Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Obsetri dan genokologi banyak berhubungan dengan masalah-masalah kelahiran,
reproduksi, penuan (aging), dan juga kematian dimana semuanya penuh dengan dilema-dilema
etik, moral, dan hukum.
Benturan etik, bentural moral, hukum menjadi dilema apabila berbenturan dengan
peradaban, ada benturan nilai, dan ada benturan norma dalam pengertiannya, dan tidak jarang ada
benturan keyakinan pada individu masing-masing atau sekelompok orang. Peristilahan awam
menyebutnya sebagai benturan budaya. Budaya dalam ikhwal kesisteman, dengan subsistemnya
yang mencakup pengetahuan, organisasi social, sistem ekonomi, system teknologi, kesenian,
system bahasa, dan sitem religi.
Kekuatan-kekuatan yang dimiliki di dalam kesisteman tersebut sangat luas pengertiannya,
yang sangat memahami akan budaya dari individu maupun berkelompok.
Dimana dibagian jaman sekarang praktik budaya dalam social banyak melanggar norma-
norma dalam social budaya dalam hukum kehidupan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Norma ?
2. Apa yang dimaksud dengan Praktik Budaya ?
3. Bagaimana yang dimaksud dengan Norma dan Praktik Budaya dalam
Kehidupan Seksualitas ?
4. Apa yang dimaksud dengan Norma dan Praktik Budaya dalam
Kemampuan Reproduksi ?
5. Bagaimana yang dimaksud dengan Sejarah Homoseksual dalam Kehidupan Seksualitas
yang Menyangkut Norma dan Praktik Budaya yang Menyimpang ?
6. Apa yang dimaksud dengan Orientasi Seksual, Identitas, Perilaku dalam Norma dan dalam
Ruang Lingkup Kehidupan Bersosial Budaya ?
7. Apa yang dimaksud dengan Perkembangan Identitas Seksual di Ruang Lingkup Budaya
Masyarakat ?

1
8. Bagaimana cara Pengendalian terhadap Ruang Lingkup Seksual yang mencangkup Norma-
Norma dan Prakik Sosial Budaya ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Norma
2. Untuk mengetahui pengertian Praktik Budaya
3. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Norma dan Praktik Budaya dalam Kehidupan
Seksualitas
4. Untuk mengetahui dimaksud dengan Norma dan Praktik Budaya dalam Kemampuan
Reproduksi
5. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Sejarah Homoseksual dalam Kehidupan Seksualitas
yang menyangkut Norma dan Praktik Budaya yang Menyimpang
6. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan Orientasi Seksual, Identitas, Perilaku dalam
Norma dan dalam Ruang Lingkup Kehidupan Bersosial Budaya
7. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan Perkembangan Identitas Seksual Di Ruang
Lingkungan Budaya Masyarakat
8. Untuk mengetahui cara Pengendalian terhadap Ruang Lingkup Seksual yang mencangkup
Norma Norma dan Prakik Sosial Budaya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Norma
Norma berasal dari bahasa latin, yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat
perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sini kita dapat mengartikan norma sebagai
pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk menagtur
sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau
keburukan suatu perbuatan. Jadi secara terminology kita dapat mengambil kesimpulan menjadi
dua macam. Pertama, Norma menunjuk suatu teknik. Kedua, Makna tersebut lebih bersifat
normative. Norma yang kita perlukan adalah norma yang brsifat praktis, norma yang dapat
diterapkan pada perbuatan konkret.
Dengan tidak adanya norma, kehidupan manusia akan menjadi brutal. Pernyataan tersebut
dilatar belakangi oleh keinginann manusia yang tidak ingin tingkah laku manusia bersifat senonoh.
Dengan demikian, dibutuhkan sebuah norma yang lebih bersifat praktis. Memang secara bahasa
norma agak bersifat normative tetapi itu tidak menutup kemungkinan pelaksanaannya bersifat
praktis. Adapun Norma dalam kehidupan, yakni :
1. Norma Agama :
a. Berasal dari Tuhan Yang Maha Esa
b. Tercantum dalam kitab suci setiap agama
c. Pelanggaran terhadap norma agama merupakan dosa
d. Agar setiap orang beriman dan bertakwa terhadap Tuhannya
e. Agar tercipta masyarakat yang agamis, tertib, tentram, rukun, damai dan sejahtera.
2. Norma Masyarakat/sosial :
a. Bersumber dari masyarakat sendiri
b. Pelanggaran atas norma sosial berakibat pengucilan dari masyarakat
c. Tujuan norma sosial supaya tercipta masyarakat yang saling menghormati dan saling
menghargai

3
3. Norma Kesusilaan :
a. Berasal dari setiap manusia
b. Pelanggaran dari norma ini berakibat penyesalan
c. Dalam kehidupan sehari-hari sebaiknya setiap individu berusaha agar setiap sikap, ucapan
dan perilakunya selalu dijiwai oleh nilai-nilai atau norma agama, kesopanan dan hukum.

4. Norma Hukum :
a. Berasal dari Negara
b. Pelanggran atas norma ini berakibat hukuman sesuai dengan peraturan
c. Pelanggaran norma hukum dalam masyarakat akan memicu berbagai kerusuhan dan perbuatan
amoral yang tidak bertanggung jawab.

B. Pengertian Praktik Budaya


Praktik budaya menurut pengertiannya secara umum adalah norma-norma dalam kebudayaan
yang harus dihormati oleh seorang individu maupun berkelompok, dimana salah satu ketika
seseorang melanggarnya maka ia akan menerima sanksi baik itu secara halus maupun secara kasar,
contohnya seperti di kucilkan, bahkan tak di anggap dari kelompok budaya tersebut yang dapat
membuat orang tersebut di keluarkan dari budaya tersebut dan di keluarkan dari komunitas budaya
itu.
Dimana sebagian dari orang sekelompok masyarakat banyak melangar dari norma aturan
dalam kehidupan, antara lain pergaulan bebas, praktik budaya yang kurang bermutu dimana
sebagian orang banyak yang melakukan penyimpangan seperti saling menyukai sesama jenis
dalam norma-norma kehidupannya yang dalam kenyataan dan kaidahnya melanggar norma dan
hukum agama.

C. Norma dan Praktik Budaya dalam Kehidupan Seksualitas


Norma-norma dan praktik budaya dalam kehidupan seksualitas dimana seseorang mengalami
gangguan dan keterkaitan terhadap suatu kelainan akibat trauma, sehingga banyaknya jumlah
seseorang meningkatkatkan kehidupan seksual yang kurang di hormati di kalangan

4
masyarakat,baik itu melalui pergaulan bebas di kalangan remaja, homoseksualitas, dan bahkan
kelainan kelainan seksualitas lainnya yang banyak di langgar oleh sebagian orang.
Secara norma dan praktik kebudayaannya homoseksualitas adalah rasa ketertarikan romantis
atau seksual dalam perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai
orientasi seksual, homoseksualitas yang mengacu pada pola berkelanjutan atau disposisi untuk
pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis secara eksklusif orang dari jenis
kelamin yang sama, diaman homoseksualitas juga mengacu pada pandangan individu tentang
identitas pribadi dan sosial berdasarkan pada ketertarikan, perilaku ekspresi, dan keanggotaan
dalam komunitas lain yang berbagi itu.

D. Norma dan Praktik Budaya dalam Kemampuan Reproduksi, meliputi:


1. Revolusi seks : seks bebas tidak untuk menghasilkan keturunan. Jika seks tidak untuk menghasilkan
keturunan, maka keturunan tidak harus didapat dari hubungan seksual. Pemikiran ini mempertajam
pemahaman manusia tentang makna prokreasi dan seksualitas.
2. Gerakan feminisime dan hak gay : jika lelaki dan perempuan tidak saling melengkapi dan
berpengaruh secara generatif, maka bayi tidak harus hadir melalui persatuan ovum dan sperma.
Maka monogami yang diangggap sebagai tempat ideal terjadinya prokreasi tidak akan terlalu
dipandang dalam norma budaya kita. Untuk itu, kloning akan menjadi pilihan terakhir: orang tua
tunggal. Pemikiran ini mempertajam pemahaman tentang kesetaraan gender.
3. Melalui kloning dihasilkan anak yang diinginkan. Ini menguji pemahaman umum bahwa anak yang
dilahirkan adalah anak yang diinginkan. Pemikiran semacam ini digunakan untuk menentang
aborsi dan kontrasepsi.

