Anda di halaman 1dari 21

1) Jangka Waktu Perjanjian Konsesi (HPH).

Pada umumnya diyakini bah wa hak pengusahaan konsesi


yang lebih lama dan aman akan menyediakan insentif yang dibutuhkan untuk pengelolaan hutan
berkelanjutan walaupun kenyataannya belum menjamin hal itu. Tingkat pertumbuhan hutan tropis baik
dalam volume dan nilai rendah, berada di bawah tingkat keuntungan dari investasi yang lain, pemegang
HPH tidak mempunyai insentif untuk mengelola hutan meskipun dengan jangka waktu penguasaan yang
lebih lama dan aman. Para pemegang HPH akan terns menghabiskan hutan dan menginvestasikan
dananya ke tempat lain yang memiliki keuntungan yang lebih tinggi. Izin HPH jangka pendek yang harus
diperbaharui berdasarkan penampilan pengelolaan hutan yang telah dilakukan bisa memberikan insentif
yang lebih kuat bagi kehutanan berkelanjutan dibandingkan dengan konsesi jangka panjang.
Pembaharuan izin berdasarkan penampilan tersebut bisa menjadi insentif yang sangat kuat untuk
mengurangi dampak pembalakan, kepatuhan terhadap batas minimum diameter kayu untuk
penebangan, dan pengelolaan hutan yang lebih baik, meskipun di bawah perjanjian konsesi hutan jangka
pendek.

Dampak konsesi jangka pendek adalah mendorong pihak pemegang HPH untuk mengekstrak sebanyak
dan secepat mungkin, sementan sistem pengendalian regulasi sekarang ini tidak ditegakkan. Diusulkan
bahwa konsesi harus dibiarkan untuk minimum 100 tahun; bahwa semua pajak harus digantikan dengan
suatu sewa tahunan per hektar yang dibayarkan pada konsesi keseluruhan tanpa memperhatikan apakah
ini sedang dioperasikan atau tidak. dan bahwa tiap pemegang HPH harus disyaratkan untuk mendeposit
suatu Bond penampilan untuk didenda/diambil dalam kasus ini yang tidak memenuhi kewajiban
operatornya Iantas akan memperoleh suatu suatu insentif untuk menggunakan lahan tersebut dengan
produktif setelah pemanena/penebangan. Dalam banyak situasi, pengelolaan hutan alam akan menjadi
opsi ekonomi yang paling menarik (Rishardson, 1992).

2) Luas Areal HPH (Caucasian Size). Luas areal konsesi hutan bisa sangat bervariasi antarnegara walaupun
berlaku dalam suatu negara. Dalam beberapa negara, luas konsesi adalah berlaku kecil untuk
mendukung Silvi kultur, pembalakan, dan unit transportasi yang layak. Lebih banyak luas konsesi yang
ditetapkan terlalu luas, sering di luar kebutuhan dari pemegang HPH. Sebagai contoh di Indonesia pada
tahun 1989, dengan 557 pemegang HPH mencakup 58,8 juta hektar, 17 persen luas areal konsesi,
sebagai suatu penguasaan yang cukup tinggi.

incntif yang tendah untuk mcmanfaatknn timber seem cfisicn, atau unmk mmhn pcagelolaan hum yang
lcbih intensif. Pembalakan yang tichk efisia dan gracing tinggi Iczjadi. Selain itu. dcngan areal hutan yang
bericbihan mu tadalu luas, pemcgang HPH mcmilik inscntif yang rcndah mt mgmtml gangguan pertanian
dan lainnya. Oleh karena itu, luas and konssi hams dikzitkan dcngan hasil pct hektar. tingkat
pertumbuhan Msikhzspcmbnnganataumtasidanukmanluasucalpenebangan nhman yang ctisicn.

3) Free dan Penerimaan Hutan dari HPH. Sistcm revenue butan, kc hutan uhadap timber, danfee tahadap
konscsi bisa mempunyai dampak positif dan negaxif tabadap pcngelolaan hutan dan penampilan dari
konsesi hutan yang ada. Negan-ncgara yang mcncmpkan insentif ckonomi dan tingkat katatga yang acpat
bisa mendomng pcmanfaatan hutan yang eflsicn 5cm pmgdolaan hutan berkelanjutan, tetapi kalau fee
terscbut tcrlalu rendah, bis: urndomng tcrjadinya degradasi hutan yang lebih cepat.

