Anda di halaman 1dari 37

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya menjadi sempurnalah segenap kebaikan,
dan kepada-Nyalah taufik dan hidayah diharap dalam segala urusan dunia dan akhirat. Wahai
tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami
petunjuk yang lurus dalam urusan kami. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan
kita Nabi Muhammad Saw. Yang telah dipilih Allah sebagai rahmat bagi sekalian alam dan
pembimbing seluru makhluk; beserta keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti
petunjuknya hingga hari kiamat. Amma ba’da:
Karena dengan izin-Nyalah kami bisa menyuguhkan makalah ini, yang memuat tentang
penjelasan mengenai Iddah, Rujuk,Nafkah,Hadhanah,Dalam penyajiannya kami berusaha
menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan memberikan pemaparan yang luas dan luges.
Adapun referensi yang kami gunakan merupakan referensi yang dapat diakui keabsahannya.
Makalah ini kami susun dengan maksud: “Li-ibtighaa-i mardlaatillaah” yakni untuk
memperoleh keridhaan Allah semata-mata.
Kepada saudara-saudara kami yang seagama dan seaqidah, kami ucapkan banyak terima
kasih atas campur tangannya dalam penyusunan maklah ini, semoga amal dan jerih payahnya
dibalas oleh Allah Swt. Tentunya makalah yang kami suguhkan ini tidaklah terlepas dari
kekurangan, karena kami hanyalah manusia biasa yang tak lupuk dari salah dan khilaf, olehnya
itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa kami butuhkan demi kesempurnaan makalah ini
dikemudian hari.
Wassalam.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti
nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarkis atau tidak ada aturan. Demi
untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, maka Allah SWT mengadakan hukum sesuai
dengan martabat tersebut sehingga antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan
berdasarkan saling rida-meridai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau kedua
pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.
Bentuk pernikahan ini memberikan jalan yang aman pada naluri seksual untuk
memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri wanita agar ia tidak laksana rumput
yang bisa dimakan oleh binatang ternak manapun dengan seenaknya. Pergaulan suami-isteri
diletakkan dibawah naungan keibuan dan kebapaan, sehingga nantinya dapat menumbuhkan
keturunan yang baik dan hasil yang memuaskan. Peraturan pernikahan seperti inilah yang diridai
oleh Allah SWT dan diabadikan dalam Islam untu selamanya.
Pernikahan merupakan sebuah langkah untuk menyatukan dua insan yang berbeda jenis
dalam satu ikatan suci, guna melestarikan keberlangsungan hidup manusia. Ini sejalan dengan
maqasid al-Shari’ah1. Namun tak jarang seiring berjalanya waktu, pernikahan itu mengalami
keretakan dan perpisahan, baik berupa talak maupun ditinggal mati oleh salah satu pihak. Hal ini
merupakan problematik yang paling ditakuti oleh para pelaku pernikahan. Sebab hal ini,
mempunyai beberapa konsekuensi yang harus dijalani.
Sekalipun pernikahan merupakan ikatan yang sangat kuat serta setiap pasangan
pernikahan membulatkan tekadnya untuk mencapai tujuan dishari'atkannya nikah, namun
adakalanya untuk membangun rumah tangga yang harmonis (sakinah, mawaddah, rahmah) tidak
semua dapat terlaksana dengan mulus. Tujuan pernikahan sering tidak dapat tercapai sebab sikap
kemanusiaan masing-masing yang saling berbenturan. Oleh karena itu harus ada jalan keluar
untuk mengatasi hal ini, Talak dishari'atkan untuk mengatasi permasalahan ini.
Hak untuk menjatuhkan talak melekat pada orang yang menikahinya. Apabila hak
menikahi orang perempuan untuk dijadikan sebagai istri, maka yang berhak menjatuhkan talak
adalah orang laki-laki yang menikahinya.2
Sedangkan bagi isteri, Islam memberikan jalan untuk memutuskan ikatan perkawinan
dengan suaminya jika ternyata suaminya buruk akhlaknya, atau karena cacat, atau perbuatannya
menimbulkan mad}arat bagi istri sementara suami tetap bersikukuh untuk mempertahankan
utuhnya perkawinan yaitu dengan mengadukan persoalannya kepada Qadli/Hakim dengan
menggugat agar dijatuhkan talak suami kepada dirinya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalahini
adalah.
1) Bagaimana pengertian,iddah?
2) Bagaimana pengertian,ruju’?
3) Bagaimana pengertian Nafkah?
4) Bagaimana pengertian hadhanah?

1.3. Tujuan

Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan ditulisnya makalah ini adalah untuk:

1) Mengetahui pengertian, iddah


2) Mengetahui pengertian, ruju
3) Mengetahui pengertian, nafkah
4) Mengetahui pengertian, hadhanah

2
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) ,155
BAB II

I Iddah
Pengertian Iddah
‘Iddah adalah bahasa arab yang berasal dari akar kata addayauddu-iddatan, dan jamaknya
adalah idad yang secara arti kata berarti‚ menghitung‛ atau hitungan kata ini digunakan untuk
maksud ‘iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber’iddah menunggu berlalunya
waktu.3

Artinya: ‚ wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak
boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.4

2.3.2. Dasar Hukum Iddah


Yang menjalani iddah adalah perempuan yang bercerai dari suaminya bukan laki-lakiatau
suaminya. Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau mati,
sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak wajib menjalani masa iddah. Kewajiban
menjalani masa iddah itu dapat dilihat dari beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya adalah firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 yang artinya:
“wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh
mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman

3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2007),303
4 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 37
kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu,
jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang

dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi Para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada istrinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”5
2.3.3. Macam-Macam Iddah
Istri yang menjalani iddah ditinjau dari segi keadaan waktu berlangsungnya perceraian adalah
sebagai berikut:
a. Kematian suami
b. Belum dicampuri
c. Sudah dicampuri tetapi dalam keadaan hamil
d. Sudah dicampuri tidak dalam keadaan hamil, dan telah berhenti haidnya.
e. Sudah dicampuri, tidak dalam keadaan hamil dan masih dalam masa haid.
Adapun bentuk dan cara iddah juga ada tiga macam: a) Iddah dengan cara menyelesaikan
quru’ yaitu antara haid dan suci; b) Iddah dengan kelahiran anak; dan c) Iddah dengan
perhitungan bulan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 153 masa iddah diklasifikasikan menjadi beberapa
macam yaitu:
A. Putus pernikahan karena ditinggal mati suaminya.
Apabila pernikahan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari hal itu
diatur dalam pasal 39 ayat 1 huruf a PP nomor 9 tahun 1975 dan pasal 153 KHI. Dan ketetapan
ini berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lain halnya
dengan istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil maka waktu tunggunya adalah
sampai ia melahirkan.
B. Putus pernikahan karena perceraian
Seorang istri yang diceraikan oleh suaminya maka memungkinkan mempunyai beberapa
waktu tunggu yaitu:
1) Dalam keadaan hamil
Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil iddahnya sampai ia
melahirkan kandungannya.
2) Dalam keadaan tidak hamil
Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya sebelum terjadi hubungan kelamin maka tidak
berlaku baginya masa iddah. Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya setelah terjadi

5 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 37


hubungan kelamin (dukhul).
Adapun rincian masa tunggunya sebagai berikut:

 Bagi seorang istri yang masih datang bulan (haid), waktu tunggunya berlaku ketentuan 3
kali suci dengan sekurangkurangnya 90 hari.
 Bagi istri yang tidak datang bulan maka iddahnya 3 bulan atau 90 hari.
 Bagi seorang istri yang pernah haid namun ketika menjalani masa iddah ia tidak haid
karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci.
 Dalam keadaan yang disebut pasal 5 KHI pasal 153 bukan karena menyusui maka
iddahnya selama satu tahun akan tetapi bila dalam waktu satu tahun dimaksud ia berhaid
kembali maka iddahnya menjadi tiga kali suci.
C. Putus pernikahan karena khulu’, fasakh dan li’an
Masa iddah bagi janda yang putus ikatan pernikahannya karena khulu’ (cerai gugat atas dasar
tebusan atau iwad dari istri), fasakh (putus ikatan pernikahan karena salah satu diantara suami-
istri murtad atau sebab lain yang seharusnya ia tidak dibenarkan kawin) atau li’an maka waktu
tunggu berlaku seperti iddah talak.
D. Istri ditalak raj’i kemudian ditinggal mati suaminya pada masa iddah.
Apabila istri tertalak raj’i kemudian di dalam menjalani masa iddah sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat 2 huruf b, ayat 5 dan ayat 6 pasal 153 KHI ditinggal mati oleh suaminya,
maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 hari yang mulai
perhitungannya pada saat matinya bekas suaminya. Adapun masa iddah yang telah dilaluipada
saat suaminya masih hidup tidak dihitung, tetapi mulai dihitung dari saat kematian. Sebab
keberadaan istri yang dicerai selama menjalani iddah dianggap masih terikat dalam pernikahan
karena sang suami masih berhak merujuknya selama masih dalam masa iddah. Karakteristik
masa iddah tersebut merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang waktu hitungan masa
iddah dalam hukum pernikahan Islam.

