Anda di halaman 1dari 17

SERI

RISALAH-RISALAH DINIYYAH




Hadits Kontradiktif dan Solusinya


DAFTAR ISI

Pendahuluan
Pengertian Hadits Kontradiktif ( ‫) ﺗﻌﺎرض اﻟﺤﺪﯾﺚ‬
Macam-macam Ta’arudul al-Hadits

Syarat-Syarat Ta’arud
Metode menghilangkan Ta’arud al-Hadits
Kesimpulan

Bibliografi


Materi ebook ini di ambil dari situs PP Nurul Huda Salafiyah
Syafi’iyyah
h t t p : / / p e s a n t r e n . o r. i d . 4 2 3 0 3 . m a s t e r w e b . n e t
Agar mudah dibaca secara Offline.

“http://ashhabur-
royi.blogspot.com”

Kompilasi chm oleh “ASHHABUR RO’YI PRESS”

Pendahuluan

Sebagai sumber hukum Islam kedua, hadith untuk sampai tampil dalam bentuknya yang
sempurna1 terlebih dahulu harus mengalami proses transmisi dan verifikasi otensitas-legalitas yang
selektif, sulit dan rumit. Dalam setiap fase perkembangannya2, para generasi periwayatan
(tabaqat)3 dapat dipastikan memiliki kriteria dan kualifikasi tertentu untuk sampai kepada keputusan
bahwa suatu hadith benar-benar otentik berasal dari nabi dan dapat dijadikan dasar dan rujukan dalam
pengambilan hukum suatu perkara.
Bagi seseorang yang hendak mengkaji dalil-dalil syara’ dan metode istimbath hukumnya maka wajib
baginya untuk mengetahui ilmu dan hukum yang berkaitan dengan obyek pembahasan serta kaidah-
kaidahnya. Seorang peneliti, misalnya, memandang dan menemukan adanya dua dalil yang dia
anggap saling bertentangan/ta’arud (semisal, satu dalil menetapkan adanya hukum atas sesuatu,
sementara dalil yang lain meniadakannya), maka diperlukan cara/ilmu untuk mengetahui cara-cara
menolak pertentangan yang tampak secara lahiriah tersebut serta mengetahui metode tarjih antara
dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut. Karena pada hakekatnya dalil-dalil syara’ (al-Qur’an dan
hadith) tersebut selaras dan tidak ada pertentangan diantaranya.4 Karena dalil-dalil tersebut datangnya
dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah:

(3)‫َوَﻣﺎ َﯾْﻨِﻄُﻖ َﻋِﻦ اْﻟَﻬَﻮى‬

(4)‫إِْن ُﻫَﻮ إِﱠﻻ َوْﺣٌﻲ ُﯾﻮَﺣﻰ‬

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.5

‫َﻟَﻘْﺪ َﻛﺎَن َﻟُﻜْﻢ ِﻓﻲ َرُﺳﻮِل اﱠﷲِ أُْﺳَﻮٌة َﺣَﺴَﻨٌﺔ‬

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.6

‫َوَﻟْﻮ َﻛﺎَن ِﻣْﻦ ِﻋْﻨِﺪ َﻏْﯿِﺮ اﱠﷲِ َﻟَﻮَﺟُﺪوا ِﻓﯿِﻪ اْﺧِﺘَﻼًﻓﺎ َﻛِﺜﯿًﺮا‬


“Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang
banyak di dalamnya”.7

< Back Depan Next >

Pengertian Hadith Kontradiktif (



‫) ﺗﻌﺎرض اﻟﺤﺪﯾﺚ‬

Secara etimologi (bahasa), kata “al-Ta’arud” terbentuk dari kata dasar “‘Arada” yang berarti
“menghalangi”, “mencegah”, atau “membandingi”. Adapun kata “al-I’tirada” berarti “mencegah”
atau “menghalangi”. Asal arti kata ini, bermula dari adanya sebuah bangunan atau lainnya, seperti
kayu penghalang atau gunung yang menghalangi atau mencegah orang-orang yang melintasi sebuah
jalan. Sehingga dalam hal ini, kata “al-I’tirad” diartikan mencegah atau menghalangi.8 Sehingga
dapat disimpulkan kata “al-Ta’arud” berarti saling mencegah, saling menentang atau saling
menghalangi.
Secara terminologi (istilah), “al-Ta’arud” menurut al-Zarkashi didefinisikan sebagai

