BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Politik Islam dapat dimaknai “aktivitas politik sabagian acuan nilai dan basis solidaritas
berkelompok.” Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruhnya pemeluk Islam, namun boleh
berasal dari luar komunitas Muslim. Politik Islam, secara substansial, merupakan penghadapan
Islam dengan kekuasaan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku politik (political
behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap,
perilaku, dan budaya politik yang memakai kata sifat Islam bermula dari suatu keprihatinan
moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.
2.1.2 Variasi pandangan umat Islam dalam melihat relasi Islam dan Politik
Secara kategorial, dalam memandang relasi Islam dan politik, para pemikir Muslim
terfragmentasi ke dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok “Islam Politik” (al-Islam al-siyasi),
yaitu kelompok yang dengan gigih menginginkandiwujudkannya syariat Islam dalamkehidupan
berbangsa dan bernegara melalui pranata negara misalnya, dalam bentuk perundang-undangan,
peraturan pemerintah, dan sebagainya. Masuk dalam kelompok ini adalah Muhammad ‘Abduh,
Rasyid Ridha, Hasan al-Banna, dan Abu al-‘Ala al-Maududi.
Kelompok ini berpijak pada 3 prinsip utama, yaitu: (1) politik adalah bagian integral dari
Islam, karena itu praktik politik wajib dilakukan oleh setiap orang Islam. Doktrin Islam, bagi
para pendukung “Islam politik”, tidak hanya menyediakan visi dan pandangan politik semata,
tetapi juga cara-cara bagaimana pemerintah Islam harus dijalankan; (2) Islam politik sudah
menjadi anutan mayoritas kaum Muslimin (jama’ah al-muslimin). Karena itu, orang yang tidak
masuk dalam komunitas besar Islam (al-sawad al-a’zham) dianggap telah keluar dari komunitas
Islam. Bahkan, bisa dinyatakan telah keluar dari zona Islam itu sendiri, yang dalam fikih Islam
disebut dengan istilah murtad;(3) Menegakkan jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah).
Kedua, kelompok “moderat” (al-muttawassith) yang berpandangan bahwa hubungab
agama dengan politik-kenegaraan adalah relasi etik dan moral. Negara merupakan instrumen
politik untuk menegakkan nilai dan akhlak Islam yang bersifat universal. Argumen yang
dikemukakan oleh kelompok “Islam moderat” adalah bahwa konsep negara dan pemerintah
merupakan bagian dari ijtihad kaum Muslimin, karena Islam tidak menentukan dengan jelas tata-
negara dan sistem pemerintahan. Karena itu, bentuk negara bisa republik, monarki, perserikatan,
atau bentuk lain. Tokoh-tokoh yang berhaluan demikian antara lain: Ahmad Amin, Muhammad
Husein Haikal, Muhammad ‘Imarah, Fazlur Rahman, Robert N. Bellah, Amin Rais, dan
Jalaluddin Rahmat(Ghazali, 2002:175)
Ketiga, kelompok “kiri Islam” (al-yasar al-Islami) yang menolak penerapan syariat dan
pembentukan negara Islam. Bagi kelompok ini, Islam adalah agama, bukan negara. Lebih lanjut
mereka menampik idealisasi politik Nabi SAW di Madinah. Para pemikir yang berada dalam
spektrum pemikiran ini, antara lain: ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Muhammad Sa’id al-Asymawi,
Muhammad Ahmad Khalfallah, Faraj Faudah, dan Abdurrahman Wahid(Khan, 1982:75-76).
2. Prinsip keadilan
Adil menjadi prinsip kedua dalam pengelolahan kekuasaan politik. Keadilan yang dituntut itu
bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh
manusia bahkan seluruh makhluk. Ayat-ayat al-Qur’an yang mencakup hal ini amat banyak,
salah satunya berupa teguran kepada Nabi SAW yang hampir menvonis salah seorang Yahudi,
karena terpengaruh oleh pembelaan keluarga seorang pencuri. Dalam kontek inilah turun firman
Allah dalam Q.S al-Nisa’:105 .
3. Prinsip ketaatan
Prinsip ketaatan mengandung makna wajibnya hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’qn
dan sunnah ditaati. Demikian pula hukum perundang-undangan dan kewajiban pemerintahan
wajib ditaati. Kewajiban ini tidak haya dibebankan kepada rakyat, tetapi juga dibebankan kepada
pemerintahan. Oleh karena itu, hukum perundang-undangan dan kebijakan politik yang diambil
pemerintahan harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama. Jika tidak
demikian, maka kewajiban rakyat kepada hukum dan kebijakan dinyatakan telah gugur, karena
agama melarang ketaatan pada kemaksiaatan. Rakyat harus menaati pemerintah selama
pemerintahan itu menaati Allah SWT dan rasul-Nya, sebagaimana difirmankan Allah dalam Q.S
al-Nisa’:59 berikut.
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan para
pemimpinu!”.
Menutur Quraish Shihab (1999, 427), “Tidak disebutkan kata perintah taat pada ulil amri untuk
memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan atau
bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya.
4. Prinsip musyawarah
Prinsip musyawarah menghendaki agar hukum perundang-undangan dan kebijakan politik
diterapkan melalui musyawarah di antara mereka yang berhak. Masalah yang diperselisihkan
para peserta musyawarah harus diselesaikan dengan menggunakan ajaran-ajaran dan cara-cara
yang terkandung alam al-Qur’an dan sunnah Rasul Allah SAW. Prinsip musyawarah ini
diperlukan agar para penyelenggara negara dapat melaksanakn tugasnya dengan baik dan
bertukar pikiran dengan siapa saja yang dianggap tepat guna mencapai yang terbaik untuk
semua’ (Shihab, 1999: 429).
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-
orang yang di luar golongan (non Muslim), karena mereka selalu menimbulkan kesulitan bagi
kamu. Mereka ingin menyusahkanmu. Telah tampak dari ucapanmu mereka kebencian, sedang
apa yang disembunyikan oleh dada mereka lebih besar. Sungguh Kami telah jelsakan kepada
kamu tanda-tanda (teman dan lawan), jika kamu memahaminya”.
Ayat di atas, ditulis Rasyid Ridha (dalam Shihab, 1999), mengandung larangan dan
penyebabnya.
Adapun cita-cita politik Islam-seperti dikemukakan secara implisit oleh al-Qur’an-adalah: (1)
terwujudnya sebuah sistem politik, (2) berlakunya hukum Islam dalam masyarakat secara
mantap, dan (3) terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat.Cita-cita politik tersebut
tersimpul dalam ungkapan“baldatun thayibbatun wa rabbun ghafur”, yang mengandung konsep
“negeri sejahtera dan sentosa. Dari sini tampak kedudukan kekuasaan politik sebagai srana dan
wahana,sedangkan pemerintahan merupakan pelakasana bagi tegaknya ajaran agama
(Salim.1994: 298).
2.3 DEMOKRASI DALAM ISLAM
2.3.1 Konsep dan Sejarah Demokrasi dalam Islam
Demokrasi dalam Islam menjadi polemik antara ada atau tidaknya ajaran demokrasi dalam al-
Qur’an dan hadis. Ini dapat dipahami karena demokrasi terlahir di Yunani dan berkembang pesat
di Eropa atau bbelahan bumi bagian utara,sementara Islam terlahie di Arab dan berkembang
pesat di wilayah selatan. Demokrasi merupakan produk akal sedangkan Islam adalah wahyu
yang difirmankan kepada Rasulullah SAW. Fakta sejarahsejarah menjukkan bahwa pemerintah
yang dijalankan oleh Rasulullah SAW dan Khulafa’ al-Rasyidin tidak menyebutkan antara
berlandaskan pada demokrasi. Pertemuan Islam dan demokrasi merupakan pertemuan
peradapan,ideologi,dan latar belakang sejarah yang jauh berbeda.
2.3.2 Sisi Positif dan Negatif Demokrasi
Demokrasi tidaklah lepas adri sisi positif dan negatif, dalam sisi positif S.N. Dubey menjelaskan
”Demokrasi menjamin setiap keinginan seseorang di dalam komunitas, bahkan menjadi
pertimbangan dalam pengambilan keputusan atau ketetapan pemerintah. Di dalam negara
demokrasi tidak pantas seseorang terlukai atau mengatakan bahwa pendapatnya tidak pernah di
dengarkan”.
Tetapi di balik itu, terdapat sisi negatif yang menjadikan demokrasi tidak dapat di terima oleh
sebagian orang. Kelemahan yang terdapat di dalamnya menjadi sorotan tajam bagi penentang
demokrasi. Cacat demokrasi yang paling fatal adalah terdapat pada landasan konsepsinya sendiri,
prinsip kedaulatan terletak di tangan rakyat, Aristoteles menambahkan, “Pemerintah yang
didasarkan pada pilihan orang banyak akan mudah di pengaruhi oleh para demagog, dan
akhirnya akan merosot jadi kediktatoran”.
Slogan egalite (persamaan) yang menyamaratakan strata masyarakat, juga mengandung
kelemahan. Realitas menunjukkan ada perbedaan dalam kehidupan masyarakat. Kondisi yang
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipungkiri. Bagaimana jadinya bila di
samakan antara yang berpengetahuan tinggi tinggi dengan yang berpengetahuan lebih rendah.
2.3.3 Pandangan Islam tentang demokrasi.
Eposito dan Piscaroti (dalam Eko Taranggono, 2002) mengidentifikasi adanya tiga variasi
pemikiran mengenai hubungan Islam dan demokrasi. Pertama, Islam menjadi sifat dasar
demokrasi. Kedua, Islam tidak berhubungan dengan demokrasi. Ketiga, Theodemocraci yang
diperkenalkan oleh al-Maududi berpandangan bahwa Islam merupakan dasar demokrasi.
Eko Taranggono (2002) mengangkat pendapat Dahl dan Beetham tentang demos dan kratos.
Dahl mengatakan “Semua individu yang telah dewasa bisa terlibat dalam pengambilan keputusan
yang menyangkut seluruh aspek kehidupan. Karena itu, prinsip utama demokrasi adalah
persamaan. Setiap anggota masyarakat mempunyai yang sama untukdi pilih dan memilih”.
Menurut Beetham “Di dalam demokrasi, keputusan apapun sepenuhnya berada di tangan
rakyan, bukan di tangan pemerintah”.
2.4 HAK DAN KEWAJIBAN ASASI MANUSIA MENURUT AJARAN ISLAM
2.4.1 Pengertian Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia
HAM adalah hak dasar manusia yang secara kodrati dianugrahkan oleh Allah SWT kepadanya
tanpa perbedaan.Dengan hak asasi itu manusia dapat mengembangkan diri pribadi,peranan dan
sumbangsihnya bagi kesejahteraan hidup manusia.Sedangkan kewajiban asasi manusia adalah
kewajiban dasar manusia yang wajib dipenuhi olehnya meski dalam skala minimal.
Rasul Allah SAW meletakkan prinsip prinsip hak asasi manusia ini ketika beliau menata
masyarakat madinah yang disebut malaikat plural yang ideal.Di madinah,Rasul Allah SAW
mempersatukan orang islam makkah dan orang islam madinah berdasarkan ikatan akidah dan
ukhuwah islamiyah.Hal ini ditetapkan dalam piagam madinah dengan prinsip prinsip
persamaan,persaudaraan,persatuan,kebebasan,toleransi beragama,perdamaian,tolong-
menolong,dan membela yang teraniaya,serta mempertahankan madinah secara kolektif dari
serangan musuh.
Piagam madinah secara luas menetapkan hak dan kewajiban masyarakat madinah ,baik sebagai
individu maupun masyarakat,secara adil dan proposional.Rasul Allah SAW menetapkan bahwa
hak yang diperoleh masyarakat seimbang dengan kewajiban yang ditunaikannya.Kewajiban yang
dilakukan adalah ibadah yang bukan hanya terkait dengan manusia tetapi juga dengan Allah
SWT.
2.4.2 Hak Asasi Manusia Menurut Piagam PBB
Pemikiran barat selama ini yang berkembang yaitu mementingkan individu.Akibatnya pola
berpikir manusia lebih difokuskan pada hak asasi daripada kewajiban.Akibat dari pandangan ini
manusia lebih banyak menuntuk haknya daripada melakukan kewajibannya.Hak Asasi Manusia
sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen HAM yang mau muncul pada abad
keduapuluh,seperti deklarasi universal,mempunyai beberapa cirri yang menonjol .Pertama agar
kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas karena hak asasi manusia adalah hak.Kedua hak
hak ini dianggap universal yang yang dimiliki oleh manusia semata mata karena ia adalah
manusia.Ketiga hak asasi dianggap ada dengan sendirinya dan tidak bergantung pada pengakuan
dan penerapannya didalam system adat di Negara tertentu.Keempat HAM dianggap sebagai
norma yang penting.Kelima hak hak ini mengamplikasikan kewajiban bagi individu maupun
pemerintah.Pemerintah dari orang tersebut sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk
mengambil langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak hak orang itu .
PandanganIslam tentang Hak Asasi dan Kewajiban Asasi Manusia,berbeda dengan pendekatan barat,
“Setrategi Islam sangat mementingkan penghargaan kepada hak-hak asasi dan kemerdekaan
dasar manusia sebagai sebuah aspek kualitas dari kesadaran keagamaan yang terpatri di dalam
hati, pikiran, dan jiwa pengganut-penganutnya. Perspektif Islam sungguh-sungguh bersifat
teosentris” (Depag RI, 1996:46).
Dalam konsep Islam, manusia dan jin diciptakan untuk mengemban kewajiban-kewajiban. Di antara
kewajibanyang utama itu adalah menyembah kepada Allah. Dan hak-hak manusia itu merupakan
imbalan dari kewajiban-kewajiban yang ditunaikannya.
Secara garis besar, kewajiban manusia itu adalah:
Pembagian di atas adalah pengelompokan yang bertitik tolak dari pemikiran bahwa manusia
diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifah-Nya di bumi untuk menunaikan tugas dan
kewajiban utamanya mengabdikan diri kepada Allah dan beramal, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, tetangga, sesama anggota masyarakat, negara, dan lingkuungan hidupnya. Ini
semua merupakan mata rantai yang melekat dan tidak terpisahkan. Semua kewajiban itu ditinjau
dari segi iman, kelak di akherat akan dituntut pertanggung jawabannya dari setiap
individu.kewajiban itu tidak hanya menimbulkan hak bagi individu, elainkann juga akan
memperoleh pahala kelak di akhirat. Pahala itu merupakan hak yang diperolehnya dari
kewajiban yangditnaikannya.
Selain pahala di akhirat, ia berhak memiliki hak-hak asasi sebagai manusia. Di dalam Al-Qur’an,
prinsip-prinsip human rights, sebagimana yang tercantum di dalam Universal Declaration of
Human Rights (UDHR), dilukiskan dalam ayat al-Qur’an, antara lain tentang:
a. Martabat manusia
b. Prinsip persamaan
c. Prinsip kebebasan menyatakan pendapat
d. Prinsip kebebasan beragama
e. Hak jaminan sosial
f. Hak atas harta benda
BAB III
PENUTUPAN
Politik secara Islam, perlu terlebih dahulu untuk melihat asal-usul dan definisi dari istilah
“politik” dan “negara” dalam penggunaan kontemporernya. Kata politik berasal dari bahasa
Yunani, polis yang berarti “kota”. Pada era modern, istilah politik berarti “segala aktivitas atau
sikap yang bermaksud mengatur kehidupan masyarakat. Di dalamnya, terkandung unsur
kekuasaan untuk membuat aturan hukum dan menegakkannya dalam kehidupan masyarakat yang
bersangkutan”(Salim, 1994:291)
Sedangkan kata negara, dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan state, yang berasal
dari bahasa Latin status, atau stato dalam bahasa Italia, dan etat dalam bahasa Prancis. Menurut
Webster’s Dictionary, negara adalah “sejumlah orang yang mendiami secara permanen suatu
wilayah tertentu dan diorganisasikan secara politik di bawah suatu pemerintahan yang berdaulat
yang hampir sepenuhnya bebas dari pengawasan luar, serta memiliki kekuasaan pemaksa demi
mempertahankan keteraturan dalam masyarakat”(Gove, et.al., 1982: 22-28). Dengan demikian,
tujuan pendirian negara adalah untuk memelihara dan memaksakan hukum dan ketertiban dalam
masyarakat.
Dalam konsep Islam, manusia dan jin diciptakan untuk mengemban kewajiban-kewajiban.
Di antara kewajibanyang utama itu adalah menyembah kepada Allah. Dan hak-hak manusia itu
merupakan imbalan dari kewajiban-kewajiban yang ditunaikannya.
Secara garis besar, kewajiban manusia itu adalah:
TIM DOSEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI). 2009. Aktualisasi Pendidikan Islam: Reapons
Terhadap Problematika Kontemporer. Malang: Hilal Pustaka.