2.3.4. Hak dan Kewajiban Perempuan Dalam Masa Iddah


Dalam menjalankan masa iddahnya bagi seorang istri terdapat beberapa perkara yang
harus dilaksanakan dan yang harus diperoleh. Dikutip dari Sayyid Sabiq yang mengatakan
bahwa istri yang sedang menjalankan masa iddah berkewajiban untuk menetap di rumah di mana
ia dahulu tinggal bersama sang suami sampai selesai masa iddahnya dan tidak diperbolehkan
baginya keluar dari rumah tersebut. Sedangkan si suami juga tidak boleh mengeluarkan ia dari
rumahnya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surat Ath-Talak ayat pertama.6

Seandainya terjadi perceraian diantara mereka berdua, sedang istrinya tidak berada di
rumah dimana mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangga, maka si istri wajib kembali
kepada suaminya untuk sekedar suaminya mengetahuinya dimana ia berada.7Dan apabila istri
yang ditalak itu melakukan perbuatan keji secara terang-terangan memperlihatka sesuatu yang
tidak baik bagi keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya dari rumah
tersebut. Ulama’ fiqh mengemukakan bahwa ada beberapa kewajiban bagi perempuan yang
sedang menjalani masa iddahnya adalah:
a. Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain baik secara terang-terangan maupun melalui
sindiran, akan tetapi untuk wanita yang menjalani iddah kematian suami pinangan dapat
dilakukan dengan cara sindiran.
b. Dilarang keluar rumah. Jumhur ulama fiqh selain mazhab Syafi’i sepakat menyatakan
bahwa perempuan yang menjalani iddah dilarang keluar rumah apabila tidak ada
keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, akan tetapi Ulama’
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa wanita yang dicerai suaminya baik cerai hidup
maupun cerai mati dilarang keluar rumah. Alasan mereka adalah sebuah hadits dari Jabir
bin Abdullah yang
menyatakan bahwa: ‚Bibinya dicerai suaminya dengan talak tiga lalu ia keluar rumah
unntuk memetik kurmanya, ditengah keluar jalan bibi Jabir ini bertemu dengan seorang
laki-laki, laki-laki ini melarangnya keluar rumah, lalu bibi Jabir mengadukan permasalah
ini kepadaa Rasulullah, kemudian Rasulullah berkata: ‚pergilah engkau ke kebunmu itu
untuk memetik buah kurma, mudah-mudahan engkau bersedekah dengan buah kurma itu
dan lakukanlah sesuatu yang baik untukmu(HR.Nasa’i dan Abu Dawud)‛ Kemudian ayat
Al-Qur’an yang dijadikan landasan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan bahwa seorang
perempuan yang dicerai suaminya, baik cerai hidup ataupun cerai mati dilarang keluar
rumah.

6
Kamil Muhammad ‘Uwaida, Fiqh Wanita, (jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2007), 450.
7Imam Syafi’i, Mukhtasar Kitab Al-Umm Fi Al Fiqh, diterjemahkan Muh Yasir Abd Muthalib, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007),513.
c. Menurut kesepakatan ulama’ fiqh perempuan yang menjalani iddah akibat talak raj’i atau
dalam keadaan hamil suaminya wajib menyediakan seluruh nafkah yang dibutuhkan
perempuan tersebut. Akan tetapi apabila iddah yang dijalani adalah iddah karena
kematian suami maka perempuan itu tidak mendapatkan nafkah apapun karena kematian

d. telah menghapus seluruh akibat pernikahan. Namun demikian ulama’ mazhab Maliki
menyatakan bahwa perempuan tersebut berhak menempati rumah suaminya selama
dalam masa iddah tersebut, apabila rumah itu adalah rumah suaminya.
e. Perempuan tersebut wajib ber-ihdad
Mengenai hak-hak istri dalam masa iddah bahwa Ulama fiqh berpendapat istri yang
dicerai oleh suami dengan talak raj’i selama masa iddah berhak mendapatkan nafkah dari
suaminya. Hal inilah yang kurang mendapat perhatian dari suami yang menceraikan istrinya
padahal masalah tersebut menyangkut dengan tanggung jawab (kewajiban) dari seorang suami.
Akan tetapi apabila iddahnya karena suami wafat maka istri tidak mendapat nafkah. Namun
mazhab Maliki memberi pengecualian dalam masalah tempat tinggal.8
Istri yang bercerai dari suaminya dihubungkan kepada hak yang diterimanya
dikelompokan ke dalam tiga macam:
 Istri yang dicerai dalam talak raj’i hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang
berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, pakaian dan juga
tempat tinggal. Dan hal ini merupakan kesepakatan Ulama’.
 Istri yang dicerai dalam bentuk talak ba’in, baik ba’in sughro ataupun ba’in kubra dan dia
sedang hamil, dalam hal ini ulama’ sepakat bahwa dia berhak atas nafaqah dan tempat
tinggal.
 Hak istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam hal ini dalam keadaan hamil ulama’
sepakat mengatakan bahwa dia berhak atas nafkah dan tempat tinggal, namun bila istri
tidak dalam keadaan hamil ulama’ berbeda pendapat. Sebagian ulama’ diantaranya Imam
Malik, Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa istri dalam iddah wafat berhak atas
tempat tinggal. Sebagian ulama’diantaranya Imam Ahmad berpendapat bahwa istri dalam
iddah
wafat yang tidak hamil tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, karena Allah hanya
menentukan untuk yang kematian suami itu adalah peninggalan dalam bentuk harta warisan.
Dalam menjalankan iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya maka wajib bagi
mereka untuk menjalani masa berkabung atau ihdad dan terdapat perkara-perkara yang

8
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), 222
dilarang pada saat ihdad, berikut ini dijelaskan mengenai larangan melakukan perkara tersebut
Ummu ‘Athiyah meriwayatkan ‚kami diwajibkan berkabung atas kematian suami yakni empat
bulan sepuluh hari. Selama itu kami dilarang memakai celak, parfum dan pakaian yang dicelup,
kecuali sejenis pakaian celup buatan Yaman. Apabila kami suci dari dan mandi setelah haid,
kami diberi keringanan untuk menggunakan sedikit wewangian. Dan kami dilarang mengiringi
pemakaman jenazah‛.
2.3.5. Hikmah ‘Iddah
Sebagai peraturan yang dibuat oleh Allah SWT, aturan tentang iddah pasti mempunyai
rahasia serta manfaat tersendiri. Kadang kala manfaat itu dapat langsung kita rasakan namun
seringkali baru dapat kita rasakan setelah kejadian itu telah lama berlalu. Hikmah atau manfaat
dari diwajibkannya iddah dapat dilihat dari beberapa sisi diantaranya dari sisi sosial:
a. Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang diceraikan.
b. Memberikan kesempatan kepada suami-istri untuk kembali kepada kehidupan rumah
tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu.
c. Agar istri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga
suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami, hal ini jika iddah
tersebut dikarenakan oleh kematian suami.
d. Suatu masa yang harus dipergunakan oleh calon, terutama suami yang akan
menikahinya untuk tidak cepat-cepat masuk dalam kehidupan wanita yang baru dicerai
mantan suaminya
BAB .III
II. Ruju’
Pengertian Ruju’
Secara etimologis rujuk berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. 9

Sedangkan rujuk dalam pengertian terminology adalah kembalinya suami kepada hubungan
nikah dengan istri yang telah di cerai raj’i dan di laksanakan selama istri masih dalam masa
iddah.10 Kata rujuk menurut bahasa Arab berasal dari kata raja’a - yarji’u - rujk’an yang berarti
kembali dan mengembalikan. Menurut syara’ adalah kembalinya seorang suami kepada mantan
istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah di talak raj’i. Rujuk dalam istilah hukum
disebut Raja’ah secara arti kata berarti “kembali ”. Sedangkan menurut
Imam Syafi’i, rujuk adalah mengembalikan istri yang masih berada dalam masa iddah kepada
keadaan yang semula.11
Menurut Jumhur Ulama’ rujuk adalah mengembalikan wanita yang di talak selain talak
ba’in, pada perkawinan selama wanita itu masih berada dalam masa iddah tanpa akad yang baru.

2.4.2. Hukum Ruju’


Menurut maz|hab Syafi’i hukum rujuk adalah:
a. Sunnah, seperti talaknya orang yang tidak bias melaksanakan kewajibannya sebagai
suami karena tidak keinginan sama sekali kepada istrinya.
b. Haram, seperti talak bid’ah yang artinya talak yang berdasarkan sunnah yaitu talak
sewaktu istri sedang haid atau nifas atau suci yang telah disetubuhi.
c. Wajib, seperti talak orang yang tidak bisa bersetubuh.
d. Makruh, seperti terpeliharanya semua peristiwa tersebut diatas.12
Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa suami mempunyai hak rujuk untuk merujuki
istrinya di dalam masa iddah dan istri tidak berhak mencegah atau menghalangi rujuknya suami
istri tidak ada iwadh. Iwadh disini yaitu uang atau pengganti dalam rujuk suami. Karena istri itu

9 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, h.209


10 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 90
11 Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 285
12 Maftuh Hanan, Risalah Nikah, h.345
adalah masih menjadi hak suami, istri tidak berhak mencegah atau menghalangi hak rujuk dan
tidak adapula urusan bagi pada sesuatu yang menjadi hak suami terhadapnya.13

Menurut Ibnu Rusyd hukum rujuk ada dua macam:


1. Hukum rujuk pada talak raj’i
Talak raj’i yaitu talak yang dijatuhkan untuk yang pertama atau untuk yang kedua kalinya
selama masih dalam masa iddah, maak suami dapat rujuk kembali kepada bekas istrinya tersebut
tanpa memperbarui akad nikahnya.14
Kaum muslim telah sependapat bahwa suami mempunyai hak merujuk istri pada talak
raj’i, selama istri masih berada dalam masa iddah tanpa pertimbangan persetujuan istri.
Berdasarkan firman Allah surat Al- Baqarah ayat 228 yang berbunyi:

Artinya: Dan para suami mereka lebih berhak merujuknya kembali kepada mereka dalam masa
iddah, jika mereka ( para suamisuami) itu menghendaki perbaikan. Dan mereka para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi
para suami mempunyai satu kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah maha perkasa lagi maha
bijaksana.
Imam Syafi’i juga berkata: Hamba budak mempunyai hak talak dua kali, bila ia mentalak
satu pada istrinya, maka ia seperti orang merdeka yang mentalak istrinya satu atau dua talakan,
maka suami berhak juga untuk rujuk sesudah talak satu sebagai sebagaimana yang dimiliki oleh
laki-laki merdeka dalam merujuk istrinya setelah talak satu
dan dua.
Madzhab Maliki dan Syafi’i mengatakan bahwa setiap talak itu
raj’i kecuali:
1) Talak ba’in.
2) Talak sebelum bersetubuh.
3) Talak dengan tebusan harta dari istri khuluk jadi talak ini disebut
talak ba’in sugra.

13 As-Syafi’I, Al-Um, h.432


14 Musthafa Kamal,dkk, Fikih Islam, h.287
2. Hukum rujuk pada talak ba’in
Talak ba’in terbagi menjadi dua macam yaitu: pertama talak Ba’in Sugra atau talak ba’in
kecil yaitu talak yang terjadi karena khuluk atau talak tebus.15 Di dalam talak ba’in sugra ini
suami

berhak lagi untuk merujuki istrinya, akan tetapi suami masih berhak untuk berkumpul dengan
istrinya kembali dengan akad nikah yang baru dan mas kawin
yang baru pula. Yang termasuk kategori talak ba’in sugra ialah:
1) Perceraian dengan jalan talak tebus atau khuluk atau ta’lik talak dan syiqaq yang memakai
iwad}.
2) Talak suami istri yang belum pernah melakukan hubungan kelamin.
3) Perceraian karena fasakh oleh hakim Pengadilan Agama.
Kedua ba’in kubra yaitu talak yang dijatuhkan untuk ketiga kalinya. 16 Dalam talak ba’in
kubra ini suami tidak boleh menikah kembali dengan bekas istrinya kecuali harus terlebih dahulu
istri kawin dengan suami yang kedua, istri sudah dicampuri oleh suami kedua, istri telah ditalak
oleh suami yang kedua dan telah habis masa iddahnya. Hukum rujuk setelah talak ba’in sama
dengan nikah baru, yakni tentang persyaratan adanya mahar, wali dan persetujuan. Hanya saja
jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa untuk perkawinan ini tidak dipertimbangkan berakhirnya
masa iddah.
Rukun dan Syarat Rujuk
a. Rukun Rujuk
Rukun rujuk adalah sigat atau pernyataan kembali dari suami serta perbuatan yang
menunjukkan keinginan tersebut. Ulama’ sepakat bahwa rujuk tidak sah apabila tidak memenuhi
rukun-rukun rujuk, akan tetapi terhadap ketentuan rukun itu mereka berbeda pendapat. Menurut
ulama’ jumhur rukun rujuk ada 3 macam yaitu:
1) Murtaji atau mantan suami.
2) Murtaja’a atau mantan istri.
3) Sigat atau ijab rujuk.
b. Syarat Rujuk
 Laki- laki yang merujuk, adapun syarat bagi laki- laki yang merujuk itu adalah sebagai
berikut:

15 Musthafa Kamal, dkk, Fikih Islam, h.287


16Ibid, h.268
a) Laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang di rujuk yang dia
menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah.
b) Laki-laki yang merujuk itu mestilah seorang yang mampu melaksanakan pernikahan
dengan sendirinya yaitu telah dewasa, sehat akalnya dan bertindak dengan kesadarannya
sendiri.

 Perempuan yang dirujuk adalah perempuan yang telah dinikahi dan kemudian
diceraikannya tidak dalam bentuk cerai tebus atau khuluk dan tidak pula dalam talak
tiga, sedangkan dia telah digauli selama dalam perkawinan itu dan masih berada dalam
masa iddah.Adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang di rujuk itu adalah sebagai
berikut:
a) Perempuan itu adalah istri yang sah dari laki- laki yang merujuk.
b) Istri itu telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i.
c) Istri itu masih berada dalam iddah talak raj’i.
d) Istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu.
 Ucapan rujuk
Rujuk dalam pandangan fiqh adalah tindakan sepihak dari suami. Tindakan
sepihak itu di dasarkan kepada pandangan ulama’ fiqh bahwa rujuk itu merupakan hak
khusus seorang suami.17 Oleh karena sifatnya yang sepihak itu tidak diperlukan
penerimaan dari pihak perempuan yang di rujuk atau walinya. Dengan begitu rujuk tidak
di lakukan dalam bentuk suatu akad. Untuk sahnya tindakan rujuk hanya di perlukan
ucapan rujuk yang dilakukan oleh orang yang merujuk.
 Kesaksian dalam rujuk
Tentang kesaksian dalam rujuk ulama berbeda pendapat ada yang sebagian ulama’
termasuk salah satu pendapat dari Imam al- Syafi’i mensyaratkan adanya kesaksian dua
orang saksi sebagaimana yang berlaku dalam akad nikah.
Hikmah Ruju’
Dari penjelasan tentang rujuk, nyatalah bahwa perceraian itu merupakan satu perbuatan
yang sangat dibenci oleh Islam karena dampak negative yang di timbulkannya baik kepada
suami atau istri maupun terhadap anak- anaknya bagi yang telah memiliki anak. Sebaliknya
perdamaian (ishlah) atau rujuk merupakan perbuatan yang sangat disukai dalam Islam. Atas

17
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 341- 342
dasar inilah institusi rujuk dalam Islam merupakan kesempatan yang cukup baik untuk
melakukan rekonsiliasi terhadap konflik yang terjadi antara suami dan istri. Dengan demikian
suami- istri yang telah di cerai harus memanfaatkan kesempatan masa iddah untuk melaksanakan
rujuk.

2.5 Pernikahan-Pernikahan yang Rusak (Batal)

1. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah merupakan pernikahan sementara yang disepakati antara dua pihak,
dikenal dalam pengertian sebagian Negara timur dengan nama “Ash-Shighah”. Mut’ah telah
menjadi kebiasaan antara kabilah-kabilah Arab dalam setiap waktu, sebagaimana pernikahan
yang dilakukan sebagian laki-laki saat permulaan Islam, ketika mereka jauh dari istri-istri
mereka karena peperangan.

‫عن علي بن طالب رضي هللا عنه رسول هللا صلى هللا عليه وسلم نهى عن متعة النساء يوم خيبر‬

Dari Ali bin Abi Thalib r.a. ia berkata Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dengan
perempuan-perempuan pada waktu Perang Khaibar (HR Bukhari Muslim).

Nikah mut’ah telah menjadi kebiasaan orang Arab pada masa jahiliyah, maka tidak
termasuk hikmah keharamannya kecuali dengan perlahan-lahan, sebagaimana aturan Islam
dalam memutuskan adat jahiliyah yang berbeda dengan kemaslahatan dunia manusia.

Dapat diketahui bahwa nikah mut’ah tidak disepakati dan demi kebaikan manusia, karena
dengan ini hilanglah keturunan, pemanfaatan perempuan hanya terbatas untuk pemenuhan
syahwat oleh laki-laki dengan merendahkan kepribadian perempuan, maka wajib keharamannya.
Pernikahan ini hukumnya batal dan haruslah dibatalkan ketika terjadi. Haruslah member mahar
jika telah bercampur, dan jika tidak maka tidak ada kewajiban baginya.

2. Nikah Asy-Syighaar
Nikah Asy-Syighaar yaitu seorang wali yang menikahkan ke walinya seorang laki-laki
dengan syarat ia menikahkannya juga sebagai kewaliannya; baik mereka menyebutkan maharnya
ataupun tidak. Hal ini berdasarkan hadits nabi:

‫ال شغار قي اإلسالم‬


“Tidak ada Syighaar dalam Islam.”

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata Rasululah SAW melarang syighaar, shighaar yaitu
seorang laki-laki yang mengatakan nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu dan aku
menikahkanmu dengan anak perempuanku, atau nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu
dan aku menikahkanmu dengan saudara perempuanku (HR. Muslim).

Dari Ibnu Umar r.a. : Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang syighaar, syighaar adalah
seseorang yang menikahkan anak perempuannya dengan syarat anak perempuannya
dinikahkannya dan antara keduanya tidak ada mahar (Muttafaq ‘alaih).

3. Nikah Al-Muhallil
Nikah muhallil adalah seorang perempuan dicerai tiga kali (talak ba’in qubra) maka
haramlah menikahinya berdasarkan firman Allah SWT:

‫فال تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره‬


Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
(QS. Al-Baqarah :230).
Maka ia dinikahi laki-laki lain dengan maksud kehalalannya bagi suami yang pertama,
pernikahan ini batil, berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud:
‫لعن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم المحلل و المحلل له‬
Rasulullah SAW melaknat al-muhallil dan al muhallil lahu (HR. At-Tirmidzi).

Pendapat imam Syafi’i :


 Berhati-hatilah menjadi muhallil karena akan sama seperti nikah mut’ah
 Apabila tidak ada niatan untuk menceraikan, maka hukumnya sah
 Apabila ada niatan menceraikan namun secara personal saja, maka hukumnya sah.
 Apabila ada perundingan namun tidak diucapkan ketika aqad nikah, maka hukumnya sah
tapi makruh
4. Nikah al-Muhrim
Nikah al-muhrim adalah seorang laki-laki yang menikah, sedangkan ia dalam keadaan
ihram untuk haji dan umrah sebelum tahallul. Hukum pernkahan ini batal. Jika ia menginginkan
nikah dengannya maka ia melaksanakan akad kembali setelah selesai haji atau umrahnya
berdasarkan sabda Nabi SAW:

‫ال تنكح الهحرم وال ينكح‬

Orang yang berihram tidak menikah dan tidak menikahkan (HR. Muslim).

Maksudnya ia tidak melaksanakan akad nikah baginya dan ia tidak melaksanakan akad
untuk orang lain. Larangan ini bersifat haram, yakni mengharuskan kebatalan.

5. Nikah Masa ‘Iddah


Nikah masa ‘iddah yaitu laki-laki yang menikahi perempuan yang masih ‘iddah baik
karena perceraian maupun kematian. Pernikahan ini batil hukumnya, yaitu hendaknya mereka
berdua dipisahkan karena batalnya akad dan ketetapan mahar tetap bagi perempuan meski ia
tidak bercampur dengannya. Diharamkan baginya menikahinya sehingga telah habis masa
‘iddahnya sebagai hukuman baginya. Dan jika ada ahli ilmu membolehkan setelah habis masa
‘iddah jika ia tidak beranak dalam masa ‘iddahnya, adapun jika beranak dengannya maka
menurut Malik dan Ahmad mereka memandang keharaman atasnya dengan keharaman yang
selamanya.

6. Nikah Tanpa Wali


Nikah tanpa wali yaitu laki-laki yang menikahi perempuan tanpa izin walinya. Nikah ini
batil karena kurangnya rukun pernikahan yaitu wali. Hukumnya hendaklah mereka berdua
dipisahkan, suami tetap memberikan mahar jika menyentuhnya, dan setelah berpisah, ia
menikahinya dengan akad dan mahar jika walinya merelakan dengannya.

7. Nikah dengan perempuan kafir selain Ahli Kitab


Haram bagi seorang muslim untuk menikah dengan kafir majusi baik ia menyembah api,
komunisme, atau berhala, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 221

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.


Sebagaimana tidak halal bagi seorang muslimah untuk menikah dengan seorang kafir secara
mutlak, baik kitabi atau bukan kitabi, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Mumtahanah ayat
11:

Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka.
BAB III

III. Tinjauan Nafkah


1. Pengertian Nafkah
Nafkah berasal dari bahasa arab ‫ النفقة‬artinya ‫ المصروف واالنفاق‬yaitu biaya, belanja,
pengeluaran uang.18 Dalam madzahib al arba’ah disebutkan ‫ النفقة في اللغة االخراج‬yaitu
pengeluaran19 Sedangkan menurut istilah nafkah adalah kewajiban suami untuk memenuhi
kebutuhan istri dalam menyediakan makanan, tempat tinggal, pembantu, dan obat-obatan,
apabila suaminya kaya20. Ditinjau dari makna lughowinya, nafkah merupakan makna yang
sempit yang tidak mencakup semua fungsi dari sebuah pernikahan. Namun dari makna istilah
nafkah merupakan hal yang tidak mudah untuk dilaksanakan tanpa adanya usaha yang
maksimal.

Dari pengertian tersebut diatas seolah-olah nafkah hanya merupakan pemenuhan


kepada istri dalam bidang materi. Namun lebih dari itu nafkah terbagi menjadi dua yaitu
nafkah lahir (materi) dan nafkah bathin (seks)21 atau hubungan biologis. Imam Malik
mengatakan bahwa nafkah tidak wajib bagi suami sampai ia dapat mengajak untuk dukhul
(wathi, jimak).22 Oleh sebab itu hal terpenting yang harus dilakukan seorang suami bagi
istrinya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya adalah memberikan nafkah terhadap
keluarga. Suami yang baik selalu memerhatikan masalah ini. Dia tidak akan menyia-siakan
amanah yang sekaligus menjadi kewajibannya. Maka sudah menjadi tanggungjawab suami
untuk menafkahi istri secara lahir ataupun batin.23

2. Dasar Hukum Nafkah


Al Qur’an ... ...   
 
     
  ...

Artinya: ... ... dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu
dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya ...
... (Q.S Al Baqarah : 233)24

    


   
     
   
 ... ... 

Artinya: ” tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal


menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin, … (Q.S At Thalaq : 6)25

      


    
       
     
  

Artinya: “ Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.


dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan. (Q.S At Thalaq: 7)26

Dalil-dalil tersebut diatas merupakan dasar kewajiban nafkah secara lahiriyah


(materi) yang harus diberikan oleh seorang suami (atau ayah) untuk keluarganya (istri dan
anak) dengan cara yang ma’ruf sesuai dengan kadar kemampuan yang dimilikinya.
Kemudian sehubungan dengan nafkah secara bathiniyah dapat diambil dari dalil sebagai
berikut;

... ...     ... ...




Artinya: ”... ... dan bergaullah dengan mereka secara patut ... ... (Q.S Al Nisaa’: 19)

Mengenai lafadz “Asyara” dalam bahasa arab adalah sempurna dan optimal.27 Dan
juga akar kata Asyara yaitu ’isyrah’ )‫ (العشرة‬adalah berkumpul atau bercampur.28 Maka
berkumpul disini adalah apa yang seharusnya ada pada suami istri seperti rasa saling terikat
dan bertautan. Karena dalam syariat islam antara suami istri diwajibkan untuk bergaul
dengan sebaik-baiknya, tidak diperbolehkan menunda hak dan kewajiban, dan juga tidak
boleh saling membenci apalagi bersikap saling menyakiti sebagaimana dalam ayat tersebut.
Oleh sebab itu dalam memaknai lafadz tersebut Al Qusairi menyatakan dalam tafsirnya yaitu
maksudnya mempergauli istri dengan ilmu-ilmu agama dan tata cara atau adab serta akhlaq
yang baik.29

Hadist nabi

25
Ibid., hal.560
26
Ibid.
27
Syeikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2007. hal.327
28
Saleh Al Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Jakarta: Gema Insani, 2006. hal.682
29
463 ‫ ص‬/ 1 ‫ ج‬- ‫تفسير القشيري‬
‫عتْ َبةَ ْام َرأَة ُ أَ ِبي‬
ُ ُ‫ت ِه ْند ٌ ِب ْنت‬ ْ َ‫شةَ قَال‬
ْ َ‫ت دَ َخل‬ َ ‫ي ْبنُ ُم ْس ِه ٍر َع ْن ِهش َِام ب ِْن ع ُْر َوة َ َع ْن أ َ ِبي ِه َع ْن َعا ِئ‬ ُّ ‫ي َحدَّثَنَا َع ِل‬ ُّ ‫َحدَّث َ ِني َع ِل‬
َّ ‫ي ْبنُ حُجْ ٍر ال‬
ُّ ‫س ْع ِد‬
‫س ْفيَانَ َر ُج ٌل ش َِحي ٌح َال يُ ْع ِطي ِني ِم ْن النَّفَقَ ِة َما يَ ْك ِفينِي َو َي ْك ِفي‬ ُ ‫َّللاِ إِ َّن أَبَا‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ت يَا َر‬ ْ َ‫سلَّ َم فَقَال‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫س ْفيَانَ َعلَى َر‬
َّ ‫سو ِل‬ ُ
ِ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ُخذِي ِم ْن َما ِل ِه بِ ْال َم ْع ُر‬
‫وف‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ َّ َ‫ي إِ َّال َما أ َ َخذْتُ ِم ْن َما ِل ِه ِبغَي ِْر ِع ْل ِم ِه فَ َه ْل َعل‬
ُ ‫ي فِي ذَلِكَ ِم ْن ُجنَاحٍ َفقَا َل َر‬ َّ ِ‫بَن‬
30
ِ ِ‫يك َويَ ْك ِفي بَن‬
‫يك‬ ِ ‫َما يَ ْك ِف‬

Artinya: Hindun istri Abu Sofyan berkata pada Rosulullah, Ya Rosulallah


sesungguhnya Abu Sofyan adalah lelaki yang amat bakhil, tidak memberiku nafkah yang bisa
mencukupiku dan

anakku kecuali apa yang kuambil hartanya tanpa sepengetahuannya, apakah hal ini dosa
bagiku? Rosulullah menjawab ambillah hartanya dengan baik dan mencukupi dirimu dan
anakmu.

3. Pendapat Fuqoha’ Mengenai Kadar Nafkah


Nafkah adalah pintu sebuah keberkahan dalam rumah tangga. Dasar kewajiban suami
memberikan sesuai dengan Al Quran dalam surat Al Baqarah : 233, “…Dan, kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak

dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”31 Namun daripada hal tersebut, suami
tidak boleh seenaknya memperlakukan istri dengan semaunya sendiri, memberikan nafkah
dengan semaunya walaupun sebenarnya dia mampu.

Nafkah sebagai tanggungjawab suami kepada istrinya harus terpenuhi dengan


sempurna sesuai dengan kadar kemampuannya sebagai mana dijelaskan dalam al qur’an surat
at thalaq ayat 7 yang artinya “hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya”. Dari ayat tersebut Qurai Shihab dalam tafsirnya mengatakan bahwa suami
memberikan nafkah sesuai dengan kadar kemampuanya, sehingga istri tidak diperbolehkan
menuntut lebih dari apa yang dimiliki oleh suami sehingga nantinya mengakibatkan suami
itu sampai mencari nafkah dari jalan yang tidak direstui oleh Allah.32

30
105 ‫ ص‬/ 9 ‫ (ج‬- ‫صحيح مسلم‬

31
http://qultummedia.com/20070506148/Info/Manfaat-dan-Hikmah-Nafkah-untuk-Keluarga.html
32
Qurai Shihab, Tafsir Al Misbah Vol.14. hal.303
Ulama’ hanafiyah berpendapat bahwa kadar nafkah tidak ditetapkan oleh syara’ tetapi
suami wajib memenuhi keperluan-keperluan istrinya seperti makanan, lauk-pauk, daging,
sayur, buah-buahan dan keperluannya yang lazim, sesuai dengan tempat dan keadaan serta
selera orangnya. Imam Malik juga sependapat bahwa kadar nafkah tidak ditetapkan oleh
syara’ akan tetapi diruju’ pada kebutuhan suami dan istri.33 Namun Syafi’iyah berbeda, kadar
nafkah itu tertentu,34 mereka beralasan dengan ayat al qur’an surat at thalaq : 7. “hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan
rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya”.

Allah mewajibkan pemberian nafkah, namun tidak menetapkan jumlah kadarnya


secara jelas, namun Imam Syafi’i menetapkan kadar tersebut dengan dasar/jalan ijtihad dan
ukuran yang terdekat. Bagi orang yang kaya (al musir) adalah 2 mud, bagi orang sedang (al
ausath) adalah 1,5 mud, dan bagi orang lemah/kurang mampu (al mu’sir) adalah 1 mud.35
Dengan kadar makanan yang digunakan untuk membayar kafarat, karena makanan itu untuk
menghilangkan lapar. Kafarat itu paling banyak adalah dua mud, dan sekurang-kurangnya
satu mud.

