Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Kejadian kegawatan ortopedi (emergency orthopedics) banyak dijumpai.


Penanganan emergency orthopedics telah mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Teknologi dalam bidang kesehatan juga memberikan kontribusi yang sangat
untuk menunjang penanganan emergency orthopedics. Tenaga medis dituntut untuk
mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan proses
perawatan emergency orthopedics pertama kali di IGD yang komprehensif, yang
dimulai dari pengkajian yang komprehensif, perencanaan intervensi yang tepat,
implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan selama perawatan serta
dokumentasi hasil yang sistematis. Kasus-kasus yang termasuk dalam emergency
orthopedics, yaitu open fracture, compartment syndrome, dislokasi dan fractur
dislokasi, lesi vascular besar, septic arthritis, acute osteomyelitis, unstable pelvis, fat
emboli, unstable cervical spine, dan traumatic amputasi.
Berdasar sifatnya emergency orthopedics dibedakan menjadi dua, yaitu
sifatnya yang mengancam jiwa (life threatening ) dan yang mengancam kelangsungan
ekstremitas ( limb threatening). Kejadian fraktur banyak ditemukan saat ini, begitu
juga kasus open fraktur di IGD. Kalau tidak ditangani akan menjadikannya infeksi
kronis yang berkepanjangan.“Once osteomyelitis, forever” : Appley. Jangan sampai
melewati Golden periode (0 s/d 6 jam) pada awalnya infestasi kuman masih melekat
secara fisik, sesudah itu akan melekat secara kimawi dan sulit dibersihkan dengan
pencucian saja.
Penanganan definitif fraktur ada yang perlu tindakan operatif ada yang tidak.
Fraktur yang harus di operasi : Fraktur yang gagal dengan tindakan konservatif, fraktur
intra artikuler, fraktur joint depressed lebih dari 5 mm, fraktur avulsi akibat tarikan
ligament, dan fraktur dengan atrioventriculer node disturbances. Kasus emengency
ortopedics lain adalah compartment syndrome .
Compartment syndrome adalah peningkatan tekanan intra compartement
(Osteofascial compartement) pada cruris atau pada Antebrachii akibat peningkatan
permeabilitas sesudah terjadinya trauma, menyebabkan odema dan menghalangi
aliran arteri yang menyebabkan ischemia jaringan yang diikuti gejala klinis 5 P
(Pulseless, Pale, Pain, Paraestesi, Paralyse). Bila tak segera dilakukan fasciotomi akan

1
menyebabkan nekrosis otot dan timbul cacat menetap volkmann ischemic
contracture.
Selain kasus open fraktur dan kompartemen sindrom, kejadian dislokasi dan
fractur dislokasi juga bisa ditemui di IGD. Pada keadaan normal cartilage mendapat
nutrisi dari cairan synovial yang berasal dari darah yang sudah tersaring eritrositnya,
terjadi diffusi masuk ke joint space bila terjadi mekanisme gerak sendi. Saat dislokasi
nutrisi terhenti. Cartilage yang mati sulit regenerasi. Penanganan dislokasi adalah
segera reposisi dan stabilisasi 2-3 minggu.
Selain kasus kasus di atas, lesi vasculer besar juga termasuk dalam emergency
orthopedics. Lesi vaskuler besar yang tersering adalah arteri poplitea dan arteri
radialis, juga plexus vein sacral pada sacro iliac disruption atau unstable pelvis atau
fractur malgaigne. Kasus emergency ortopedic lain adalah septic arthritis. Pasien akan
mengalami panas badan , nyeri sendi sangat hebat bila digerakkan. Area yang sering
terkena septic artritis adalah sendi panggul (coxitis) dan lutut (gonitis). Pus yang ada
dalam sendi akan merusak sendi, bila tidak segera ditangani, maka arthrotomi pilihan
terapi septic artritis pada sendi yang rusak.
Dan, acute osteomyelitis merupakan kasus emergency ortopedics. Osteomelitis
akut menunjukkan gejala panas, nyeri bila extremitas yang mengalami infeksi
dipegang, tanda radang ( rubor, color , dolor , palor, functio laesa). Komplikasi
osteomelitis akut adalah sepsis. Lalu, fat emboli, unstable cervical spine, dan
traumatic amputasi juga merupakan kasus emergency ortopedics.
Fraktur pelvis dapat bersifat unstable apabila cincin pelvis mengalami
kerusakan pada 2 tempat atau lebih, biasanya terjadi karena high energy injury. Pada
daerah pelvis terdapat plexus plexus vena, jika ada trauma seringkali menyebabkan
pecahnya pembuluh darah ini, dan pendarahan baru berhenti jika cavum pelvis terisi
penuh dengan darah. Pada fraktur unstable, pendarahan tidak berhenti karena pelvis
tidak terfiksasi dengan sempurna.
Fat emboly sering terjadi 3-5 hari sesudah fraktur tulang panjang (femur &
tibia). Fat globule dari sumsum tulang masuk sirkulasi dan bila masuk ke otak akan
mengganggu kesadaran, serta bila masuk paru mengakibatkan sesak. Pertolongan fat
emboli adalah oxygenasi dengan PEEP (positive expirasi end pressure) respirator dan
heparin atau antikoagulan. Diharapkan dengan mengetahui penanganan awal kasus
emergency ortopedic dapat menyelamatkan nyawa (life threatening ) dan yang
menyelamatkan extremitas (save the limb).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. OPEN FRACTURE

