Anda di halaman 1dari 42

Dr.

Muhammad Herli
Internsip Puskesmas
kecamatan dungingi kota
Gorontalo

GAMBARAN PENYAKIT YANG


DIDAPAT PADA IBU HAMIL
DI PKM DUNGINGI
PORTOFOLIO
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur status kesehatan Ibu pada

suatu wilayah,salah satu nya yaitu angka kematian ibu (AKI). AKI merupakan salah
satu indikator yang peka terhadap kualitas dan aksesibilitas fasilitas pelayanan
kesehatan.

Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,AKI (yang
berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas) sebesar 359 per 100.000 kelahiran
hidup. Angka ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara–negara tetangga di
Kawasan ASEAN. Pada tahun 2007, ketika AKI di Indonesia mencapai 228, AKI di
Singapura hanya 6 per 100.000 kelahiran hidup, Brunei 33 per 100.000 kelahiran hidup,
Filipina 112 per 100.000 kelahiran hidup, serta Malaysia dan Vietnam sama-sama mencapai
160 per 100.000 kelahiran hidup. Tren mengenai AKI di Indonesia dari tahun 1991 hingga
2012 hasil SDKI dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

ANGKA KEMATIAN IBU DI INDONESIA

TAHUN 1991 –2012

1|Page
Sumber: BPS, SDKI 1991-2012

Dari Gambar 1 tersebut dapat dilihat bahwa AKI di Indonesia sejak tahun 1991 hingga 2007
mengalami penurunan dari 390 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Pemerintah
sejak tahun 1990 telah melakukan upaya strategis dalam upaya menekan AKI
dengan pendekatan safe motherhood yaitu memastikan semua wanita mendapatkan
perawatan yang dibutuhkan sehingga selamat dan sehat selama kehamilan dan persalinannya

. Di Indonesia, Safe Motherhood Initiative ditindaklanjuti dengan peluncuran program


Gerakan Sayang Ibu di tahun 1996 oleh presiden yang melibatkan berbagai sektor
pemerintahan disamping sektor kesehatan. Salah satu program utama yang ditujukan untuk
mengatasi masalah kematian ibu adalah penempatan bidan di tingkat desa secara besar

-besaran yang bertujuan untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi
baru lahir ke masyarakat.

Pada tahun 2000 Kementerian Kesehatan RI memperkuat strategi intervensi sektor


kesehatan untuk mengatasi kematian ibu dengan mencanangkan strategi Making Pregnancy
Safer.

Namun, pada tahun 2012 SDKI kembali mencatat kenaikan AKI yang signifikan, yakni

dari 228 menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Oleh karena itu, pada
tahun 2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan program Expanding Maternal and Neonatal
Survival(EMAS) dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan neonatal sebesar 25%.

2|Page
Program ini dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan jumlah kematian ibu dan
neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi tersebut dikarenakan 52,6% dari jumlah
total kejadian kematian ibu di Indonesia berasal dari enam provinsi tersebut. Sehingga
dengan menurunkan angka kematian ibu di enam provinsi tersebut diharapkan akan dapat
menurunkan angka kematian ibu di Indonesia secara signifikan.Upaya penurunan angka
kematian ibu dan angka kematian neonatal melalui program

EMAS dilakukan dengan cara:

Meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir minimal di
150 rumah sakit (PONEK) dan 300 puskesmas/balkesmas (PONED).

Memperkuat sistem rujukan yang efisien dan efektif antar puskesmas dan rumah sakit.
Kesehatan Keluarga Selain itu, pemerintah bersama masyarakat juga bertanggung jawab
untuk menjamin setiap ibu memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan ibu yang
berkualitas, mulai dari saat hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih,
perawatan pasca persalinan bagi ibu dan bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi
komplikasi, memperoleh cuti hamil dan melahirkan,serta akses terhadap keluarga berencana.
Di samping itu, pentingnya melakukan intervensi lebih ke hulu, yakni kepada kelompok
remaja dan dewasa muda dalam upaya percepatan penurunan AKI.Upaya pelayanan
kesehatan ibu meliputi:(1) Pelayanan kesehatan ibu hamil, (2) Pelayanan kesehatan
ibu bersalin, (3) Pelayanan kesehatan ibu nifas, (4) Pelayanan/penanganan komplikasi
kebidanan, dan (5) Pelayanan kontrasepsi.

Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil

Pelayanan kesehatan ibu hamil diwujudkan melalui pemberian pelayanan antenatal


sekurang -kurangnya empatkali selama masa kehamilan,dengan distribusi waktu minimal
satu kali pada trimester pertama (usia kehamilan 0-12 minggu), satu kali pada trimester kedua
(usia kehamilan 12 - 24 minggu), dan dua kali pada trimester ketiga (usia kehamilan 24 minggu

Sampai persalinan). Standar waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk menjamin


perlindungan terhadap ibu hamil dan atau janin berupa deteksi dini faktor risiko,
pencegahan,dan penanganan dini komplikasi kehamilan.Pelayanan antenatal yang dilakukan
3|Page
diupayakan memenuhi standar kualitas, yaitu:

1.Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan;

2.Pengukuran tekanan darah;

3.Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA);

4.Pengukuran tinggi puncak rahim (fundus uteri);

5.Penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus toksoid sesuai status

imunisasi;

6.Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan;

7.Penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ);

8.Pelaksanaan temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling, termasuk

keluarga berencana);

9.Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes hemoglobin darah (Hb), pemeriksaan

protein urin dan pemeriksaan golongan darah (bila belum pernah dilakukan sebelumnya);

dan

10.Tatalaksana kasus.

Capaian pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan menggunakan indikator
cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh
pelayanan antenatal pertama kali oleh tenaga kesehatan dibandingkan jumlah sasaran ibu
hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Sedangkan cakupan K4 adalah
jumlah ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar
paling sedikit empatkali sesuai jadwal yang dianjurkan dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil
di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Indikator tersebut memperlihatkan
akses pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu hamil dalam
memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan.

Gambaran kecenderungan cakupan K1 dan K4 sejak tahun 2005 hingga tahun 2014 dapat
dilihat pada Gambar 2

4|Page
GAMBAR 5.2

CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN IBU HAMIL K1 DAN K4 DI INDONESIA

TAHUN 2005 –2014

Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Pada Gambar 2 terlihat bahwa secara umum cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K1
dan K4 mengalami kenaikan. Cakupan K1 dan K4 yang secara umum mengalami
kenaikan tersebut menunjukkan semakin baiknya akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan ibu hamil yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Dari gambar tersebut juga
dapat dilihat bahwa kenaikan cakupan K1 dari tahun ke tahun relatif lebih stabil jika
dibandingkan dengan cakupan K4. Cakupan K1 hampir selalu mengalami peningkatan, kecuali

pada dua tahun terakhir. Hal itu sedikit berbeda dengan cakupan K4 yang tidak selalu
mengalami kenaikan, meski selama kurun waktu 10 tahun terakhir tetap memiliki
kecenderungan meningkat.

5|Page
Secara nasional, indikator kinerja cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K4 pada tahun 2014
belum mencapai target Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan di tahun yang
sama, yakni sebesar 95%. Meski demikian, terdapat dua provinsi yang telah mencapai
target tersebut. Keduaprovinsi tersebut yaitu Sulawesi Utara dan DKI Jakarta. Dari Gambar
3 juga dapat diketahui bahwa terdapat tiga provinsi yang memiliki cakupan pelayanan
ibu hamil K4 yang kurang dari 50%, yakni Papua Barat (39,74%), Maluku (47,87%),
dan Papua (49,67%). Secara nasional, cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil K4 pada
tahun 2014 sebesar 86,70%.Capaian pelayanan kesehatan ibu hamil K4 pada tahun 2014 dari
masing-masing provinsi dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

