Tugas Study Islam Buk Wae
Tugas Study Islam Buk Wae
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya menjadi sempurnalah segenap kebaikan,
dan kepada-Nyalah taufik dan hidayah diharap dalam segala urusan dunia dan akhirat. Wahai
tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami
petunjuk yang lurus dalam urusan kami. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan
kita Nabi Muhammad Saw. Yang telah dipilih Allah sebagai rahmat bagi sekalian alam dan
pembimbing seluru makhluk; beserta keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti
petunjuknya hingga hari kiamat. Amma ba’da:
Karena dengan izin-Nyalah kami bisa menyuguhkan makalah ini, yang memuat tentang
penjelasan mengenai Iddah, Rujuk,Nafkah,Hadhanah,Dalam penyajiannya kami berusaha
menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan memberikan pemaparan yang luas dan luges.
Adapun referensi yang kami gunakan merupakan referensi yang dapat diakui keabsahannya.
Makalah ini kami susun dengan maksud: “Li-ibtighaa-i mardlaatillaah” yakni untuk
memperoleh keridhaan Allah semata-mata.
Kepada saudara-saudara kami yang seagama dan seaqidah, kami ucapkan banyak terima
kasih atas campur tangannya dalam penyusunan maklah ini, semoga amal dan jerih payahnya
dibalas oleh Allah Swt. Tentunya makalah yang kami suguhkan ini tidaklah terlepas dari
kekurangan, karena kami hanyalah manusia biasa yang tak lupuk dari salah dan khilaf, olehnya
itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa kami butuhkan demi kesempurnaan makalah ini
dikemudian hari.
Wassalam.
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti
nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarkis atau tidak ada aturan. Demi
untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, maka Allah SWT mengadakan hukum sesuai
dengan martabat tersebut sehingga antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan
berdasarkan saling rida-meridai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau kedua
pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.
Bentuk pernikahan ini memberikan jalan yang aman pada naluri seksual untuk
memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri wanita agar ia tidak laksana rumput
yang bisa dimakan oleh binatang ternak manapun dengan seenaknya. Pergaulan suami-isteri
diletakkan dibawah naungan keibuan dan kebapaan, sehingga nantinya dapat menumbuhkan
keturunan yang baik dan hasil yang memuaskan. Peraturan pernikahan seperti inilah yang diridai
oleh Allah SWT dan diabadikan dalam Islam untu selamanya.
Pernikahan merupakan sebuah langkah untuk menyatukan dua insan yang berbeda jenis
dalam satu ikatan suci, guna melestarikan keberlangsungan hidup manusia. Ini sejalan dengan
maqasid al-Shari’ah1. Namun tak jarang seiring berjalanya waktu, pernikahan itu mengalami
keretakan dan perpisahan, baik berupa talak maupun ditinggal mati oleh salah satu pihak. Hal ini
merupakan problematik yang paling ditakuti oleh para pelaku pernikahan. Sebab hal ini,
mempunyai beberapa konsekuensi yang harus dijalani.
Sekalipun pernikahan merupakan ikatan yang sangat kuat serta setiap pasangan
pernikahan membulatkan tekadnya untuk mencapai tujuan dishari'atkannya nikah, namun
adakalanya untuk membangun rumah tangga yang harmonis (sakinah, mawaddah, rahmah) tidak
semua dapat terlaksana dengan mulus. Tujuan pernikahan sering tidak dapat tercapai sebab sikap
kemanusiaan masing-masing yang saling berbenturan. Oleh karena itu harus ada jalan keluar
untuk mengatasi hal ini, Talak dishari'atkan untuk mengatasi permasalahan ini.
Hak untuk menjatuhkan talak melekat pada orang yang menikahinya. Apabila hak
menikahi orang perempuan untuk dijadikan sebagai istri, maka yang berhak menjatuhkan talak
adalah orang laki-laki yang menikahinya.2
Sedangkan bagi isteri, Islam memberikan jalan untuk memutuskan ikatan perkawinan
dengan suaminya jika ternyata suaminya buruk akhlaknya, atau karena cacat, atau perbuatannya
menimbulkan mad}arat bagi istri sementara suami tetap bersikukuh untuk mempertahankan
utuhnya perkawinan yaitu dengan mengadukan persoalannya kepada Qadli/Hakim dengan
menggugat agar dijatuhkan talak suami kepada dirinya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalahini
adalah.
1) Bagaimana pengertian,iddah?
2) Bagaimana pengertian,ruju’?
3) Bagaimana pengertian Nafkah?
4) Bagaimana pengertian hadhanah?
1.3. Tujuan
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan ditulisnya makalah ini adalah untuk:
2
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) ,155
BAB II
I Iddah
Pengertian Iddah
‘Iddah adalah bahasa arab yang berasal dari akar kata addayauddu-iddatan, dan jamaknya
adalah idad yang secara arti kata berarti‚ menghitung‛ atau hitungan kata ini digunakan untuk
maksud ‘iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber’iddah menunggu berlalunya
waktu.3
Artinya: ‚ wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak
boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.4
3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007),303
4 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 37
kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu,
jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi Para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada istrinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”5
2.3.3. Macam-Macam Iddah
Istri yang menjalani iddah ditinjau dari segi keadaan waktu berlangsungnya perceraian adalah
sebagai berikut:
a. Kematian suami
b. Belum dicampuri
c. Sudah dicampuri tetapi dalam keadaan hamil
d. Sudah dicampuri tidak dalam keadaan hamil, dan telah berhenti haidnya.
e. Sudah dicampuri, tidak dalam keadaan hamil dan masih dalam masa haid.
