Anda di halaman 1dari 26

Skenario

Bencana, Ujian atau Hukuman?


Gempa bumi berkekuatan 7,9SR menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang
banyak di Kota Raja. Drg Resti bersama Petugas Ali dari DINKES Provinsi di bagian
penanggulangan bencana ikut bergabung dengan tim yang ada di posko penanggulangan
bencana. Tampak kesibukan petugas mengumpulkan data-data korban maupun
menginventarisir bantuan yang masuk. Drg Resti melihat berbagai macam satgas seperti
SAR, TAGANA, tim URC, dll, bekerja dan bergerak begitu cekatan dan tertib. Ali
menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena sudah disiapkannya mitigasi dan rencana
kontijensi bencanan disertai dengan adanya kebijakan pemerintah daerah dan pusat dalam
pelaksanaannya. Semuanya ditata dan dilaksanakan dalam suatu manajemen bencana
yang terpadu dan telah disiapkan sejak lama mulai dari pra bencana, saat bencana, dan
pasca bencana.
Bagaimana saudara menjelaskan penanganan manajemen bencana yang tepat?

Terminologi
1. Mitigasi : aktivitas atau upaya yang berperan mengurangi korban dalam
bencana,baik upaya secara fisik maupun pembekalan kemampuan menghadapi
resiko.
2. Kontijensi : proses manajemen (perencanaan) untuk menganalisa suatu
keadaan dalam menghadapi bencana yang kejadiannya tidak terduga atau
perubahannya cepat.
3. URC : tim reaksi cepat untuk menanggulangi bencana sehingga
mengurangi dampak bencana.
4. SAR : tim kegiatan kemanusiaan secara sukarela oleh indivdu yang
terlatih untuk memberikan pertolongan terhadap korban musibah secara
cepat,tepat, dan efisien.
5. Tagana : wadah generasi muda di lingkungan masyarakat yang bergerak
dalam bidang sosial terutama dalam menghadapi bencana.

Masalah
1. Apa saja prinsip penanggulangan bencana?
2. Bagaimana prosedur atau tahapan manajemen bencana (pra, saat,dan pasca)?
3. Apa saja kebijakan pemerintah terhadap penanggulangan bencana?
Page | 1
4. Apa perbedaan SAR, Tagana, URC?
5. Apa saja satgas selain yang di skenario?
6. Apa saja kegiatan yang dilakukan dalam mitigasi?
7. Apa guna kontijensi dan bagaimana tahap penyusunan kontijensi?
8. Apa hubungan antara mitigasi dan kontijensi?
9. Siapa pihak yang berwenang mengatur mitigasi dan kontijensi?

Analisa Masalah
1. Prinsip penanggulangan bencana:
 Koordinasi dan komunikasi
 Pendekatan komprehensif
 Kontrol kebijakan oleh UU
 Cepat dan tepat
 Prioritas penyelamatan kemanusiaan
2. Prosedur atau tahapan manajemen bencana:

Pra Bencana Saat Bencana Pasca Bencana

• tidak terjadi bencana: • tanggap lokasi • rehabilitasi


• perencanaan bencana • recovery
• pengurangan resiko • status bencana
• pencegahan
• pendidikan
• potensi bencana:
• pelatihan siap siaga
• mitigasi
• anggaran APBD

3. Kebijakan pemerintah terhadap penanggulangan bencana:


 UUD 1945 No.24 Th.2002 tentang penanggulangan bencana
 PP 21 Th.2008 Pasal 1
 PP 22 Th.2008 tentang pendanaan
 PP 22 Th.2008 tentang peran serta lembaga internasional
4. Perbedaan SAR, Tagana, URC:

Page | 2
Tagana SAR URC

• berasal dari • penanggulangan • mengurangi danpak


masyarakat setelah bencana secara cepat
• pemberian terhadap pencarian
pemahaman bahwa korban
bencana bagian dari • relawan yang telah
kehidupan terlatih
• membantu
penyelidikan

5. Satgas selain yang di skenario:


 Satgas reaksi cepat: SAR, pemadam kebakaran, TNI.
 Satgas ruang hidup: unit kebersihan, unit penghijauan
6. Kegiatan yang dilakukan dalam mitigasi:
 Pengenalan dan pemantauan
 Pengembangan budaya bencana
 Pengenalan ancaman bencana
 Pembuatan tanda bahaya
 Pembuatan pendanaan
7. Manfaat dan tahap penyusunan kontijensi:
 Pedoman jika terjadi bencana untuk memudahkan mobilisasi
 Penilaian resiko bencana wilayah
 Untuk membuta kebijakan atau tujuan
 Analisis kesenjangan
8. Hubungan antara mitigasi dan kontijensi:
Kontijensi berupa rencana analisis yang diimplementasikan dengan mitigasi.
9. Pihak yang berwenang mengatur mitigasi dan kontijensi:
 Nasional  BNPB
 Daerah  BNPBD