‫ﺗﻘﺎﺑﻞ اﻟﺪﻟﯿﻠﯿﻦ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﯿﻞ اﻟﻤﻤﺎﻧﻌﺔ‬

“Perbandingan dua dalil dengan sifat cara saling mencegah”.9

Sedang menurut al-Asnawi:

‫ﺗﻘﺎﺑﻞ اﻷﻣﺮﯾﻦ ﯾﻤﻨﻊ ﻛﻞ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﻣﻘﺘﻀﻰ ﺻﺎﺣﺒﻪ‬

“Berbandingnya dua hal (perkara), dimana masing-masing pernyataannya saling bertentangan.”10

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa “Ta’arudu al-Hadith” adalah dua hadith (atau lebih)
yang secara lahiriah tampak bertentangan (karena saling mencegah) dalam pernyataannya.
Sedang para ahlu-manthiq, lebih sering menggunakan istilah “al-Tanaqud” sebagai ganti “al-Ta’arud”.
Mereka mendefinisikan al-Tanaqud dengan:

‫اﺧﺘﻼف ﻗﻀﯿﺘﯿﻦ ﺑﺎﻹﯾﺠﺎب واﻟﺴﻠﺐ و اﻟﻜﻠﯿﺔ واﻟﺠﺰﺋﯿﺔ ﺑﺤﯿﺚ إذا‬

‫ﺻﺪﻗﺖ أﺣﺪا ﻫﻤﺎ ﻛﺪﺑﺔ اﻷﺧﺮى‬


“Perbedaan dua premis (pernyataan), misalnya yang satu bersifat ijab dan yang lain bersifat salb, atau
yang satu bersifat universal (umum) dan yang lain bersifat spesifik dimana apabila salah satunya benar,
maka yang lain pasti salah”.

Abd al-Aziz al-Bukhari dalam kitabnya “Kasyf al-Asrar” menjelaskan:

“Sebenarnya, dalam hal ini keduanya bermakna sama. Al-Tanaqud (pertentangan) dalam suatu
ucapan (pernyataan) menurut berbagai istilah adalah perbedaan dua ucapan yang satu
meniadakan dan yang lain menetapkan. Apabila salah satu ucapan benar, maka ucapan lainnya
pasti salah. Inilah esensi dari pertentangan (al-Ta’arud)”.11

< Back Depan Next >

Macam-macam Ta’arudul al-



Hadith

Dalam buku yang dikarang oleh Dr. Muhammad Wafaa12disebutkan bahwa ta’arud (dalil-dalil yang
dapat bertentangan) dapat terjadi pada:

Pertentangan antara dua dalil qath’i


Yang dimaksud dengan dalil qath’i di sini adalah dalil-dalil syara’ yang bersifat pasti, seperti al-
Qur’an dan hadith-hadith mutawatir (antara ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, antara ayat al-
Qur’an dengan hadith mutawatir dan antara hadith-hadith mutawatir). Contoh hadith yang berbunyi:

‫أﻻ أﺧﺒﺮﻛﻢ ﺑﺨﯿﺮ اﻟﺸﻬﺪاء أﻟﺬ ﯾﺄﺗﻲ ﺑﺎﻟﺸﻬﺎدة ﻗﺒﻞ ا ن ﯾﺴﺄﻟﻬﺎ‬

“Apakah aku tidak memberitahu kamu sekalian tentang sebaik-baik saksi, yaitu seorang yang
memberikan kesaksian sebelum diminta.”13

Dengan hadith:

‫ان ﺧﯿﺮ أﻣﺘﻲ ﻗﺮﻧﻲ ﺛﻢ اﻟﺬﯾﻦ ﯾﻠﻮﻧﻬﻢ ﺛﻢ اﻟﺬﯾﻦ ﯾﻠﻮ ﻧﻬﻢ ﺛﻢ ان ﻣﻦ‬

‫ﺑﻌﺪﻫﻢ ﻗﻮﻣﺎ ﯾﺸﻬﺪو‬

‫وﻻ ﯾﺴﺘﺸﻬﺪون وﯾﺨﻮﻧﻮن وﻻ ﯾﺆﺗﻤﻨﻮن‬

“Bahwa sebaik-baik umatku adalah golonganku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian
orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka yaitu sekelompok manusia yang
memberikan kesaksian tanpa dimintai, tidak berkhianat dan dapat dipercaya”.14

