Hadits Kontradiktif Beserta Solusinya
Hadits Kontradiktif Beserta Solusinya
RISALAH-RISALAH DINIYYAH
Hadits Kontradiktif dan Solusinya
DAFTAR ISI
Pendahuluan
Pengertian Hadits Kontradiktif ( ) ﺗﻌﺎرض اﻟﺤﺪﯾﺚ
Macam-macam Ta’arudul al-Hadits
Syarat-Syarat Ta’arud
Metode menghilangkan Ta’arud al-Hadits
Kesimpulan
Bibliografi
Materi ebook ini di ambil dari situs PP Nurul Huda Salafiyah
Syafi’iyyah
h t t p : / / p e s a n t r e n . o r. i d . 4 2 3 0 3 . m a s t e r w e b . n e t
Agar mudah dibaca secara Offline.
“http://ashhabur-
royi.blogspot.com”
Pendahuluan
Sebagai sumber hukum Islam kedua, hadith untuk sampai tampil dalam bentuknya yang
sempurna1 terlebih dahulu harus mengalami proses transmisi dan verifikasi otensitas-legalitas yang
selektif, sulit dan rumit. Dalam setiap fase perkembangannya2, para generasi periwayatan
(tabaqat)3 dapat dipastikan memiliki kriteria dan kualifikasi tertentu untuk sampai kepada keputusan
bahwa suatu hadith benar-benar otentik berasal dari nabi dan dapat dijadikan dasar dan rujukan dalam
pengambilan hukum suatu perkara.
Bagi seseorang yang hendak mengkaji dalil-dalil syara’ dan metode istimbath hukumnya maka wajib
baginya untuk mengetahui ilmu dan hukum yang berkaitan dengan obyek pembahasan serta kaidah-
kaidahnya. Seorang peneliti, misalnya, memandang dan menemukan adanya dua dalil yang dia
anggap saling bertentangan/ta’arud (semisal, satu dalil menetapkan adanya hukum atas sesuatu,
sementara dalil yang lain meniadakannya), maka diperlukan cara/ilmu untuk mengetahui cara-cara
menolak pertentangan yang tampak secara lahiriah tersebut serta mengetahui metode tarjih antara
dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut. Karena pada hakekatnya dalil-dalil syara’ (al-Qur’an dan
hadith) tersebut selaras dan tidak ada pertentangan diantaranya.4 Karena dalil-dalil tersebut datangnya
dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.5
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.6
َوَﻟْﻮ َﻛﺎَن ِﻣْﻦ ِﻋْﻨِﺪ َﻏْﯿِﺮ اﱠﷲِ َﻟَﻮَﺟُﺪوا ِﻓﯿِﻪ اْﺧِﺘَﻼًﻓﺎ َﻛِﺜﯿًﺮا
“Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang
banyak di dalamnya”.7
Secara etimologi (bahasa), kata “al-Ta’arud” terbentuk dari kata dasar “‘Arada” yang berarti
“menghalangi”, “mencegah”, atau “membandingi”. Adapun kata “al-I’tirada” berarti “mencegah”
atau “menghalangi”. Asal arti kata ini, bermula dari adanya sebuah bangunan atau lainnya, seperti
kayu penghalang atau gunung yang menghalangi atau mencegah orang-orang yang melintasi sebuah
jalan. Sehingga dalam hal ini, kata “al-I’tirad” diartikan mencegah atau menghalangi.8 Sehingga
dapat disimpulkan kata “al-Ta’arud” berarti saling mencegah, saling menentang atau saling
menghalangi.
Secara terminologi (istilah), “al-Ta’arud” menurut al-Zarkashi didefinisikan sebagai
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa “Ta’arudu al-Hadith” adalah dua hadith (atau lebih)
yang secara lahiriah tampak bertentangan (karena saling mencegah) dalam pernyataannya.
Sedang para ahlu-manthiq, lebih sering menggunakan istilah “al-Tanaqud” sebagai ganti “al-Ta’arud”.
Mereka mendefinisikan al-Tanaqud dengan:
“Perbedaan dua premis (pernyataan), misalnya yang satu bersifat ijab dan yang lain bersifat salb, atau
yang satu bersifat universal (umum) dan yang lain bersifat spesifik dimana apabila salah satunya benar,
maka yang lain pasti salah”.