Dikatakan fraktur terbuka jika terdapat hubungan antara daerah yang fraktur
dengan dunia luar, biasanya karena kulit di atasnya sudah tidak intak. Fraktur
merupakan terbuka emergensi bedah ortopedi, karena risiko untuk terjadinya infeksi
pada tulang yang fraktur tinggi. Komplikasi jangka panjang adalah terancamnya
fungsi tungkai, dan dalam kasus infeksi sistemik dapat mengancam jiwa (Budiman,
2010).
Manajemen fraktur awal adalah untuk mengontrol perdarahan, mengurangi nyeri,
mencegah iskemia-reperfusi cedera, dan mencegah kontaminasi serta infeksi misal benda
asing dan jaringan nonviable. Hal ini akan meminimalkan komplikasi yang mungkin dapat
terjadi (Buckley, 2012).

a. Klasifikasi Fraktur Terbuka


Dibawah ini menjelaskan suatu klasifikasi fraktur terbuka menurut
Gustilo/Anderson (Rasjad, 2007):
Tipe Fraktur Deskripsi
I Kulit terbuka < 1 cm, bersih; paling mungkin lesi dalam daripada
luar; kontusio otot minimal, fraktur transversum atau oblique yang
sederhana
II Laserasi > 1 cm dengan kerusakan jaringan lunak luas, flap, atau
avulsi; kehancuran minimal sampai sedang; fraktur transversum
atau oblique pendek yang sederhana dengan kominutif minimal
III Kerusakan jaringan lunak luas, termasuk otot, kulit dan struktur
neurovaskular; seringnya cedera kecepatan-tinggi dengan
komponen kehancuran yang berat
III A Laserasi luas, mencakup tulang adekuat; fraktur segmental, cedera
tembak
III B Kerusakan jaringan lunak luas dengan terkupasnya periosteal dan
ekspos tulang, biasanya berhubungan dengan kontaminasi luas
III C Cedera vaskular membutuhkan perbaikan

b. Penatalaksanaan Fraktur Terbuka

3
Tantangan penatalaksanaan yang sulit pada fraktur terbuka telah dikenal
selama berabad-abad. Amputasi telah menjadi pengobatan menetap sampai
pertengahan abad ke 18, dimana teknik antiseptik mulai digunakan. Antiseptik,
bersama dengan debridement semua jaringan yang terkontaminasi dan
devitalisasi, membuktikan reduksi pertama pada mortalitas. Kemajuan serentak
pada profilaksis antibiotik, debridement agresif dan manajemen luka terbuka,
flap otot rotasional, transfer jaringan bebas, dan teknik cangkok tulang
memperlihatkan peningkatan yang dramatis pada kemampuan seorang dokter
untuk menangani fraktur terbuka berat sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan
bermotor dan luka tembak. Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat
yang memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi risiko infeksi.
Selain mencegah infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan
restorasi fungsi anggota gerak (Rasjad, 2007).

