Anda di halaman 1dari 36

MEKANISME PASAR BERDASARKAN EKONOMI ISLAM

Sayyidah Nurjamilah (24022116152), Nita Narwita (24022116144), Rania Juliana


Kamal (24022116147), Intan Fatimatuzahra (24022116139), Risna Lediani
(24022116148), Nopi Sopian Sonepa (24022116145), Ingga Puspa Anjani
(24022116138), Rista Rosmayanti (24022116149), Milda Nur Fitriani (24022116143)
Program Studi Akuntansi S-1, Fakultas Ekonomi
Universitas Garut

Abstrak

Ekonomi kapitalis dan sosialis yang menjadi acuan atau barometer


ekonomi dunia masih belum dapat mengatur mekanisme kegiatan pasar saat ini
yang serba tidak menentu dan tidak jelas, malah semakin memperparah keadaan.
Peranan ekonomi islam dalam mekanisme pasar dirasa lebih baik daripada kedua
paham tersebut karena praktek pasar sejatinya harus ditampilkan nilai-nilai yang
sesuai dengan norma dan nilai yang dibenarkan. Kosnsep, prinsip, karakteristik,
dan aspek lainnya mengenai mekanisme pasar yang berlandaskan kebebasan
yang dibingkai frame syari‟at islam sangatlah sempurna untuk kemaslahatan
semua pihak baik produsen ataupun konsumen, baik muslim maupun nonmuslim.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas secara khusus bagaimana
mekanisme pasar berdasarkan ekonomi islam, baik itu dari segi konsep, prinsip,
ataupun aspek lainnya.

Kata Kunci : Pasar, Mekanisme Pasar, Ekonomi Islam

PENDAHULUAN

Ekonomi dalam islam bukanlah suatu hal yang tabu, karena Rasulullah
SAW sendiri pun merupakan seorang pebisnis, beliau mulai berdagang sejak
masih muda dan Rasulullah Saw pun pernah menyatakan dalam hadis shahih
bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang. Bahkan, diantara
semua agama samawi, islam merupakan agama yang paling sempurna karena
syari‟atnya mengatur seluruh aspek kehidupan, baik yang bersifat aqidah maupun
muamalah. Dalam kaidah muamalah, Islam mengatur segala bentuk perilaku
manusia dalam berhubungan dengan sesamanya termasuk persoalan ekonomi
bahkan secara spesifik seperti cara pengelolaan pasar dan segala bentuk
mekanismenya. .
Pasar adalah sebuah mekansime pertukaran barang dan jasa yang alamiah
dan telah berlangsung sejak peradaban awal manusia. Islam menetapkan pasar
pada kedudukan yang sangat penting dalam perekonomian. Pasar dapat
didefenisikan sebagai tempat yang mempunyai aturan dimana aturan tersebut
dibuat untuk melakukan tukar menukar hak milik dan menukar barang antara
produsen dengan konsumen. Sedangkan menurut pengertian modern, pasar dapat
diartikan sebagai suatu situasi dimana penjual dengan pembeli dapat melakukan
negosiasi pertukaran komoditi.
Pasar yang merupakan tempat untuk beraktifitas ekonomi dimana kegiatan
ekonomi berlangsung secara alamiah sehingga aturan mainnya pun terjadi secara
alamiah. Namun demikian mengingat sifat manusia ada yang baik dan buruk dan
perkembangan zaman, juga ideologi, maka pasar tidak lagi dapat dianggap
sederhana, sehingga pembahasan mekanisme pasar menjadi penting (Wahyudi,
2014).
Ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis yang selama ini dijadikan sebagai
kiblat ekonomi dunia ternyata masih belum dapat mengatur mekanisme kegiatan
pasar saat ini yang serba tidak menentu dan tidak jelas, malah semakin
memperparah keadaan. Peranan ekonomi islam dalam mekanisme pasar dirasa
lebih baik daripada kedua paham tersebut karena praktek pasar sejatinya harus
ditampilkan nilai-nilai yang sesuai dengan norma dan nilai yang dibenarkan.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas lebih dalam bagaimana
mekanisme pasar berdasarkan syari‟at islam, baik itu dari segi konsep, prinsip,
ataupun aspek lainnya.

2
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Mekanisme Pasar Dalam Ekonomi Islam

Secara umum, mekanisme pasar adalah kecenderungan dalam pasar bebas


untuk terjadinya perubahan harga sampai pasar menjadi seimbang (jumlah
yang ditawarkan sama dengan jumlah yang diminta). Namun, mekanisme pasar
bisa disebut juga sebagai proses penentuan tingkat harga berdasarkan kekuatan
permintaan dan penawaran.
Pasar adalah tempat bertemunya antara penjual dan pembeli dan
melakukan transaksi barang atau jasa. Islam menempatkan pasar pada
kedudukan yang penting dalam perekonomian. Kegiatan ekonomi pada masa
Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin menunjukkan adanya peranan pasar dalam
pembentukan masyarakat Islam pada masa itu. Rasulullah sangat menghargai
harga yang dibentuk oleh mekanisme pasar sebagai harga yang adil. Beliau
menolak adanya intervensi harga seandainya perubahan harga terjadi karena
mekanisme pasar yang wajar yaitu hanya karena pergeseran permintaan dan
penawaran. Namun, pasar di sini mengharuskan adanya moralitas dalam
kegiatan ekonominya, antara lain persaingan yang sehat dan adil, kejujuran,
keterbukaan, dan keadilan. Jika nilai ini telah ditegakkan, maka tidak ada
alasan dalam ekonomi Islam untuk menolak harga yang terbentuk oleh
mekanisme di pasar.
Pasar juga merupakan tempat untuk beraktifitas ekonomi dimana kegiatan
ekonomi berlangsung secara alamiah sehingga aturan mainnya pun terjadi
secara alamiah. Sehingga menurut ekonomi Islam, mekanisme pasar dapat
terjadi secara alamiah dari sisi penawaran dan permintaan sebagaimana
mestinya. Selanjutnya, mekanisme pasar perspektif ekonomi Islam pada
prinsipnya adalah menolak adanya suatu price intervention seandainya
perubahan harga terjadi karena mekanisme pasar yang wajar. Namun, pasar di
sini mengharuskan adanya moralitas, antara lain persaingan yang sehat (fair
play), kejujuran (honesty), keterbukaan (transparancy), dan keadilan (justice).
Jika nilai-nilai ini telah ditegakkan, maka tidak ada alasan untuk menolak harga

3
pasar. Dan jika terjadi penyimpangan maka kewajiban negara untuk
mengaturnya demi kemaslahatan umat (Wulpiah, 2016).
Marthon (2004) dalam (Azizah, 2012) menyatakan bahwa dalam konsep
ekonomi Islam, pasar yang ada berdasarkan atas etika dan nilai-nilai syari'ah,
baik dalam bentuk perintah, larangan, anjuran, ataupun himbauan. Pelaku pasar
mempunyai tujuan utama dalam melaksanakan sebuah transaksi, yaitu mencari
ridha Allah demi mewujudkan kemaslahatan hidup bersama di samping juga
untuk mewujudkan kesejahteraan individu.
Konsep dasar mekanisme pasar dalam islam merujuk pada hadits rasul
saw: ”Orang-orang berkata: “Wahai Rasulullah, harga mulai mahal.
Patoklah harga untuk kami!” Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan yang melapangkan
rizki, dan aku sungguh berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak
seorangpun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu kezhaliman-pun
dalam darah dan harta”.
Konsep Islam menegaskan bahwa pasar harus berdiri di atas prinsip
persaingan bebas (perfect competition). Tapi bukan berarti kebebasan itu
berlaku mutlak, namun kebebasan yang dibungkus oleh frame syari‟ah. Islam
mengedepankan transaksi jual-beli yang terjadi secara sukarela („an taradhin
minkum/mutual goodwill) sesuai petunjuk al-Qur‟an surat al-Nisa‟ ayat 29.
Kebebasan bersaing dan menentukan harga di pasaran kian dipertegas dengan
adanya larangan tas‟ir (penetapan harga).
Agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan baik dan memberikan
mutual goodwill bagi para pelakunya, maka nilai moralitas mutlak harus
ditegakkan. Secara khusus, nilai moralitas yang mendapat perhatian penting
dalam pasar adalah persaingan yang sehat, kejujuran, keterbukaan dan
keadilan. Nilai moralitas ini memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam,
sebagaimana dicantumkan dalam berbagai ayat Al-Quran. Untuk itulah,
Rasulullah SAW telah menetapkan beberapa larangan terhadap praktek bisnis
yang dapat mengganggu mekanisme pasar yang islami (Sukamto, 2012).

4
Dalam hal mekanisme pasar dalam konsep Islam akan tercermin prinsip
syariah dalam bentuk nilai-nilai yang secara umum dapat dibagi dalam dua
perspektif yaitu makro dan mikro. Nilai syariah dalam prespektif mikro
menekankan aspek kompetensi/ profesionalisme dan sikap amanah, sedangkan
dalam prespektif makro nilai-nilai syariah menekankan aspek distribusi,
pelarangan riba dan kegiatan ekonomi yang tidak memberikan manfaat secara
nyata kepada sistem perekonomian. Oleh karena itu, dapat dilihat secara jelas
manfaat sistem perekonomian Islam dalam pasar yang ditujukan tidak hanya
kepada warga masyarakat Islam, melainkan kepada seluruh umat manusia
(rahmatan lil‟Ālamín).

B. Pemikiran Ilmuwan Muslim Tentang Mekanisme Pasar

Pada dasarnya dalam sistem ekonomi Islam, mekanisme pasar dibangun


atas dasar kebebasan, yakni kebebasan individu untuk melakukan transaksi
barang dan jasa. Sistem ekonomi Islam menempatkan kebebasan pada posisi
yang tinggi dalam kegiatan ekonomi, walaupun kebebasan itu bukanlah
kebebasan mutlak seperti yang dianut paham kapitalis. Namun, kebebasan itu
diikat dengan aturan, dengan tidak melakukan kegiatan ekonomi yang
bertentangan dengan aturan syariat, tidak menimbulkan kerugian bagi para
pihak yang bertransaksi, dan senantiasa melakukan kegiatan ekonomi dalam
rangka mewujudkan kemaslahatan. Pemikiran tentang mekanisme pasar, sudah
menjadi perhatian para ulama klasik, beribu-ribu tahun yang lalu, seperti Abu
Yusuf (731-798), Al-Ghazali (1058-1111), Ibnu Taimiyah (1263-1328), Ibnu
Khaldun (1332-1383).
1. Abu Yusuf (731-798)
Seorang sarjana Muslim yang pertama kali menulis tentang mekanisme
pasar dan harga, dengan uraian bahasan yang sangat rinci dan canggih
adalah Abu Yusuf (731-798 AD). Tulisan pertamanya menguraikan tentang
naik dan turunnya produksi yang dapat mempengaruhi harga. Dialah yang
pertama kali berbicara atau mengajukan teori mengenai jumlah permintaan
dan persediaan (demand and supply) dan pengaruhnya terhadap harga.

5
Berbeda dengan pandangan saat itu yang beranggapan bila tersedia
sedikit barang maka harga akan mahal dan sebaliknya. Abu Yusuf
menyatakan “Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang
dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa
diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga
mahal tidak disebabkan karena kelangkaan makanan. Murah dan mahal
merupakan ketentuan Allah, kadangkadang makanan sangat sedikit tetapi
murah.”
Dari pernyataan tersebut, Abu Yusuf tampaknya menyangkal pendapat
umum mengenai hubungan terbalik antara penawaran dan harga. Pada
kenyataannya, harga tidak bergantung pada penawaran saja tetapi juga
bergantung pada kekuatan permintaan. Abu Yusuf menegaskan bahwa ada
beberapa variabel lain yang mempengaruhi, tetapi dia tidak menjelaskan
lebih rinci. Bisa jadi variabel itu adalah pergeseran dalam permintaan atau
jumlah uang yang beredar di suatu negara, atau penimbunan dan penahanan
barang, atau semua hal tersebut (Muhamad, 2013).
Oleh karena Abu Yusuf tidak membahas lebih rinci apa yang
disebutkannya sebagai variabel lain, ia tidak menghubungkan fenomena
yang diobservasinya terhadap perusahaan dalam penawaran uang. Namun,
pernyatannya tidak menyangkal pengaruh dari permintaan dan penawaran
dalam penentuan harga.
2. Al-Ghazali (1058-1111)
Al-Ghazali dalam karyanya Ihya‟ Al-Ulumuddin juga membahas topik
ekonomi, termasuk pembahasan tentang pasar. Dalam magnum opusnya ia
telah membicarakan barter dan permasalahannya, pentingnya aktifitas
perdagangan dan evolusi terjadinya pasar, termasuk bekerjanya kekuatan
permintaan dan penawaran dalam mempengaruhi harga.
Al-Ghazali dalam kitab ihya‟ menjelaskan tentang sebab timbulnya
pasar, “Dapat saja petani hidup di mana alat-alat pertanian tidak tersedia.
Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup di mana lahan pertanian
tidak ada. Namun, secara alami mereka akan saling memenuhi kebutuhan

6
masing-masing. Dapat saja terjadi tukang kayu membutuhkan makanan,
tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut. Keadaan ini
menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan
terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak,
dan penyimpanan hasil pertanian di pihak lain. Tempat inilah yang
kemudian di datangi pembeli sesuai kebutuhannya masing-masing sehingga
terbentuklah pasar”.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa pasar adalah tempat yang
menampung hasil produksi dan menjualnya kepada mereka yang
membutuhkan. Pernyataan tersebut juga menyebutkan bahwa pasar timbul
dari adanya double coincidence yang sulit bertemu. Maka, untuk
memudahkan adanya tukar-menukar dalam memenuhi kebutuhan
diciptakanlah pasar (Rahmi, 2015).
Al-Ghazali menyadari kesulitan yang timbul akibat sistem barter yang
dalam istilah ekonomi modern disebut double coincidence, dan karena itu
diperlukan suatu pasar. Selanjutnya, ia juga memperkirakan kejadian ini
akan berlanjut dalam skala yang lebih luas, mencakup banyak daerah atau
negara. Selanjutnya ia menyadari bahwa kegiatan perdagangan memberikan
nilai tambah terhadap barang-barang karena perdagangan membuat barang-
barang dapat dijangkau pada waktu dan tempat yang tepat (Sukamto, 2012).
Al-Ghazali tidak menolak kenyataan bahwa mencari keuntungan
merupakan motif utama dalam perdagangan. Namun, ia memberikan banyak
penekanan kepada etika dalam bisnis, di mana etika ini diturunkan dari
nilai-nilai Islam. Keuntungan yang sesungguhnya adalah keuntungan yang
akan diperoleh di akherat kelak. Ia juga menyarankan adanya peran
pemintahan dalam menjaga keamanan jalur perdagangan dami kelancaran
perdagangan dan pertumbuhan.
Walaupun al-Ghazali tidak menjelaskan konsep permintaan dan
penawaran dalam terminologi modern, namun beberapa paragraf tulisannya
menunjukkan konsep penawaran dan permintaan. Menurut pandangan al-
Ghazali, untuk kurva penawaran “naik dari kiri bawah ke kanan atas”

7
dinyatakannya sebagai “jika petani tidak mendapatkan pembeli dan
barangnya, maka ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah.”
Sementara untuk kurva permintaan yang “turun dari kiri atas ke kanan
bawah” dijelaskan oleh dia sebagai “harga dapat diturunkan dengan
mengurangi permintaan”.
Suatu hal yang mengejutkan adalah bahwa al-Ghazali telah memahmi
konsep elstisitas permintaan. Dia mengatakan, “mengurangi margin
keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan
meningkatkan volume penjualan dan ini pada gilirannya akan meningkat
keuntungan”. Bahkan ia telah pula mengidentifikasi produk makanan
sebagai komiditas dengan kurva permintaan yang inelastis. Dia mengatakan,
bahwa “karena makanan adalah kebutuhan pokok, perdagangan makanan
harus seminimal mungkin didorong oleh motif mencari keuntungan untuk
menghindari eksploitasi melalui pengenaan harga yang tinggi dan
keuntungan yang besar. Keuntungan semacam ini seyogyanya dicari dari
barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.” (Muhamad,
2013).
Al-Ghazali menganggap bahwa iklan palsu sebagai salah satu kejahatan
pasar yang harus dilarang. Lebih jauh, ia memperingatkan para pedagang
agar tidak memberikan informasi yang salah mengenai berat, jumlah atau
harga barang penjualannya. Pemberian informasi yang salah tersebut
merupakan bentuk penipuan yang harus dilarang keras. Iklan-iklan yang
bersifat informatif dan tidak berlebihan bisa terima. Ia juga menekankan
kebenaran dan kejujuran dalam bisnis. Oleh karena itu, ia mengutuk
praktek-praktek pemalsuan, penipuan dalam mutu barang dan pemasaran,
serta pengendalian pasar melalui perjanjian rahasia dan manipulasi harga.
3. Ibnu Taimiyah (1263-1328)
Dalam Al-Hisbah, Ibnu Taimiah membantah anggapan umum pada saat
itu bahwa kenaikan harga disebabkan oleh ketidakadilan (zulm/injustice)
dari para pedagang atau penjual dengan mengatakan: “Naik turunnnya
harga tidak selalu disebabkan oleh adanya ketidakadilan dari beberapa

8
bagian pelaku transaksi. Terkadang penyebabnya adalah defisiensi dalam
produksi atau penurunan terhadap barang yang diminta, atau tekanan jiwa.
Oleh karena itu, jika permintaan terhadap barang-barang tersebut naik
sementara ketersediaannya/ penawarannya menurun, maka harganya kan
naik. Sebaliknya, jika ketersediaan barang-barang menail dan permintaan
terhadapnya menurun, maka harga barang tersebut akan turun juga.
Kelangkaan (scarcity) dan keberlimpahan (abudance) barang mungkin
bukan disebabkan oleh tindakan sebagian orang, kadang-kadang
disebabkan karena tindakan yang tidak adil atau juga bukan. Hal ini adalah
kehendak Allah yang telah menciptakan keinginan dalam hati manusia.”
(Ibnu Taimiah, 1998: 583 ; Sukamto, 2012).
Dalam Fatwanya Ibnu Taimiah juga memberikan penjelasan yang lebih
rinci tentang beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan, dan tingkat
harga. Beberapa faktor itu adalah:
a) Keinginan orang (raghabah) terhadap barang sering kali berbeda-beda.
Perbedaan ini dipengaruhi oleh berlimpah atau berlakunya barang yang
diminta tersebut.Suatu barang akan lebih disukai apabila ia langka
daripada tersedia dalam jumlah yang berlebihan.
b) Jumlah orang yang meminta juga mempengaruhi harga. Jika jumlah
orang yang meminta suatu barang besar, maka harga akan relatif tinggi
dibanding dengan yang meminta jumlahnya sedikit.
c) Harga juga akan dipengaruhi oleh kuat atau lemahnya kebutuhan
terhadap barang, selain juga besar dan kecilnya permintaan. Jika
kebutuhan terhadap suatu barang kuat dan berjumlah besar, maka
harga akan naik lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhannya lemah
dan sedikit.
d) Harga juga akan bervariasi menurut kualitas pembeli barang tersebut.
Jika pembeli ini merupakan orang kaya dan terpercaya (kredibel)
dalam membayar kewajibannya, maka kemungkinan ia akan
memperoleh tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan

9
orang yang tidak kredibel (suka menunda kewajiban dan
mengingkarinya).
e) Tingkat harga juga dipengaruhi oleh jenis uang pembayaran yang
digunakan dalam transaksi jual beli. Jika uang yang digunakan adalah
uang yang diterima luas, maka kemungkinan harga akan lebih rendah
jika dibandingkan dengan menggunakan uang yang kurang diterima
luas.
f) Tujuan dari suatu transaksi harus menguntungkan penjual dan pembeli.
Jika pembeli memilki kemampuan untuk membayar dan dapat
memenuhi semua janjinya, maka transaksi akan lebih lancar
dibandingkan dengan pembeli yang tidak memiliki kemampuan
membayar dan mengingkari janjinya. Obyek dari suatu transaksi
adalah terkadang (secara fisik) nyata atau juga tidak. Tingkat harga
barang yang lebih nyata (secara fisik) akan lebih rendah dibandingkan
dengan yang tidak nyata. Hal sama dapat diterapkan untuk pembeli
yang kadang-kadang mereka tidak memiliki uang cash dan ingin
meminjam. Harga pada kasus yang pertama kemungkinan lebih rendah
dari pada yang kedua.
g) Kasus yang sama dapat diterapkan pada orang yang menyewakan
suatu barang. Kemungkinan ia berada pada posisi sedemikian rupa
sehingga penyewa dapat memperoleh manfaat dengan tanpa
(tambahan) biaya apa pun. Namun, kadang-kadang penyewa tidak
dapat memperoleh manfaat ini jika tanpa tambahan biaya, misalnya
seperti yang terjadi di desa yang dikuasai penindas atau perampok,
atau di suatu tempat diganggu oleh binatang pemangsa. Sebenarnya,
harga (sewa) tanah seperti itu tidaklah sama dengan harga tanah yang
membutuhkan biaya tambaban.
Pernyataan diatas sesungguhnya menunjukkan kompleksitas penentu
harga di pasar.
Di sisi lain, Ibn Taimiyah mengidentifikasi beberapa faktor lain yang
menentukan permintaan (dan penawaran) yang dapat mempengaruhi harga

10
pasar, yaitu: (1) intensitas dan besarnya permintaan; (2) kelangkaan dan
melimpahnya barang; (3) kondisi kredit/pinjaman; dan (4) diskonto
pemmbayaran tunai.
Hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa Ibn Taimiyah tidak pernah
menggunakan istilah “persaingan/competition” (konsep yang belakangan ini
muncul dalam evolusi pemikiran ekonomi), sebaliknya ia menjelaskan
keadaan persaingan sempurna yang sekarang menjadi jargon ekonomi
kontemporer, hal ini jelas menunjukkan bahwa ia menyadari adanya asumsi
mengenai “persaingan pasar” adalah unambiguous. Lebih lanjut ia menulis
“to force people to sell objects which are not obligatory to sell, or restrict
them from selling a permissible object, are injustice and therefore,
unlawful”. Dalam bahasa ekonomi kontemporer, hal ini secara jelas
menunjukkan adanya kebebasan penuh untuk masuk atau keluar pasar.
Selanjutnya ia mengkritik adanya kolusi antara pembeli dengan penjual.
Homogenitas dan standarisasi produk, oleh Ibnu Taimiyah “advocated in
his condemnation of adulteration of the product and of fraud and deception
in its presentation for sale”. Ibnu Taimiyah menekankan mengenai
pengetahuan pasar dan komoditas, seperti juga mengenai kontrak jual beli,
bergantung pada izin, dan izin memerlukan pengetahuan dan pemahaman
(Muhamad, 2013).
Ibnu Taimiyah menentang peraturan yang berlebihan saat kekuatan
pasar secara bebas bekerja untuk menentukan harga yang kompetitif.
Dengan tetap memperhatikan pasar tidak sempurna, ia merekomendasikan
bahwa bila penjual melakukan penimbuna dan menjual pada harga yang
lebih tinggi dibandingkan harga normal padahal orang membutuhkan barang
ini, maka penjual diharuskan menjualnya pada tingkat harga ekuivalen.
Secara kebetulan, konsep ini bersinonim dengan apa yang disebut harga
yang adil. Lebih jauh, bila ada elemen-elemen monopoli (khusunya dalam
pasar bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya), Pemerintah harus
melarang kekuatan monopoli.

11
Dari pembicaraan di atas bahwa Ibn Taimiyah memiliki persepsi yang
jelas mengenai keadaan pasar, bahwa di dalam pasar harus terjadi kejujuran,
transparan, dan kebebasan dalam memilih resep-resep yang penting. Jadi hal
ini sangat berhubungan dengan apresiasi dan evaluasi analisisnya berkaitan
dengan pasar dan mekanisme harga.
4. Ibnu Khaldun (1332-1383)
Menurut Ibnu Khaldun dalam (Wulpiah, 2016), bila suatu kota
berkembang dan selanjutnya populasinya akan bertambah banyak, maka
harga-harga barang kebutuhan pokok akan mendapatkan prioritas
pengadaanya. Akibatnya penawaran meningkat dan ini berarti turunnya
harga. Sedangkan untuk barang-barang mewah, permintaannya akan
meningkat sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup.
Akibatnya harga barang mewah meningkat. Ibnu Khaldun juga menjelaskan
mekanisme penawaran dan permintaan dalam menentukan harga
keseimbangan. Secara lebih rinci, ia menjabarkan pengaruh persaingan di
antara konsumen untuk mendapatkan barang pada sisi permintaan. Setelah
itu, pada sisi penawaran ia menjelaskan pula pengaruh meningkatnya biaya
produksi karena pajak dan pengutan-pungutan lain di kota tersebut. Pada
bagian lain dari bukunya, Ibnu Khaldun menjelaskan pengaruh naik dan
turunnya penawaran terhadap harga. Ia mengatakan: “… When goods
(brought from outside) are few and rare, their prices go up. On other hand,
when the country is near and the road is safe for travelling, there will be
many to transport the goods. Thus they will be found in large quantities, and
the price will go down.”
Ini menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun telah mengindentifikasi
kekuatan permintaan dan penawaran sebagai penentu harga keseimbangan.
Ibnu Khaldun, kemudian mengatakan bahwa keuntungan yang wajar akan
mendorong tumbuhnya perdagangan, sedangkan keuntungan yang sangat
rendah akan membuat lesu perdagangan karena pedagang kehilangan
motivasi. Sebaliknya, bila pedagang mengambil keuntungan sangat tinggi,
juga akan membuat lesu perdagangan karena lemahnya permintaan

12
konsumen. Bila dibandingkan dengan Ibnu taimiyah, yang tidak
menggunakan istilah persaingan, Ibn Khaldun menjelaskan secara eksplisit
elemen-elemen persaingan. Bahkan ia juga menjelaskan secara eksplisit
jenis-jenis biaya yang membentuk penawaran, sedangkan. Ibnu Khaldun
juga mengamati fenomena tinggi-rendah, tanpa mengajukan konsep apapun
tentang kebijakan kontrol harga. Di sinilah bedanya, tanpaknya Ibnu
Khaldun lebih fokus menjelaskan fenomena yang terjadi.
Sementara Ibnu Khaldun terus bergerak jauh dari para ekonom
konvensional, kemungkinan ia tidak memikirkan grafik penawaran dan
permintaan, elastisitas penawaran dan permintaan, dan yang utama adalah
keseimbangan harga yang memainkan peranan dalam diskusi ekonomi
modern. Ibnu Khaldun juga menyoroti penyebab naiknya biaya
produksi yang diakibatkan adanya bea cukai, pajak dan pungutan lainnya
sehingga dia berteori bahwa harga barang di padang pasir lebih murah
karena tidak mengandung unsur bea cukai, pajak, dan pungutan lain dalam
komponen biaya produksinya dibanding harga di kota. Selain dipengaruhi
pajak atau bea cukai dan biaya produksi, naik turunnya harga barang
dipengaruhi oleh adanya penimbunan. Ibnu Khaldun juga mengupas
tentang pengaruh keuntungan wajar terhadap perdagangan. Menurut dia,
harga yang terlalu rendah akan menurunkan motivasi produsen untuk
bertahan atau masuk ke pasar, sedangkan harga yang terlalu tinggi
juga akan mengakibatkan kurangnya minat konsumen untuk membeli
barang tersebut dan hal ini dapat membuat pasar lesu.

C. Prinsip Mekanisme Pasar Berdasarkan Syari’ah

Islam mempunyai prinsip-prinsip tentang pengembangan sistem


perdagangan yaitu harus terbebas dari unsur dharar (bahaya), jahalah
(ketidakjelasan) dan zhulm (merugikan atau tidak adil terhadap salah satu
pihak). Dagang juga harus terbebas dari unsur MAGHRIB, singkatan dari
Maysir (judi), Aniaya (zhulm), Gharar (penipuan), Haram, Riba (bunga),
Iktinaz (menimbun barang) atau Ihtikar (monopoli), dan Bathil. Bahkan

13
pemerintah pun perlu berhati-hati dalam menetapkan kebijakan yang bersifat
intervensi maupun regulasi harga di pasaran, karena akan menimbulkan efek
multiplier terhadap perkembangan ekonomi negara.
Berbicara mengenai mekanisme pasar dalam dasar hukum Islam yang
pertama yaitu al Qur‟an, tentu saja al Qur‟an sebagai dasar filosofi hidup
manusia tidak memberikan aturan secara jelas tentang apa itu mekanisme
pasar. Namun demikian sebagai manusia yang dilengkapi akal maka kita akan
dapatkan aturan main tentang pasar yaitu seperti apa yang tersebut dalam al
Qur‟an surat an-Nisa (4) ayat 29, sebagai berikut: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka
di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S. An-Nisa: 29)
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah menafsirkan ayat tersebut
(QS. An-Nisa (4): 29) sebagai berikut. Dalam konteks ekonomi, ayat tersebut
menyebutkan beberapa prinsip penting dalam berekonomi. Pertama, kata yang
dimaksud adalah harta yang beredar dalam masyarakat. Kedua, yakni
pelanggaran terhadap ketentuan agama atau persyaratan yang disepakati.
Dalam konteks ini, nabi Muhammad saw. Bersabda, “Kaum muslimin sesuai
dengan (harus menepati) syaratsyarat yang mereka sepakati, selama tidak
menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”. Dan selanjutnya
kata yang mengharuskan adanya kerelaan kedua belah pihak yaitu larangan
membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab
membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri karena umat merupakan
suatu kesatuan. Prinsip antara dhin minkum, walaupun kerelaan merupakan hal
yang tersembunyi di dalam hati, tetapi indikator dan tandatandanya dapat
terlihat. Ijab dan kabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan
sebagai serah terima adalah bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk
menunjukkan kerelaan. Dari tafsir ayat an-Nisa (4): 29 tersebut jelas apa yang
menjadi prinsip dasar aktifitas pasar.

14
Rasulullah melarang berbagai transaksi yang terjadi dalam
ketidaksempurnaan informasi, misal menghalangi transaksi pada harga pasar,
mengambil keuntungan yang tinggi dengan memanfaaatkan kebodohan
konsumen, dan lain-lain.
Dalam praktik pasar tersebut secara prinsip pokok masalahnya adalah
ketika terjadi ketidaksempurnaan pasar atau penyimpangan dan kemudian
bagaimana Islam melihat kondisi seperti ini. Ajaran Islam memberi perhatian
yang besar terhadap kesempurnaan mekanisme pasar. Pasar yang bersaing
sempurna menghasilkan harga yang adil bagi penjual dan pembeli. Karenanya
jika mekanisme pasar terganggu, maka harga yang adil tidak dapat dicapai,
begitu pun sebaliknya.
Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitab “Majmu Fatawa” perilaku atau etika
yang harus diperhatikan seorang penjual atau merupakan prinsip-prinsip pasar
yang efisien antara lain :
1. Dilarang Menipu ; Segala praktik kecurangan, termasuk penipuan dilarang
dalam Islam. Praktik kecurangan tersebut antara lain menyembunyikan
barang cacat, mengurangi timbangan, ukuran dan sebagainya. Jika penjual
bertindak curang terhadap timbangannya, ukuran, jenis dan nilai maka
pengaruhnya terhadap pembeli adalah : daya pembeli berkurang dan
meningkatkan nilai jual barang yang dibeli bila ia jual kembali.
2. Akad-Akad Illegal ;
a. Akad yang mengandung riba
b. Akad yang mengandung perjudian
c. Jual beli yang mengandung gharar (dengan tipu daya)
d. Mulamasah, yaitu jual beli zaman jahiliyah yaitu dengan cara
meraba-raba barang dagangan Munabazah, yaitu jual beli dengan
cara melempar barang dagangan batu kerikil, dimana kerikil jatuh
maka barang yang dijatuhi kerikil harus dibeli
e. Jual beli najsy atau tsuna‟niyah, jika tujuannya adalah mengambil
dirham dengan dirham yang lebih banyak darinya sampai masa
tertentu.

15
3. Mencegat Barang Sebelum Sampai di Pasar ; Produsen dilarang mencegat
pedagang dipinggir kota, demi mendapat keuntungan dari ketidaktahuan
penjual dari satu kota terhadap harga yang berlaku di kota lain.
Sebagaimana hadits Rasulullah SAW: “Janganlah kamu cegat (jemput
kafilah sebelum sampai di kota). Barang siapa dicegat lalu dibeli
daripadanya sesuatu, maka apabila yang empunya barang itu datang ke
pasar, ia berhak khiyar (hak menentukan jadi atau batalnya penjualan)”
(H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
4. Dilarang Menimbun Barang ; Segala bentuk penimbunan dilarang dalam
Islam, karena menyebabkan terjadinya kelangkaan barang di pasar,
sehingga harga-harga mengalami kenaikan. Rasulullah SAW bersabda: “Ia
yang menimbun adalah orang yang berdosa” (H. R. Muslim dalam
sahihnya). Penimbunan adalah halangan terbesar dalam pengaturan
persaingan dalam pasar Islam. Hal tersebut dikarenakan pengaruhnya
terhadap jumlah barang yang tersedia dari barang yang ditimbum, dimana
beberapa pedagang memilih untuk menahan barang dagangannya dan tidak
menjualnya karena menunggu naiknya harga. Demikian juga barang-barang
yang tidak berkaitan secara langsung dengan barang-barang yang ditimbun,
mengakibatkan harga barang lain juga akan naik. Sehingga tingkat
konsumsi masyarakat akan menurun dan pada gilirannya akan mengurangi
tingkat produksi.
5. Monopoli Perdagangan ; Monopoli perdagangan adalah penjual membuat
komitmen agar yang menjual bahan makanan atau lainnya hanya kepada
orang-orang tertentu yang sudah dikenal. Barang-barang itu tidak dijual
selain kepada mereka, kemudian mereka menjualnya, seandainya ada orang
lain yang menjualnya, maka dilarang. Ini merupakan kezhaliman terhadap
tugas dan wewenang penjual yang dilarang dalam Islam (Afrida, 2015).

16
Sedangkan Sudarsono (2003) dalam (Azizah, 2012), menuturkan bahwa
keselmbangan pasar dalam Islam mempertimbangkan beberapa hal, di
antaranya adalah:
1) Kondisi pasar yang kompetitif mendorong segaia sesuatunya
menjadi terbuka. Dengan sama-sama merelakan keadaan masing-
masing diketahui orang lain, berarti produsen dan konsumen
mengetahui langsung kelebihan dan kelemahan dari barang yang
ada di pasar, sehingga menjadikan semuapihak mendapatkan
kepuasan. Bila produsen menjual produknya tidak terbuka maka
masyarakat akancenderung merasa kurang puas, maka ia akan
memilih produsen lain.
2) Produsen dilarang melakukan praktek perdagangan demi
keuntungan pribadi dengancara memberhentikan pedagang di
pinggir jalan sebelum mengetahui harga yang berlaku di pasaran.
3) Monopoli dan oligopoli tidak dilarang keberadaannya selama
mereka tidak mengambil keuntungan di atas keuntungan normal.
4) Islam melarang penimbunan karena alasan untuk mencari
keuntungan dari kelangkaan barang di pasar.
5) Islam melarang untuk bertindak curang. Bila terhadap timbangan,
ukuran, jenis dan nilai barang dikurangi maka pengaruhnya
terhadap pembeli adalah daya beli pembeli berkurang, dan akan
meningkatkan nilal jual barang.
6) Islam melarang menyembunyikan cacat barang demi untuk
mendapatkan harga yang tinggi.
Secara garis besar, konsep mekanisme pasar dalam Islam dibangun atas
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Ar-Ridha, yakni segala transaksi yang dilakukan haruslah atas dasar
kerelaan antara masing-masing pihak (freedom contract).
2. Berdasarkan persaingan sehat (fair competition). Mekanisme pasar akan
terhambat bekerja jika terjadi penimbunan (ihtikar) atau monopoli.

17
Monopoli dapat diartikan, setiap barang yang penahanannya akan
membahayakan konsumen atau orang banyak.
3. Kejujuran (honesty), kejujuran merupakan pilar yang sangat penting
dalam Islam, sebab kejujuran adalah nama lain dari kebenaran itu
sendiri. Islam melarang tegas melakukan kebohongan dan penipuan
dalam bentuk apapun. Sebab, nilai kebenaran ini akan berdampak
langsung kepada para pihak yang melakukan transaksi dalam
perdagangan dan masyarakat secara luas.
4. Keterbukaan (transparancy) serta keadilan (justice). Pelaksanaan
prinsip ini adalah transaksi yang dilakukan dituntut untuk berlaku benar
dalam pengungkapan kehendak dan keadaan yang sesungguhnya.

D. Karakteristik Mekanisme Pasar Yang Islami

Mekanisme pasar yang Islami menurut Ibnu Taimiyah haruslah memiliki


kriteria-kriteria berikut:
1. Orang-orang harus bebas untuk masuk dan keluar pasar. Memaksa
penduduk menjual barang tanpa ada kewajiban untuk menjualnya adalah
tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan itu dilarang.
2. Tingkat informasi yang cukup mengenai kekuatan-kekuatan pasar dan
barang-barang dagangan adalah perlu.
3. Unsur-unsur monopolistik harus dilenyapkan dari pasar sehingga segala
bentuk kolusi antara kelompok para penjual dan pembeli tidak
diperbolehkan.
4. Homogenitas dan standardisasi produk sangat dianjurkan ketika terjadi
pemalsuan produk, penipuan dan kecurangan-kecurangan dalam
mempresentasikan barang-barang tersebut.
5. Setiap penyimpangan dari kebebasan ekonomi yang jujur, seperti sumpah
palsu, penimbangan yang tidak tepat, dikecam oleh ajaran Islam.
Dari pendapat Ibnu Taimiyah di atas tentang mekanisme pasar dalam
Islam, kita dapat melihat mekanisme-mekanisme tersebut mengarah pada
karakteristik pasar persaingan sempurna. Hal itu berarti bahwa pasar dalam

18
Islam itulah yang dalam teori konvensional disebut dengan pasar persaingan
sempurna, dimana asumsi-asumsi yang disebutkan oleh pakar ekonomi
konvensional ada (ditemukan) dalam pasar yang Islami.
Salah satu contoh pasar persaingan sempurna dalam pasar Islam adalah
yang terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab RA. Pada saat itu Umar
berjalan dipasar kurma, ketika itu Umar mendapati salah seorang pedagang
yang menjual dibawah harga yang ada di pasar tersebut. Umar memberikan dua
pilihan pada penjual tersebut, yang pertama naikkan harga sampai sama dengan
harga yang ada di pasaran atau keluar dari pasar ini.
Kisah di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam sebuah pasar
persaingan sempurna harga yang ditawarkan adalah sama dengan harga yang
ditawarkan oleh seluruh pedagang dalam pasar tersebut jika barang dagangan
tidak terdeferensiasi (berbeda).
Masih menurut Ibnu Taimiyah dalam (Zaini, 2014) bahwa penetapan harga
menjadi penting atau diperlukan untuk mencegah manusia (produsen) menjual
makanan dan barang lain hanya kepada kelompok tertentu dengan harga
ditetapkan sesuka hati. Ini merupakan kezaliman di muka bumi, demi
tercapainya kemaslahatan wajib diterapkan penetapan harga. “Sesungguhnya
kemaslahatan manusia belum sempurna kecuali dengan penetapan harga.
Yang demikian itu perlu dan wajib diterapkan secara adil dan bijaksana,” kata
Ibnu Taimiyah.

E. Distorsi Pasar Dalam Perpektif Islam

Penimbunan Barang (Ikhtikar)


Pedagang dilarang melakukan ihtikar, yaitu melakukan penimbunan
barang dengan tujuan spekulasi, sehingga ia mendapatkan keuntungan besar
di atas keuntungan normal atau dia menjual hanya sedikit barang untuk
mendapatkan harga yang lebih tinggi, sehingga mendapatkan keuntungan di
atas keuntungan normal. Dalam ilmu ekonomi hal ini disebut dengan
monopoly‟s rent seeking. Larangan ihtikar ini terdapat dalam Sabda Nabi
SAW (Al-Mubarakafuri), Dari Ma‟mar bin Abdullah bin Fadhlah, katanya,

19
Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ”Tidak melakukan ihtikar kecuali
orang yang bersalah (berdosa)”. (H.R.Tarmizi)
Rasulullah telah melarang praktek ikhtikar, yaitu secara sengaja
menahan atau menimbun barang, terutama pada saaat terjadinya
kelangkaan, dengan tujuan untuk menaikan harga di kemudian hari. Akibat
dari ikhtikar ini masyarakat luas akan dirugikan oleh sekelompok kecil yang
lain. Agar harga dapat kembali ke posisi semula maka pemerintah dapat
melakukan berbagi upaya menghilangkan penimbuanan ini. Namun tidak
termasuk ikhtikar adalah penumpukan yang dilakukan pada situasi ketika
pasokan melimpah, misalnya penimbunan atau penahanan pada saat panen
besar, dan segera menjualnya pada saat pasar membutuhkan (Wahyudi,
2014).
Selain itu, masih dalam konteks ihtikar, Islam mengharamkan
seseorang menimbun harta. Islam mengancam mereka yang menimbunnya
dengan siksa yang sangat pedih kelak di hari kiamat. Ancaman tersebut
tertera dalam nash Alquran surat at Taubah ayat 34-35 sebagai berikut:
Artinya: “Dan orang-orang yang menimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan
emas perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannnya dahi
mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka:
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka
rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (QS. At-
Taubah: 34-35).
Menimbun harta maksudnya adalah membekukannya, menahannya,
dan menjauhkannnya dari peredaran. Penimbunan harta menimbulkan
bahaya besar terhadap perekonomian dan terhadap moral. Penimbunan harta
mempengaruhi perekonomian sebab andaikata harta itu tidak disimpan dan
tidak ditahan tentu ia ikut andil dalam usaha-usaha produktif, misalnya
dalam merancang rencana-rencana produksi. Dengan demikian, akan
tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan dapat menyelesaikan

20
masalah pengangguran atau sekurang-kurangnya mengurangi
pengangguran. Kesempatan kesempatan baru dalam berbagai pekerjaan
menyebabkan terjadinya rantai perekonomian yang sangat penting.
Kesempatan-kesempatan ini juga menambah pendapatan, yang akhirnya
menyebabkan meningkatnya daya beli dalam masyarakat. Hal ini
mendorang meningkatnya produksi, baik dengan membuat rencana-rencana
baru maupun dengan memperluas rencana-rencana yang telah ada untuk
menutupi kebutuhan permintaan yang semakin meningkatyang disebabkan
oleh pertambahan pendapatan. Meningkatnya produksi ini tentu saja
menuntut pekerja-pekerja baru yang memperoleh pendapat baru dan
menambah daya beli masyarakat suatu hal yang termasuk penyebab
meningkatnya produksi. Demikian seterusnya, hal yang menjadikan
terciptanya situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam
masyarakat.
Di dalam bukunya “Business Ethics in Islam”, Dr. Mustaq Ahmad,
lebih lanjut memberikan komentar tentang bahaya praktek penimbuhan baik
yang berbentuk uang tunai maupun bentuk barang, sangatlah bertentangan
dengan ajaran Islam. Dalam terminologi Islam, penimbuhan harta seperti
emas, perak, dan lainnya disebut iktinaz, sementara penimbunan barang-
barang seperti makanan dan kebutuhan sehari-hari disebut dengan ihtikar.
Penimbunan barang dan pencegahan peredarannya di dalam kehidupan
masyarakat sangat dicela oleh Al-Qur‟an, seperti yang difirmankan Allah
SWT di dalam surat At-Taubah ayat 34-35 sebagaimana yang telah
disinggung sebelumnya (Rahmi, 2015).
Islam juga melarang praktek penimbunan makanan pokok, yang
disengaja dilakukan untuk menjual jika harganya telah melambung. Pada
masa ke khalifahannya, Umar bin Khattab mengeluarkan sebuah peringatan
keras terhadap segala praktek penimbunan barang-barang yang menjadi
kebutuhan masyarakat. Dia tidak memperbolehkan seorang pun dari kaum
muslimin untuk membeli barang-barang sebanyak-banyaknya dengan niatan
untuk dia timbun.

21
Menurut al-Maududi dalam (Rahmi, 2015), larangan terhadap
penimbunan makanan, disamping untuk memberikan pelayanan pada
tujuan-tujuan tertentu, ia juga bertujuan untuk mengeleminasi kejahatan
“black market” (pasar gelap) yang biasanya muncul seiring dengan adanya
penimbunan tersebut. Rasulullah SAW ingin membangun sebuah pasar
bebas. Dengan demikian harga yang adil dan masuk akal bisa muncul dan
berkembang sebagai hasil dari adanya kompetisi yang terbuka. Azar,
seorang sahabat Rasulullah SAW yang sangat kritis dalam menyingkapi
penimbunan harta benda ini, berkeyakinan bahwasanya penimbunan harta
itu adalah haram, meskipun telah dibayar zakatnya.
Di kalangan ulama memang terdapat perbedaan tentang barang yang
terlarang untuk dijadikan obyek ihtikar. Namun, tampaknya ada kesamaan
persepsi tentang tidak bolehnya ihtikar terhadap kebutuhan pokok. Imam
Nawawi dengan tegas mengatakan ihtikar terhadap kebutuhan pokok haram
hukumnya. Pendapat An-Nawawi ini sangat rasional, karena kebutuhan
pokok menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun harus dicatat, bahwa
banyak sekali terjadi pergeseran kebutuhan. Dulu mungkin suatu produk
tidak begitu dibutuhkan dan tidak mengganggu kehidupan sosial, tetapi kini
produk itu mungkin menjadi kebutuhan utama, misalnya minyak, obat-
obatan, dsb. Karena itu kita tak boleh terjebak kepada klasifikasi barang
yang tak boleh ditimbun dan barang yang boleh, tetapi perlu dirumuskan
bahwa setiap penimbunan yang bertujuan untuk kepentingan spekulasi
sehingga dampaknya mengganggu pasar dan soial ekonomi, maka ia
dilarang (Rahmi, 2015).
Penentuan Harga (tas’ir)
Tas‟ir (penetapan harga) merupakan salah satu praktek yang tidak
dibolehkan oleh syariat Islam. Pemerintah ataupun yang memiliki otoritas
ekonomi tidak memiliki hak dan wewenang untuk menentukan harga tetap
untuk sebuah komoditas, kecuali pemerintah telah menyediakan pada para
pedagang jumlah yang cukup untuk dijual dengan menggunakan harga yang
ditentukan, atau melihat dan mendapatkan kezaliman-kezaliman di dalam

22
sebuah pasar yang mengakibatkan rusaknya mekanisme pasar yang sehat.
Tabi‟at (tetap) ini dapat kita lihat dari bagaimana sikap Rasulullah SAW
terhadap masalah ini. Tatkala rasulullah SAW didatangi oleh seorang
sahabatnya untuk meminta penetapan harga yang tetap. Rasulullah SAW
menyatakan penolakannya. Beliau bersabda: “Fluktuasi harga (turun-naik)
itu adalah perbuatan Allah, sesungguhnya saya ingin berjumpa dengan-
Nya, dan saya tidak melakukan kezaliman pada seorang yang bisa dituntut
dari saya”(HR. Abu Dawud).
Dari sini jelas bahwasanya tidak dibenarkan adanya intervensi atau
kontrol manusia dalam penentuan harga itu, sehingga akan menghambat
hukum alami yang dikenal dengan istilah supply and demand. Yang serupa
dengan tas‟ir (penetapan harga) dan sama terkutuknya adalah praktek bisnis
yang disebut dengan proteksionisme. Ini adalah bentuk perdagangan dimana
negara melakukan pengambilan tax (pajak) baik langsung maupun tidak
langsung kepada para konsumen secara umum. Dengan kata lain, ini adalah
sebuah proses dimana negara memaksa rakyat untuk membayar harga yang
sangat tinggi pada produksi lokal dengan melakukan proteksi pada para
pelaku bisnis agar terhindar dari kompetisis internasional.
Proteksionisme tidak dihalalkan karena akan memberikan keuntungan
untuk satu pihak dan akan merugikan dan menghisap pihak lain, yang dalam
ini adalah masyarakat umum. Lebih dari itu, proteksi juga merupakan sebab
utama terjadinya inflasi dan akan mengarah pada munculnya kejahatan
bisnis yang berbentuk penyelundupan pasar gelap (black market),
pemalsuan dan pengambilan untung yang berlebihan. Ibnu Qayyim
mengatakan, bahwa proteksi merupakan bentuk tindakan ketidakadilan,
yang terjelek/terburuk. Dia menyatakan bahwa proteksi sangat berbahaya
bagi kedua belah pihak baik protektor maupun orang yang diproteksi,
dengan alasan bahwa ini adalah tindakan peningkatan hak kemerdekaan
berdagang yang Allah SWT berikan (Rahmi, 2015).
Dalam kondisi normal, semua ulama sepakat akan haramnya
melakukan tas‟ir, namun dalam kondisi ketidakadilan terdapat perbedaan

23
pandangan ulama. Imam Malik dan sebagian Syafi‟iyah memperbolehkan
tas‟ir dalam keadaan harga melambung (ghala‟). Ibnu Taimiyah menguji
pendapat imam-imam mazhab dan beberapa ahli fiqih, menurutnya,
kontroversi antar para ulama berkisar dua poin: Pertama, jika terjadi harga
yang tinggi di pasaran dan seseorang berusaha menetapkan harga yang lebih
tinggi daripada harga sebenarnya, perbuatan mereka itu menurut mazhab
Maliki harus dihentikan. Tetapi, bila para penjual mau menjual dibawah
harga semestinya, dua macam pendapat dilaporkan dari dua pihak.
Menurut Syafi‟i dan penganut Ahmad bin Hanbal, seperti Abu Hafz
al-Akbari, Qadhi Abu Ya‟la dan lainnya, mereka tetap menentang berbagai
campur tangan terhadap keadaan itu. Kedua, dari perbedaan pendapat antar
para ulama adalah penetapan harga maksimum bagi para penyalur barang
dagangan (dalam kondisi normal), ketika mereka telah memenuhi
kewajibannya. Inilah pendapat yang bertentangan dengan mayoritas para
ulama, bahkan oleh Maliki sendiri. Tetapi beberapa ahli, seperti Sa‟id bin
Musayyab, Rabi‟ah bin Abdul Rahman dan Yahya bin Sa‟id,
menyetujuinya. Para pengikut Abu Hanifah berkata bahwa otoritas harus
menetapkan harga, hanya bila masyarakat menderita akibat peningkatan
harga itu, dimana hak penduduk harus dilindungi dari kerugian yang
diakibatkan olehnya (Saleh, 2011).
Riba
Dalam Islam, umat muslim itu dianjurkan untuk berusaha apa saja
selama masih dalam koridor syariah, artinya selama usaha itu tidak
melanggar ketentuan-ketentuan yang di syariatkan Allah SWT. Demikian
pula dalam hal melakukan kegiatan ekonomi, semua boleh dilakukan
asalkan tidak melanggar aturan-aturan tersebut. Salah satu aktivitas ekonomi
dapat terlihat dalam pasar, dimana bertemunya antara penjual dan pembeli
untuk melakukan transaksi atas barang atau jasa, baik dalam bentuk
produksi maupun penentuan harga. Transaksi jual beli dibolehkan dalam
Islam selama tidak mengandung riba dan hal-hal yang dapat merugikan
salah satu pihak, sebagaimana Allah SWT berfiman dalam QS. Al-Baqarah

24
ayat 275:20 yang artinya: “Yang demikian itu karena mereka berkata
bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba.”
Atau ayat riba tidak dipahami sebagai bentuk dari perniagaan, tetapi
dari sisi prinsip-prinsip umum yang dijalankan, bahwa riba memiliki unsur
ketidak adilan dan penganiayaan sementara jual beli tidak. Karena
dinyatakan dalam Alquran bahwa riba adalah haram sementara jual beli
adalah halal (QS. 2:275). Ketika ayat riba dipahami semisal itu, maka riba
diharamkan karena unsur eksploitasinya daripada sebagai bunga modal itu
sendiri. Setidaknya, inilah yang dipahami oleh kalangan modernis tentang
alasan kenapa riba diharamkan pada saat itu (Ahmad, tt: 9 ; Athoillah,
2013).
Riba termasuk transaski yang bathil, bahkan hampir semua ulama
menafsirkan firman Allah ”memakan harta dengan bathil” itu dengan Riba
dalam firman Allah Al-Baqarah: 188. “Dan janganlah sebagian kamu
memakan sebagian harta yang lain di antara kamu dengan jalan yang
bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”. (QS. Al-
Baqarah:188).
Riba secara etimologis berarti pertambahan. Secara terminoligi syar‟i
Riba ialah, penambahan tanpa adanya ‟iwadh. Secara teknis, maknanya
mengacu kepada premi yang harus dibayar si peminjam kepada pemberi
pinjaman bersama dengan pinjaman pokok yang disyaratkan sejak awal.
Penambahan dari pokok itu disyaratkan karena adanya nasi‟ah
(penangguhan).
Penipuan (tadlis)
Tadlis ialah Transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak
diketahui oleh salah satu pihak unknown to one party. Setiap transaksi
dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah
pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama

25
(complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa
dicurangi/ditipu karena ada sesuatu yang unknown to one party (keadaan di
mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain,
ini merupakan asymetric information. Unknown to one party dalam bahasa
fikihnya disebut tadlis (penipuan), dan dapat terjadi dalam 4 (empat) hal,
yakni dalam Kuantitas, Kualitas, Harga dan Waktu Penyerahan.
Hal ini sesuai hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Muslim
dimana Rasulullah SAW pernah melewati sebuah wadah berisi makanan,
lantas beliau memasukkan tangan beliau ke dalamnya, ternyata jari-jari
beliau menyentuh sesuatu yang basah. Kemudian beliau bertanya, “Apakah
ini wahai pemilik makanan?” pemilik makanan menjawab: “Terkena air
hujan wahai Rasulullah”. Beliau mengatakan “Mengapa kamu tidak
meletakkannya dibagian atas agar dapat dilihat orang lain. Barang siapa
yang mencurangi kami, maka ia bukan golongan kami” (H.R Muslim).
Jual Beli Barang/Jasa yang Belum Pasti (gharar)
Jual beli gharar ialah suatu jual beli yang mengandung ketidak-jelasan
atau ketidak pastian. Jual beli gharar dan tadlis sama-sama dilarang, karena
keduanya mengandung incomplete information. Namun berbeda dengan
tadlis, dimana ketidak lengkapan informasinyanya hanya dialamin oleh satu
pihak saja (onknown to one party), misalnya pembeli saja atau penjual saja,
dalam gharar incomplete information dialami oleh dua pihak, baik pembeli
maupun penjual. Jadi dalam gharar terjadi ketidakpastian (ketidakjelasan)
yang melibatkan dua pihak. Contohnya jual beli ijon, jual beli anak sapi
yang masih dalam kandungan induknya, menjual ikan yang ada di dalam
kolam, dsb.
Sebagaimana tadlis, jual beli gharar juga terjadi pada empat hal, yaitu:
kualitas, kuantitas, harga dan waktu.
Tindakan Melambungkan Harga
Islam sangat tidak mentolerir semua tindakan yang akan
melambungkan harga-harga dengan zalim. Beberapa praktek bisnis yang

26
akan bisa menimbulkan melambungnya harga-harga tersebut adalah sebagai
berikut:
a) Larangan Maks (Pengambilan Bea cukai/pungli) : Pembebanan bea cukai
sangatlah memberatkan dan hanya akan menimbulkan melambungnya
secara tidak adil, maka Islam tidak setuju dengan cara ini. Rasulullah
Saw dalam hal ini bersabda, “Tidak akan masuk syurga orang yang
mengambil beacukai”, karena pembebanan beacukai sangat
memberatkan dan hanya akan menimbulkan melambungnya harga secara
tidak adil, maka Islam tidak setuju dengan cara ini. Khalifah „Umar bin
„Abdul Aziz, telah menghapuskan bea cukai. Dia menafsirkan bahwa
maks serupa dengan bakhs (pengurangan hak milik seseorang), yang
secara keras ditentang oleh Alquran. (QS.Hudd : 85).
b) Larangan Najsy Najsy adalah sebuah praktek dagang dimana seseorang
pura-pura menawar barang yang didagangkan degan maksud hanya untuk
menaikkan harga, agar orang lain bersedia membeli dengan harga itu,
Ibnu „Umar r.a. berkata: “Rasulullah SAW melarang keras praktek jual
beli najsy”. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah
SAW bersabda : “Janganlah kamu sekalian melakukan penawaran
barang tanpa maksud untuk membeli” (HR.Tirmidzi). Transaksi najasy
diharamkan dalam perdagangan karena si penjual menyuruh orang lain
memuji barangnya atau menawar dengan harga yang lebih tinggi, agar
orang lain tertarik pula untuk membelinya. Si Penawar sendiri tidak
bermaksud untuk benar-benar membeli barang tersebut. Ia hanya ingin
menipu orang lain yang benar-benar ingin membeli yang sebelumnya
orang ini telah melakukan kesepakatan dengan penjual. Akibatnya terjadi
permintaan palsu (false demand). Tingkat permintaan yang terjadi tidak
dihasilkan secara alamiyah. Penjelasan grafis bai najasy diperlihatkan
pada gambar berikut.
c) Larangan ba‟i ba‟dh ‟ala ba‟dh : Praktek bisnis ini maksudnya adalah
dengan melakukan lonjakan atau penurunan harga oleh seseorang dimana
kedua belah pihak yang terlibat tawar menawar masih melakukan

27
dealing, atau baru akan menyelesaikan penetapan harga. Rasulullah SAW
dalam sebuah haditsnya melarang praktek semacam ini karena hanya
akan menimbulkan kenaikan harga yang tak diinginkan. Rasulullah SAW
bersabda: “Janganlah sebagian dari kamu menjual atau penjualan
sebagian yang lain”(HR. Tirmidzi)
d) Larangan tallaqi al-rukban : Praktek ini adalah sebuah perbuatan
seseorang dimana dia mencegat orang-orang yang membawa barang dari
desa dan membeli barang itu sebelum tiba di pasar. Rasulullah SAW
melarang praktek semacam ini dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
kenaikan harga. Rasulullah memerintahkan suplai barang-barang
hendaknya dibawa langsung ke pasar hingga para penyuplai barang dan
para konsumen bisa mengambil manfaat dari adanya harga yang sesuai
dan alami.
e) Larangan Ba‟al Hadir lil Bad : Praktek perdagangan seperti ini sangat
potensial untuk melambungkan harga dan sangat dilarang oleh
Rasulullah SAW. Praktek ini mirip dengan tallaqi al-rukban, yaitu
dimana seseorang menjadi penghubung atau makelar dari orang-orang
yang datang dari Gurun Sahara atau perkampungan dengan konsumen
yang hidup di kota. Makelar itu kemudian menjual barang-barang yang
dibawa oleh orang-orang desa itu pada orang kota dimana dia tinggal dan
mengambil keuntungan yang demikian besar, dan keuntungan yang
diperoleh dari harga yang naik dia ambil untuk dirinya sendiri,
Rasulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.
bersabda : Artinya : “Janganlah kalian memenuhi para khalifah di jalan
(untuk membeli barang-barang mereka dengan niat membiarkan mereka
tidak tahu harga yang berlaku di pasar), seorang penduduk kota tidak
diperbolehkan menjual barang-barang milik penghuni padang pasir.
Dikatakan kepada Ibnu Abbas : “apa yang dimaksud menjual barang-
barang seorang penghuni padang pasir oleh seorang penduduk kota?”
Ia menjawab:”Tidak menjadi makelar mereka”. (HR. Muslim)

28
F. Intervensi Pemerintah Dan Pengawasan Pasar

Mekanisme pasar memang memiliki kemampuan mengatur dirinya sendiri


dalam mencapai keseimbangan serta titik temu harga jual dan beli. Namun
bukan berarti mekanisme yang sudah built-in itu bebas dari gangguan perilaku
peniaga yang memiliki motif mencari untung sebesar-besarnya dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya. Berbagai cara bisa dilakukan, mulai dari praktik
monopoli, kartel, menimbun barang, memalsukan produk, hingga transaksi
black market. Dalam menghadapi problematika semacam ini, tentu diperlukan
sentuhan intervensi, pengawasan (Al-Hisbah) dan regulasi dalam batas-batas
yang wajar sehinga akan menjaga harga yang adil dan tingkat laba yang saling
menguntungkan serta diterima oleh pasar.
Untuk lebih menjamin berjalannya mekanisme pasar secara sempurna
peranan pemerintah sangat penting. Rasulullah SAW sendiri telah menjalankan
fungsi sebagai market supervisor atau Al-Hisbah, yang kemudian banyak
dijadikan acuan untuk peran negara terhadap pasar. Sementara dalam bukunya
Al-Hisbah fi Al-Islam, Ibnu Taimiah banyak mengungkap tentang peranan Al-
Hisbah pada masa Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sering melakukan
inspeksi ke pasar untuk mengecek harga dan mekanisme pasar. Seringkali
dalam inspeksinya beliau menemukan praktek bisnis yang tidak jujur sehingga
beliau menegurnya. Rasulullah juga telah memberikan banyak pendapat,
perintah maupun larangan demi sebuah pasar yang bermoral. (Ibnu Taimiah,
1999: 5-10 ; Sukamto,2012)
Al-Hisbah adalah nama lembaga yang berfungsi untuk memerintahkan
kebaikan sehingga menjadi kebiasaan dan melarang hal yang buruk ketika hal
itu telah menjadi kebiasaan umum. Sementara tujuan dari Al-Hisbah adalah
untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah keburukan di pasar. Al-Hisbah
tetap banyak didirikan sepanjang bagian terbesar dunia Islam, bahkan di
beberapa negara institusi ini tetap bertahan hingga awal abad ke-20 M. Selama
periode, dinasti Mamluk Al-Hisbah memiliki peranan penting, terbukti dengan
sejumlah kemajuan ekonomi yang dicapai pada masa itu. Di Mesir, Al- Hisbah
tetap bertahan sampai pada masa pemerintahan Muhammad Ali (1805- 1849

29
M). Bahkan di Maroko hingga awal abad ke-20, institusi ini masih dapat
dijumpai. Di Romawi Timur, yang telah melakukan kontak dengan dunia Islam
juga mengadopsi istilah ini dengan sebutan Mathessep yang berasal dari kata
muhtasi.
Pada pemikiran ekonomi kontemporer, eksistensi Al-Hisbah sering kali
dijadikan acuan bagi fungsi negara terhadap perekonomian, khususnya dalam
pasar. Namun, elaborasi Al-Hisbah dalam kebijakan praktis ternyata terdapat
berbagai bentuk. Beberapa ekonom berpendapat bahwa Al-Hisbah akan
diperankan oleh negara secara umum melalui berbagai institusinya. Sementara
itu, sebagian lainnya berpendapat perlunya dibentuk lembaga khusus yang
bernama Al-Hisbah. Jadi, Al-Hisbah adalah sebuah lembaga yang mengatur
dan mengawasi lancar dan tidaknya aktifitas perekonomian. Bahkan lembaga
ini merupakan suatu agen independen sehingga terlepas dari kepentingan
kelompok tertentu atau pemerintah itu sendiri. Namun, dengan melihat fungsi
Al-Hisbah yang luas dan strategis ini, tampak bahwa fungsinya akan melekat
pada fungsi pemerintahan secara keseluruhan, di mana dalam teknis
operasionalnya akan dijalankan oleh kementerian, departemen, dinas atau
lembaga lain yang terikat.
Konsep Islam memahami bahwa pasar dapat berperan efektif dalam
kehidupan ekonomi bila prinsip persaingan bebas dapat berlaku secara efektif.
Pasar tidak mengharapkan adanya intervensi dari pihak mana pun, tak
terkecuali negara dengan otoritas penentuan harga atau private sector dengan
kegiatan monopolistik atau lainnya. Karena pada dasarnya pasar tidak
membutuhkan kekuasaan yang besar untuk menentukan apa yang harus
dikonsumsi dan diproduksi. Sebaliknya, biarkan tiap individu dibebaskan untuk
memilih sendiri apa yang dibutuhkan dan bagaimana memenuhinya. Inilah pola
normal dari pasar atau „keteraturan alami‛ dalam istilah Al-Ghazali berkait
dengan ilustrasi dari evolusi pasar. Selanjutnya Adam Smith dalam (Afrida,
2015), menyatakan serahkan saja pada invisible hand, dan ‚dunia akan teratur
dengan sendirinya. Dasar dari keputusan para pelaku ekonomi adalah
voluntary, sehingga otoritas dan komando tidak lagi terlalu diperlukan.

30
Harus diyakini bahwa nilai konsep Islam tidak memberikan ruang
intervensi dari pihak mana pun untuk menentukan harga, kecuali dan hanya
kecuali adanya kondisi darurat yang kemudian menuntut pihak-pihak tertentu
untuk ambil bagian menentukan harga. Dalam Islam, tingkat harga diserahkan
pada kekuatan permintaan dan penawaran. Dalam keadaan pasar berjalan
secara alami pemerintah tidak dibenarkan ikut campur tangan dalam
mekanisme pasar. Berdasarkan hadits yang telah dibahas sebelumnya bahwa
penentu harga adalah Allah, maksudnya diserahkan kepada penawaran dan
permintaan. Penolakan Rasulullah terhadap penetapan harga (tas‟ir)
berdasarkan hadits nya adalah karena tidak ditemukannya kondisi yang
mengharuskan untuk melakukannya karena kenaikan harga yang terjadi masih
dalam keadaan normal bukan akibat distorsi pasar.
Ketika harga terbentuk karena supply dan demand yang apabila dilakukan
intervensi akan menimbulkan kezaliman bagi banyak pihak. Namun, apabila
harga barang di pasar tidak lagi ditentukan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran, seperti melonjaknya harga suatu barang disebabkan oleh hilangnya
barang di pasaran karena ikhtikar (penimbunan barang komoditi tertentu yang
sangat dibutuhkan oleh masyarakat), atau kenaikan suatu barang disebabkan
oleh ketiadaan barang komoditi karena bencana alam. Dalam keadaan seperti
ini, menurutIbnu Taimiyah, pemerintah dapat melakukan intervensi pasar
dalam rangka menentukan harga.
Pendapat Ibnu Taimiyah ini sama dengan pendapat Ibnu Qayyim yang
menyatakan penentuan harga harus diserahkan pada kekuatan pasar, yaitu
kekuatan permintaan dan penawaran, jika terjadi ketidaksempurnaan pasar
(distorsi), seperti monopoli, Ibnu Qayyim merekomendasikan intervensi
pemerintah untuk memperbaiki harga pasar. Dalam konsep Islam, cara
pengendalian harga ditentukan oleh penyebabnya. Bila penyebabnya adalah
perubahan pada permintaan dan penawaran, maka mekanisme pengendalian
dilakukan melalui intervensi pasar. Bila penyebabnya adalah distorsi terhadap
permintaan dan penawaran maka pengendalian dilakukan dengan
menghilangkan distorsi tersebut.

31
Inilah bentuk peran negara dalam mekanisme pasar sebagai regulator,
mengawasi dan mengatur mekanisme pasar agar berjalan seimbang, sehingga
tercipta harga yang adil (equilibrium price). Dalam perspektif ekonomi Islam,
equilibrium price adalah harga yang tidak menimbulkan dampak negatif
ataupun kerugian bagi para penjual maupun pembeli. Menurut Said Saad
Marathon, harga tidak dapat dikatakan adil apabila harga tersebut terlalu
rendah sehingga penjual tidak dapat menutup biaya-biaya yang telah
dikeluarkannya dan tidak boleh terlalu tinggi karena akan memberatkan
konsumen. Harga yang adil adalah harga yang dapat menutupi semua biaya
operasional produsen dengan tingkat laba tertentu serta tidak merugikan
konsumen. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah berpendapat apabila harga yang
terbentuk tidak merefleksikan kerelaan masing-masing pihak dan tidak terdapat
persentase keuntungan tertentu maka hal tersebut akan menyebabkan distorsi
harga dan dapat merugikan manusia (Afrida, 2015).
Dalam rangka melindungi hak penjual dan pembeli, Islam membolehkan
bahkan mewajibkan melakukan intervensi harga. Ada beberapa faktor yang
membolehkan intervensi harga, yaitu sebagai berikut:
1) Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat yaitu melindungi
penjual dalam hal profit magin (keuntungan), dan pembeli dalam hal
purchasing power (kemampuan pembeli). Jika harga tidak ditetapkan
ketika penjual menjual dengan harga tinggi yang dapat merugikan
pembeli.
2) Intervensi harga mencegah ikhtikar atau ghaban fȃhisy
3) Intervensi harga melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas
karena pembeli biasanya mewakili masyarakat yang lebih luas.
Sedangkan penjual mewakili kelompok yang lebih kecil.
Negara dalam Islam mempunyai peran mengatur dan mengawasi ekonomi,
memastikan kompetisi di pasar berlangsung dengan sempurna, informasi yang
merata dan keadilan ekonomi. Perannya sebagai pengatur tidak lantas
menjadikannya dominan, sebab negara tidak boleh mengganggu pasar yang

32
berjalan seimbang, perannya hanya diperlukan ketika terjadi distorsi dalam
sistem pasar.
Menurut Islam negara memiliki hak untuk melakukan intervensi dalam
kegiatan ekonomi baik itu dalam bentuk pengawasan, pengaturan maupun
pelaksanaan kegiatan ekonomi yang tidak mampu dilaksanakan oleh
masyarakat. Dalam konsep ekonomi islam, cara pengendalian harga ditentukan
oleh penyebabnya. Bila penyebabnya adalah perubahan pada Genuine demand
dan Genuine supply, maka mekanisme pengendalian dilakukan melalui market
intervention (kontrol harga). Sedangkan bila penyebabnya adalah distorsi
Genuine demand dan Genuine supply, maka mekanisme pengendalian
dilakukan melalui penghilangan distorsi termasuk penentuan price intervention
untuk mengembalikan harga pada keadaan sebelum distorsi.
Menurut Ibnu Taimiyah, keabsahan pemerintah dalam menetapkan
kebijakan intervensi dapat terjadi pada situasi dan kondisi sebagai berikut:
Pertama, produsen tidak mau menjual produknya kecuali pada harga yang lebih
tinggi dari pada harga umum pasar, padahal konsumen membutuhkan produk
tersebut. Kedua, terjadi kasus monopoli (penimbunan). Ketiga, terjadi keadaan
Al-Hasr (pemboikotan), di mana distribusi barang hanya terkonsentrasi pada
satu penjual atau pihak tertentu. Penetapan harga di sini untuk menghindari
penjualan barang tersebut dengan harga yang ditetapkan sepihak dan semena-
mena oleh pihak penjual tersebut. Keempat, terjadi koalisi dan kolusi antar
penjual (kartel) di mana sejumlah pedagang sepakat untuk melakukan transaksi
di antara mereka, dengan harga di atas ataupun di bawah harga normal.
Terakhir, produsen menawarkan produknya pada harga yang terlalu tinggi
menurut konsumen, sedangkan konsumen meminta pada harga yang terlalu
rendah menurut produsen.
Adapun tujuan adanya intervensi pasar yang dilakukan oleh pemerintah
menurut Ibnu Qudamah al Maqdisi adalah sebagai berikut: Intervensi harga
menyangkut kepentingan masyarakat, untuk mencegah ikhtikar dan ghaban
faa-hisy (mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dan menjual diatas

33
harga pasar), dan untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas
(Rahmi, 2015).
Jumhur ulama juga sepakat bahwa kondisi darurat (emergency) dapat
menjadi alasan pemerintah mengambil kebijakan intervensi harga, tetapi tetap
berpijak kepada keadilan.
Secara umum kondisi darurat yang dimaksud adaiah: (Frank, 2003 ;
Azizah, 2012)
1) Harga naik sedemikian tinggi di luar kewajaran sehingga tidak
terjangkau masyarakat.
2) Menyangkut barang-barang yang amat dibutuhkan oleh masyarakat,
misalnya bahan pangan.
3) Terjadi ketidakadilan atau eksploitasi antara pelaku-pelaku dalam
transaksi tersebut.
Adapun regulasi harga (bagian dari intervensi Pemerintah) memiliki 3
fungsi, yaitu :
1) Fungsi ekonomi : berhubungan dengan peningkatan produktivitas dan
peningkatan pendapatan masyarakat miskin melalui alokasi dan
relokasi sumber daya ekonomi.
2) Fungsi sosial : mempersempit kesenjangan antara masyarakat kaya dan
masyarakat miskin.
3) Fungsi moral : upaya menegakkan nilai-nilai Islami dalam aktivitas
perekonomian.

34
PENUTUP

Pasar merupakan tempat bertemunya produsen dan konsumen untuk


melakukan pertukaran barang/jasa yang mereka butuhkan. Mekanisme pasar
sendiri merupakan cara kerja suatu pasar berdasarkan sistem pasar yang ada atau
secara umum mekanisme pasar dapat berarti proses penentuan suatu harga
berdasarkan permintaan dan penawaran.
Dalam konsep ekonomi islam, mekanisme pasar harus berdasarkan
kebebasan yang dibingkai oleh frame syari‟ah sesuai dengan rujukan terhadap al-
Qur‟an dan al-Hadits. Banyak sekali pemikiran ilmuwan muslim mengenai
mekanisme pasar dalam islam yang bahkan lebih baik daripada ekonomi
konvensional jauh sebelum para ilmuwan barat mengemukakan teori-tori ekonomi
yang dijadikan kiblat saat ini.
Prinsip mekanisme pasar dalam islam sendiri harus berlandaskan
kesukarelaan masing-masing pihak, persaingan yang sehat, kejujuran, keadilan,
dan keterbukaan. Semua aturan yang ada dalam mekanisme pasar berdasarkan
syari‟ah pada hakikatnya bertujuan untuk kemaslahatan semua pihak baik penjual
ataupun pembeli, baik muslim ataupun nonmuslim.

35
DAFTAR PUSTAKA

Afrida, Yenti, Intervensi Pemerintah Indonesia Dalam Menetapkan Harga BBM


Ditinjau Dari Mekanisme Pasar Islam, FITRAH, Volume 1, Nomor 1, Juni
2015
Athoillah, M. A., Ekonomi Islam : Transaksi Dan Problematikanya, Jurnal
Wacana Hukum Islam Dan Kemanusiaan, Volume 13, Nomor 2, Desember
2013
Azizah, Mubarroh, Harga Yang Adil Dalam Mekanisme Pasar Dan Peran
Pemerintah Dalam Perspektif Islam, UNISIA, Volume 34, Nomor 76,
Januari 2012
Holis, Moh., Sistem Distribusi Dalam Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal
Perbankan Syari‟ah, Volume 1, Nomor 2, November 2016
Muhamad, Tinjauan Sejarah Mekanisme Pasar Dalam Islam, Telaah Bisnis,
Volume 14, Nomor 1, Juli 2013
Rahmawaty, Annisa, Distribusi Dalam Ekonomi Islam, EQUILIBRIUM,
Volume 1, Nomor 1, Juni 2013
Rahmi, Ain, Mekanisme Pasar Dalam Islam, Jurnal Ekonomi Bisnis Dan
Kewirausahaan, Volume 4, Nomor 2, 2015
Saleh, Muhammad, Pasar Syari‟ah Dan Keseimbangan Harga, Media Syari‟ah,
Volume 13, Nomor 1, Juni 2011
Sukamto, Memahami Mekanisme Pasar Dalam Ekonomi Islam, Jurnal Sosial
Humaniora, Volume 5, Nomor 1, Juni 2012
Supriyadi, Studi Komparatif Mekanisme Distribusi Pendapatan Dalam
Pandangan Ekonomi Kapitalis Dan Ekonomi Islam, Jurnal Hukum Ekonomi
Syariah Dan Ahwal Syahsiyah, Volume 1, Nomor 2, 2016
Wahyudi, Arif, Telaah Kritis Pemikiran Ekonomi Islam Terhadap Mekanisme
Pasar Dalam Konteks Ekonomi Islam, Eksyar, Volume 1, Nomor 1, Maret
2014
Wulpiah, Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Mekanisme Pasar, ASY-
SYAR‟IYYAH, Volume 1, Nomor 1, Juni 2016
Zaini, A. A., Pasar Persaingan Sempurna Dalam Perspektif Islam, Jurnal Ummul
Qura, Volume 4, Nomor 2, Agustus 2014

Anda mungkin juga menyukai