Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis awalnya didefinisikan sebagai sindroma respons inflamasi sistemik


(systemic inflammatory response syndrome) ditambah tempat infeksi yang
diketahui (ditentukan dengan biakan positif dari tempat tersebut). Pada tahun
2016, definisi sepsis diperbaiki menjadi sebuah keadaan yang mengancam jiwa
karena adanya disfungsi organ yang disebabkan oleh disregulasi respon host
terhadap infeksi.1,2,3
Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di Amerika
Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Pengamatan 1
bulan pada tahun 2012 di ruang rawat intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta menunjukkan sepsis berat dan renjatan septik ditemukan pada 23
dari 84 kasus perawatan intensif, dengan angka kematian dalam perawatan
mencapai 47,8% dan angka kematian pada fase dini mencapai 34,7%.3,4
Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi
mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apus gram dari buffy
coat serum atau lesi petekia menunjukkan mikroorganisme. pada tahun 2016 the
European Society of Intensive Care Medicine dan SCCM merumuskan kriteria
baru diagnosis sepsis yang didasarkan pada perubahan definisi sepsis yang
menekankan pada terjadinya disfungsi organ pada seorang yang terinfeksi. Sistem
skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) digunakan sebagai cara
penilaian disfungsi organ. Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis
metabolik, trombositopenia, pemanjangan waktu prothrombin dan tromboplastin
parsial, penurunan kadar fibrinogen serum dan peningkatan produk fibrin split,
anemia, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta perubahan morfologi dan
jumlah neutrofil.4,6,7
Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman oksigen
jaringan yang diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar laktat arteri.
Terapi antimikroba empiris spektrum luas harus dimulai setelah mendapatkan
spesimen untuk mikroskopi dan kultur termasuk kultur darah tetapi tanpa
menunggu hasil. Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari.

1
Pasien yang bertahan sepsis, terlepas dari tingkat keparahannya, memiliki tingkat
mortalitas yang lebih tinggi setelah dipulangkan. Korban sepsis juga memiliki
peningkatan insidensi gangguan stres pascatrauma, disfungsi kognitif, cacat fisik,
dan disfungsi paru persisten.8,9

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi sepsis


Sepsis adalah sebuah keadaan yang mengancam jiwa karena adanya
disfungsi organ yang disebabkan oleh disregulasi respon host terhadap
infeksi. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan pada pedoman
sepsis tahun 2012 yang merupakan sebuah sindroma respons inflamasi
sistemik (systemic inflammatory response syndrome) ditambah tempat infeksi
yang diketahui (ditentukan dengan biakan positif dari tempat tersebut).
Definisi baru ini menitik beratkan pada 3 komponen penting pada sepsis,
yaitu adanya infeksi, adanya regulasi abnormal respon host terhadap infeksi,
dan menghasilkan disfungsi sistem organ sebagai hasil dari respon host.2
Perubahan yang paling signifikan pada definisi baru ini adalah hilangnya
kondisi yang mendefinisikan adanya systemic inflammatory response system
(SIRS). Kriteria SIRS termasuk suhu tubuh >38oC atau <36oC ; denyut
jantung > 90 denyut/menit, respirasi >20/menit atau Pa CO2 <32mmHg, dan
jumlah hitung leukosit > 12.000/mm3 atau > 10% sel imatur (band).
Perubahan definisi ini dipertimbangkan karena 2 kriteria SIRS dainggap tidak
memberikan penilian yang tepat antara mereka yang menderita sepsis dan
respon fisiologis yang tepat untuk unfeksi. Namuan, banyak pasien dengan 2
atau lebih kriteria SIRS tidak pernah berkembang menjadi sebuah infeksi
maupun sepsis. Oleh karena itu adanya kriteria SIRS telah dihapus dari
definisi. Dan sebagai tambahan sepsis para (yang sebelumnya didefinisikan
sebagai sepsis yang bersamaan dengan sepsis yang berhubungan dengan
disfungsi organ) telah dihapus dari pedoman, dan berlaku pada definisi sepsis
mulai tahun 2016. Perubahan ini memfokuskan pada disfungsi organ sebagai
komponen penting pada diagnosis sepis.1,2,3

2.2 Epidemiologi sepsis


Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di
Amerika Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis.