Adapun bentuk dan cara iddah juga ada tiga macam: a) Iddah dengan cara menyelesaikan
quru’ yaitu antara haid dan suci; b) Iddah dengan kelahiran anak; dan c) Iddah dengan
perhitungan bulan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 153 masa iddah diklasifikasikan menjadi beberapa
macam yaitu:
A. Putus pernikahan karena ditinggal mati suaminya.
Apabila pernikahan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari hal itu
diatur dalam pasal 39 ayat 1 huruf a PP nomor 9 tahun 1975 dan pasal 153 KHI. Dan ketetapan
ini berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lain halnya
dengan istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil maka waktu tunggunya adalah
sampai ia melahirkan.
B. Putus pernikahan karena perceraian
Seorang istri yang diceraikan oleh suaminya maka memungkinkan mempunyai beberapa
waktu tunggu yaitu:
1) Dalam keadaan hamil
Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil iddahnya sampai ia
melahirkan kandungannya.
2) Dalam keadaan tidak hamil
Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya sebelum terjadi hubungan kelamin maka tidak
berlaku baginya masa iddah. Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya setelah terjadi
Bagi seorang istri yang masih datang bulan (haid), waktu tunggunya berlaku ketentuan 3
kali suci dengan sekurangkurangnya 90 hari.
Bagi istri yang tidak datang bulan maka iddahnya 3 bulan atau 90 hari.
Bagi seorang istri yang pernah haid namun ketika menjalani masa iddah ia tidak haid
karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci.
Dalam keadaan yang disebut pasal 5 KHI pasal 153 bukan karena menyusui maka
iddahnya selama satu tahun akan tetapi bila dalam waktu satu tahun dimaksud ia berhaid
kembali maka iddahnya menjadi tiga kali suci.
C. Putus pernikahan karena khulu’, fasakh dan li’an
Masa iddah bagi janda yang putus ikatan pernikahannya karena khulu’ (cerai gugat atas dasar
tebusan atau iwad dari istri), fasakh (putus ikatan pernikahan karena salah satu diantara suami-
istri murtad atau sebab lain yang seharusnya ia tidak dibenarkan kawin) atau li’an maka waktu
tunggu berlaku seperti iddah talak.
D. Istri ditalak raj’i kemudian ditinggal mati suaminya pada masa iddah.
Apabila istri tertalak raj’i kemudian di dalam menjalani masa iddah sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat 2 huruf b, ayat 5 dan ayat 6 pasal 153 KHI ditinggal mati oleh suaminya,
maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 hari yang mulai
perhitungannya pada saat matinya bekas suaminya. Adapun masa iddah yang telah dilaluipada
saat suaminya masih hidup tidak dihitung, tetapi mulai dihitung dari saat kematian. Sebab
keberadaan istri yang dicerai selama menjalani iddah dianggap masih terikat dalam pernikahan
karena sang suami masih berhak merujuknya selama masih dalam masa iddah. Karakteristik
masa iddah tersebut merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang waktu hitungan masa
iddah dalam hukum pernikahan Islam.
Seandainya terjadi perceraian diantara mereka berdua, sedang istrinya tidak berada di
rumah dimana mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangga, maka si istri wajib kembali
kepada suaminya untuk sekedar suaminya mengetahuinya dimana ia berada.7Dan apabila istri
yang ditalak itu melakukan perbuatan keji secara terang-terangan memperlihatka sesuatu yang
tidak baik bagi keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya dari rumah
tersebut. Ulama’ fiqh mengemukakan bahwa ada beberapa kewajiban bagi perempuan yang
sedang menjalani masa iddahnya adalah:
a. Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain baik secara terang-terangan maupun melalui
sindiran, akan tetapi untuk wanita yang menjalani iddah kematian suami pinangan dapat
dilakukan dengan cara sindiran.
b. Dilarang keluar rumah. Jumhur ulama fiqh selain mazhab Syafi’i sepakat menyatakan
bahwa perempuan yang menjalani iddah dilarang keluar rumah apabila tidak ada
keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, akan tetapi Ulama’
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa wanita yang dicerai suaminya baik cerai hidup
maupun cerai mati dilarang keluar rumah. Alasan mereka adalah sebuah hadits dari Jabir
bin Abdullah yang
menyatakan bahwa: ‚Bibinya dicerai suaminya dengan talak tiga lalu ia keluar rumah
unntuk memetik kurmanya, ditengah keluar jalan bibi Jabir ini bertemu dengan seorang
laki-laki, laki-laki ini melarangnya keluar rumah, lalu bibi Jabir mengadukan permasalah
ini kepadaa Rasulullah, kemudian Rasulullah berkata: ‚pergilah engkau ke kebunmu itu
untuk memetik buah kurma, mudah-mudahan engkau bersedekah dengan buah kurma itu
dan lakukanlah sesuatu yang baik untukmu(HR.Nasa’i dan Abu Dawud)‛ Kemudian ayat
Al-Qur’an yang dijadikan landasan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan bahwa seorang
perempuan yang dicerai suaminya, baik cerai hidup ataupun cerai mati dilarang keluar
rumah.
6
Kamil Muhammad ‘Uwaida, Fiqh Wanita, (jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2007), 450.
7Imam Syafi’i, Mukhtasar Kitab Al-Umm Fi Al Fiqh, diterjemahkan Muh Yasir Abd Muthalib, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007),513.
c. Menurut kesepakatan ulama’ fiqh perempuan yang menjalani iddah akibat talak raj’i atau
dalam keadaan hamil suaminya wajib menyediakan seluruh nafkah yang dibutuhkan
perempuan tersebut. Akan tetapi apabila iddah yang dijalani adalah iddah karena
kematian suami maka perempuan itu tidak mendapatkan nafkah apapun karena kematian
d. telah menghapus seluruh akibat pernikahan. Namun demikian ulama’ mazhab Maliki
menyatakan bahwa perempuan tersebut berhak menempati rumah suaminya selama
dalam masa iddah tersebut, apabila rumah itu adalah rumah suaminya.
e. Perempuan tersebut wajib ber-ihdad
Mengenai hak-hak istri dalam masa iddah bahwa Ulama fiqh berpendapat istri yang
dicerai oleh suami dengan talak raj’i selama masa iddah berhak mendapatkan nafkah dari
suaminya. Hal inilah yang kurang mendapat perhatian dari suami yang menceraikan istrinya
padahal masalah tersebut menyangkut dengan tanggung jawab (kewajiban) dari seorang suami.
Akan tetapi apabila iddahnya karena suami wafat maka istri tidak mendapat nafkah. Namun
mazhab Maliki memberi pengecualian dalam masalah tempat tinggal.8
Istri yang bercerai dari suaminya dihubungkan kepada hak yang diterimanya
dikelompokan ke dalam tiga macam:
Istri yang dicerai dalam talak raj’i hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang
berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, pakaian dan juga
tempat tinggal. Dan hal ini merupakan kesepakatan Ulama’.
Istri yang dicerai dalam bentuk talak ba’in, baik ba’in sughro ataupun ba’in kubra dan dia
sedang hamil, dalam hal ini ulama’ sepakat bahwa dia berhak atas nafaqah dan tempat
tinggal.
Hak istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam hal ini dalam keadaan hamil ulama’
sepakat mengatakan bahwa dia berhak atas nafkah dan tempat tinggal, namun bila istri
tidak dalam keadaan hamil ulama’ berbeda pendapat. Sebagian ulama’ diantaranya Imam
Malik, Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa istri dalam iddah wafat berhak atas
tempat tinggal. Sebagian ulama’diantaranya Imam Ahmad berpendapat bahwa istri dalam
iddah
wafat yang tidak hamil tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, karena Allah hanya
menentukan untuk yang kematian suami itu adalah peninggalan dalam bentuk harta warisan.
Dalam menjalankan iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya maka wajib bagi
mereka untuk menjalani masa berkabung atau ihdad dan terdapat perkara-perkara yang
8
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), 222
dilarang pada saat ihdad, berikut ini dijelaskan mengenai larangan melakukan perkara tersebut
Ummu ‘Athiyah meriwayatkan ‚kami diwajibkan berkabung atas kematian suami yakni empat
bulan sepuluh hari. Selama itu kami dilarang memakai celak, parfum dan pakaian yang dicelup,
kecuali sejenis pakaian celup buatan Yaman. Apabila kami suci dari dan mandi setelah haid,
kami diberi keringanan untuk menggunakan sedikit wewangian. Dan kami dilarang mengiringi
pemakaman jenazah‛.
2.3.5. Hikmah ‘Iddah
Sebagai peraturan yang dibuat oleh Allah SWT, aturan tentang iddah pasti mempunyai
rahasia serta manfaat tersendiri. Kadang kala manfaat itu dapat langsung kita rasakan namun
seringkali baru dapat kita rasakan setelah kejadian itu telah lama berlalu. Hikmah atau manfaat
dari diwajibkannya iddah dapat dilihat dari beberapa sisi diantaranya dari sisi sosial:
a. Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang diceraikan.
b. Memberikan kesempatan kepada suami-istri untuk kembali kepada kehidupan rumah
tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu.
c. Agar istri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga
suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami, hal ini jika iddah
tersebut dikarenakan oleh kematian suami.
d. Suatu masa yang harus dipergunakan oleh calon, terutama suami yang akan
menikahinya untuk tidak cepat-cepat masuk dalam kehidupan wanita yang baru dicerai
mantan suaminya
BAB .III
II. Ruju’
Pengertian Ruju’
Secara etimologis rujuk berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. 9
Sedangkan rujuk dalam pengertian terminology adalah kembalinya suami kepada hubungan
nikah dengan istri yang telah di cerai raj’i dan di laksanakan selama istri masih dalam masa
iddah.10 Kata rujuk menurut bahasa Arab berasal dari kata raja’a - yarji’u - rujk’an yang berarti
kembali dan mengembalikan. Menurut syara’ adalah kembalinya seorang suami kepada mantan
istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah di talak raj’i. Rujuk dalam istilah hukum
disebut Raja’ah secara arti kata berarti “kembali ”. Sedangkan menurut
Imam Syafi’i, rujuk adalah mengembalikan istri yang masih berada dalam masa iddah kepada
keadaan yang semula.11
Menurut Jumhur Ulama’ rujuk adalah mengembalikan wanita yang di talak selain talak
ba’in, pada perkawinan selama wanita itu masih berada dalam masa iddah tanpa akad yang baru.
Artinya: Dan para suami mereka lebih berhak merujuknya kembali kepada mereka dalam masa
iddah, jika mereka ( para suamisuami) itu menghendaki perbaikan. Dan mereka para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi
para suami mempunyai satu kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah maha perkasa lagi maha
bijaksana.
Imam Syafi’i juga berkata: Hamba budak mempunyai hak talak dua kali, bila ia mentalak
satu pada istrinya, maka ia seperti orang merdeka yang mentalak istrinya satu atau dua talakan,
maka suami berhak juga untuk rujuk sesudah talak satu sebagai sebagaimana yang dimiliki oleh
laki-laki merdeka dalam merujuk istrinya setelah talak satu
dan dua.
Madzhab Maliki dan Syafi’i mengatakan bahwa setiap talak itu
raj’i kecuali:
1) Talak ba’in.
2) Talak sebelum bersetubuh.
3) Talak dengan tebusan harta dari istri khuluk jadi talak ini disebut
talak ba’in sugra.
berhak lagi untuk merujuki istrinya, akan tetapi suami masih berhak untuk berkumpul dengan
istrinya kembali dengan akad nikah yang baru dan mas kawin
yang baru pula. Yang termasuk kategori talak ba’in sugra ialah:
1) Perceraian dengan jalan talak tebus atau khuluk atau ta’lik talak dan syiqaq yang memakai
iwad}.
2) Talak suami istri yang belum pernah melakukan hubungan kelamin.
3) Perceraian karena fasakh oleh hakim Pengadilan Agama.