Salah satu bcnmkfee hutan yang dipraktikkan di banyak ncgan adalah yang dikenal deugan “stumpage
fecs" (fee didasarkan volume hyu yang dilebang) mu fee berdasarkan volume lainnya. Selain itu, tadapat
jug: penggunaanfee babasis areal hutan dan model penguasahaan hum lainnya dan akhir-akhir mi
mendapal perhadan karena dipandang lebih mudah untuk

diadminisu'asikan dan rendah tingkat penolakan dan pelanggam.

4) Proses penawaran (Bidding) Konsesi dan Transparansi dalam Alokagi Konsesi. Dalam banyak negara,
sering tetjadi pmktik-praktik administratll yang tidak baik dalam mengalokasikan konsesi sehingga
herpengamh x?egatif bagi terwujudkan pengelolaan hutan bcrkelanjutan. Proses alokasi bnsa juga terjadi
karena KKN, penyuapan, dan praktik mencari keuntungan (5?)?! seeking) lainnya, sehingga perusahaan
yang memperolch konsesi sepem Itu cenderung tidak serius dalarn pengelolaan hutan, atau bahkan yang
mempenolehnya bukanlah mereka yang profesional dalam pengelolaan hutan sehing» ga sering kali
dijual iagi dan dikontrakkan pada pihak lain, yang akhimya menyebabkan pengelolaan dan pemanfaatan
hutan yang tidak efisien.

Oleh karena itu, alokasi konsesi semestinya dilakukan melalui proses

tawar menawar (bidding) dan ada kompetisi yang adil di dalamnya sehingga mendorong adanya
transparansi dalam proses alokasi dan terhindar dari praktik-praktik yang buruk, seperti penyuapan dan
KKN. Dengan dcmi~ kian, pemegang konsesi adalah mereka yang sangat produktif dan memben rikan
nilai yang sesuai bagi hutan. Selain itu, hal ini akan memberikan dampak yang positif baik bagi
pemerintah, perusahaan konscsi maupan

masyarakat lokal. Harga yang diperoleh dari proses tawar-mcnawar juga

manceminkan nilai pasar kayu yang sesuai serta keamanan nilai suplai timber dari konsesi.
Cara alokasi konsesi yang kompetitif bisa juga dilakukan dengan tender tertump (sealed tender)
terutama bagi arealuareal konsesi baru. Selanjutnya, penawaran kompetitif bisa diterapkan untuk
realokasi konsesi yang habis izinnya dan/atau yang tidak diperbaharui izinnya. Pendekatan kompetitif
seperti Lelang Kompetitif (competitive auction) ini sudah mulai banyak diw kembangkan di Asia Tengah
dan Asia Barat, Amerika Latin, dan Asia Tenggara. Misalnya, akhir-akhir ini Brasil melelang konsesi
pertama sebagai usaha kedua. Karena proses yang relatif ham dan adanya ketidakpastian yang dialami
oleh penawar potensial, temyata hanya satu

perusahaan yang memberikan penawaran dengan nilai tawaran yang rendah. Namun, Brasil
memperoleh pengalaman dalam proses, dan mungkin keuntungan akan berjalan lamban. Pada tahun
1999, Indonesia juga mengumumkan niatnya untuk melelang 3 juta hektar yang izin penebangannya
telah habis. Namun, hal itu mensyaratkan adanya proscdur

dan syaratwsyarat untuk pelelangan dan bond penampilan.

Berdasarkan pengalaman negara-negara yang telah melakukan proses tawar-mcnawar (bidding) adalah
pentin g untuk adanya proscdur penawaran dengan kontrol yang ketat untuk memastikan bahwa proses
penawaran yang

kompetitif dan konsesi harus dibcrikan dengan adil clan berada pada 96%“ war tem'nggi. Untuk men j
amin independensi yang bctuhbetm adil damn proses lelan g bisa dilaksanakan pengawasan yang ketat
o\ch organisasi inde
penden sebagai pelelang (auctioneer).