CAKUPAN PELAYANAN KESEHATAN

IBU HAMIL K4 MENURUT PROVINSI

TAHUN 2013

Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014

Berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan untuk
mendekatkan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat hingga
ke pelosok desa, termasuk untuk meningkatkan cakupan pelayanan antenatal. Dari segi sarana
dan fasilitas pelayanan kesehatan, hingga bulan Desember 2014, tercatat terdapat 9.731
6|Page
puskesmas di seluruh Indonesia dengan rasio 1,08 puskesmas per 30.000 penduduk.
Dengan demikian, rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk sudah mencapai rasio ideal
1:30.000 penduduk, namun penyebarannya masih belum merata. Demikian pula dengan
Upaya Kesehatan Bersumber daya Masyarakat (UKBM) seperti poskesdes dan posyandu.
Sampai dengan tahun 2014, tercatat terdapat 55.517 poskesdes yang beroperasi dan 289.635

posyandu di Indonesia.Upaya meningkatkan cakupan pelayanan antenatal juga makin


diperkuat dengan adanya Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) sejak tahun 2010 dan
diluncurkannya Jaminan Persalinan (Jampersal) sejak tahun 2011 hingga tahun 2013, dimana
keduanya saling bersinergi dalam memperkuat upaya penurunan AKI di Indonesia. Selain
digunakan untuk kegiatan di dalam puskesmas, BOK juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
luar gedung, seperti pendataan, pelayanan di posyandu, kunjungan rumah, sweeping kasus

drop out, penyuluhan, pelaksanaan kelas ibu hamil, serta penguatan kemitraan bidan
dan dukun. Sementara itu, Jampersal mendukung paket pelayanan antenatal, termasuk
yang dilakukan pada saat kunjungan rumah atau sweeping, baik pada kehamilan normal
maupun kehamilan dengan risiko tinggi.Semakin kuatnya kerja sama dan sinergi berbagai
program yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat termasuk
sektor swasta, diharapkan dapat mendorong tercapainya target cakupan pelayanan antenatal
yang berkualitas dan sekaligus menurunkan AKI di Indonesia

Penyebab kematian pada ibu tahun 2010-2013s

B.RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian diatas,Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,AKI
(yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas) sebesar 359 per 100.000

7|Page
kelahiran hidup. Angka ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara–negara
tetangga di Kawasan ASEAN. Pada tahun 2007, ketika AKI di Indonesia mencapai 228,
AKI di Singapura hanya 6 per 100.000 kelahiran hidup, Brunei 33 per 100.000 kelahiran
hidup, Filipina 112 per 100.000 kelahiran hidup, serta Malaysia dan Vietnam sama-sama
mencapai 160 per 100.000 kelahiran hidup.

Kemudian berdasarkan 5 besar penyebab kematian ibu yaitu, perdarahan,hipertensi,infeksi


abortus,dan lain-lain masih menjadi masalah yang harus di identifikasi.yang dapat dirumuskan
pada penelitian ini adalah : bagaimana situasi penyulit yang didapat selama kehamilan pada
ibu hamil di wilayah puskesmas dungingi.

C.Tujuan Peneltiian

1.Tujuan umum

Mengetahui pengetahuan ibu-ibu hamil mengenai penyulit saat kehamilan.

2.Tujuan khusus

Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab minimnya pengetahuan ibu-ibu hamil terhadap


penyakit-penyakit pada masa kehamilan.

D.Manfaat penelitian

1.Bagi masyarakat

Menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit-penyakit pada masa kehamilan terutama


faktor lingkungan fisik rumah apa saja yang berhubungan, cara penularan, pencegahan, dan
pengobatannya.

2.Bagi Instansi Terkait (Puskesmas dan Dinas Kesehatan)

Sebagai bahan pertimbangan dan pemikiran bagi program kesehatan ibu dan anak terhadap
penyakit-penyakit pada masa kehamilan terutama untuk menentukan kebijakan dalam
perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi program.

3.Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan, wawasan, dan pengalaman langsung dalam pelaksanaan penelitian,


serta merupakan pengetahuan yang di peroleh dalam melaksanakan penelitian dilapangan.

8|Page
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PRE-EKLAMPSIA

PENDAHULUAN
Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang spesifik pada
kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga didapati pada kelainan
perkembangan plasenta (kehamilan mola komplit). Meskipun patofisiologi preeklampsia
kurang dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak pada awal kehamilan. Telah
dinyatakan bahwa pathologic hallmark adalah suatu kegagalan total atau parsial dari fase kedua
invasi trofoblas saat kehamilan 16-20 minggu kehamilan, hal ini pada kehamilan normal
bertanggung jawab dalam invasi trofoblas ke lapisan otot arteri spiralis. Seiring dengan
kemajuan kehamilan, kebutuhan metabolik fetoplasenta makin meningkat. Bagaimanapun,
karena invasi abnormal yang luas dari plasenta, arteri spiralis tidak dapat berdilatasi untuk
mengakomodasi kebutuhan yang makin meningkat tersebut, hasil dari disfungsi plasenta inilah
yang tampak secara klinis sebagai preeklampsia. Meskipun menarik, hipotesis ini tetap perlu
ditinjau kembali.(1)
Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik preeklampsia meliputi
3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai suatu tekanan darah yang menetap
≥ 140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya normotensif), onset baru proteinuria
(didefinisikan sebagai protein urine > 300 mg/24 jam atau ≥ +1 pada urinalisis bersih tanpa
infeksi traktus urinarius), dan onset baru edema yang bermakna. Pada beberapa konsensus
terakhir dilaporkan bahwa edema tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria diagnosis.(1)

EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6% dari ibu hamil nulipara
yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar antara 4-18%. Penyakit
preeklampsia ringan terjadi 75% dan preeklampsia berat terjadi 25%. Dari seluruh kejadian
preeklampsia, sekitar 10% kehamilan umurnya kurang dari 34 minggu. Kejadian preeklampsia
meningkat pada wanita dengan riwayat preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis dan

9|Page
penyakit ginjal. Pada ibu hamil primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita
preeklampsia dibandingkan dengan multigravida. Faktor predisposisi lainnya adalah usia ibu
hamil dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun, mola hidatidosa, polihidramnion dan diabetes.(2)
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya
preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang mempengaruhi
terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:(3)
a. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada wanita
hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada wanita hamil berusia lebih
dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi yang menetap.
b. Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua risiko lebih
tinggi untuk preeklampsia berat.
c. Faktor Genetik
Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko meningkat
sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang ditentukan genotip ibu
dan janin. Terdapat bukti bahwa preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan,
penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita preeklampsia. Atau
mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia dalam keluarga.
d. Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO). Penelitian lain :
kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka kejadian juga
lebih tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight.
e. Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok selama hamil
memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh lebih tinggi.
Aktifitas fisik selama hamil atau istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi
kemungkinan/insidens hipertensi dalam kehamilan.
f. Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar, dizigotik lebih
tinggi daripada monozigotik.
g. Mola hidatidosa

10 | P a g e
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada kasus mola,
hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan muda, dan ternyata hasil
pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada preeklampsia.
h. Obesitas
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya preeklampsia jelas ada,
dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada wanita dengan Body Mass Index (BMI)
< 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada wanita dengan Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m2.
i. Kehamilan multiple
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda dari 105 kasus
kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian ibu karena eklampsia. Dari hasil
pada kehamilan tunggal, dan sebagai faktor penyebabnya ialah dislensia uterus. Dari
penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus
preeklampsia berat mempunyai jumlah janin lebih dari satu, sedangkan pada kelompok
kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai jumlah janin lebih dari satu.

ETIOLOGI
Apa yang menjadi penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum diketahui.
Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab dari penyakit ini tetapi tidak
ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang dapat diterima harus dapat
menjelaskan tentang mengapa preeklampsia meningkat prevalensinya pada primigravida,
hidramnion, kehamilan ganda dan mola hidatidosa. Selain itu teori tersebut harus dapat
menjelaskan penyebab bertambahnya frekuensi preeklampsia dengan bertambahnya usia
kehamilan, penyebab terjadinya perbaikan keadaan penderita setelah janin mati dalam
kandungan, dan penyebab timbulnya gejala-gejala seperti hipertensi, edema, proteinuria,
kejang dan koma. Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba
menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut “penyakit teori”. Namun belum ada yang
memberikan jawaban yang memuaskan. Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab
preeklampsia adalah teori “iskemia plasenta”. Teori ini pun belum dapat menerangkan semua
hal yang berkaitan dengan penyakit ini.(2,4)
Adapun teori-teori tersebut adalah:
1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler,
sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta berkurang,
sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat. Sekresi tromboksan oleh

11 | P a g e
trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi aldosteron
menurun. Akibat perubahan ini menyebabkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%,
hipertensi dan penurunan volume plasma.(3,4)
2. Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan pertama
terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna sehingga
timbul respons imun yang tidak menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta.
Pada preeklampsia terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat
diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria.(3,4)
3. Peran Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia/eklampsia bersifat
diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor
genetik pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
a) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b) Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia-Eklampsia pada anak-
anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia.
4. Iskemik dari uterus.
Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya Preeklampsia adalah iskemik
uteroplasentar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat
dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang. Disfungsi plasenta juga
ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi penurunan kadar 1 α-25 (OH)2 dan Human
Placental Lagtogen (HPL), akibatnya terjadi penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna.
Untuk mempertahankan penyediaan kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar
paratiroid yang mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin
yang mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium tulang yang dibawa melalui sirkulasi ke
dalam intra sel. Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan peningkatan kontraksi
pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah.(3)
Pada preekslampsia terjadi perubahan arus darah di uterus, koriodesidua dan plasenta
adalah patofisiologi yang terpenting pada preeklampsia, dan merupakan faktor yang
menentukan hasil akhir kehamilan. Perubahan aliran darah uterus dan plasenta
menyebabkan terjadi iskemia uteroplasenter, menyebabkan ketidakseimbangan antara
massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang. Selain
itu hipoperfusi uterus menjadi rangsangan produksi renin di uteroplasenta, yang
mengakibatkan vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga meningkatkan kepekaan

12 | P a g e
vaskular terhadap zat-zat vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron) sehingga terjadi
tonus pembuluh darah yang lebih tinggi. Oleh karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini,
terjadi penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke janin. Akibatnya terjadi gangguan
pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian janin.(3)
5. Disfungsi dan aktivasi dari endotelial.
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam
pathogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel yang
mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah wanita hamil dengan
preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada trimester pertama kehamilan
dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai dengan kemajuan kehamilan.(2)
Jika endotel mengalami gangguan oleh berbagai hal seperti shear stress hemodinamik,
stress oksidatif maupun paparan dengan sitokin inflamasi dan hiperkolesterolemia, maka
fungsi pengatur menjadi abnormal dan disebut disfungsi endotel. Pada keadaan ini terjadi
ketidakseimbangan substansi vasoaktif sehingga dapat terjadi hipertensi. Disfungsi endotel
juga menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat sehingga menyebabkan edema dan
proteinuria. Jika terjadi disfungsi endotel maka pada permukaan endotel akan diekspresikan
molekul adhesi. seperti vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan intercellular cell
adhesion molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan kadar soluble VCAM-1 ditemukan dalam
supernatant kultur sel endotel yang diinkubasi dengan serum penderita preeklampsia, tetapi
tidak dijumpai peningkatan molekul adhesi lain seperti ICAM-1 dan E-selektin. Oleh karena
itu diduga VCAM-1 mempunyai peranan pada preeklampsia.(2)
Namun belum diketahui apakah tingginya kadar sVCAM-1 dalam serum mempunyai
hubungan dengan beratnya penyakit. Disfungsi endotel juga mengakibatkan permukaan non
trombogenik berubah menjadi trombogenik, sehingga bisa terjadi aktivasi koagulasi.
Sebagai petanda aktivasi koagulasi dapat diperiksa D-dimer, kompleks trombin-
antitrombin, fragmen protrombin 1 dan 2 atau fibrin monomer.(5)

KLASIFIKASI
Preeklampsia terbagi atas dua yaitu Preeklampsia Ringan dan Preeklampsia Berat
berdasarkan Klasifikasi menurut American College of Obstetricians and Gynecologists, yaitu:
1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
 Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau
kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat
tekanan darah normal.
13 | P a g e
 Proteinuria kuantitatif ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau kualitatif 1+ atau 2+ pada
urine kateter atau midstream.
2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:
 Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
 Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.
 Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang dari 0,5 cc/kgBB/jam.
 Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium.
 Terdapat edema paru dan sianosis
 Hemolisis mikroangiopatik
 Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat)
 Gangguan fungsi hati.
 Pertumbuhan janin terhambat.
 Sindrom HELLP.

DIAGNOSIS
Gejala subjektif
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia,
penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah. Gejala-gejala ini
sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa
eklampsia akan timbul (impending eklampsia). Tekanan darah pun akan meningkat lebih
tinggi, edema dan proteinuria bertambah meningkat.(7)
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan sistolik 30 mmHg dan diastolik
15 mmHg atau tekanan darah meningkat ≥ 140/90 mmHg pada preeklampsia ringan dan ≥
160/110 mmHg pada preeklampsia berat. Selain itu kita juga akan menemukan takikardia,
takipneu, edema paru, perubahan kesadaran, hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, sampai
tanda-tanda pendarahan otak.(7)
Penemuan Laboratorium
Penemuan yang paling penting pada pemeriksaan laboratorium penderita preeklampsia
yaitu ditemukannya protein pada urine. Pada penderita preeklampsia ringan kadarnya secara
kuantitatif yaitu ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau secara kualitatif +1 sampai +2 pada urine
kateter atau midstream. Sementara pada preeklampsia berat kadanya mencapai ≥ 500 mg
perliter dalam 24 jam atau secara kualitatif ≥ +3.(7)

14 | P a g e
Pada pemeriksaan darah, hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat
hemokonsentrasi. Trombositopenia juga biasanya terjadi. Penurunan produksi benang fibrin
dan faktor koagulasi bisa terdeksi. Asam urat biasanya meningkat diatas 6 mg/dl. Kreatinin
serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada preeklampsia berat. Alkalin fosfatase
meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat dehidrogenase bisa sedikit meningkat dikarenakan
hemolisis. Glukosa darah dan elektrolit pada pasien preeklampsia biasanya dalam batas
normal.(2)

PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya preeklampsia berat
atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya,
mencegah perdarahan intrakranial serta mencegah gangguan fungsi organ vital.(8)
1. Preeklampsia Ringan
Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan preeklampsia
ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan aliran darah ke plasenta dan
aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada ekstrimitas bawah juga menurun dan
reabsorpsi cairan di daerah tersebut juga bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat
tidur mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan
tekanan darah dan kejadian edema. Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan
filtrasi glomeruli dan meningkatkan dieresis. Diuresis dengan sendirinya meningkatkan
ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskuler, sehingga mengurangi
vasospasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah rahim,
menambah oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim.(2,8)
Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi ginjal masih
normal. Pada preeklampsia ibu hamil umumnya masih muda, berarti fungsi ginjal masih
bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam. Diet yang mengandung 2 gram natrium atau 4-
6 gram NaCl (garam dapur) adalah cukup. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang
garam lewat ginjal, tetapi pertumbuhan janin justru membutuhkan komsumsi lebih banyak
garam. Bila komsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan komsumsi
cairan yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein, rendah
karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan roboransia prenatal. Tidak diberikan obat-obat
diuretik antihipertensi, dan sedative. Dilakukan pemeriksaan laboratorium HB, hematokrit,
fungsi hati, urin lengkap dan fungsi ginjal. Apabila preeklampsia tersebut tidak membaik

15 | P a g e
dengan penanganan konservatif, maka dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan
walaupun janin masih prematur.(2,8)
Rawat inap
Keadaan dimana ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di rumah sakit
ialah a) Bila tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria selama 2 minggu b)
adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat. Selama di rumah sakit
dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin
berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan
jumlah cairan amnion. Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi
dengan bagian mata, jantung dan lain lain.(8)
Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya
Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu sampai ≤ 37
minggu. Pada kehamilan preterm (<37 minggu) bila tekanan darah mencapai normal, selama
perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm. Sementara itu, pada kehamilan aterm
(>37 minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan
untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat
dilakukan secara spontan, bila perlu memperpendek kala II.(8)

2. Preeklampsia Berat
Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat untuk
mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut sudah diatasi,
tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan kehamilan.(2)
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada neonatus
berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta baik akut maupun
kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada saat kelahiran maupun
sesudah kelahiran.(8)
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit organ yang terlibat,
dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi
harian tentang tanda tanda klinik berupa : nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium
dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat badan,

16 | P a g e
pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan USG dan NST.(8)
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia ringan,
dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau
terapi medisinalis dan sikap terhadap kehamilannya ialah manajemen agresif, kehamilan
diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil.(8)
Medikamentosa
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan
dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada preeklampsia
berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan
tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan
oligouria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradient
tekanan onkotik koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh karena itu monitoring
input cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat
penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang
dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda edema paru, segera
dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa a) 5% ringer dextrose atau
cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam atau b) infuse dekstrose 5% yang tiap 1
liternya diselingi dengan infuse ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.(8)
Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria terjadi bila
produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk
menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari resiko
aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat,
lemak dan garam.(8)
Pemberian obat antikejang(8)
MgSO4
Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding fenitoin,
berdasar Cochrane review terhadap enam uji klinik yang melibatkan 897 penderita
eklampsia.
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan
serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular
membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan
menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition

17 | P a g e
antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat
menghambat kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi
pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.
Cara pemberian MgSO4
- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc) selama 15
menit
- Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau diberikan
4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram im tiap 4-6 jam
Syarat-syarat pemberian MgSO4
- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas 10% =
1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
- Refleks patella (+) kuat
- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
- Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl
- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
- Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
- Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah 24 jam
pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian magnesium sulfat dapat
menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 % dari pemberiannya menimbulkan
efek flushes (rasa panas)
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau fenitoin
(difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin sodium mempunyai
khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan otak dan efek antikejang terjadi
3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat
badan dengan pemberian intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium
sulfat. Pengalaman pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.
Diuretikum
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah
jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemida. Pemberian
diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi
uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan
menurunkan berat janin.

18 | P a g e
Antihipertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off)
tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut off yang
dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126 mmHg.
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah
apabila tekanan sistolik ≥180 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan
darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan
tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi yang
diberikan sangat bervariasi. Obat antihipertensi yang harus dihindari secara mutlak yakni
pemberian diazokside, ketanserin dan nimodipin.
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin (apresoline)
injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada arteriole yang
menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output, sehingga memperbaiki perfusi
uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non
selektif beta bloker. Obat-obat antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di
Indonesia ialah clonidin (catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul
dilarutkan dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.
Antihipertensi lini pertama
- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24
jam
Antihipertensi lini kedua
- Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg iv/kg/5 menit.
- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.
Kortikosteroid
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah jantung
ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat kerusakan sel
endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeclampsia berat menjadi buruk bila edema paru
disertai oligouria.
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu.
Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom
HELLP.
Sikap terhadap kehamilannya

19 | P a g e
Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-
gejala preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya dibagi
menjadi:
1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian
medikamentosa.
2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan
pemberian medikamentosa.
Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu tanpa
disertai tanda –tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik. Diberi pengobatan
yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara aktif. Selama
perawatan konservatif, sikap terhadap kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi
sama seperti perawatan aktif, kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila
ibu sudah mencapai tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24
jam. Bila setelaah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai kegagalan
pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan bila
penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda preeklampsia ringan.
Perawatan aktif
Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah ini, yaitu:
Ibu
1. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan laboratorik
memburuk
4. Diduga terjadi solusio plasenta
5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
Janin
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
4. Terjadinya oligohidramnion
Laboratorik
1. Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit dengan cepat

20 | P a g e
PENCEGAHAN
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda dini
preeklampsia, dalam hal ini harus dilakukan penanganan preeklampsia tersebut. Walaupun
preeklampsia tidak dapat dicegah seutuhnya, namun frekuensi preeklampsia dapat dikurangi
dengan pemberian pengetahuan dan pengawasan yang baik pada ibu hamil.(2)
Pengetahuan yang diberikan berupa tentang manfaat diet dan istirahat yang berguna dalam
pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring, dalam hal ini yaitu dengan mengurangi pekerjaan
sehari-hari dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak,
karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan sangat dianjurkan. Mengenal
secara dini preeklampsia dan merawat penderita tanpa memberikan diuretika dan obat antihipertensi
merupakan manfaat dari pencegahan melalui pemeriksaan antenatal yang baik..

B. HIV PADA KEHAMILAN

Definisi
Virus penyebab adalah HIV merupakan virus yang secara progresif menghancurkan sel-
sel darah putih, sehingga melemahkan kekebalan manusia dan menyebabkan AIDS. Orang
yang terinfeksi virus ini menjadi rentan terhadap infeksi ataupun mudah terkena
tumor/kanker. Pada awalnya penularan HIV/AIDS di Indonesia terjadi melalui penularan
secara horisontal yaitu melalui cairan tubuh saat terjadi kontak seksual
(heteroseksual/homoseksual) atau transfusi darah. Setelah itu, mulai terjadi penularan secara
vertikal yaitu dari ibu yang positif HIV/AIDS ke bayi. Pada tahun 2010, sekitar 390.000 anak-
anak di bawah 15 tahun terinfeksi HIV. Sekitar 95% anak/bayi/neonatus yang positif HIV/AIDS
tertular dari ibunya. Salah satu intervensi untuk mencegah penularan dari ibu penderita
HIV/AIDS kepada bayinya yaitu melalui program PMTCT (Prevention of Mother To Child
Transmission of HIV). PMTCT ini sangat penting karena penularan HIV pada anak sebagian
besar (90%) terjadi secara vertikal, dan hanya sebagian kecil (10%) sisanya melalui transfusi
darah atau penggunaan jarum suntik yang tidak steril.

Penularan Prenatal
Penularan perinatal merupakan penularan dari ibu ODHA kepada janin pada masa
perinatal. Angka penularan pada masa kehamilan berkisar sekitar 5 – 10%, saat persalinan
sekitar 10 – 20%, dan saat menyusui sekitar 30 - 45% bila disusui sampai 2 tahun. Penularan

21 | P a g e
pada masa menyusui terutama terjadi pada minggu – minggu pertama menyusui, terutama
bila ibu baru terinfeksi saat menyusui.
Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat melalui plasenta.
Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga tidak semua bayi yang
dikandung ibu dengan HIV positif tertular HIV saat dalam kandungan. Plasenta bahkan
melindungi janin dari HIV, namun perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri,
ataupun parasit pada plasenta, atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat rendah.
Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir ibu dan bayi,
sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi. Semakin lama proses persalinan
berlangsung, kontak antara bayi dengan cairan tubuh ibu semakin lama, resiko penularan
semakin tinggi.
ASI dari ibu yang terinfeksi HIV mengandung HIV dalam konsentrasi yang lebih rendah
dari yang ditemukan dalam darahnya. Atas dasar tersebut, ibu dengan infeksi HIV dianjurkan
tidak menyusui bayinya dan diganti dengan susu pengganti ASI. Frekuensi penularan dari ibu
ke bayi mencapai sekitar 15% dari populasi.

Faktor Resiko Penularan


Seorang ibu yang terinfeksi HIVdengan kehamilan memiliki resiko untuk menularkan
HIV ke bayinya, dibagi dalam tiga tahapan waktu yaitu:
1. Antepartum:
a. Viral load dari ibu, apakah sudah mendapat terapi anti retroviral, jumlah CD4+,
defisiensi vitamin A, coreseptor mutasi dari HIV, malnutrisi, sedang dalam terapi
pelepasan ketergantungan obat, perokok, korionik villus sampling (CVS),
amniosintesis, berat badan ibu.
b. Beratnya keadaan infeksi pada ibu merupakan faktor resiko utama terjadinya
penularan perinatal. Berdasarkan hasil studi ternyata angka penularan vertikal lebih
tinggi pada ibu terinfeksi HIV dengan gejala yang sangat berat dibanding ibu terinfeksi
HIV tanpa gejala. Beratnya keadaan penyakit ibu ditentukan dengan menggunakan
kriteria klinis dan jumlah partikel virus yang terdapat dalam plasma, serta keadaan
imunitas ibu. Ibu dengan gejala klinis penyakit AIDS yang sangat jelas (dengan gejala
berbagai penyakit oportunistik), jumlah muatan virus di dalam tubuh >1000/mL, dan

22 | P a g e
jumlah limfosit <200-350/mL dianggap menderita penyakit AIDS sangat berat dan
harus mendapat pengobatan antiretrovirus.
c. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai risiko tinggi
untuk menularkan HIV kepada bayinya. Misalnya, ibu yang menderita penyakit sifilis
atau penyakit genitalia ulseratif yang lain (seperti Herpes Simplex, infeksi
Cytomegalovirus (CMV), infeksi bakteri pada genitalia), juga mempunyai risiko
penularan vertikal lebih tinggi.
d. Ibu yang mempunyai kebiasaan yang tidak baik mempunyai risiko tinggi untuk
menularkan infeksi HIV kepada bayinya. Berdasarkan hasil penelitian, para ibu yang
merokok mempunyai risiko untuk menularkan HIV. Penularan vertikal juga sering
terjadi pada ibu pengguna obat terlarang. Demikian juga, ibu yang melakukan
hubungan seksual tanpa alat pelindung, terutama dengan pasangan yang berganti-
ganti, juga mempunyai risiko tinggi dalam penularan vertikal.
2. Intrapartum:
a. Proses persalinan bayi juga menentukan terjadinya risiko penularan vertikal. Bayi yang
lahir per vaginam dengan tindakan invasif seperti tindakan forsep, vakum,
penggunaan elektrode pada kepala janin dan episiotomi, mempunyai risiko lebih
tinggi untuk tertular HIV.
b. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai risiko tinggi
untuk menularkan HIV kepada bayinya, juga mempunyai risiko penularan vertikal
lebih tinggi.
3. Post partum melalui menyusui:
a. Telah diketahui air susu ibu degan infeksi HIV mengandung proviral HIV dan virus
bebas lainnya, sebagai faktor pertahanan seperti antibodi terhadap HIV dan
glikoprotein yang menghambat ikatan HIV dengan CD4+. Kebanyakan kasus penularan
terjadi pada wanita yang diketahui negatif terhadap HIV akan tetapi penularan terjadi
saat pemberian air susu ibu. Sebetulnya pada ibu dengan infeksi HIV, pemberian air
susu ibu beresiko kecil untuk terjadi penularan oleh karena terdapatnya antibodi
terhadap HIV, bagaimanapun juga di Negara berkembang, makanan formula
menjadikan bayi memiliki resiko tinggi terkena infeksi yang lain, air susu ibu
merupakan pilihan terbaik. Pemilihan pemberian makanan pada bayi dengan 2
strategi sebagai pencegahan penularan dari ibu kebayinya postnatal, dengan