Kedua ba’in kubra yaitu talak yang dijatuhkan untuk ketiga kalinya. 16 Dalam talak ba’in
kubra ini suami tidak boleh menikah kembali dengan bekas istrinya kecuali harus terlebih dahulu
istri kawin dengan suami yang kedua, istri sudah dicampuri oleh suami kedua, istri telah ditalak
oleh suami yang kedua dan telah habis masa iddahnya. Hukum rujuk setelah talak ba’in sama
dengan nikah baru, yakni tentang persyaratan adanya mahar, wali dan persetujuan. Hanya saja
jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa untuk perkawinan ini tidak dipertimbangkan berakhirnya
masa iddah.
Rukun dan Syarat Rujuk
a. Rukun Rujuk
Rukun rujuk adalah sigat atau pernyataan kembali dari suami serta perbuatan yang
menunjukkan keinginan tersebut. Ulama’ sepakat bahwa rujuk tidak sah apabila tidak memenuhi
rukun-rukun rujuk, akan tetapi terhadap ketentuan rukun itu mereka berbeda pendapat. Menurut
ulama’ jumhur rukun rujuk ada 3 macam yaitu:
1) Murtaji atau mantan suami.
2) Murtaja’a atau mantan istri.
3) Sigat atau ijab rujuk.
b. Syarat Rujuk
Laki- laki yang merujuk, adapun syarat bagi laki- laki yang merujuk itu adalah sebagai
berikut:
Perempuan yang dirujuk adalah perempuan yang telah dinikahi dan kemudian
diceraikannya tidak dalam bentuk cerai tebus atau khuluk dan tidak pula dalam talak
tiga, sedangkan dia telah digauli selama dalam perkawinan itu dan masih berada dalam
masa iddah.Adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang di rujuk itu adalah sebagai
berikut:
a) Perempuan itu adalah istri yang sah dari laki- laki yang merujuk.
b) Istri itu telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i.
c) Istri itu masih berada dalam iddah talak raj’i.
d) Istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu.
Ucapan rujuk
Rujuk dalam pandangan fiqh adalah tindakan sepihak dari suami. Tindakan
sepihak itu di dasarkan kepada pandangan ulama’ fiqh bahwa rujuk itu merupakan hak
khusus seorang suami.17 Oleh karena sifatnya yang sepihak itu tidak diperlukan
penerimaan dari pihak perempuan yang di rujuk atau walinya. Dengan begitu rujuk tidak
di lakukan dalam bentuk suatu akad. Untuk sahnya tindakan rujuk hanya di perlukan
ucapan rujuk yang dilakukan oleh orang yang merujuk.
Kesaksian dalam rujuk
Tentang kesaksian dalam rujuk ulama berbeda pendapat ada yang sebagian ulama’
termasuk salah satu pendapat dari Imam al- Syafi’i mensyaratkan adanya kesaksian dua
orang saksi sebagaimana yang berlaku dalam akad nikah.
Hikmah Ruju’
Dari penjelasan tentang rujuk, nyatalah bahwa perceraian itu merupakan satu perbuatan
yang sangat dibenci oleh Islam karena dampak negative yang di timbulkannya baik kepada
suami atau istri maupun terhadap anak- anaknya bagi yang telah memiliki anak. Sebaliknya
perdamaian (ishlah) atau rujuk merupakan perbuatan yang sangat disukai dalam Islam. Atas
17
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 341- 342
dasar inilah institusi rujuk dalam Islam merupakan kesempatan yang cukup baik untuk
melakukan rekonsiliasi terhadap konflik yang terjadi antara suami dan istri. Dengan demikian
suami- istri yang telah di cerai harus memanfaatkan kesempatan masa iddah untuk melaksanakan
rujuk.
1. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah merupakan pernikahan sementara yang disepakati antara dua pihak,
dikenal dalam pengertian sebagian Negara timur dengan nama “Ash-Shighah”. Mut’ah telah
menjadi kebiasaan antara kabilah-kabilah Arab dalam setiap waktu, sebagaimana pernikahan
yang dilakukan sebagian laki-laki saat permulaan Islam, ketika mereka jauh dari istri-istri
mereka karena peperangan.
عن علي بن طالب رضي هللا عنه رسول هللا صلى هللا عليه وسلم نهى عن متعة النساء يوم خيبر
Dari Ali bin Abi Thalib r.a. ia berkata Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dengan
perempuan-perempuan pada waktu Perang Khaibar (HR Bukhari Muslim).
Nikah mut’ah telah menjadi kebiasaan orang Arab pada masa jahiliyah, maka tidak
termasuk hikmah keharamannya kecuali dengan perlahan-lahan, sebagaimana aturan Islam
dalam memutuskan adat jahiliyah yang berbeda dengan kemaslahatan dunia manusia.
Dapat diketahui bahwa nikah mut’ah tidak disepakati dan demi kebaikan manusia, karena
dengan ini hilanglah keturunan, pemanfaatan perempuan hanya terbatas untuk pemenuhan
syahwat oleh laki-laki dengan merendahkan kepribadian perempuan, maka wajib keharamannya.
Pernikahan ini hukumnya batal dan haruslah dibatalkan ketika terjadi. Haruslah member mahar
jika telah bercampur, dan jika tidak maka tidak ada kewajiban baginya.
2. Nikah Asy-Syighaar
Nikah Asy-Syighaar yaitu seorang wali yang menikahkan ke walinya seorang laki-laki
dengan syarat ia menikahkannya juga sebagai kewaliannya; baik mereka menyebutkan maharnya
ataupun tidak. Hal ini berdasarkan hadits nabi:
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata Rasululah SAW melarang syighaar, shighaar yaitu
seorang laki-laki yang mengatakan nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu dan aku
menikahkanmu dengan anak perempuanku, atau nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu
dan aku menikahkanmu dengan saudara perempuanku (HR. Muslim).
Dari Ibnu Umar r.a. : Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang syighaar, syighaar adalah
seseorang yang menikahkan anak perempuannya dengan syarat anak perempuannya
dinikahkannya dan antara keduanya tidak ada mahar (Muttafaq ‘alaih).