A. Tinjauan Keluarga Sakinah


1. Pengertian Keluarga Sakinah
Keluarga dalam kamus bahasa Indonesia diartikan dengan ibu, bapak dengan anak-
anaknya, seisi rumah; orang seisi rumah yang menjadi tanggungan, batih, sanak saudara dan
diartikan juga dengan satuan kekerabatan yang mendasar dalam masyarakat.36 Dalam
literatur Al Qur’an keluarga

diistilahkan dengan kata ahlu (‫ ) االهل‬jama’nya ahluna dan ahal )‫ اهال‬,‫ (اهلون‬yang mempunyai
makna famili, keluarga dan kerabat.37 Sebagaimana ayat al qur’an

  


    
     
 

33
Ibnu Rusydi Al Hafid, Op.Cit. hal.44
34
Al Hamdani, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, 2002. hal.152
35
Ibnu Rusydi Al Hafid, Op.Cit. hal.44
36
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, t.t., hal.471
37
Ahmad Warson Munawwir, Op.Cit hal.46
Artinya: ”dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah
yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang
bertakwa”. (Q.S. Thoha : 132)

   


  
  
    
    
  

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (Q.S Al Tahriim: 6)

Selain itu keluarga diartikan dengan suatu matriks sosial atau suatu organisasi bio-
psiko-sosio-spiritual, dimana anggota keluarga terikat dalam suatu ikatan khusus untuk hidup
bersama dalam ikatan pernikahan dan bukan ikatan yang sifatnya statis dan terbelenggu.38
Dan sakinah adalah kedamaian, ketentraman, ketenangan, kebagahagiaan, kecintaan dan

kasih sayang.39 Adapun sakinah dalam bahasa arab diartikan dengan tenang, ketenangan, dan
diam.40 Sebagaimana disebutkan dalam ayat al qur’an sebagai berikut:

    


 ... ...   

Artinya: ”Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada


orang-orang yang beriman, ... ... (Q.S Al Taubah: 26)

38
Dadang Hawari, Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 1999.
hal.282
39
Pengembangan Bahasa, Op.Cit. hal. 723
40
Ahmad Warson Munawir, Op.Cit. hal.646
Menurut Rosyid Ridlo sakinah adalah sikap jiwa yang timbul dari suasana ketenagan
dan merupakan ketenangan dan merupakan lawan dari kegoncangan batin dan kekalutan.
Sedangkan menurut Al Jurjani sakinah adalah adanya ketentraman dalam hati pada saat
datangnya suatu yang tak diduga, yang dibarengi suatu nur (cahaya) dalam hati yang
memberi ketenangan dan ketentraman pada yang menyaksikannya. Dan menurut Roghib Al
Isfahan antara lain mengartikan sakinah dengan tidak adanya rasa gentar dalam mengahadapi
sesuatu.41

Adapun sebuah keluarga itu bisa dikatakan dengan keluarga yang harmonis/bahagia
dan sehat adalah diantaranya harus tercakup didalamnya enam (6) kriteria, 42 sebagai berikut:

a. kehidupan beragama dalam keluarga


b. mempunyai waktu untuk bersama
c. mempunyai pola komuniksai yang baik bagi sesama anggota keluarga (ayah-ibu-
anak)
d. saling menghargai satu sama lainnya
e. masing-masing anggota keluarga merasa terikat dalam ikatan keluarga sebagai
suatu kelompok
f. apabila terjadi suatu permasalahan dalam keluarga akan mampu menyelesaikan
secara positif dan kontruktif.

2. Ikhtiar Mewujudkan Keluarga Sakinah


Keluarga sakinah merupakan dambaan setiap suami istri atau mereka yang telah
melangsungkan pernikahan, serta menjadi esensi dan tujuan pernikahan, selain itu merupakan
pilar pembentukan masyarakat ideal yang dapat melahirkan keturunan yang sholeh.43
Sehingga untuk memperoleh predikat keluarga sakinah diperlukan usaha sebagai berikut;

a. Niat Ikhlas

41
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islami. Jakarta: PT Ikhtiar Baru, 1994. hal.202
42
Dadang Hawari,Op.Cit. hal.215

43
M. Nashichin Al Mu’iz, Skripsi Usia Ideal Memasuki Dunia Pernikahan Sebuah Ihtiar Mewujudkan Keluarga
Sakinah. Tulungagung: STAIN, 2007. hal.40
Pernikahan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, bahkan menjadi kebutuhan yang sangat mendasar (basic demand) bagi setiap
manusia normal, karena pernikahan merupakan sarana bagi seseorang untuk menyalurkan
hasrat biologisnya secara sah dan legal bersama pasangannya. Saling mencurahkan rasa kasih
sayang, namun bukan semata menyalurkan kebutuhan biologisnya saja, namun lebih jauh
dari itu, bahkan ditinjau dari sudut religiusnya pada hakikatnya pernikahan merupakan salah
satu bentuk pengabdian (ibadah) kepada Allah SWT.

Pernikahan yang dilandasi dengan niat yang ikhlas merupakan awal dari terwujudnya
keluarga sakinah, yaitu keluarga yang senantiasa diliputi rasa kasih sayang serta saling
menyadari eksistensi dan tanggungjawab masing-masing. Karena dengan niat yang ikhlas
akan tumbuh dan menghasilkan keluarga yang baik dan sakinah sebagaimana tujuan
pernikahan, dan juga sabda nabi yang berbunyi;

ٍ ‫ إِنَّ َما ْاْل َ ْع َما ُل بِالنِيَّ ِة َوإِنَّ َما ِال ْم ِر‬...


... ‫ئ َما ن ََوى‬

Artinya: Bahwa segala sesuatu perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan
sesungguhnya setiap sesuatu tersebut sesuai dengan apa yang diniatkan (niat yang
menyertainya) ... (H.R. Bukhori)44

b. Kafa’ah
Kafa’ah atau sekufu berarti sama, setaraf, sederajat, sepadan, sebanding.45 Sekufu
maksudnya adalah antara suami dan istri tersebut sebanding dalam tingkat sosial, derajat,
kedudukan harta dan juga akhlaq. Namun lebih ditekankan kafa’ah ini pada keseimbangan,
keharomonisan dan keserasian utamanya dalam hal agama yaitu akhlaq dan ibadahnya.

Sehingga perlu diperhatikan tentang kafaah dalam membina keluarga sakinah. Dan
dengan keseimbangan tersebut benar-benar membentuk keluarga yang endingnya menjadi
keluarga sakinah, mawaddah warohmah.

c. Nafkah yang cukup


Nafkah juga merupakan sebuah faktor penting dalam menjaga keharmonisan rumah
tangga. Kerap kali perceraian maupun percekcokan muncul akibat nafkah yang kurang dan

44
Shohih Bukhori, Hadits No. 6195
45
Ahmad Warson Munawir, Op.Cit. hal.1216
tidak seimbang. Sehingga tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pemberian nafkah lahir dan bathin
yang cukup dan seimbang merupakan penjagaan sebuah keluarga tetap tentram, harmonis
penuh rasa kasih dan sayang.

Karena seperti yang dikatakan Syeikh Taqiyuddin “Timbulnya bahaya bagi istri
dengan tidak disetubuhi suaminya bisa menjadi alasan untuk meminta cerai kapan saja dan
bagimanapun keadaannya, baik sang suami melakukan hal itu dengan sengaja atau tidak
sengaja. Walaupun sang suami mampu melakukan hal itu atau tidak. Terutama mengenai
alasan nafkah.46

B. Pengaruh Kadar Nafkah


Tujuan pokok pernikahan adalah menciptakan kesenangan, keramah-tamahan dalam
persekutuan serta kepuasan bersama.47 Kemudian nafkah merupakan hal yang pokok dalam
ikatan perkawinan, yang mana harus dipenuhi oleh seorang suami untuk istrinya. Dengan adanya
nafkah beberapa kebutuhan bisa terpenuhi, maka dengan begitu dapat memperkecil peluang
terjadinya perpecahan diantara keduanya. Sehingga tujuan pernikahan tersebut dapat terealisasi
dengan baik dan sempurna.

Karena tidak sedikit angka perceraian yang terjadi di Indonesia disebabkan karena
permasalahan nafkah, gugatan cerai sebab nafkah yang kurang memenuhi, dan juga belaian kasih
sayang suami yang minim, nafkah lahir dan bathin-pun tidak terpenuhi secara maksimal, hal ini
menyebabkan timbal balik rasa kasih sayang yang seharusnya menjadi hal yang urgent dan harus
dipenuhi oleh istri berkurang.

Seorang suami dalam membina keluarga menjadi keluarga sakinah, keluarga yang
harmonis, harus pandai mengaplikasikan pemberian nafkah dalam segala bentuk, menjaga dan
melindungi istrinya dengan baik, serta memperlakukan dengan ma’ruf. Sebagaimana sabda Nabi
yang diriwayatka oleh Abu Hurairah dalam shohih Bukhori ... ...‫اء َخي ًْرا‬
ِ ‫س‬َ ‫الن‬
ِ ‫صوا ِب‬
ُ ‫وا ْست َْو‬...
َ ...
(…perlakukanlah istri-istrimu dengan baik … ) (HR. Abu Hurairah)48.