23 | P a g e
pemberian zidovudine sebagai profilaksis selama 38 minggu. Ternyata didapatkan
pemberian air susu ibu dengan zidovudine sebagai profilaksis tidak efektif seperti
pemberian susu formula, akan tetapi bermakna dalam menurunkan angka kematian
pada 7 bulan pertama kehidupan, disimpulkan bahwa penularan postnatal dari infeksi
virus HIV lewat pemberian air susu ibu dapat diturunkan dengan intervensi pemberian
ARV saat perinatal.
b. Bayi yang diberikan ASI mempunyai risiko lebih tinggi daripada bayi yang diberi susu
formula atau makanan campuran (mixed feeding). Risiko akan lebih tinggi lagi bila
payudara ibu terinfeksi atau lecet (mastitis yang tampak secara klinis ataupun
subklinis).

Pencegahan HIV pada bayi dan anak


Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of HIV, World Health
Organization menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of the Prevention of Mother to Child
Transmission), dapat menurunkan penularan vertikal HIV, juga menghubungkan wanita
dengan infeksi HIV, anak, serta keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan,
serta dukungan. PMTCT merupakan program yang komperhensif dan mengikuti protokol
serta kebijakan nasional.
 Intervensi PMTCT :
 Pemeriksaan dan konseling HIV
 Antiretroviral
 Persalinan yang lebih aman
 Menyusui yang lebih aman
 Keterlibatan pasangan dalam PMTCT:
 Kedua pasangan harus mengetahui pentingnya sex yang aman selama persalinan dan
masa menyusui
 Kedua pasangan harus menjalani pemeriksaan dan konseling HIV
 Kedua pasangan harus mengetahui dan menjalankan PMTCT
 Faktor resiko MTCT selama kehamilan:
 Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
 Infeksi virus, bakteri, maupun parasit melaui plasenta (khususnya malaria)
 Infeksi menular seksual

24 | P a g e
 Malnutrisi maternal (secara tidak langsung)
 Faktor resiko MTCT selama persalinan:
 Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
 Pecahnya ketuban > 4 jam sebelum persalinan dimulai
 Prosedur persalinan invasif
 Janin pertama pada kehamilan gameli
 Korioamnionitis
 Faktor resiko MTCT selama masa menyusui:
 Viral load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru atau lanjutan)
 Lama menyusui
 Pemberian ASI dengan pemberian makanan pengganti yang awal
 Abses payudara / puting yang terinfeksi
 Malnutrisi maternal
 Penyakit oral bayi (mis: trust atau luka mulut)

WHO mencanangkan empat strategi untuk pencegahan penularan HIV pada bayi dan anak,
yaitu :
1. Pencegahan primer, dengan melakukan pencegahan agar seluruh wanita tidak
terinfeksi HIV
Merupakan hal yang paling penting, yaitu agar seorang ibu yang sehat jangan sampai
tertular HIV, untuk itu terutama ubah perilaku seksual, setia pada pasangan, hindari
hubungan seksual dengan berganti pasangan, bila hal ini dilanggar, gunakan kondom.
Penyakit yang ditularkan secara seksual harus dicegah dan diobati dengan segera. Jangan
menjadi pengguna narkotika suntikan, terutama dengan penggunaan jarum suntik
bergantian.
Untuk petugas kesehatan agar mengikuti kaidah kewaspadaan universal standar. Dokter,
perawat, dan tenaga kesehatan lain yang merawat pasien dengan HIV / AIDS (ODHA) tidak
termasuk kelompok resiko tinggi tertular HIV, khususnya bila menerapkan prosedur baku
kewaspadaan universal pencegahan penularan infeksi. Semua darah atau cairan tubuh harus
dianggap dapat menularkan HIV atau penyakit lain yang terdapat dalam darah.
2. Menghindari kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita dengan HIV positif
Ada tiga strategi yang dicanangkan :

25 | P a g e
1. Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan
Kebanyakan wanita dengan infeksi HIV di negara berkembang tidak mengetahui status
serologis mereka. Pelayanan KB perlu diperluas untuk semua wanita, termasuk mereka
yang terinfeksi, mendapatkan dukungan dan pelayanan untuk mencegah kehamilan yang
tidak diketahui. Bagi wanita yang sudah terinfeksi HIV agar mendapat pelayanan esensial
dan dukungan termasuk keluarga berencana dan kesehatan reproduksinya sehingga
mereka dapat membuat keputusan tentang kehidupan reproduksinya.
2. Menunda kehamilan berikutnya
Bila ibu tetap menginginkan anak, WHO menyarankan minimal 2 tahun jarak antar
kehamilan. Untuk menunda kehamilan :
 Tidak diperkenankan memakai alat kontrasepsi dalam rahim sebab dapat menjalarkan
infeksi ke atas sehingga menimbulkan infeksi pelvis. Wanita yang menggunakan IUD
mempunyai kecenderungan mengalami perdarahan yang dapat menyebabkan
penularan lebih mudah terjadi.
 Kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, sebab dapat mencegah penularan HIV
dan infeksi menular seksual, namun tidak mempunyai angka keberhasilan yang sama
tinggi dengan alat kontrasepsi lainnya seperti kontrasepsi oral atau noorplant.
 Untuk ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang paling tepat adalah
sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).
Bila ibu memilih kontrasepsi lain selain kondom untuk mencegah kehamilan, maka
pemakaian kondom harus tetap dilakukan untuk mencegah penularan HIV.
3. Gantikan efek kontrasepsi menyusui
Tindakan tidak menyusui untuk mencegah penukaran HIV dari ibu ke bayi menyebabkan
efek kontrasepsi laktasi menjadi hilang, untuk itu perlu alat kontrasepsi untuk mencegah
kehamilan.

Persalinan
a. Persalinan pervaginam
Wanita hamil yang direncanakan persalinan pervaginam, diusahakan selaput
amnionnya utuh selama mungkin. Pengambilan sampel darah janin harus dihindari. Jika
sebelumnya telah diberikan obat HAART, maka obat ini harus dilajutkan sampai partus. Jika

26 | P a g e
direncanakan pemberian infuse zidovudin, harus diberikan pada saat persalinan dan
dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Tali pusat harus diklem secepat mungkin dan bayi harus
dimandikan segera. Seksio sesaria emergensi biasanya dilakukan karena alasan obstetrik,
menghindari partus lama, dan ketuban pecah dini.
Kelahiran pervaginam dapat dipertimbangkan dengan syarat:
1. Selama kehamilan penderita menjalani perawatan prenatal
2. Viral load <1000 kopi/ml pada minggu ke-36 kehamilan
3. Penderita menjalani pengobatan HIV selama kehamilan.

b. Seksio Sesaria
Pada saat direncanakan seksio sesaria secara elektif, harus diberikan antibiotik
profilaksis. Infuse zidovudin harus dimulai 4 jam sebelum seksio sesaria dan dilanjutkan
sampai tali pusat diklem. Sampel darah ibu diambil saat itu dan diperiksa viral load-nya. Tali
pusat harus diklem secepatnya pada saat seksio sesaria dan bayi harus dimandikan segera.
Kelahiran secara seksio sesarea direkomendasikan dengan syarat:
1. Wanita hamil penderita HIV dengan viral load >1000 kopi/ml atau viral load
tidak diketahui pada minggu ke-36 kehamilan
2. Penderita yang tidak menjalani pengobatan HIV selama kehamilan
3. Penderita yang tidak menjalani perawatan prenatal sebelum usia
kehamilan 36 minggu
4. Belum terjadi ruptur membran (pecah ketuban).
Diskusi mengenai pilihan seksio sesarea harus dimulai secepat mungkin pada
wanita hamil dengan infeksi HIV untuk memberikan kesempatan adekuat pada
penderita untuk mempertimbangkan pilihan dan rencana untuk prosedur.