“Sebenarnya, dalam hal ini keduanya bermakna sama. Al-Tanaqud (pertentangan) dalam suatu
ucapan (pernyataan) menurut berbagai istilah adalah perbedaan dua ucapan yang satu
meniadakan dan yang lain menetapkan. Apabila salah satu ucapan benar, maka ucapan lainnya
pasti salah. Inilah esensi dari pertentangan (al-Ta’arud)”.11
Dalam buku yang dikarang oleh Dr. Muhammad Wafaa12disebutkan bahwa ta’arud (dalil-dalil yang
dapat bertentangan) dapat terjadi pada:
“Apakah aku tidak memberitahu kamu sekalian tentang sebaik-baik saksi, yaitu seorang yang
memberikan kesaksian sebelum diminta.”13
Dengan hadith:
ان ﺧﯿﺮ أﻣﺘﻲ ﻗﺮﻧﻲ ﺛﻢ اﻟﺬﯾﻦ ﯾﻠﻮﻧﻬﻢ ﺛﻢ اﻟﺬﯾﻦ ﯾﻠﻮ ﻧﻬﻢ ﺛﻢ ان ﻣﻦ
“Bahwa sebaik-baik umatku adalah golonganku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian
orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka yaitu sekelompok manusia yang
memberikan kesaksian tanpa dimintai, tidak berkhianat dan dapat dipercaya”.14
Secara lahiriah (dzahir), kedua hadith tersebut saling berlawanan Karena hadith pertama harus
dipahami hanya khusus pada urusan hak-hak Allah. Dan hadith kedua harus dipahami hanya
sepanjang hak-hak manusia. Hadith pertama yakni jika ada seorang saksi memberikan kesaksian yang
sebenarnya, dimana orangnya (pelaku) tidak mengetahui kesaksian tersebut, kemudian saksi tersebut
mendatanginya dan menyampaikan kesaksiannya atau ia (pelaku) meninggal sebelum sampai
kesaksian tersebut dan ahli waris (pelaku) mengingkarinya. Dan hadith kedua, yakni jika seseorang
menpunyai saksi selain saksi pertama tersebut, maka ia tidak boleh mengajukan saksi kedua.
Pertentangan antara dalil qath’i dengan dalil dzanni
Yaitu pertentangan antara dalil-dalil syara’ yang bersifat pasti (seperti al-Qur’an dan hadith
mutawatir) dengan dalil yang bersifat praduga (seperti hadith ahad). Seperti hadith:
Dengan hadith:
Maksud hadith pertama adalah meniadakannya keutamaan shalat, bukan menetapkan sah tidaknya
shalat (hadith kedua).
“Bahwasanya Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana dengan ruku’ dan sujud sebagaimana shalat
kita, pada saat terjadi gerhana matahari”17
Dengan hadith:
“Bahwasanya Nabi SAW mengeraskan bacaannya dalam shalat gerhana matahari. Beliau shalat dua
rakaat dengan empat ruku’ dan empat sujud”.18
Hadith pertama menunjukkan bahwa cara m,elakukan shalat gerhana adalah dengan satu kali ruku’
dan satu kali berdiri (i’tidal) sebagaimana shalat fardhu. Hadith kedua menunjukkan bahwa cara
melaksanakan shalat gerhana adalah dengan dua kali ruku’ dan dua kali berdiri (i’tidal) dalam setiap
rakaat.
Mayoritas ulama lebih mengunggulkan hadith kedua, berdasarkan alasan bahwa hadith tersebut
didukung oleh banyak sanad, termasuk riwayat Bukhari Muslim dalam kitab shahihnya. Sebagian
ulama lain mengkompromikan kedua hadith ini dengan melihat kebiasaan yang berlaku di
masyarakat. Karena gerhana terjadinya berkali-kali, maka boleh melaksanakan shalat gerhana dengan
salah satu cara yang telah tersebut di atas.
Syarat-Syarat Ta’arud
2. Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama. Apabila obyeknya
berbeda, maka tidak ada pertentangan. Seperti mengenai akad nikah. Nikah menyebabkan boleh
(halal)-nya menggauli istri dan melarang (haram) menggauli ibu si istri. Dalam hal ini tidak ada
pertentangan antar dua hukum yang saling berlawanan. Karena orang yang menerima hukum
halal dan haram berbeda.
3. Masa atau waktu berlakunya hukum saling bertentangan terswebut sama. Karena mungkin saja
terdapat dua ketentuan hukum yang saling bertentangan dalam obyek yang sama, namun masa
atau waktunya berbeda. Seperti, khamr dihalalkan pada masa permulaan Islam, namun
kemudian diharamkan. Begitu juga dihalalkannya menggauli istri sebelum dan sesudah masa
menstruasi (haid) dan diharamkan menggaulinya pada masa menstruasi.
