INTISARI
Kekeringan merupakan salah satu bencana yang ditunjukkan dengan berkurangnya
ketersediaan air terhadap kebutuhan. Penanggulangan bencana kekeringan dengan
pendekatan non-struktural melalui monitoring kekeringan berupa informasi kekeringan
spatial berbentuk peta indeks kekeringan bulanan dan informasi kekeringan temporal pada
masing-masing sub-DAS. Lokasi penelitian ini berada di DAS Bedadung dengan 12 pos
hujan terpilih yang mampu mengirimkan data hujan harian secara kontinu. Analisa
kekeringan menggunakan metode Palmer yang berupa indeks yang menginformasikan
tingkat kekeringan suatu daerah dengan menggunakan parameter neraca air. Hasil studi
diharapkan menunjukkan indeks kekeringan terbesar pada tiap-tiap tahun terutama pada
terjadinya El-Nino pada bulan Juli sampai Oktober. Indeks kekeringan dilakukan verifikasi
dengan debit AWLR pada lokasi studi.
Kata Kunci : Indeks kekeringan, Palmer, El-Nino, Neraca Air, Perubahan Iklim
1. PENDAHULUAN
Kekeringan secara perlahan pasti akan terjadi tanpa kita sadari. Kekeringan berbeda
dengan bencana banjir yang bisa langsung dirasakan oleh manusia. Dampak buruk
kekeringan dan potensi peningkatan frekuensi dan keparahan akibat perubahan iklim telah
menyebabkan studi ekstensif untuk pemahaman yang lebih baik, pemantauan dan prediksi
kekeringan. Indeks kekeringan adalah komponen kunci untuk memantau kekeringan,
berdasarkan variabel meteorologi atau hidrologi (Zengchao et al., 2016)
Letak geografis diantara dua benua dan dua samudra serta terletak di sekitar garis
khatulistiwa. Sesuai dengan pembagian iklim di dunia, daerah yang dilalui oleh garis
khatulistiwa memiliki iklim tropis. Maka pembagian musim di Indonesia hanya terdiri dari
dua musim saja, yakni musim hujan dan juga musim kemarau, maka ada masanya Indonesia
mempunyai air yang berlebih, yakni ketika musim hujan dan wilayah Indonesia mempunyai
persediaan air yang hanya sedikit, yakni ketika musim kemarau tiba. Selain itu perubahan
iklim dan variabilitas memiliki dampak yang sangat besar untuk daerah tropis (K.V.
Suryabhagavan, 2017).
Kekeringan yang terjadi di daerah studi yakni DAS Bedadung, dampaknya memang
tidak langsung terlihat, namun seiring semakin menyusutnya jumlah mata air yang ada
mengindikasikan daerah tersebut mulai mengalami kekeringan. Hal ini dibuktikan dengan
kawasan resapan air wilayah DAS Bedadung banyak yang hilang akibat alih fungsi lahan
yang menyebabkan penyusutan jumlah mata air. Akibat dari perubahan tata guna lahan di
DAS Bedadung, air hujan yang turun ke permukaan bumi banyak yang melimpas menjadi
aliran permukaan (surface flow) dan sangat sedikit yang meresap ke dalam tanah untuk
mengisi cadangan air tanah.
2
2. METODE PENELITIAN
2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi studi dalam penelitian ini berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS)
Bedadung yang terdiri dari Sub DAS Bedadung, Ajung, Antirogo, Arjasa, Bintoro, Embung,
Jompo, Joyo, Kapuran, Kemuning, Kerang, Kopel, Petung, Sukogambiran, Sumber Telek,
Tamansari dan Wates. DAS Bedadung mempunyai batas wilayah hidrologi pada sebelah
barat berbatasan dengan DAS Tanggul, sebelah timur berbatasan dengan DAS Mayang;
sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso dan sebelah Selatan berbatasan
dengan Samudra Hindia. Kabupaten Jember secara astronomis terletak pada posisi 6º27'29"
s/d 7º14'35" Bujur Timur dan 7º59'6" s/d 8º33'56" Lintang Selatan. Kabupaten Jember
memiliki luas wilayah kurang lebih 3.293,34 Km2. Iklim di Kabupaten Jember adalah iklim
tropis. Angka temperatur berkisar antara 23ºC – 31ºC, dengan musim kemarau terjadi pada
bulan Mei sampai bulan Agustus dan musim hujan terjadi pada bulan September sampai
bulan Januari. Sedangkan curah hujan tahunan cukup banyak, yakni berkisar antara 1.969
mm sampai 3.394 mm.
Kabupaten Jember memiliki karakter topografi dataran ngarai yang subur pada
bagian Tengah dan Selatan serta dikelilingi oleh pegunungan yang memanjang pada batas
Barat dan Timur. Pada wilayah Barat Daya memiliki dataran dengan ketinggian 0 – 25
meter di atas permukaan laut, sedangkan di wilayah Timur Laut yang berbatasan dengan
Kabupaten Bondowoso dan wilayah Tenggara yang berbatasan dengan Kabupaten
Banyuwangi memiliki ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan air laut. Sebagian
besar wilayah berada pada ketinggian antara 100 hingga 500 meter di atas permukaan laut
yaitu 37,75%. Kondisi topografi yang ditunjukkan dengan kemiringan tanah atau elevasi,
sebagian besar wilayah Kabupaten Jember (36,60%) dengan kemiringan lahan 0 – 2%.
3
(a) (b)
Keadaan geologi di Kabupaten Jember disusun oleh batuan Kuarter Tua, terutama
pada daerah G. Argopuro. Menurut Widodo dkk. (2011) menyatakan bahwa proses
pelapukan Breksi Argopuro yang berumur Kuarter Tua telah mencapai kedalaman lebih dari
20 meter dari muka tanah terdiri dari tanah residu dengan tebal 16 meter, tanah lapuk sedikit
dengan tebal 4 meter dari batuan dasar. Seiring pertumbuhan penduduk yang semakin
meningkat mengakibatkan perubahan tata guna lahan secara signifikan, kondisi tata guna
lahan tahun 2008 di DAS Bedadung dapat dilihat pada tabel 2.
Tidak semua pos stasiun hujan memiliki data suhu udara. Sehingga perlu melakukan
pendugaan suhu dari stasiun terdekat dengan cara mempertimbangkan faktor ketinggian
tempat. Untuk penyesuaian ini digunakan cara Mock (1973).
dimana:
Δt = perbedaan suhu antara stasiun pengukuran dengan
stasiun pengukuran yang dianalisa (°C)
z1 = elevasi stasiun pengukuran (m)
z2 = elevasi stasiun hujan analisa (m)
dimana:
Tm = suhu udara rata-rata bulanan (ºC)
f = koefisien koreksi (Tabel koefisien penyesuaian menurut
bujur dan bulan)
5
2.4.2 Menghitung Jumlah Kumulatif dari Defisit Curah Hujan (Accumulated Potential
Water Loss)
Nilai akumulasi jumlah kumulatif dari defisit curah hujan merupakan nilai akumulasi
bulanan dari selisih presipitasi dan nilai evapotranspirasi potensial. Cara menghitung nilai
APWL adalah sebagai berikut:
1. Pada bulan kering dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai selisih (PET) pada
bulan yang bersangkutandengan nilai (P-ET) pada bulansebelumnya selama bulan
keringyang berurutan.
2. Pada bulan-bulan basah (P>ET), maka APWL terputus sehinggan nilai APWL = 0
3.6 Verifikasi
Hasil perhitungan indeks kekeringan metode Palmer dibandingkan dengan debit air
(debit dar AWLR) yang ditampilkan dalam bentuk porsentase kesesuaian.
4. KESIMPULAN
Karya Tulis ini dibuat oleh Penulis sampai dengan tahap menghitung Analisa Pola
Curah Hujan Rata-rata. Penulis menyadari masih banyak tahap analisa yang perlu dilakukan,
untuk mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan dari penelitian ini. Kesimpulan yang
diharapkan dapat diambil dari penelitian ini adalah:
a. Besaran Indeks Kekeringan rata-rata (Ia) dihitung dengan menggunakan metode
Pakmer akan menunjukan periode bulan basah pada bulan tertentu dan bulan kering
dengan ditunjukan dengan indeks kekeringan yang mulai meningkat dari klasifikasi
ringan sampai tinggi. Kejadian El Nino, juga dijadikan acuan untuk melakukan
analisa sehingga didapat korelasi antara fenomena alami dengan analisa yang
dilakukan;
b. Selisih kebutuhan air di lokasi studi diproyeksikan sampai dengan tahun 2035. Hal
ini dilakukan untuk mengetahui kondisi neraca air pada tahun proyeksi, sehinggan
diketahui apakah di daerah studi mengalami defisit atau surplus; dan
c. Mencari hubungan kondisi tata guna lahan, Indeks Kekeringan dan ketersedian debit
dibutuhkan sebagai acuan yang komprehensif antara satu fakta dengan fakta yang
lain dan disertai dengan perhitungan analisa yang tepat.
11
DAFTAR PUSTAKA
Ima Sholikhati, Donny Harisuseno, Ery Suhartanto. Studi Identifikasi Indeks Kekeringan
Hidrologis pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Berbasis Sistem Informasi Geografis
(SIG) (Studi Kasus pada DAS Brantas Hulu : Sub DAS Upper Brantas, Sub DAS
Amprong, dan Sub DAS Bangosari). Tesis. Jurusan Pengairan Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya. Malang.
K.V. Suryabhagavan. 2017. GIS-based climate variability and drought characterization in
Ethiopia over three decades. Elsevier - Weather and Climate Extremes. Vol. 15, hal.
11 – 23.
Kao, S. dan Govindaraju, R.S. 2010. A Copula-Based Joint Deficit Index for Droughts.
Jurnal of Hydrology, Vol. 380, hal. 121-134.
Mishra, A.K. dan Singh, V.P. 2010. A Review of Drought Concepts. Journal of Hydrology.
Vol. 391, hal. 202-216.
National Drought Mitigation Center. 2006. What is Drought, USA. Entry from
http://drought.unl.edu/
Quiring, S.M., dan Papakryiakou, T.N. 2003. An Evaluation of Agricultural Drought Indices
for the Canadian Prairies, Agricultural and Forest Meteorology, Vol. 118, hal 49-62.
Turyanti, A. 1995. Sebaran Indeks Kekeringan Wilayah Jawa Barat. Skripsi. Jurusan
Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut
Pertanian Bogor.
Zengchao Hao, Fanghua Hao, Vijay P. Singh, Youlong Xia, Wei Ouyang, dan Xinyi Shen.
2016. A theoretical drought classification method for the multivariate
drought index based on distribution properties of standardized drought indices.
Advances in Water Resources. Vol. 92, hal. 240-247.