Secara lahiriah (dzahir), kedua hadith tersebut saling berlawanan Karena hadith pertama harus
dipahami hanya khusus pada urusan hak-hak Allah. Dan hadith kedua harus dipahami hanya
sepanjang hak-hak manusia. Hadith pertama yakni jika ada seorang saksi memberikan kesaksian yang
sebenarnya, dimana orangnya (pelaku) tidak mengetahui kesaksian tersebut, kemudian saksi tersebut
mendatanginya dan menyampaikan kesaksiannya atau ia (pelaku) meninggal sebelum sampai
kesaksian tersebut dan ahli waris (pelaku) mengingkarinya. Dan hadith kedua, yakni jika seseorang
menpunyai saksi selain saksi pertama tersebut, maka ia tidak boleh mengajukan saksi kedua.
Pertentangan antara dalil qath’i dengan dalil dzanni
Yaitu pertentangan antara dalil-dalil syara’ yang bersifat pasti (seperti al-Qur’an dan hadith
mutawatir) dengan dalil yang bersifat praduga (seperti hadith ahad). Seperti hadith:

‫ﻻ ﺻﻼة إﻻ ﺑﻘﺮاءة ﻓﺎﺗﺤﺔ اﻟﻜﺘﺎب‬

“Tidak ada shalat kecuali dengan membaca al-Fatihah”.15

Dengan hadith:

‫ﻣﻦ ﻛﺎن ﻟﻪ إﻣﺎم ﻓﻘﺮاءة اﻹﻣﺎم ﻟﻪ ﻗﺮاءة‬

“Barang siapa shalat berjama’ah, maka bacaan imam juga bacaannya.”16

Maksud hadith pertama adalah meniadakannya keutamaan shalat, bukan menetapkan sah tidaknya
shalat (hadith kedua).

Pertentangan antara dua dalil dzanni


Yaitu pertentangan antara hadith-hadith ahad. Seperti hadith:

‫ان رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ ﺻﻠﻰ ﺣﯿﻦ اﻧﻜﺸﻔﺖ اﻟﺸﻤﺲ‬

‫ﻣﺜﻞ ﺻﻼﺗﻨﺎ ﯾﺮﻛﻊ وﯾﺴﺠﺪ‬

“Bahwasanya Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana dengan ruku’ dan sujud sebagaimana shalat
kita, pada saat terjadi gerhana matahari”17

Dengan hadith:

‫ان اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﻪ وﺳﻠﻢ ﺟﻬﺮ ﻓﻲ ﺻﻼة اﻟﻜﺴﻮف ﺑﻘﺮاءﺗﻪ‬

‫وﺻﻠﻰ أرﺑﻊ رﻛﻌﺎت ﻓﻰ رﻛﻌﺘﯿﻦ أرﺑﻊ ﺳﺠﺪات‬


“Bahwasanya Nabi SAW mengeraskan bacaannya dalam shalat gerhana matahari. Beliau shalat dua
rakaat dengan empat ruku’ dan empat sujud”.18

Hadith pertama menunjukkan bahwa cara m,elakukan shalat gerhana adalah dengan satu kali ruku’
dan satu kali berdiri (i’tidal) sebagaimana shalat fardhu. Hadith kedua menunjukkan bahwa cara
melaksanakan shalat gerhana adalah dengan dua kali ruku’ dan dua kali berdiri (i’tidal) dalam setiap
rakaat.
Mayoritas ulama lebih mengunggulkan hadith kedua, berdasarkan alasan bahwa hadith tersebut
didukung oleh banyak sanad, termasuk riwayat Bukhari Muslim dalam kitab shahihnya. Sebagian
ulama lain mengkompromikan kedua hadith ini dengan melihat kebiasaan yang berlaku di
masyarakat. Karena gerhana terjadinya berkali-kali, maka boleh melaksanakan shalat gerhana dengan
salah satu cara yang telah tersebut di atas.

