Anda di halaman 1dari 21

Tuberkulosis Paru

Krissaesha Novera Suhin


10 2008 034

Mahasiswi semester VI Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510

seshanovera@yahoo.com

SKENARIO 1
Bapak M ( 45 tahun ) memiliki seorang istri ( 43 tahun ) dan 5 orang anak. Istri Bapak M
mendapatkan pengobatan TBC paru dan sudah berjalan 3 bulan. Anak perempuannya (R, 9 tahun) saat
ini sedang batuk-batuk sudah 3 minggu tidak kunjung reda, karena ketiadaan uang hanya minum obat
dari took obat dan jamu. Keluarga Bapak M tinggal di sebuah rumah semi permanen 4x11 meter di
pemukiman yang padat penduduk.

I. PENDAHULUAN
Data yang dilaporkan WHO Indonesia menempati urutan nomor tiga setelah india dan cina
yaitu dengan angka 1,7 juta orang Indonesia, menurut teori apabila tidak diobati, tiap satu orang
penderita tuberkulosis akan menularkan pada sekitar 10 sampai 15 orang dan cara penularannya
dipengaruhi berbagai factor.
Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah.
Tuberkulosis paru (TBC) adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh mycobacterium
tuberkulosa. Penularan kuman dipindahkan melalui udara ketika seseorang sedang batuk, bersin,
yang kemudian terjadi droplet. Seseorang penderita TBC akan mengalami tanda dan gejala seperti
kelelahan, lesu, mual, anoreksia, penurunan berat-badan, haid tidak teratur pada wanita, demam
sub febris dari beberapa minggu sampai beberapa bulan, malam batuk, produksi sputum
mukuporolent atau disertai darah, nafas bunyi crakles (gemercik), Wheezing (mengi). Keringat
banyak malam hari, kedinginan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi tuberkulosis menurut Alsagaff (2001)
adalah adanya sumber infeksi (sering kontak dengan penderita), penurunan daya tahan tubuh

1
(pasien infeksi HIV, pengguna obat-obat terlarang atau alkohol), faktor lingkungan (pemukiman
yang penuh, kumuh), virulensi tinggi dan jumlah basil banyak (perilaku buang dahak sembarangan),
faktor imunologis, faktor psikologis, dan kelompok sosio ekonomi rendah (nutrisi dan sebagainya).
Penatalaksanaan TBC meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Penatalasanaan
secara promotif yaitu Peningkatan kesehatan diberikan pada individu dan keluarga baik yang
kontak dengan penderita TBC maupun tidak, adapun cara-cara untuk meningkatkan kesehatan
terkait dengan TBC meliputi hal-hal : menghindari factor resiko, mengelola stress, menjaga
kebersihan diri (Personal higiene), nutrisi yang seimbang, imunisasi, pemeriksaan rutin
(laboratorium).
Pengetahuan penderita TBC dan keluarga pada tingkatan tahu adalah mengingat penyebab
kambuhnya batuk, tertarik menjadi tahu setelah melihat iklan obat batuk dan dengan obat batuk
tersebut gejala batuk bisa reda. Contoh dari pengetahuan tingkat kedua (memahami) adalah
mampu menjelaskan tanda dan gejala penyakit TBC, ataupun penyakit lainya. Pengetahuan yang
terkait pada aplikasi misalnya adalah seorang penderita atau keluarga yang mampu memilih
berobat secara rutin ke puskesmas atau Balai Paru untuk pengobatan sakit TBC.

II. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT


A. Etiologi 1, 2, 3
Penyakit TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculocis,
yang masih keluarga besar genus Mycrobacterium. Dari anggota keluarga Mycrobacteriumyang
diperkirakan lebih dari 30, hanya 3 yang dikenal bermasalah dengan kesehatan masyarakat.
Mereka adalah Mycrobacterium tuberculocis, M.bovisyang terdapat pada susu sapi yang tidak
dimasak, dan M.leprae yang menyebabkan penyakit kusta.
Mycrobacterium tuberculocis berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal
0,3-0,6 mikron, tahan terhadap pewarnaan yang asam sehingga disebut dengan Bakteri Tahan
Asam (BTA). Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak dan lipid yang membuat lebih tahan
asam. Bisa hidup bertahun-tahun. Sifat lain adalah bersifat aerob, lebih menyukai jaringan kaya
oksigen terutama pada bagian apical posterior.

