Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat pada abad pertengahan adalah suatu arah pemikiran yang berbeda

sekali dengan arah pemikiran dunia kuno. Filsafat abad pertengahan

menggambarkan suatu zaman yang baru sekali ditengah-tengah suatu rumpun

bangsa yang baru, yaitu bangsa Eropa barat. Filsafat yang baru ini disebut

Skolastik.

Belakangan kata skolastik menjadi istilah bagi filsafat pada abad 9-15 yang

mempunyai corak khusus yaitu filsafat yang dipengaruhi agama.

Secara historis, khazanah pemikiran filsafat Yunani pernah mencapai kejayaan

dan hasil yang gemilang dengan melahirkan peradaban yunani. Menurut

perkembangan sejarah pemikiran manusia, peradaban Yunani merupakan titik

tolak peradaban manusia di Dunia . Peradaban Yunani terus menyebar

keberbagai bangsa diantaranya adalah bangsa Romawi. Setelah filsafat Yunani

sampai kedaratan Eropa, disana mendapatkan lahan baru dari pertumbuhannya.

Masa skolastik termasuk dalam abad pertengahan yang didalamnya

terdapat pemikiran-pemikiran dari para tokoh masa tersebut, sehingga kita

harus mempelajari lebih detail masa skolastik dalam filsafat.1

1 http://makalahmakulfilsafat.blogspot.com/2016/05/filsafat-masa-
skolastik.html.”Sebagaimana di akses pada tanggal 14 Oktober 2018, pukul 21:14 WITA”

1
B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada makalah ini
sebagai berikut:
1. Apa saja yang dimaksud dengan filsafat Scolastik?
2. Bagaimana periode-periode pada abad pertengahan?
3. Apa saja pemikiran Filsafat mainstream skolastik?

C.Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan dari makalah


ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian dari filsafat Skolastik.

2. Untuk mengetahui periode-periode pada abad pertengahan.

3. Untuk mengetahui pemikiran filsafat mainstream skolastik.

D.Manfaat Penulisan

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat yang


berarti. Manfaat-manfaat yang dimaksud adalah:

1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian filsafat skolastik.

2. Mahasiswa dapat mengetahui periode-periode pada abad pertengahan.

3. Mahasiswa dapat mengetahui pemikiran filsafat mainstream skolastik.

2
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN FILSAFAT SKOLASTIK, PERIODE-PERIODE PADA
ABAD PERTENGAHAN, PEMIKIRAN FILSAFAT MAINSTREAM
SKOLASTIK

A. Pengertian Filsafat Skolastik


Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti
sekolah. Ada juga yang mengatakan bahwa kata skolastik diambil dari kata
schuler yang berarti ajaran atau sekolahan. Selain itu juga, terdapat pendapat
lain yang mengatakan bahwa skolastik bermula dari perkataan “colastikus”
yang dimaksudkan untuk guru yang mengajar disekolah-sekolah atau “keluaran
sakolah”. Jadi skolastik berarti sesuatu yang berkaitan dengan sekolah. Kata
skolastik menjadi istilah bagi filsafat pada abad 9-15 yang mempunyai corak
khusus yaitu filsafat yang dipengaruhi agama. Sebutan skolastik
mengungkapkan, bahwa ilmu pengetahuan abad pertengahan diusahakan oleh
sekolah-sekolah, dan bahwa ilmu itu terikat pada tuntutan pengajaran di
sekolah-sekolah itu. Semula Skolastik timbul di biara-biara tertua di Gallia
Selatan. Dari biara-biara di Gallia selatan itu pengaruh Skolastik keluar sampai
di Irlandia, di Nederland dan di Jerman. Kemudian Skolastik timbul di sekolah-
sekolah kapittel, yaitu sekolah-sekolah yang dikaitkan dengan gereja.
Perkataan skolastik merupakan corak khas dari sejarah filsafat abad
pertengahan. Filsafat skolastik adalah filsafat yang mengabdi pada teologi atau
filsafat yang rasional memecahkan persoalan-persoalan mengenai berpikir, sifat
ada, kejasmanian, kerohanian, baik dan buruk. Terdapat beberapa pengertian
dari corak khas scolastik, yaitu:

a. Filsaafat Skolastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-


mata agama. Karena skolastik ini sebagai bagian dari kebudayaan abad
pertengahan yang religius.

3
b. Filsafat Skolastik adalah filsafat yang mengabdi kepada teologi,
atau filsafat yang rasional memecahkan persoalan-persoalan mengenai berfikir,
sifat ada, kejasmanian, kerohanian, baik maupun buruk. Dari rumusan tersebut
kemudian muncul istilah: skolastik Yahudi, skolastik Arab dan lain-lainnya.

c. Filsafat Skolastik adalah suatu sistem filsafat yang termasuk


jajaran pengetahuan alam kodrat, akan dimasukkan kedalam bentuk sintesa
yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal.

d. Filsafat Skolastik adalah filsafat Nasrani, karena banyak


dipengaruhi oleh ajaran gereja.