46
Saleh Al Fauzan, Op.Cit. hal.686
47
Hammudah Abd. Al ‘Ati, Keluarga Muslim, hal.225
48
184 ‫ ص‬/ 16 ‫ ج‬- ‫صحيح البخاري‬
Seorang suami wajib menginap dirumah dengan istrinya yang merdeka selama sekurang-
kurangnya semalam dalam 4 (empat) malamnya, jika memiliki empat orang istri. Karena
mungkin tiga istri yang lain juga memintanya. Namun Syaikh Taqiyuddin tidak menyepakatinya
sebab keadaan sendiri (seorang istri) tidak bisa disamakan dengan keadaan ramai-ramai (empat
istri).

Dalam islam juga diajarkan bahwa seorang suami diwajibkan menyetubuhi istrinya
minimal empat bulan sekali, jika ia mampu dan istri memintanya. Karena Allah menetapkan
empat bulan bagi suami yang menjatuhkan ‘Ilaa’ pada istrinya. Demikian dengan hak istri
lainnya, Syeikh Islam Ibn Taimiyah berpendapat

bahwa kewajiban suami untuk menggauli istrinya disesuaikan dengan kemampuan istri dalam
hal tersebut, serta tidak membahayakan suami.49

Suami dalam memberikan nafkah lahir juga disesuaikan dengan kebiasaan keadaan istri
sebelumnya dan menurut kadar kemampuannya. Sehingga ketika nafkah (lahir dan bathin)
tersebut kurang terpebuhi maka hal itu dapat mempengaruhi keharmonisan rumah tangga.
Sebagaimana perkataan Syeikh Taqiyuddin “Timbulnya bahaya bagi istri dengan tidak
disetubuhi suaminya bisa menjadi alasan untuk meminta cerai kapan saja dan bagimanapun
keadaannya, baik sang suami melakukan hal itu dengan sengaja atau tidak sengaja. Walaupun
sang suami mampu melakukan hal itu atau tidak. Terutama mengenai alasan nafkah.50

BAB IV

HADHANAH

IV.HADHANAH
1. Pengertian Hadhanah

49
Saleh Al Fauzan, Op.Cit. hal.686
50
Ibid.
Hadhanah berasal dari kata “Hidhan” yang berarti lambang. Seperti kata Hadhanah atl-
thaairu baidhahu ‘burung itu mengapit telur di bawah sayapnya’. Begitu pula seorang
perempuan (ibu) yang mengapit anaknya. karma ibu menyusukan anaknya dipangkuanya,
seakan-akan ibu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga hadhanah di jadikan istilah yang
dimaksud.

Dalam bukunya Abd. Rahman Ghazaly. M.A. Hadhanah menurut bahasa berarti
“meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan”, karena ibu waktu menyusukan
anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan
memelihara anaknya, sehingga “Hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan
pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang
dilakukan oleh kerabat anak itu”.1

Para ulama’ fiqih mendefinisikan hadhanah, yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak


yang masih kecil, baik laki-laki ataupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum
mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang
menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri
menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya

Dengan demikian, mengasuh artinya memelihara dan mendidik. Maksudnya adalah mendidik
dan mengasuh anak-anak yang belum mumayyiz atau belum dapat membedakan antara yang baik
dan yang buruk, belum pandai menggunakan pakaian dan bersuci dan sebagainya.

2. Status Hukum Dan Dasar Hadhanah


Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib, sebagaimana
wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya
mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada surat

Al-Baqarah (2) ayat 233:

‫ف‬ ُ َّ‫وف الَ ت ُ َكل‬ ْ ‫علَى ا ْل َم ْولُو ِد لَهُ ِر ْزقُ ُهنَّ َو ِك‬
ِ ‫س َوت ُ ُهنَّ بِا ْل َم ْع ُر‬ َ ‫الرضَاعَةَ َو‬ َّ ‫َاملَي ِْن ِل َم ْن أ َ َرا َد أَن يُتِ َّم‬
ِ ‫َوا ْل َوا ِلدَاتُ يُ ْر ِض ْعنَ أ َ ْوالَ َدهُنَّ ح َْولَي ِْن ك‬
ُ ‫اض ِم ْن ُه َما َوتَش‬
‫َاو ٍر‬ ٍ ‫ث ِمثْ ُل ذَ ِلكَ َف ِإ ْن أ َ َرادَا فِصَاالً عَن ت َ َر‬ ِ ‫علَى ا ْل َو ِار‬
َ ‫َآر َوا ِل َدةُ ِب َولَ ِد َها َوالَ َم ْولُودُُُ لَّهُ بِ َو َل ِد ِه َو‬
َّ ‫سعَهَا الَ تُض‬ ْ ‫س إِالَّ ُو‬ٌ ‫نَ ْف‬
َ‫وف َواتَّقُوا هللاَ َوا ْعلَ ُموا أَنَّ هللا‬ َ ‫ست َ ْر ِضعُوا أ َ ْوالَ َد ُك ْم فَالَ ُجنَا َح‬
َ ‫علَ ْي ُك ْم ِإذَا‬
ِ ‫سلَّ ْمت ُم َّمآ َءات َ ْيت ُم ِبا ْل َم ْع ُر‬ ْ َ ‫علَي ِْه َما َو ِإ ْن أ َ َر ْدت ُ ْم أَن ت‬
َ ‫فَالَ ُجنَا َح‬
ُ ‫بِ َما ت َ ْع َملُونَ بَ ِص‬
}233{ ُُ‫ير‬

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 233).

Begitu juga dalam Al-Qur’an yang lain yaitu: Surat At-Tahrim ayat 06:

)6 ‫والحجارة(التحريم‬‫نـاراوقودهـاالـناس‬‫وأهـليكم‬‫آمـنواقـواأنـفسكم‬‫يـاأيهاالـذين‬

“ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu….. ”

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu
masih terkait dalam tali perkawinan saja, akan tetapi juga berlanjut setelah terjadinya perceraian
dalam perkawinan.3

Nabi Muhammad bersabda:

) ‫من فرق بين والدة وولدهـا فرق هللا بينه و بين أحبته يوم القيامة ( أخرجه الترمذي و ابن ماجه‬

“Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya, maka Allah akan memisahkan
antara dia dan keaksih-kekasihnya pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun
dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh
disebut mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya
tugas mengasuh itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajban
untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya
harus berpisah, maka ibu atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiiri.

Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh disyaratkan hal-hal sebagai berikut:

1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat
itu, oleh karenanya belum diketahui kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu
belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berpikir sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk
dirinya sendiri dan dengan keadaanya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang
lain.

3
Syarifiddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan
Undang-undang Perkawinan. Jakarta: hal. 328

3. Beragama islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas
pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang
diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan
jauh dari agamanya.
4. Adil dalam arti menjalankan secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjahui
dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam
beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk
mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.

Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:

1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus
hidupnya sendiri.
2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat
sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat
sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapapun.

3. Hadhanah Menurut Pandangan Fuqaha’.


Para fuqaha’ sepakat bahwa hak pemeliharaan anak (hadhanah) ada pada ibu selama ia
belum bersuami lagi. Apabila ia telah bersuami lagi dan sudah disetubuhi oleh suami yang baru
maka gugurlah pemeliharaannya. Sedangkan para Imam Mazhab berbeda pendapat tentang
suami istri yang bercerai, adapun mereka mempunyai seorang anak atau lebih. Siapakah yang
berhak memelihara anaknya?

a. Imam Hanafi dalam salah satu riwayatnya: Ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak
itu besar dan dapat berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari seperti makan,
minum, pakaian, beristinjak, dan berwudhu. Setelah itu, bapaknya lebih berhak
memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu lebih berhak memeliharanya hingga ia
dewasa, dan tidak diberi pilihan.
b. Imam Miliki berkata: ibu lebih berhak memelihara anak perempuan hingga ia menikah
dengan orang laki-laki dan disetubuhinya. Untuk anak laki-laki juga seperti itu, menurut
pendapat Maliki yang masyhur, adalah hingga anak itu dewasa.
c. Imam Syafi’i berkata: Ibu lebih berhak memeliharanya, baik anak itu laki-laki maupun
perempuan, hingga ia berusia tujuh tahun. Apabila anak tersebut telah mencapai usia
tujuh tahun maka anak tersebut diberi hak pilih untuk ikut diantara ayah atau ibunya.

d. Imam Hambali dalam hal ini mempunyai dua riwayat: Pertama, ibu lebih berhak atas
anak laki-laki sampai ia berumur tujuh tahun. Setelah itu, ia boleh memilih ikut bapaknya
atau masih tetap bersama ibunya. Sedangkan untuk anak perempuan, setelah ia berumur
tujuh tahun, ia terus tetap bersama ibunya, tidak boleh diberi pilihan. Kedua, seperti
pendapatnya Imam Hanafi, yaitu ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan
berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari sepeti makan, minum, pakaian,
beristinjak, dan berwuduk. Setelah itu, bapak lebih berhak memeliharanya. Untuk anak
perempuan, ibu yang lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa dan tidak diberi
pilihan.4

4. Masa Hadhanah
Didalam Al-qur’an serta hadist secara tegas tidaklah terdapat tentang masa hadhanah,
hanya saja terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan ayat tersebut. Oleh karena itu hanya saja
para ulama berijtihad sendiri-sendiri, seperti halnya mazhab Hanafi berpendapat bahwa
hadhanah anak laki-laki habis pada waktu dia tidak memerlukan penjagaan serta dapat mengurus
kepentingan pribadinya, sedangkan wanita habis pada saat haid pertamanya. Sedangkan
pendapat para mazhab Imam Syafi’i, hadhanah itu berkhir ketika sianak telah mumayyiz atau
berumur lima ataupun enam tahun, dengan dasar hadits sbb :

“Rasulullah SAW bersabda: anak ditetapkan antara bapak dan ibunya sebagaimana anak (anak
yang belum mumayyiz) perempuan di tetapkan antara bapak dan ibunya”5.

Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah bisa ditanya kepada siapa
dan akan terus ikut. Batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21
tahun selama belum melakukan pernikahan (pasal 98 KHI). Kalau anak tersebut memilih ibunya
maka si ibu tetap berhak mengasuh anak itu, kalau anak itu memilih ikut bapaknya maka hak
mengasuh pindah pada bapak.

5. Upah Hadhanah
Ibu tidak berhak atas upah hadhanah seperti menyusui, selama ia masih menjadi istri dari
anak itu, atau masih dalam masa iddahnya. Karena dalam keadaan tersebut ia masih dalam
keadaan dinafkahi, firman Allah S.W.T. yang artinnya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-
anak selam dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya, dan
kewajiban ayah memberikan nafkah lahir bathin kepada ibu dengan cara yang makruf.
6. Hadhanah Dalam Perspektif KHI
Kompilasi Hukum Islam kaitannya dengan masalah ini membagi ada dua periode bagi
anak yang perlu dikemukakan yaitu:

a. Periode Sebelum Mummayiz


Apabila terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu
dan pada masa tersebut seorang anak belum lagi mumayyiz atau belum bisa membedakan
antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, maka anak tersebut dikatakan
belum mummayiz.

KHI menyebutkan pada bab 14 masalah pemeliharaan anak pasal 98 menjelaskan


bahwa “ batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21 tahun
selama belum melakukan pernikahan ”. Pada pasal 105 ayat (a) bahwa pemeliharaan anak
yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Kemudian KHI
lebih memperjelas lagi dalam pasal 156. 6

b. Periode Mummayiz
Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan mana yang
berbahaya dan mana yang bemanfaat bagi dirinya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat
menjatuhkan pilihannya sendiri apakah ikut ibunya atau ikut ayahnya. Dengan demikan ia
diberi hak pilih menentukan sikapnya. Hal ini telah diatur dalam KHI pasal 105 ayat (b)
bahwa “Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di
antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya”, dan juga terdapat dalam
pasal 156 ayat (b) yang menyebutkan bahwa anak diberi pilihan untuk ikut dalam asuhan ibu
atau ayat.7

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Hadhanah adalah memelihara atau merawat dan membekali anak secara material maupun
spritual, mental maupun fisik agar anak mampu berdiri sendiri dalam mengahadapi
kehidupannya sebagai seorang muslim yang dewasa. Hadahanah mencakup aspek pendidikan,
penncukupan kebutuhan, usia.
Untuk menjadi seorang hadhanah harus mempunyai syarat-syarat yakni :
1. Berakal
2. Merdeka
3. Menjalankan Agama
4. Dapat menjaga Kehormatan dirinya
5. Orang yang dipercaya
6. Orang yang menetap didalam negri anak yang di didiknya
7. Keadaan perempuan tidak bersuami, kecuali bersuami denga keluarga dari anak yang
memang berhak pula yang untuk mendidik anak itu, maka haknya tetap

Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:

1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus
hidupnya sendiri.
2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat
sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot.

Iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita


menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah
diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau
berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan. Seluruh kaum muslimin sepakat atas
wajibnya iddah, pada sebagian landasan pokoknya diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul.

Ada beberapa macam iddah, yaitu :


1. Perempuan yang telah di campuri dan ia belum putus dalam masa haid. Iddahnya 3 kali
suci (3 kali haid atau 3 kali Quru’).
2. Perempuan yang dicampuri dan tidak haid baik ia perempuan belum balig atau
perempuan tua yang tidak haid, maka iddahnya untuk 3 bulan menurut penggalan, jika
tertalak dapat bertemu pada permulaan bulan.
3. Perempuan-perempuan yang tertalak dan belum di setubuhi, perempuan ini, tidak ada
iddahnya.
4. Iddah wanita hamil Yaitu iddah yang terjadi apabila perempuan-perempuan yang
diceraikan itu sedang hamil, iddahnya samapai melahirkan.
5. Iddah wanita yang ditinggal mati Adalah: Iddah yang terjadi apabila seseorang
(perempuan) di tinggal mati suaminya.iddahnya selama 4 bulan 10 hari. (Q:S Al Baqarah
234)
6. Iddah wanita yang kehilangan suami. Seseorang perempuan yang kehilangan suaminya
(tidak di ketahui keberadaan suami, apakah dia telah mati atau hidup) maka wajiblah di
7. Iddah wanita yang di ila’.

Salah satu tujuan disyareatkannya iddah dalam islam yaitu ,'Iddah merupakan anugerah
dari Allah untuk hamba-Nya yang membuktikan kasih sayang dan kesungguhan bagi memelihara
dan menjaga keutuhan institusi kekeluargaan dalam Islam. Agama Islam amat benci kepada
perceraian dan keruntuhan institusi kekeluargaan di mana ia boleh membawa kepada lebih
banyak lagi permasalahan sosial. Kemudian bagi perceraian yang berlaku karena kematian
suami, tujuan 'iddah ialah untuk isteri menjaga hak-hak suaminya, kaum kerabat, menzahirkan
perasaan sedih dan dukacita, membuktikan kesetiannya kepada bekas suami.

DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, Slamet Abidin. Fikih Munakahat 2. Bandung: Pustaka Setia.

Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Kesindo Utama.

Muhammad , Abdurrahman. 2004. Fikih Empat Mazhab. Bandung.

Nienda. 2011.Hak Asuh Anak Akibat Perceraian.(online)( http:// nindyaprisca. wordpress.com/)

diakses pada 31 desember 2011.

Rahman Ghozali Abdul,MA .2008. Fiqih Munhakhat. Jakarta: Kencana.

Rasyd Sulaiman, H, .1994. Fiqih Islam. Bandung: Sinar baru Algensindo.

Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqih Munakahat dan

Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.

MAKALAH

Studi Islam

IDDAH,RUJU,NAFKAH,HADHANAH
Disusun

Dewi Muliati

Dermawati

Mustika

Rita Syulastri

Mira Zulfia

Dosen Pembibing

Dra.Warniati

STIKES YARSI BUKITTINGGI

Anda mungkin juga menyukai