2
B. Cara Penularan 1,2

Penularan TB dikenal melalui udara, terutama pada udara tertutup seperti udara dalam
rumah yang pengap dan lembab, udara dalam pesawat terbang, gedung pertemuan, dan kereta
api berpendingin. Prosesnya tentu tidak secara langsung, menghirup udara bercampur bakteri
TB lalu terinfeksi, lalu menderita TB, tidak demikian. Masih banyak variabel yang berperan
dalam timbulnya kejadian TB pada seseorang, meski orang tersebut menghirup udara yang
mengandung kuman.
Sumber penularan adalah penderita TB dengan BTA (+). Apabila penderita TB batuk,
berbicara atau bersin, maka ribuan bakteri TB akan berhamburan bersama ”droplet” nafas
penderita yang bersangkutan, khususnya pada penderita TB aktif dan luka terbuka pada
parunya.
Daya penularan dari seseorang ke orang lain ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan serta patogenesitas kuman yang bersangkutan, serta lamanya seseorang
menghirup udara yang mengandung kuman tersebut. Kuman TB sangat sensitif terhadap
cahaya ultra violet. Cahaya matahari sangat berperan dalam membunuh kuman di lingkungan.
Oleh sebab itu, ventilasi rumah sangat penting dalam manajemen TB berbasis keluarga atau
lingkungan.

C. Periode Prepatogenesis 4
 Faktor Agent (Mycobacterium tuberculosis)
Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan kimia atau
antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang
lama.
Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium
Tuberculosis sangat tinggi. Patogenesis hampir rendah dan daya virulensinya tergantung
dosis infeksi dan kondisi Host. Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering
muncul setelah penggunaan kemoterapi moderen, sehingga menyebabkan keharusan
mengembangkan obat baru.
Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk
transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi kongenital
yang jarang terjadi.

3
 Faktor Lingkungan
Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang besar dan
prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun berpola sekuler tanpa
dipengaruhi musim dan letak geografis.
Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran sosiobiologis
menyebutkan adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang mencakup
pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi.
Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas
perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik, penggangguran dan tidak adanya
pengalaman sebelumnya tentang TBC dapat juga menjadi pertimbangan pencetus
peningkatan epidemi penyakit ini.
Pada lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan
hewan ternak yang terinfeksi adalah berbahaya.
 Faktor Host
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak kejadian dan
kematian :
1. paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita,
2.paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan,
perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita,
3. puncak sedang pada usia lanjut.

Dalam perkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak berlaku
pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau tidak
terlindung dari resiko infeksi. Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang
diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi. Penduduk pribumi
memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal TBC sejak lama, yang disebabkan
rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek keturunan dan distribusi secara familial sulit
terinterprestasikan dalam TBC, tetapi mungkin mengacu pada kondisi keluarga secara umum
dan sugesti tentang pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi turut
memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian. Status
gizi, kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme

4
pertahanan umum juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi
primer memberikan beberapa resistensi, namun sulit untuk dievaluasi.

D. Periode Pathogenesis (Interaksi Host-Agent) 2,4


Interaksi terutama terjadi akibat masuknya Agent ke dalam saluran respirasi dan
pencernaan Host. Contohnya Mycobacterium melewati barrier plasenta, kemudian
berdormansi sepanjang hidup individu, sehingga tidak selalu berarti penyakit klinis. Infeksi
berikut seluruhnya bergantung pada pengaruh interaksi dari Agent, Host dan Lingkungan.

5
Basil TB yang masuk ke dalam paru melalui bronkhus secara langsung dan pada manusia
yang pertama kali kemasukan disebut primary infection. Infeksi pertama (primer) terjadi ketika
seseorang pertama kali kemasukan basil atau kuman TB umumnya tidak terlihat gejalanya. Dan
sebagian besar orang, berhasil menahan serangan kuman tersebut dengan cara melakukan
isolasi dengan cara dimakanmacrophages, dan dikumpulkan pada kelenjar regional disekitar
hilus paru. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri
di paru yang menyebabkan peradangan di dalam paru. Oleh sebab itu, kemudian disebut
sebagai kompleks primer. Pada saat terjadi infeksi, kuman masuk hingga pembentukan
kompleks primer sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat diketahui dengan reaksi positif pada
tes tuberkulin.2
Biasanya hal tersebut terjadi pada masa kanak-kanak dibawah umur 1 tahun. Apabila
gagal melakukan containment kuman, maka kuman TB masuk melalui aliran darah dan
berkembang, maka timbulah peristiwa klinik yang disebut TB milier. Bahkan kuman bisa dibawa
aliran darah ke selaput otak yang disebut meningitis radang selaput otak yang sering
menimbulkan sequele gejala sisa yang permanen.2
Secara umum tubuh memiliki kemampuan perlawanan, kecuali pada penderita
AIDS/HIV. Di Amerika 95% anak-anak tubuhnya mampu melawan kuman TB. Di negara-negara
yang mempunyai status gizi buruk, angka tersebut jauh lebih besar. Ada ukuran Annual Risk of
Tubercolosis Infection (ARTI). Indonesia tercatat memiliki ARTI sebesar 1-2%, sedangkan Eropa
memiliki ARTI 0,1-0,3%. Pada ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 orang
penduduk akan ada 10 orang yang tertular. Sebagian besar yang tertular belum tentu
berkembang menjadi TB klinis, hanya sekitar 10% menjadi TB klinis. Dengan ARTI sebesar 1%
maka diantara 100.000 penduduk, rata-rata 1000 orang penderita TB baru setiap tahunnya,
dimana 100 orang diantaranya adalah BTA positif.2
Sebagian besar dari kuman TB yang beredar dan masuk ke dalam paru orang-orang yang
tertular mengalami fase atau menjadi dormant dan muncul bila kondisi tubuh mengalami
penurunan kekebalan, gizi buruk, atau menderita HIV/AIDS (Achmadi, 2005). TB secara teoritis
menyerang berbagai organ, namun terutama menyerang organ paru. Sedangkan pada paru-
paru tempat yang paling disukai atau tempat yang sering terkena adalah apical pasterior. Hal
ini disebabkan karenaMycrobacterium tubercolocis bersifat aerobik, sedangkan pada daerah
tersebut adalah bagian paru-paru yang banyak memiliki oksigen.2