Pasca Persalinan
Terdapat 50-75% dari bayi yang terinfeksi HIV yang disusui ibu HIV/AIDS tertular HIV
pada 6 bulan pertama kehidupan. ASI eksklusif memiliki resiko transmisi HIV yang rendah
daripada ASI yang dikombinasikan dengan cairan atau makanan lainnya (ASI campuran).
Ibu yang menderita HIV/AIDS sangat dianjurkan untuk memberikan ASI Ekslusif hingga
6 bulan dan dilanjutkan dengan pemberian ASI sekaligus makanan tambahan hingga usia 12
bulan. Bila ibu yang menderita HIV/AIDS memutuskan untuk tidak memberikan ASI ekslusif,

27 | P a g e
dapat mengganti dengan makanan tambahan bila kriteria AFASS terpenuhi. Adapun kriteria
AFASS dari WHO yaitu: Acceptable = mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan, Affordable
= harga terjangkau, Sustainable = berkelanjutan, Safe= aman penggunaannya. Salah satu
alternatif untuk menghindari penularan HIV yaitu dengan menghangatkan ASI > 66 0C untuk
membunuh virus HIV. Adapun bayi yang telah dinyatakan terinfeksi HIV positif maka harus
diberikan ASI ekslusif selama 6 bulan diteruskan dengan pemberian ASI campuran hingga usia
24 bulan.

C.ANEMIA DALAM KEHAMILAN

Definisi
Anemia pada wanita tidak hamil didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin yang
kurang dari 12 g/dl dan kurang dari 10 g/dl selama kehamilan atau masa nifas. Konsentrasi
hemoglobin lebih rendah pada pertengahan kehamilan, pada awal kehamilan dan kembali
menjelang aterm, kadar hemoglobin pada sebagian besar wanita sehat yang memiliki cadangan
besi adalah 11g/dl atau lebih. Atas alasan tersebut, Centers for disease control (1990)
mendefinisikan anemia sebagai kadar hemoglobin kurang dari 11 g/dl pada trimester pertama
dan ketiga, dan kurang dari 10,5 g/dl pada trimester kedua.
Penurunan sedang kadar hemoglobin yang dijumpai selama kehamilan pada wanita
sehat yang tidak mengalami defisiensi besi atau folat disebabkan oleh penambah volume
plasma yang relatif lebih besar daripada penambahan massa hemoglobin dan volume sel darah
merah. Ketidakseimbangan antara kecepatan penambahan plasma dan penambahan eritrosit ke
dalam sirkulasi ibu biasanya memuncak pada trimester kedua. Istilah anemia fisiologis yang
telah lama digunakan untuk menerangkan proses ini kurang tepat dan seyogyanya ditinggalkan.
Pada kehamilan tahap selanjutnya, ekspansi plasma pada dasarnya berhenti sementara massa
hemoglobin terus meningkat
Selama masa nifas, tanpa adanya kehilangan darah berlebihan, konsentrasi
hemoglobin tidak banyak berbeda dibanding konsentrasi sebelum melahirkan. Setelah
melahirkan, kadar hemoglobin biasanya berfluktuasi sedang disekitar kadar pra persalinan
selama beberapa hari dan kemudian meningkat ke kadar yang lebih tinggi daripada kadar tidak
hamil. Kecepatan dan besarnya peningkatan pada awal masa nifas ditentukan oleh jumlah
hemoglobin yang bertambah selama kehamilan dan jumlah darah yang hilang saat pelahiran
serta dimodifikasi oleh penurunan volume plasma selama masa nifas.

28 | P a g e
Walaupun sedikit lebih sering dijumpai pada wanita hamil dari kalangan kurang
mampu, anemia tidak terbatas hanya pada mereka. Frekuensi anemia selama kehamilan sangat
bervariasi, terutama bergantung pada apakah selama hamil wanita yang bersangkutan
mendapat suplemen besi.
Etiologi
- Didapat :
1. Defisiensi besi
2. Kehilangan darah akut
3. Peradangan atau keganasan
4. Defisiensi vitamin B12
5. Hemolisis
6. Aplastik

- Herediter :
1. Talasemia
2. Hemoglobinopati sel sabit
3. Anemia hemolitik herediter
Pengaruh anemia terhadap kehamilan
Etiologi anemia merupakan hal penting dalam mengevaluasi efek anemia pada hasil
kehamlian. Sebagai contoh, pada wanita dengan anemia sel sabit, hasil akhir pada ibu dan
perinatal sangat berubah. Saat ini, belum ada bukti yang menyatakan bahwa efek samping
berkaitan dengan anemia itu sendiri, tetapi lebih berhubungan dengan penyulit vascular akibat
pembentukan sel sabit (sickling). Menurut Bennet dkk. (1998), berdasarkan National Hospital
Dischange Data tahun 1991 – 1992, anemia sendiri jarang menjadi penyebab rawat inap terkait
kehamilan.
Klebanoff dkk.(1991) meneliti hampir 27.000 wanita dan menemukan peningkatan
ringan resiko kelahiran preterm pada anemia midtrimester. Lieberman dkk.(1987)
mendapatkan keterkaitan positif antara hematokrit yang rendah dan kelahiran preterm pada
wanita berkulit hitam, dan menyarankan bahwa anemia merupakan penanda difisiensi gizi.
Anemia mungkin menyebabkan hambatan pertumbuhan janin. Menurut Barker dkk(1990),
anemia dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular. Kadyrov dkk (1998) mengajukan bukti
bahwa anemia ibu mempengaruhi vaskularisasi plasenta dengan mengubah angiogenesis pada
awal kehamilan.

29 | P a g e
Menurut World Health Organization, anemia diperkirakan ikut berperan pada hampir
40% kematian ibu hamil. Di Negara-negara dunia ketiga (Viteri, 1994). Ironisnya, pada wanita
yang sebenarnya sehat. Konsentrasi hemoglobin yang lebih tinggi cenderung menyebabkan
gangguan hasil kehamilan. Pada kasus-kasus ini, ekspensi normal volume darah selama
kehamilan tampaknya terganggu. Murphy dkk(1986) melaporkan temuan dari Cardiff Birth
Survey terhadap lebih dari 54.000 kehamilan tunggal. Mereka menemukan peningkatan angka
kematian perinatal pada konsentrasi hemoglobin yang tinggi. Secara spesifik, wanita yang
konsentrasi hemoglobinnya lebih dari 13,2 g/dl pada gestasi 13 sampai 18 minggu
memperlihatkan peningkatan angka kematian perinatal, bayi dengan berat lahir rendah, dan
pelahiran premature, preeklamasia pada nulipara. Scanloon dkk.(2000) mempelajari hubungan
antara hemoglobin Ibu dan bayi preterm atau dengan hambatan pertumbuhan pada173.031
kehamilan. Hemoglobin yang rendah (< 3 SD) pada gestasi 12 minggu yang menyebabkan
resiko 1,7 kali lipat untuk kelahiran preterm, sedangkan hemoglobin yang tinggi (> 3 SD) pada
gestasi 12 sampai 18 minggu memperlihatkan peningkatan 1,3 sampai 1,8 kali lipat untuk
hambatan pertumbuhan janin.

Anemia hemolitik akibat kehamilan


Anemia hemolitik yang tidak jelas sebabnya pada kehamilan, jarang dijumpai tetapi
mungkin merupakan entitas tersendiri dan pada kelainan ini terjadi hemolisis berat yang
dimulai pada awal kehamilan dan reda dalam beberapa bulan setelah melahirkan. Penyakit ini
ditandai oleh tidak adanya bukti mekanisme imunologik atau defek intra atau ekstraeritrosit
(Starksen dkk 1983). Karena janin bayi juga mungkin memperlihatkan hemolisis transient,
diduga terdapat suatu kausa imunologis. Terapi kortiko steroid terhadap ibu biasanya efektif.

