, sehingga meningkatkan luas
permukaan yang digunakan oleh bakteri untuk melakukan biodegradasi.
Namun sangat jarang digunakan untuk meningkatkan proses biodegradasi
hidrokarbon dalam bioremediasi dan beberapa penelitian memiliki hasil
berlawanan dari literatur.
b. Miselarisasi
Pori misel dapat mempartisi fraksi kontaminan hidrofobik namun juga
dapat mengikat kontaminan organic yang merupakan penghambat kerja
mikroorganisme dan molekul organik yang mengakibatkan bakteri menjadi
kurang aktif.
c. Penyerapan ke dalam tanah
Konsentrasi kritis misel pada tanah lebih tinggi dibanding pada air
sehingga mampu meningkatkan kemampuan partisi dari surfaktan.

37
Penggunaan dosis surfaktan sangat penting karena adanya surfaktan yang
hilang selama proses penyerapan. Derajat penyerapan surfaktan kedalam
tanah bergantung fraksi karbon organik dalam tanah dan sifat kimia
surfaktan.

4. Kelebihan dari teknologi bioremediasi:


a. Bioremediasi merupakan teknologi yang lebih sederhan dibandingkan
teknologi pengolahan lainnya
b. Dalam bioremediasi in situ, terjadi minimalisasi emisi senyawa volatile
sehingga dapat mengurangi dampak yang dapat membahayakan
kesehatan
c. Pada teknologi bioremediasi terjadi biodegradasi dan detoksifikasi
kontaminan berbahaya
d. Biaya yang dibutuhkan lebih murah
Kelemahan dari teknologi bioremediasi
a. Keberhasilah proses bioremediasi sangat tergantung pada kemampuan
operator dalam menciptakan dan mempertahankan kondisi lingkungan
yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme
b. Tidak semua kontaminan dapat didekomposisi dengan menggunakan
bioremediasi karena beberapa jenis kontaminan tidak dapat didegradasi
oleh mikroba
c. Kesulitan terjadi pada konsentrasi kontaminan sangat rendah, karena
degradasi biologis akan berjalan lambat dan mikroorganisme akan
mencari sumber energy lain atau mati
d. Membutuhkan waktu lama

38
e. Sulit memprediksi performance sistem bioremediasi
f. Sulit melakukan scaling up dari skala laboratorium
5. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan teknik landfarming
a. Lokasi
Untuk lokasi penerapan teknik landfarming, tanah hendaknya memiliki
konduktivitas hidrolik sedang seperti lanau (loam) atau lanau kelempungan
(loamy clay). Apabila diterapkan pada tanah lempung dengan kandungan clay
lebih dari 70% akan sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan sifat lempung
yang mudah mengeras apabila terkena air.
b. Kemungkinan pelaksanaan
Kemudahan kerja diantaranya apabila tersedia lahan, alat berat untuk
menggali dan meratakan tanah, serta kondisi lingkungan yang mendukung.
Apabila ini dipenuhi, maka memungkinkan untuk diterapkan teknik
landfarming secara ex-situ.
c. Sarana
Sarana yang harus disediakan adalah lahan pengolah, pengendali limpahan
air, pengendali resapan, dan sarana pemantau. Lahan pengolah untuk
menampung tanah tercemar dan tempat pengolahan landfarming
dilaksanakan.
d. Pelaksanaan secara ex-situ
Apabila dilaksanakan secara ex-situ, tanah tercemar yang diambil dari lokasi
yang tercemar dibersihkan terlebih dahulu dari batu-batu dan bahan lain.
Selanjutnya tanah dicampur dengan nutrien dan pHnya diatur.

39

Anda mungkin juga menyukai