Anda di halaman 1dari 16

ISLAM POLITIK DEMOKRASI DAN HAM

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Politik Islam dapat dimaknai “aktivitas politik sabagian acuan nilai dan basis solidaritas
berkelompok.” Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruhnya pemeluk Islam, namun boleh
berasal dari luar komunitas Muslim. Politik Islam, secara substansial, merupakan penghadapan
Islam dengan kekuasaan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku politik (political
behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap,
perilaku, dan budaya politik yang memakai kata sifat Islam bermula dari suatu keprihatinan
moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.

1.2. Rumusan Masalah

1) Apa itu politik, demokrasi dan ham menurut islam ?


2) Apa saja prinsip-prinsip dasar dan cita-cita polik islam ?
3) Apa prinsip-prinsip politik luar negri dalam islam ?
4) Apa hak dan kewajiban asasi manusia menurut ajaran islam ?

1.3. Tujuan Penulisan Makalah


1) Untuk mengetahui pengertian politik, demokrasi dan ham menurut islam.
2) Untuk mengetahui prinsip-prinsip dasar dan cita-cita polik islam.
3) Untuk mengetahui prinsip-prinsip politik luar negri dalam islam.
4) Untuk mengetahui hak dan kewajiban asasi manusia menurut ajaran islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN POLITIK ISLAM
Untuk memperoleh pemahaman yang tepat tentang politik secara umum dan politik
secara Islam, perlu terlebih dahulu untuk melihat asal-usul dan definisi dari istilah “politik” dan
“negara” dalam penggunaan kontemporernya. Kata politik berasal dari bahasa Yunani, polis
yang berarti “kota”. Pada era modern, istilah politik berarti “segala aktivitas atau sikap yang
bermaksud mengatur kehidupan masyarakat. Di dalamnya, terkandung unsur kekuasaan untuk
membuat aturan hukum dan menegakkannya dalam kehidupan masyarakat yang
bersangkutan”(Salim, 1994:291)
Sedangkan kata negara, dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan state, yang berasal
dari bahasa Latin status, atau stato dalam bahasa Italia, dan etat dalam bahasa Prancis. Menurut
Webster’s Dictionary, negara adalah “sejumlah orang yang mendiami secara permanen suatu
wilayah tertentu dan diorganisasikan secara politik di bawah suatu pemerintahan yang berdaulat
yang hampir sepenuhnya bebas dari pengawasan luar, serta memiliki kekuasaan pemaksa demi
mempertahankan keteraturan dalam masyarakat”(Gove, et.al., 1982: 22-28). Dengan demikian,
tujuan pendirian negara adalah untuk memelihara dan memaksakan hukum dan ketertiban dalam
masyarakat.

2.1.1 Prespektif Al-Qur’an tentang Politik-Pemerintahan


Al-Qur’an, sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia, menyediakan suatu dasar yang
kokoh dan permanen bagi seluruh prinsip-prinsip etika dan moral yang diperlukan dalam
kehidupan ini, termasuk di dalamnya masalah politik. Menurut Asad (1980:1-2), al-Qur’an
memberikan suatu jawaban komprehensif untuk persoalan tingkah laku manusia, baik sebagai
individu maupun sebagai anggota masyarakat dalam rangka penciptaan kehidupan yang
seimbang di dunia ini, dengan tujuan akhir kebahagiaan di akhirat kelak.
Selain itu, al-Qur’an memandang kehidupan manusia sebagai suatu keseluruhan yang
organik; semua bagian-bagiannya haruslah dibimbing oleh petunjuk-petunjuk dan perintah-
perintah etik dan moral yang bersumber dari wahyu yang terakhir itu.
Untuk menerapkan al-Qur’an dalam kehidupan politik praktis diperlukan usaha yang
sungguh-sungguh dalam memaknainya agar memperoleh pemahaman yang tepat, karena al-
Qur’an tidak menyebutkannya secara eksplisit dalam ayat-ayatnya. Sementara Rasul Allah SAW
dalam membangun masyarakat Islam yang berdaulat tidak menentukan bentuk pemerintahan
secara spesifik.
Sejumlah alasan berikut merupakan jawaban atas pilihan sikap al-Qur’an di atas.
Pertama, al-Qur’an pada prinsipnya adalah petunjuk etis bagi manusia; ia bukanlah sebuah kitab
ilmu politik. Kedua, sudah merupakan suatu kenyataan bahwa institusi-institusi sosio-politik dan
organisasi-organisasi manusia selalu berubah dari masa ke masa. Atau, dengan meminjam
pendapat Asad (1961:12), diamnya al-Qur’an dalam masalah ini “berarti memberikan sutu
jaminan yang sangat esensial dalam menghindari kekutan hukum dan sosial... .”
Tujuan terpentingal-Qur’an adalah agar nilai-nilai dan perintah-perintah etiknya
dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas kegiatan-kegiatan sosio-politik umat manusia. Nilai-
nilai ini bertalian secara organik dengan prinsip-prinsip keadilan,persamaan, dan kemerdekaan
yang juga menempati posisi sentral dalam ajaran moral al-qur’an. Dari perspektif ini, suatu
negara hanyalah dapat dikatakan bercorak Islam manakala keadilan dan lain-lainnya itu benar-
benar terwujud di dalamnya, dan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan rakyat.
Oleh karena itu, untuk menegakkan keadilan dan memelihara perdamaian dan
ketertiban, Islam tidak diragukan lagi memerlukan suatu organisasi politik. Tapi organisasi
politik ini, sebagaimana telah disebut terdahulu, bukanlah suatu kepanjangan(ekstensi) dari
Islam; ia hanyalah suatu mesin kekuasaan yang efektifm dan karena itu perlu dan harus ada.
Al-Qur’an tidak membahas secara khusus tentang bentuk negara yang harus diikuti oleh
umat Islam. Perhatian utama al-Qur’an ialah agar masyarakat ditegakkan atas keadilan dan
moralitas. Maka, atas dasar nilai-nilai etis al-Qur’an itulah bangunan politik Islam wajib
ditegakkan. Namun karena al-Qur’an tidak menegaskan bentuk baku suatu negara, maka model
dan struktur ketatanegaraan Islam bukanlah sesuatu yang tidak dapat berybah. Ia senantiasa
terikat dengan perubahan, modifikasi, dan perbaikan, serta dinamis seiring dengan tuntutan ruang
dan waktu.

2.1.2 Variasi pandangan umat Islam dalam melihat relasi Islam dan Politik
Secara kategorial, dalam memandang relasi Islam dan politik, para pemikir Muslim
terfragmentasi ke dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok “Islam Politik” (al-Islam al-siyasi),
yaitu kelompok yang dengan gigih menginginkandiwujudkannya syariat Islam dalamkehidupan
berbangsa dan bernegara melalui pranata negara misalnya, dalam bentuk perundang-undangan,
peraturan pemerintah, dan sebagainya. Masuk dalam kelompok ini adalah Muhammad ‘Abduh,
Rasyid Ridha, Hasan al-Banna, dan Abu al-‘Ala al-Maududi.
Kelompok ini berpijak pada 3 prinsip utama, yaitu: (1) politik adalah bagian integral dari
Islam, karena itu praktik politik wajib dilakukan oleh setiap orang Islam. Doktrin Islam, bagi
para pendukung “Islam politik”, tidak hanya menyediakan visi dan pandangan politik semata,
tetapi juga cara-cara bagaimana pemerintah Islam harus dijalankan; (2) Islam politik sudah
menjadi anutan mayoritas kaum Muslimin (jama’ah al-muslimin). Karena itu, orang yang tidak
masuk dalam komunitas besar Islam (al-sawad al-a’zham) dianggap telah keluar dari komunitas
Islam. Bahkan, bisa dinyatakan telah keluar dari zona Islam itu sendiri, yang dalam fikih Islam
disebut dengan istilah murtad;(3) Menegakkan jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah).
Kedua, kelompok “moderat” (al-muttawassith) yang berpandangan bahwa hubungab
agama dengan politik-kenegaraan adalah relasi etik dan moral. Negara merupakan instrumen
politik untuk menegakkan nilai dan akhlak Islam yang bersifat universal. Argumen yang
dikemukakan oleh kelompok “Islam moderat” adalah bahwa konsep negara dan pemerintah
merupakan bagian dari ijtihad kaum Muslimin, karena Islam tidak menentukan dengan jelas tata-
negara dan sistem pemerintahan. Karena itu, bentuk negara bisa republik, monarki, perserikatan,
atau bentuk lain. Tokoh-tokoh yang berhaluan demikian antara lain: Ahmad Amin, Muhammad
Husein Haikal, Muhammad ‘Imarah, Fazlur Rahman, Robert N. Bellah, Amin Rais, dan
Jalaluddin Rahmat(Ghazali, 2002:175)
Ketiga, kelompok “kiri Islam” (al-yasar al-Islami) yang menolak penerapan syariat dan
pembentukan negara Islam. Bagi kelompok ini, Islam adalah agama, bukan negara. Lebih lanjut
mereka menampik idealisasi politik Nabi SAW di Madinah. Para pemikir yang berada dalam
spektrum pemikiran ini, antara lain: ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Muhammad Sa’id al-Asymawi,
Muhammad Ahmad Khalfallah, Faraj Faudah, dan Abdurrahman Wahid(Khan, 1982:75-76).

Alasan yang dipedomani kelompok ini adalah:


a. Persoalan politik merupakan persoalan historis, bukan teologis yang harus diyakini oleh setiap
individu Muslim. Karena sifatnya yang historis itulah, ia bukan Islam itu sendiri. Islam harus
dipisahkan dengan politik. Atau dengan kata lain, Islam tidak mengenal kesatuan doktrin din dan
daulah (al-Ashmawy, 1996:17-18). Tujuannya adalah agar tidak terjadi politisasi agama hanya
untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu;
b. Praktik politik bukanlah suatu kewajiban agama yang harus dijjalankan oleh para pemeluknya.
Ia hanyalah praktik kehidupan biasa yang para pelakunya bisa salah dan bisa juga benar. Karena
itu, praktik politik harus bersifat nir agama untuk menghindari seminimal mungkin terjadinya
pendangkalan hakikat Islam ke tingkat yang rendah dan hina, yang disebabkan oleh tindakan
politik atas nama agama (bi ism al-din). Sekali lagi, bagi kelompok “kiri Islam”, Islam itu
universal, sedangkan praktik politik itu bersifat partikular (al-Ashmawy, 1989:138). Hakikat
Islam adalah agama kemanusiaan yang sangat menjunjung tinggi perbedaan. Islam adalah agma
yang bersifat terbuka. Islam tidak hanya terbatas pada satu golongan, perhimpunan dan
komunitas tertentu saja. Selama seseorang mengucapkan syahadat dan mengimani rukun-rukun
Islam, maka selamanya ia menjadi orang Muslim. Orang yang beragama Islam bebas
menentukan komunitas-komunitasnya, tokoh-tokohnya, pandangan-pandangan politiknya
sendiri, dan lain-lain;
c. Konsep jihad dalam Islam adalah jihad melawan hawa nafsu. Jika jiwa kita terancam karena
adanya suatu peperangan, maka sudah selayaknya kita mempertahankan diri. Islam adalah agama
yang mengajarkan cinta kasih, kelembutan, dan persaudaraan. Karena itu, mengobarkan
semangat jihad dalam pengertian berperang melawan orang kafir adalah bentuk pelecehan dan
pengeringan makna Islam. Alasan ini sekaligus merupakan jawaban dan kritik terhadap pendapat
kelompok “Islam politik” (al-Islam al-siyasy).
Timbulnya variasi pemikiran tersebut tidak lepas dari watak Islam yang sangat elastis dan
interpretatif. Harus diakui bahwa kaum Muslimin tidak memiliki model “negara Islam”yang jelas
dan konkret. Masalah inilah yang pada akhirnya menimbulkan penafsiran beragam, baik
terhadap teks agama, maupun terhadap praktik politiknya.
Lebih definitif lagi, keragaman teori politik Islam terjadi karena sebab-sebab berikut.
Pertama, belum ada kesepakatan tentang apa yang dimaksud dengan syariat Islam itu. Apakar
tema syariat lebih merujuk kepada makna generiknya sebagai jalan hidup (al-sabil, al-sirath)
sebagaimana dikonstatir al-Qur’an; atau menunjuk kepada pranata legal yudisial seperti yang ada
dalam fikih. Kedua, negara Islam yang didirikan oleh nabi SAW di Madinah yang dipandang
ideal ternyata tidak memberikan model yang terperinci, yang bisa dipakai dalam konteks
kenergaraan sekarang. Ketiga, belum ada rumusan konseptual yang jelas tentang apa yang
dimaksud denga pemerintahan Islam (daulah Islamiyah) itu (Ghazali, 2002:176).
Terkait dengan keragaman sikap umat Islam dalam melihat relasi Islam dan politik,
setidaknya ada tiga kelompok yang terlibat dalam pergumulan wacana pemikiran politik ini,
sebagaimana diuraikan diatas, yaitu: kelompok “Islam politik”(al-Islam al-siyasy) yang
konservatif, kelompok tengah (al-mutawassith) yang moderat, dan kelompok “kiri Islam” (al-
yasar al-Islamy) yang liberal-sekular.
Berbeda halnya dengan kelompok “kiri Islam” yang menhendaki pemisahan tegas antara
Islam dan politik(fasl al-Islam bi al-siyasah), Muhammad ‘Imarah memiliki pandangan yang
lebih moderat. Dia meyakini bahwa Islam terkait dengan politik, tetapi bukan dalam pengertian
salah satu ayat Bibel yang berbunyi, “Apa pun milik kaisar, dan apa pun milik Tuhan untuk
Tuhan”(Reader to caesar what is his, and render to Jesus whai is his!) (Taufik, 2001:213).
Menurut ‘Imarah, teori politik Islam—yang disepakati para sarjana Muslim—meletakkan
politik sebagai persoalan sosial yang profan dalam bingkai prinsip-prinsip agama bagi
pengelolaan hidup bermasyarakat, atau ketentuan-ketentuan dasr yang mengatur perilaku
manusia dalam kehidupan dan pergaulan denagn sesamanya yang pada gilirannya akan
mewarnai pola kehidupan politiknya.
Selanjutnya, untuk menguatkan tesis perihal keterkaitsn Islam dengan politik, ‘Imarah menyitir
hadi Nabi SAWberikut:
“Dulu, kepemimpinan(baca: jabatan politik) Ban Israel selalu dipegang para nabi.
Kemangkatan seorang nabi itu senantiasa diiringi dengan kedatangan nabi baru. Sesungguhnya
tidak ada lagi nabi sepeninggalanku, tetapi digantikan oleh para khalifah” (HR. Al-Bukhari, Ibn
Majah, dan Ahmad).
2.1.3 Institusi Kalifah dalam Tradisi Politik Islam
Khalifah akhir-akhir ini menjadi tema pembicaraan aktual yang ramai dibahas dalam
berbagai forum dan kesempatan. Berbagai pembicaraan tersebut berupaya mendiskusikan konsep
khalifah dari beragam sudut pandang, tergantung pada motif yang melatarinya.
Sebagian ahli berpandangan bahwa konsep khalifah tidak memiliki landasan tekstual
(nash) yang konklusif dalam Islam. Kekurangan tersebut dapat dilihat dari tidak adanya
pembakuan konsep Khalifah yang dapat diberlakukan secara universal (one size fits for all).
Memang Al-Qur’an dan hadis secara eksplisit tidak menetapkan sistem dan bentuk institusi
khalifah, apalagi struktur organisasi serta landasan filosofisnya.
Benar, sejak zaman Nabi SAW,masyarakat Muslim sudah terhimpun dalam sebuah
organisasi politik bernama negara (Gibb, 1955:4). Sebagai komunitas berdaulat dalam sebuah
negara, mereka tentu sudah mengadopsi bentuk tertentu dari institusi khalifah. Hanya saja,
pembentukan khlifah saat itu barangkat dari format konsep normatif, tetapi bergerak dalam
bentuk praktis historis. Implikasi dari tidak adanya konsep Normatif itu adalah bahwa konsep
khalifah akhirnya hanya didasarkan pada serpihan-serpihan ayat Al-Qur’an serta sejumlah hadis
saja. Dengan begitu konsep khalifah yang diaktualisasikan hanya mampu menyentuh prinsip-
prinsip dasar kelembagaannya saja (al-khalidi, 1980:8).
Bukti klasik dari tidak adanya rujukan tekstual yang konklusif tersebut adalah bahwa
setelah Rosul SAW wafat, para sahabat tidak memperoleh acuan normatif dari Nabi SAW untuk
menentukan figur penggantinya sebagai penyelenggara tugas-tugas eksekutif pemerintahan
Madinah. Nabi SAW memang tidak memberikan kriteria untuk calon penggantinya kelak setelah
kewafatanna. Kriteria-kriteria yang diperlukan untuk mengangkat pengganti beliau justru
diperoleh dari gagasan-gagasan para sahabat, yang kemudian mereka tuangkan dalam bentuk
prosedur pengangkatan Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah (pengganti) Nabi.
Prosedur pemilihan Abu Bakar, yang dikenal deengan bay’at saqifah ini, kemudian
ditetapkan oleh kalangan Muslim Sunni sebagai landasan ideal untuk menyelenggarakan suksesi
kepemimpinan dalam Islam. Araahli menilai bahwa prosedur pemilihan Abu Bakar merupakan
sebuah konsep demokratis, karena didasarkan pada asas kompetisi serta partisipasi publik lewat
tiga tahap, yaitu: pencalonan (nomination), kompromi antar kelompok (mutual consultation), dan
bay’at (oath of alligiance) (Hamim, 2004: 6-9). Selanjutnya model khlifah yang diteruskan pada
masa sahabat Umar bin al-Khaththab sebagai khaliifah, Abu Bakar al-Shiddiq menunjuk
sejumlah saahabat (semcam panitia ad-hoc) untuk menentukan personilnya yang telah dipilih
oleh abu Bakar RA. Model ini berubah ketika Usman bin Affan menjabat Khalifah, yaitu dengan
sistem formatur.
dalam Hadis Nabi yang terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal yang artinya seperti
berikt ini:
Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata:”kita duduk di masjid beserta Rasul Allah SAW, dan Basyir
adalah seorang yang mencatat hadis beliau. “Datangglah Abu Tsa’labah al-Khusyani sembari
berkata: “wahai Basyir bin Sa’ad, apakah kamu menghafal hadis Rasul Allah SAW tentang para
pemimpin?” Hudzaifah menjawab: “Aku menghafal khutbah beliau”. Maka Abu Tsa’labah
duduk dan Hudzaifah berujar: “kenabian ada bersamamu selama Allah menghendaki ia tetap
ada. Kemudian jika Allah menghendaki untuk mengangkatnya, maka akan ada khilafah atas
menurut metode kenabian. Ia akan ada selama Allah menghendakinya. Selanjutnya, ada sistem
kerajaan yang mencengkeram. Ia akan ada selama Allah menghendakinya. Lalu, Allah
mengangkatnya, jika Allah menghendakinya. Berikutnya, ada kerajaan yang otoriter. Ia ada
selama Allah menghendaki. Kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendakinya. Lalu,
ada khilafah atas menurut metode kenabian. Lantas beliau diam.
Habib berkata: “ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah dan Yazid bin Nu’am bin Basyir
menjadi sahabatnya, aku tuliskan hadis ini mengingatkannya. Aku berkata padanya:
“Sesungguhnya aku berharap agar ia menjadi amirul al-mu’minin, yaitu Umar sesudah
berlalunya kerajaan yang mencengkeram dan otoriter. Maka aku sampaikan suratku ini kepada
Umar bin Abdul Aziz. Ia senang dan mengaguminya.
Terlihat dari ahdis ini bahwa pemrintahan dalam Islam itu berubah secara dinamissesuai
dengan kondisi zamannya.khilafah bukan satu-satunya bentuk pemerintahan yang ada dalam
dunia Islam.

2.2 PRINSIP – PRINSIP DASAR DAN CITA CITA POLITIK ISLAM


Untuk menyelenggarakan pemerintahan negara, menurut Salim (1994 : 306), terdapat empat
prinsip dasardalam politik islam. Keempat prinsip itu adalah:
1. Prinsip amanat
Prinsip pertama mengandung makna bahwa kekuasaan politik yang dimilikioleh pemerintahan
merupakan amanat Allah dan juga amanat rakyat yang telah mengangkatnya melalui
baiat.Sebagaimana amanat Allah SWT , kekuasaan politik itu dianugerahkan oleh Allah SWT
kepada manuasia. Penganugrahan itu dilakukan melalui satu ikatan perjanjian. Perjanjian itu
terjalin antara sang penguasa Allah di satu pihak, dan dengan masyarakat di pihak lain. Karena
itu, prinsip ini menghendaki agar pemerintahan melaksanakan tugas-tugasnya dengan memenuhi
hak–hak yang diatur dan dilindungi oleh hukum Allah, termasuk di dalamnya amanat yang
dibebankan oleh agama dan yang dibebankan oleh individu dan masyarakt sehinggatercapai
masyarakat yang sejahtera dan sentosa. Amanat yang dimaksud dengan banyak hal, salah satu di
antaranya adil.

2. Prinsip keadilan
Adil menjadi prinsip kedua dalam pengelolahan kekuasaan politik. Keadilan yang dituntut itu
bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh
manusia bahkan seluruh makhluk. Ayat-ayat al-Qur’an yang mencakup hal ini amat banyak,
salah satunya berupa teguran kepada Nabi SAW yang hampir menvonis salah seorang Yahudi,
karena terpengaruh oleh pembelaan keluarga seorang pencuri. Dalam kontek inilah turun firman
Allah dalam Q.S al-Nisa’:105 .

“Janganlah kamu menjadi penentang orang-orang yang tidak bersalah, karena(membela)


orang-orang yang khianat”.

Keadilan juga mengandung arti bahwa pemerintahan berkewajiban mengatur masyarakatat


dengan membuat aturan-aturan hukum yang adil berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak
beraturan secara rinci atau didiamkan oleh hukum Allah. Dengan demikian, penyelenggaran
pemerintahan berjalan di atas hukum dan bukan atas dasar kehendak pemerintahan atau penjabat.

3. Prinsip ketaatan
Prinsip ketaatan mengandung makna wajibnya hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’qn
dan sunnah ditaati. Demikian pula hukum perundang-undangan dan kewajiban pemerintahan
wajib ditaati. Kewajiban ini tidak haya dibebankan kepada rakyat, tetapi juga dibebankan kepada
pemerintahan. Oleh karena itu, hukum perundang-undangan dan kebijakan politik yang diambil
pemerintahan harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama. Jika tidak
demikian, maka kewajiban rakyat kepada hukum dan kebijakan dinyatakan telah gugur, karena
agama melarang ketaatan pada kemaksiaatan. Rakyat harus menaati pemerintah selama
pemerintahan itu menaati Allah SWT dan rasul-Nya, sebagaimana difirmankan Allah dalam Q.S
al-Nisa’:59 berikut.
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan para
pemimpinu!”.

Menutur Quraish Shihab (1999, 427), “Tidak disebutkan kata perintah taat pada ulil amri untuk
memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan atau
bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya.

4. Prinsip musyawarah
Prinsip musyawarah menghendaki agar hukum perundang-undangan dan kebijakan politik
diterapkan melalui musyawarah di antara mereka yang berhak. Masalah yang diperselisihkan
para peserta musyawarah harus diselesaikan dengan menggunakan ajaran-ajaran dan cara-cara
yang terkandung alam al-Qur’an dan sunnah Rasul Allah SAW. Prinsip musyawarah ini
diperlukan agar para penyelenggara negara dapat melaksanakn tugasnya dengan baik dan
bertukar pikiran dengan siapa saja yang dianggap tepat guna mencapai yang terbaik untuk
semua’ (Shihab, 1999: 429).

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-
orang yang di luar golongan (non Muslim), karena mereka selalu menimbulkan kesulitan bagi
kamu. Mereka ingin menyusahkanmu. Telah tampak dari ucapanmu mereka kebencian, sedang
apa yang disembunyikan oleh dada mereka lebih besar. Sungguh Kami telah jelsakan kepada
kamu tanda-tanda (teman dan lawan), jika kamu memahaminya”.

Ayat di atas, ditulis Rasyid Ridha (dalam Shihab, 1999), mengandung larangan dan
penyebabnya.
Adapun cita-cita politik Islam-seperti dikemukakan secara implisit oleh al-Qur’an-adalah: (1)
terwujudnya sebuah sistem politik, (2) berlakunya hukum Islam dalam masyarakat secara
mantap, dan (3) terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat.Cita-cita politik tersebut
tersimpul dalam ungkapan“baldatun thayibbatun wa rabbun ghafur”, yang mengandung konsep
“negeri sejahtera dan sentosa. Dari sini tampak kedudukan kekuasaan politik sebagai srana dan
wahana,sedangkan pemerintahan merupakan pelakasana bagi tegaknya ajaran agama
(Salim.1994: 298).
2.3 DEMOKRASI DALAM ISLAM
2.3.1 Konsep dan Sejarah Demokrasi dalam Islam
Demokrasi dalam Islam menjadi polemik antara ada atau tidaknya ajaran demokrasi dalam al-
Qur’an dan hadis. Ini dapat dipahami karena demokrasi terlahir di Yunani dan berkembang pesat
di Eropa atau bbelahan bumi bagian utara,sementara Islam terlahie di Arab dan berkembang
pesat di wilayah selatan. Demokrasi merupakan produk akal sedangkan Islam adalah wahyu
yang difirmankan kepada Rasulullah SAW. Fakta sejarahsejarah menjukkan bahwa pemerintah
yang dijalankan oleh Rasulullah SAW dan Khulafa’ al-Rasyidin tidak menyebutkan antara
berlandaskan pada demokrasi. Pertemuan Islam dan demokrasi merupakan pertemuan
peradapan,ideologi,dan latar belakang sejarah yang jauh berbeda.
2.3.2 Sisi Positif dan Negatif Demokrasi
Demokrasi tidaklah lepas adri sisi positif dan negatif, dalam sisi positif S.N. Dubey menjelaskan
”Demokrasi menjamin setiap keinginan seseorang di dalam komunitas, bahkan menjadi
pertimbangan dalam pengambilan keputusan atau ketetapan pemerintah. Di dalam negara
demokrasi tidak pantas seseorang terlukai atau mengatakan bahwa pendapatnya tidak pernah di
dengarkan”.
Tetapi di balik itu, terdapat sisi negatif yang menjadikan demokrasi tidak dapat di terima oleh
sebagian orang. Kelemahan yang terdapat di dalamnya menjadi sorotan tajam bagi penentang
demokrasi. Cacat demokrasi yang paling fatal adalah terdapat pada landasan konsepsinya sendiri,
prinsip kedaulatan terletak di tangan rakyat, Aristoteles menambahkan, “Pemerintah yang
didasarkan pada pilihan orang banyak akan mudah di pengaruhi oleh para demagog, dan
akhirnya akan merosot jadi kediktatoran”.
Slogan egalite (persamaan) yang menyamaratakan strata masyarakat, juga mengandung
kelemahan. Realitas menunjukkan ada perbedaan dalam kehidupan masyarakat. Kondisi yang
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipungkiri. Bagaimana jadinya bila di
samakan antara yang berpengetahuan tinggi tinggi dengan yang berpengetahuan lebih rendah.
2.3.3 Pandangan Islam tentang demokrasi.
Eposito dan Piscaroti (dalam Eko Taranggono, 2002) mengidentifikasi adanya tiga variasi
pemikiran mengenai hubungan Islam dan demokrasi. Pertama, Islam menjadi sifat dasar
demokrasi. Kedua, Islam tidak berhubungan dengan demokrasi. Ketiga, Theodemocraci yang
diperkenalkan oleh al-Maududi berpandangan bahwa Islam merupakan dasar demokrasi.
Eko Taranggono (2002) mengangkat pendapat Dahl dan Beetham tentang demos dan kratos.
Dahl mengatakan “Semua individu yang telah dewasa bisa terlibat dalam pengambilan keputusan
yang menyangkut seluruh aspek kehidupan. Karena itu, prinsip utama demokrasi adalah
persamaan. Setiap anggota masyarakat mempunyai yang sama untukdi pilih dan memilih”.
Menurut Beetham “Di dalam demokrasi, keputusan apapun sepenuhnya berada di tangan
rakyan, bukan di tangan pemerintah”.
2.4 HAK DAN KEWAJIBAN ASASI MANUSIA MENURUT AJARAN ISLAM
2.4.1 Pengertian Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia
HAM adalah hak dasar manusia yang secara kodrati dianugrahkan oleh Allah SWT kepadanya
tanpa perbedaan.Dengan hak asasi itu manusia dapat mengembangkan diri pribadi,peranan dan
sumbangsihnya bagi kesejahteraan hidup manusia.Sedangkan kewajiban asasi manusia adalah
kewajiban dasar manusia yang wajib dipenuhi olehnya meski dalam skala minimal.
Rasul Allah SAW meletakkan prinsip prinsip hak asasi manusia ini ketika beliau menata
masyarakat madinah yang disebut malaikat plural yang ideal.Di madinah,Rasul Allah SAW
mempersatukan orang islam makkah dan orang islam madinah berdasarkan ikatan akidah dan
ukhuwah islamiyah.Hal ini ditetapkan dalam piagam madinah dengan prinsip prinsip
persamaan,persaudaraan,persatuan,kebebasan,toleransi beragama,perdamaian,tolong-
menolong,dan membela yang teraniaya,serta mempertahankan madinah secara kolektif dari
serangan musuh.
Piagam madinah secara luas menetapkan hak dan kewajiban masyarakat madinah ,baik sebagai
individu maupun masyarakat,secara adil dan proposional.Rasul Allah SAW menetapkan bahwa
hak yang diperoleh masyarakat seimbang dengan kewajiban yang ditunaikannya.Kewajiban yang
dilakukan adalah ibadah yang bukan hanya terkait dengan manusia tetapi juga dengan Allah
SWT.
2.4.2 Hak Asasi Manusia Menurut Piagam PBB
Pemikiran barat selama ini yang berkembang yaitu mementingkan individu.Akibatnya pola
berpikir manusia lebih difokuskan pada hak asasi daripada kewajiban.Akibat dari pandangan ini
manusia lebih banyak menuntuk haknya daripada melakukan kewajibannya.Hak Asasi Manusia
sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen HAM yang mau muncul pada abad
keduapuluh,seperti deklarasi universal,mempunyai beberapa cirri yang menonjol .Pertama agar
kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas karena hak asasi manusia adalah hak.Kedua hak
hak ini dianggap universal yang yang dimiliki oleh manusia semata mata karena ia adalah
manusia.Ketiga hak asasi dianggap ada dengan sendirinya dan tidak bergantung pada pengakuan
dan penerapannya didalam system adat di Negara tertentu.Keempat HAM dianggap sebagai
norma yang penting.Kelima hak hak ini mengamplikasikan kewajiban bagi individu maupun
pemerintah.Pemerintah dari orang tersebut sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk
mengambil langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak hak orang itu .
PandanganIslam tentang Hak Asasi dan Kewajiban Asasi Manusia,berbeda dengan pendekatan barat,
“Setrategi Islam sangat mementingkan penghargaan kepada hak-hak asasi dan kemerdekaan
dasar manusia sebagai sebuah aspek kualitas dari kesadaran keagamaan yang terpatri di dalam
hati, pikiran, dan jiwa pengganut-penganutnya. Perspektif Islam sungguh-sungguh bersifat
teosentris” (Depag RI, 1996:46).
Dalam konsep Islam, manusia dan jin diciptakan untuk mengemban kewajiban-kewajiban. Di antara
kewajibanyang utama itu adalah menyembah kepada Allah. Dan hak-hak manusia itu merupakan
imbalan dari kewajiban-kewajiban yang ditunaikannya.
Secara garis besar, kewajiban manusia itu adalah:

a. Kewajiban terhadap Allah


b. Kewajiban terhaddap diri sendiri
c. Kewajiban terhadap keluarga
d. Kewajiban terhadap tetangga
e. Kewajiban terhadap buruh
f. Kewajiban terhadap harta
g. Kewajiban terhadap Negara
h. Kewajiban terhadap ligkungan hidup

Pembagian di atas adalah pengelompokan yang bertitik tolak dari pemikiran bahwa manusia
diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifah-Nya di bumi untuk menunaikan tugas dan
kewajiban utamanya mengabdikan diri kepada Allah dan beramal, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, tetangga, sesama anggota masyarakat, negara, dan lingkuungan hidupnya. Ini
semua merupakan mata rantai yang melekat dan tidak terpisahkan. Semua kewajiban itu ditinjau
dari segi iman, kelak di akherat akan dituntut pertanggung jawabannya dari setiap
individu.kewajiban itu tidak hanya menimbulkan hak bagi individu, elainkann juga akan
memperoleh pahala kelak di akhirat. Pahala itu merupakan hak yang diperolehnya dari
kewajiban yangditnaikannya.
Selain pahala di akhirat, ia berhak memiliki hak-hak asasi sebagai manusia. Di dalam Al-Qur’an,
prinsip-prinsip human rights, sebagimana yang tercantum di dalam Universal Declaration of
Human Rights (UDHR), dilukiskan dalam ayat al-Qur’an, antara lain tentang:

a. Martabat manusia
b. Prinsip persamaan
c. Prinsip kebebasan menyatakan pendapat
d. Prinsip kebebasan beragama
e. Hak jaminan sosial
f. Hak atas harta benda
BAB III
PENUTUPAN
Politik secara Islam, perlu terlebih dahulu untuk melihat asal-usul dan definisi dari istilah
“politik” dan “negara” dalam penggunaan kontemporernya. Kata politik berasal dari bahasa
Yunani, polis yang berarti “kota”. Pada era modern, istilah politik berarti “segala aktivitas atau
sikap yang bermaksud mengatur kehidupan masyarakat. Di dalamnya, terkandung unsur
kekuasaan untuk membuat aturan hukum dan menegakkannya dalam kehidupan masyarakat yang
bersangkutan”(Salim, 1994:291)
Sedangkan kata negara, dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan state, yang berasal
dari bahasa Latin status, atau stato dalam bahasa Italia, dan etat dalam bahasa Prancis. Menurut
Webster’s Dictionary, negara adalah “sejumlah orang yang mendiami secara permanen suatu
wilayah tertentu dan diorganisasikan secara politik di bawah suatu pemerintahan yang berdaulat
yang hampir sepenuhnya bebas dari pengawasan luar, serta memiliki kekuasaan pemaksa demi
mempertahankan keteraturan dalam masyarakat”(Gove, et.al., 1982: 22-28). Dengan demikian,
tujuan pendirian negara adalah untuk memelihara dan memaksakan hukum dan ketertiban dalam
masyarakat.

Dalam konsep Islam, manusia dan jin diciptakan untuk mengemban kewajiban-kewajiban.
Di antara kewajibanyang utama itu adalah menyembah kepada Allah. Dan hak-hak manusia itu
merupakan imbalan dari kewajiban-kewajiban yang ditunaikannya.
Secara garis besar, kewajiban manusia itu adalah:

a) Kewajiban terhadap Allah


b) Kewajiban terhaddap diri sendiri
c) Kewajiban terhadap keluarga
d) Kewajiban terhadap tetangga
e) Kewajiban terhadap buruh
f) Kewajiban terhadap harta
g) Kewajiban terhadap Negara
h) Kewajiban terhadap ligkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA

TIM DOSEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI). 2009. Aktualisasi Pendidikan Islam: Reapons
Terhadap Problematika Kontemporer. Malang: Hilal Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai