Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pengertian atau asal kata korupsi menurut Andreae, korupsi berasal dari bahasa Latin
corruptio atau corruptus, dan dalam bahasa Latin yang lebih tua dipakai istilah corrumpere. Dari
bahasa Latin itulah turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa, seperti Inggris (corruption,
corrupt); Perancis (corruption); dan Belanda (corruptie atau korruptie), yang kemudian turun ke
dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi. Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.1
1
Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum PIdana & Internasional,(Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2006) hlm 17
Akibatnya, korupsi melahirkan berbagai tragedi alami, kemasyarakatan, dan juga kemanusiaan.2
Oleh karena itu, korupsi harus dicegah dan diberantas secara komprehensif, sistematis, dan
berkesinambungan, baik pada tataran nasional maupun internasional.3
Harus kita sadari meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
membawa dampak yang tidak hanya sebatas kerugian negara dan perekonomian nasional tetapi
juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hakhak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana
korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah
menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Sehingga dalam upaya pemberantasannya
tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa,” tetapi “dituntut cara-cara yang luar biasa” (extra-
ordinary enforcement), pemberantasan dan penanggulangan korupsi, kebijakan yang harus
diambil bukanlah kebijakan yang bersifat pragmentaris, parsial, dan represif saja tetapi harus
diarahkan pada upaya meniadakan atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kausa dan
kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadinya korupsi.4
Korupsi biasanya sering dilakukan oleh pejabat negara atau sering terjadi pada suatu
perusahaan BUMN yang menyangkut kekayaan negara dan kerugian keuangan negara. Dalam
menjalankan kegiatan usahanya BUMN mendapatkan modal yang berasal dari kekayaan negara
yang dipisahkan. Undang-Undang Keuangan Negara memosisikan BUMN persero termasuk
dalam tataran hukum publik. Pada sisi lain, Pasal 11 Undang-Undang BUMN menyebutkan
pengelolaan BUMN persero dilakukan berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Artinya, Undang-Undang Perseroan Terbatas sesuai dengan asas lex specialis derograt legi
generalis berlaku juga bagi BUMN persero. Dengan demikian, jika terjadi kerugian negara di
2
Widiada, Wanprestasi Sebagai Kualifikasi tidak di penuhinya kewajiban hukum yang menimbulkan
kerugian keuangan Negara : Kajian Putusan Nomor 1247/Pid.B/2009/PN.Bdg, (Bandung : Jurnal Yudisial, 2012) hlm
190
3
Ismail, Kapita selekta penegakan hukum tindak pidana tertentu, (Jakarta: PTIK Press, 2007) hlm 114
4
Mas Putra Zenno Januarsyah,Penerapan Prinsip Ultimum Remedium Dalam Tindak PIdana Korupsi,
(Bandung : Jurnal Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 2017)
suatu BUMN persero maka kerugian tersebut bukan merupakan kerugian negara, melainkan
kerugian perusahaan atau lazim juga disebut risiko bisnis sebagai badan hukum privat.5
Karena maraknya dan berkembangnya modus seseorang atau beberapa orang yang
melakukan Tindak Pidana Korupsi maka perlunya suatu penjatuhan hukuman bagi seseorang
yang telah melakukan suatu pelanggaran hukum. Hukuman itu hendaknya merupakan suatu
upaya terakhir (ultimum remedium). Menurut Zevenbergen menuturkan pula ketika membahas
tentang tujuan pemidanaan, maka dia berkesimpulan bahwa pada hakikatnya pidana itu hanya
suatu ultimum remedium suatu jalan terakhir yang boleh dipakai jika tiada lagi jalan lain.6
Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium ini dapat diartikan bahwa keberadaan
pengaturan sanksi pidana diletakkan atau diposisikan sebagai sanksi terakhir. Artinya, dalam
suatu UU yang pertama kali diatur adalah sanksi administratif atau sanksi perdata, kemudian
baru diatur tentang sanksi pidana. Jadi apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata belum
mencukupi untuk mencapai tujuan memulihkan kembali keseimbangan di dalam masyarakat,
maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai senjata terakhir atau ultimum remedium.
5
Ibid
6
Sastrawidjaja, Hukum pidana, asas hukum pidana sampai dengan alasan peniadaan pidana, (Bandung:
Armico, 1995) hlm 31
yang berlaku maupun menurut perasaan sosiologis masyarakat, maka justru sanksi pidanalah
yang menjadi pilihan utama (premium remedium).
Jadi melihat hal tersebut di atas, bahwa dalam perkembangannya penerapan dalil ultimum
remedium ini sulit diterapkan karena masih banyak mengalami kendala – kendala, dan faktor –
faktor lain salah satunya adalah karena Hukum Pidana memiliki UU yang mengatur setiap tindak
kejahatan dan pelanggaran dan tentunya di dalam penerapan sanksi Hukum Pidana tersebut tidak
mengenal kompromi atau kata damai.