Anda di halaman 1dari 28

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI

RSAL Dr. RAMELAN SURABAYA

AIRWAY MANAGEMENT

Penyusun :
Louisa Stephani 1522316047
Irine Sanusi 15223160

Pembimbing:
dr. Bambang, Sp. An

PROGRAM KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
2017
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………….......................................... 1

DAFTAR ISI ………………………………………............................... 2

BAB I PENDAHULUAN ….………………………...………………... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………….…. 4

2.1 Anatomi Jalan Napas ..............……………………........................... 4

2.2 Obstruksi Jalan Napas ..……………………………….…………… 6

2.3 Manajemen Obstruksi Saluran Napas ……………………………… 8

2.4 Membersihkan Jalan Napas ... ………………...…………………… 24

BAB III KESIMPULAN …......……………………………………….. 26

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………. 27

2
BAB I
PENDAHULUAN

Pemberian anestesi pada pembedahan dapat menyebabkan keadaan yang


mengancam jiwa oleh karena gangguan jalan nafas, sirkulasi, dan fungsi otak yang
dapat disebabkan oleh obat dan/atau teknik anestesi maupun oleh karena
pembedahannya. Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan harus
dipersiapkan dengan baik, karena apabila kurang memadai dapat meningkatkan
risiko terjadinya kecelakaan anestesi.1
Tatalaksana jalan nafas (airway management) merupakan keterampilan
yang harus dimiliki oleh setiap anestetis. Syarat utama yang harus diperhatikan
pada saat anestesi umum adalah menjaga jalan nafas agar selalu bebas dan nafas
dapat berjalan lancar dan teratur. 1,2
Salah satu penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk
yang didata oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi
tertutup terhadap episode pernapasan yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari
1541 pasien dalam studi tersebut. Tiga kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi
sebanyak 75% pada saat tatalaksanan jalan napas yaitu : ventilasi yang tidak
adekuat (38%), intubasi esofagus (18%), dan kesulitan intubasi trakhea (17%).
Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari studi kasus, mengalami kematian dan
kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di atas), mengalami
masalah sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal
Pada pasien tidak sadar atau dalam keadaan anastesia posisi terlentang,
tonus otot jalan nafas atas, otot genioglossus hilang, sehingga lidah akan
menyumbat hipofaring dan menyebabkan obstruksi jalan nafas baik total atau
parsial. Keadaan ini sering terjadi dan harus cepat diketahui dan ditangani.
Obstruksi dapat juga disebabkan karena spasme laring pada saat anastesia ringan
dan mendapat rangsangan nyeri atau rangsangan oleh sekret.1

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI JALAN NAPAS


Jalan napas bagian atas terdiri dari faring, hidung, mulut, laring, trakea, dan
bronkus. Mulut dan faring juga merupakan bagian dari pencernaan bagian atas.
Struktur laring pada bagian ini berfungsi mencegah aspirasi ke trakea.1,2
Terdapat dua gerbang ke jalan napas manusia yaitu hidung yang mengarah
ke nasofaring, dan mulut yang mengarah ke orofaring. Jalan ini dipisahkan di
bagian anterior oleh langit-langit mulut (palatum durum dan palatum molle), tapi
mereka bergabung secara posterior di faring seperti pada gambar 1. Faring adalah
struktur fibromuskular berbentuk U yang membentang dari pangkal tengkorak ke
tulang rawan krikoid di pintu masuk esofagus. Faring terbuka secara langsung ke
rongga hidung, mulut, laring, dan nasofaring, orofaring, dan laringofaring.
Nasofaring dipisahkan dari orofaring dengan bidang imajiner yang meluas ke
posterior. Di dasar lidah, epiglotis secara fungsional memisahkan orofaring dari
laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah aspirasi dengan menutup glotis
(pembukaan laring) selama proses penelanan. 2

Gambar 1. Anatomi Jalan Napas Atas

4
Laring adalah kerangka kartilago yang disatukan oleh ligamen dan otot.
Laring terdiri dari sembilan tulang rawan : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (dalam
pasangan) arytenoid, kornikulata, dan kuneiform. Tulang rawan tiroid melindungi
konus elastikus, yang membentuk pita suara. 2
Suplai sensorik ke saluran napas bagian atas berasal dari saraf kranial
(Gambar 2). Membran mukosa hidung diinervasi oleh divisi oftalmik (V1) saraf
trigeminal anterior (nervus etmoidal anterior) dan oleh divisi maksila (V2) secara
posterior (nervus sphenopalatina). Saraf palatina memberikan serabut sensorik dari
saraf trigeminal (V) ke permukaan superior dan inferior dari palatum durum dan
molle. Nervus olfaktorius (NC I) menginervasi mukosa hidung untuk memberi
indera penciuman. Nervus lingual (cabang divisi mandibula [V3] dari saraf
trigeminal) dan nervus glossopharyngeal (NC IX) memberikan sensasi rasa pada
dua pertiga anterior dan cabang nervus fasialis (VII) dan nervus glossopharyngeal
memberikan sensasi rasa ke sepertiga posterior lidah. Nervus glossopharyngeus
juga menginnervasi atap faring, amandel, dan permukaan bawah pallatum molle.
Nervus vagus (NC X) memberikan sensasi ke jalan napas di bawah epiglotis.
Cabang laringeal superior nervus vagus terbagi menjadi saraf laringeal eksternal
(motor) dan saraf laringeal internal (sensorik) yang memberikan suplai sensorik ke
laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang lain dari vagus, nervus laringeus
rekuren, menginervasi laring di bawah pita suara dan trakea. 2