3
Sekitar 80% kasus sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat
dan Eropa selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien masuk untuk penyebab
yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir empat kali lipat dari
tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240 kasus per 100.000
penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di Amerika Serikat.3,10
Di Amerika Serikat dilaporkan 1.500.000 orang terkena sepsis tiap tahun
dan sekitar 250.000 orang meninggal karena sepsis tiap tahunnya. Dilaporkan
1 dari 3 pasien yang meninggal di rumah sakit disebabkan oleh sepsis.11
Di benua Asia, penelitian pada tahun 2009 di 150 ruang perawatan intensif
pada 16 negara (termasuk Indonesia) menunjukkan sepsis berat dan renjatan
septik merupakan 10,9% diagnosis perawatan intensif dengan angka kematian
mencapai 44,5%. Pengamatan 1 bulan pada tahun 2012 di ruang rawat
intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan
sepsis berat dan renjatan septik ditemukan pada 23 dari 84 kasus perawatan
intensif, dengan angka kematian dalam perawatan mencapai 47,8% dan angka
kematian pada fase dini mencapai 34,7%. Data Koordinator Pelayanan
Masyarakat Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM menunjukkan jumlah
pasien yang dirawat dengan diagnosis sepsis sebesar 10,3 % dari keseluruhan
pasien yang dirawat di ruang rawat penyakit dalam. Renjatan septik
merupakan penyebab kematian tertinggi selama 3 tahun berturut-turut (2009-
2011), yaitu pada 49% kasus kematian pada tahun 2009 dan meningkat
menjadi 55% pada tahun 2011.4

2.3 Etiologi sepsis


Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat
disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur).
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa
adalah bakteri gram (-) dengan persentase 60-70%. Bakteri seperti
Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia.
Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan.
Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek

4
toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons
inflamasi normal dari host terhadap infeksi.1,12
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus
syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat
hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau
gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran
lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau cairan
pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah infeksi lokal
yang memicu proses tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh kultur.3,10
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya
populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat bertahan
hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di antara
pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid atau
antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi
mekanis.10
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah
infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran
kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan
sepsis yaitu:
1) Infeksi paru-paru (pneumonia)
2) Flu (influenza)
3) Appendiksitis
4) Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5) Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
6) Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter
telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
7) Infeksi pasca operasi
8) Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.
Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat
terdeteksi.13
Faktor risiko lain diantaranya, bertambahnya usia berkaitan dengan usia
pasien yang lebuh tua atau lebih dari 65 tahun memiliki kemungkinan 13 kali

5
lebih besar berkembang menjadi sepsis dan dua kali lipat lebih tinggi
terjadinya kematian karena adanya sepsis olah karena ras, jenis kelamin,
adanya kondisi komorbid, dan keparahan penyakit. Tambahan lainnya berupa
malnutrisi, penyakit kronis, keadaan imunosupresi, operasi terakhir atau
perawatan di rumah sakit, dan pemakaian kateter atau alat bantu lainnya.9
1. Usia
Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik
dibandingkan usia tua. Orang kulit hitam memiliki kemungkinan
peningkatan kematian terkait sepsis di segala usia, tetapi risiko relatif
mereka terbesar dalam kelompok umur 35 sampai 44 tahun dan 45 sampai
54 tahun. Pola yang sama muncul di antara orang Indian Amerika / Alaska
Pribumi. Sehubungan dengan kulit putih, orang Asia lebih cenderung
mengalami kematian yang berhubungan dengan sepsis di masa kecil dan
remaja, dan kurang mungkin selama masa dewasa dan tua usia. Ras
Hispanik sekitar 20% lebih mungkin dibandingkan kulit putih untuk
meninggal karena penyebab yang berhubungan dengan sepsis di semua
kelompok umur.10,13
2. Jenis kelamin
Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang
berhubungan dengan sepsis dibandingkan laki-laki di semua kelompok ras
/ etnis. Laki-laki 27% lebih mungkin untuk mengalami kematian terkait
sepsis. Namun, risiko untuk pria Asia itu dua kali lebih besar, sedangkan
untuk laki-laki Amerika Indian / Alaska Pribumi kemungkinan mengalami
kematian berhubungan dengan sepsis hanya 7%.9
3. Ras
Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit hitam
dan terendah di antara orang Asia.14
4. Penyakit komorbid
Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan tubuh
(gagal ginjal kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalahgunaan alkohol)
lebih umum pada pasien sepsis non kulit putih, dan komorbiditas
kumulatif dikaitkan dengan disfungsi organ akut yang lebih berat.9

6
5. Genetik
Polimorfisme umum dalam gen untuk lipopolysaccharide binding
protein (LBP) dalam kombinasi dengan jenis kelamin laki-laki
berhubungan dengan peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis dan,
lebih jauh lagi, mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak
menguntungkan. Penelitian ini mendukung peran imunomodulator penting
dari LBP di sepsis Gram-negatif dan menunjukkan bahwa tes genetik
dapat membantu untuk identifikasi pasien dengan respon yang tidak
menguntungkan untuk infeksi Gram-negatif.9
6. Terapi kortikosteroid
Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan kerentanan
terhadap berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan dengan dosis
steroid dan durasi terapi. Meskipun bakteri piogenik merupakan patogen
yang paling umum, penggunaan steroid kronis meningkatkan risiko infeksi
dengan patogen intraseluler seperti Listeria, jamur, virus herpes, dan
parasit tertentu. Gejala klinis yang dihasilkan dari sebuah respon host
sistemik terhadap infeksi mengakibatkan sepsis.15
7. Kemoterapi
Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat
membedakan antara sel-sel kanker dan jenis sel lain yang tumbuh cepat,
seperti sel-sel darah, sel-sel kulit. Orang yang menerima kemoterapi 17
beresiko untuk terkena infeksi ketika jumlah sel darah putih mereka
rendah. Sel darah putih adalah pertahanan utama tubuh terhadap infeksi.
Kondisi ini, yang disebut neutropenia, adalah umum setelah menerima
kemoterapi. Untuk pasien dengan kondisi ini, setiap infeksi dapat menjadi
serius dengan cepat.16
8. Obesitas
Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada
pasien dengan sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang, Russell
Griffin, et al. didapatkan hasil bahwa obesitas pada tahap stabil kesehatan
secara independen terkait dengan kejadian sepsis di masa depan. Lingkar
pinggang adalah prediktor risiko sepsis di masa depan yang lebih baik

7
daripada BMI. Namun pada penelitian Kuperman EF, et al diketahui
bahwa obesitas bersifat protektif pada mortalitas sepsis rawat inap dalam
studi kohort, tapi sifat protektif ini berhubungan dengan adanya
komorbiditas resistensi insulin dan diabetes.17,18

2.4 Patogenesis sepsis


Sepsis memiliki patogenesis yang rumit. Pada sebuah seminar pada 1986
dimana menunjukkan sitokin tumour necrosis factor (TNF) dapat
menggantikan banyak keadaan patologis dan temuan klinis pada sepses.
Diketahui bahwa banyak bakteri dan produk patogen dapat mempengaruhi
produksi TNF, hal itu membuktikan bahwa respon host pda infeksi berperan
sebagai peran penting dalam patogenesis pada kondisi ini, seperti yang telah
diamati oleh Lewis Thomas pada 1972. Sejak itu, beberapa penelitian lain
telah menunjukkan hubungan yang kompleks dari sitokin yang berperan
penting dalam memediasi banyak dampak sepsis. Lebih lanjut, meskipun
jalur proinflamatori awal sangat pentung , jalur anti-inflamatoru juga
diaktifkan dan dapat menurunkan regulasi respon korektif selanjutnya pada
keadaan sepsis. Sebagai tambahan pada protein dan mediator peptida, ada
juga sejumlah mediator lain yang berperan, termasuk prostanoid, platelete
activating factor, dan endogenous damage-associated molecular patterns
(DAMPS) yang dihasilkan dari sel yang terluka, seperti ATP dan kelompok
protein mobilitas tinggi. Untuk menyederhanakan, diketahui ada 4 hal penting
yang terjadi pada sepsis.19
1. Disfungsi endotelial
aktivasi endotelial secara umum meningkatkan ekspresi adhesin leukosit,
dengan peningkatan leukosit yang berpindah ke jaringan. Permeabilitas
endotelium juga meningkat, pada paru dapat memunculkan adanya edema
pulomonal interstitial dan pada usus menungkatkan translokasi bakterial,
yang berpotensi memperburuk kaskade inflamasi yang telah dimulai oleh
produk mikrobial.
2. Koagulopati