5) Mengembangkan Insentif Bagi Pengelolaan dan Penampilan Konsesi. Di kebanyakan negara, perjanjian
konsesi tidak menyediakan insentif yang cukup bagi pengelolaan hutan, dan sering tidak menyertakan
persyaratanpersyaratan penampilan yang bisa diukur. Insentif bisa digunakan untuk mendukung regulasi
dan pengelolaan konsesi, seperti insentif positif seperti pembayaran, atau pengurangan fee konsesi
berdasarkan penampilan atau

insentif negatif seperti pinalti atau kehilangan deposit kalau penampilan pengelolaan hutannya jelek.

Pengelolaan konsesi bisa meliputi penggunaan yang lebih besar deposit jaminan penampilan. Bond
Penampilan (performance bonds) bisa menjadi insentif yang kuat bagi HPH yang mematuhi syarat dan
ketentuan konsesi yang ditentukan, penampilan dalam pengelolaan konsesi, atau menerapkan
pembalakan berdampak minimal/rendah. Deposit penampilan dapat dipersyaratkan pada tahap-tahap
aplikasi konsesi, persetujuan dan pemberian konsesi. Namun, pemegang HPH (concessionaires) harus
diyakinkan bahwa deposit akan dikembalikan jika deposit dan pembayaran awal ditentukan sebagai
insentif bagi pengelolaan hutan. Perlu juga ada pembayaran pem

baharuan konsesi pada tiap interval waktu tertentu agar memberikan insentif yang kuat bagi kepatuhan
pemegang HPH.
Di kebanyakan negara, kegiatan supervisi dan monitoring adalah salah satu bentuk kontrol dan
pengawasan terhadap pelaksanaan dari Konsesi dalam pengelolaan hutan dan di banyak kasus adalah
sangat lemah dan tidak efektif. Masalah yang sering dihadapi, terutama di negara-negara berkembang
antara lain adalah kurangnya pendanaan, terbatasnya jumlah dan kualitas personil, rendahnya gaji dan
insentif personil, kurangnya sarana prasarana dalam memonitor kegiatan pembalakan dan dilakukannya
pengelolaan hutan oleh pemegang konsesi atau HPH. Bahkan, pengawas sering menggu

nakan fasilitas yang disediakan oleh pemegang HPH sehingga independensi dalam melakukan fungsi
pengawasan menj adi berkurang.

Untuk memperbaiki pengelolaan HPH serta pembalakan dan pengelolaan hutan HPH diperlukan adanya
penguatan terhadap kapasitas kelembagaan Departemen Kehutanan dalam berbagai masalah yang
dihadapi selama ini. Peningkatan dan intensitikasi dalam penerimaan fee hutan akan sangat membantu
dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan dan SDM tersebut dalam melakukan inspeksi dan operasi
lapangan. Altematif lain bisa juga dilakukan melalui pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam ikut
mengawasi operasi konsesi. Di samping itu, bisa juga ditempuh dengan menunjuk atau mengontrak
pihak independen untuk melakukan evaluasi dan auditing terhadap pengelolaan konsesi, penampilan
pembalakan serta pengelolaan hutan

untuk mcmperkuat insentif penampilan baik bagi pemegang HPH maupun Departemen Kehutanan.
Berdasarkan basil kajiannya tentang pengalaman pelaksanaan HPH baik di negara berkembang dan
negara maju, Gray (2002) menyarankan bebe

8.4.7 Kebijakan Harga Sumber Daya Hutan

Pendekatan sisi penawaran bagi tata pamong hutan, seperti memperkuat penegakan hukum, jarang
efektif tanpa menghubungkannya dengan aksi-aksi di sisi permintaan. D1 antara instrumen sisi
pennintaan yang potensial adalah kebi

jakan perdagangan yang dibangun oleh negara-negara penghasil atau partner perdagangan mereka.
Akhir-akhir ini, terdapat perhatian yang besar dalam potensi liberalisasi perdagangan, misalnya melalui
reduksi biaya-biaya dan hambatan pada pergerakan bebas barang dan jasa untuk meningkatkan tata
pamong hutan. Secara teoretis, hal itu harus meningkatkan harga pada pengekspor dan mengurangi
harga

bagi pengimpor sehingga akan mendorong lebih banyak perdagangan. Perdagangan bisa diliberalisasi
melalui penurunan tarif ekspor dan impor, penghapusan hambatan perdagangan formal seperti larangan
ekspor balok, atau membatasi
metode nontarif lainnya, seperti regulasi phytosanitary, kuota dan standar kualitas produk (Richards,
2004).

Kebijakan harga hutan bagi kayu/timber tropis dan konsesi hutan (forest concessions) bisa memainkan
suatu peranan penting dalam pengelolaan, konservasi, dan preservasi hutan-hutan tropis (Gray, 1997).
Kebijakan harga hutan dan fee hutan dimaksudkan untuk meningkatkan penampilan konsesi hutan,
meningkatkan pengelolaan hutan konsesi berkelanjutan, dan meningkatkan kelayakan finansial bagi
pengelolaan hutan melalui upaya-upaya: (1) meningkatkan fee sampai pada titik yang mencerminkan
nilai hutan, (2) melakukan restrukturisasi fee untuk memberikan insentif bagi perbaikan pemanfaatan
dan pengelolaan hutan, dan (3) menyediakan dana untuk membiayai perbaikan pengelolaan hutan

dan membuat pengelolaan hutan menjadi suatu investasi yang berharga bagi

pemerintah. Gray (2000) mengusulkan lima komponen fee yang bisa diterapkan pada hutan.

1) Fee Konsesi Tahunan (annual concession fees). Fee ini berbasis luas areal dengan tingkat yang bisa
menghasilkan preporsi yang signifikan terhadap penerimaan hutan dan memberikan insentif bagi
pengelolaan hutan.
2) Fee Konsesi Awal (initial concession fees). Fee ini dikenakan untuk

menghasilkan dana yang memadai untuk menutup biaya administrasi dalam pemberian konsesi dan
untuk menekan adanya aplikasi spekulatif yang terjadi atau akuisisi konsesi.

3) Tawar-Menawar untuk Konsesi (bidding on concessions). Aktivitas ini diperlukan untuk menjamin
adanya kompetisi yang didesain khusus agar proses lelangnya berjalan dengan adil dan transpara'n.
Besamya nilai tawaran akan mencerminkan nilai keamanan dari suplai timber oleh pemegang

HPH dan merupakan sharing nilai stumpage dari timber yang tidak direfleksikan dalamfee hutan lainnya.

4) Harga Tegakan berbasis Volume Minimum (minimum volume-based

stumpage prices). Harga ini harus relatif tinggi sehingga mencerminkan halhal sebagai berikut: (a) biaya
administrasi untuk supervise, inspeksi, peremajaan hutan dan pengelolaan hutan, skaling dan
pengumpulan penerimaan, dan (2) nilai lingkungan dan nilai bukan pasar lainnya, biaya kesempatan
karena ditebangnya kayu. Metode ini akan mencegah penebangan kayu
dengan biaya lebih rendah dari biaya kesempatan sehingga hal itu meningkatkan eflsiensi kehutanan
secara keseluruhan.

5) Fee Konsesi Hutan berbasis Minimum Area (minimum area-basedforest

concession fees). Fee ini dimaksudkan untuk mencerminkan nilai lingkung

an dan nilai kesempatan terhadap altematif penggunaan lain dari areal hutan tropis, yang sekarang
digunakan untuk produksi timber.

Dana yang diperoleh dalam kaitannya dengan konsesi perlu diberikan porsi yang besar untuk
pengelolaan hutan terutama untuk membiayai kegiatan supervisi dan monitoring kegiatan pembalakan
dan pengelolaan hutan pada areal HPH.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka pengembangan kebijakan hutan
berkelanjutan atau lestari, dalam kaitannya dengan kebijakan

HPH, yang masih perlu diperhatikan adalah revisi dan penyempurnaannya pada berbagai tahap proses
pemberian, pelaksanaan, dan pengawasan, agar kebijakan

ini bukannya semakin memperparah deforestasi dan degradasi hutan, tetapi bisa mendorong
terwujudnya pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management). Beberapa hal yang
perlu dilakukan antara lain adalah memperkuat mekanisme kontrol, penampilan praktik dan pengelolaan
HPH di lapangan, yang kepatuhan (compliance) terhadap syarat-syarat dan ketentuan dalam perjanjian
atau kontrak, termasuk juga dalam proses pemberian alokasi dan izin HPH yang baru. Selain itu,
diperlukan juga instrumen insentif ekonomi melalui pengaturan tingkat ke, struktur fee, dan
pengumpulannya, untuk memperbaiki penampilan dan pengelolaan konsesi. Diyakim' bahwa dengan
kontrol dan pengawasan yang lebih ketat, kebijakan HPH bisa memainkan peranan penting bersama
dengan kebijakan kehutanan Iainnya dalam meningkatkan tutupan hutan (forest cover) dan mewujudkan
pengelolaan hutan berkelanjutan.