< Back Depan Next >

Syarat-Syarat Ta’arud

Selanjutnya, Dr. Muhammad Wafaa memberikan batasan-batasan tentang terjadinya al-Ta’arud


dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling berlawanan, seperti halal dan haram,
wajib dengan tidak wajib, menetapkan dengan meniadakan. Karena bila tidak saloing
berlawanan, maka tidak ada pertentangan.

2. Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama. Apabila obyeknya
berbeda, maka tidak ada pertentangan. Seperti mengenai akad nikah. Nikah menyebabkan boleh
(halal)-nya menggauli istri dan melarang (haram) menggauli ibu si istri. Dalam hal ini tidak ada
pertentangan antar dua hukum yang saling berlawanan. Karena orang yang menerima hukum
halal dan haram berbeda.

3. Masa atau waktu berlakunya hukum saling bertentangan terswebut sama. Karena mungkin saja
terdapat dua ketentuan hukum yang saling bertentangan dalam obyek yang sama, namun masa
atau waktunya berbeda. Seperti, khamr dihalalkan pada masa permulaan Islam, namun
kemudian diharamkan. Begitu juga dihalalkannya menggauli istri sebelum dan sesudah masa
menstruasi (haid) dan diharamkan menggaulinya pada masa menstruasi.

4. Hubungan kedua dalil yagng saling bertentangan tersebut sama. Karena mungkin saja dua
hukum yang saling bertentangan tersebut sama dalam obyek dan masa, namun hubungannya
berbeda. Seperti halalnya menggauli istri bagi suami dan haramnya menggauli istri tersebut bagi
laki-laki lain selain suaminya.

5. Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama, baik dari segi
asalnya maupun petunjuk dalilnya. Tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dengan hadith ahad,
karena dari segi asal (tsubut)-nya al-Qur’an adalah qath’i sedang hadith ahad dzanni. Begitu
juga, tidak ada pertentangan antara hadith mutawatir dengan hadith ahad. Hadith mutawatir
harus harus lebih diutamakan, karena dari segi dhalalahnya, hadith mutawatir lebih kuat dari
hadith ahad. Begitu juga, tidak ada pertentangan antara nash dan dhahir, karena nash
penunjukannya bersifat qath’i dan dhahir bersifat dzanni. Karenanya nash harus lebih
diutamakan daripada dhahir.19

< Back Depan Next >

Metode menghilangkan Ta’arud al-



Hadith

Ilmu yang membahas dan mengkaji hadith-hadith yang tampaknya saling bertentangan di sebut
dengan ilmu Mukhtalif al-Hadith wa Mushkiluh. Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib mendefinisikan
ilmu ini dengan:

‫اﻟﻌﻠﻢ اﻟﺬي ﯾﺒﺤﺚ ﻓﻲ اﻷﺣﺎدﯾﺚ آﻟﺘﻲ ﻇﺎﻫﺮﻫﺎ ﻣﺘﻌﺎرض ﻓﯿﺰﯾﻞ‬

‫ﺗﻌﺎرﺿﻬﺎ أو ﯾﻮﻓﻖ ﺑﯿﻨﻪ ﻛﻤﺎ ﯾﺒﺤﺚ ﻓﻰ اﻷﺣﺎدﯾﺚ اﻟﺘﻲ ﯾﺸﻜﻞ‬

‫ﻓﻬﻤﻬﺎ أو ﺗﺼﻮرﻫﺎ ﻓﯿﺪﻓﻊ أﺷﻜﺎﻟﻬﺎ وﯾﻮﺿﺢ ﺣﻘﯿﻘﺘﻬﺎ‬

“Ilmu yang nmembahas hadith-hadith yang tamaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan
pertentangan itu atau mengkompromikannya, disamping membahas
hadith yang sulit di pahami dan di mengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan
hakekatnya”.20

Ulama telah memberikan perhatian serius terhadap ilmu ini sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan
utama segala persoalan setelah Rasulullah SAW wafat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai
hukum, memadukan antar berbagai hadith, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian
generasi demi generasi mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antar hadith yang tampaknya
saling bertentangan dan menghjilangkan kesulitan dalam memahaminya.
Dalam menghilangkan ta’arudul hadith, para ulama sepakat menggunakan beberapa metode berikut
ini.

Jam’u (mengkompromikan)
Definisinya adalah:

‫اﻟﺘﻮﻗﻒ ﺑﯿﻦ اﻟﺪﻟﯿﻠﯿﻦ اﻟﻤﺘﻌﺎرﺿﯿﻦ ﻋﻠﻰ وﺟﻪ ﯾﺰﯾﻞ ﺗﻌﺎرﺿﻬﻤﺎ‬

“Menyelaraskan atau menyesuaikan dua dalil yang saling bertentangan dengan suatu cara yang dapat
menghindarkan pertentangan tersebut (sehingga tidak ada pertentangan antara keduanya dan atau
dapat diamalkan secara bersama-sama)”.21

Macam-macam jama’:
Mentakhshis ‘Am-nya
Dalam kitab “al-Minhaj” dan syarahnya, menurut madzab Syafi’iyah, apabila terjadi pertentangan
antara lafad ‘am dan khash, maka ada dua kemungkinan. Pertama, mungkin salah satunya lebih khash
(khusus) daripada lainnya secara mutlak. Kedua, mungkin ke-‘am-annya dan ke-khash-annya hanya
terletak pada satu sisi saja.
Apabila kondisi pertama terjadi maka lafad khash lebih diunggulkan dan diamalkan daripada lafad
‘am-nya. Karena lafad khash masih dapat merealisasikan apa yang terkandung dalam lafad ‘am.
Mengamalkan lafad khash berarti mengamalkan ketentuan kekhususannya dan mengamalkan lafad
‘am berarti mengamalkan ketentuan lain di luar ketentuan yang terkandung dalam lafad khash.
Apabila kondisi kedua yang terjadi dan terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka itulah yang
diamalkan. Namun apabila tidak terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka seorang mujtahid
dapat memilih mana diantara keduanya yang diamalkan. Keduanya tidak dapat diamalkan secara
bersamaan. Contoh, hadith nabi:

“Barangsiapa yang lupa melaksanakan shalat, maka shalatlah di kala ingat”.22

Bersamaan dengan larangan Rasulullah SAW, shalat di waktu karahah (Makruh).23 Apabila ditinjau
hadith pertama bersifat umum. Namun bila ditinjau dari segi shalatnya, hadith ini bersifat khusus,
karena menunjuk pada sebagian shalat saja, yaitu shalat qadla’ Apabila ditinjau dari segi shalatnya,
maka hadith kedua bersifat umum. Namun apabila ditinjau dari segi waktunya, maka hadith kedua
bersifat khusus, karena menunjuk pada sebagian waktu saja, yaitu waktu makruh. Dari sinilah madzab
Syafi’i mengunggulkan hadith pertama. Sehingga mereka memperbolehkan mengqada’ shalat yang
tertinggal pada waktu karahah.

Mentaqyid muthlaq-nya
Mayoritas ulama berpendapat bahwa lafad muthlaq dapat dipahami secara muqayyat. Artinya, lafad
muthlaq yang terdapat pada salah satu hadith yang bertentangan harus dipahami secara muqayyad
berdasarkan hadith satunya. Sebagaimana contoh hadith yang berarti:

Dari Nafi’ dari Umar ra. Bahwasanya rasulullahSAW. Mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’
kurma atau gandum kepada setiap muslim yang merdeka, budak, laki-laki maupun perempuan.24

Bukhari juga meriwayatkan hadith lain tanpa menyebutkan lafad: “setiap muslim”. Turmudzi berkata,

Lebih dari satu rawi yang meriwayatkan hadith tersebut dengan tanpa menyebut lafad setiap
muslim.

Dalam kedua hadith tersebut terdapat obyek hukum yang sama yaitu zakat fitrah, dan ketentuan
hukum yang sama yaitu wajibnya zakat fitrah. Mutlaq dan muqayyadnya terdapat pada sebab
hukumnya, yaitu seseorang yang ditanggung wajib zakatnya (muzakki). Pada hadith pertama, wajib
zakat dibatasi dengan sifat Islam (muslim), sedang hadith kedua, wajib zakat tidak dibatasi dengan
sifat tersebut. Artinya, lafad mutlaq yang terdapat pada hadith kedua harus dipahami secara
muqayyad berdasarkan hadith pertama. Sehingga zakat fitrah tidak diwajibkan kecuali pada orang
muslim yang menjadi tanggungan wajib zakat. Selanjutnya ulama berperndapat bahwa zakat tidak
diwajibkan kepada selain orang Islam. Begitu pula, budak (orang yang menjadi tanggungan) yang
non Islam.

