Anda di halaman 1dari 4

PEMIKIRAN EKONOMI AL-GHAZALI

(450-505 H /1058-1111 M)

I. AL-GHAZALI: MANUSIA DAN LINGKUNGANNYA


Abu Hamid Muhammad, yang dikenal Al-Ghazali, dilahirkan 450H/1058M,
disebuah Desa dekat Tus, sebuah kota Khurasan di timur laut Persia. Ayahnya
seorang yang fakir dan saleh serta hidup sangat sederhana sebagai
pemintal benang, mempunyai keagamaan yang tinggi dan mengharapkan
anaknya menjadi ulama yang selalu memberi nasehat kepada umat. Sebelum
ayahnya meninggal, al-Gazali dan saudaranya dititipkan kepada seorang sufi
untuk dipelihara dan di didik.
Al-Ghazali dibekali pengetahuan ensiklopedis dan karakter suci. Al-Ghazali banyak
kontribusi dan mempunyai prestasi yang mencakup berbagai bidang pengetahuan-etika,
logika, dialektika, teologi, yurisprudensi, sufisme, tafsir, hadits, dan teologi al-kalam.
Beberapa karya utama Al-Ghazali sebagai berikut:
1. Al-Tibr al Masbuk fi Nasihat al Muluk, aslinya di Persia, sebuah panduan untuk
penguasa untuk adil Pemerintahan diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai Book
of Counsel for Kings, oleh F.R.C. Bagley.
2. Ihya Ulum al Din (Kebangkitan Ilmu Agama), Al-Ghazali paling signifikan bekerja,
dalam empat volume, mencakup semua aspek kehidupan manusia, menurut syariah
Islam.
3. Al-Iqtisad fi'l I'tiqad (The Golden Mean in Faith), sebuah buku tentang teologi (al-
kalam).
4. Al-Mustasfa min 'ilm al Usul (Pengetahuan tentang Aturan Yurisprudensi), sebuah
buku tentang prinsip-prinsip yurisprudensi Islam.
5. Mizaan al-'Amal (Kriteria atau Logika Aksi), salah satu karya awal tentang etika. Al-
Munqidh min al Dalal, sebuah akun tentang perkembangan pemikiran agamanya.

II. FILOSOFI EKONOMI ISLAM AL-GHAZALI


Tema utama yang dalam tulisan al-Ghazali adalah tentang konsep Islami maslahah
yang kuat mencakup semua kegiatan manusia, ekonomi, swasta dan publik, relevan
dengan promosi kesejahteraan sosial komunitas dan konsisten dengan aturan dan tujuan
syariah. Al-Ghazali seorang ulama Islam dalam pemikirannya tentang sosio ekonomi
berakar dari konsep yang beliau sebut dengan fungsi kesejahteraan sosial ekonomi.
Konsep yang menjadi pangkal tolak seluruh karyanya adalah konsep maslahah atau
kesejahteran sosial yaitu sebuah konsep yang mencakup semua aktivitas manusia dan
membuat berhubungan erat antara individu dan masyarakat. Menurut Al-Ghazali
kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pemeliharaan lima
tujuan dasar yang berperan mengetahui bahwa aktivitas muamalah yang dijalankan telah
sesuai dengan prinsip syariah.
Al-Ghazali telah mengidentifikasikan semua masalah baik yang berupa masalih
(utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan
kesejahteraan sosial. Menurut Al-Ghazali, kesejahteran (maslahah) dari suatu masyarakat
tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar, yakni agama (al-din),
hidup atau jiwa (nafs) keluarga atau keturunan (nasl), harta atau kekayaan (mal), dan
intelek atau akal (aql). Ia menitikberatkan bahwa sesuai tuntunan wahyu, tujuan utama
kehidupan umat manusia adalah untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat (maslahat
al-dinwa al-dunya).

1
Al-Ghazali juga mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya
dalam sebuah kerangka hierarki utilitas individu dan sosial yang tripartie yakni
kebutuhan (daruriat), kesenangan atau kenyamanan (hajat), dan kemewahan (tahsinaat).
Hierarki tersebut merupakan sebuah klasifikasi peninggalan tradisi Aristotelian yang
disebut sebagai kebutuhan oridinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap
barang-barang eksternal dan kebutuhan terhadap barang-barang psikis.
Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan aktivitas ekonomi setiap manusia adalah
menuju hari akhir atau hari pembalasan. Menurut beliau, makna sebuah kekayaan adalah
pencapaian menuju kesuksesan hidup yang abadi. Kekayaan dalam filosofi hidup harus
diwujudkan dalam konsep tauhid (mengesakan Allah SWT), akhirat (hari pembalasan),
dan risalah (aturan-aturan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW), yang dibuktikan
dengan amal perbuatan.
Dalam konteks filosofi, Al-Ghazali membagi pelaku-pelaku ekonomi/masyarakat
atau individu menjadi tiga kelompok besar yaitu:
a. Kelompok masyarakat yang secara ekonomi berkecukupan, tetapi mereka melupakan
tempat mereka akan kembali, yaitu alam akhirat. Mereka adalah kelompok
masyarakat yang akan sengsara hidupnya.
b. Kelompok masyarakat yang selalu memperhatikan dalam menjaga aktivitas
perekonomiannya dengan alam akhirat. Kelompok masyarakat ini adalah kelompok
masyarakat yang sukses/selamat dalam hidupnya.
c. Kelompok masyarakat yang ragu-ragu menghubungkan aktivitas perekonomiannya
dengan alam akhirat. Kelompok masyarakat ini adalah kelompok masyarakat yang
mendekati jalan tengah/jalan kebaikan.

Al-Ghazali mendiskusikan banyak aspek dari cara hidup Islami yang berhubungan
dengan perilaku ekonomi, beberapa di antaranya dibahas di bawah ini:
1. Kegiatan Ekonomi dan Akhirat
Menurut Al-Ghazali, kegiatan ekonomi merupakan kebajikan yang dianjurkan
oleh islam. Al-Ghazali membagi manusia dalam tiga kategori, yaitu: pertama, orang
yang mementingkan kehidupan duniawi golongan ini akan celaka. Kedua, orang yang
mementingkan tujuan akhirat daripada tujuan duniawi golongan ini kan beruntung.
Ketiga, golongan yang kegiatan duniawinya sejalan dengan tujuan-tujuan akhirat.
Al-Ghazali menegaskan bahwa aktivitas ekonomi harus dilakukan secara efisien
karena merupakan bagian dari pemenuhan tugas keagamaan seseorang. Ia
mengidentifikasi tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas-aktivitas
ekonomi, yaitu:
a. Untuk mencukupi kebutuhan hidup yang bersangkutan.
b. Untuk mensejahterakan keluarga.
c. Untuk membantu orang lain yang membutuhkan.

2. Kekurangan dari Subsistensi kehidupan


Sebagai bagian persepsi Islam tentang urusan ekonomi, Al-Ghazali mengkritisi
bagi siapapun orang-orang yang kebingungan dan tidak bisa membedakan halal dan
haram (sah dan tidak sah, menurut syariah), Al-ghazali berpendapat bahwa kegiatan
ekonomi harus dibatasi akuisisi hanya tingkat subsistensi kehidupan. Dia berpendapat
sebagai berikut
"Jika orang membatasi ke tingkat subsistensi (sadd al ramaq) dan menjadi sangat
lemah, kematian akan meningkat, semua pekerjaan dan industri akan terhenti, dan
masyarakat akan hancur. Lebih jauh lagi, agama akan dihancurkan, sebagai kehidupan
duniawi adalah persiapan untuk Akhirat”.

2
Al-Ghazali mengidentifikasi kelompok orang tertentu yang tidak perlu terlibat dalam
kegiatan ekonomi secara langsung;yaitu orang yang melakukan kepentingan sosial
dan fungsi agama untuk kesejahteraan masyarakat. Kelompok-kelompok ini termasuk:
a. orang yang petapa, terlibat dalam ibadah fisik dan yang secara rohani tercerahkan
dan mampu membedakan rahasia yang nyata dan tersembunyi dari manusia;
b. orang-orang yang terlibat dalam profesi mengajar dan membimbing orang lain
(sanat al talim); dan
c. pegawai negeri yang bertanggung jawab atas pelaksanaan urusan duniawi para
penguasa negara, hakim, dll. (sanat al siyasah). Kelompok-kelompok seperti ini
bisa bergantung pada bendahara publik untuk dukungan ekonomi mereka.

3. Kebutuhan Ekonomi dan Non-Ekonomi dan Hirarki


Menurut al-Ghazali, semua kegiatan ekonomi dilakukan untuk menyediakan tiga
kebutuhan dasar manusia: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Namun, makna
kebutuhan dasar ini adalah fleksibel dan mungkin lebih inklusif, tergantung pada
kondisi umum yang diberikan masyarakat dan pada waktu tertentu, tetapi konsisten
dengan syariah Islam.
Dalam buku Mizan al 'Amal, Al-Ghazali membedakan antara tiga tingkat konsumsi:
yang terendah, tengah, dan tertinggi dan ini mungkin berlaku untuk masing-masing
dari tiga kebutuhan dasar (makanan, pakaian, tempat tinggal) masing-masing dapat
dipenuhi di salah satu dari tiga tingkatan: sebagai kebutuhan, kenyamanan atau
kemewahan.

4. Kekayaan dan Kemiskinan


Menurut al-Ghazali, tidak ada yang dapat disalahkan tentang perilaku manusia,
karena keinginan untuk memperoleh kekayaan dan properti adalah bagian dari sifat
manusia dan sarana untuk mencapai tingkat kesejahteraan materi yang lebih tinggi.

5. Berbagi dan Kesetaraan Kekayaan


Al-Ghazali berbicara dalam tiga hal jenis berbagi dan tingkatan dalam hal
keinginan mereka sesuai dengan syariah. Level terendah adalah ketika seseorang
harus mempertimbangkan saudaranya sebagai pembantu atau pelayannya dan dia
melakukannya sendiri untuk membantu saudaranya yang membutuhkan tanpa
mengharapkan untuk diminta bantuan. Level yang lebih tinggi adalah menganggap
saudaranya sebagai dirinya sendiri dan mengizinkannya untuk berbagi dalam dirinya
properti seolah-olah adalah pemilik properti itu. Peringkat tertinggi lebih disukai
kebutuhan saudara atas kebutuhannya sendiri.
Al-Ghazali menyatakan bahwa pendapatan dan kekayaan seseorang berasal dari
tiga sumber, yaitu pendapatan melalui tenaga individual, laba perdagangan, dan
pendapatan karena nasib baik. Namun, ia menandaskan bahwa berbagai sumber
pendapatan tersebut harus diperoleh secara sah dan tidak melanggar hukum agama.

6. Kemewahan dan Kekikiran


Al-Ghazali mendefinisikan kemewahan sebagai jenis pengeluaran apa pun yang
bertentangan dengan Syariah Islam dan lebih jauh lagi, pengeluaran yang melebihi
kecukupan (kifayah). Dia mengutip contoh-contoh dari jenis pertama yaitu,
menghamburkan uang, seperti dengan membakar pakaian, menghancurkan tempat
tinggal tanpa alasan, atau membuang kekayaan di lautan. Adapun pengeluaran yang
berlebihan yaitu di luar 'kifayah', Al-Ghazali tidak memberikan definisi yang jelas,

3
kecuali bahwa ia mengatakan itu adalah masalah relatif dan sejauh mana pengeluaran
berbeda dari orang ke orang dan tempat ke tempat.
Al-Ghazali melanjutkan untuk membagi kewajiban belanja menjadi dua kategori
yaitu yang dikenakan oleh aturan syariah dan yang konsisten dengan yang berlaku
konvensi dan etika. Siapa pun yang tidak mau memenuhi salah satu kewajiban ini
adalah seorang kikir, dan tidak ada jumlah tertentu yang bisa diperbaiki dalam hal ini.
Dengan demikian, “definisi dari kekikiran adalah menahan diri dari pengeluaran
untuk benda-benda yang lebih penting daripada perlindungan uang.

7. Upaya Ekonomi dan Kemiskinan Sukarela: Sebuah Kontradiksi?


Al-Ghazali berkata, “Jika Anda menanyakan pendapat saya, apakah hidup tanpa
melakukan upaya ekonomi dilarang atau diizinkan atau diinginkan, jawaban saya
adalah bahwa itu tidak dilarang.
Jika Anda bertanya kepada saya apa yang lebih baik antara menganggur atau
terlibat dalam mencari penghidupan atau bekerja, jawabanku adalah jika seseorang
mengabdikan dirinya untuk menyembah Tuhan dan jika mencari nafkah akan
mengganggu ibadah, dan jika orang ini sabar dan percaya di dalam Tuhan untuk
semua kebutuhannya tanpa ketergantungan pada orang lain, untuk orang seperti itu
lebih baik dia tidak bekerja. Di sisi lain, jika orang tersebut merasa tidak puas dan
sangat membutuhkan amal orang lain, maka lebih baik dia terlibat dalam memperoleh
penghidupan.

8. Rekonsiliasi pandangan-pandangannya yang bertentangan


Manusia dipandang sebagai maximizers dan selalu ingin lebih. Al-Ghazali tidak
hanya menyadari keinginan manusia untuk mengumpulkan kekayaan tetapi juga
kebutuhannya untuk persiapan dimasa depan. Namun demikian ia memperingatkan
bahwa jika semangat selalu ingin lebih ini menjurus kepada keserakahan dan
pengejaran nafsu pribadi, hal itu pantas dikutuk. Dalam hal ini, ia memandang
kekayaan sebagai ujian terbesar. Dia memperingatkan terhadap konsekuensi jahat dari
cinta akan uang dan bahan dan menyarankan lima pedoman untuk menghindari
konsekuensi tersebut. Menurut al-Ghazali, seseorang harus:
a. dengan jelas mengetahui tujuan dan sasaran kekayaan, menurut syariah;
b. ikuti cara yang tepat dalam perolehan pendapatan;
c. dapatkan jumlah yang konsisten; dengan kebutuhannya – juga berlebihan atau
kurang;
d. membelanjakan uangnya dengan cara 'moderat', tidak terlalu boros atau kikir;dan
e. memiliki niat yang tepat dalam akuisisi, penolakan, pengeluaran, atau menahan
uang - niat dalam semua kasus menjadi ibadah dan mengingat Allah; jika ini bukan
niatnya, dia harus menghindari uang dan semua kegunaannya.
Dengan demikian, ada pepatah Ali (Allah memberkatinya), “seorang manusia akan
menjadi saleh jika dia mendapatkan seluruh dunia untuk memenangkan
kesenangan Allah, dan tidak demikian jika dia menolak segalanya demi alasan lain
selain kesenangan Allah. ”

Anda mungkin juga menyukai