8
Perubahan koagulopati merupakan keadaan umum pada sepsis. Kerusakan
endotelial mengubah fungsi protektif jalur antikoagulan protein C alami
dan mengubah endotelium pada permukaan prothrombotik. Sebagai
tambahan, produk bakteri dan sitokin inflamasi mengaktifkan faktor
jaringan, pemulai utama pada jalur ekstrinsik koagulasi darah.
Protrombotik ini dapat mengawali adanya hambatan mikrovaskulatur,
serta meningkatkan konsumsi koagulopati (koagulasi yang disebarkan
intravaskular). Produk gram positif juga dapat secara langsung
mengaktifkan sistem pembekuan.
3. Disfungsi seluler
Salah satu teka-teki di lapangan adalah bahwa bahkan dalam kasus sepsis
mematikan yang paling parah, penelitian otopsi menunjukkan sedikit bukti
kematian sel, meskipun disfungsi organ meluas. Dasar molekuler ini masih
belum jelas, meskipun pengurangan umum dalam pengeluaran energi oleh
sel menunjukkan beberapa jenis proses seperti hibernasi. Seiring dengan
perubahan dalam fungsi seluler banyak perubahan metabolik, terutama
peningkatan katabolisme, resistensi insulin dan hiperglikemia
4. Disfungsi kardiovaskular
Banyak penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan sepsis mengalami
penurunan resistensi pembuluh darah sistemik (SVR) dengan keluaran
jantung yang normal atau meningkat, yang disebut sebagai 'hyperdynamic'
kondisi sepsis. Curah jantung dipertahankan dengan mengorbankan
pelebaran ventrikel kiri, dengan pengurangan fraksi ejeksi dan indeks kerja
stroke ventrikel kiri sebagai respons terhadap peningkatan volume
diastolik akhir ventrikel kiri. Perubahan ini dapat menyebabkan hipotensi
yang menjadi ciri syok septik. Perubahan SVR mungkin sebagian besar
dimediasi oleh kelebihan produksi oksida nitrat vasodilator dalam
pembuluh darah, yang dapat sulit untuk dikoreksi dengan vasopressor.
Perfusi jaringan yang buruk juga kemungkinan mendasari peningkatan
laktat yang terlihat pada syok septik, meskipun mekanisme lain
dimungkinkan.19

9
2.5 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pada sepsis tidak didefinisikan oleh sebuah alogaritma
yang dapat diterima secara luas. Kemudahan akses untuk membedakan data
klinis, temuan pada pasien, dan pengalaman menangani pasien sepsis
diperlukan untuk memastikan bahwa sepsis tersebut. Terdapat kurangnya
spesifitas pada beberapa variabel dan variabel waktu selama proses
minculnya kriteria klinis. Berikut ini adalah variabel klinis yang berhubungan
terhadap keadaan dan diagnosis sepsis.6

Tabel 1. Variabel klinis yang berhubungan terhadap keadaan dan


diagnosis sepsis6

Variabel klinis Penanda


Tanda infeksi Suhu: demam atau hipertermia
WBC : leukositosis atau leukopenia atau
bandemia
Peningkatan CRP
Penilaian sugestif adanya infeksi
Hasil radiografi yang menandakan adanya
infeksi
Infeksi yang diketahui ataupun hasil
mikrobiologis positif
Penanda adanya stress Takikardi
fisiologis atau disfungsi Takipneu atau respirasi alkalosis
organ Hipotensi
Acute Lung Injury: hipoksemi arterial
Hiperglikemia atau hipogikemia
Perubahan status mental
Koagulopati : peningkatan PT atau PTT atau
trombositopeni
Ileus
Disfungsi hepatis : hiperbilirubinemia,
transaminitsi
Asidosis metabolik
Hiperlaktasemia
Pengurangan CRT atau mottling

2.6 Diagnosis
Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi
mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apus gram dari
buffy coat serum atau lesi petekia menunjukkan mikroorganisme. Spesimen
darah, urin, dan cairan serebrospinal sebagaimana eksudat lain, abses dan lesi
kulit yang terlihat harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan apus untuk