Anemia Aplastik pada Kehamilan


Pada sebagian besar kasus, anemia aplastik dan kehamilan tampaknya terjadi
bersamaan secara kebetulan. Karena sekitar sepertiga wanita membaik setelah terminasi
kehamilan, dipostulasikan bahwa kehamilan-melalui satuan cara-memicu hipoplasia eritroid
(Aitchison, 1989). Yang jelas, pada beberapa wanita, anemia hipoplastiknya pertama kali
diidentifikasi saat hamil dan kemudian membaik atau bahkan sembuh saat kehamilan berakhir
namun kambuh pada kehamilan berikutnya (Bourantas dkk, 1997, Snyder dkk, 1991).
Rijhsinghani dan Wiechert (1994) melaporkan dua kehamilan pada wanita dengan
anemia Diamond-Blackfan. Aplasia sel darah merah murni yang jarang ini mungkin diwariskan
secara resesif autosom. Sebagian pasien berespons terhadap terapi glukokortikoid, tetapi

30 | P a g e
sebagian besar berganting pada transfuse. Pengalaman kami dengan dua wanita yang
mempunyai penyakit ini serupa. Penyakit Gaucher adalah seuatu defisiensi encim lososom
resesif autosom yang mengenai banyak system organ. Anemia dan trombositoipenia diperparah
oleh kehamilan (Gronovsky-Grisaru dkk, 1995). Kemudian, kelompok peneliti Israel ini
membuktikan bahwa terapi sulih enzim (algluserase memperbaiki hasil kehamilan pada enam
wanita (Elstin dkk, 1997).
Dua risiko besar bagi wanita hamil dengan anemia aplastik adalah perdarahan dan
infeksi (Ascarelli dkk, 1998). Pada kasus-kasus yang dilaporkan sejak tahun 1960, angka
kematian selama atau setelah kehamilan adalah 50 persen, dan kematian hamper selalu
disebabkan oleh perdarahan atau sepsis. Anemia Fanconi tampaknya memiliki prognosis yang
lebih baik. Alter dkk (1991) mengkaji kepustakaan dan menyimpulkan bahwa wanita yang
menjadi hamil mengalami perbaikan penyakit.

Penatalaksanaan
Belum ada satu pun obat ertropoietik yang pada anemia lain dapat menyebabkan remisi terbukti
efektif. Terapi untuk anemia aplastik yang parah, yang kemungkinan besar efektif adalah
transplantasi sumsum tulang atau sel induk. Bagi pasien yang penyakitnya tidak terlalu parah,
atau mereka yang tidak mendapatkan donor, terapi terbaik yang ada adalah globulin antitimosit
(Marsh dkk, 1999). Terapi imunosupresif dengan siklosporin memperbaiki respons terhadap
globulin antitimosit. Kortikosteroid mungkin bermanfaat, demikian juga testosteran atau
steroid androgenic lainnya dalam dosis besar. Wanita yang diterapi hampir pasti mengalami
virilisasi. Janin perempuan dapat memeprlihatkan stigmata kelebihan androgen
(pseudohermafroditisme), bergantung pada senyawa, dosis, dan kapasitas plasma melakukan
aromatisasi terhadap androgen.
Pencarian yang kontinu terhadap infeksi harus dilanjutkan, dan apabila ditemukan harus
segera diberikan terapi antimikroba spesifik. Transfuse garanulosit diberikan hanya apabila
benar-benar terjadi infeksi. Transfuse sel darah merah diberikan untuk anemia simtomatik, dan
kami secara rutin memberi transfuse untuk mempertahankan hematoksit pada kadar sekitar 20.
Apabila hitung trombosit sangat rendah, mungkin diperlukan transfuse trombosit untuk
mengendalikan perdarahan. Pelahiran per vaginam dilakukan untuk meminimalisasi insisi dan
laserasi sehingga pengeluaran darah dapat dikurangi saat uterus dirangsang berkontraksi kuat
setelah pelahiran. Bahkan apabila trombositopenianya berat, risiko perdarahan dapat diperkecil
dengan pelahiran per vaginam yang dilakukan sedemikian sehingga laserasi dan episiotomi
luas dapat dihindari.

31 | P a g e
Transplantasi Sumsum Tulang, memerlukan terapi imunosupresif selama beberapa bula
setelah transplantasi. Riwayat transfuse darah, dan bahkan kehamilan, meningkatkan risiko
penolakan tandur. Bagi pasien, yang telah bebas penyakit selama 2 tahun, transplantasi
menyebabkan angka harapan hidup menjadi 90 persen (Deef dkk, 1998). Penyakit graft-versus-
host akut dan kronik merupakan penyulit serius yang tersering dan menyebabkan dua pertiga
kematian dalam dua tahun pertama (Socie dkk, 1999). Kelompok peneliti yang sama ini
melaporkan bahwa separuh dari 95 pasien wanita hamil.

32 | P a g e
BAB III

METODE PENELITIAN

A.DESAIN PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional
(potong lintang). Menurut Gordis cit Fina (2004) dalam penelitian rancangan studi potong
lintang pengambilan data variabel bebas dan variabel terikat diamati secara bersamaan
pada suatu periode tertentu.

B.POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah ibu-ibu yang telah melahirkan < 1 tahun anak
hidup yang terdapat di poliklinik umum dan posyandu di puskesmas kecamatan dungingi kota
Gorontalo.Penelitian ini dilakukan pada bulan september 2016.

Sampel penelitian adalah 58 orang dari populasi yaitu : ibu hamil dan yang telah
melahirkan anak hidup kurang dari 1 tahun di lingkup wilayah puskesmas kecamatan dungingi.

C. TEHNIK PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

1.Tehnik Pengumpulan Data

Data diperoleh dari pengisian kuesioner yang telah disiapkan oleh peneliti dengan
menggunakan teknik wawancara.

2.Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian berupa kuesioner yang berisi pertanyaan tertulis tentang pengetahuan,
sikap dan tindakan yang terjadi selama kehamilan

Teknik Pengolahan dan Analisa Data

1. Teknik Pengolahan Data

a.Pengolahan Data (editing )

33 | P a g e
Meneliti kembali apakah lembar kuesioner sudah cukup baik sehingga dapat di proses lebih
lanjut. Editing dapat dilakukan di tempat pengumpulan data sehingga jika terjadi kesalahan
maka upaya perbaikan dapat segera dilaksanakan.

b.Pengkodean (Coding)

Usaha mengklarifikasi jawaban-jawaban yang ada menurut macamnya, menjadi bentuk yang
lebih ringkas dengan menggunakan kode.

c.Pemasukan Data (Entry)

Memasukan data ke dalam perangkat komputer sesuai dengan kriteria.

d.Pembersihan Data (Cleaning data)

Data yang telah di masukan kedalam komputer diperiksa kembali untuk mengkoreksi
kemungkinan kesalahan.

2.Tehnik Analisis Data

Pada penelitian ini digunakan analisa univariat yaitu analisa yang dilakukan terhadap setiap
variabel dari hasil penelitian dalam analisa ini hanya menghasilkandistribusi dan persentase
dari tiap variabel yang diteliti yaitu variabel pengetahuan,variabel sikap dan variabel tindakan

34 | P a g e
BAB IV

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Gambaran kapan kunjungan pemeriksaan kehamilan pertama (bukan


kunjungan pertama yang hanya tes kehamilan)

40 37

30
19
20

10 1 1
0
MINGGU- BULAN-BULAN SAYA TIDAK TIDAK MENGISI
MINGGU AWAL AWAL PERGI ANC

RESPONDEN

Dari tabel di atas dapat dilihat jumlah responden yang berpartisipasi : 58 (100 %) responden
sedangkan jumlah responden yang datang minggu-minggu awal :19 (32%)
responden.Kemudian jumlah responden yang datang bulan-bulan awal 37 (67%)
responden,kemudian jumlah responden uang tidak pergi ANC : 1 (0,01%) dan yang tidak
berpartisipasi/tidak mengisi kuisoner : 1 (0,01%).

35 | P a g e
Tabel 2. Gambaran apakah selama kunjungan perawatan antenatal
sebelumnya,dokter/perawat/bidan/tenaga kesehatan lainnya membicarakan dengan
responden info tentang kehamilan.