3. Nikah Al-Muhallil
Nikah muhallil adalah seorang perempuan dicerai tiga kali (talak ba’in qubra) maka
haramlah menikahinya berdasarkan firman Allah SWT:
Orang yang berihram tidak menikah dan tidak menikahkan (HR. Muslim).
Maksudnya ia tidak melaksanakan akad nikah baginya dan ia tidak melaksanakan akad
untuk orang lain. Larangan ini bersifat haram, yakni mengharuskan kebatalan.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka.
BAB III
Artinya: ... ... dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu
dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya ...
... (Q.S Al Baqarah : 233)24
Artinya: ”... ... dan bergaullah dengan mereka secara patut ... ... (Q.S Al Nisaa’: 19)
Mengenai lafadz “Asyara” dalam bahasa arab adalah sempurna dan optimal.27 Dan
juga akar kata Asyara yaitu ’isyrah’ ) (العشرةadalah berkumpul atau bercampur.28 Maka
berkumpul disini adalah apa yang seharusnya ada pada suami istri seperti rasa saling terikat
dan bertautan. Karena dalam syariat islam antara suami istri diwajibkan untuk bergaul
dengan sebaik-baiknya, tidak diperbolehkan menunda hak dan kewajiban, dan juga tidak
boleh saling membenci apalagi bersikap saling menyakiti sebagaimana dalam ayat tersebut.
Oleh sebab itu dalam memaknai lafadz tersebut Al Qusairi menyatakan dalam tafsirnya yaitu
maksudnya mempergauli istri dengan ilmu-ilmu agama dan tata cara atau adab serta akhlaq
yang baik.29
Hadist nabi
25
Ibid., hal.560
26
Ibid.
27
Syeikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2007. hal.327
28
Saleh Al Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Jakarta: Gema Insani, 2006. hal.682
29
463 ص/ 1 ج- تفسير القشيري
عتْ َبةَ ْام َرأَة ُ أَ ِبي
ُ ُت ِه ْند ٌ ِب ْنت ْ َشةَ قَال
ْ َت دَ َخل َ ي ْبنُ ُم ْس ِه ٍر َع ْن ِهش َِام ب ِْن ع ُْر َوة َ َع ْن أ َ ِبي ِه َع ْن َعا ِئ ُّ ي َحدَّثَنَا َع ِل ُّ َحدَّث َ ِني َع ِل
َّ ي ْبنُ حُجْ ٍر ال
ُّ س ْع ِد
س ْفيَانَ َر ُج ٌل ش َِحي ٌح َال يُ ْع ِطي ِني ِم ْن النَّفَقَ ِة َما يَ ْك ِفينِي َو َي ْك ِفي ُ َّللاِ إِ َّن أَبَا
َّ سو َل ُ ت يَا َر ْ َسلَّ َم فَقَال َّ صلَّى
َ َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َ َِّللا ُ س ْفيَانَ َعلَى َر
َّ سو ِل ُ
ِ َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ُخذِي ِم ْن َما ِل ِه بِ ْال َم ْع ُر
وف َّ صلَّى َّ سو ُل
َ َِّللا َّ َي إِ َّال َما أ َ َخذْتُ ِم ْن َما ِل ِه ِبغَي ِْر ِع ْل ِم ِه فَ َه ْل َعل
ُ ي فِي ذَلِكَ ِم ْن ُجنَاحٍ َفقَا َل َر َّ ِبَن
30
ِ ِيك َويَ ْك ِفي بَن
يك ِ َما يَ ْك ِف
anakku kecuali apa yang kuambil hartanya tanpa sepengetahuannya, apakah hal ini dosa
bagiku? Rosulullah menjawab ambillah hartanya dengan baik dan mencukupi dirimu dan
anakmu.
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”31 Namun daripada hal tersebut, suami
tidak boleh seenaknya memperlakukan istri dengan semaunya sendiri, memberikan nafkah
dengan semaunya walaupun sebenarnya dia mampu.
30
105 ص/ 9 (ج- صحيح مسلم
31
http://qultummedia.com/20070506148/Info/Manfaat-dan-Hikmah-Nafkah-untuk-Keluarga.html
32
Qurai Shihab, Tafsir Al Misbah Vol.14. hal.303
Ulama’ hanafiyah berpendapat bahwa kadar nafkah tidak ditetapkan oleh syara’ tetapi
suami wajib memenuhi keperluan-keperluan istrinya seperti makanan, lauk-pauk, daging,
sayur, buah-buahan dan keperluannya yang lazim, sesuai dengan tempat dan keadaan serta
selera orangnya. Imam Malik juga sependapat bahwa kadar nafkah tidak ditetapkan oleh
syara’ akan tetapi diruju’ pada kebutuhan suami dan istri.33 Namun Syafi’iyah berbeda, kadar
nafkah itu tertentu,34 mereka beralasan dengan ayat al qur’an surat at thalaq : 7. “hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan
rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya”.
diistilahkan dengan kata ahlu ( ) االهلjama’nya ahluna dan ahal ) اهال, (اهلونyang mempunyai
makna famili, keluarga dan kerabat.37 Sebagaimana ayat al qur’an
33
Ibnu Rusydi Al Hafid, Op.Cit. hal.44
34
Al Hamdani, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, 2002. hal.152
35
Ibnu Rusydi Al Hafid, Op.Cit. hal.44
36
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, t.t., hal.471
37
Ahmad Warson Munawwir, Op.Cit hal.46
Artinya: ”dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah
yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang
bertakwa”. (Q.S. Thoha : 132)
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (Q.S Al Tahriim: 6)
Selain itu keluarga diartikan dengan suatu matriks sosial atau suatu organisasi bio-
psiko-sosio-spiritual, dimana anggota keluarga terikat dalam suatu ikatan khusus untuk hidup
bersama dalam ikatan pernikahan dan bukan ikatan yang sifatnya statis dan terbelenggu.38
Dan sakinah adalah kedamaian, ketentraman, ketenangan, kebagahagiaan, kecintaan dan
kasih sayang.39 Adapun sakinah dalam bahasa arab diartikan dengan tenang, ketenangan, dan
diam.40 Sebagaimana disebutkan dalam ayat al qur’an sebagai berikut:
38
Dadang Hawari, Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 1999.
hal.282
39
Pengembangan Bahasa, Op.Cit. hal. 723
40
Ahmad Warson Munawir, Op.Cit. hal.646
Menurut Rosyid Ridlo sakinah adalah sikap jiwa yang timbul dari suasana ketenagan
dan merupakan ketenangan dan merupakan lawan dari kegoncangan batin dan kekalutan.