Filsafat masa skolastik merupakan filsafat yang tumbuh pada abad


pertengahan. Dan filsafat barat abad petengahan (476-1492) sendiri sering
dikatakan sebagai “abad gelap” atau “masa kegelapan”. Hal ini disebabkan
karena pertama, abad pertengahan adalah masa kebodohan dan kegelapan,
yang harus dilalui cepat-cepat untuk sampai pada Renaissance, yaitu masa
terang dan pengetahuan. Kedua, filsafat skolastik diajarkan dan ditulis dengan
menggunakan bahasa Latin yang tidak tinggi, berkelibihan memakai syllogisme
dan perdebatan-perdebatan kosong, serta hanya membicarakan soal-soal
agama.

Selain itu juga, dianggap “abad gelap” karena berdasarkan pada pendekatan
sejarah gereja, saat itu tindakan gereja sangat membelenggu kehidupan
manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk
mengembangkan potensi dirinya. Semua hasil-hasil pemikiran manusia diawasi
oleh kaum gereja dan apabila terdapat pemikiran yang bertentangan dengan
ajaran gereja, maka orang yang mengemukakannya akan mendapatkan
hukuman yang berat. Pihak gereja juga melarang diadakannya penyelidikan-
penyelidikan berdasarkan rasio terhadap agama. Karena itu kajian terhadap
agama (teologi) yang tidak berdasarkan ketuhanan gereja akan mendapat

4
larangan yang ketat. Yang berhak melakukan penyelidikan terhadap agama
hanyalah gereja. Dan jika ada yang melanggar peraturan tersebut, mereka akan
dianggap orang murtad dan kemudian diadakan pengejaran (inkuisisi).

Abad pertengahan ini juga dapat dikatakan sebagai suatu masa yang penuh
dengan upaya menggiring manusia kedalam kehidupan atau sistem
kepercayaan yang picik dan fanatik, dengan menerima ajaran gereja secara
membabi buta. Karena itulah perkembangan ilmu pengetahuan terhambat.
Maka ini penuh dengan dominasi gereja, yang tujuannya untuk membimbing
umat kearah hidup yang salah, tetapi disisi lain, dominasi gereja ini tanpa
dibarengi dengan memikirkan martabat dan kebebasan manusia yang
mempunyai perasaan, pemikiran, keinginan dan cita-cita untuk menentukan
masa depannya sendiri.2

B. Periode-periode pada Masa Pertengahan


Sejarah filsafat abad pertengahan dibagi menjadi dua zaman atau
periode, yakni periode pratistik dan periode skolastik.
a. Patristik (100-700)
Patristik berasal dari kata Latin Patres yang berarti bapa-bapa greja, ialah ahli
agama kristen pada abad permulaan agama kristen.
Didunia barat agama katolik mulai tersebar dengan ajaranya tentang tuhan,
manusia dan etikanya. Untuk mempertahankan dan menyebarkanya maka mereka
menggunakan filsafat yunani dan memperkembangkanya lebih lanjut, khususnya
menganai soal soal tentang kebebasan manusia, kepribadian, kesusilaan, sifat tuhan.
Yang terkenal Tertulianus (160-222), origenes (185-254), Agustinus (354-
430), yang sangat besar pengaruhnya (De Civitate Dei).
Pratistik berasal dari kata latin prates yang berarti Bapa-Bapa Gereja, ialah
ahli agama Kristen pada abad permulaan agama Kristen. Zaman ini muncul pada
abad ke-2 sampai abad ke-7, dicirikan dengan usaha keras para Bapa Gereja untuk

2 http://makalahmakulfilsafat.blogspot.com/2016/05/filsafat-masa-
skolastik.html.”Sebagaimana di akses pada tanggal 14 Oktober 2018, pukul 21:14 WITA.”

5
mengartikulasikan, menata, dan memperkuat isi ajaran Kristen serta membelanya
dari serangan kaum kafir dan bid’ah kaum Gnosis. Bagi para Bapa Gereja, ajaran
Kristen adalah filsafat yang sejati dan wahyu sekaligus. Sikap para Bapa Gereja
terhadap filsafat yunani berkisar antara sikap menerima dan sikap penolakan.
Penganiayaan keji atas umat Kristen dan karangan-karangan yang menyerang
ajaran Kristen membuat para bapa gereja awal memberikan reaksi pembelaan
(apologia) atas iman Kristen dengan mempelajari serta menggunakan paham-
paham filosofis.
Akibatnya, dalam perjalanan waktu, terjadilah reaksi timbal balik,
kristenisasi helenisme dan helenisasi kristianisme. Maksudnya, untuk menjelaskan
dan membela ajaran iman Kristen, para Bapa Gereja memakai filsafat Yunani
sebagai sarana (helenisme”di kristenkan”). Namun, dengan demikian, unsur-unsur
pemikran kebudayaan helenisme, terutama filsafat Yunani, bisa masuk dan
berperan dalam bidang ajaran iman Kristen dan ikut membentuknya (ajaran Kristen
“di Yunanikan” lewat gaya dan pola argumentasi filsafat yunani). Misalnya,
Yustinus Martir melihat “Nabi dan Martir” kristus dalam diri sokrates. Sebaliknya,
bagi Tertulianus (160-222), tidak ada hubungan antaraAthena (simbol filsafat) dan
Yerussalem (simbol teologi ajaran kristiani). Bagi Origenes (185-253) wahyu ilahi
adalah akhir dari filsafat manusiawi yang bisa salah. Menurutnya orang hanya boleh
mempercayai sesuatu sebagai kebenaran bila hal itu tidak menyimpang dari trasdisi
gereja dan ajaran para rasul. Pada abad ke-5, Augustinus (354-430) tampil.
Ajarannya yang kuat dipengaruhi neo-platonisme merupakan sumber inspirasi bagi
para pemikir abad pertengahan sesudah dirinya selama sekitar 800 tahun.
Zaman Patristik ini mengalami dua tahap:
1. Permulaan agama Kristen. Setelah mengalami berbagai kesukaran terutama
mengenai filsafat Yunani maka agama Kristen memantapkan diri. Keluar
memperkuat gereja dan ke dalam menetapkan dogma-dogma.
2. Filsafat Augustinus yang merupakan seorang ahli filsafat yang terkenal pada
masa patristik. Augustinus melihat dogma-dogma sebagai suatu keseluruhan.
Setelah berakhirnya zaman sejarah filsafat Barat Kuno dengan ditutupnya
Akademia Plato pada tahun 529 oleh Kaisar Justinianus, karangan-karangan

6
peninggalan para Bapa Gereja berhasil disimpan dan diwariskan di biara-biara
yang , pada zaman itu dan berates-ratus tahun sesudahnya, praktis menjadi pusat-
pusat intelektual berkat kemahiran para biarawan dalam membaca, menulis, dan
menyalinnya ke dalam bahasa Latin-Yunani serta tersedianya fasilitas perpustakaan.

b. Skolastik 800-1500
Zaman Skolastik dimulai sejak abad ke-9. Kalau tokoh masa Patristik adalah
pribadi-pribadi yang lewat tulisannya memberikan bentuk pada pemikiran filsafat
dan teologi pada zamannya, para tokoh zaman Skolastik adalah para pelajar dari
lingkungan sekolah-kerajaan dan sekolah-katedral yang didirikan oleh Raja Karel
Agung (742-814) dan kelak juga dari lingkungan universitas dan ordo-ordo
biarawan.
Dengan demikian, kata “skolastik” menunjuk kepada suatu periode di Abad
Pertengahan ketika banyak sekolah didirikan dan banyak pengajar ulung
bermunculan. Namun, dalam arti yang lebih khusus, kata “skolastik” menunjuk
kepada suatu metode tertentu, yakni “metode skolastik”.
Dengan metode ini, berbagai masalah dan pertanyaan diuji secara tajam dan
rasional, ditentukan pro-contra-nya untuk kemudian ditemukan pemecahannya.
Tuntutan kemasukakalan dan pengkajian yang teliti dan kritis atas pengetahuan
yang diwariskan merupakan ciri filsafat Skolastik.
Sesudah agustinus: keruntuhan. Satu-satunya pemukir yang tampil kemuka
ialah: Skotus Erigena (810-877). Kemudian: Skolastik, disebut demikian karena
filsafat diajarkan pada universitas-universitas (sekolah) pada waktu itu. Persoalan-
persoalan: tentang pengertian-pengertian umum (pengaruh plato). Filsafat
mengabdi pada theologi. Yang terkenal: Anselmus (1033-1100), Abaelardus (1079-
1142).Periode ini terbagi menjadi tiga tahap:

1. Periode Skolstik awal (800-120)


Ditandai dengan pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang
rapat antara agama dan filsafat.Ditandai oleh pembentukan metode yang lahir
karena hubungan yang rapat antara agama dan filsafat. Yang tampak pada

7
permulaan ialah persoalan tentang universalia. Ajaran Agustinus dan neo-
Platonisme mempunyai pengaruh yang luas dan kuat dalam berbagai aliran
pemikiran.
Pada periode ini, diupayakan misalnya, pembuktian adanya Tuhan
berdasarkan rasio murni, jadi tanpa berdasarkan Kitab Suci (Anselmus dan
Canterbury). Selanjutnya, logika Aristoteles diterapkan pada semua bidang
pengkajian ilmu pengetahuan dan “metode skolastik” dengan pro-contra mulai
berkembang (Petrus Abaelardus pada abad ke-11 atau ke-12). Problem yang hangat
didiskusikan pada masa ini adalah masalah universalia dengan konfrontasi antara
“Realisme” dan “Nominalisme” sebagai latar belakang problematisnya. Selain itu,
dalam abad ke-12, ada pemikiran teoretis mengenai filsafat alam, sejarah dan
bahasa, pengalaman mistik atas kebenaran religious pun mendapat tempat.
Pengaruh alam pemikiran dari Arab mempunyai peranan penting bagi
perkembangan filsafat selanjutnya. Pada tahun 800-1200, kebudayaan Islam
berhasil memelihara warisan karya-karya para filsuf dan ilmuwan zaman Yunani
Kuno. Kaum intelektual dan kalangan kerajaan Islam menerjemahkan karya-karya
itu dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Maka, pada para pengikut Islam
mendatangi Eropa (melalui Spanyol dan pulau Sisilia) terjemahan karya-karya
filsuf Yunani itu, terutama karya-karya Aristoteles sampai ke dunia Barat. Dan
salah seorang pemikir Islam adalah Muhammad Ibn Rushd (1126-1198). Namun
jauh sebelum Ibn Rushd, seorang filsuf Islam bernama Ibn Sina (980-1037)
berusaha membuat suatu sintesis antara aliran neo-Platonisme dan Aristotelianisme.
Dengan demikian, pada gilirannya nanti terbukalah kesempatan bagi para
pemikir kristiani Abad Pertengahan untuk mempelajari filsafat Yunani secara lebih
lengkap dan lebih menyeluruh daripada sebelumnya. Hal ini semakin didukung
dengan adanya biara-biara yang antara lain memeng berfungsi menerjemahkan,
menyalin, dan memelihara karya sastra.

2. Periode puncak perkembangan skolastik (abad ke-13)


Periode puncak perkembangan skolastik : dipengaruhi oleh Aristoteles
akibat kedatangan ahli filsafat Arab dan yahudi. ilsafat Aristoteles memberikan

8
warna dominan pada alam pemikiran Abad Pertengahan. Aristoteles diakui sebagai
Sang Filsuf, gaya pemikiran Yunani semakin diterima, keluasan cakrawala berpikir
semakin ditantang lewat perselisihan dengan filsafat Arab dan Yahudi. Universitas-
universitas pertama didirikan di Bologna (1158), Paris (1170), Oxford (1200), dan
masih banyak lagi universitas yang mengikutinya. Pada abad ke-13, dihasilkan
suatu sintesis besar dari khazanah pemikiran kristiani dan filsafat Yunani. Tokoh-
tokohnya adalah Yohanes Fidanza (1221-1257), Albertus Magnus (1206-1280),
dan Thomas Aquinas (1225-1274). Hasil sintesis besar ini dinamakan summa
(keseluruhan).

3. Periode Skolastik lanjut atau akhir (abad ke-14-15)


Periode skolastik Akhir abad ke 14-15 ditandai dengan pemikiran islam
yang berkembang kearah nominalisme ialah aliran yang berpendapat bahwa
universalisme tidak memberi petunjuk tentang aspek yang sama dan yang umum
mengenai adanya sesuatu hal. Kepercayaan orang pada kemampuan rasio member
jawaban atas masalah-masalah iman mulai berkurang. Ada semacam keyakinan
bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat disatukan. Rasio tidak dapat
mempertanggungjawabkan ajaran Gereja, hanya iman yang dapat menerimanya.
Salah seorang yang berfikir kritis pada periode ini adalah Wiliam dari
Ockham (1285-1349). Anggota ordo Fransiskan ini mempertajam dan
menghangatkan kembali persoalan mengenai nominalisme yang dulu pernah
didiskusikan. Selanjutnya, pada akhir periode ini, muncul seorang pemikir dari
daerah yang sekarang masuk wilayah Jerman, Nicolaus Cusanus (1401-1464). Ia
menampilkan “pengetahuan mengenai ketidaktahuan” ala Sokrates dalam
pemikiran kritisnya:”Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dapat ku ketahui
bukanlah Tuhan”. Pemikir yang memiliki minat besar pada kebudayaan Yunani-
Romawi Kuno ini adalah orang yang mengatur kita memasuki zaman baru, yakni
zaman Modern, yakni zaman Modern yang diawali oleh zaman Renaissans, zaman
“kelahiran kembali” kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa mulai abad ke-16.
Baru sesudah tahun 1200 filsafat berkembang kembali berkat pengaruh
filsafat araab yang diteruskan ke Eropa.

9
c. Fisafat arab
Berkat pengaruh Helenisme (iskandar), filsafat yunani hidup terusdi Siria,
diperkembangkan lebih lanjut oleh filusuf-filusuf Arab, kemudian diteruskan ke
Eropa melalui sepanyol.
a) Alkindi (800-870) satu-satunya orang arab asli. Corak filsafatnya
ialahpemikiran kembali dari ciptaan Yunani (menterjemahkan 260 buku Yunani)
dalam bentuk bebas dengan refleksinya dengan iman islam
b) Alfarabi (872-950), filusuf muslim dalam pangkal filsafatnya dari Plotinus.
c) Al-Ghazali (1059-1111) filusuf besar islam yang mengarang Ihya Ulumuddin,
di Spanyol
d) Ibnu sina (avicena)(980-1037) yang besar pengaruhnya terhadap filsafat barat,
sejak usia 10 tahun sudah hafal Al-Qur’an.
e) Ibnu Bajjah (1138), penafsiran karya fisik dan metafisik Aristoteles.
f) Ibnu Rushd (Averros) (1126-1198) yang disebut jiga penafsir Arostoteles dan
yang sangat berpengaruh terhadap aliran-aliran di Eropa, jiga seorang filusuf besar
Muslim.
g) Avencebrol (ibnu Gebol) (1020-1070)
h) Main monides (moses bin maimon) (1135-1204)

d. Zaman Keemasan
Perkembangan baru karena adanya universitas-universitas (paris), karangan
karangan Aristoteles mulai dikenal umum melalui filusuf-filusuf arab dan Yunani.
a) Pengikut-pengikut Agustinus : sigerbonafenturant
b) Pengikut-pengikut ibn Rushd: Siger dari Barabant (1235-1281).
c) Pengikut-pengikut Aristoteles : Albertus Magnus (1206-1280), dan muridnya;
Thomas Aquinas (1225-1274), yang berhasil menemukan sintesis antara
Aristoteles—Plato— Agustinus dan skolastik.
Perbedaan agama dan filsafat dan sintesisnya, pemecahan soal-soal besar tentang
pengetahuan, tentang “ada” dan dasarnya tentang etika. Pengaruhnya sampai
sekarang masih sangat kuat.

10
Disamping aliran-aliran ini terdapat juga ;
1) Aliran Neo-platonis: Roger Bacon (1210-1292).
2) Aliran empirisme (pengaruh Aristoteles), yang membela kaidah ilmu pasti
dalam ilmu pengetahuan dan penyelidikan berdasarkan eksperimen-eksperimen.
3) Duns-Scotus (1270-1308) pembahasan yang tajam, perimtis jalan bagi filsafat
abad ke XIV, positivitas (hanya apa yang kongkrit yang dapat dilihat dan yang dapat
diraba dan dapat dimengerti) dan voluntaristis (lebih mementingkan kehendak dari
pada pikiran)
4) W. Ockham (1550) yang meneruskan ajaran Scotus: tentang pengetahuan:
konseptualitas (lihat logika: pengertian-pengertian umum tidak “benar” sesuai
dengan kenyataan)

e. Zaman Peralihan: 1400-1550


Renaissence, perkambangan humanisme, pertentangan besar antara tradisi dan
kemajuan. Perkembangan baru dari sistem-sistem lama (Plato—Aristoteles, Stoa)
dan usaha mencari sintesis sintesis baru. Persoalan yang terbesar ialah hubungan
antara ilmu pengetahuan dan Agama.3

C. Pemikiran Filsafat Mainstream Skolastik


Pada masa skolastik kristen banyak muncul tokoh-tokoh filsafat yang
pemikirannya berpengaruh pada saat itu, diantaranya:
1. Johanes Scotes Uriugena (810-870)
Johanes Scotus Eriugena (± 810-870) dari Irlandia adalah seorang yang
ajaib sekali. Ia menguasai bahasa Yunani dengan amat baik pada suatu zaman orang
banyak hampir tidak mengenal bahasa itu. Juga ia berhasil menyusun suatu sistem
filsafat yang teratur secara mendalam pada suatu zaman ketika orang masih berfikir
hanya dengan mengumpulkan pendapat orang lain saja.
Menurut Johanes Scotes alam adalah keseluruhan realitas. Oleh karena itu hakikat
alam adalah satu (esa). Tetapi didalam alam yang esa itu dibedakan 4 bentuk, yaitu:

3 http://khotimhanifudinnajib.blogspot.com/2011/07/sejarah-filsafat-masa-
pertengahan.html.”Sebagaimana di akses pada tanggal 14 Oktober 2018, pukul 21:14 WITA.”