E. Etimologi dalam Kehidupan Seksualitas yang Menyangkut Norma dan Praktik Budaya yang
Menyimpang
Kata homoseksual adalah hasil penggabungan bahasa Yunani dan Latin dengan elemen
pertama berasal dari bahasa Yunani homos, 'sama' (tidak terkait dengan kata Latin homo,
'manusia', seperti dalam Homo sapiens), sehingga dapat juga berarti tindakan seksual dan kasih
sayang antara individu berjenis kelamin sama, termasuk lesbianisme. Dimana hubungan gay
umumnya mengacu pada homoseksualitas laki-laki, tetapi dapat digunakan secara luas untuk

5
merujuk kepada semua orang LGBT. Dalam konteks seksualitas, lesbian, hanya merujuk pada
homoseksualitas seseorang.
Banyak panduan penulisan modern di Amerika Serikat menyarankan untuk tidak
menggunakan kata homoseksual sebagai kata benda, tapi menggunakan kata pria gay atau lesbian.
Demikian pula, beberapa norma dalam kehidupan seseorang maupun individu di rekomendasikan
untuk sepenuhnya menghindari penggunaan kata homoseksual karena memiliki sejarah yang
buruk dan karena kata tersebut hanya merujuk pada perilaku seksual seseorang (berlawanan
dengan perasaan romantis) dan dengan demikian memiliki konotasi negatif.

F. Sejarah Homoseksual dalam Kehidupan Seksualitas yang Menyangkut Norma dan Praktik
Budaya yang Menyimpang
Kemunculan istilah homoseksual pertama kali ditemukan pada tahun 1869 dalam sebuah
pamflet Jerman tulisan novelis kelahiran Austria Karl-Maria Kertbeny yang diterbitkan secara
anonim, berisi perdebatan melawan hukum anti-sodomi Prusia.Pada tahun 1879, Gustav Jager
menggunakan istilah Kertbeny dalam bukunya, Discovery of The Soul (1880). Pada tahun 1886,
Richard von Krafft-Ebing menggunakan istilah homoseksual dan heteroseksual dalam bukunya
Psychopathia Sexualis. Buku Krafft-Ebing begitu populer di kalangan baik orang awam dan
kedokteran hingga istilah "heteroseksual" dan "homoseksual" menjadi istilah yang paling luas
diterima untuk orientasi seksual.
Dengan demikian, penggunaan istilah tersebut berakar dari tradisi taksonomi kepribadian
abad ke-19 yang lebih luas. Meskipun penulis awal juga menggunakan kata sifat homoseksual
untuk merujuk pada konteks sesama jenis (seperti sekolah khusus perempuan), sekarang istilah ini
digunakan secara eksklusif dalam referensi untuk daya tarik seksual, aktivitas, dan orientasi. Istilah
homososial sekarang digunakan untuk menggambarkan konteks sesama jenis yang tidak secara
khusus bersifat seksual. Ada juga kata yang mengacu kepada cinta sesama jenis, homofilia.

6
G. Penggunaan Sinonim kata Homoseksual dalam Kehidupan Seksualitas yang Menyangkut
Norma dan Praktik Budaya yang Menyimpang
Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki atau LSL (digunakan di kalangan medis
ketika secara khusus membahas aktivitas seksual), homoerotis (mengacu pada karya seni),
heterofleksibel (mengacu pada orang yang mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual, tetapi
terkadang terlibat dalam kegiatan seksual sesama jenis), dan metroseksual (merujuk pada pria non-
gay dengan selera stereotipe gay seperti makanan, mode, dan desain). Istilah peyoratif dalam
bahasa Inggris termasuk queer, faggot, fairy (peri), poof, dan homo. Dimulai pada 1990-an,
beberapa kata telah direklamasi sebagai kata-kata positif untuk pria gay dan lesbian, seperti dalam
penggunaan studi queer, teori queer, dan bahkan program televisi populer Amerika Queer Eye for
the Straight Guy. Kata homo muncul dalam banyak bahasa lainnya tanpa konotasi penghinaan
seperti dalam bahasa Inggris. Namun, seperti penghinaan etnis dan penghinaan rasial,
penyalahgunaan istilah-istilah ini masih bisa sangat ofensif, kisaran penggunaan yang dapat
diterima tergantung pada konteks dan pembicara. Sebaliknya, gay, kata awalnya dipegang oleh
pria homoseksual dan wanita sebagai istilah positif afirmatif (seperti dalam pembebasan gay dan
hak-hak gay), telah meluas dalam penggunaan peyoratif di kalangan muda.

H. Orientasi Seksual, Identitas, Perilaku dalam Norma dan dalam Ruang Lingkup Kehidupan
Bersosial Budaya
American Psychological Association, American Psychiatric Association, dan National
Association of Social Workers menyatakan orientasi seksual "bukan hanya karakteristik pribadi
yang didefinisikan secara tersendiri. Malahan, orientasi seksual seseorang ditentukan dengan siapa
orang tersebut menemukan hubungan yang memuaskan".
Orientasi seksual umumnya dibahas sebagai karakteristik individu, seperti jenis kelamin
biologis, identitas gender, atau usia. Perspektif ini tidak lengkap karena orientasi seksual selalu
didefinisikan dalam istilah relasional yang harus melibatkan hubungan dengan orang lain.
Tindakan seksual dan atraksi romantis dikategorikan sebagai homoseksual atau heteroseksual
sesuai dengan jenis kelamin biologis individu yang terlibat di dalamnya dimana kebanyakan orang
dalam ruang lingku masyarakat umum kebanyalkan kurang dapat menerima keadaan tersebut di
sekitaran mereka, dimana sesama gender yang sama bersifat relatif satu sama lain.

7
Memang individu-individu mengungkapkan heteroseksualitas, homoseksualitas, atau
biseksualitas dengan tindakan atau keinginan mereka terhadap orang lain. Hal ini mencakup
tindakan-tindakan sederhana seperti berpegangan tangan atau berciuman. Jadi, orientasi seksual
secara integral terkait dengan hubungan personal seorang individu yang dibentuk dengan individu
lain untuk memenuhi kebutuhan akan cinta, ikatan, dan keintiman tampa memikirkan social
budaya dan norma – norma hukum di lingkungan mereka.

Selain perilaku seksual, ikatan ini mencakup kasih sayang fisik non-seksual antara pasangan,
tujuan dan nilai-nilai bersama, sikap saling mendukung, dan komitmen berkelanjutan antara
sesama genders walaupun melangar kaidah dan norma-norma secara agama.

I. Perkembangan identitas seksual Di Ruang Lingkup Budaya Masyarakat "proses coming-


out”

Dimana banyak orang yang merasakan ketertarikan kepada anggota jenis kelamin sama
memiliki fase "coming out" dalam kehidupan mereka. Umumnya, coming out digambarkan
dalam tiga fase. Fase pertama adalah fase "mengenali diri", dimana muncul kesadaran
seseorang untuk terbuka dengan suatu hubungan bahkan mulai mencoba keluar melalui norma
hukum suatu kebudayaan dengan menggambil suatu rasiko tampa disadari ketika di mana
sebagian orang mencoba hubungan sesama jenis. Fase ini sering digambarkan sebagai coming
out yang bersifat internal. Tahap kedua melibatkan keputusan untuk terbuka kepada orang lain,
misalnya keluarga, teman, atau kolega. Tahap ketiga mencakup hidup secara terbuka sebagai
orang LGBT yang pada umumnya identitas hubungan yang mereka jalani tidak dapat di terima
oleh masyarakat sekitar, norma yang berlaku bahkan budaya maupun agama yang mereka anut.

Di Amerika Serikat keadaan seperti ini sering di temui dengan identitas sesual "come out"
di mana, seorang remaja usia sekolah menengah atas atau kuliah ketika orientasi mereka tidak
diterima di masyarakat. Terkadang keluarga mereka sendiri bahkan tidak diberitahu

8
J. Konstruksi sosial dan Norma Etika Homoseksual

Orientasi homoseksual bersifat kompleks dan multi-dimensi, beberapa akademisi dan


peneliti, terutama dalam studi Queer, berpendapat bahwa homoseksual adalah konstruksi
sejarah dan sosial. Pada tahun 1976 sejarawan Michel Foucault berpendapat bahwa
homoseksualitas sebagai identitas yang tidak ada pada abad ke-18. Orang-orang pada masa itu
berbicara tentang "sodomi" yang mengacu kepada tindakan seksualdalam ruang lingkup
merampas hak bela diri seseorang dan moral etika, sehingga sodomi saat itu merupakan
kejahatan yang sering diabaikan oleh beberapa orang yang berprilaku menyimpang, sehingga
mereka terkadang dijatuhi hukuman berat, karena di anggap orang yang melanggar hukum itu
merupakan orang yang berperilaku menyimpang yang kurang memahami etika, dan peraturan
– peraturan terhadap norma – norma kemanusian dan kurang dapat menghargai struktur ikatan
budaya social yang ada di suatu daerah atau negara tertentu.

K. Pengendalian terhadap Ruang Lingkup Seksual yang mencangkup Norma – Norma dan
Prakik Sosial Budaya
1. Membuat norma – norma baru dalam luang kehidupan
Dimana dibuatnya norma – norma atau peraturan bagi setiap kelompok masyarakat atau
individu agar tidak adanya melakukan kejahatan seksual seperti halnya kekerasan dan juga sodomi
hingga menyebabkan penyelimpanagan sesual sesama jenis semangkin meningkat dari tahun ke
tahun.
2. Memperketat aturan Norma Budaya
Dimana suau budaya memulai menjelaskan mengenai penyelimpangan-penyelimpangan dan
hal apa saja yang akan terjadi apabila dilakukannya penylimpangan, dan menjelaskan juga
mengenai apa yang dilarang oleh Budaya setempat maupun Agama yang diyakini sehingga
menyadarkan sebagian orang agar menghindari penyelimpangan tersebut.
3. Rehabilitasi bagi para homoseksual
Dimana peran masyarakat, keluarga, orang terdekat juga seperti sahabat maupun teman
memberikan support mendalam kepada pelaku homoseksual agar pelaku menyadari kesalaan yang
telah di lakukannya sedikit demi sedikit dan mencoba membantu menyadarkan agar belajar untuk
kembali menjadi manusia yang normal tampa melakukan adanya penyimpangan social lagi dalam

9
hubungan yang tidak semestinya, yang melanggar norma hukum dan melanggar dari social
budayayang telah tertanam kuat di lingkungan atau Negara itu sendiri.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Homoseksualitas bukanlah penyakit kejiwaan dan bukan penyebab efek psikologis negatif.
Namun merupakan suatu Prasangka terhadap kaum biseksual dan homoseksual yang
menyebabkan efek semacam itu. Meskipun begitu banyak sekte-sekte agama dan organisasi
"mantan-gay dan lesbi" serta beberapa asosiasi psikologi memandang bahwa kegiatan
homoseksual adalah dosa atau kelainan. Namun bertentangan dengan pemahaman umum secara
ilmiah homoseksual adalah berbagai sekte dan organisasi homoseksual adalah sesuatu yang
menggambarkan bahwa homoseksualitas yang merupakan "pilihan" dari suatu kaum baik itu
perorangan maupun kelompok yang bersifat melanggar norma dan kultur adat mengenai hubungan
mendasar yang bersifat normal antara wanita dan pria.
Dengan demikian disimpulkan bahwa seorang homoseksual berpemikiran modern dan
individualisme manusia, diamana mereka masing- masing individu berusaha membentuk diri
masing-masing “not only as self-made man but also manmade selves”. Manusia tidak lagi berpikir
bahwa ia semata-mata ditentukan oleh tradisi dan nenek moyangnya.

B. Saran
Meningkatkan komunikasi yang lancer dengan sebutan sharing dapat membantu sebagian
orang homoseksual yang menyimpang untuk dapat menumbuhkan dan menunjukkan hasrat
manusia untuk mengontrol masa depannya dengan sebaik – baiknya dari kontrol pribadi, sehingga
manusia atau makhluk social tersebut tidak mudah untuk kehilangan keterpesonaannya atas misteri
alam dan kehidupan yang dijalaninya.

11
Daftar Pustaka

http://putriiandynii.blogspot.co.id/2014/01/makalah-isbd-norma-dan-praktik-budaya.html

12

Anda mungkin juga menyukai