Sedangkan menurut Al Jurjani sakinah adalah adanya ketentraman dalam hati pada saat
datangnya suatu yang tak diduga, yang dibarengi suatu nur (cahaya) dalam hati yang
memberi ketenangan dan ketentraman pada yang menyaksikannya. Dan menurut Roghib Al
Isfahan antara lain mengartikan sakinah dengan tidak adanya rasa gentar dalam mengahadapi
sesuatu.41
Adapun sebuah keluarga itu bisa dikatakan dengan keluarga yang harmonis/bahagia
dan sehat adalah diantaranya harus tercakup didalamnya enam (6) kriteria, 42 sebagai berikut:
a. Niat Ikhlas
41
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islami. Jakarta: PT Ikhtiar Baru, 1994. hal.202
42
Dadang Hawari,Op.Cit. hal.215
43
M. Nashichin Al Mu’iz, Skripsi Usia Ideal Memasuki Dunia Pernikahan Sebuah Ihtiar Mewujudkan Keluarga
Sakinah. Tulungagung: STAIN, 2007. hal.40
Pernikahan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, bahkan menjadi kebutuhan yang sangat mendasar (basic demand) bagi setiap
manusia normal, karena pernikahan merupakan sarana bagi seseorang untuk menyalurkan
hasrat biologisnya secara sah dan legal bersama pasangannya. Saling mencurahkan rasa kasih
sayang, namun bukan semata menyalurkan kebutuhan biologisnya saja, namun lebih jauh
dari itu, bahkan ditinjau dari sudut religiusnya pada hakikatnya pernikahan merupakan salah
satu bentuk pengabdian (ibadah) kepada Allah SWT.
Pernikahan yang dilandasi dengan niat yang ikhlas merupakan awal dari terwujudnya
keluarga sakinah, yaitu keluarga yang senantiasa diliputi rasa kasih sayang serta saling
menyadari eksistensi dan tanggungjawab masing-masing. Karena dengan niat yang ikhlas
akan tumbuh dan menghasilkan keluarga yang baik dan sakinah sebagaimana tujuan
pernikahan, dan juga sabda nabi yang berbunyi;
Artinya: Bahwa segala sesuatu perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan
sesungguhnya setiap sesuatu tersebut sesuai dengan apa yang diniatkan (niat yang
menyertainya) ... (H.R. Bukhori)44
b. Kafa’ah
Kafa’ah atau sekufu berarti sama, setaraf, sederajat, sepadan, sebanding.45 Sekufu
maksudnya adalah antara suami dan istri tersebut sebanding dalam tingkat sosial, derajat,
kedudukan harta dan juga akhlaq. Namun lebih ditekankan kafa’ah ini pada keseimbangan,
keharomonisan dan keserasian utamanya dalam hal agama yaitu akhlaq dan ibadahnya.
Sehingga perlu diperhatikan tentang kafaah dalam membina keluarga sakinah. Dan
dengan keseimbangan tersebut benar-benar membentuk keluarga yang endingnya menjadi
keluarga sakinah, mawaddah warohmah.
44
Shohih Bukhori, Hadits No. 6195
45
Ahmad Warson Munawir, Op.Cit. hal.1216
tidak seimbang. Sehingga tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pemberian nafkah lahir dan bathin
yang cukup dan seimbang merupakan penjagaan sebuah keluarga tetap tentram, harmonis
penuh rasa kasih dan sayang.
Karena seperti yang dikatakan Syeikh Taqiyuddin “Timbulnya bahaya bagi istri
dengan tidak disetubuhi suaminya bisa menjadi alasan untuk meminta cerai kapan saja dan
bagimanapun keadaannya, baik sang suami melakukan hal itu dengan sengaja atau tidak
sengaja. Walaupun sang suami mampu melakukan hal itu atau tidak. Terutama mengenai
alasan nafkah.46
Karena tidak sedikit angka perceraian yang terjadi di Indonesia disebabkan karena
permasalahan nafkah, gugatan cerai sebab nafkah yang kurang memenuhi, dan juga belaian kasih
sayang suami yang minim, nafkah lahir dan bathin-pun tidak terpenuhi secara maksimal, hal ini
menyebabkan timbal balik rasa kasih sayang yang seharusnya menjadi hal yang urgent dan harus
dipenuhi oleh istri berkurang.
Seorang suami dalam membina keluarga menjadi keluarga sakinah, keluarga yang
harmonis, harus pandai mengaplikasikan pemberian nafkah dalam segala bentuk, menjaga dan
melindungi istrinya dengan baik, serta memperlakukan dengan ma’ruf. Sebagaimana sabda Nabi
yang diriwayatka oleh Abu Hurairah dalam shohih Bukhori ... ...اء َخي ًْرا
ِ سَ الن
ِ صوا ِب
ُ وا ْست َْو...
َ ...
(…perlakukanlah istri-istrimu dengan baik … ) (HR. Abu Hurairah)48.
46
Saleh Al Fauzan, Op.Cit. hal.686
47
Hammudah Abd. Al ‘Ati, Keluarga Muslim, hal.225
48
184 ص/ 16 ج- صحيح البخاري
Seorang suami wajib menginap dirumah dengan istrinya yang merdeka selama sekurang-
kurangnya semalam dalam 4 (empat) malamnya, jika memiliki empat orang istri. Karena
mungkin tiga istri yang lain juga memintanya. Namun Syaikh Taqiyuddin tidak menyepakatinya
sebab keadaan sendiri (seorang istri) tidak bisa disamakan dengan keadaan ramai-ramai (empat
istri).
Dalam islam juga diajarkan bahwa seorang suami diwajibkan menyetubuhi istrinya
minimal empat bulan sekali, jika ia mampu dan istri memintanya. Karena Allah menetapkan
empat bulan bagi suami yang menjatuhkan ‘Ilaa’ pada istrinya. Demikian dengan hak istri
lainnya, Syeikh Islam Ibn Taimiyah berpendapat
bahwa kewajiban suami untuk menggauli istrinya disesuaikan dengan kemampuan istri dalam
hal tersebut, serta tidak membahayakan suami.49
Suami dalam memberikan nafkah lahir juga disesuaikan dengan kebiasaan keadaan istri
sebelumnya dan menurut kadar kemampuannya. Sehingga ketika nafkah (lahir dan bathin)
tersebut kurang terpebuhi maka hal itu dapat mempengaruhi keharmonisan rumah tangga.
Sebagaimana perkataan Syeikh Taqiyuddin “Timbulnya bahaya bagi istri dengan tidak
disetubuhi suaminya bisa menjadi alasan untuk meminta cerai kapan saja dan bagimanapun
keadaannya, baik sang suami melakukan hal itu dengan sengaja atau tidak sengaja. Walaupun
sang suami mampu melakukan hal itu atau tidak. Terutama mengenai alasan nafkah.50
BAB IV
HADHANAH
IV.HADHANAH
1. Pengertian Hadhanah
49
Saleh Al Fauzan, Op.Cit. hal.686
50
Ibid.
Hadhanah berasal dari kata “Hidhan” yang berarti lambang. Seperti kata Hadhanah atl-
thaairu baidhahu ‘burung itu mengapit telur di bawah sayapnya’. Begitu pula seorang
perempuan (ibu) yang mengapit anaknya. karma ibu menyusukan anaknya dipangkuanya,
seakan-akan ibu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga hadhanah di jadikan istilah yang
dimaksud.
Dalam bukunya Abd. Rahman Ghazaly. M.A. Hadhanah menurut bahasa berarti
“meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan”, karena ibu waktu menyusukan
anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan
memelihara anaknya, sehingga “Hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan
pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang
dilakukan oleh kerabat anak itu”.1
Dengan demikian, mengasuh artinya memelihara dan mendidik. Maksudnya adalah mendidik
dan mengasuh anak-anak yang belum mumayyiz atau belum dapat membedakan antara yang baik
dan yang buruk, belum pandai menggunakan pakaian dan bersuci dan sebagainya.
ف ُ َّوف الَ ت ُ َكل ْ علَى ا ْل َم ْولُو ِد لَهُ ِر ْزقُ ُهنَّ َو ِك
ِ س َوت ُ ُهنَّ بِا ْل َم ْع ُر َ الرضَاعَةَ َو َّ َاملَي ِْن ِل َم ْن أ َ َرا َد أَن يُتِ َّم
ِ َوا ْل َوا ِلدَاتُ يُ ْر ِض ْعنَ أ َ ْوالَ َدهُنَّ ح َْولَي ِْن ك
ُ اض ِم ْن ُه َما َوتَش
َاو ٍر ٍ ث ِمثْ ُل ذَ ِلكَ َف ِإ ْن أ َ َرادَا فِصَاالً عَن ت َ َر ِ علَى ا ْل َو ِار
َ َآر َوا ِل َدةُ ِب َولَ ِد َها َوالَ َم ْولُودُُُ لَّهُ بِ َو َل ِد ِه َو
َّ سعَهَا الَ تُض ْ س إِالَّ ُوٌ نَ ْف
َوف َواتَّقُوا هللاَ َوا ْعلَ ُموا أَنَّ هللا َ ست َ ْر ِضعُوا أ َ ْوالَ َد ُك ْم فَالَ ُجنَا َح
َ علَ ْي ُك ْم ِإذَا
ِ سلَّ ْمت ُم َّمآ َءات َ ْيت ُم ِبا ْل َم ْع ُر ْ َ علَي ِْه َما َو ِإ ْن أ َ َر ْدت ُ ْم أَن ت
َ فَالَ ُجنَا َح
ُ بِ َما ت َ ْع َملُونَ بَ ِص
}233{ ُُير
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 233).
Begitu juga dalam Al-Qur’an yang lain yaitu: Surat At-Tahrim ayat 06:
)6 والحجارة(التحريمنـاراوقودهـاالـناسوأهـليكمآمـنواقـواأنـفسكميـاأيهاالـذين
“ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu….. ”
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu
masih terkait dalam tali perkawinan saja, akan tetapi juga berlanjut setelah terjadinya perceraian
dalam perkawinan.3
) من فرق بين والدة وولدهـا فرق هللا بينه و بين أحبته يوم القيامة ( أخرجه الترمذي و ابن ماجه
“Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya, maka Allah akan memisahkan
antara dia dan keaksih-kekasihnya pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun
dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh
disebut mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya
tugas mengasuh itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajban
untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya
harus berpisah, maka ibu atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiiri.
Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat
itu, oleh karenanya belum diketahui kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu
belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berpikir sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk
dirinya sendiri dan dengan keadaanya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang
lain.
3
Syarifiddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan
Undang-undang Perkawinan. Jakarta: hal. 328
3. Beragama islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas
pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang
diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan
jauh dari agamanya.
4. Adil dalam arti menjalankan secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjahui
dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam
beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk
mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:
1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus
hidupnya sendiri.
2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat
sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat
sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapapun.
a. Imam Hanafi dalam salah satu riwayatnya: Ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak
itu besar dan dapat berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari seperti makan,
minum, pakaian, beristinjak, dan berwudhu. Setelah itu, bapaknya lebih berhak
memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu lebih berhak memeliharanya hingga ia
dewasa, dan tidak diberi pilihan.
b. Imam Miliki berkata: ibu lebih berhak memelihara anak perempuan hingga ia menikah
dengan orang laki-laki dan disetubuhinya. Untuk anak laki-laki juga seperti itu, menurut
pendapat Maliki yang masyhur, adalah hingga anak itu dewasa.
c. Imam Syafi’i berkata: Ibu lebih berhak memeliharanya, baik anak itu laki-laki maupun
perempuan, hingga ia berusia tujuh tahun. Apabila anak tersebut telah mencapai usia
tujuh tahun maka anak tersebut diberi hak pilih untuk ikut diantara ayah atau ibunya.
d. Imam Hambali dalam hal ini mempunyai dua riwayat: Pertama, ibu lebih berhak atas
anak laki-laki sampai ia berumur tujuh tahun. Setelah itu, ia boleh memilih ikut bapaknya
atau masih tetap bersama ibunya. Sedangkan untuk anak perempuan, setelah ia berumur
tujuh tahun, ia terus tetap bersama ibunya, tidak boleh diberi pilihan. Kedua, seperti
pendapatnya Imam Hanafi, yaitu ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan
berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari sepeti makan, minum, pakaian,
beristinjak, dan berwuduk. Setelah itu, bapak lebih berhak memeliharanya. Untuk anak
perempuan, ibu yang lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa dan tidak diberi
pilihan.4
4. Masa Hadhanah
Didalam Al-qur’an serta hadist secara tegas tidaklah terdapat tentang masa hadhanah,
hanya saja terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan ayat tersebut. Oleh karena itu hanya saja
para ulama berijtihad sendiri-sendiri, seperti halnya mazhab Hanafi berpendapat bahwa
hadhanah anak laki-laki habis pada waktu dia tidak memerlukan penjagaan serta dapat mengurus
kepentingan pribadinya, sedangkan wanita habis pada saat haid pertamanya. Sedangkan
pendapat para mazhab Imam Syafi’i, hadhanah itu berkhir ketika sianak telah mumayyiz atau
berumur lima ataupun enam tahun, dengan dasar hadits sbb :
“Rasulullah SAW bersabda: anak ditetapkan antara bapak dan ibunya sebagaimana anak (anak
yang belum mumayyiz) perempuan di tetapkan antara bapak dan ibunya”5.
Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah bisa ditanya kepada siapa
dan akan terus ikut. Batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21
tahun selama belum melakukan pernikahan (pasal 98 KHI). Kalau anak tersebut memilih ibunya
maka si ibu tetap berhak mengasuh anak itu, kalau anak itu memilih ikut bapaknya maka hak
mengasuh pindah pada bapak.
5. Upah Hadhanah
Ibu tidak berhak atas upah hadhanah seperti menyusui, selama ia masih menjadi istri dari
anak itu, atau masih dalam masa iddahnya. Karena dalam keadaan tersebut ia masih dalam
keadaan dinafkahi, firman Allah S.W.T. yang artinnya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-
anak selam dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya, dan
kewajiban ayah memberikan nafkah lahir bathin kepada ibu dengan cara yang makruf.
6. Hadhanah Dalam Perspektif KHI
Kompilasi Hukum Islam kaitannya dengan masalah ini membagi ada dua periode bagi
anak yang perlu dikemukakan yaitu:
b. Periode Mummayiz
Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan mana yang
berbahaya dan mana yang bemanfaat bagi dirinya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat
menjatuhkan pilihannya sendiri apakah ikut ibunya atau ikut ayahnya. Dengan demikan ia
diberi hak pilih menentukan sikapnya. Hal ini telah diatur dalam KHI pasal 105 ayat (b)
bahwa “Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di
antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya”, dan juga terdapat dalam
pasal 156 ayat (b) yang menyebutkan bahwa anak diberi pilihan untuk ikut dalam asuhan ibu
atau ayat.7
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hadhanah adalah memelihara atau merawat dan membekali anak secara material maupun
spritual, mental maupun fisik agar anak mampu berdiri sendiri dalam mengahadapi
kehidupannya sebagai seorang muslim yang dewasa. Hadahanah mencakup aspek pendidikan,
penncukupan kebutuhan, usia.
Untuk menjadi seorang hadhanah harus mempunyai syarat-syarat yakni :
1. Berakal
2. Merdeka
3. Menjalankan Agama
4. Dapat menjaga Kehormatan dirinya
5. Orang yang dipercaya
6. Orang yang menetap didalam negri anak yang di didiknya
7. Keadaan perempuan tidak bersuami, kecuali bersuami denga keluarga dari anak yang
memang berhak pula yang untuk mendidik anak itu, maka haknya tetap
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:
1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus
hidupnya sendiri.
2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat
sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot.
Salah satu tujuan disyareatkannya iddah dalam islam yaitu ,'Iddah merupakan anugerah
dari Allah untuk hamba-Nya yang membuktikan kasih sayang dan kesungguhan bagi memelihara
dan menjaga keutuhan institusi kekeluargaan dalam Islam. Agama Islam amat benci kepada
perceraian dan keruntuhan institusi kekeluargaan di mana ia boleh membawa kepada lebih
banyak lagi permasalahan sosial. Kemudian bagi perceraian yang berlaku karena kematian
suami, tujuan 'iddah ialah untuk isteri menjaga hak-hak suaminya, kaum kerabat, menzahirkan
perasaan sedih dan dukacita, membuktikan kesetiannya kepada bekas suami.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, Slamet Abidin. Fikih Munakahat 2. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqih Munakahat dan
MAKALAH
Studi Islam
IDDAH,RUJU,NAFKAH,HADHANAH
Disusun
Dewi Muliati
Dermawati
Mustika
Rita Syulastri
Mira Zulfia
Dosen Pembibing
Dra.Warniati