Penangan fraktur terbuka di IGD:


1. ABCD
Nilai status kesadaran, bebaskan airway, breathing, resusitasi cairan,
dan hentikan perdarahan.
2. Cuci luka
Mencuci luka dengan larutan NaCl fisiologis bertujuan
menghilangkan kontaminasi makro dan bekuan darah yang dapat
meminimalkan kontaminasi serta kerusakan jaringan (Schaller,2012).
3. Debridement dalam golden period (6 jam) dengan general anestesia.
Adanya jaringan yang mati akan mengganggu proses penyembuhan
luka dan merupakan daerah tempat pembenihan bakteri sehingga diperlukan
eksisi secara operasi pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot dan
fragmen-fragmen yang lepas (Buckley, 2012).
4. Imobilisasi, luka ditutup kain bersih, fragmen jangan dimasukkan
Pembidaian dan imobilisasi fraktur penting pada emergensi ortopedi.
Fungsinya adalah untuk mengontrol nyeri dan pembengkakan, mengurangi
deformitas/dislokasi, dan imobilisasi fraktur atau cedera. Tujuan pembidaian
dan imobilisasi adalah membebaskan nyeri, meningkatkan penyembuhan,
stabilisasi fraktur, mencegah sehingga cedera lebih lanjut. Untuk fraktur
terbuka grade I-II dapat diberikan internal fixasi, gips dengan window.
Sedangkan untuk grade III yaitu external fixasi, gips dengan window hingga
amputasi apabila organ tidak viable/beresiko menimbulkan mortalitas.

4
Kebanyakan cedera ekstremitas atas dapat ditangani dengan menggunakan
belat posterior long arm. Cedera pada jari ditangani dengan belat jari busa
atau belat plastik kaku. Cedera bahu dapat ditangani dengan sebuah
selempang/balutan gendong, atau imobiliser bahu. Cedera ekstremitas bawah
dapat ditangani dengan imobiliser lutut atau bidai cetak posterior (Budiman,
2010).
5. Antibiotik dan analgetik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik
diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan sesudah tindakan
operasi.
6. Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan
tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan
pemberian toksoid tapi bagi yang belum,dapat diberikan 250 unit tetanus
imunoglobulin (manusia).

B. COMPARTMENT SYNDROME
Sindrom kompartemen akut terjadi ketika tekanan jaringan dalam
kompartemen otot tertutup melebihi tekanan perfusi dan menyebabkan otot dan
saraf iskemia. Ini biasanya terjadi setelah peristiwa traumatis, paling sering patah
tulang. Pilihan penanganan untuk sindrom kompartemen akut adalah dekompresi
dini (Rasul, 2012; Paula, 2011).
Berbagai sindroma kompartemen telah diuraikan untuk kedua ekstremitas
atas dan bawah. Uraian tersebut termasuk sindroma kompartemen pada bahu,
lengan atas, lengan bawah, tangan, bokong, paha, tungkai bawah, dan kaki.
Penyebab sindroma kompartemen beragam dan termasuk fraktur terbuka dan
fraktur tertutup, cedera arteri, luka tembak, gigitan ular, kompresi tungkai, dan
luka bakar (Paula, 2007).
Meningkatnya tekanan pada ruang fascia tertutup menyebabkan
menurunnya tekanan perfusi dan pada akhirnya cedera sel dan kematian neuron
dan jaringan otot. Mekanismenya sebagai berikut: hipoksia menyebabkan cedera
sel, melepaskan mediator, dan meningkatkan permeabilitas endotel yang
menyebabkan oedem, selanjutnya meningkatkan tekanan kompartemen, pH
jaringan menurun, lalu terjadi nekrosis, dan terlepasnya mioglobin. Tekanan
jaringan lebih besar dari tekanan kapiler; biasanya terlihat pada > 30 mmHg

5
tekanan intra-kompartemen. Waktu iskemik: nervus < 4 jam, otot < 4 jam
beberapa mengatakan sampai 6 jam (Paula R. 2007).
Gambaran Klinis yang biasa ditimbulkan pada seseorang dengan
Sindroma Kompartemen yakni :
a. Nyeri yang melebihi kapasitas cedera
b. Pemeriksaan fisik: bukti ketegangan kompartemen, menurunnya perfusi
(pengisian kembali kapiler, nyeri) dan kehilangan fungsi jaringan (mati rasa
dan lemah; nervus dan otot terlibat pada kompartemen yang terinfeksi)
c. Diagnosa pasti dengan mengukur tekanan kompartemen. (Paula R. 2007)