6
E. Manifestasi Klinis 1
Gejala Sistemik Tuberkulosis
Secara sistemik pada umumnya penderita akan mengalami demam. Demam
berlangsung pada sore dan malam hari, disertai keringat dingin meskipun tanpa aktifitas,
kemudian kadang hilang. Gejala ini akan timbul lagi beberapa bulan kemudian seperti demam,
influenza biasa, dan kemudian seolah-olah sembuh tidak ada demam.
Gejala lain adalah malaise (perasaan lesu) bersifat berkepanjangan kronis, disertai rasa
tidak fit, tidak enak badan, lemah, lesu, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan semakin
kurus, pusing, serta mudah lelah. Gejala sistemik ini terdapat baik pada TB Paru maupun TB
yang menyerang organ lain.

Gejala Respiratorik Tuberkulosis


Adapun gejala repiratorik atau gejala saluran pernafasan adalah batuk. Batuk bisa
berlangsung secara terus-menerus selama 3 mingggu atau lebih. Hal ini terjadi apabila sudah
melibatkan brochus. Gejala respiratorik lainnya adalah batuk produktif sebagai upaya untuk
membuang ekskresi peradangan berupa dahak atau sputum. Dahak ini kadang bersifat purulent.
Kadang gejala respiratorik ini ditandai dengan batuk berdarah. Hal ini disebabkan karena
pembuluh darah pecah, akibat luka dalam alveoli yang sudah lanjut. Batuk darah inilah yang
sering membawa penderita berobat ke dokter. Apabila kerusakan sudah meluas, timbul sesak
nafas dan apabila pleura sudah terkena, maka disertai pula dengan rasa nyeri pada dada.

III. PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA 5


Dokter keluarga adalah dokter praktek umum yang menyelenggarakan pelayanan primer
yang komprehensif, kontinu, integrative, holistic, koorddinatif, dengan mengutamakan
pencegahan, menimbang peran keluarga dan lingkungan serta pekerjaannya. Pelayanan diberikan
kepada semua pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia ataupun jenis penyakitnya.
Dokter keluarga harus mempunyai kompetensi khusus yang lebih dari pada seorang
lulusan fakultas kedokteran pada umumnya. Kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap Dokter
Keluarga secara garis besarnya ialah :
a. Menguasai dan mampu menerapkan konsep operasional kedokteran keluarga.
b. Menguasai pengetahuan dan mampu menerapkan ketrampilan klinik dalam pelayanan
kedokteran keluarga.

7
c. Menguasai keterampilan berkomunikasi, menyelenggarakan hubungan professional dokter-
pasien untuk:
 Secara efektif berkomunikasi dengan pasien dan semua anggota keluarga dengan perhatian
khusus terhadap peran dan risiko kesehatan keluarga.
 Secara efektif memanfaatkan kemampuan keluarga untuk bekerja sama menyelesaikan
masalah kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta
pengawasan dan pemantauan risiko kesehatan keluarga.
 Dapat bekerjasama secara professional secara harmonis dalam satu tim pada
penyelenggaran pelayanan kedokteran/ kesehatan.

Karakteristik Dokter keluarga menurut IDI (1982) adalah :


a. Memandang pasien sebagai individu, bagian dari keluarga dan masyarakat.
b. Pelayanan menyeluruh dan maksimal
c. Mengutamakan pencegahan, tingkatan taraf kesehatan
d. Menyesuaikan dengan kebutuhan pasien dan memenuhinya
e. Menyelenggarakan pelayanan primer dan bertanggung jawab atas kelanjutannya.