8.4.8 Sertifikasi Hutan

Salah satu instrumen kebijakan bagi pengelolaan kehutanan yang berkclanjutan (sustainable forest
management) adalah sertif’nkasi hutan (forest certification). lnstrumen ini diperkenalkan untuk
mengatasi kekhawatiran atau masalah deforestasi dan degradasi hutan dan untuk mempertahankan
keragaman hayati, khususnya di wilayah tropis. Sertiflkasi hutan mempakan proses dimana pihak kctiga
yang independen (lembaga sertit'lkasi) menilai kualitas pengelolaan hutan dalam kaitannya dengan
serangkaian persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan sebelumnya. Lembaga sertifnkasi
memberikan jaminan tertulis bahwa suatu produk atau proses yang dilakukan sudah memenuhi standar
yang ditctapkan. Sertiflkasi hutan ini mulai diperkenalkan pada tahun 1993 sebagai sustu respon berbasis
pasar untuk menjawab kekhawatiran publik terkait dengan deforestasi di daerah tropis, yang
mengakibatkan hilangnya keragaman hayati dan nendahnya kualitas pengelolaan hutan di daerah-daerah
dimana produk kayu yang diperdagangkan berasal. Pada mulanya diperjuangkan oleh kelompok
lingkungan yang kemudian berkembang pesat menjadi suatu instrumen potensial untuk mewujudkan
pengelolaan hutan berkelanjutan. Selanjutnya sertifikasi hutan telah muncul sebagai pendekatan
kebijakan nonpemerintah yang utama bagi peugelolaan hutan dimana pada dan pihak-pihak sipil
memainkan peranan yang semakin besar dalam pengembangan kelembagaan barn.

Sertiflkasi dikembangkan untuk meningkatkan pengelolaan hutan di negaranegara yang kapasitas tata
pamongnya tidak cukup untuk mengelola sumber daya alam dan menegakkan regulasi terkait, karena
sertiflkasi lebih banyak bergantung pada LSM dan perusahaan swasta (Ebeling dan Yasue, 2008). Gagasan
di balik adanya sertiflkasi adalah konsumen, khususnya yang peduli terhadap deforestasi dan degradasi
hutan, akan lebih cenderung untuk membeli produk timber atau kayu yang berasal dari kawasan hutan
yang dikelola dengan baik. Proses sertifikasi mengidentifikasikan kawasan-kawasan hutan dan produk-
produk yang bemsal dari kawasan tersebut. Melalui sertiflkasi, hutan individu tertentu dinilai
berdasarkan standar yang tersedia secara publik, dan kalau hutan tersebut memenuhi syarat maka
pemilik hutan tersebut memperoleh hak untuk memberikan label bagi produknya. Pada waktu
penjualan, label tersebut menjelaskan kepada konsumen bahwa produk hutan tersebut berasal dari
kawasan hutan yang telah memenuhi standar sosial dan lingkungan tertentu (Rametsteiner dan Simula,
2003).

Dalam konteks tersebut di atas, sertiflkasi karakteristik sosial dan lingkungan dari pm produksi suatu
produk mengemuka sebagai pendekatan berbasis pasar, nonpemerintah, transnasional yang signifikan
pada pembangunan dan regulasi lingkungan (Klooster, 2006). Sertiflkasi hutan (forest certification)
mungkin mempakan contoh tcrbaik dari suatu struktur tata pamong sukarela (voluntir) untuk mengatasi
dampak lingkungan (environmental spillovers) (Cashore et aL, 2005). Selanjutnya, penampilan sertifnkasi
bisa dilihat dari 3 ha! yaitu, (l) sebagai mekanisme berbasis pasa: dengan mcnyediakan keunggulan pasar,
(2) sebagai me
8.4.8 Sertifikasi Hutan