4. Hubungan kedua dalil yagng saling bertentangan tersebut sama. Karena mungkin saja dua
hukum yang saling bertentangan tersebut sama dalam obyek dan masa, namun hubungannya
berbeda. Seperti halalnya menggauli istri bagi suami dan haramnya menggauli istri tersebut bagi
laki-laki lain selain suaminya.
5. Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama, baik dari segi
asalnya maupun petunjuk dalilnya. Tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dengan hadith ahad,
karena dari segi asal (tsubut)-nya al-Qur’an adalah qath’i sedang hadith ahad dzanni. Begitu
juga, tidak ada pertentangan antara hadith mutawatir dengan hadith ahad. Hadith mutawatir
harus harus lebih diutamakan, karena dari segi dhalalahnya, hadith mutawatir lebih kuat dari
hadith ahad. Begitu juga, tidak ada pertentangan antara nash dan dhahir, karena nash
penunjukannya bersifat qath’i dan dhahir bersifat dzanni. Karenanya nash harus lebih
diutamakan daripada dhahir.19
Ilmu yang membahas dan mengkaji hadith-hadith yang tampaknya saling bertentangan di sebut
dengan ilmu Mukhtalif al-Hadith wa Mushkiluh. Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib mendefinisikan
ilmu ini dengan:
“Ilmu yang nmembahas hadith-hadith yang tamaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan
pertentangan itu atau mengkompromikannya, disamping membahas
hadith yang sulit di pahami dan di mengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan
hakekatnya”.20
Ulama telah memberikan perhatian serius terhadap ilmu ini sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan
utama segala persoalan setelah Rasulullah SAW wafat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai
hukum, memadukan antar berbagai hadith, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian
generasi demi generasi mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antar hadith yang tampaknya
saling bertentangan dan menghjilangkan kesulitan dalam memahaminya.
Dalam menghilangkan ta’arudul hadith, para ulama sepakat menggunakan beberapa metode berikut
ini.
Jam’u (mengkompromikan)
Definisinya adalah:
“Menyelaraskan atau menyesuaikan dua dalil yang saling bertentangan dengan suatu cara yang dapat
menghindarkan pertentangan tersebut (sehingga tidak ada pertentangan antara keduanya dan atau
dapat diamalkan secara bersama-sama)”.21
Macam-macam jama’:
Mentakhshis ‘Am-nya
Dalam kitab “al-Minhaj” dan syarahnya, menurut madzab Syafi’iyah, apabila terjadi pertentangan
antara lafad ‘am dan khash, maka ada dua kemungkinan. Pertama, mungkin salah satunya lebih khash
(khusus) daripada lainnya secara mutlak. Kedua, mungkin ke-‘am-annya dan ke-khash-annya hanya
terletak pada satu sisi saja.
Apabila kondisi pertama terjadi maka lafad khash lebih diunggulkan dan diamalkan daripada lafad
‘am-nya. Karena lafad khash masih dapat merealisasikan apa yang terkandung dalam lafad ‘am.
Mengamalkan lafad khash berarti mengamalkan ketentuan kekhususannya dan mengamalkan lafad
‘am berarti mengamalkan ketentuan lain di luar ketentuan yang terkandung dalam lafad khash.
Apabila kondisi kedua yang terjadi dan terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka itulah yang
diamalkan. Namun apabila tidak terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka seorang mujtahid
dapat memilih mana diantara keduanya yang diamalkan. Keduanya tidak dapat diamalkan secara
bersamaan. Contoh, hadith nabi:
Bersamaan dengan larangan Rasulullah SAW, shalat di waktu karahah (Makruh).23 Apabila ditinjau
hadith pertama bersifat umum. Namun bila ditinjau dari segi shalatnya, hadith ini bersifat khusus,
karena menunjuk pada sebagian shalat saja, yaitu shalat qadla’ Apabila ditinjau dari segi shalatnya,
maka hadith kedua bersifat umum. Namun apabila ditinjau dari segi waktunya, maka hadith kedua
bersifat khusus, karena menunjuk pada sebagian waktu saja, yaitu waktu makruh. Dari sinilah madzab
Syafi’i mengunggulkan hadith pertama. Sehingga mereka memperbolehkan mengqada’ shalat yang
tertinggal pada waktu karahah.