Tugas Dokter Keluarga, meliputi :


a. Menyelenggarakan pelayanan primer secara paripurna menyuruh, dan bermutu guna
penapisan untuk pelayanan spesialistik yang diperlukan.
b. Mendiagnosis secara cepat dan memberikan terapi secara cepat dan tepat.
c. Memberikan pelayanan kedokteran secara aktif kepada pasien pada saat sehat dan sakit.
d. Memberikan pelayanan kedokteran kepada nidividu dan keluarganya.
e. Membina keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan taraf kesehatan,
pencegahan penyakit, pengobatan dan rehabilitasi.
f. Menangani penyakit akut dan kronik.
g. Melakukan tindakan tahap awal kasus berat agar siap dikirim ke rumah sakit.
h. Tetap bertanggung jawab atas pasien yang dirujukan ke Dokter Spesialis atau dirawat di RS.
i. Memantau pasien yang telah dirujuk atau dikonsultasikan
j. Bertindak sebagai mitra, penasihat dan konsultan bagi pasiennya.
k. Mengkoordinasikan pelayanan yang diperlukan untuk kepentingan pasien.
l. Menyelenggarakan rekam medis yang memenuhi standar

8
m. Melakukan penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran secara umum dan ilmu
kedokteran keluarga secara khusus.

IV. KESEHATAN LINGKUNGAN 6


Kesehatan lingkungan tempat tinggal penduduk merupakan salah satu dari factor risiko
terjadinya TBC, meliputi :
1. Kepadatan hunian kamar tidur

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai
bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak
menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi
oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular
kepada anggota keluarga yang lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas
minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia.
Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas
lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi
tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni
lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin
volume udara yang cukup, di syaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m.
2. Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum 20%
luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat dipasang genteng
kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam
rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya
yang cukup.
Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux., kecuali
untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih redup.
Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses
mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui kaca
tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui
kaca berwama Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar
matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar
penghuni akan sangat berkurang.

9
3. Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara
didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh
penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya
oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban
udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-
bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB.
Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri,
terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri
yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar
ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum.
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas
lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil
(dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur
dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari
kelembaban udara optimum kurang lebih 60%.
4. Kondisi rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TBC. Atap, dinding dan
lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan
akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi
berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculosis.
5. Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana kelembaban yang
optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati
bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di
tempat yang gelap dan lembab.

10
V. UPAYA PREVENTIF 2, 4, 7

Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan peranan Agent, Host dan Lingkungan dari TBC,
maka tahapan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :
1. Pencegahan Primer
Dengan promosi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC paling efektif, walaupun
hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan standar kesehatan
sebelumnya yang sudah tinggi.
Promosi kesehatan menghindari kemunculan dari/ adanya factor resiko ( masa Pra-
Kesakitan). Dimana upaya promosi kesehatan diantaranya adalah:
Penyuluhan penduduk untuk meningkatkan kesadaran terhadap kesehatan lingkungan.
Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangkaian
kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana
individu, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara
memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatannya. Penyuluhan TB perlu dilakukan
karena masalah TB banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat.
Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, peran serta masyarakat
dalam penanggulangan TB. Penyuluhan TB dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan
penting secara langsung ataupun menggunakan media.
Penyuluhan langsung bisa dilakukan perorangan maupun kelompok.
Dalam program penanggulangan TB, penyuluhan langsung perorangan sangat penting
artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan
kepada suspek, penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan secara
teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga, melindungi dan

11
meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari penularan TB. Penyuluhan dengan
menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat
yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB-dari “suatu penyakit yang
tidak dapat disembuhkan dan memalukan”, menjadi “suatu penyakit yang berbahaya, tetapi
dapat disembuhkan”. Bila penyuluhan ini berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita
secara pasif.
Penyuluhan langsung dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan PMO,
sedangkan penyuluhan kelompok dan penyuluhan dengan media massa selain dilakukan oleh
tenaga kesehatan, juga oleh para mitra dari berbagai sector, termasuk kalangan media massa.
a. Penyuluhan Langsung Perorangan
Cara penyuluhan langsung perorangan lebih besar kemungkinan untuk berhasil dibanding
dengan cara penyuluhan melalui media. Dalam penyuluhan langsung perorangan, unsur
yang terpenting yang harus diperhatikan adalah membina hubungan yang baik antara
petugas kesehatan (dokter, perawat,dll) dengan penderita. Penyuluhan ini dapat dilakukan
di rumah, puskesmas, posyandu, dan lain-lain sesuaia kesepakatan yang ada. Supaya
komunikasi dengan penderita bisa berhasil, petugas harus menggunakan bahasa yang
sederhana yang dapat dimengerti oleh penderita. Gunakan istilah-istilah setempat yang
sering dipakai masyarakat untuk penyakit TB dan gejala-gejalanya. Supaya komunikasi
berjalan lancar, petugas kesehatan harus melayani penderita secara ramah dan
bersahabat, penuh hormat dan simpati, mendengar keluhan-keluhan mereka, serta
tunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan dan kesembuhan mereka. Dengan demikian,
penderita mau bertanya tentang hal-hal yang masih belum dimengerti.
Hal-hal penting yang disampaikan pada kunjungan pertama
 Dalam kontak pertama dengan penderita, terlebih dahulu dijelaskan tentang penyakit
apa yang dideritanya, kemudian Petugas Kesehatan berusaha memahami perasaan
penderita tentang penyakit yang diderita serta pengobatannya.
 Petugas Kesehatan seyogyanya berusaha mengatasi beberapa faktor manusia yang
dapat menghambat terciptanya komunikasi yang baik.
b. Penyuluhan Kelompok
Penyuluhan kelompok adalah penyuluhan TB yang ditujukan kepada sekelompok orang
(sekitar 15 orang), bias terdiri dari penderita TB dan keluarganya. Penggunaan flip chart
(lembar balik) dan alat bantu penyuluhan lainnya sangat berguna untuk memudahkan