Salah satu instrumen kebijakan bagi pengelolaan kehutanan yang berkclanjutan (sustainable forest
management) adalah sertif’nkasi hutan (forest certification). lnstrumen ini diperkenalkan untuk
mengatasi kekhawatiran atau masalah deforestasi dan degradasi hutan dan untuk mempertahankan
keragaman hayati, khususnya di wilayah tropis. Sertiflkasi hutan mempakan proses dimana pihak kctiga
yang independen (lembaga sertit'lkasi) menilai kualitas pengelolaan hutan dalam kaitannya dengan
serangkaian persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan sebelumnya. Lembaga sertifnkasi
memberikan jaminan tertulis bahwa suatu produk atau proses yang dilakukan sudah memenuhi standar
yang ditctapkan. Sertiflkasi hutan ini mulai diperkenalkan pada tahun 1993 sebagai sustu respon berbasis
pasar untuk menjawab kekhawatiran publik terkait dengan deforestasi di daerah tropis, yang
mengakibatkan hilangnya keragaman hayati dan nendahnya kualitas pengelolaan hutan di daerah-daerah
dimana produk kayu yang diperdagangkan berasal. Pada mulanya diperjuangkan oleh kelompok
lingkungan yang kemudian berkembang pesat menjadi suatu instrumen potensial untuk mewujudkan
pengelolaan hutan berkelanjutan. Selanjutnya sertifikasi hutan telah muncul sebagai pendekatan
kebijakan nonpemerintah yang utama bagi peugelolaan hutan dimana pada dan pihak-pihak sipil
memainkan peranan yang semakin besar dalam pengembangan kelembagaan barn.

Sertiflkasi dikembangkan untuk meningkatkan pengelolaan hutan di negaranegara yang kapasitas tata
pamongnya tidak cukup untuk mengelola sumber daya alam dan menegakkan regulasi terkait, karena
sertiflkasi lebih banyak bergantung pada LSM dan perusahaan swasta (Ebeling dan Yasue, 2008). Gagasan
di balik adanya sertiflkasi adalah konsumen, khususnya yang peduli terhadap deforestasi dan degradasi
hutan, akan lebih cenderung untuk membeli produk timber atau kayu yang berasal dari kawasan hutan
yang dikelola dengan baik. Proses sertifikasi mengidentifikasikan kawasan-kawasan hutan dan produk-
produk yang bemsal dari kawasan tersebut. Melalui sertiflkasi, hutan individu tertentu dinilai
berdasarkan standar yang tersedia secara publik, dan kalau hutan tersebut memenuhi syarat maka
pemilik hutan tersebut memperoleh hak untuk memberikan label bagi produknya. Pada waktu
penjualan, label tersebut menjelaskan kepada konsumen bahwa produk hutan tersebut berasal dari
kawasan hutan yang telah memenuhi standar sosial dan lingkungan tertentu (Rametsteiner dan Simula,
2003).

Dalam konteks tersebut di atas, sertiflkasi karakteristik sosial dan lingkungan dari pm produksi suatu
produk mengemuka sebagai pendekatan berbasis pasar, nonpemerintah, transnasional yang signifikan
pada pembangunan dan regulasi lingkungan (Klooster, 2006). Sertiflkasi hutan (forest certification)
mungkin mempakan contoh tcrbaik dari suatu struktur tata pamong sukarela (voluntir) untuk mengatasi
dampak lingkungan (environmental spillovers) (Cashore et aL, 2005). Selanjutnya, penampilan sertifnkasi
bisa dilihat dari 3 ha! yaitu, (l) sebagai mekanisme berbasis pasa: dengan mcnyediakan keunggulan pasar,
(2) sebagai me

-w-uum-Ilm’ "y‘aV lllll w. -UIUIWIbIIII m".'-_..

r-

8. 4.9 Sertiftkasl Produk Hutan Non-Kayu


Particia dan Laird dalam makalahnya yang bctjudul Certification of nontimber forest products:
Limitations and implication: of a market-based comervation tool yang dipresentasikan di Bonn, Jcrman
pada tahun 2003 mengusulkan perlu adanya program sertifnkasi untuk produk-produk hutan nonkayu
(non-timber forest products-N T FP). Hal ini karena NTFP memainkan petanan penting dalam kchidupan
pedesaan di seluruh dunia dan usaha~usaha mutakhir untuk mensatifnkasi NTFP mcngundang
pertanyaan tentang dampak metodc bcrbasis pasar ini tcrhadap produsen lokal dan komunitas.

