Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sebelum obat yang diberikan pada pasien tiba pada tujuanya didalam
tubuh,yaitu tempat kerjanya atau targetsite,obat harus mengalami banyak proses.
Dalam garis besarnya,proses-proses ini dapat dibagi dalam tiga tingkatan yaitu fase
farmasetik,fase farmokinetika dan fase farmokodinamika.

Efek obat tidak tergantung dari factor farmakologi saja,tetapi juga dari bentuk
pemberian dan terutama dari formulasinya. Dimana fator formulasi yang dapat
mengubah efek obat dalam tubuh yaitu benuk fisis zat aktif,keadaan kimiawi,zat
pembantu,dan proses teknik yang digunakan untuk membuat sediaan.

Mengingat proses perjalanan obat didalam tubuh ini merupakan proses


penting yang menentukan berhail atau tidaknya obat itu memberikan suatu efek bagi
tubuh maka didalam makalah ini kami akan membahas tentang perjalanan obat
didalam tubuh secara lebih dalam lagi.

1
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah ingin lebih memahami
proses perjalanan obat yang terjadi di dalam tubuh. Karena seperti yang telah kita
ketahui bahwa keberhasilan obat mencapai target akan menimbulkan efek yang
diharapkan. Selain itu juga maksud dengan pembuatan makalah ini bertujuan untuk
memahami apa saja yang menjadi faktor-faktor dari pelepasan senyawa obat didalam
tubuh tersebut.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Fase Biofarmasi

Skema: fase-fase perjalanan obat didalam tubuh

Fase Biofarmasetik atau Farmasetik adalah fase yang meliputi waktu mulai
penggunaan obat melalui mulut sampai pelepasan zat aktifnya kedalam cairan tubuh.
Fase ini berhubungan dengan ketersediaan farmasi dari zat aktifnya dimana obat siap
diabsorbsi.

Fase biofarmasetik melibatkan seluruh unsur-unsur yang terkait mulai saat


pemberian obat hingga terjadinya penyerapan zat aktif. Kerumitan peristiwa tersebut

3
tergantung pada cara pemberian dan bentuk sediaan, yang secara keseluruhan
berperan pada proses predisposisi zat aktif dalam tubuh. Seperti diketahui fase
farmakodinamik dan farmakokinetik mempunyai sifat individual spesifik dalam
interaksi tubuh dan zat aktif. Hal tersebut selanjutnya mempengaruhi intensitas
farmakologik dan kinetik zat aktif suatu obat di dalam tubuh. Dengan demikian fase
biofarmasetik merupakan salah satu kunci penting untuk memperbaiki aktivitas
terapetik.

Mulai tahun 1960 para dokter dan apoteker sadar, bahwa efek obat tidak semata-
mata tergantung pada faktor zat aktif yang berkhasiat saja, melainkan juga pada
bentuk sediaan bahan penolong, terutama pada cara formulasinya

2.1.1. Faktor-faktor penunjang khasiat obat

a. Derajat kehalusan serbuk zat aktif obatnya.

Bila serbuk zat aktifnya 1-5 mikron (“microfine”) akan menghasilkan kadar
obat darah sampai 2-3 kali lebih tinggi, hingga dosisnya bisa diturunkan,
contoh Griseofulvin, Digoksin. Sedangkan obat yang dikendaki bekerja
diusus, tidak perlu persyaratan derajat kehalusan zat aktif, seperti obat cacing,
obat anti disentri.

b. Bentuk kristal zat aktif (polimorfi, amorf, kristal).


Zat aktif yang berbentuk amorf diabsorpsi lebih baik daripada bentuk kristal.
Contoh : Khloramfenikol palmitat atau stearat.

c. Keadaan kimiawi (ester, garam, kompleks, hidrat, anhidrat dan


sebagainya).