Page | 3
Skema

Gempa bumi 7,9 SR

Menimbulkan kerusakan
dan korban jiwa

Drg.Resti dan petugas Ali Tim tanggap SAR,


dari dinkes prov. bergabung TAGANA, URC

Mengumpulkan data
korban

Sebelumnya telah diatur oleh


MANAJEMEN kebijakan, mitigasi dan
BENCANA kontijensi

Tujuan Pembelajaran
Pra bencana Pasca bencana
I. Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Kebijakan Pemerintah dalam
Penanggulangan Bencana Saat bencana
II. Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Manajemen Bencana ( Pra, Saat,
dan Pasca)
III. Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Rencana Mitigasi
IV. Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Rencana Kontijensi
V. Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Satuan Tugas Bencana

LO I. Kebijakan Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana


UU RI Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
 BAB I KETENTUAN UMUM
 Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Page | 4
1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.
3. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
4. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antarkelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
 BAB II
 Pasal 3
Penanggulangan bencana berasaskan:
a. kemanusiaan;
b. keadilan;
c. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
d. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian;
e. ketertiban dan kepastian hukum;
f. kebersamaan;
g. kelestarian lingkungan hidup
h. ilmu pengetahuan dan teknologi.
 Pasal 4
Penanggulangan bencana bertujuan untuk:
a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman
bencana;

Page | 5
b. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
c. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh;
d. menghargai budaya lokal;
e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan
kedermawanan; dan menciptakan perdamaian dalam kehidupan
bermasyarakat,
g. berbangsa, dan bernegara.
 BAB III
 Pasal 6
Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana meliputi:
a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko
bencana dengan program pembangunan
b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang
terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan
minimum;
d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;
e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;
f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk
dana siap pakai; dan
g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman
dan dampak bencana.
 Pasal 7
Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
meliputi:
a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan
kebijakan pembangunan nasional;

Page | 6
b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-
unsur kebijakan penanggulangan bencana; penetapan status dan
tingkatan bencana nasional dan daerah;
c. penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana
dengan negara lain, badan-badan, atau pihakpihak internasional
lain;
d. perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang
berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana;
e. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan
f. pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam
untuk melakukan pemulihan; dan
g. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang
berskala nasional.

Kebijakan Provinsi Sumatra Barat Dalam Penanggulangan Bencana


 UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana
 PP 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan, PP 22/2008 tentang
Pendanaan, PP 23/2008 tentang peran serta lembaga internasional dan asing
 Kepmenkes 1227/2007 tentang regionalisasi
 Kepmenkes 1228/2007 tentang Sumatera Barat sebagai Sub Regional
 PERDA 5/2007 tentang Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumatera
Barat
 SK Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat No. 360/10/P2B/VI/2011
tentang Tim Penanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Barat

Peraturan Kepala BNPB


 Perka No. 1 Tahun 2008 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Nasional
Penanggulangan Bencana
 Perka No. 3 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah
 Perka No. 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana
 Perka No. 6 Tahun 2008tentang Pedoman Penggunaan Dana Siap Pakai

Page | 7
 Perka No. 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Tata Cara Pemberian Bantuan
Pemenuhan Kebutuhan Dasar
 Perka No. 8 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pemberian Dan Besaran Bantuan
Santunan Duka Cita
 Perka No. 9 Tahun 2008 Tentang Prosedur Tetap Tim Reaksi Cepat Banan
Nasional Penanggulangan Bencana
 Perka No. 10 Tahun 2008 Tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana
 Perka No. 11 Tahun 2008 Tentang Pedoman Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Pasca
Bencana
 Perka No. 12 Tahun 2008 Tentang Kajian Pembentukan Dan Penyelenggaraan
Unit Pelaksana Teknis
 Perka No. 13 Tahun 2008 Tentang Pedoman Manajemen Logistik Dan Peralatan
Penanggulangan Bencana
 Perka No. 3 Tahun 2010 Tentang Rencana Nasional Penanggulangan Bencana
2010-2014
 Perka No. 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko
Bencana 2010-2012

Page | 8
LO II. Manajemen Bencana ( Pra, Saat, dan Pasca)
Model Manajemen Bencana
Bencana adalah hasil dari munculnya kejadian luar biasa (hazard) pada komunitas yang
rentan (vulnerable) sehingga masyarakat tidak dapat mengatasi berbagai implikasi dari
kejadian luar biasa tersebut. Manajemen bencana pada dasarnya berupaya untuk
menghindarkan masyarakat dari bencana baik dengan mengurangi kemungkinan
munculnya hazard maupun mengatasi kerentanan. Terdapat lima model manajemen
bencana yaitu:
 Disaster management continuum model. Model ini mungkin merupakan model
yang paling popular karena terdiri dari tahap-tahap yang jelas sehingga lebih
mudah diimplementasikan. Tahap-tahap manajemen bencana di dalam model ini
meliputi emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation,
preparedness, dan early warning.
 Pre-during-post disaster model. Model manajemen bencana ini membagi tahap
kegiatan di sekitar bencana. Terdapat kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan
sebelum bencana, selama bencana terjadi, dan setelah bencana. Model ini
seringkali digabungkan dengan disaster management continuum model.
 Contract-expand model. Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada
pada manajemen bencana (emergency, relief, rehabilitation, reconstruction,
mitigation, preparedness, dan early warning) semestinya tetap dilaksanakan pada
daerah yang rawan bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana
adalah pada saat bencana tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency dan
relief) sementara tahap yang lain seperti rehabilitation, reconstruction, dan
mitigation kurang ditekankan.
 The crunch and release model. Manajemen bencana ini menekankan upaya
mengurangi kerentanan untuk mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan
maka bencana akan juga kecil kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.
 Disaster risk reduction framework. Model ini menekankan upaya manajemen
bencana pada identifikasi risiko bencana baik dalam bentuk kerentanan maupun
hazard dan mengembangkan kapasitas untuk mengurangi risiko tersebut.

Page | 9
Terkait dengan manajemen penanggulangan bencana, maka UU No. 24 tahun 2007
menyatakan “Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi”. Rumusan penanggulangan
bencana dari UU tersebut mengandung dua pengertian dasar yaitu:
 Penanggulangan bencana sebagai sebuah rangkaian atau siklus.
 Penanggulangan bencana dimulai dari penetapan kebijakan pembangunan yang
didasari risiko bencana dan diikuti tahap kegiatan pencegahan bencana, tanggap
darurat, dan rehabilitasi.
Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 24 tahun 2007 secara
skematis dapat digambarkan sebagai berikut:

Page | 10
Kebijakan Manajemen Bencana
Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan manajemen bencana mengalami beberapa
perubahan kecenderungan seperti dapat dilihat dalam tabel. Beberapa kecenderungan
yang perlu diperhatikan adalah:
 Konteks politik yang semakin mendorong kebijakan manajemen bencana menjadi
tanggung jawab legal.
 Penekanan yang semakin besar pada peningkatan ketahanan masyarakat atau
pengurangan kerentanan.
 Solusi manajemen bencana ditekankan pada pengorganisasian masyarakat dan
proses pembangunan.
Dalam penetapan sebuah kebijakan manajemen bencana, proses yang pada umumnya
terjadi terdiri dari beberapa tahap, yaitu penetapan agenda, pengambilan keputusan,
formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Di dalam kasus
Indonesia, Pemerintah Pusat saat ini berada pada tahap formulasi kebijakan (proses
penyusunan beberapa Peraturan Pemerintah sedang berlangsung) dan implementasi
kebijakan (BNPB telah dibentuk dan sedang mendorong proses pembentukan BPBD di
daerah). Sementara Pemerintah Daerah sedang berada pada tahap penetapan agenda dan
pengambilan keputusan. Beberapa daerah yang mengalami bencana besar sudah
melangkah lebih jauh pada tahap formulasi kebijakan dan implementasi kebijakan.
Kebijakan manajemen bencana yang ideal selain harus dikembangkan melalui proses
yang benar, juga perlu secara jelas menetapkan hal-hal sebagai berikut:
 Pembagian tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
 Alokasi sumberdaya yang tepat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta antara
berbagai fungsi yang terkait.
 Perubahan peraturan dan kelembagaan yang jelas dan tegas.
 Mekanisme kerja dan pengaturan antara berbagai portofolio lembaga yang terkait
dengan bencana.

Pada Pra Bencana


Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :
1. Dalam situasi tidak terjadi bencana
Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang berdasarkan
analisis kerawanan bencana pada periode waktu tertentu tidak menghadapi

Page | 11
ancaman bencana yang nyata. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam
situasi tidak terjadi bencana meliputi :
a. perencanaan penanggulangan bencana;
b. pengurangan risiko bencana;
c. pencegahan;
d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
e. persyaratan analisis risiko bencana;
f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
g. pendidikan dan pelatihan; dan
h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
2. Situasi Terdapat Potensi Bencana
Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan kesiap siagaan, peringatan dini dan
mitigasi bencana dalam penanggulangan bencana.
a. Kesiapsiagaan
b. Peringatan Dini
c. Mitigasi Bencana
Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan multi
stakeholder, oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi koordinasi.
Saat Tanggap Darurat
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:
1. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya;
2. penentuan status keadaan darurat bencana;
3. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
4. pemenuhan kebutuhan dasar;
5. perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
6. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Pasca Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana meliputi:
1. rehabilitasi; dan
2. rekonstruksi.

Page | 12
LO III. Rencana Mitigasi
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Bencana sendiri adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dapat berupa
kebakaran, tsunami, gempa bumi, letusan gunung api, banjir, longsor, badai tropis, dan
lainnya. Kegiatan mitigasi bencana di antaranya:
a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
c. pengembangan budaya sadar bencana;
d. penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana;
e. identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana;
f. pemantauan terhadap pengelolaan sumber daya alam;
g. pemantauan terhadap penggunaan teknologi tinggi;
h. pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup
i. kegiatan mitigasi bencana lainnya. Robot sebagai perangkat bantu manusia, dapat
dikembangkan untuk turut melakukan mitigasi bencana. Robot mitigasi bencana bekerja
untuk mengurangi resiko terjadinya bencana.
Tujuan Mitigasi
Tujuan utama (ultimate goal) dari Mitigasi Bencana adalah sebagai berikut :
1. Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya
bagi penduduk, seperti korban jiwa (kematian), kerugian ekonomi
(economy costs) dan kerusakan sumber daya alam.
2. Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan.
3. Meningkatkan pengetahuan masyarakat (public awareness) dalam
menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga
masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman (safe).
Jenis _ Jenis Mitigasi
Secara umum, dalam prakteknya mitigasi dapat dikelompokkan ke dalam mitigasi
struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan usaha-
Page | 13
usaha pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi non struktural antara lain
meliputi perencanaan tata guna lahan disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan
memberlakukan peraturan (law enforcement) pembangunan. Dalam kaitan itu pula,
kebijakan nasional harus lebih memberikan keleluasan secara substansial kepada daerah-
daerah untuk mengembangkan sistem mitigasi bencana yang dianggap paling tepat dan
paling efektif-efisien untuk daerahnya.
 Mitigasi Struktural
Mitigsasi struktural merupakan upaya untuk meminimalkan bencana yang dilakukan
melalui pembangunan berbagai prasarana fisik dan menggunakan pendekatan teknologi,
seperti pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi aktivitas
gunung berapi, bangunan yang bersifat tahan gempa, ataupun Early Warning System
yang digunakan untuk memprediksi terjadinya gelombang tsunami.
Mitigasi struktural adalah upaya untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap
bencana dengan cara rekayasa teknis bangunan tahan bencana. Bangunan tahan bencana
adalah bangunan dengan struktur yang direncanakan sedemikian rupa sehingga bangunan
tersebut mampu bertahan atau mengalami kerusakan yang tidak membahayakan apabila
bencana yang bersangkutan terjadi. Rekayasa teknis adalah prosedur perancangan struktur
bangunan yang telah memperhitungkan karakteristik aksi dari bencana.
 Mitigasi Non-Struktural
Mitigasi non-struktural adalah upaya mengurangi dampak bencana selain dari upaya
tersebut di atas. Bisa dalam lingkup upaya pembuatan kebijakan seperti pembuatan suatu
peraturan. Undang-Undang Penanggulangan Bencana (UU PB) adalah upaya non-
struktural di bidang kebijakan dari mitigasi ini. Contoh lainnya adalah pembuatan tata
ruang kota, capacity building masyarakat, bahkan sampai menghidupkan berbagaia
aktivitas lain yang berguna bagi penguatan kapasitas masyarakat, juga bagian ari mitigasi
ini. Ini semua dilakukan untuk, oleh dan di masyarakat yang hidup di sekitar daerah
rawan bencana.
Kebijakan non struktural meliputi legislasi, perencanaan wilayah, dan asuransi. Kebijakan
non struktural lebih berkaitan dengan kebijakan yang bertujuan untuk menghindari risiko
yang tidak perlu dan merusak. Tentu, sebelum perlu dilakukan identifikasi risiko terlebih
dahulu. Penilaian risiko fisik meliputi proses identifikasi dan evaluasi tentang
kemungkinan terjadinya bencana dan dampak yang mungkin ditimbulkannya.
Kebijakan mitigasi baik yang bersifat struktural maupun yang bersifat non struktural
harus saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Pemanfaatan teknologi untuk
Page | 14
memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana harus
diimbangi dengan penciptaan dan penegakan perangkat peraturan yang memadai yang
didukung oleh rencana tata ruang yang sesuai. Sering terjadinya peristiwa banjir dan
tanah longsor pada musim hujan dan kekeringan di beberapa tempat di Indonesia pada
musim kemarau sebagian besar diakibatkan oleh lemahnya penegakan hukum dan
pemanfaatan tata ruang wilayah yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar.
Teknologi yang digunakan untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko
terjadinya suatu bencana pun harus diusahakan agar tidak mengganggu keseimbangan
lingkungan di masa depan.

Asas dan Prinsip Dasar


Secara umum, Kebijaksanaan Penanggulangan Bencana di Indonesia didasarkan pada
asas-asas sebagai berikut :
1. Kebersamaan dan kesukarelaan
2. Koordinasi dan Intergrasi
3. Kemandirian
4. Cepat dan tepat
5. Prioritas
6. Kesiapsiagaan
7. Kesemestaan

Dalam penyusunan strategi nasional mengenai mitigasi bencana terdapat beberapa prinsip
yang harus dipertimbangkan untuk dijadikan dasar penyusunan kebijaksanaan. Sebagai
contoh beberapa prinsip yang digunakan Federal Emergency Management Agency
(FEMA) dalam konteks Indonesia dapat digunakan, yaitu
Langkah/kegiatan untuk mengurangi dampak/resiko dari bencana:
1. Diutamakan untuk keberhasilan ekonomi jangka panjang secara
keseluruhan
2. Sejalan (compatible) dengan bencana lain
3. Dievaluasi agar diperoleh hasil terbaik
4. Sejalan dengan bencana teknologi
5. Bersifat lokal
6. Penekanan pada mitigasi pro-aktif, sebelum tanggap-darurat

Page | 15
7. Identifikasi bahaya (Hazard Identification) dan penilaian resiko (Risk
Assesment)
8. Kerjasama pemerintah, baik pusat maupun daerah, dengan pihak swasta
9. Sejalan dengan perlindungan/pelestarian sumberdaya alam/lingkungan
10. Pihak yang memilih untuk memperkirakan resiko yang lebih besar harus
bertanggungjawab atas pilihan tersebut
Beberapa pertimbangan dalam menyusun program mitigasi, khususnya di Indonesia
adalah :
1. Mitigasi bencana harus diintegrasikan dengan proses pembangunan
2. Fokus bukan hanya dalam mitigasi bencana tapi juga pendidikan, pangan,
tenaga kerja, perumahan dan kebutuhan dasar lainnya
3. Sinkron terhadap kondisi sosial, budaya serta ekonomi setempat
4. Dalam sektor informal, ditekankan bagaimana meningkatkan kapasitas
masyarakat untuk membuat keputusan, menolong diri sendiri dan
membangun sendiri
5. Menggunakan sumber daya dan dana lokal (sesuai prinsip desentralisasi)
6. Mempelajari pengembangan konstruksi rumah yang aman bagi golongan
masyarakat tidak mampu, dan pilihan subsidi biaya tambahan membangun
rumah
7. Mempelajari teknik merombak (pola dan struktur) pemukiman
8. Mempelajari tata guna lahan untuk melindungi masyarakat yang tinggal di
daerah yang rentan bencana dan kerugian, baik secara sosial, ekonomi,
maupun implikasi politik
9. Mudah dimengerti dan diikuti oleh masyarakat

Page | 16
LO IV. Rencana Kontijensi
Pedoman Perencanaan Kontinjensi yang dikembangkan oleh IASC (The Inter-Agency
Standing Committee) , Federasi Internasional, dan BNPB.
Ketiga lembaga merangkum bahwa Rencana Kontinjensi sebaiknya dicirikan oleh
prinsip-prinsip berikut:
 Proses pengembangan rencana adalah partisipatif
 Rencana itu berfokus pada bahaya tunggal
 Rencana itu berdasarkan scenario
 Skenario dan tujuan dikembangkan sebagai suatu kesepakatan bersama, sebagai
hasil konsesus umum.
 Rencana itu tidak bersifat rahasia/tertutup
 Peran & tanggung jawab harus diidentifikasi
 Rencana itu dibuat untuk menangani keadaan darurat
Ketiga organisasi di atas memasukkan aspek-aspek berikut dalam proses perencanaan
kontinjensi:
 Menganalisis potensi kedaruratan;
 Mnganalisis potensi dampak kemanusiaan dan konsekuensi kedaruratan yang
teridentifikasi;
 Menyusun tujuan, strategi, kebijakan dan prosedur yang jelas dan menegaskan
tindakan kritis yang harus diambil guna menanggapi suatu kedaruratan, dan;
Memastikan bahwa kesepakatan terekam dan tindakan yang perlu diambil guna
menyempurnakan kesiapsiagaan.

Proses IASC berfokus lebih pada kolaborasi antarlembaga, baik dalam penyusunan
rencana maupun dalam penerapan. Modelnya terdiri atas enam langkah:

1. Menyiapkan dan Menyelenggarakan Proses Perencanaan Kontinjensi. Sasaran


dibatasi dan peran serta ditentukan, jadwal ditetapkan, serta tugas dan tanggung
jawab didokumentasi.

Page | 17
2. Analisis Bahaya dan Risiko, Penyusunan Skenario, Pengembangan Asumsi
Perencanaan. Analisis tersebut dikembangkan untuk memberikan perencana
pemahaman yang kuat tentang bahaya yang dihadapi masyarakat, dan dampaknya.
3. Menentukan Tujuan dan Strategi Tanggapan. Skenario lalu dikembangkan, yang
digunakan untuk menetapkan tujuan dan intervensi strategi.
4. Menentukan Pengaturan Manajemen dan Koordinasi untuk Tanggap
Kemanusiaan. Disini, manajemen dan mekanisme koordinasi ditetapkan.
5. Mengembangkan Rencana Tanggapan. Rencana tanggapan dikembangkan, yang
mana di dalam konteks IASC biasanya berarti bahwa masing-masing sektor atau
gugus mengembangkan rencana atau program layanan khusus yang diyakini perlu,
sesuia dengan skenario yang telah disepakati bersama.
6. Menerapkan Kesiapsiagaan. Akhirnya, rencana-rencana tanggapan setiap sektor
dan badan dikonsolidasikan dan diperiksa untuk memastikan bahwa rencana
mereka konsisten dengan tujuan dan strategi keseluruhan, dan dengan tugas dan
tanggung jawab yang sudah ditetapkan di langkah sebelumnya.

Proses Federasi Internasional berfokus pada penyusunan rencana bersama, berbagi dan
menyilang informasi di antara sektor, serta berfokus pada koordinasi, dan kerjasama.
Sektor-sektor utama yang dirujuk oleh Federasi Internasional adalah kesehatan, pangan
dan gizi, bantuan kedaruratan, mta-pencaharian, naungan, air/sanitasi, dan peningkatan
higiene, keselamatan, keamanan, dan perlindungan.Modelnya terdiri atas enam langkah:

1. Penyusunan rencana bencana kelembagaan. Menentukan mandat kelembagaan,


serta kerangka kebijakan dan hukum yang akan menjadi dasar bagi anggota
Federasi Internasional untuk rencana tanggapan dan kontinjensi.
2. Analisis Bahaya dan Risiko, Penyusunan Skenario, Pengembangan Asumsi
Perencanaan. Analisis tersebut dikembangkan untuk memberikan perencana
pemahaman yang kuat tentang bahaya yang dihadapi masyarakat, dan dampaknya.
3. Identifikasi dan pengerahan sumber daya. Mengenali secara terinci potensi
kebutuhan kemanusiaan, tindakan dan sumber daya yang dibutuhkan (yang

Page | 18
mencakup kapasitas, kemampuan, dan ketersediaan sumber daya), serta kendala
dan kesenjangan.
4. Peringatan dini, sistem peringatan, dan pemicu. Peringatan dini digunakan sebagai
informasi dasar, khususnya untuk pengembangan skenario. Penafsiran yang hati-
hati atas tanda-tanda peringatan dini dibutuhkan untuk memverifikasi informasi
dan menganalisis implikasi guna membenarkan inisiasi atau implementasi rencana
kontinjensi yang mencakup potensi strategi tanggap bencana dan prosedur operasi
standar (SOP).
5. Saling kerjasama dan komunikasi. Penyusunan rencana bersama, berbagi dan
menyilang informasi di antara sektor-sektor, koordinasi, serta kerjasamaadalah
esensial, karena semua sektor saling mengait dan mempengaruhi.
6. Tanggung jawab di antara sektor-sektor. perencanaan tanggap bencana dan
kontinjensi perlu berisi rangkuman mengenai cara kebutuhan dan fungsi di antara
sektor-sektor akan ditangani, termasuk di dalamnya pembagian tugas dan
tanggung jawab, persiapan kelembagaan, tindak lanjut, evaluasi, dan
pemutakhiran rencana

Proses B)PB berfokus pada kelompok kerja yang terdiri atas berbagai perwakilan
masyarakat dan pemerintah sebagai bentuk nyata akan tanggung jawab bersama antara
pemerintah dan masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana. Modelnya terdiri atas tujuh
langkah:
1. Analisis risiko. Tahap ini melakukan pengumpulan informasi yang cukup
mengenai bahaya, risiko, dan kerentanan yang terkait dengan kejadian kedaruratan
yang diprediksikan.
2. Asumsi Kejadian. Menentukan akar penyebab kejadian, cara kejadian akan
berlangsung dan gejala yang dapat diamati yang akan mengisyaratkan kejadian
yang akan terjadi.
3. Pengembangan skenario. Beberapa skenario dikembangkan dengan
mempertimbangkan berbagai bentuk kejadian darurat yang diramalkan
menggunakan dimensi-dimensi waktu, ruang, dan magnitut sebagai parameter.
Skenario ini harus juga memproyeksikan dampak bencana pada nyawa manusia,
perumahan, harta benda, nafkah, dan infrastruktur serta kejadian pemicu terkait
dan ambang atau threshold untuk pengaktifan sistem tanggap darurat.