Nasakh (Menggugurkan salah satunya)


Dengan menggunakan pertimbangan:

Salah satu nash yang datang terakhir diketahui secara konkret


sehingga dalil (hadith) yang terakhir bisa menasakh dalil (hadith)
yang awal.
Bila tidak dapat diketahui mana yang awal dan mana yang akhir maka dicarikan dalil pendukung
bagi keduanya sehingga dapat diketahui kekuatan hukum diantara keduanya dan yang paling kuat
dipilh.
Memilih salah satunya dengan jalan mentarjihnya.25

Tarjih
Al-Amidi mendefinisikan tarjih dengan

‫اﻗﺘﺮان أﺣﺪ اﻟﺼﺎﻟﺤﯿﻦ ﻟﻠﺪﻻﻟﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻄﻠﻮب ﻣﻊ ﺗﻌﺎرﺿﻬﻤﺎ ﺑﻤﺎ‬

‫ﯾﻮﺟﺐ اﻟﻌﻤﻞ ﺑﻪ وإﻫﻤﺎل اﻷﺧﺮ‬

“Membandingkan salah satu dari dua dalil yang patut dijadikan dasar hukum yang saling bertentangan
berdasarkan sesuatu yang mengharuskannya untuk diamalkan dan menggugurkan dalil lainnya”.26

Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengamalkan dalil yang lebih unggul adalah wajib bila
dihubungkan dengan adanya dalil yang tidak unggul (lemah), karena dalil yang lemah tidak boleh
diamalkan, baik pengunggulan (tarjih) tersebut bersifat qath’i maupun dzanni. Wajib mengutamakan
dalil yang lebih unggul dari dua dalil dzanni yang saling bertentangan jika ada unsur yang
mengutamakannya. Sebagaimana mereka lebih mengunggulkan hadith yang diriwayatkan oleh
Aisyah ra. Tentang wajibnya mandi jinabah, sekalipun bukan karena telah melakukan coitus, yaitu
hadith:

‫اﻟﻤﺎء ﻣﻦ اﻟﻤﺎء‬

“Kewajiban mandi (besar) itu karena keluarnya air (sperma)”.27

Alasan ditarjihnya hadith ini adalah karena istri-istri Nabi SAW. Lebih tahu terhadap perbuatan beliau
daripada orang lain. Para ulama juga lebih mengutamakan hadith yang dfiriwayatkan oleh Aisyah ra.
Berikut ini:

Bahwasanya Nabi SAW. Pernah mandi jinabah pada pagi hari saat beliau berpuasa”28

Daripada hadith yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

Bahwasanya Nabi SAW. Bersabda: “Barangsiapa pada saat terbit fajar (pagi hari) dalam keadaan
jinabah maka puasanya tidak sah”.29

Adapun pentarjih-an hadith, para ahl Ushul memberikan beberapa pertimbangan di dalamnya,
meliputi:

Tarjih berdasarkan keadaan perawi


Tarjih berdasarkan jumlah rawi

Tarjih berdasarkan keluhuran rawi


Tarjih berdasarkan kefaqihan rawi

Tarjih berdasarkan pengetahuan rawi dalam Bahasa Arab

Tarjih berdasarkan kelebihan pengetahuan dalam Ilmu Fiqh dan Bahasa Arab

Tarjih berdasarkan kesempurnaan Akidah rawi

Tarjih berdasarkan rawi sebagai pelaku peristiwa

Tarjih berdasarkan seniortitas rawi

Tarjih berdasarkan kedhabithan rawi

Tarjih berdasarkan kemasyhuran sifat adil dan tsiqah rawi

Tarjih berdasarkan nama rawi

Tarjih berdasarkan keadaan saat menerima hadith

Tarjih berdasarkan adanya hubungan langsung antara rawi dengan riwayatnya

Tarjih berdasarkan masa keis;laman rawi

Tarjih berdasarkan keadaan riwayat

Tarjih berdasarkan cara penerimaan hadith

Tarjih berdasarkan kepribadian rawi

Tarjih berdasarkan cara (dasar) periwayatan

Tarjih berdasarkan pergaulan

1. Tarjih berdasarkan usia periwayatan rawi

2. Tarjih berdasarkan tata cara periwayatan

3. Tarjih berdasarkan waktu periwayatan

4. Tarjih berdasarkan redaksi hadith

5. Tarjih berdasarkan kandungan hukum hadith

6. Tarjih berdasarkan unsur-unsur eksternal30

< Back Depan Next >

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, terdapat beberapa kesimpulan berkaitan dengan ta’arudul hadith yang dapat
dijadikan pelajaran:
1. Bahwa Ta’arud al-Hadith adalah dua hadith atau lebih yang secara lahiriah terlihat bertentangan
dalam pernyataannya.

2. Pertentangan dalam dalil-dalil syara’ tersebut pada hakekatnya tidak terjadi karena dalil-dalil
tersebut datang dari Allah.

3. Dalam Istimbath al-Hukm, seorang mujtahid membutuhkan penguasaan Ilm Mukhtalif al-Hadith
wa Musykiluh (Ilmu yang mempelajari Ta’arud al-Hadith)

4. Dalam menghilangkan ta’arud al-Hadith terdapat metode Jam’u (mengkompromikan) dan


Tarjih.

5. Metode Jam’u dan Tarjih, membutuhkan beberapa persyaratan dan pertimbangan-pertimbangan


tersendiri.

< Back Depan Next >

Bibliografi

Abdurrahman, M., Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan


Status Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000),
Al-Asqalani, Ibn Hajar, Fath al-Bari Syarh Shahih Muslim,

Tahqiq Muhammad Fuad Abd Baqi juz 3, Bairut: Dar al-Ma’rifah, tt.
Ash-Shiddieqy,M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis Cet. X, Jakarta: Bulan
Bintang, 1991.
Al-Bukhari, ‘Alauddin ibn Abd al-Aziz, Kasyfu al-Asrar ‘an Ushul al-Bazdawi juz 3,
Bairut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1974.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, Dr., Ushul al-Hadith, terj. Dr.H.M Qadirun Nur Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001
Al-Shan’ani, Muhammad ibn Ismail, Subul al-Salam juz 1, Mesir: Musthafa al-Halabi,
1960
Al-Syaukani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad, Nail al-Authar juz 8, Kairo, tt.
Team Pustaka, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Wafaa, Muhammad, Dr., Ta’arud al-Adillati al-Syar’iyati min al-Kitabi wa al-Sunnati wa
al-Tarjihu Bainaha, Terj. Muslich, S., Bangil, Al-Izzah, 2001.
Al-Zubaidi, Muhibuddin Abi Faidhial-Sayyid Muhammad Murtadha, Taj al-‘Arusi min
Jawahiri al-Qamusi, Kairo: Mathba’ah al-Khairiyah bi Jamaliyah, 1306 H.
1 Kodifikasi hadith mencapai puncaknya pada abad IIIHijriyah. Banyak karya-karya

monumental bermunculan, seperti al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Abu
Dawud (w. 316 H), al-Tirmizi (w. 279 H), al-Nasa’i (w. 302 H) dan Ibnu Majah (w. 273
H). Proses pencarian hadith terus berlangsung sampai abad ke-VI meskipun tidak lagi
intensif. Lihat M. Abdurrahman,Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam
Menentukan Status Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000),5-6, dan Membahas Ilmu-Ilmu
Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 72.
2 Hadith sejak masa pertumbuhannya hingga sekarang telah mengalami 7 periode
perkembangan:
Masa wahyu dan pembentukan hukum (masa Rosul)

Masa pembatasan riwayat (masa Khulafa al-Rasyidin)


Masa perkembangan riwayat (masa sahabat kecil dan tabi’in besar )

Masa pembukuan hadith

Masa pen-tashih-an hadith

Masa menapis kitab-kitab hadith dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus

Masa membuat syarh, membuat kitab tahrij, mengumpulkan hadith-hadith hukum


dan membuat kitab-kitab jami’ umum serta membahas kitab-kitab hadith zawaid.