DEPRESI PASCAKDRT
LAHIR
4% 3%
PERIKSA HIV PENYULUHAN BERAT
3% BADAN
TANDA DAN GEJALA 16%
PERSALINAN PREMATUR
5% DINI
PEMERIKSAAN
CACAT LAHIR
3%
PENGGUNAAN OBAT
LUAR BAHAYA MEROKOK
7% 12%

OBAT-OBATAN DALAM
KEHAMILAN
16%

PEMBERIAN ASI
20%

PENGARUH ALKOHOL
11%

PENYULUHAN BERAT BADAN BAHAYA MEROKOK


PEMBERIAN ASI PENGARUH ALKOHOL
OBAT-OBATAN DALAM KEHAMILAN PENGGUNAAN OBAT LUAR
PEMERIKSAAN DINI CACAT LAHIR TANDA DAN GEJALA PERSALINAN PREMATUR
PERIKSA HIV DEPRESI PASCA LAHIR
KDRT

Dari tabel di atas didapatkan hasil yaitu penyuluhan berat badan 19 responden,bahaya merokok
15 responden,pemberian ASI 25 responden,pengaruh alkohol 14 responden,obat-obatan dalam
kehamilan 20 responden,penggunaan obat luar 9 responden,pemeriksaan dini cacat lahir 3
responden,tanda dan gejala persalinan prematur 6 responden ,periksa
HIV 4 responden,depresi pasca lahir 5 responden,dan KDRT 3 responden.
*
responden boleh memilih lebih dari satu.

Tabel 3 : Gambaran cakupan pemeriksaan HIV pada ibu hamil


36 | P a g e
Tidak periksa HIV Periksa HIV Tidak Tahu

Dari tabel di atas didapat kan hasil yaitu : 38 (65%) responden tidak periksa HIV,15(25%)
periksa HIV, dan 5 (0,08%) tidak tahu.

Tabel 4. Gambaran penyakit yang dialami sebelum kehamilan pada ibu hamil

45

40

35

30

25

20

15

10

0
Asma Anemia Masalah epilepsi atau gangguan kecemasan lain-lain tidak sakit
jantung kejang tiroid

responden Column2 Column3

37 | P a g e
Dari tabel di atas didapatkan hasil yaitu penderita asma 1 (0,01%),anemia 3 (0,05%),masalah
jantung 0(0%), epilepsi/kejang 1(0,01),kecemasan 3(0,05), lain-lain 7 (sakit lambung,sakit
gigi,vertigo,hipertensi,rhinitis alergi) (0,12 %) ,dan tidak sakit 41 (70 %).

Tabel 5.gambaran penyulit/penyakit yang didapat pada saat kehamilan.

Chart Title

35

30

25

20

15

10

Series 1 Series 2 Series 3

Dari tabel diatas didapatkan hasil,perdarahan jalan lahir 6 responden,infeksi saluran kencing 0
responden,mual muntah hebat /dehidrasi 3 responden,inkompetensia cervix 0 responden,pre-
eklampsia 5 responden,masalah plasenta 2 responden,nyeri melahirkan/prematur 1
responden,ketuban pecah dini 0 responden,transfusi 1 responden,kecelakaan 1 responden,lain-
lain 1 responden,kemudian yang tidak menjawab 35 responden.

38 | P a g e
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.kesimpulan

Dari data yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini telah diperoleh gambaran cakupan
ANC,cakupan penyuluhan-penyuluhan tentang kehamilan,pemeriksaan HIV,gambaran
penderita penyakit sebelum kehamilan,dan penyulit yang didapat semasa kehamilan pada ibu-
ibu yang telah melahirkan di lingkup puskesmas kecamatan dungingi kota Gorontalo tahun
2016, didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. 58 (100 %) responden sedangkan jumlah responden yang datang minggu-


minggu awal :19 (32%) responden.Kemudian jumlah responden yang datang
bulan-bulan awal 37 (67%) responden,kemudian jumlah responden uang tidak
pergi ANC : 1 (0,01%) dan yang tidak berpartisipasi/tidak mengisi kuisoner : 1
(0,01%).yang berarti sebagian besar ibu hamil memeriksakan kehamilannya
/ANC pada bulan-bulan awal kehamilannya.dan masih ada ibu hamil yang tidak
memeriksakan kehamilannya.
2. penyuluhan berat badan 19 responden,bahaya merokok 15
responden,pemberian ASI 25 responden,pengaruh alkohol 14 responden,obat-
obatan dalam kehamilan 20 responden,penggunaan obat luar 9
responden,pemeriksaan dini cacat lahir 3 responden,tanda dan gejala persalinan
prematur 6 responden , periksa HIV 4 responden,depresi pasca lahir 5
responden,dan KDRT 3 responden.Masih banyak ibu-ibu hamil yang tidak
mendapatkan penyuluhan-penyuluhan atau informasi tentang kehamilan yang
lengkap.
3. 38 (65%) responden tidak periksa HIV,15(25%) periksa HIV, dan 5 (0,08%)
tidak tahu.Dapat di simpulkan bahwa sebagian besar ibu hamil tidak melakukan
pemeriksaan HIV.
4. penderita asma 1 (0,01%),anemia 3 (0,05%),masalah jantung 0(0%),
epilepsi/kejang 1(0,01),kecemasan 3(0,05), lain-lain 7 (sakit lambung,sakit
gigi,vertigo,hipertensi,rhinitis alergi) (0,12 %) ,dan tidak sakit 41 (70 %).Dapat
disimpulkan bahwa sebagian kecil ibu hamil mempunyai penyakit
sebelumnya,yang tentunya bisa menjadi penyulit untuk kehamilan/persalinan.

39 | P a g e
5. perdarahan jalan lahir 6 responden,infeksi saluran kencing 0 responden,mual
muntah hebat /dehidrasi 3 responden,inkompetensia cervix 0 responden,pre-
eklampsia 5 responden,masalah plasenta 2 responden,nyeri
melahirkan/prematur 1 responden,ketuban pecah dini 0 responden,transfusi 1
responden,kecelakaan 1 responden,lain-lain 1 responden,kemudian yang tidak
menjawab 35 responden.Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden
tidak mendapatkan penyulit saat kehamilan,namun ada beberapa ibu hamil yaitu
23 ibu hamil yang mendapatkan penyulit saat hamil

B.Saran

1. untuk masyarakat

Agar lebih meningkatkan dukungan kepada ibu-ibu hamil ataupun calon ibu hamil
agar selalu mengikuti program fasilitas kesehatan atau puskesmas,untuk mencegah terjadinya
penyulit-penyulit yang terjadi pada kehamilan yang tentunya akan merugikan banyak pihak.

2. Untuk petugas kesehatan

Diharapkan bagi petugas kesehatan agar dapat lebih meningkatkan sosialisasi


tentang kehamilan pada ibu –ibu hamil.terdari dari: penyuluhan,turun kelapangan (jemput
bola),meningkatkan kemampuan komunikasi yang efektif dan baik sehingga masyarakat atau
ibu hamil dapat ikut serta dalam kegiatan yang diselenggarakan fasilitas
kesehatan/puskesmas.Hal ini tentunya akan berdampak baik untuk kesehatan ibu dan anak
dimasa yang akan datang.

3. untuk ibu hamil

Agar lebih meningkatkan tentang pengetahuan seputar kehamilan dan juga turut
berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan pihak fasilitas kesehatan,agar
ibu-ibu hamil terhindar dari berbagai macam komplikasi kehamilan/persalinan yang tentunya
akan merugikan banyak pihak.Karena pencegahan selalu lebih baik daripada mengobati.

40 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Departemen kesehatan republik indonesia,pusat data dan informasi (InfoDATIN) 2014

Sutkin G, Isada N.B, Stewart M, Powell S. Hematologic complications. In: Evans


A.T, Seigafuse S, Shaw R. et al, eds. Manual of obstetrics. 7th edition. Texas : Lippincott
Williams & Wilkins, 2007; 328, 330-1.

Hudono S.T. Penyakit darah. Dalam : Wiknjosastro H, Saifuddin A.B,


Rachimhadhi T, eds. Ilmu kebidanan. Edisi ketiga. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2006; 448, 450-7.

Hanretty K.P. Systemic diseases in pregnancy. In : Hanretty K.P, Ramsden I,


Callander R, eds. Obstetrics illustrated. 6th edition. London : Churchill Livingstone, 2003;
137, 138, 141

Szymanski L.M, Mumuney A.A. Hematologic disorders of pregnancy. In: Fortner


K.B, Szymanski L.M, Fox H.E, Wallach E.E et al, eds. The Johns Hopkins manual of
gynecology and obstetrics. 3rd edition. Maryland : Lippincott Williams & Wilkins, 2007; 216

Hartuti Agustina, dkk. Referat Preeklampsia. Purwokerto. Universitas Jendral Sudirman.


2011
Simona Gabriella R. Tugas Obstetri dan Ginekologi, Patofisiologi Preeklampsia. Maluku.
Universitas Pattimura. 2009
Kusumawardhani, dkk. Pre Eklampsia Berat Dengan Syndrom Hellp, Intra Uterine Fetal
Death , Presentasi Bokong, Pada Sekundigravida Hamil Preterm Belum Dalam Persalinan.
Universitas Negri Surakarta. 2009

41 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai