Anda di halaman 1dari 11

STUDI IDENTIFIKASI

INDEKS KEKERINGAN HIDROLOGIS


PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) BEDADUNG
BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)
Ainur Rofiq Kurniawana, Donny Harisusenob
a
Program Magister Teknik Pengairan, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
b
Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

INTISARI
Kekeringan merupakan salah satu bencana yang ditunjukkan dengan berkurangnya
ketersediaan air terhadap kebutuhan. Penanggulangan bencana kekeringan dengan
pendekatan non-struktural melalui monitoring kekeringan berupa informasi kekeringan
spatial berbentuk peta indeks kekeringan bulanan dan informasi kekeringan temporal pada
masing-masing sub-DAS. Lokasi penelitian ini berada di DAS Bedadung dengan 12 pos
hujan terpilih yang mampu mengirimkan data hujan harian secara kontinu. Analisa
kekeringan menggunakan metode Palmer yang berupa indeks yang menginformasikan
tingkat kekeringan suatu daerah dengan menggunakan parameter neraca air. Hasil studi
diharapkan menunjukkan indeks kekeringan terbesar pada tiap-tiap tahun terutama pada
terjadinya El-Nino pada bulan Juli sampai Oktober. Indeks kekeringan dilakukan verifikasi
dengan debit AWLR pada lokasi studi.

Kata Kunci : Indeks kekeringan, Palmer, El-Nino, Neraca Air, Perubahan Iklim

1. PENDAHULUAN
Kekeringan secara perlahan pasti akan terjadi tanpa kita sadari. Kekeringan berbeda
dengan bencana banjir yang bisa langsung dirasakan oleh manusia. Dampak buruk
kekeringan dan potensi peningkatan frekuensi dan keparahan akibat perubahan iklim telah
menyebabkan studi ekstensif untuk pemahaman yang lebih baik, pemantauan dan prediksi
kekeringan. Indeks kekeringan adalah komponen kunci untuk memantau kekeringan,
berdasarkan variabel meteorologi atau hidrologi (Zengchao et al., 2016)
Letak geografis diantara dua benua dan dua samudra serta terletak di sekitar garis
khatulistiwa. Sesuai dengan pembagian iklim di dunia, daerah yang dilalui oleh garis
khatulistiwa memiliki iklim tropis. Maka pembagian musim di Indonesia hanya terdiri dari
dua musim saja, yakni musim hujan dan juga musim kemarau, maka ada masanya Indonesia
mempunyai air yang berlebih, yakni ketika musim hujan dan wilayah Indonesia mempunyai
persediaan air yang hanya sedikit, yakni ketika musim kemarau tiba. Selain itu perubahan
iklim dan variabilitas memiliki dampak yang sangat besar untuk daerah tropis (K.V.
Suryabhagavan, 2017).
Kekeringan yang terjadi di daerah studi yakni DAS Bedadung, dampaknya memang
tidak langsung terlihat, namun seiring semakin menyusutnya jumlah mata air yang ada
mengindikasikan daerah tersebut mulai mengalami kekeringan. Hal ini dibuktikan dengan
kawasan resapan air wilayah DAS Bedadung banyak yang hilang akibat alih fungsi lahan
yang menyebabkan penyusutan jumlah mata air. Akibat dari perubahan tata guna lahan di
DAS Bedadung, air hujan yang turun ke permukaan bumi banyak yang melimpas menjadi
aliran permukaan (surface flow) dan sangat sedikit yang meresap ke dalam tanah untuk
mengisi cadangan air tanah.
2

2. METODE PENELITIAN
2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi studi dalam penelitian ini berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS)
Bedadung yang terdiri dari Sub DAS Bedadung, Ajung, Antirogo, Arjasa, Bintoro, Embung,
Jompo, Joyo, Kapuran, Kemuning, Kerang, Kopel, Petung, Sukogambiran, Sumber Telek,
Tamansari dan Wates. DAS Bedadung mempunyai batas wilayah hidrologi pada sebelah
barat berbatasan dengan DAS Tanggul, sebelah timur berbatasan dengan DAS Mayang;
sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso dan sebelah Selatan berbatasan
dengan Samudra Hindia. Kabupaten Jember secara astronomis terletak pada posisi 6º27'29"
s/d 7º14'35" Bujur Timur dan 7º59'6" s/d 8º33'56" Lintang Selatan. Kabupaten Jember
memiliki luas wilayah kurang lebih 3.293,34 Km2. Iklim di Kabupaten Jember adalah iklim
tropis. Angka temperatur berkisar antara 23ºC – 31ºC, dengan musim kemarau terjadi pada
bulan Mei sampai bulan Agustus dan musim hujan terjadi pada bulan September sampai
bulan Januari. Sedangkan curah hujan tahunan cukup banyak, yakni berkisar antara 1.969
mm sampai 3.394 mm.

Gambar 1. Peta Lokasi Studi (DAS Bedadung)

Kabupaten Jember memiliki karakter topografi dataran ngarai yang subur pada
bagian Tengah dan Selatan serta dikelilingi oleh pegunungan yang memanjang pada batas
Barat dan Timur. Pada wilayah Barat Daya memiliki dataran dengan ketinggian 0 – 25
meter di atas permukaan laut, sedangkan di wilayah Timur Laut yang berbatasan dengan
Kabupaten Bondowoso dan wilayah Tenggara yang berbatasan dengan Kabupaten
Banyuwangi memiliki ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan air laut. Sebagian
besar wilayah berada pada ketinggian antara 100 hingga 500 meter di atas permukaan laut
yaitu 37,75%. Kondisi topografi yang ditunjukkan dengan kemiringan tanah atau elevasi,
sebagian besar wilayah Kabupaten Jember (36,60%) dengan kemiringan lahan 0 – 2%.
3

Tabel 1. (a) Ketinggian Lahan; (b) Kemiringan Lahan

(a) (b)

Keadaan geologi di Kabupaten Jember disusun oleh batuan Kuarter Tua, terutama
pada daerah G. Argopuro. Menurut Widodo dkk. (2011) menyatakan bahwa proses
pelapukan Breksi Argopuro yang berumur Kuarter Tua telah mencapai kedalaman lebih dari
20 meter dari muka tanah terdiri dari tanah residu dengan tebal 16 meter, tanah lapuk sedikit
dengan tebal 4 meter dari batuan dasar. Seiring pertumbuhan penduduk yang semakin
meningkat mengakibatkan perubahan tata guna lahan secara signifikan, kondisi tata guna
lahan tahun 2008 di DAS Bedadung dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Penggunaan Lahan Kabupaten Jember


Luas
No. Ketinggian
Ha %
1. Hutan 121.039,61 36,75
2. Perkampungan 31.877,00 9,68
3. Sawah 86.568,18 26,29
4. Tegal 43.522,84 13,22
5. Perkebunan 34.590,46 10,50
6. Tambak 368,66 0,11
7. Rawa 35,62 0,01
Semak/padang
8. 289,06 0,09
rumput
Tanah
9. 1.469,26 0,45
rusak/tandus
10. Lain-lain 9.574,26 2,91
Jumlah 3.293,30 100,00

2.2 Pengumpulan Data


Data-data yang dapat dikumpulkan untuk melakukan analisis atau perhitungan dalam
studi ini adalah sebagai berikut: (1) data curah hujan; (2) data klimatologi, berupa data
temperatur suhu; (3) peta topografi; (4) peta tata guna lahan; (5) peta batas DAS; (6) peta
jenis tanah dan tekstur tanah; dan (7) data debit pada outlet wilayah studi yakni pos AWLR
Bedadung yang akan digunakan sebagai data untuk melakuan verifikasi perhitungan.

2.3 Kajian Pustaka


Neraca air merupakan masukan dan keluaran air disuatu tempat pada periode
tertentu, sehingga dapat mengetahui apakah jumlah air tersebut kelebihan (surplus) atau
kekurangan (defisit). Kegunaan mengetahui kondisi air pada surplus dan defisit dapat
digunakan untuk mengantisipasi bencana yang kemungkinan akan terjadi, serta dapat pula
4

untuk mendayagunakan air sebaik-baiknya. Prinsip neraca air menggunakan evapotraspirasi


potensial memerlukan data hujan, data suhu dan kelengasan tanah sebagai faktor utama.

2.3.1 Curah Hujan


Data hujan yang diperoleh adalah data hujan harian, untuk keperluan analisa akan
diolah menjadi data hujan bulanan. Adapun tahapan untuk analisa data Hidrologi adalah
sebagai berikut: 1) Kelengkapan Data Hujan; 2) Uji Konsistensi Data Hujan;dan 3) Uji
Stasioneritas dilakukan untuk menguji kestabilan nilai varian dan rata-rata dari deret berkala.

2.3.2 Suhu Udara


Variasi suhu di Indonesia lebih dipengaruhi oleh ketinggian tempat (altitude). Suhu
maksimum di Indonesia menurun sebesar 0,6°C untuk setiap kenaikan elevasi setinggi 100
meter, sedangkan suhu minimum menurun 0,5°C setiap kenaikan elevasi 100 meter.

Tmaks = 31,3 – 0,006x (1)


Tmin = 22,8 – 0,005x (2)
dimana:
Tmaks = suhu maksimum (°C)
Tmin = suhu minimum (°C)
X = ketinggian tempat (m)

Tidak semua pos stasiun hujan memiliki data suhu udara. Sehingga perlu melakukan
pendugaan suhu dari stasiun terdekat dengan cara mempertimbangkan faktor ketinggian
tempat. Untuk penyesuaian ini digunakan cara Mock (1973).

Δt = 0,006 (z1 – z2) °C (3)

dimana:
Δt = perbedaan suhu antara stasiun pengukuran dengan
stasiun pengukuran yang dianalisa (°C)
z1 = elevasi stasiun pengukuran (m)
z2 = elevasi stasiun hujan analisa (m)

2.3.3 Evapotranspirasi Potensial


Perhitungan evapotranspirasi potensial (ET) dihitung dengan metode Thornthwaite.
Evapotranspirasi potensial tersebut berdasarkan suhu udara rerata bulanan dengan standar 1
bulan 30 hari dan lama penyinaran matahari 12 jam sehari. Adapun persamaanya adalah
sebagai berikut:
a
10Tm 
ETx = 16    (4)
 I 
ET = f × ETx (5)
1, 514
12
T 
I =   5 
m 1
(6)

a = (6,75.10-7).I3 – (7,71.10-5).I2 + (1,792.10-2).I + 0,49239 (7)

dimana:
Tm = suhu udara rata-rata bulanan (ºC)
f = koefisien koreksi (Tabel koefisien penyesuaian menurut
bujur dan bulan)
5

I = indeks panas tahunan


i = indeks panas bulanan
ETx = evapotranspirasi potensial yang belum disesuaikan faktor f
(mm/bulan)
ET = evapotranspirasi potensial (m/bulan)

2.3.4 Kapasitas Penyimpanan Air (Water Holding Capacity)


Pendugaan kapasitas menyimpan air (WHC) dilakukan secara tidak langsung. Cara
ini memerlukan Peta Tanah (tekstur tanah) dan Peta Liputan Vegetasi (penggunaan lahan)
serta tabel konversi Thornthwaite Mather. Adapun cara pendugaan yang dilakukan
dengan : (1) Penggambaran peta polygon thiessen; (2) Melakukan overlay peta sebaran
hujan, peta jenis tanah (tekstur tanah diketahui) dan peta tutupan lahan; (3) Melakukan
perhitungan luas setiap bentuk penggunaan lahan pada setiap polygon dengan
mempertimbangkan perbedaan tekstur tanahnya; (4) Dengan Tabel Pendugaan Kapasitas
Air tersedia berdasarkan kombinasi tipe tanah dan vegetasi, diperoleh nilai air tersedia
(mm/m) dan panjang perakaran, maka nilai kapasitas menyimpan air (water holding
capacity) didapat. Dengan memanfaatkan sistem informasi geografis (SIG) pendugaan
kapasitas menyimpan air (WHC atau STO) dapat dilakukan.

2.4 Metode Analisis


2.4.1 Menghitung selisih P dan ET tiap Bulan
Menghitung selisih nilai P dan ET bertujuan untuk mengetahui apakah bulan tersebut
termasuk dalam bulan basah atau bulan kering.
1. (P-ET) > 0, terjadi surplus curah hujan (periode bulan basah)
2. (P-ET) < 0, terjadi defisit curah hujan (periode bulan kering).

2.4.2 Menghitung Jumlah Kumulatif dari Defisit Curah Hujan (Accumulated Potential
Water Loss)
Nilai akumulasi jumlah kumulatif dari defisit curah hujan merupakan nilai akumulasi
bulanan dari selisih presipitasi dan nilai evapotranspirasi potensial. Cara menghitung nilai
APWL adalah sebagai berikut:
1. Pada bulan kering dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai selisih (PET) pada
bulan yang bersangkutandengan nilai (P-ET) pada bulansebelumnya selama bulan
keringyang berurutan.
2. Pada bulan-bulan basah (P>ET), maka APWL terputus sehinggan nilai APWL = 0

2.4.3 Menetukan Kelengasan Tanah


Menentukan kelengasan tanah dapat dilakukan dengan cara:
1. Pada bulan-bulan basah (P > ET), maka nilai ST sama dengan nilai ST0
2. Pada bulan-bulan kering (P < ET), maka nilai ST untuk tiap bulannya dihitung
dengan cara sebagai berikut:
ST = ST0 × e-(APWL/ST0) (8)
dimana:
ST = kandungan lengas tanah dalam daerah perakaran (mm)
STo = kandungan lengas tanah dalam kapasitas lapang (mm) Sto yang
dimaksud dalam umus ini nilainya = WHC
APWL = jumlah kumulatif dari defisit curah hujan (mm/bulan)
e = bilangan navier (e= 2,718)
6

2.4.4 Perubahan Kelengasan Tanah


Perubahan kelengasan tanah (∆ST) dilakukan dengan cara mengurangi nilai ST pada
bulan yang bersangkutan dengan nilai ST pada bulan sebelumnya.

2.4.5 Evapotranspirasi Aktual


Nilai evapotranspirasi aktual yaitu didapat dengan cara menentukan bulan basah dan
bulan kering terlebih dahulu dimana:
1. Pada bulan-bulan basah (P>ET) nilai evapotranspirasi aktual (AE) = ET
2. Pada bulan-bulan kering (P<ET) nilai evapotranspirasi aktual (AE) = P-∆ST

2.4.6 Kekurangan Lengas (Defisit)


Dalam menentukan nilai defisit yang terjadi pada bulan-bulan kering (P<ET) yaitu
diperoleh dari selisih evapotranspirasi potensial dengan evapotranspirasi aktual.
D = ET - EA (9)
dimana:
D = defisiti (mm/bulan)
ET = evapotranspirasi potensial
EA = evapotranspirasi aktual (mm/bulan)

2.4.7 Kelebihan Lengas (Surplus)


Kelebihan lengas terjadi pada bulan-bulan basah (P>ET) yang diperoleh dari:
S = (P-ET) - ∆ST (10)
dimana:
S = Surplus
P = Curah Hujan (mm/bulan)
ET = evapotranspirasi potensial (mm/bulan)
∆ST = perubahan lengas tanah (mm)

2.4.8 Pengisian Lengas Tanah Potensial


Pengisian lengas tanah potensial didapat dari WHC dikurangi dengan nilai ST pada
bulan tersebut.
PR = WHC - ST (11)
dimana:
PR = Pengisian lengas tanah potensial
WHC = kapasitas penyimpanan air
ST = kandungan lengas tanah dalam perakaran bulan tersebut

2.4.9 Pengisian Lengas Tanah


Pengisian lengas tanah terjadi jika nilai ST pada bulan sebelumnya lebih kecil dari
ST pada bulan bersangkutan, penambahan nilai ST tersebut menjadi pengisian lengas tanah.
R = ST – STj-i (12)
dimana:
R = pengisian lengas tanah
ST = kandungan lengas tanah dalam perakaran bulan tersebut
STj-i = kandungan lengas tanah dalam perakaran bulan sebelumnya
7

2.4.10 Kehilangan Lengas Tanah Potensial


Dilakukan dengan cara pengurangan nilai evapotranspirasi Potensial dengan
perubahan kelengasan Tanah (∆ST).
PL = ET – ∆S (13)
dimana:
PL = kehilangan lengas tanah potensial
ET = evapotranspirasi potensial (mm/bulan)
∆ST = perubahan lengas tanah (mm)

2.4.11 Kehilangan Lengas Tanah


Dilakukan dengan cara mengurangi nilai ST pada bulan sebelumnya dengan nilai ST
pada bulan bersangkutan.
L = STj-i – ST (14)
dimana:
R = kehilangan lengas tanah
STj-i = kandungan lengas tanah dalam perakaran bulan sebelumnya
ST = kandungan lengas tanah dalamperakaran bulan tersebut

2.4.12 Indeks Kekeringan


a. Dari hasil perhitungan neraca air metode Thornthwaite, maka akan ditentukan
harga dari keempat konstanta iklim, yaitu koefisien evapotranspirasi (α), koefisien
pengisian (β), koefisien limpasan (γ), koefisien kehilangan air (δ) dan
karakteristik iklim (κ);
b. Penentuan nilai ”CAFEC” (Climatically Appropriate for Existing Conditions),
nilai ini adalah dugaan parameter-parameter evapotranspirasi, runoff, recharge,
presipitasi dan loss, dimana secara klimatologis sesuai dengan kondisi waktu dan
tempat yang diuji;
c. Penetuan periode kelebihan atau kekerungan hujan (d). Untuk menentukan
periode kelebihan (surplus) atau kekurangan (defisit) hujan;
d. Rataan nilai mutlak (D);
e. Pendekatan kedua terhadap nilai faktor K (κ’);
f. Karakter iklim sebagai faktor pembobot (K);
g. Indeks penyimpangan (anomali) lengas (Z). Digunakan sebagai salah satu
parameter untuk menentukan indeks kekeringan metode Palmer;
h. Indeks Kekeringan dihitung dengan:
X = (Z/3)j-1 + Δx
Δx = (Z/3)j-1 – 0,103 (Z/3) j-1
dengan:
X = indeks kekeringan Palmer
Z = indeks penyimpangan (anomali) lengas

2.4.13 Pemetaan Indeks Kekeringan


Setelah mendapatkan nilai indeks kekeringan selanjutnya nilai indeks kekeringan
tersebut ditampilkan dalam peta sebaran kekeringan. Klasifikasi indeks kekeringan dapat
dilihat berdasarkan Tabel 3.. Penggambaran peta sebaran kekeringan menggunakan software
ArcGIS 10.2 dengan metode interpolasi IDW.
8

Tabel 3. Kelas Indeks Kekeringan Palmer dan Sifat Cuaca


Indeks Kekeringan Sifat Cuaca
≥ 4.00 Ekstrim Basah
3.00 – 3.99 Sangat Basah
2.00 – 2.99 Agak Basah
1.00 – 1.99 Sedikit Basah
0.50 – 0.99 Awal Selang Basah
0.49 – (-0.49) Normal
-0.50 – (-0.99) Awal Selang Kering
-1.00 – (-1.99) Sedikit Kering
-2.00 – (-2.99) Agak Kering
-3,00 – (-3,99) Sangat Kering
≤ -4.00 Ekstrim Kering

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Analisa Data Curah Hujan
Pola dan variasi curah hujan rerata, maksimum dan minimum bulanan di daerah studi
dapat dilihat pada gambar 2 dimana grafik besarnya curah hujan dari waktu kewaktu
menggambarkan suatu pola dan siklus tertentu. Kadang terjadi penyimpangan pada pola itu,
tetapi biasanya kembali lagi pada pola yang teratur. Fluktuasi ini menghasilkan variasi
musiman, yaitu musim kering (kemarau) pada bulan Agustus dan musim basah (penghujan)
pada bulan Januari.

Gambar 2. Pola Curah Hujan Rata-rata


Sumber : Hasil Analisa

3.2 Analisa Spatial Curah Hujan


Dalam analisa pola curah hujan dengan metode Mohr membedakan keadaan hujan
bulanan menjadi tiga golongan, yaitu bulan basah, bulan kering dan bulan lembab. Bulan
basah adalah bulan yang curah hujannya melebihi 100 mm (P ≥ 100mm), sedangkan bulan
kering adalah bulan yang curah hujannya kurang dari 60 mm (P ≤ 60 mm). Antara bulan
basah dan bulan kering disebut bulan lembab (60 ≤ P ≤ 100 mm).
Analisa spatial curah hujan dilakukan untuk melihat daerah mana saja yang memiliki
potensi kekeringan dengan dilihat dari besar kecilnya nilai curah hujan itu sendiri. Selain
itu, analisa ini dilakukan untuk mengetahui besar kecilnya curah hujan tiap titik pos hujan.
9

3.3 Analisa Neraca Air


Kebutuhan air total di lokasi studi diproyeksikan sampai dengan tahun 2035. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui kondisi neraca air pada tahun proyeksi, sehinggan diketahui
apakah di daerah studi mengalami defisit atau surplus.

3.3.1 Analisa Tata Guna Lahan


Kali Bedadung adalah sungai yang membelah Kabupaten Jember dan membelah
kawasan perkotaan. Sungai yang memiliki panjang 46.875 m ini, mempunyai luas DAS
seluas 112.312,04 m, dan terdiri dari 17 Sub DAS. Adapun Sub DAS tersebut adalah Sub
DAS Bedadung, Ajung, Antirogo, Arjasa, Bintoro, Embung, Jompo, Joyo, Kapuran,
Kemuning, Kerang, Kopel, Petung, Sukogambiran, Sumber Telek, Tamansari dan Wates.
Tutupan lahan di wilayah studi sebagian besar di dominasi oleh lahan tidak terbangun
meliputi lahan pertanian, hutan, perkebunan, ladang. lahan pemukiman, perdagangan dan
jasa tersebar di wilayah studi. Berdasarkan pengamatan bahwa di daerah hulu wilayah studi
merupakan kawasan relatif seperti hutan yang dianggap sebagai daerah resapan air hujan.
Pada Tabel 4. dibawah ini, dapat menjelaskan bahwa memang terjadi perubahan luasan
kawasan yang dianggap sebagai Daerah Resapan, tiap tahunnya terjadi pengurangan luasan
kawasan hutan.

Tabel 4. Perubahan Luasan Kawasan yang dianggap Sebagai Daerah Resapan


di Wilayah Kabupaten Jember
No. Tahun Luas Hutan Hutan Hutan Total
Hutan Lindung Produksi Suaka
1. 2001 7.4701,7 75.471,2 31.495,5 109,1 181.777,5
2. 2002 117.097,3 42.201,4 30.734,7 44.161,2 234.194,6
3. 2003 116.286,6 42.201,4 28.776,9 46.101,0 233.365,9
4. 2004 60.376,9 31.617,4 28.360,9 20,0 120.375,2
5. 2005 2.244,5 2.701,9 3.835,0 20,0 8.801,4
Sumber: Kabupaten Jember dalam Angka 2001 dan 2005

3.3.2 Analisa Kapasitas Penyimpanan Air (Water Holding Capacity)


Menghitung Kapasitas Penyimpanan Air berdasarkan peta penggunaan lahan di atas,
maka diperoleh nilai kapasitas air tersedia, panjang zona perakaran dan kelembaban.
Rekapitulasi nilai STo tahun

3.4 Analisa Data Debit AWLR


Perubahan besarnya ratio antara debit maksimum dan minimum harian pertahun
yang diiringi intensitas curah hujan memperlihatkan adanya perubahan karakteristik aliran
yang sangat berarti. Sehingga membutuhkan adanya pengamatan pola aliran harian pada pos
AWLR Rowotamtu dan 12 pos hujan yang dianggap mewakili daerah studi.

3.5 Analisa Spatial Indeks Kekeringan


Analisa spatial indeks kekeringan tahunan ini bertujuan untuk mengetahui besarnya
nilai kekeringan tahun 2002 – 2017. Fenomena El Nino dan penurunan debit di Sungai
digunakan sebagai pertimbangan untuk melakukan analisa perhitungan. Sehingga didapat
informasi yang kompatibel antara satu dengan yang lain.
10

3.6 Verifikasi
Hasil perhitungan indeks kekeringan metode Palmer dibandingkan dengan debit air
(debit dar AWLR) yang ditampilkan dalam bentuk porsentase kesesuaian.

3.7 Rekomendasi Pengendalian Potensi Kekeringan


Rekomendasi pengendalian potensi kekeringan bertujuan untuk merencanakan
kawasan daerah aliran sungai (DAS) Bedadung, berdasarkan analisa potensi kekeringan
dengan mengacu pada tata guna lahan eksisting. Potensi kekeringan di wilayah DAS
Bedadung diharapkan membantu memberikan pedoman untuk langkah-langakah yang dapat
diambil dalam mengantisipasi kekeringan di wilayah DAS tersebut.

3.7.1 Konservasi Mekanik


Bentuk konservasi mekanik sangat dipengaruhi oleh kemiringan lahan. Salah
satunya untuk kemiringan 10%-60%, dapat dilakukan konservasi secara mekanik adalah
sistem teras bangku.

3.7.2 Konservasi Vegetatif


Salah satu konservasi vegetatif yang sesuai di lokasi studi adalah Jenis Agroforestry.
Agroforestry dikenal dengan istilah wanatani adalah menanam pepohonan di lahan
pertanian. Agroforestry dapat terbagi menjadi dua sistem, yaitu sistem sederhana dan sistem
kompleks.

3.7.3 Konservasi Air


Teknologi konservasi air adalah upaya untuk mengatur penyediaan air khususnya
pada saat musim kemarau (kekurangan air), meningkatkan volume air tanah juga
memperbesar daya simpan air. Beberapa bangunan konservasi air yang murah dan mudah
untuk mengatur ketersedian air sepanjang tahun adalah Embung/Dam ataupun Danau
buatan.

4. KESIMPULAN

Karya Tulis ini dibuat oleh Penulis sampai dengan tahap menghitung Analisa Pola
Curah Hujan Rata-rata. Penulis menyadari masih banyak tahap analisa yang perlu dilakukan,
untuk mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan dari penelitian ini. Kesimpulan yang
diharapkan dapat diambil dari penelitian ini adalah:
a. Besaran Indeks Kekeringan rata-rata (Ia) dihitung dengan menggunakan metode
Pakmer akan menunjukan periode bulan basah pada bulan tertentu dan bulan kering
dengan ditunjukan dengan indeks kekeringan yang mulai meningkat dari klasifikasi
ringan sampai tinggi. Kejadian El Nino, juga dijadikan acuan untuk melakukan
analisa sehingga didapat korelasi antara fenomena alami dengan analisa yang
dilakukan;
b. Selisih kebutuhan air di lokasi studi diproyeksikan sampai dengan tahun 2035. Hal
ini dilakukan untuk mengetahui kondisi neraca air pada tahun proyeksi, sehinggan
diketahui apakah di daerah studi mengalami defisit atau surplus; dan
c. Mencari hubungan kondisi tata guna lahan, Indeks Kekeringan dan ketersedian debit
dibutuhkan sebagai acuan yang komprehensif antara satu fakta dengan fakta yang
lain dan disertai dengan perhitungan analisa yang tepat.
11

Ucapan Terima Kasih


Kepada Bapak Dr. Eng Donny Harisuseno, ST., MT., Penulis menyampaikan ucapan
terima kasih atas masukan dan bimbingan selama penulis menyelesaikan Karya Tulis ini.
Selain itu Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam hal ini Badan Pengembangan
Sumber Daya Manusia dengan Kehendak Tuhan YME telah memberikan kesempatan
kepada Penulis untuk medapatkan Beasiswa Pendidikan Kedinasan jenjang Magister Teknik
Pengairan Universitas Brawijaya Malang.

DAFTAR PUSTAKA
Ima Sholikhati, Donny Harisuseno, Ery Suhartanto. Studi Identifikasi Indeks Kekeringan
Hidrologis pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Berbasis Sistem Informasi Geografis
(SIG) (Studi Kasus pada DAS Brantas Hulu : Sub DAS Upper Brantas, Sub DAS
Amprong, dan Sub DAS Bangosari). Tesis. Jurusan Pengairan Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya. Malang.
K.V. Suryabhagavan. 2017. GIS-based climate variability and drought characterization in
Ethiopia over three decades. Elsevier - Weather and Climate Extremes. Vol. 15, hal.
11 – 23.
Kao, S. dan Govindaraju, R.S. 2010. A Copula-Based Joint Deficit Index for Droughts.
Jurnal of Hydrology, Vol. 380, hal. 121-134.
Mishra, A.K. dan Singh, V.P. 2010. A Review of Drought Concepts. Journal of Hydrology.
Vol. 391, hal. 202-216.
National Drought Mitigation Center. 2006. What is Drought, USA. Entry from
http://drought.unl.edu/
Quiring, S.M., dan Papakryiakou, T.N. 2003. An Evaluation of Agricultural Drought Indices
for the Canadian Prairies, Agricultural and Forest Meteorology, Vol. 118, hal 49-62.
Turyanti, A. 1995. Sebaran Indeks Kekeringan Wilayah Jawa Barat. Skripsi. Jurusan
Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut
Pertanian Bogor.
Zengchao Hao, Fanghua Hao, Vijay P. Singh, Youlong Xia, Wei Ouyang, dan Xinyi Shen.
2016. A theoretical drought classification method for the multivariate
drought index based on distribution properties of standardized drought indices.
Advances in Water Resources. Vol. 92, hal. 240-247.

Anda mungkin juga menyukai