12
penderita dan keluarganya menangkap isi pesan yang disampaikan oleh petugas. Dengan
alat peraga (gambar atau symbol) maka isi pesan akan lebih mudah dan lebih cepat
dimengerti gunakan alat Bantu penyuluhan dengan tulisan dan atau gambar yang singkat
dan jelas.
c. Penyuluhan Massa
Penyakit menular termasuk TB bukan hanya merupakan masalah bagi penderita, tetapi
juga masalah bagi masyarakat, oleh karena itu keberhasilan penanggulangan TB sangat
tergantung tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat. Pesan-pesan penyuluhan TB
melalui media massa (surat kabar, radio, dan TV) akan menjangkau masyarakat umum.
Bahan cetak berupaleaflet,poster,billboard hanya menjangkau masyarakat terbatas,
terutama pengunjung sarana kesehatan. Penyampaian pesan TB perlu memperhitungkan
kesiapan unit pelayanan, misalnya tenaga sudah dilatih, obat tersedia dan sarana
laboratorium berfungsi. Hal ini perlu dipertimbangkan agar tidak mengecewakan
masyarakat yang dating untuk mendapatkan pelayanan. Penyuluhan massa yang tidak
dibarengi kesiapan UPK akan menjadi “bumerang” (counter productive)

Penyuluhan Penderita Tuberkulosis


 Petugas baik dalam masa persiapan maupun dalam waktu berikutnya secara berkala
memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas melalui tatap muka, ceramah dan mass
media yang tersedia diwilayahnya, tentang cara pencegahan TB-paru.
 Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya pada waktu kunjungan rumah
dan memberi saran untuk terciptanya rumah sehat, sebagai upaya mengurangi penyebaran
penyakit.
 Memberikan penyuluhan perorangan secara khusus kepada penderita agar penderita mau
berobat rajin teratur untuk mencegah penyebaran penyakit kepada orang lain.
 Beri penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan cara-cara
pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini.
 Menganjurkan, perubahan sikap hidup masyarakat dan perbaikan lingkungan demi
tercapainya masyarakat yang sehat.
 Menganjurkan masyarakat untuk melapor apabila diantara warganya ada yang mempunyai
gejala-gejala penyakit TB paru.

13
 Berusaha menghilangkan rasa malu pada penderita oleh karena penyakit TB paru bukan bagi
penyakit yang memalukan, dapat dicegah dan disembuhkan seperti halnya penyakit lain.
 Petugas harus mencatat dan melaporkan hasil kegiatannya kepada koordinatornya sesuai
formulir pencatatan dan pelaporan kegiatan kader.

Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan.


 Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang
dahak tidak disembarangan tempat.
 Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus harus
diberikan vaksinasi BCG. Vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi dengan
perlindungan bagi ibunya dan keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun
ditingkat tersebut berupa tempat pencegahan.
 Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara
lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
 Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu perhatian
khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, hundry, tempat tidur, pakaian), ventilasi
rumah dan sinar matahari yang cukup.
 Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan
hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.
 Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect gambas,
sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect,
perawatan.
 Memberantas penyakti TBC pada pemerah air susu dan tukang potong sapi, dan pasteurisasi
air susu sapi.

2. Pencegahan Sekunder
Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus TBC
yang timbul dengan 3 komponen utama ; Agent, Host dan Lingkungan.

a. Diagnosis TB
Mengacu pada program nasional penanggulangan TB, diagnosis dilakukan dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Adapun diagnosis pastinya adalah
melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak. Namun, pemeriksaan kultur memerlukan

14
waktu yang lama, hanya akan dilakukan bila diperlukan atas indikasi tertentu, dan tidak
semua unit pelayanan kesehatan memilikinya. Pemerintah melalui gerakan terpadu
nasional, memiliki upaya untuk meningkatkan kemampuan Puskesmas untuk melakukan
diagnosis TB berdasarkan pemeriksaan BTA ini. Pemeriksaan dahak dilakukan sedikitnya 3
kali, yaitu pengambilan dahak sewaktu penderita datang berobat dan dicurigai menderita
TB, kemudian pemeriksaan kedua dilakukan keesokan harinya, yang diambil adalah dahak
pagi. Sedangkan pemeriksaan ketiga adalah dahak ketika penderita memeriksakan dirinya
sambil membawa dahak pagi. Oleh sebab itu, disebut pemeriksaan SPS (Sewaktu-Pagi-
Sewaktu).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA
pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikit 2 dari 3 pemeriksaan spesimen SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu
rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau dalam pemeriksaan radiologi,
dada menunjukkan adanya tanda-tanda yang mengarah kepada TB maka yang
bersangkutan dianggap positif menderita TB. Kalau hasil radiologi tidak menunjukkan
adanya tanda-tanda TB, maka pemeriksaan dahak SPS harus diulang. Sedangkan
pemeriksaan biakan basil atau kuman TB, hanya dilakukan apabila sarana mendukung
untuk itu.
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, maka diberikan antibiotik berspektrum
luas selama 1 hingga 2 minggu, amoksilin atau kotrimoksasol. Bila tidak berhasil, dan
penderita yang bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-tanda TB, maka ulangi
pemeriksaan dahak SPS. Selanjutnya prosedur terdahulu dilakukan, yakni kalau dalam
pemeriksaan ulang ternyata dahak SPS positif, maka yang bersangkutan adakah positif
menderita TB. Namun, apabila dahak negatif, maka ulangi pemeriksaan radiologi. Apabila
hasil radiologi mendukung TB dianggap sebagai penderita TB dengan BTA negatif,
radiologi positif. Apabila baik radiologi tidak mendukung TB, spesimen dahak negatif,
maka yang bersangkutan bukan TB.
Karena tingginya prevalensi TB di Indonesia, maka tes tuberkulin pada orang dewasa,
tidak memiliki makna lagi. Pada anak, sulit untuk mendapatkan BTA, sehingga diagnosis TB
pada anak didapat dari gambaran klinik, radiologi dan uji tuberkulin.

Untuk itu, seorang anak dapat dicurigai menderita TB, kalau terdapat gejala seperti:
1. Mempunyai riwayat kontak serumah dengan penderita TB dengan BTA positif.
2. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG dalam waktu 3-7 hari.
3. Terdapat gejala umum TB.

15
Gejala umum TB pada anak sebagai berikut:
1. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut, tanpa sebab yang jelas dan tidak naik
dalam 1 bulan meski sudah mendapat penanganan gizi yang baik.
2. Nafsu makan tidak ada, dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik dengan
memadai.
3. Demam lama dan atau berulang tanpa sebab yang jelas, disertai keringat malam, tanpa
sebab-sebab lain yang jelas. Misalnya infeksi saluran napas bagian atas yang akut,
malaria, tipus, dan lain-lain.
4. Pembesaran kelenjar limpa superfisialis yang tidak sakit. Pembesaran ini
biasanya multiple, paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.
5. Batuk lama lebih dari 30 hari, disertai tanda adanya cairan di dada.
6. Gejala dari saluran pencernaan, misalnya adanya diare berulang yang tidak sembuh
dengan pengobatan diare, adanya benjolan massa di daerah dan adanya tanda-tanda
cairan abdomen.

Uji tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan secara intrakutan ( yakni di


dalam kulit), dengan tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU ( Tuberculin Unit ). Pembacaan
dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan, dan diukur diameter dari peradangan atau
indurasi yang dinyatakan dalam milimeter. Dinyatakan positif bila indurasi sebesa r > 10
mm pada anak dengan gizi baik, dan pada anak-anak dengan gizi buruk.
Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern
kemoterapi spesifik, walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga.
Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TBC sebagai
pusat, sehingga pengobatan dini dapat diberikan. Selain itu, pengetahuan tentang
resistensi obat dan gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk yang paling
efektif.

b. Penatalaksanaan TB

 Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat. Obat-
obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun dan teratur,
waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat,
dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.
 Pemberian INH sebagai pengobatan preventif memberikan hasil yang cukup efektif
untuk mencegah progresivitas infeksi TB laten menjadi TB klinis. Berbagai penelitian