Selama dua dekade yang lalu, NTFP telah menerima perhatian yang signifnkan untuk potensi mereka
untuk mengkonservasi hutan, terutama hutan-hntan tropis, dan, melalui inisiatif pembangunan ckonomi,
meningkatkan kchidupan pedesaan. Promosi komersialisasi NTFP sebagai suatu metode atau alat
pcmbangunan pedesaan dan konservasi telah menimbulkan kontroversi, antara lain terkait dengan nilai
menyediakan cadangan ekstraktif NTFP, kelayakan pemsamn produk-produk hutan hujan dan kearifan
dalam memasukkan NTFP kc dalam strategi pcmbangunan pedcsaan.

Sejumlah sistem sertiflkasi bisa ditcrapkan untuk NTFP. Bebempa yang sudah sangat dikenal meluas yang
mcnawarkan label konsumen NTFP temasuk pengelolaan hutan berkelanjutan, adalah yaitu the Forest
Stewardship Council (FSC), the Fair Trade Labelling Organizations (FLO) dan produksi organik olch the
International F ederation of Organic Agriculture Movements (IFOAM). Sctiap sistem sertifikasi ini telah
mengembangkan standamya sendiri yang tcrfokus pada aspek-aspek yang berbeda dari produksi dan
perdagangan NTFP. Namun, usaha~ usaha inovatif untuk mengintegmsikan sistem yang berbeda tersebut
sedang dalam proses. Sebagai contoh, asesmen bersama untuk memberikan label ganda dimana para
pcm'lai dari sistcm yang berbcda melaksanakan bersama suatu audit mcng‘ gunakan pedoman dari
sistem masing-masing.

Sebenamya NTFP bukanlah suatu yang ideal untuk sertiflkasi, kmna banyak di antaranya mempunyai nilai
dan maxjin yang rcndah sehingga tidak cocok untuk skala komcrsialisasi yang hm. Beberapa yang cocok
untuk settikaasi terbatas pada beberapa spesies yang terkenal scperti palm beans, bambu, rotan,
mmpah-rempah, dan bebcrapa tanaman obat. NTFP biasanya betsifat sub

8.4.10 AMDAL Kehutanan

AMDAL adalah salah satu instrumen penting dalam bahwa kegiatan eksploitasi, produksi dan
pengelolaan sumber daya selaras dengan konsep pembangunan kehutanan berkelanjutan. Dalam
hubungan ini, untuk menjamin kernsakan hutan yang minimum akibat pembangunan, semua operasi
dan perencanaan hutan yang potensial menyebabkan dampak lingkungan, budaya, sosial ekonomi, dan
bioflsik harus didahului dengan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), seperti yang dilakukan
pada sektor pembangunan lainnya, agar pembangunan kehutanan (khususnya) kayu juga
memperhatikan dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Kegiatan yang mengacu pada regulasi ini
termasuk kegiatan yang merusak dan pengembangan perusahaan timber, agar ada altematif pengelolaan
hutan yang berwawasan lingkungan, dengan konsep pembangunan kehutanan lestari atau berkelanjutan
(sustainableforest management).

8.4.11 Metode Pembalakan Berkelanjutan

Dalam rangka merespon kondisi di mana karena alasan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan,
kegiatan pembalakan selama ini telah mengeruk sumber daya kayu atau timber tropis secara signiflkan,
sehingga penerapan MPBR dalam mengelola semua cadangan hutan komersial menekankan pada
volume pembalakan yang rendah dengan kualitas bagus, dan harga yang tinggi. Metode pembalakan
yang berwawasan lingkungan bisa menjamin pengembangan kehutanan berkelanjutan, yaitu
pemanfaatan produk kayu yang optimal yang meminimalisasi dampak