Page | 19
4. Identifikasi Kebijakan & Strategi. Kegiatan tanggap bahaya dan kontinjensi
memerlukan sebuah visi. Pada tingkat nasional, terdapat kebijakan dasar untuk
penanggulangan bencana yang juga memberikan platform yang dibutuhkan bagi
perencanaan kontinjensi. Beberapa contoh mencakup Keputusan Presiden Nomor
03/2001 dan Undang-Undang Nomor 24/2007.
5. Analisis Kesenjangan. Tahap ini berfokus pada analisis dan pengaturan di antara
sektor-sektor, menjawab pertanyaan tentang penampilan setiap sector saat
kedaruratan terjadi, menetapkan tujuan sektor, menentukan indikator di antara
sektor, menentukan kebutuhan dengan membandingkan sumber daya yang ada
dengan kebutuhan yang diproyeksikan, dan menggambar bagan arus untuk
kegiatan sektor dan cara tugas-tugas disebarkan kepada anggota sektor.
6. Perumusan rencana ke depan. Tahap ini merupakan rangkaian konsolidasi mulai
dari menyusun draf sampai merampungkan Rencana Kontinjensi. Rencana
kontinjensi yang baik harus membatasi tugas dan fungsi dan memperjelasnya
sedini mungkin.
7. Pengesahan dan Pengaktifan. Rencana akhir harus diserahkan kepada otoritas
yang terkait, yakni kepada Kepala BPBD, Walikota, dan DPRD. Pengesahan
sedemikian sangat penting untuk memastikan komitmen kelembagaan dari para

Page | 20
pihak yang terlibat dan menjadikan rencana kerja tidak sekedar bersifat akademis
tetapi menjadi rencana tindakan resmi. Sama pentingnya adalah bahwa
pengesahan ini akan memberikan pembenaran bagi otoritas local dimana di dalam
situasi kedaruratan, jumlah sumber daya yang sudah direncanakan bisa
dikeluarkan dengan segera. Pengesahan resmi juga akan mendorong otoritas
memandang rencana dengan sungguh-sungguh dan berperan serta dalam
pemantauan peringatan dini serta pernyataan keadaan darurat nantinya, jika
diperlukan.

Page | 21
LO V. Satuan Tugas Bencana
Search and Rescue Unit (SAR)
Sistem SAR di Indonesia diadopsi dari ketentuan yang berlaku bagi seluruh negara
yang menjadi anggota IMO (International Maritime Organization) dan ICAO
(International Civil Aeronautical Organization). Diagram di bawah ini
menggambarkan Sistem SAR yang menjadi acuan kerja Basarnas.

Komponen SAR (SAR components)


Dalam penyelenggaraan operasi SAR, ada 5 komponen SAR yang merupakan bagian
dari sistem SAR yang harus dibangun kemampuannya, agar pelayanan jasa SAR dapat
dilakukan dengan baik. Komponen-komponen tersebut antara lain:
 Organisasi (SAR Organization), merupakan struktur organisasi SAR, meliputi
aspek pengerahan unsur, koordinasi, komando dan pengendalian, kewenangan,
lingkup penugasan dan tanggung jawab penanganan musibah.
 Komunikasi (Communication), sebagai sarana untuk melakukan fungsi deteksi
adanya musibah, fungsi komando dan pengendalian operasi dan koordinasi
selama operasi SAR.
 Fasilitas (SAR Facilities), adalah komponen unsur, peralatan/perlengkapan
serta fasilitas pendukung lainnya yang dapat digunakan dalam operasi/misi
SAR.

Page | 22
 Pertolongan Darurat (Emergency Cares), adalah penyediaan peralatan atau
fasilitas perawatan darurat yang bersifat sementara ditempat kejadian, sampai
ketempat penampungan atau tersedianya fasilitas yang memadai.
 Dokumentasi (Documentation), berupa pendataan laporan, analisa serta data
kemampuan operasi SAR guna kepentingan misi SAR yang akan datang.
Tingkatan Keadaan Darurat (Emergency Phases):
a. Uncertainty Phase (Incerfa)
Adalah suatu keadaan darurat yang ditunjukkan dengan adanya keraguan mengenai
keselamatan jiwa seorang karena diketahui kemungkinan mereka dalam
menghadapi kesulitan.
b. Alert Phase (Alerfa)
Adalah suatu keadaan darurat yang ditunjukkan dengan adanya kekhawatiran
mengenai keselamatan jiwa seseorang karena adanya informasi yang jelas bahwa
mereka menghadapi kesulitan yang serius yang mengarah pada kesengsaraan
(distress).
c. Distress Phase (Detresfa)
Adalah suatu keadaan darurat yang ditunjukkan bila bantuan yang cepat sudah
dibutuhkan oleh seseorang yang tertimpa musibah karena telah terjadi ancaman
serius atau keadaan darurat bahaya. Berarti, dalam suatu operasi SAR informasi
musibah bias ditunjukkan tingkat keadaan darurat dan dapat langsung pada tingkat
Detresfa yang banyak terjadi.
Tahap Penyelenggaraan Operasi SAR (SAR Stages)
1. Tahap menyadari (awareness stage)
Adalah kekhawatiran bahwa suatu keadaan darurat diduga akan muncul (saat
disadarinya terjadi keadaan darurat/musibah).
2. Tahap tindak awal (initial action stage)
Adalah tahap seleksi informasi yang diterima, untuk segera dianalisa dan
ditetapkan. Berdasarkan informasi tersebut, maka keadaan darurat saat itu
diklasifikasikan sebagai:
3. Tahap perencanaan (planning stage)
Yaitu saat dilakukan suatu tindakan sebagai tanggapan (respon) terhadap keadaan
sebelumnya, antara lain:

Page | 23
• Search Planning Event (tahap perencanaan pencarian).
• Search Planning Sequence (urutan perencanaan pencarian).
• Degree of Searching Planning (tingkatan perencanaan pencarian).
• Search Planning Computating (perhitungan perencanaan pencarian).
4. Tahap operasi (operation stage)
Detection Mode/Tracking Mode and Evacuation Mode, yaitu seperti dilakukan
operasi pencarian dan pertolongan serta penyelamatan korban secara fisik. Tahap
operasi meliputi:
• Fasilitas SAR bergerak ke lokasi kejadian.
• Melakukan pencarian dan mendeteksi tanda-tanda yang ditemui yang
diperkirakan ditinggalkan survivor (Detection Mode).
• Mengikuti jejak atau tanda-tanda yang ditinggalkan survivor (Tracking Mode).
• Menolong/ menyelamatkan dan mengevakuasi korban (Evacuation Mode),
dalam hal ini memberi perawatan gawat darurat pada korban yang
membutuhkannya dan membaw korban yang cedera kepada perawatan yang
memuaskan (evakuasi).
• Mengadakan briefing kepada SRU.
• Mengirim/ memberangkatkan fasilitas SAR.
• Melaksanakan operasi SAR di lokasi kejadian.
• Melakukan penggantian/ penjadualan SRU di lokasi kejadian.
5. Tahap pengakhiran (conclusion stage)
Merupakan tahap akhir operasi SAR, meliputi penarikan kembali SRU dari
lapangan ke posko, penyiagaan kembali tim SAR untuk menghadapi musibah
selanjutnya yang sewaktu-waktu dapat terjadi, evaluasi hasil kegiatan, mengadaan
pemberitaan (Press Release) dan menyerahkan jenasah korban/ survivor kepada
yang berhak serta mengembalikan SRU pada instansi induk masing-masing dan
pada kelompok masyarakat.

Tim Reaksi Cepat


Tim Reaksi Cepat BNPB disingkat TRC BNPB adalah suatu Tim yang dibentuk oleh
Kepala BNPB, terdiri dari instansi/lembaga teknis/non teknis terkait yang bertugas
melaksanakan kegiatan kaji cepat bencana dan dampak bencana pada saat tanggap darurat
meliputi penilaian kebutuhan (Needs Assessment), penilaian kerusakan dan kerugian

Page | 24
(Damage and Loses Assessment) serta memberikan dukungan pendampingan (membantu
SATKORLAK PB/BPBD Provinsi/ SATLAK PB/BPBD Kabupaten/Kota) dalam
penanganan darurat bencana.

Tagana
 Tagana adalah relawan dari masyarakat yang memiliki kepedulian dan aktif dalam
penanggulangan bencana bidang bantuan sosial
 Tagana merupakan perwujudan dari penanggulangan bencana bidang bantuan
sosial berbasis masyarakat
Anggota TAGANA:
1. Anggota Tagana adalah seluruh warga negara Indonesia pria dan wanita yang
berumur 18 s.d 45 tahun disebut anggota aktif TAGANA serta terhimpun atau
berasal dari kelompok masyarakat atau organisasi tertentu
2. Untuk anggota TAGANA yang berumur di atas 45 tahun diorganisir dalam
LEGIUN TAGANA
3. Seorang anggota Tagana dinyatakan sah sebagai anggota resmi jika telah
mendapat surat keterangan dari dirjen Banjamsos setelah melalui proses pelatihan
baik yang diadakan oleh Depsos Pusat, Dinas/Institusi Sosial Provinsi dan
Kab/Kota serta Institusi lain yang mendapat pengakuan dari Depsos
4. Setiap anggota Tagana akan mendapat Nomor Induk Anggota (NIA) TAGANA
melalui seleksi yang dilakukan oleh yang berwenang berdasarkan ketentuan dan
pedoman yang berlaku
Cara Perekrutan Anggota TAGANA
Perekrutan anggota Tagana berdasarkan :
1. Usulan dari organisasi atau kelompok perhimpunan komunitas tertentu
2. Perorangan (atas kemauan sendiri)
3. Kehormatan (khusus untuk pembina)

Page | 25
Page | 26

Anda mungkin juga menyukai