Lihat M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis Cet. X (Jakarta:
Bulan Bintang, 1991), 46-47.
3 Berdasarkan klasifikasi Ibnu Hajar al-Asqalani ada 12 tabaqat periwayatan hadith

dimulai dari masa shahabat hingga akhir pada masa periwayatan. Klasifikasi tabaqat ini
didasarkan pada kelompok yang memiliki riwayat dalam al-kutub al-Sittah. Lihat Team
Pustaka,Membahas…,
4 Dr. Muhammad Wafaa, Ta’arud al-Adillati al-Syar’iyati min al-Kitabi wa al-Sunnati

wa al-Tarjihu Bainaha, Terj. Muslich, S.Ag (Bangil, Al-Izzah, 2001), 1.


5 Q.S an-Najm: 3-4

6 Q.S al-Ahzab: 21.

7 Q.S an-Nisa’: 82.

8 Muhibuddin Abi Faidhial-Sayyid muhammad Murtadha al-Zubaidi, Taj al-‘Arusi min

Jawahiri al-Qamusi (Kairo: Mathba’ah al-Khairiyah bi Jamaliyah, 1306 H),48.


9 Al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith fi al-Ushul juz 3, 251. Lihat juga Ta-arud al-
adillati…, terj. 25.
10 Ibid.,

11
Syaikh ‘Alauddin ibn Abd al-Aziz al-Bukhari, Kasyfu al-Asrar ‘an Ushul al-
Bazdawi juz 3 (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1974), 76.
12 Ta’arud al-Adillati…,terj. 35-73.

13 HR. Muslim dan lainnya dari Zaid ibn Khalid al-Juhni (Lihat: Muhammad ibn Ali

ibn Muhammad al-Syaukani, Kairo: tt., Nailu al-Authar juz 8),33.


14 HR. Bukhari dan Muslim dari Imran ibn Hushain (Lihatibid).

15 HR. Jama’ah dari Ubadah ibn Shamit (Jama’ah adalah 7 imam dan Imam Ahmad).

16 Diriwayatkan oleh Thabrani dari Abi Said al-Khudri. Diantara perawi hadith tersebut
ada Harun al-Abdi, ia matruk. Disebutkan dalam Muntaqa al-Akhbar bahwa hadith
tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi namun semuanya lemah.
17 Jami’ al-Ushul juz 6, 186 hadith ke 4281. Ibn Abi Hatim mengatakan hadiyh ini cacat

karena terputus (Lihat Nail al-Authar juz 3, 376)


18 Nail al-Authar juz 3, 376.

19 Dr. Muhammad Wafa, Ta’arud al-Adillati…, terj.,68-71

20 Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadith, terj. Dr. H.M Qadirun Nur
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 254.
21 Ushul al-Hadith, terj. 126.

22 HR. Bukhari Muslim dan lainnya dari Anas ibn Malik (Lihat: Nail al-Authar juz 2),

28 .
23 Dari Uqbah ibn Amr, ia berkata: Rasulullah SAWmelarang kita melakukan shalat

atau mengubur jenazah dalam tiga waktu: ketika matahari terbit hingga agak tinggi,
ketika matahari mencapai titik kulminasi hingga tergelincir dan matahari
terbenam”. (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan urmudzi) Lihat Nail… juz 3, 104.
24 Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih Muslim, Tahqiq Muhammad Fuad

Abd Baqi juz 3 (Bairut: Dar al-Ma’rifah, tt), 369.

fn25. Ta’arud…, terj., 101.


26 Ta’arud…, terj., 183.

27 Lihat al-Shan’ani Muhammad ibn Ismail, Subul al-Salam juz 2, (Mesir: Musthafa al-

Halabi, 1960), 84.


28 HR. Bukhari, Muslim dan lainnya, dari Aisyah dan Ummi Salamah ra. Bahwasanya

Nabi SAW.(pernah) berhadath besar pagi-pagi karena melakukan kewajiban sebagai


suami yang tanpa mengeluarkan sperma, kemudian beliau melanjutkan puasa
ramadhannya. (Lihat Jami’ al-Ushul juz 6), 383 hadith ke 4567.
29 Ibid, 384 hadith ke 4567.

30 Lihat Dr. Muhammad Wafaa, Ta’arud…, Terj.,196-276

< Back Depan Next >

Anda mungkin juga menyukai