8.4.12 Pengembangan Hutan Kemasyarakatan

Pengembangan hutan berbasis masyarakat (community forestly) telah menjadi wacana dan popular baik
di negara maju maupun di negara berkembang terutama dalam satu dekade terakhir sebagai salah satu
upaya melibatkan masyarakat dalam pengembangan kehutanan lestari dan berkclanjutan. Di Australia,
misalnya, proyek pengelolaan berbasis komunitas yang disponsori pemerintah dimulai di Victoria Tengah
pada tahun 2002 (Nelson dan Pettit, 2004). Konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat telah banyak
berkembang di banyak negara walaupun dengan nama dan konsep pengelolaan yang agak berbeda. Di
Indonesia, dengan pengembangan konsep Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Agroforestri yang secara
formal dimulai pada tahun 1998, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan salah satu
terobosan dalam pengembangan pengelolaan yang lestari.

Kehutanan dengan pemilikan kecil (smallholderforestry) bisa menjadi bentuk hutan masyarakat yang bisa
memenuhi tujuan ekonomi dan lingkungan dari pembuat kebijakan dan memperoleh pengakuan seluruh
dunia (Weyerhaeuser et al., 2006). Kehutanan masyarakat (communityforestry) mengacu kepada
pengelolaan hutan yang memiliki sustainabilitas ekologis dan benefit masyarakat lokal sebagai tujuan
utama, dengan beberapa bentuk tanggung jawab dan kewenangan yang secara formal diberikan kepada
masyarakat. Hasil kajian oleh Charnley dan Poe (2007) terhadap kasus kehutanan masyarakat di Kanada,
Amerika Serikat, Meksiko, dan Bolivia menyimpulkan bahwa kehutanan masyarakat merupakan metode
dan pendekatan yang cocok bagi konservasi hutan dan pengembangan masyarakat. Namun, masih
terdapat kesenjangan yang besar antara teori dan praktiknya. Sebagai contoh, proses pendelegasian
wewenang pengelolaan hutan dari negara ke masyarakat masih parsial dan mengecewakan. Kontrol lokal
terHadap hutan tampaknya lebih fokus pada benefit ekologis daripada sosial ekonomi.

8. 4.13 Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan

Pada kasus tingkat deforestasi yang tinggi, instrumen kebijakan atgu prOgram reboisasi dan rehabilitasi
menjadi suatu pilihan kebijakan yang strafeg‘sDengan adanya kebijakan seperti itu dan kalau
dilaksanakan secara berkesmamtl bungan maka akan membantu proses pemulihan hutan, yang
dimnjukkan 01? tiIlgkat tutupan hutan (forest cover) yang semakin luas. Pemenntatox.anOne;1;;
misalnya, melaksanakan Kampanye Gerakan Konservasi dan Rehabxhtgsx La m *GERHAN (National
Regreening and Conservation Movement Campaign) 36 kampanye Gerakan Penanaman sejuta pohon
per tahun.

Gerakan Konservasi dan Rehabilitasi Lahan (GERHAN) dianggap terOv


bosan baru untuk ditumbuhkembangkan di masyarakat. Dari pengalaman dan komentar pengamat,
pelaksanaannya menemukan banyak permasalahan antara lain:

1)

2)

3)

4)

5)
Proses pelaksanaan lamban, yang realisasinya sering dilakukan setelah hampir berakhir musim hujan
sehingga pelaksanaan dan pemeliharaan tanaman penghijauan tidak optimal sehingga mengurangi
tingkat keberhasilan. Hal ini karena birokrasi baik administrasi maupun maupun manajemen proyek
bekerja lamban.

Kelembagaan yang memelihara atau mengelola lebih lanjut pascatanam terutama dalam hal mekanisme
kerja, hak-hak dan kewajiban belum Optimal.

Keberlanjutannya belum diatur dengan jelas terutama kaitannya dengan

model pengelolaan dan sistem property rights (pemilikan atau penguasaan lahan).

Penegakan aturan atau hukum yang telah disepakati belum efektif dan eflsien.

Kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam ikut memelihara dan menjaga masih rendah.
". " .' .-‘ ---_-_A-:nbn‘a mnmku-A§ ‘rnk;:nlrnn Ann nmnnonm ‘Inh‘lr

Anda mungkin juga menyukai