10
menentukan organisme. Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit,
waktu protrombin dan tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer,
analisis gas darah, profil ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan.
Anak yang menderita harus dirawat di ruang rawat intensif yang mampu
melakukan pemantauan secara intensif serta kontinu diukur tekanan vena
sentral, tekanan darah, dan cardiac output. pada tahun 2016 the European
Society of Intensive Care Medicine dan SCCM merumuskan kriteria baru
diagnosis sepsis yang didasarkan pada perubahan definisi sepsis yang
menekankan pada terjadinya disfungsi organ pada seorang yang terinfeksi.
Sistem skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) digunakan sebagai
cara penilaian disfungsi organ. Penambahan akut dua atau lebih nilai SOFA
sebagai akibat infeksi digunakan sebagai dasar diagnosis sepsis. Kelompok
ahli juga mengajukan kriteria baru yang dapat digunakan sebagai penapis
pasien sepsis yang dikenal dengan istilah quick SOFA (qSOFA). Tiga kriteria
qSOFA adalah laju napas lebih dari sama dengan 22 napas/menit, perubahan
kesadaran, tekanan darah sistolik kurang dari sama dengan 100 mmHg.7
Tanda-tanda klinis yang dapat menyebabkan dokter untuk
mempertimbangkan sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau
hipotermia, takikardi yang tidak jelas, takipnea yang tidak jelas, tanda-tanda
vasodilatasi perifer, shock dan perubahan status mental yang tidak dapat
dijelaskan. Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan syok septik, yaitu
curah jantung meningkat, dengan resistensi vaskuler sistemik yang rendah.
Abnormalitas hitung darah lengkap, hasil uji laboratorium, faktor pembekuan,
dan reaktan fase akut mungkin mengindikasikan sepsis.5

11
Tabel 2. SOFA score7

2.7 Laboratorium
Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik, trombositopenia,
pemanjangan waktu prothrombin dan tromboplastin parsial, penurunan kadar
fibrinogen serum dan peningkatan produk fibrin split, anemia, penurunan
PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta perubahan morfologi dan jumlah
neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit imatur, vakuolasi
neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle cenderung menandakan infeksi
bakteri. Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan
perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan
neutrofil dan bakteri. Pada stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi
dalam cairan serebrospinal sebelum terjadi suatu respons inflamasi.20

12
Tabel 3. Hasil temuan pemeriksaan laboratorium pada pasien sepsis
Tes laboratorium Temuan Keterangan
Hitung sel darah Leukositosis atau Endotoksemia dapat
putih leukopenia menyebabkan early
leukopenia
Hitung platelet Trombositosis atau Nilai tinggi awal
trombositopenia dapat dilihat sebagai
respon fase akut,
jumlah trombosit
yang rendah terlihat
pada DIC
Coagulation cascade Defisiensi Protein C; Kelainan dapat
defisiensi diamati sebelum
antitrombin; level D- timbulnya kegagalan
dimer meningkat; PT organ dan tanpa
(Prothrombin Time) perdarahan yang
dan PTT (Partial jelas.
Thromboplastin
Time) memanjang
Level kreatinin Meningkat Doubling-
menandakan cedera
ginjal akut
Level asam laktat Lactic acid > 4 Mengindikasikan
mmol/L (36 mg/dL) hipoksia jaringan
Level enzim hepar Level alkaline Mengindikasikan
phosphatase, AST, cedera hepatoseluler
ALT, bilirubin akut yang disebabkan
meningkat hipoperfusi
Level serum fosfat Hipofosfatemia Berkorelasi terbalik
dengan tingkat
sitokin proinflamasi

13
Level C-reactive Meningkat Respons fase akut
protein (CRP)
Level prokalsitonin Meningkat Membedakan SIRS
yang infeksius dari
SIRS yang non-
infeksius

2.8 Surviving sepsis campaign care bundles


Berikut adalah tata cara pengelolaan pasien secara terstruktur menurut
Surviving Sepsis Campaign:21

2.9 Target Terapi Dini (Early Goal Therapy)


Sepsis berat dapat muncul dengan kegagalan multi-organ dan kolaps
pernapasan. Prioritas pertama pada setiap pasien dengan suspek sepsis berat
adalah penilaian jalan nafas dan kecukupan pernapasan mereka, diikuti
dengan evaluasi perfusi ujung-organ.
Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman
oksigen jaringan yang diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar
laktat arteri. Pendekatan ini telah menunjukkan peningkatan kelangsungan
hidup dibandingkan dengan resusitasi cairan dan pemeliharaan tekanan darah
yang standar. Tujuan fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi sebagai
berikut: 8
1) Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg
2) Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg

14
3) Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%
4) Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik,
dan oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi mekanik).3