16
yang telah dilakukan terhadap orang dewasa yang menderita infeksi HIV terbukti
bahwa pemberian rejimen alternatif seperti pemberian rifampin dan pyrazinamide
jangka pendek ternyata cukup efektif. Pemberian terapi preventif merupakan prosedur
rutin yang harus dilakukan terhadap penderita HIV/AIDS usia dibawah 35 tahun.
Apabila mau melakukan terapi preventif, pertama kali harus diketahui terlebih dahulu
bahwa yang bersangkutan tidak menderita TB aktif, terutama pada orang-orang
dengan imunokompromais seperti pada penderita HIV/AIDS. Oleh karena ada risiko
terjadinya hepatitis dengan bertambahnya usia pada pemberian isoniasid, maka
isoniasid tidak diberikan secara rutin pada penderita TB usia diatas 35 tahun kecuali
ada hal-hal sebagai berikut: infeksi baru terjadi (dibuktikan dengan baru terjadinya
konversi tes tuberkulin); adanya penularan dalam lingkungan rumah tangga atau dalam
satu institusi; abnormalitas foto thorax konsisten dengan proses penyembuhan TB
lama, diabetes, silikosis, pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid atau
pengobatan lain yang menekan kekebalan tubuh, menderita penyakit yang menekan
sistem kekebalan tubuh seperti HIV/AIDS. Mereka yang akan diberi pengobatan
preventif harus diberitahu kemungkinan terjadi reaksi samping yang berat seperti
terjadinya hepatitis, demam dan ruam yang luas, jika hal ini terjadi dianjurkan untuk
menghentikan pengobatan dan hubungi dokter yang merawat. Sebagian besar fasilitas
kesehatan yang akan memberikan pengobatan TB akan melakukan tes fungsi hati
terlebih dahulu terhadap semua penderita; terutama terhadap yang berusia 35 tahun
atau lebih dan terhadap pecandu alkohol sebelum memulai pengobatan.
 Terapi spesifik: Pengawasan Minum obat secara langsung terbukti sangat efektif dalam
pengobatan TBC di AS dan telah direkomendasikan untuk diberlakukan di AS.
Pengawasan minum obat ini di AS disebut dengan sistem DOPT, sedangkan Indonesia
sebagai negara anggota WHO telah mengadopsi dan mengadaptasi sistem yang sama
yang disebut DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). Penderita TBC
hendaknya diberikan OAT kombinasi yang tepat dengan pemeriksaan sputum yang
teratur. Untuk penderita yang belum resisten terhadap OAT diberikan regimen selama
6 bulan yang terdiri dari isoniazid (INH), Rifampin (RIF) dan pyrazinamide (PZA) selama
2 bulan kemudia diikuti dengan INH dan PZA selama 4 bulan. Pengobatan inisial dengan
4 macam obat termasuk etambutol (EMB) dan streptomisin diberikan jika infeksi TB
terjadi didaerah dengan peningkatan prevalensi resistensi terhadap INH. Namun bila

17
telah dilakukan tes sensititvitas maka harus diberikan obat yang sesuai. Jika tidak ada
konversi sputum setelah 2-3 bulan pengobatan atau menjadi positif setelah beberapa
kali negatif atau respons klinis terhadap pengobatan tidak baik, maka perlu dilakukan
pemeriksaan terhadap kepatuhan minum obat dan tes resistensi. Kegagalan
pengobatan umumnya karena tidak teraturnya minum obat dan tidak perlu merubah
regimen pengobatan. Perubahan Supervisi dilakukan bila tidak ada perubahan respons
klinis penderita. Minimal 2 macam obat dimana bekteri tidak resisten harus ada dalam
regiemen pengobatan. Jangan sampai menambahkan satu jenis obat baru pada kasus
yang gagal. Jika INH atau rifampisin tidak dapat dimasukkan kedalam regimen maka
lamanya pengobatan minimal selama 18 bulan setelah biakan menjadi negatif. 551
Untuk penderita baru TBC paru dengan BTA (+) di negara berkembang, WHO
merekomendasikan pemberian 4 macam obat setiap harinya selama 2 bulan yang
teridiri atas RIF, INH, EMB, PZA diikuti dengan pemberian INH dan RIF 3 kali seminggu
selama 4 bulan. Semua pengobatan harus diawasi secara langsung, jika pada
pengobatan fase kedua tidak dapat dilakukan pengawasan langsung maka diberikan
pengobatan substitusi dengan INH dan EMB selama 6 bulan. Walaupun pengobatan
jangka pendek dengan 4 macam obat lebih mahal daripada pengobatan dengan jumlah
obat yang lebih sedikit dengan jangka waktu pengobatan 12- 18 bulan namun
pengobatan jangka pendek lebih efektif dengan komplians yang lebih baik. Penderita
TBC pada anak-anak diobati dengan regimen yang sama dengan dewasa dengan sedikit
modifikasi. Kasus resistensi pada anak umumnya karena tertular dari penderita dewasa
yang sudah resisten terlebih dahulu.Anak dengan limfadenopati hilus hanya diberikan
INH dan RIF selama 6 bulan. Pengobatan anak-anak dengan TBC milier, meningitis, TBC
tulang/sendi minimal selama 9-12 bulan, beberapa ahli menganjurkan pengobatan
cukup selama 9 bulan. Etambutol tidak direkomendasikan untuk diberikan pada anak
sampai anak cukup besar sehingga dapat dilakukan pemeriksaan buta warna (biasanya
usia > 5 tahun). Penderita TBC pada anak dengan keadaan yang mengancam jiwa harus
diberikan pengobatan inisial dengan regimen dengan 4 macam obat. Streptomisin tidak
boleh diberikan selama hamil. Semua obat kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi
efek samping yang berat. Operasi toraks kadang diperlukan biasanya pada kasus MDR.

18
 Sediakan fasilitas perawatan penderita dan fasilitas pelayanan diluar institusi untuk
penderita yang mendapatkan pengobatan dengan sistem (DOPT/DOTS) dan sediakan
juga fasilitas pemeriksaan dan pengobatan preventif untuk kontak.
 Isolasi: Untuk penderita TB paru untuk mencegah penularan dapat dilakukan dengan
pemberian pengobatan spesifik sesegera mungkin. Konversi sputum biasanya terjadi
dalam 4 – 8 minggu. Pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit hanya dilakukan
terhadap penderita berat dan bagi penderita yang secara medis dan secara sosial tidak
bisa dirawat di rumah. Penderita TB paru dewasa dengan BTA positif pada sputumnya
harus ditempatkan dalam ruangan khusus dengan ventilasi bertekanan negatif.
Penderita diberitahu agar menutup mulut dan hidung setiap saat batuk dan bersin.
Orang yang memasuki ruang perawatan penderita hendaknya mengenakan pelindung
pernafasan yang dapat menyaring partikel yang berukuran submikron. Isolasi tidak
perlu dilakukan bagi penderita yang hasil pemeriksaan sputumnya negatif, bagi
penderita yang tidak batuk dan bagi penderita yang mendapatkan pengobatan yang
adekuat (didasarkan juga pada pemeriksaan sensitivitas/resistensi obat dan adanya
respons yang baik terhadap pengobatan).Penderita remaja harus diperlakukan seperti
penderita dewasa. Penilaian terus menerus harus dilakukan terhadap rejimen
pengobatan yang diberikan kepada penderita.
 Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok, yaitu:
1. Obat primer / Lini pertama: Isoniazid (INH), Rifampisin, Etambutol,Streptomisin,
Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggidengan toksisitas yang masih
dapat ditolerir, sebagian besar dapatdipisahkan dengan obat-obatan ini.
2. Obat sekunder / Lini kedua: Etionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin,Amikasin,
Kapreomisin, Kanamisin.

3. Pencegahan Tersier
Rehabilitasi menrupakan suatu usaha mengurangi komplikasi penyakit. Rehabilitasi
merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TBC. Dimulai dengan diagnosis kasus berupa
trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis, rehabilitasi penghibur selama
fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian rehabilitasi pekerjaan yang tergantung
situasi individu. Selanjutnya, pelayanan kesehatan kembali dan penggunaan media pendidikan
untuk mengurangi cacat sosial dari TBC, serta penegasan perlunya rehabilitasi.

19
KESIMPULAN
TBC adalah suatu infeksi bakteri menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang utama menyerang organ paru manusia. TBC merupakan salah satu problem utama
epidemiologi kesehatan didunia. Agent, Host dan Lingkungan merupakan faktor penentu yang saling
berinteraksi, terutama dalam perjalanan alamiah epidemi TBC baik periode Prepatogenesis maupun
Patogenesis. Interaksi tersebut dapat digambarkan dalam Bagan “Segitiga Epidemiologi TBC”.
Meningkatnya angka penderita TBC disebabkan berbagai faktor diantaranya karakteristik
demografi keluarga, social ekonomi, sikap keluarga itu sendiri, seperti ketidaktahuan akan akibat,
komplikasi dan cara merawat anggota keluarganya yang menderita TBC di rumah dan sikap penderita
TBC. Selain itu penularan dalam keluarga juga disebabkan kebiasaan sehari-hari keluarga yang kurang
memenuhi kesehatan seperti kebiasaan membuka jendela, kebiasaan membuang dahak penderita.
Faktor lain yang berpengaruh adalah pengetahuan keluarga yang kurang tentang penyakit TBC seperti
penyebab, akibat dan komplikasinya, sehingga menyebabkan keluarga dan penderita TBC kurang
termotivasi untuk berobat yang berakibat terjadinya penularan dalam keluarga. Akibat lebih jauh dari
hal tersebut adalah terjadinya penularan penderita TBC dalam keluarga dan masyarakat yang kemudian
akan berdampak pada masalah pembangunan kesehatan kesehatan di Indonesia karena meningkatnya
angka penderita TBC.
Pencegahan terhadap infeksi TBC sebaiknya dilakukan sedini mungkin, yang terdiri dari
pencegahan primer, sekunder dan tersier (rehabilitasi).

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Achmadi, Umar Fahmi. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
2005.
2. Chin J (Ed), Kandun IN (Editor Penterjemah). Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta:
Infomedika. 2006.
3. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI. 2006.
4. Universitas Indonesia (FKUI). 2004. Kuliah Tuberculosis. Diunduh dari http://ui.org/
fk/kuliah/respirasi/tuberculosis.htm. 10 Juli 2011.
5. Soetono, Sadikin, & Zanilda. Membangun Praktek Dokter Keluarga Mandiri.
Jakarta : Pengurus Besar IDI. 2006
6. Departemen Kesehatan RI. Survei Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
2001.
7. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. 2002

21

Anda mungkin juga menyukai