Zat anhidrat ternyata lebih cepat diabsorpsi daripada hidrat, contoh


Ampisilin anhidrat (Amfipen) lebih baik diabsorpsi daripada Ampisilin
trihidrat (Penbritin)

4
Pemberian zat Edta akan dapat membentuk kompleks dengan banyak zat
misalkan manitol, heparin dan menyebabkan mempercepat absorbsinya
diusus. Ester Betametason (Betametason 17 valerat) menaikan efek topical
dibanding Betametason.

d. Penggunaan bahan penolong.

seperti bahan pengisi, bahan penghancur, bahan pelicin, untuk tablet dan
bahan pensuspensi, bahan pengemulsi dan sebagainya. Tahun 1960 telah
digemparkan mengenai tablet Prednison meskipun kadar obat dalam tablet
sama, tetapi tidak memberi efek, ternyata tablet tersebut menggunakan bahan
penolong kalsium sulfat agar tablet bisa keras. Sedangkan biasanya tablet
prednisone yang member efek menggunakan bahan penolong laktosa.

Sebaliknya pada tahun 1970 tablet difantoin meskipun kadarnya tepat telah
menimbulkan gejala keracunan, ternyata tablet tersebut menggunakan bahan
pengisi laktosa, sedangkan yang menggunakan bahan pengisi kalsium sulfat
tidak terjadi keracunan.

Akibat penggunaan laktosa, telah menimbulkan ketersediaan farmasetik


dipertinggi akibatnya absorpsi obatnya meningkat hingga timbul kelewat dosis
yang member efek toksis.

e. Juga alat dan keadaan fisis yang digunakan.

dalam membuat sediaan dapat mengubah efek obatnya, seperti mesin


tablet, tekanan tablet, alat elmulgator, kecepatan putar pengemulsi atau
pensuspensi.

5
2.2. L.D.A
Fase biofarmasetik dapat diuraikan dalam tiga tahap utama, yaitu L.D.A yang
berarti Liberasi (pelepasan), Disolusi (Pelarutan), dan Absorpsi (penyerapan).
Seperti halnya dengan sistem A.D.M.E pada nasib zat aktif in vivo, maka ketiga
tahap L.D.A berbeda pada setiap jalur.

2.2.1. Liberasi (Pelepasan)

Apabila seorang penderita menerima obat berarti ia mendapatkan zat aktif yang
diformula dalam bentuk sediaan dan dengan dosis tertentu. Obat pada mulanya
merupakan depot zat aktif yang jika mencapai tempat penyerapan akan segera
diserap (Drug delivery system dalam istilah anglo-sakson). Proses pelepasan zat
aktif dari bentuk sediaan cukup rumit dan tergantung pada jalur pemberian dan
bentuk sediaan, serta dapat terjadi secara cepat dan lengkap. Pelepasan zat aktif
dipengaruhi oleh keadaaan lingkungan biologis dan mekanis pada tempat
pemasukan obat, misalnya gerak peristaltic usus, dan hal ini penting untuk bentuk
sediaan yang keras atau kenyal (tablet, suppositoria dll).

Sebagaimana diketahui, tahap pelepasan ini dapat dibagi dalam dua tahap yaitu tahap
pemecahan dan peluruhan misalnya untuk sebuah tablet. Dari tahap pertama ini
diperoleh suatu disperse halus padatan zat aktif dalam cairan di tempat obat masuk ke
dalam tubuh.

2.2.2. Disolusi (Pelarutan)

Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua adalah
pelarutan zat aktif yang terjadi secara progresif, yaitu pembentukan disperse
molekuler dalam air. Tahap kedua ini merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi

6
penyerapan. Tahap ini juga diterapkan pada obat-obtan yang dibuat dalam bentuk
larutan zat aktif dalam minyak, tetapi yang terjadi adalah proses ekstraksi
(penyarian). Setelah pemberian sediaan larutan, secara in situ dapat timbul endapan
zat aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan pH dan endapan
tersebut selanjutnya akan melarut lagi.

2.2.3. Absorpsi (Penyerapan)

Tahap ini merupakan bagian dari fase biofarmasetik dan awal fase
farmakokinetik, jadi tahap ini benar-benar merupakan masuknya zat aktif dalam
tubuh yang aturan-aturannya ditengarai oleh pemahaman ketersediaan hayati
(bioavabilitas).

Penyerapan zat aktif tergantung pada bagian parameter, terutama sifat fisika-
kimia molekul obat. Absorpsi ini tergantung juga pada tahap sebelumnya yairu saat
zat aktifnya berada dalam fase biofarmasetik.

Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila sebelumnya sudah
dibebaskan dari sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologi setempat.

Tahap pelepasan dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu pada proses
penyerapan zat aktif, baik dalam hal jumlah yang diserap maupun laju
penyerapannya.

2.2.4. Bioavabilitas (Ketersediaan hayati)

Gabungan pengertian laju penyerapan dan jumlah yang diserap pada fase
disposisi obat dalam tubuh menghasilkan konsep keersediaan hayati. Profil
keberadaan bahan obat di dalam darah fungsi dari waktu disebut pula “profil
bioavabilitas” atau profil ketersediaan hayati”. Profil ini menggambarkan interaksi
antara fase ketersediaan zat aktif dan fase disposisinya. Selain itu profil tersebut juga
mengungkapkan nasib obat di dalam tubuh yang tidak diketahui sebelumnya.

7
Biofarmasetik memperhatikan hubungan-hubungan antara :

a. Sifat-sifat kimia dan fisika dari obat.


b. Sifat-sifat fisika-kimia dan farmasetik dari bentuk sediaan.
c. Parameter farmakokinetik dari zat aktif.
d. Efek biologic, farmakologik dan klinik dari obat.

2.2.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi LDA :


1. Faktor fisikokimia
a. Faktor fisika
1) Ukuran partikel : Penurunan ukuran partikel dapat mempengaruhi laju
absorbsi dan kelarutannya.
2) Bentuk kristal dan amorf : bentuk kristal umumnya lebih sukar larut dari
pada bentuk amorfnya
3) Solvat dan hidrat : selama kristalisasi molekul air dan pelarut dapat
berikatan kuat dengan zat aktifnya menghasilkan solfat, bila pelarut air
terbentuk hidrat.

b. Faktor kimia
1) Pengaruh pembentukan garam : untuk mengubah senyawa asam dan basa
yang sukar larut dalam air sehingga mempengaruhi laju kelarutannya
2) Pengaruh pembentukan ester : menghambat atau memperpanjang aksi zat
aktif

8
2. Faktor fisiologi
a. Permukaan penyerapnyai permukaan penyerap

Lambung tidak mempunyai permukaan penyerap yang berarti dibandingkan


dengan usus halus. Namun mukosa lambung dapat menyerap obat yang diberikan
peroral dan tergantung pada keadaan, lama kontak menentukan terjadinya penyerapan
pasfi dari zat aktif lipofil dan bentuk tak terionkan pada PH lambung yang
asam.Penyerapan pasif dapat terjadi pada usus halus secara kuat pada daerah tertentu
tanpa mengabaikan peranan PH yang akan mengionisasi zat aktif atau menyebabkan
pengendapan sehingga penyerapan hanya terjadi pada daerah tertentu.

Suatu alkaloida yang larut dan terionkan dalam cairan lambung,secara teori kurang
diserap. Bila PH menjadi netral atau alkali, bentuk basanya akan mengendap pada PH
5,5. Bentuk basa tersebut kadang-kadang sangat tidak larut untuk dapat diserap dalam
jumlah yang cukup . Oleh sebab itu harus dirancang suatu sediaan dengan pelepasan
dan pelarutan zat aktif yang cepat.

b. Umur

Saluran cerna pada bayi yang baru lahir bersifat sangat permeabel dibandingkan
bayi yang berumur beberapa bulan .Pada bayi dan anak-anak, sebagian sisttem
enzimatik belum berfungsi sempurna sehingga dapat terjadi dosis lebih pada zat aktif
tertentu yang disebabkan tidak sempurnyanya proses detiksifikasi metabolik, atau
karena penyerapan yang tidak sempurna dan karena gangguan saluran cerna.

c. Sifat membran biologik

Sifat membran biologik sel-sel penyerap pada mukosa pencernaan akan


mempengaruhi proses penyerapan. Sifat utama lipida memungkinkan terjadinya

9
difusi pasif zat aktif dengan sifat lipofil tertentu dari bentuk yang terinkan di lambung
dan terutama di usus besar.

3. Faktor Patologi

Faktor penghambat dan penurunan efek obat :

1) Gangguan penyerapan di saluran cerna, karena adanya perubahan transit getah


lambung dan keadaan mukosa usus.
2) Penurunan absorbsi parenteral karena penurunan laju aliran darah
3) Peningkatan eliminasi zat aktif melalui ginjal , karena alkalosis atau asidosis.

Faktor penghambat dan peningkat efek obat :

1) Peningkatan penyerapan karena terjadi kerusakan membran pada tempat


kontak
2) Insufisiensi hati
3) Insufisiensi ginjal
4) Gangguan pada sistem endokrin berakibat pada penekana

Dalam biofarmasi ini kita akan mengenal beberapa istilah yang berhubungan dengan
aspek-aspek yang kita pelajari :

A. Ketersediaan farmasi (Farmaceutical Availability)

Adalah ukuran waktu yang diperlukan oleh obat untuk melepaskan diri dari
bentuk sediaannya dan siap untuk proses resorpsi. Kecepatan melarut obat tergantung
dari berbagai bentuk sediaan dengan urutan sebagai berikut:

Larutan – suspensi – emulsi – serbuk – kapsul – tablet – enterik coated – long acting.

10
B. Ketersediaan hayati (Biological Availability)

Adalah presentase obat yang diresorpsi tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan
tersedia untuk melakukan efek terapeutiknya.

C. Kesetaraan terapeutik (Therapeutical Equivalent)

Adalah syarat yang harus dipenuhi oleh suatu obat paten yang meliputi kecepatan
melarut dan jumlah kadar zat berkhasiat yang harus dicapai di dalam darah.
Kesetaraan terapeutik dapat terjadi pada pabrik yang berbeda atau pada batch yang
berbeda dari produksi suatu pabrik.

D. Bioassay dan standardisasi

Bioassay adalah cara menentukan aktivitas obat dengan menggunakan binatang


percobaan seperti kelinci, tikus, kodok dan lain-lain.

Standarisasi ialah kekuatan obat yang dinyatakan dalam Satuan Internasional atau
IU (International Unit) yang bersamaan dengan standart-standart internasional biologi
dikeluarkan oleh WHO. Ukuran-ukuran standart ini disimpan di London dan
Copenhagen. Tetapi setelah metode Fisiko-Kimia dikembangkan, bioassay mulai
ditinggalkan, begitu pula dengan penggunaan satuan biologi dan selanjutnya kadar
dinyatakan dalam gram atau miligram. Obat yang kini masih distandarisasi secara
biologi adalah insulin (menggunakan kelinci), ACTH (menggunakan tikus), antibiotik
polimiksin dan basitrasin, vitamin A dan D, faktor pembeku darah, preparat-preparat
antigen dan antibody, digitalis dan pirogen.

11
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan :

1. Fase Biofarmasetik atau Farmasetik adalah fase yang meliputi waktu mulai
penggunaan obat melalui mulut sampai pelepasan zat aktifnya kedalam cairan
tubuh. Fase ini berhubungan dengan ketersediaan farmasi dari zat aktifnya
dimana obat siap diabsorbsi.
2. Fase biofarmasetik dapat diuraikan dalam tiga tahap utama, yaitu L.D.A yang
berarti Liberasi (pelepasan), Disolusi (Pelarutan), dan Absorpsi (penyerapan).
Seperti halnya dengan sistem A.D.M.E pada nasib zat aktif in vivo, maka
ketiga tahap L.D.A berbeda pada setiap jalur.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi LDA :
A. Faktor fisikokimia
a) Faktor fisika
b) Faktor kimia

B. Faktor fisiologi
a) Permukaan penyerapnyai permukaan penyerap
b) Umur
c) Sifat membran biologik

C. Faktor patologi
a) Faktor penghambat dan penurunan efek obat
b) Faktor penghambat dan peningkat efek obat

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Moh. Anief, 1984, Ilmu Farmasi, Ghalia Indonesia, Jakarta.


2. Moh. Anief, 1990, Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan, Gajah Mada
University Press, Yokyakarta.
3. Nogrady, T., 1985, Medicinal Chemistry A Biochemical Approach, Oxford
University Press, New York, Oxford.
4. Bowmann, W dan G.B. West, Textbook of Pharmacology, Blackwell
Scicntific Publications, Oxford, Edinburgh

13

Anda mungkin juga menyukai