Gambar 2. Innervasi saluran napas atas

5
Otot-otot laring diinnervasi oleh nervus laringeal rekuren, kecuali otot
krikothyroid, yang diinervasi oleh nervus laringeal eksternal, cabang saraf laringeal
superior. Otot krikoarytenoid posterior merupakan abduktor pita suara, sedangkan
otot krikoarytenoid lateral merupakan adduktor utama. 2
Pasokan darah laring berasal dari cabang-cabang arteri tiroid. Arteri
krikotiroid berasal dari arteri tiroid superior, cabang pertama berasal dari arteri
karotis eksterna, dan melintasi membran krikotiroid atas (CTM), yang memanjang
dari tulang rawan krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroid superior ditemukan di
sepanjang tepi lateral CTM.2
Trakea dimulai di bawah tulang rawan krikoid dan meluas ke karina, titik di
mana bagian kanan dan kiri membelah bronki utama. Di anterior trakea terdiri dari
cincin kartilagin, di posterior trakea adalah membran. 2

2.2. OBSTRUKSI JALAN NAPAS


Obstruksi jalan napas pada pasien yang tidak sadar paling sering terjadi
karena lidah jatuh kembali ke faring posterior. Penyebab lainnya meliputi
laringospasme, edema glotis, sekresi, muntahan, darah yang tertahan di jalan napas,
atau tekanan eksternal pada trakea (paling sering adalah hematoma leher). Pada
pasien tidak sadar atau dalam keadaan anesthesia posisi terlentang, tonus otot jalan
napas atas, otot genioglossus hilang, sehingga lidah akan menyumbat hipofaring
dan menyebabkan obstruksi jalan napas baik total maupun parsial.1 Tanda - tanda
obstruksi jalan napas : 1
1. Stridor (mendengkur, snoring)
2. Napas cuping hidung (flaring of the nostrils)
3. Retraksi trakea
4. Retraksi torak
5. Tak terasa ada udara ekspirasi
Obstruksi saluran napas parsial biasanya timbul sebagai respirasi yang
hebat. Obstruksi total atau hampir total menyebabkan gangguan aliran udara dan
tidak adanya suara nafas dan disertai dengan gerakan dada yang tidak rata
(paradoksal). Bagian perut dan dada biasanya naik bersamaan selama inspirasi;

6
Namun, dengan penyumbatan jalan napas, dada turun saat perut naik selama setiap
inspirasi (gerakan dada yang paradoks). 1,2
Pasien dengan obstruksi jalan nafas harus menerima oksigen tambahan
sementara tindakan korektif dilakukan. Kombinasi manuver jaw thrust dan
manuver head tilt akan menarik lidah ke depan dan membuka jalan napas, dan
pemasangan saluran napas oral atau nasal seringkali meredakan masalah. Saluran
napas nasal mungkin lebih baik ditolerir daripada oral oleh pasien yang baru sadar
anestesi dan dapat mengurangi kemungkinan trauma pada gigi saat pasien
menggigit. 1,2
Jika manuver di atas gagal membuat saluran udara kembali terbuka, harus
dipertimbangkan adanya laringospasme. Laringospasme terjadi karena pita suara
menutup sebagian atau seluruhnya. Laringospasme biasanya ditandai dengan suara
gagak bernada tinggi (crowing), namun mungkin saja tidak ada suara pada
penutupan glotis yang lengkap. Spasme pada pita suara lebih cenderung terjadi
setelah trauma jalan nafas, instrumentasi berulang, anastesi ringan atau rangsangan
dari sekresi atau darah di jalan napas. Manuver jaw thrust, terutama bila
dikombinasikan dengan tekanan udara positif yang lembut melalui masker wajah
yang ketat, biasanya akan meredakan laringospasme. Penyisipan saluran napas oral
atau hidung juga membantu memastikan jalan napas paten sampai ke tingkat pita
suara. Setiap sekresi atau darah di hipofaring harus disedot untuk mencegah
kekambuhan. Laryngospasme refrakter harus diobati dengan suksinilkolin
intravena dosis rendah (0,5 mg/kg iv, im, deltoid, sublingual 2-4 mg/kg ; 10-20 mg
pada orang dewasa) dan ventilasi tekanan positif dengan 100% oksigen. Intubasi
endotrakeal terkadang diperlukan untuk membangun kembali ventilasi,
cricothyrotomy atau transtracheal jet ventilation diindikasikan jika intubasi tidak
berhasil dalam kasus seperti itu. 1,2
Edema glotis yang mengikuti instrumentasi jalan nafas merupakan
penyebab penting penyumbatan jalan nafas pada bayi dan anak kecil karena lumen
jalan nafas yang relatif kecil. Kortikosteroid intravena (deksametason, 0,5 mg / kg,
dosis maksimal 10 mg) atau rasemik epinefrin aerosol (0,5 mL larutan 2,25%
dengan 3 mL larutan normal saline) dapat berguna untuk kasus tersebut.
Pembedahan pasca operasi setelah tiroid, arteri karotid, dan prosedur leher lainnya

7
dapat dengan cepat membahayakan jalan napas, dan membuka luka dengan segera
dapat mengurangi kompresi trakea pada kebanyakan kasus. Pada sedikit kasus, kasa
mungkin tidak sengaja ditinggalkan di hipofaring setelah operasi mulut dan dapat
menyebabkan penyumbatan jalan napas segera atau tertunda secara lengkap,
terutama pada pasien dengan fiksasi intermaksilaris. 1,2
Dekanulasi trakeostomi yang tidak disengaja atau disengaja berbahaya
karena berbagai bidang jaringan belum diatur ke dalam jalur yang terbentuk dengan
baik, sehingga seringkali membuat rekanulasi sangat sulit atau tidak
memungkinkan. Dalam kasus trakeostomi yang dilakukan dalam 3-4 minggu
sebelumnya, penggantian kanula trakeostomi yang disengaja seharusnya hanya
dilakukan dengan ahli bedah yang berkualitas di samping tempat tidur dan alat
trakeostomi bedah yang ditetapkan, bersama dengan peralatan jalan napas lain yang
sesuai, segera tersedia.1,2

2.3. MANAJEMEN OBSTRUKSI SALURAN NAPAS


Untuk menilai jalan nafas, terdapat 3 tahapan, yaitu: 4
a. Look (lihat sumbatan pada jalan nafas, daerah bibir, dan pengembangan
dada),
b. Listen (dengar suara nafas),
c. Feel (rasakan hembusan nafas)
Airway Management ialah memastikan jalan nafas tetap terbuka. Menurut The
Commitee on Trauma: American College of Surgeon tindakan paling penting untuk
keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan saluran pernafasan dengan
cara Triple Airway Maneuver dan Heimlich Maneuver.3 Pada Triple Airway
Manuever terdapat tiga perlakuan yaitu: 2
 Kepala ditengadahkan dengan satu tangan berada di bawah leher, sedangkan
tangan yang lain pada dahi. Leher diangkat dengan satu tangan dan kepala
ditengadahkan ke belakang oleh tangan yang lain.
 Menarik rahang bawah ke depan, atau keduanya, akan mencegah obtruksi
hipofarings oleh dasar lidah. Kedua gerakan ini meregangkan jaringan antara
laring dan rahang bawah.
 Menarik atau mengangkat dasar lidah dari dinding faring posterior.

8
Dengan manuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga
gas atau udara lancer masuk trakea lewat hidung atau mulut. 2
Maneuver Heimlich merupakan metode yang paling efektif untuk mengatasi
obstruksi saluran pernafasan atas akibat makanan atau benda asing yang
terperangkap dalam faring posterior atau glotis. Korban menjadi pucat yang diikuti
dengan sianosis, anoksia dan kematian. Pada kondisi tersebut di atas, maneuver
dapat dilaksanakan dengan posisi penolong berdiri atau berbaring.3
a. Korban dalam keadaan sadar
Penolong berdiri di belakang korban dan memeluk pinggang korban dengan
kedua belah tanggan, kepalan salah satu tangan digenggam oleh tangan yang
lain. Sisi ibu jari kepalan penolong menghadap abdomen korban diantara
umbilicus dan thoraks. Kepalan tersebut ditekankan dengan sentakan ke atas
yang cepat pada abdomen korban. Penekanan tersebut tidak boleh memantul,
dan pada waktu di puncak tekanan perlu diberi waktu untuk menahan 0.5-1
detik dan setelah itu tekanan dilepas, perbuatan ini harus diulang-ulang
beberapa kali. Naiknya diafragma secara mendadak menekan paru-paru yang
dibatasi oleh dinding rongga dada, meningkatkan tekanan intrathorakal dan
memaksa udara serta benda asing keluar dari dalam saluran pernafasan. 3
b. Korban dalam keadaan tidak sadar
Korban berbaring terlentang dan penolong berlutut melangkahi panggul
korban. Penolong menumpukan kedua belah tangannya dan meletakkan
pangkal salah satu telapak tangan pada abdomen korban, kemudian
melaksanakan prosedur yang sama pada posisi berdiri. 3
Pengelolaan jalan napas dapat dilakukan tanpa alat maupun dengan alat.
2.3.1 Pengelolaan jalan napas tanpa alat
Pada pengelolaan jalan nafas tanpa alat letakkan pasien pada posisi terlentang
pada alas keras atau selipkan papan kalau pasien di atas kasur. Jika tonus otot
menghilang, lidah akan menyumbat faring dan epiglotis akan menyumbat laring.
Lidah dan epiglotis penyebab utama tersumbatnya jalan nafas pada pasien tidak
sadar. Untuk menghindari hal ini dilakukan beberapa tindakan, yaitu: 3,4
 Head Tilt-Chin Lift Maneuver

9
Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong
mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong
dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap ke atas dan
epiglotis terbuka. 3,4
 Jaw Thrust Maneuver
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorong kedepan
pada sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Lidah ikut tertarik dan jalan
nafas terbuka karena lidah melekat pada rahang bawah. 3,4

2.3.2 Pengelolaan jalan napas dengan alat


Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial
airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya
aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian posterior. Hilangnya tonus
otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan
epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi kepala
atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan jalan nafas.
Pasien yang sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring
pada saat memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring masih intak.
Pengelolaan jalan napas dengan alat juga dapat dilakukan jika maneuver tripel
kurang berhasil. Dapat diberikan alat bantu jalan napas mulut-faring lewat mulut
(OPA oro-pharyngeal airway) atau jalan napas hidung-faring lewat hidung (NPA,
naso-pharyngeal airway) 1,3
a. Oropharyngeal airway
Oropharyngeal airway (OPA) berbentuk pipa gepeng lengkung
seperti huruf C berlubang di tengahnya dengan salah satu ujungnya
bertangkai dengan dinding lebih keras untuk mencegah kalau pasien

10
menggigit lubang tetap paten, sehingga aliran udara tetap terjamin. OPA
juga dipasang bersama pipa trakea atau sungkup laring untuk menjaga
patensi kedua alat tersebut dari gigitan pasien Pemasangan oral airway
kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks jalan nafas dan
kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. Oral airway
dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/oropharyngeal airway No 3),
medium (90 mm/oropharyngeal airway no 4), dan besar (100
mm/oropharyngeal airway no 5). 1,2

Gambar 3. Oropharyngeal airway


Pasien diposisikan dalam posisi “sniffing”, dimana oksiput diangkat
atau dielevasi dengan bantuan bantal atau selimut yang dilipat dan leher
dalam posisi ekstensi. Biasanya posisi seperti ini akan memperluas
pandangan laringoskopik. Sedangkan posisi leher fleksi mempersulit dalam
pasien membuka mulut. 1,2
Laringoskop dipegang tangan kiri pada sambungan antara
handle dan blade. Setelah memastikan mulut pasien terbuka dengan teknik
“cross finger” dari jari tangan kanan, laringoskop dimasukkan ke sisi kanan
mulut pasien sambil menyingkirkan lidah ke sisi kiri. Bibir dan gigi pasien
tidak boleh terjepit oleh blade. Blade kemudian diangkat sehingga terlihat
epiglotis terbuka. Laringoskop harus diangkat, bukan didorong ke depan
agar kerusakan pada gigi maupun gusi pada rahang atas dapat dihindari. 1,2
Ukuran pipa endotrakeal (endotracheal tube/ETT) bergantung pada
usia pasien, bentuk badan, dan jenis operasi yang akan dilakukan. ETT
dengan ukuran 7.0 mm digunakan untuk hampir seluruh wanita, sedangkan
ukuran 8.0 pada umumnya digunkan pada pria. ETT dipegang dengan
tangan kanan seperti memegang pensil lalu dimasukkan melalui sisi kanan

11
rongga mulut kemudian masuk ke pita suara. Bila epiglotis terlihat tidak
membuka dengan baik, penting untuk menjadikan epiglotis sebagai
landasan dan segera masukkan ETT di bawahnya lalu masuk ke trakea.
Tekanan eksternal pada krikoid maupun kartilago tiroid dapat membantu
memperjelas pandangan anestesiologis. Ujung proksimal dari balon ETT
ditempatkan di bawah pita suara, lalu balon dikembangkan dengan udara
positif dengan tekanan 20-30 cmH2O. 1,2
Pemasangan ETT yang benar dapat dinilai dari auskultasi pada lima
area, yaitu kedua apeks paru, kedua basal paru, dan epigastrium. Bila suara
nafas terdengar hanya pada salah satu sisi paru saja, maka diperkirakan telah
terjadi intubasi endobronkial dan ETT harus ditarik perlahan hingga suara
nafas terdengar simetris di lapangan paru kanan dan kiri. ETT kemudian
difiksasi segera dengan menggunakan plester. 1,2

b. Nasopharyngeal airway
Nasopharyngeal airway (NPA) berbentuk pita bulat berlubang
tengahnya dibuat dari bahan karet lateks lembut. Pemasangan harus berhati
– hati dan untuk menghindari trauma mukosa hidung pipa diolesi dengan
jelly. NPA berbentuk pipa gepeng lengkung seperti huruf C berlubang di
tengahnya dengan salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih
keras untuk mencegah kalau pasien menggigit lubang tetap paten, sehingga
aliran udara tetap terjamin. Ukuran NPA dapat diperkirakan dari jarak nares
ke meatus telinga dan seharusnya kurang lebih 2-4 cm lebih panjang dari
OPA. 1,2

Gambar 4. Nasopharyngeal airway

12
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan
menjalani operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa
orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi
nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan nafas menjadi
cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang
dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan
nafas serta risiko terjadinya sinusitis. Intubasi nasotrakeal secara membuta
(blind nasotracheal intubation) memerlukan penderita yang masih bernafas
spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita yang
apnea. Makin dalam penderita bernafas, makin mudah mengikuti aliran
udara sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa
nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada tulang ethmoid,
epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis. Berikut cara intubasi
nasotrakea. 1,2
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk
lewat hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan
laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang
hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes hidung phenylephrine
(0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan
membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok
saraf dapat digunakan. Intubasi nasotrakeal biasanya dilakukan setelah
pemberian anastesi intravena dan pasien telah dilumpuhkan. 1,2
NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air,
dimasukkan ke dasar hidung, di bawah turbin inferior. Bevel NTT berada
disisi lateral jauh dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga
hidung, ujung proksimal dari NTT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara
berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat di orofaring.
Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan pada trakhea tanpa
kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat digunakan forcep Magil.
Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak balon.
Memasukkan NTT melalui hidung berbahaya pada pasien dengan trauma
wajah yang berat disebabkan adanya risiko masuk ke intrakranial. 1,2

13
Penggunaan laringoskop untuk mempermudah under vision intubasi
nasotrakeal dan laringoskop harus diposisikan saat bagian ujung tube telah
mencapai orofaring.1,2
c. Sungkup muka
Sungkup muka (face mask) mengantar udara/gas anestesi dari alat
resusitasi atau sistem anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat
sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau
dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat
mulut atau hidung. Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung usia
dan pembuatnya. Ukuran 03 untuk bayi baru lahir, 02,01,1 untuk anak kecil
2,3 untuk anak besar dan 4,5 untuk dewasa. Sebagian sungkup muka dari
bahan transparan supaya udara ekspirasi kelihatan (berembun) dan kalau
ada muntahan atau bibir terjepit kelihatan. 1,2
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face
mask yang rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak
tepat dapat menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup,
hal ini menunjukkan adanya kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya,
tekanan sirkuit breathing yang tinggi dengan pergerakan dada dan suara
pernafasan yang minimal menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas. 1,2
Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan
digunakan untuk melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan
memompa breathing bag. Face mask dipasang dimuka pasien dan sedikit
ditekan pada badan face mask dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan
jari manis menarik mandibula untuk ekstensi atlantooccipital joint.
Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak yang
menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari
kelingking ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan untuk jaw
thrust maneuver yang paling penting untuk dapat melakukan ventilasi
pasien. 1,2
Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan
jaw thrust yang adekuat dan face mask yang rapat karena itu diperlukan
seorang asisten untuk memompa bag. Obstruksi selama ekspirasi dapat

14
disebabkan karena tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw
thrust. Terkadang sulit memasang face mask rapat ke muka. Membiarkan
gigi palsu pada tempatnya (tapi tidak dianjurkan) atau memasukkan
gulungan kasa ke rongga mulut mungkin dapat menolong mengatasi
kesulitan ini. Tekanan normal ventilasi jangan melebihi 20 cmH2O untuk
mencegah masuknya udara ke lambung. 1,2
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face
mask dan oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka
lama dapat menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf
trigeminal atau fasial. Bila face mask dan ikatan mask digunakan dalam
jangka lama maka posisi harus sering diubah untuk menghindari cedera.
Hindari tekanan pada mata, dan mata harus diplester untuk menghindari
risiko aberasi kornea. 1,2

Gambar 5. Face mask

Gambar 6a Gambar 6b
Gambar 6a. Tehnik satu tangan. Gambar 6b. Tehnik dua tangan.
d. Sungkup laring
Sungkup laring (LMA, laryngeal mask airway) ialah alat jalan napas
berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung

15
menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti
balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil
atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten1,2
Dikenal 2 macam sungkup laring : 1
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa nafas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya
pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus
Tabel 1 ukuran LMA dan peruntukannya
Ukuran Usia Berat (kg)

1.0 Neonatus <3

1.3 Bayi 3-10

2.0 Anak kecil 10-20

2.3 Anak 20-30

3.0 Dewasa kecil 30-40

4.0 Dewasa normal 40-60

5.0 Dewasa besar >60

Cara pemasangan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan


laringoskop. Sebenarnya alat ini dibuat dengan tujuan diantaranya supaya
dapat dipasang langsung tanpa bantuan alat dan dapat digunakan jika
intubasi trakea diramalkan bakal mendapat kesulitan. LMA memang tidak
dapat mengganti kedudukan intubasi trakea, tetapi ia terletak di antara
sungkup muka dan intubasi trakea. Pemasangan hendaknya menunggu
anesthesia cukup dalam atau menggunakan pelumpuh otot untuk
menghindari trauma rongga mulut, faring-laring. Setelah alat terpasang,
untuk menghindari pipa napasnya tergigit, maka dapat dipasang gulungan
kain kasa (bite block) atau pipa napas mulut faring (OPA). 1,2
e. Pipa trakea
Pipa trakea (endotracheal tube) mengantar gas anestetik langsung ke
dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida.
Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam millimeter. Karena penampang

16
trakea, bayi, anak kecil dan dewasa berbeda, penampang melintang trakea
bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hamper bulat. Sedangkan dewasa
seperti huruf D, maka untuk bayi anak digunakan tanpa kaf (cuff) dan untuk
anak besar-dewasa dengan kaf, supaya tidak bocor. Penggunaan kaf pada
bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lender trakea dan selain itu
jika kita ingin menggunakan pipa trakea dengan kaf pada bayi harus
menggunakan ukuran pipa trakea yang diameternya lebih kecil dan ini
membuat risiko tahanan napas lebih besar. 1,2
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau
melalui hidung (nasotracheal tube). Di pasaran bebas dikenal beberapa
ukuran dan perkiraan ukuran yang diperlukan dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Pipa trakea dan peruntukannya1
Usia Diameter (mm) Skala French Jarak sampai bibir
Prematur 2.0-2.5 10 10 cm
Neonatus 2.5-3.5 12 11 cm
1- 6 bulan 3.0-4.0 13 11 cm
½ - 1 tahun 3.5-4.5 16 12 cm
1-4 tahun 4.0-5.0 18 13 cm
4-6 tahun 4.5-5.5 20 14 cm
6-8 tahun 5.0-5.5 22 15-16 cm
8-10 tahun 5.5-6.0 24 16-17 cm
10-12 tahun 6.0-6.5 26 17-18 cm
12-14 tahun 6.5-7.0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6.5-8.6 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7.5-10.0 32-34 20-24 cm

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil :


Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4.0 + ¼ umur (th)
Panjang pipa trakea (cm) = 12 + ½ umur (th)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (th)

f. Laringoskopi dan intubasi

17
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop
ialah alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita
dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar
dikenal dua macam laringoskop : 1,2
1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa

18
19
20
Gambar 7. Prosedur Intubasi
2.3.3 Indikasi Intubasi Trakea
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea
melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira – kira di pertengahan
trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan
umumnya digolongkan sebagai berikut : 1,2
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret
jalan napas dan lain - lainnya
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya, saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan degnan
efsien, ventilasi jangka panjang
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

21
2.3.4. Kesulitan intubasi1,2
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi
yang dijumpai.
Klasifikasi tampakan faring saat mulut terbuka maksimal dan lidah
dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi sesuai tabel 3.
Tabel 3 Tampakan rongga mulut saat mulut terbuka lebar dan lidah
menjulur maksimal
Gradasi Pillar faring Uvula Palatum molle
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

2.3.5. Komplikasi intubasi


Komplikasi dari laringoskopi dan intubasi meliputi hipoksi, hiperkarbia,
trauma gigi dan jalan nafas, malposisi dari tube, respons fisiologis dari
instrumentasi jalan nafas, atau malfungsi dari tube. Komplikasi tersebut dapat
terjadi selama laringoskopi dan intubasi, ketika tube dipasang, atau selama
ekstubasi. 2
Laringoskopi dan intubasi dapat mengawali beberapa komplikasi dari
radang tenggorokkan sampai stenosis trakea. Sebagian besar dari komplikasi
tersebut akibat tekanan eksternal pada struktur jalan nafas. Ketika tekanan tersebut
melebihi tekanan darah kapiler-arteriole (sekitar 30 mmHg), iskemia jaringan dapat
menyebabkan inflamasi, ulserasi, granulasi, dan stenosis. Inflasi dari cuff TT
sampai ke tekanan minimal yang membuat segel selama ventilasi tekanan positif
(sekitar 20 mmHg) mengurangi aliran darah trakea sekitar 75% pada daerah cuff.

22
Inflasi lebih lanjut dari cuff atau hipotensi dapat menghilangkan aliran darah
mukosa.2
Croup pasca intubasi yang disebabkan edema glottis, laring, atau trakea
merupakan keadaan serius pada anak-anak. Efikasi dari kortikosteroid dalam
mencegah edema jalan nafas pasca ekstubasi masih kontroversi. Paralisis plika
vokalis akibat kompresi cuff atau trauma lain terhadap saraf laringeal rekuren
menyebabkan suara serak dan peningkatan resiko aspirasi. Insidensi suara serak
pasca operatif meningkat dengan obesitas, kesulitan dalam intubasi, dan anestesi
dengan durasi yang panjang.2
Intubasi trakea dan laringoskopi mengganggu refleks jalan nafas pasien dan
dapat mengawali terjadinya hipertensi dan takikardi ketika dilakukan pada keadaan
anestesi ringan pada anestesi general. Insersi dari LMA berhubungan dengan
perubahan hemodinamik yang lebih sedikit. Perubahan hemodinamik dapat
dikurangi dengan pemberian lidokain, opioid, atau β-blocker atau keadaan anestesi
dalam pada anestesi inhalasi sebelum laringoskopi. Agen hipotensi, seperti sodium
nitroprusside, nitrogliserin, esmolol, dan nikardipin telah menunjukkan efektivitas
untuk mengurangi respons hipertensi yang berhubungan dengan laringoskopi dan
intubasi. Aritmia bisa terjadi selama intubasi dan mengindikasikan keadaan anestesi
ringan.2
Laringospasme merupakan spasme involunter dari otot laring yang
disebabkan oleh stimulasi sensori dari nervus laringeal superior. Stimuli pencetus
meliputi sekresi faring atau memasukkan TT melalui laring selama esktubasi.
Laringospasme dapat dicegah dengan ekstubasi pada keadaan tidur dalam atau
bangun. Tatalaksana laringospasme meliputi pemberian ventilasi tekanan positif
dengan bag anestesi dan masker dengan oksigen 100% atau pemberian lidokain IV
(1-1,5 mg/kg BB). Jika laringospasme tetap terjadi dan mulai terjadi hipoksia,
suksinilkolin dosis rendah (0,25-0,5 mg/kg BB) diperlukan (digabungkan dengan
dosis rendah dari propofol atau anestesi lain) untuk merelaksasi otot laring dan
ventilasi terkontrol. Tekanan intratorakal negatif yang berasal dari laringospasme
dapat menyebabkan edema pulmonal tekanan negatif.2
Laringospasme dapat terjadi dari refleks abnormal, aspirasi dapat terjadi
depresi dari refleks laring karena intubasi berkepanjangan dan anestesi general.2

23
Bronkospasme merupakan refleks respons dari intubasi dan sering pada
pasien asma. Efek patofisiologi lain dari intubasi meliputi peningkatan tekanan
intrakranial dan intraokuler.2
selama intubasi
a. trauma gigi geligi
b. laserasi bibir, gusi, laring
c. merangsang saraf simpatis (hipertensi-takikardi)
d. intubasi bronkus
e. intubasi esofagus
f. aspirasi
g. spasme bronkus
2. setelah ekstubasi
a. spasme laring
b. aspirasi
c. gangguan fonasi
d. edema glotis-subglotis
e. infeksi laring, faring, trakea

2.3.6 Ekstubasi
Ekstubasi harus dilakukan ketika pasien berada dalam pengaruh obat
anestesi atau bangun. Pemulihan adekuat dari agen penghambat neuromuskuler
harus dicapai pada ekstubasi. Jika agen penghambat neuromuskuler digunakan,
pasien mempunyai periode ventilasi mekanik terkontrol dan harus dihentikan dari
ventilator sebelum ekstubasi dilakukan. 2
Ekstubasi selama keadaan anestesi ringan dihindari karena peningkatan
resiko laringospasme. Perbedaan antara anestesi dalam dan ringan biasanya terlihat
selama suction dari faring; reaksi apapun terhadap suction (menahan nafas, batuk)
menandakan anestesi ringan, dimana jika tidak ada reaksi menandakan anestesi
dalam. Pembukaan mata atau pergerakan menandakan pasien sadar penuh untuk
ekstubasi. 2
Ekstubasi pada pasien sadar berhubungan dengan batuk pada TT. Reaksi
tersebut meningkatkan nadi, tekanan vena sentral, tekanan darah arterial, tekanan
intrakranial, tekanan intraabdominal, dan tekanan intraokuler. Reaksi tersebut juga

24
dapat meningkatkan perdarahan. Keberadaan dari TT pada pasien dengan riwayat
asma dapat memicu bronkospasme. Beberapa anestesiologis mengurangi reaksi
tersebut dengan memberikan lidokain 1,5 mg/kg BB secara IV sebelum suction dan
esktubasi; namun, esktubasi dalam keadaan anestesi dalam dapat dilakukan pada
pasien yang tidak dapat mentolerir efek tersebut. 2
Faring pasien harus di suction dengan bersih sebelum dilakukan esktubasi
untuk mengurangi potensi aspirasi dari darah dan sekret. Pasien harus diventilasi
dengan oksigen 100%. Pemasangan masker wajah dilakukan untuk memberikan
oksigen dan dilakukan selama periode transportasi menuju ke ruang rawat pasca
anestesi. 2
1. ekstubasi ditunda sampai pasien benar – benar sadar jika :
a. intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. ekstubasi dikerjakan umumnya pada anestesia sudah ringan dengan catatan
tak aakn terjadi spasme laring
3. sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan
cairan lainnya.

Tabel 4. Perbandingan sifat alat jalan napas


Sungkup Muka Sungkup Laring Pipa trakea
Intervensi Perlu dipegang Tak perlu Tak perlu
dipegang dipegang
Kualitas jalan Cukup baik Cukup atau baik Sangat baik
napas
Akses kepala Jelek Baik Baik
leher
Ventilasi spontan Prosedur sangat Prosedur lama Prosedur lama
pendek
Ventilasi kendali Prosedur sangat Prosedur lama Prosedur sangat
pendek lama

2.4. MEMBERSIHKAN JALAN NAFAS

Sumbatan yang terjadi dapat disebabkan karena cairan atau benda keras.
Jika sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah

25
yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat
dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan dengan teknik
finger sweep. Mulut dapat dibuka dengan teknik cross finger, di mana ibu jari
diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban. Cara
melakukannya:
 Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher), kemudian
buka mulut dengan jaw-thrust.
 Gunakan dua jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus
dengan sarung tangan/kasa untuk mengorek/mengait semua benda asing dalam
rongga mulut. 2

26
BAB III
KESIMPULAN

Hubungan jalan nafas dengan dunia luar melalui 2 jalan yaitu hidung
menuju nasofaring dan mulut menuju orofaring. Hidung dan mulut di bagian depan
dipisahkan oleh palatum durum dan palatum molle dan bagian belakang bersatu di
hipofaring. Hipofaring menuju esofagus dan laring yang dipisahkan oleh epiglotis
menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan
sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform. Obstruksi jalan nafas harus cepat
diketahui dan dikoreksi dengan beberapa cara, yaitu triple airway maneuver
diharapkan lidah terangkat dan jalan nafas bebas sehingga gas atau udara lancar
masuk trakea lewat hidung atau mulut. Jika kurang berhasil, maka dapat dipasang
jalan nafas mulut-faring lewat mulut atau jalan nafas hidung-faring lewat hidung.
Sungkup muka mengantar udara/gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestasi
ke jalan nafas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan
untuk bernafas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk
semua ke trakea lewat mulut atau hidung. Sungkup laring ialah alat jalan nafas
berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai
sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa
trakea. Pemasangan LMA dapat dilakukan tanpa bantuan laringoskop. LMA tidak
dapat mengganti kedudukan intubasi trakea, tetapi terletak di antar sungkup muka
dan intubasi trakea. Setelah alat terpasang, untuk menghindari pipa nafasnya
tergigit, makan dapat dipasang gulungan kain kasa atau pipa nafas mulut faring.
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui
rima glotis, sehingga ujung distalnya berasa kira-kira dipertengahan trakea antara
pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi dilakukan intubasi trakea adalah untuk
menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun, mempermudah ventilasi positif dan
oksigenasi, serta percegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi
ke-2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2001.h.36-44
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical
Anesthesilogy 4th ed. McGraw-Hill; 2007 P.309-340,1267.
3. Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow and
ventilation in the lung: gravity is not the only factor. British Journal of
Anaesthesia; 2007, 98: 420-8.
4. Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in Anesthesia 12th
ed. 2000

28

Anda mungkin juga menyukai