2.10 Terapi Hemodinamik Sepsis


1) Terapi cairan
Resusitasi cairan intravena (20-40 ml / kg) umumnya dianjurkan pada
setiap pasien dengan kecurigaan sepsis yang menyebabkan hipotensi atau
peningkatan laktat serum. Pemilihan komposisi kristaloid atau koloid telah
menjadi kontroversi. Sementara analisis subkelompok dari Saline versus
Albumin Fluid Evaluation (SAFE) studi menyarankan bahwa resusitasi
dengan 4% albumin (koloid) dapat mengurangi kematian pada pasien
dengan sepsis berat, penelitian lebih lanjut termasuk meta-analisis baru-
baru ini belum mendukung temuan ini. Koloid hidroksietil pati (HES)
meningkatkan tingkat cedera ginjal akut bila dibandingkan dengan salin
normal dan meningkatkan mortalitas bila dibandingkan dengan kristaloid
seimbang, 6 dan Administrasi Makanan dan Obat AS menyarankan bahwa
solusi HES tidak boleh digunakan pada pasien sakit kritis. Koloid berbasis
gelatin belum dievaluasi secara ketat dalam uji multisenter acak
terkontrol.4
2) Terapi vasopressor
Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial pressure dan
organ perfusion adekuat). Vasopressor sering digunakan untuk
mempertahankan tekanan arteri rata-rata (MAP) minimal 65 mmHg pada
pasien hipotensi terus menerus setelah resusitasi intravena. Meskipun agen
yang berbeda memiliki keuntungan teoritis, tidak ada bukti bahwa salah
satu agen vasoaktif memberikan manfaat kelangsungan hidup di atas yang
lain.
Lebih lanjut, tampaknya tidak ada manfaat dari target MAP yang lebih
tinggi (80-85 mmHg), kecuali di antara pasien dengan hipertensi kronis.
Noradrenalin (norepinefrin) secara luas digunakan dalam syok septik
distributif karena sebagian besar lphadadrenoseptornya agonis dan efek

15
vasokonstriksi. Defisiensi vasopresin relatif telah diusulkan dalam mediasi
septik syok; Namun, penambahan vasopresin belum terbukti untuk
meningkatkan hasil. Sepsis dapat menyebabkan disfungsi miokard dan
mengurangi kontraktilitas, dalam hal ini agen inotropik seperti
dobutamine, adrenalin atau dopamine mungkin tepat, meskipun ini dapat
dikaitkan dengan risiko aritmia jantung yang lebih besar.4
3) Terapi inotropik
Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan pasien syok septik
mengalami hiperdinamik, tetapi kontraktilitas miokardium yang dinilai
dari ejection fraction mengalami gangguan. Kebanyakan pasien
mengalami penurunan cardiac output, sehingga diperlukan inotropic:
dobutamine, dopamine, dan epinephrine.4

2.11 Tatalaksana Infeksi


Terapi antimikroba empiris spektrum luas harus dimulai setelah
mendapatkan spesimen untuk mikroskopi dan kultur termasuk kultur darah
tetapi tanpa menunggu hasil. Studi retrospektif dan bservational
menunjukkan perbaikan signifikan dalam mortalitas dengan pengenalan
antibiotik empiris sebelumnya, dan dianjurkan untuk mengatur setidaknya
dalam 1 jam pengakuan sepsis dan hipotensi. Pemilihan agen antimikroba,
termasuk pertimbangan anti jamur, anti agen-virus atau anti-parasit, harus
diarahkan oleh:9
- Temuan klinis dengan penambahan pencitraan yang tersedia dengan
cepat, misalnya rontgen dada atau ultrasound perut
- Pengetahuan tentang patogen lokal umum dan profil resistensi antibiotik
mereka
- Pertimbangan kecenderungan potensial pasien terhadap infeksi tertentu,
misalnya paparan organisme multi-resistan, imunosupresi, operasi baru-
baru ini atau perangkat yang tinggal di dalam.
Seringkali, lokasi infeksi dan patogen penyebab tidak pasti. Dalam situasi
ini cakupan antibakteri empiris harus mencakup salah satu dari:
- Cephalosporin (generasi ke-3 atau ke-4)

16
- Gabungan beta-laktam / beta-laktamase (misalnya piperacillin
etazobactam, ticarcillineclavulanate)
- Golongan carbapenem
Pertimbangan khusus harus diberikan untuk paparan atau kolonisasi
Staphylococcus aureus resisten methicillin (MRSA), di mana kasus
vankomisin harus ditambahkan. Dalam kasus dugaan influenza yang
menyebabkan sepsis berat, terapi anti-virus umumnya dimulai secara
empiris sambil menunggu hasil diagnostik, meskipun bukti manfaat
terbatas. Di daerah endemik, infeksi parasit, terutama malaria, juga harus
diobati secara empiris. Pada pasien dengan risiko tinggi untuk penyakit
jamur invasif (misalnya kolonisasi jamur yang diketahui, operasi usus,
kehadiran perangkat invasif, nutrisi parenteral, terapi penggantian ginjal,
ventilasi mekanis, diabetes) harus dipertimbangkan untuk melembagakan
terapi anti-jamur empiris. Triazole (misalnya flukonazol, vorikonazol) dan
echinocandins (misalnya caspofungin, anidulofungin) digunakan tetapi
pemilihan agen akan tergantung pada kemungkinan organisme, keparahan
penyakit dan pola resistensi lokal. Konsultasi dini dengan dokter penyakit
menular disarankan.4,9
2.12 Komplikasi
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi
komplikasi yang mungkin terjadi meliputi:
1) Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi
respirasi akut (acute respiratory distress syndrome)
Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru.
Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas,
mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan komplian, dengan
hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia. Komplikasi ALI/
ARDS timbul pada banyak kasus sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang
berat dan biasanya mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk opasitas
paru bilateral yang konsisten dengan edema paru. Pasien yang septik yang
pada mulanya tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin
memerlukannya jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan.

17
2) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi secara
difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem
fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk mempertahankan kaskade
pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua
sistem 25 diaktifkan secara konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk,
lalu diuraikan. Sejumlah besar faktor pembekuan badan dan trombosit
dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan demikian, pasien berisiko
mengalami komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan. Timbulnya
koagulopati pada sepsis berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.
3) Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan
mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung
molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis
memberikan beban kerja jantung yang berlebihan, yang dapat memicu
sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium (MCI), terutama pada
pasien usia lanjut. Dengan demikian obat inotropic dan vasopressor (yang
paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati
bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.
4) Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik, dengan
peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi sintetik
biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai status hemodinamik
yang tidak stabil dalam waktu yang lama.
5) Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya gagal
ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai oliguria, azotemia,
dan sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal berlangsung berat
atau ginjal tidak mendapatkan perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi
penggantian fungsi ginjal (misalnya hemodialisis) diindikasikan.
6) Sindroma disfungsi multiorgan

18
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk
mempertahankan homeostasis.
- Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh
infeksi atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi
jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.
- Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons
peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau
ARDS pada keadaan urosepsis.9,12

2.13 Prognosis
Pasien yang bertahan sepsis, terlepas dari tingkat keparahannya, memiliki
tingkat mortalitas yang lebih tinggi setelah dipulangkan. Angka kematian satu
tahun dari sepsis berat setelah keluar dari rumah sakit berkisar antara 7%
hingga 43%. Korban sepsis juga memiliki peningkatan insidensi gangguan
stres pascatrauma, disfungsi kognitif, cacat fisik, dan disfungsi paru
persisten.9

19
BAB III
KESIMPULAN

Sepsis adalah sebuah keadaan yang mengancam jiwa karena adanya disfungsi
organ yang disebabkan oleh disregulasi respon host terhadap infeksi. Definisi baru
ini menitik beratkan pada 3 komponen penting pada sepsis, yaitu adanya infeksi,
adanya regulasi abnormal respon host terhadap infeksi, dan menghasilkan
disfungsi sistem organ sebagai hasil dari respon host.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi
yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut,
dan panggul. Faktor risiko lain diantaranya, bertambahnya usia berkaitan dengan
usia pasien yang lebuh tua atau lebih dari 65 tahun memiliki kemungkinan 13 kali
lebih besar berkembang menjadi sepsis dan dua kali lipat lebih tinggi terjadinya
kematian karena adanya sepsis olah karena ras, jenis kelamin, adanya kondisi
komorbid, dan keparahan penyakit
Sistem skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) digunakan sebagai
cara penilaian disfungsi organ. Penambahan akut dua atau lebih nilai SOFA
sebagai akibat infeksi digunakan sebagai dasar diagnosis sepsis. Kelompok ahli
juga mengajukan kriteria baru yang dapat digunakan sebagai penapis pasien sepsis
yang dikenal dengan istilah quick SOFA (qSOFA).
Terdapat tiga kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis, yaitu
terapi cairan, terapi vasopressor, terapi inotropik. Terapi antimikroba empiris
spektrum luas harus dimulai setelah mendapatkan spesimen untuk mikroskopi dan
kultur termasuk kultur darah tetapi tanpa menunggu hasil.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Guntur AH. Sepsis, dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi VI.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF, editor. Jakarta:
InternaPublishing; 2014. 4108-14
2. Plevin R, Callcut R. Update in sepsis guidelines: what is really new?.
2017. Diakses dari :
https://tsaco.bmj.com/content/tsaco/2/1/e000088.full.pdf
3. Eron JJ. Septicemia, dalam Netter’s Internal Medicine 2nd ed. Runge MS,
Greganti MA, editor. Philadelphia USA: Saunders Elsevier; 2009. 644-9
4. Kementrian Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor HK.01.07/Menkes/342/2017 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Sepsis. Jakarta. 2017
5. LaRosa SP. Cleveland Clinic disease management project: Sepsis.2013.
Diakses dari:
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/i
nfectious-disease/sepsis/
6. Taeb AM, Hooper MH, Marik PE. Sepsis: Current definition,
pathophysiology, diagnosis, and Management. 2017. Diakeses dari :
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1177/0884533617695243
7. Joana AC, Isabel P, Menezes F. Rethinking The Concept of Sepsis and
Septic Shock. Philadelphia: European Journal of Internal Medicine. 2018.
Diakses dari: https://doi.org/10.1016/j.ejim.2018.06.002
8. Nguyen HB, Anja KJ, Namita J, Matthew WS, Sara H, Ange CY dkk.
Early Goal-directed Therapy In Severe Sepsis adn Septic Shock: Insight
and Comparison to ProCESS, ProMISe, and ARISE. 2016. Diakses dari :
https://ccforum.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13054-016-1288-3
9. Rober LG. Early Recognition and Management of Sepsis in Adults: The
First Six Hours. 2013. Diakses dari:
https://www.aafp.org/afp/2013/0701/p44.pdf
10. Munford RS. Severe sepsis adn septic shock, dalam Harrison Manual
Kedokteran ed 19. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Loscalzo J, et al,
editor. Indonesia:Karisma Publising Group; 2011. p. 99-104
11. Chanu R, Raymund D, Lauren E. Incidence and Trends of Sepsis in US
Hospital Using Clinical vs Claims Data, 2009-2014. 2017. Diakses dari:
https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2654187
12. Caterino JM, Kahan S. Master Plan Kedaruratan Medik. Indonesia:
Binarupa Aksara Publisher; 2013
13. Elizabeth S. Improving Outcomes for Patients With Sepsis. 2015. Diakses
dari : https://www.england.nhs.uk/wp-content/uploads/2015/08/Sepsis-
Action-Plan-23.12.15-v1.pdf
14. Lewis JK, Michael RP, Heatherlee B, Steven DB. Systemic Inflamatorry
Response Syndrome. 2018. Diakses dari:
https://emedicine.medscape.com/article/168943-overview
15. Thomas G. Infection Risk with Cortiosteroid Therapy. 2016. Diakses dari:
https://www.jwatch.org/na41557/2016/06/14/infection-risk-with-
corticosteroid-therapy

21
16. Amy F, Ernie M. Neutropenic Sepsis: A Potentially life threatening
Complication of Chemotherapy. Clinical Medicine 2014 vol 14, No.5:538-
42. 2014. Diakses dari:
http://www.clinmed.rcpjournal.org/content/14/5/538.full
17. Henry W, Russell G, Suzanne J, et al. Obesity and risk of sepsis. Society of
Critical Care Medicine. Lippincott Williams & Wilkins. 2012. Diakses
dari:
http://journals.lww.com/ccmjournal/Abstract/2012/12001/735___Obesity_
and_Risk_of_Sepsis.697.aspx
18. Kuperman EF, Showalter JW, Lehman EB, et al. The impact of obesity on
sepsis mortality: a retrospective review. BMC Infectious Diseases. 2013.
13:377. Diakses dari: http://www.biomedcentral.com/1471-2334/13/377
19. Tom E. Diagnosis and Management of Sepsis. Clinical Medicine 2018 Vol
18, No.2:146-9. 2018. Diakses dari:
http://www.clinmed.rcpjournal.org/content/18/2/146.full.pdf
20. Prayogo. Hubungan antara Faktor Risiko Sepsis Obstetri dengan
Kejadian Sepsis Berat dan Syok Sepsis. Journal Unair [internet]. 2011
[cited 2014 Feb]; 19(3). Available from:
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/1109%20Budhy%20%28P%29%20-
%20Format%20MOG.pdf
21. Mitchell ML, Laura EE, Andrew R. The Surviving Sepsis Campign
Bundle: 2018 Update. Diakses dari:
http://www.survivingsepsis.org/SiteCollectionDocuments/Surviving-
Sepsis-Campaign-Hour-1-Bundle-2018.pdf

22

Anda mungkin juga menyukai