Mentaqyid muthlaq-nya
Mayoritas ulama berpendapat bahwa lafad muthlaq dapat dipahami secara muqayyat. Artinya, lafad
muthlaq yang terdapat pada salah satu hadith yang bertentangan harus dipahami secara muqayyad
berdasarkan hadith satunya. Sebagaimana contoh hadith yang berarti:
Dari Nafi’ dari Umar ra. Bahwasanya rasulullahSAW. Mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’
kurma atau gandum kepada setiap muslim yang merdeka, budak, laki-laki maupun perempuan.24
Bukhari juga meriwayatkan hadith lain tanpa menyebutkan lafad: “setiap muslim”. Turmudzi berkata,
Lebih dari satu rawi yang meriwayatkan hadith tersebut dengan tanpa menyebut lafad setiap
muslim.
Dalam kedua hadith tersebut terdapat obyek hukum yang sama yaitu zakat fitrah, dan ketentuan
hukum yang sama yaitu wajibnya zakat fitrah. Mutlaq dan muqayyadnya terdapat pada sebab
hukumnya, yaitu seseorang yang ditanggung wajib zakatnya (muzakki). Pada hadith pertama, wajib
zakat dibatasi dengan sifat Islam (muslim), sedang hadith kedua, wajib zakat tidak dibatasi dengan
sifat tersebut. Artinya, lafad mutlaq yang terdapat pada hadith kedua harus dipahami secara
muqayyad berdasarkan hadith pertama. Sehingga zakat fitrah tidak diwajibkan kecuali pada orang
muslim yang menjadi tanggungan wajib zakat. Selanjutnya ulama berperndapat bahwa zakat tidak
diwajibkan kepada selain orang Islam. Begitu pula, budak (orang yang menjadi tanggungan) yang
non Islam.
Tarjih
Al-Amidi mendefinisikan tarjih dengan
“Membandingkan salah satu dari dua dalil yang patut dijadikan dasar hukum yang saling bertentangan
berdasarkan sesuatu yang mengharuskannya untuk diamalkan dan menggugurkan dalil lainnya”.26
Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengamalkan dalil yang lebih unggul adalah wajib bila
dihubungkan dengan adanya dalil yang tidak unggul (lemah), karena dalil yang lemah tidak boleh
diamalkan, baik pengunggulan (tarjih) tersebut bersifat qath’i maupun dzanni. Wajib mengutamakan
dalil yang lebih unggul dari dua dalil dzanni yang saling bertentangan jika ada unsur yang
mengutamakannya. Sebagaimana mereka lebih mengunggulkan hadith yang diriwayatkan oleh
Aisyah ra. Tentang wajibnya mandi jinabah, sekalipun bukan karena telah melakukan coitus, yaitu
hadith:
اﻟﻤﺎء ﻣﻦ اﻟﻤﺎء
Alasan ditarjihnya hadith ini adalah karena istri-istri Nabi SAW. Lebih tahu terhadap perbuatan beliau
daripada orang lain. Para ulama juga lebih mengutamakan hadith yang dfiriwayatkan oleh Aisyah ra.
Berikut ini:
Bahwasanya Nabi SAW. Pernah mandi jinabah pada pagi hari saat beliau berpuasa”28
Bahwasanya Nabi SAW. Bersabda: “Barangsiapa pada saat terbit fajar (pagi hari) dalam keadaan
jinabah maka puasanya tidak sah”.29
Adapun pentarjih-an hadith, para ahl Ushul memberikan beberapa pertimbangan di dalamnya,
meliputi:
Tarjih berdasarkan kelebihan pengetahuan dalam Ilmu Fiqh dan Bahasa Arab
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, terdapat beberapa kesimpulan berkaitan dengan ta’arudul hadith yang dapat
dijadikan pelajaran:
1. Bahwa Ta’arud al-Hadith adalah dua hadith atau lebih yang secara lahiriah terlihat bertentangan
dalam pernyataannya.
2. Pertentangan dalam dalil-dalil syara’ tersebut pada hakekatnya tidak terjadi karena dalil-dalil
tersebut datang dari Allah.
3. Dalam Istimbath al-Hukm, seorang mujtahid membutuhkan penguasaan Ilm Mukhtalif al-Hadith
wa Musykiluh (Ilmu yang mempelajari Ta’arud al-Hadith)
Bibliografi
Tahqiq Muhammad Fuad Abd Baqi juz 3, Bairut: Dar al-Ma’rifah, tt.
Ash-Shiddieqy,M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis Cet. X, Jakarta: Bulan
Bintang, 1991.
Al-Bukhari, ‘Alauddin ibn Abd al-Aziz, Kasyfu al-Asrar ‘an Ushul al-Bazdawi juz 3,
Bairut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1974.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, Dr., Ushul al-Hadith, terj. Dr.H.M Qadirun Nur Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001
Al-Shan’ani, Muhammad ibn Ismail, Subul al-Salam juz 1, Mesir: Musthafa al-Halabi,
1960
Al-Syaukani, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad, Nail al-Authar juz 8, Kairo, tt.
Team Pustaka, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Wafaa, Muhammad, Dr., Ta’arud al-Adillati al-Syar’iyati min al-Kitabi wa al-Sunnati wa
al-Tarjihu Bainaha, Terj. Muslich, S., Bangil, Al-Izzah, 2001.
Al-Zubaidi, Muhibuddin Abi Faidhial-Sayyid Muhammad Murtadha, Taj al-‘Arusi min
Jawahiri al-Qamusi, Kairo: Mathba’ah al-Khairiyah bi Jamaliyah, 1306 H.
1 Kodifikasi hadith mencapai puncaknya pada abad IIIHijriyah. Banyak karya-karya
monumental bermunculan, seperti al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Abu
Dawud (w. 316 H), al-Tirmizi (w. 279 H), al-Nasa’i (w. 302 H) dan Ibnu Majah (w. 273
H). Proses pencarian hadith terus berlangsung sampai abad ke-VI meskipun tidak lagi
intensif. Lihat M. Abdurrahman,Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam
Menentukan Status Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000),5-6, dan Membahas Ilmu-Ilmu
Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 72.
2 Hadith sejak masa pertumbuhannya hingga sekarang telah mengalami 7 periode
perkembangan:
Masa wahyu dan pembentukan hukum (masa Rosul)
Masa menapis kitab-kitab hadith dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus
Lihat M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis Cet. X (Jakarta:
Bulan Bintang, 1991), 46-47.
3 Berdasarkan klasifikasi Ibnu Hajar al-Asqalani ada 12 tabaqat periwayatan hadith
dimulai dari masa shahabat hingga akhir pada masa periwayatan. Klasifikasi tabaqat ini
didasarkan pada kelompok yang memiliki riwayat dalam al-kutub al-Sittah. Lihat Team
Pustaka,Membahas…,
4 Dr. Muhammad Wafaa, Ta’arud al-Adillati al-Syar’iyati min al-Kitabi wa al-Sunnati
11
Syaikh ‘Alauddin ibn Abd al-Aziz al-Bukhari, Kasyfu al-Asrar ‘an Ushul al-
Bazdawi juz 3 (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1974), 76.
12 Ta’arud al-Adillati…,terj. 35-73.
13 HR. Muslim dan lainnya dari Zaid ibn Khalid al-Juhni (Lihat: Muhammad ibn Ali
15 HR. Jama’ah dari Ubadah ibn Shamit (Jama’ah adalah 7 imam dan Imam Ahmad).
16 Diriwayatkan oleh Thabrani dari Abi Said al-Khudri. Diantara perawi hadith tersebut
ada Harun al-Abdi, ia matruk. Disebutkan dalam Muntaqa al-Akhbar bahwa hadith
tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi namun semuanya lemah.
17 Jami’ al-Ushul juz 6, 186 hadith ke 4281. Ibn Abi Hatim mengatakan hadiyh ini cacat
20 Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadith, terj. Dr. H.M Qadirun Nur
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 254.
21 Ushul al-Hadith, terj. 126.
22 HR. Bukhari Muslim dan lainnya dari Anas ibn Malik (Lihat: Nail al-Authar juz 2),
28 .
23 Dari Uqbah ibn Amr, ia berkata: Rasulullah SAWmelarang kita melakukan shalat
atau mengubur jenazah dalam tiga waktu: ketika matahari terbit hingga agak tinggi,
ketika matahari mencapai titik kulminasi hingga tergelincir dan matahari
terbenam”. (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan urmudzi) Lihat Nail… juz 3, 104.
24 Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih Muslim, Tahqiq Muhammad Fuad
27 Lihat al-Shan’ani Muhammad ibn Ismail, Subul al-Salam juz 2, (Mesir: Musthafa al-