11
a. Alam yang menciptakan, tetapi yang sendiri tidak diciptakan. Alam yang esa
secara sempurna ini adalah Allah, satu-satunya realitas adalah hakikat segala
sesuatu, yang jauh melebihi segala penentuan, bahkan mengatasi segala ”yang ada”.
Menurut Johanes, segala nama Allah termasuk teologia yang bersifat meneguhkan.
Hal ini dikarenakan Allah bersifat transenden, hingga hakekatnya tidak dapat
dikenal. Dengan demikian maka satu-satunya realitas yang ada tidak dapat dikenal
dengan akal. Jadi segala pengetahuan manusia tentang realitas yang satu itu tentu
berdasarkan wahyu.
b. Alam yang menciptakan, tetapi yang sendiri diciptakan. Ini adalah teofani
yang pertama, yaitu dunia idea yang merupakan pola dasar segala sesuatu. Kesatuan
segala idea oleh Johanes disebut Logos. Didalam logos “berada” dan “berfikir”
merupakan satu kesatuan. Karena berfikir identik dengan berada. Dan karena logos
memikirkan idea, maka idea itu berada.
c. Alam yang diciptakan, tetapi yang sendiri tidak diciptakan. Ini adalah teopani
kedua, yaitu perealisasian segala sesuatu didalam dunia yang tampak ini. Jagad raya
keluar dari kedalaman Allah sendiri, dan seluruh isi jagad raya adalah bentuk-
bentuk penampakan segala idea, sehingga mewujudkan tanda-tanda.
d. Alam tidak menciptakan dan tidak diciptakan. Inilah Allah sebagai bentuk
alam yang keempat. Allah dipandang sebagai tujuan terakhir segala sesuatu,
pengaliran kembali (remanasi) yang mengikuti pengaliran keluar (emanasi).
Pemikiran filsafat Johanes berdasarkan keyakinan kristiani, sehingga segala
penelitiannya dimulai dari iman, sedang wahyu ilahi dipandang sebagai sumber
bahan-bahan filsafatnya. Menurutnya akal bertugas mengungkapkan arti yang
sebenarnya dari bahan-bahan filsafat yang di galinya dari wahyu ilahi.
Pangkal pemikiran metafisik johanes adalah jika makin umum sifat sesuatu, maka
makin nyatalah sesuatu itu. Karena itu zat yang sifatnya paling umum tentu
memiliki realitas yang paling tinggi. Didalam pemikiran metafisis ini tersirat suatu
etika yang demikian: Manusia harus berusaha menuju kepada suatu kesatuan
dengan Allah, yang hanya dapat dicapai dalam suatu pengetahuan mistis yang
mengatasi segala pemikiran akal dan pengalaman indrawi.

12
2. Anselmus (1033-1109)
Anselmus dari Canterbury (1033-1109) dilahirkan di Aosta, Piemont, yang
kemudian menjadi uskup di Canterbury. Sekalipun sebagian karyanya ditulis pada
abad ke-11, akan tetapi karya-karyanya itu besar sekali pengaruhnya atas pemikiran
Skolastik, maka tiada keberatan untuk membicarakan tokoh ini sebagai termasuk
tokoh abad ke-12. Pemikiran dialektika, atau pemikiran dengan akal, diterima
sepenuhnya bagi pemikiran teologia. Akan tetapi bukan dalam arti bahwa hanya
akallah yang dapat memimpin orang kepada kepercayaan, melainkan bahwa orang
harus percaya dahulu supaya dapat mendapatkan pengertian yang benar akan
kebenaran.
Menurut Anselmus, pengertian-pengertian umum atau universalia bukan hanya
sebutan saja, akan tetapi juga memiliki realitas. Universalia benar-benar ada
kenyataannya, bebas daripada segala hal yang individual, yaitu berada sebagai idea-
idea di dalam Allah. Baik pandangan tentang pemikiran akali, maupun
pandangannya tentang universelia itu dikaitkan dengan pandangan tentang bukti-
bukti tentang adanya Allah.

3. Petrus Abaelardus (1079-1142)


Mempunyai kepribadian yang keras dan pandangannya sangat tajam, sehingga
sering kali bertengkar dengan para ahli pikir dan pejabat gereja. Ia termasuk orang
konseptualisme sekaligus sebagai rasionalistik yang artinya bahwa peranan akal
dapat menundukkan kekuatan iman. Iman harus mau didahului oleh akal. Yang
harus dipercaya adalah apa yang telah disetujui atau diterima akal. Berbeda dengan
Anselmus, yang mengatakan bahwa berpikir harus sejalan dengan iman, Albaedrus
memberikan alasan bahwa berpikir itu diluar iman. Hal ini sesuai dengan metode
dialektika yang tanpa ragu-ragu ditunjukkan dalam teologi, yaitu bahwa teologi
harus memberikan tempat bagi semua bukti-bukti.
Dibidang etika Abaelardus merintis pemikiran baru. Ia adalah orang pertama
yang ingin menyusun etika bukan berdasarkan wibawa wahyu, tetapi tanpa
meninggalkan moral kristiani. Tekanan diletakkan pada niat, yaitu maksud sesuatu
dilakukan perbuatan manusia ditunjukkansebagai tanda kasih kepada Allah.

13
4. Albertus Agung (1206-1280)
Didalam sejarah filsafat Albertus menduduki tempat yang istimewa sekali,
sebab ia mempelajari filsafat demi filsafat, sebagai ilmu yang memiliki sasaran,
dasar-dasar dan metodenya sendiri. Menurut Albertus secara hakiki iman harus
dibedakan dengan pengetahuan yang diperoleh akal. Perbuatan iman lebih
berdasarkan atas rasa-perasaan daripada atas pertimbangan akal. Maka isi
kebenaran iman tidak dapat dibuktikkan. Sebagai contoh, bahawa dunia diciptakan
oleh Allah dalam waktu, seumpamanya hal ini tidak dapat dibuktikan, maka
penciptaan dalam waktu ini merupakan suatu kebenaran iman. Akan tetapi jika
berbicara tentang Allah spontan mengatakan bahwa Allah ada dan dapat dibuktikan,
sekalipun pembuktian itu dilakukan secara a posteriori. Maka “adanya Allah”
bukan kebenaran iman, malainkan dasar iman.
Berdasarkan pandangan ini maka teologia dan filsafat harus dibedakan.
Keduanya berdiri berdampingan dan memiliki sasaran serta metodenya sendiri-
sendiri. Teologia bersandar kepada bahan-bahan yang diberikan iman. Teologia
membicarakan hal-hal yang melayani keselamatan manusia, membicarakan hal-hal
adikodrati atau yang mengatasi segala yang bersifat alamiyah. Orang memang
memerlukan akal untuk berteologia, akan tetapi sumbernya terdapat pada wahyu
yang bersifat adikodrati. Dan sebaliknya, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan
yang alamiyah, ilmu yang bekerja menggunakan akal, berlaku bagi semua orang,
dan bersifat umum.

5. Thomas Aquinas (1225-1274)


Karya Thomas Aquinas telah menandai taraf yang tinggi dari aliran
Skolastisisme pada abad pertengahan. Ia adalah seorang pendeta domonokan
Gereja Katolik. Ia berusaha untuk membuktikan, bahwa iman Kristen secara penuh
dapat dibenarkan dengan pemikiran logis. Thomas telah menafsirkan bahwa Tuhan
sebagai Tukang Boyong yang tidak pernah berubah dan yang tidak berhubungan
atau tidak mempunyai pengetahuan tentang kejahatan-kejahatan didunia. Tuhan
tidak pernah mencipta dunia, tetapi zat dan pemikirannya tetap abadi.

14
Selanjutnya ia mengatakan, bahwa iman lebih tinggi dan berada diluar
pemikiran yang berkenaan sifat Tuhan dan alam semesta. Timbulnya pokok
persoalan yang aktualdan praktis dari gagasannya adalah “pemikirannya dan
kepercayaannya telah menemukan kebenaran mutlak yang harus diterima oleh
orang-orang lain”. Pandangan inilah yang menjadikan perlawanan kaum Protestan,
karena sifatnya yang otoriter.
Filsafat thomas dihubungkan erat sekali dengan teologia. Dengan demikian
Thomas menyimpulkan adanya dua macam pengetahuan yang tidak saling
bertentangan, tetapi yang berdiri sendiri-sendiri secara berdampingan, yaitu:
pertama, pengetahuan alamiyah, yang berpangkal pada akal yang terang serta
memiliki hal-hal yang bersifat insani umum sebagai sasarannya. Kedua,
pengetahuan iman, yang berpangkal dari wahyu dan memiliki kebenaran ilahi.
Pengertian-pengertian metafisisnya sebagian besar disebut substansi, tetapi
bukan substansi sempurna, melainkan sebagai sesuatu yang masih berada dalam
potensi dan aktus, bakat dan perealisasian. Thomas juga mengajarkan apa yang
disebut theologia naturalis, yang mengajarkan bahwa manusia dengan pertolongan
akalnya dapat mengenal Allah.

6. Yohanes Fidanza (1221-1257)


Dia memiliki pemikiran bahwa Allah ada baginya adalah suatu yang sangat
jelas. Kehadiran Allah tersirat dalam tiap bentuk ilmu pengetahuan yang pasti.
Dengan demikian maka tidak semua pengetahuan diperoleh dengan pengenalan
indrawi. Segala yang diciptakan tersusun dari materi dan bentuk, atau dari potensi
dan aktus. Hanya Allahlah yang memiliki bentuk murni, karena segala sesuatu yang
ada pada Allah sempurna adanya. Sedangkan para malaikat sebagai makhluk yang
murni rohani, tersusun dari materi dan bentuk tertentu. Begitupula dengan manusia
tersusun dari materi dan banyak bentuk. Yang membedakan manusia dengan
malaikat adalah akal yang dimilki manusia, karena akal manusia mendapat bagian
zat ilahi.

15
7. Yohanes Duns Scotus (1266-1308)
Duns Scotus berhasil menciptakan suatu sintese baru yang bersifat filsafat-
theologis, yang memakai bermacam-macam unsur pemikiran tradisional
yang diolah sehingga mempunyai sifat sendiri. Menurutnya pengalaman-
pengalaman yang diperoleh melalui pengamatan dengan indra adalah penting,
karena dia selalu menekankan hal yang empiris. Duns Scotus juga berpendapat,
bahwa ada hubungan yang selaras antara iman dan pengetahuan. Hal
ini memunculkan adanya dua macam kebenaran, yaitu kebenaran yang
sesuai dengan akal dan kebenaran yang sesuai dengan iman.

8. William Ockham (1285-1349)


Menurut pendapatnya, pikiran manusia hanya dapat mengetahui barang-barang
atau kejadian-kejadian individual, dan konsep-konsep atau kesimpulan-
kesimpulan umum tentang alam hanya merupakan abstraksi buatan tanpa kenyataan.
Pemikiran yang hanya demikian ini, dapat dilalui hanya lewat intuisi, bukan lewat
logika. Disamping itu ia membantah anngapan skolastik bahwa logika dapat
membuktikan doktrin teologis.
Menurutnya yang nyata hanyalah hal-hal yang tunggal dalam kenyataan.
Pengertian umum atau jenis tidak memiliki eksistensi, sebab hanya yang tinggal
itulah yang tereksistensi. Universalia hanya berada pada akal saja. Pembedaan-
pembedaan yang berarti adalah pembedaan yang nyata ada, artinya
pembedaan diantara hal-hal yang benar-benar dapat dipisahkan yang satu dengan
yang lain. Dengan ini pembedaan yang tradisional antara hakikat dan keberadaan
ditiadakan.

9. Nicolas Cusaus (1401-1464)


Ia sebagai tokoh pemikir yang berada paling akhir pada masa skolastik.
Menurut pendapatnya, terdapat tiga cara untuk mengenal, yaitu:
a. Melalui indera: akan mendapatkan pengetahuan tentang benda-benda
berjasad, yang sifatnya tidak sempurna.

16
b. Melalui Akal: akan mendapatkan bentuk-bentuk pengertian yang abstrak
berdasar pada sajian atau tangkapan indera.
c. Melalui intuisi: akan mendapatkan pengetahuan yang lebih tinggi. Hanya
dengan intuisi inilah kita akan mempersatukan apa yang oleh akal tidak dapat
dipersatukan.

Segala makhluk adalah gambar Allah dalam 3 alam, yaitu: alam indrawi, alam
akali, dan alam rohani. Manusia sebagai kesatuan dari 3 alam ini menjadi pusat
seluruh penciptaan. Ia adalah gambar Allah yang sempurna, suatu mikro-kosmos.
Jiwanya tidak dapat mati dan hanya untuk sementara waktu saja dibubungkan
dengan tubuh. Pada waktunya nanti seluruh jagad raya akan kembali kepada Allah
(sang penciptanya). Jalan kembali ini digerakkan oleh kasih, yang dimungkinkan
oleh kristus.
Demikianlah pemikiran Nicolaus ini sebagai upaya mempersatukan seluruh
pemikiran abad pertengahan, yang dibuat kesuatu sintesa yang lebih luas. Sintesa
ini mengarah ke masa depan, dan pemikiranya ini tersirat suatu para humanis.4

4http://makalahmakulfilsafat.blogspot.com/2016/05/filsafat-masa-
skolastik.html.”Sebagaimana di akses pada tanggal 14 Oktober 2018, pukul 21:14 WITA.”

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan pada makalah ini sebagai berikut :

1. Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school,
yang berarti sekolah. Ada juga yang mengatakan bahwa kata
skolastik diambil dari kata schuler yang berarti ajaran atau
sekolahan. Jadi skolastik berarti aliran atau yang berkaitan dengan
sekolah.
2. Zaman pertengahan ialah zaman dimana Filsafat Abad Pertengahan
dicirikan dengan adanya hubungan erat antara agama Kristen dan
filsafat. Dilihat secara menyeluruh, filsafat Abad Pertengahan
memang merupakan filsafat Kristiani. Para pemikir zaman ini
hampir semuanya klerus, yakni golongan rohaniwan atau biarawan
dalam Gereja Katolik (misalnya uskup, imam, pimpinan biara,
rahib), minat dan perhatian mereka tercurah pada ajaran agama
kristiani. Sejarah filsafat abad pertengahan dibagi menjadi dua
zaman atau periode, yakni periode pratistik dan periode skolastik.
3. Pada zaman skolastik muncul beberapa pemikiran-pemikiran dari
beberapa ahli yang meliputi : Johanes Scotus Eriugena, Anselmus,
Petrus Abaelardus, Albertus Agung, Thomas Aquinas, Yohanes
Fidanza, Yohanes Duns Scotus, William Ockham, dan Nicolas
Cusasus.

B. Saran
Mahasiswa harusnya memandang imu filsafat sebagai alat untuk
meningkatkan kompetensi dan kemampuan dibidang teologia. Ilmu
filsafat bukan ilmu yang harus dihindari tetapi filsafat juga membantu
mahasiswa memahami teologia denagn baik. Filsafat memiliki peran
yang cukup banyak dan berpengaruh dalam perkembangan teologia oleh
pakar pakar teologia dunia. Jadi marilah kita sebagai mahasiswa yang
baik untuk tidak menganggap filsafat itu hanya dari segi negatifnya
tetapi kita harus memandang filsafat dari segi positifnya. Jadilah
mahasiswa yang memiliki kognitif yang tinggi dan takut akan Tuhan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. 2001. Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada


Maksum, Ali. 2011. Pengantar Filsafat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Hanafi, A. 1983. Filsafat Skolastik. Jakarta: Pustaka Alhusna
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Jogjakarta: Kanisius
Ahmad Sadali & Mudzakir. 1999. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia
Smith, Samuel. 1986. Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang
Pendidikan, alih bahasa siapa ?. Jakarta: Bumi Aksara

19

Anda mungkin juga menyukai