Penegakkan diagnosa pada Sindroma Kompartemen secara klasik yakni :


a. Misal : sekunder akibat luka bakar, pembengkakan jaringan lunak, balutan
ketat, iskemis reperfusi, kompresi berkepanjangan, infiltrasi intravena,
perdarahan, cedera vaskuler, kejang, dan trauma.
b. Kenali 6 P: Pain (nyeri), Pallor (pucat), Pulselessness (tidak ada pulsasi),
Parasthesia (tidak ada rasa), Paralysis (lumpuh) dan Poikilothermic.
c. Iskemia dan nekrosis dapat muncul bahkan jika masih terdapat pulsasi.
d. Nervus sensorik yang lebih dulu terkena, diikuti oleh motorik.
e. Waktu: gejala dapat muncul dalam beberapa jam sampai beberapa hari
setelah cedera. (Paula R. 2007)
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan Sindroma
Kompartemen yakni:
a. Singkirkan penyebab kompresi
b. O2
c. Pertahankan ekstremitas setinggi jantung
d. Konsultasi ortopedi atau bedah darurat
e. Fasciotomi:
o Indikasi: sindroma kompartemen akut: tekanan kompartemen > 30

mmHg
o Ahli bedah harus melakukan fasciotomi; bagaimanapun, pada tungkai
yang tekanannya meningkat atau terdapat penundaan pembedahan,
fasciotomi emergensi mungkin perlu dilakukan di departemen
emergensi.
o Pendekatan dua-insisi fasciotomi pada tungkai bawah merupakan
prosedur langsung dan dapat dipercaya, mengingat bahwa anatominya
mudah dipahami.

C. Fraktur Pelvis dengan Perdarahan

Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan


jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun

6
terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien
dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang
mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis.
Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur
pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis
berkekuatan-tinggi rangkaian besar.
Perdarahan sehubungan fraktur pelvis menuntut evaluasi yang efisien dan
intervensi yang cepat. Evaluasi dan perawatan pasien dengan fraktur pelvis
membutuhkan sebuah pendekatan multidisiplin. Meskipun ahli trauma bedah
umum pada akhirnya mengarahkan pengobatan seseorang dengan cedera multipel,
penting bagi pasien dengan fraktur pelvis agar ahli bedah ortopedi ikut terlibat
dalam setiap fase pengobatan, termasuk resusitasi primer. Penilaian dini oleh ahli
bedah ortopedi yang mengenal pola fraktur pelvis memudahkan tim pengobatan
untuk membangun diagnosa dan prioritas pengobatan, dan mempercepat
pembentukan manuver penyelamatan-hidup. Sebuah pemahaman seksama
terhadap sumber perdarahan potensial dan kesadaran akan pilihan pengobatan
adalah penting bagi semua dokter yang terlibat.
Sistem Klasifikasi Dan Nilai Prognostik
Beberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan cedera pelvis
berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau berdasarkan besar dan
arah tekanan yang diberikan ke pelvis. Masing-masing klasifikasi telah
dikembangkan untuk memberikan tuntunan pada ahli bedah umum dan ortopedi
tentang tipe dan kemungkinan masalah kesulitan manajemen yang mungkin
dihadapi dengan masing-masing tipe fraktur. Sistem klasifikasi fraktur pelvis ini,
salah satu yang dijelaskan oleh Young dan Burgess, paling erat hubungannya
dengan kebutuhan resusitasi dan pola yang terkait dengan cedera. Sistem ini
berdasarkan pada seri standar gambaran pelvis dan gambaran dalam dan luar,
sebagaimana dijelaskan oleh Pennal dkk.
Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera
kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS),
dan mekanisme kombinasi (CM). Kategori APC dan LC lebih lanjut
disubklasifikasi dari tipe I – III berdasarkan pada meningkatnya perburukan
cedera yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan
oleh tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase

7
simfisis pubis. Ada cedera “open book” yang mengganggu ligamentum
sacroiliaca anterior seperti halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan
ligamentum sacrotuberale. Cedera APC dipertimbangkan menjadi penanda
radiografi yang baik untuk cabang-cabang pembuluh darah iliaca interna, yang
berada dalam penjajaran dekat dengan persendian sacroiliaca anterior.
Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar
pelvis pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan
ligamentum sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan
tidak terkena gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri
iliaca interna, arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika
hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur.
Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan
hemipelvis mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola
cedera CM meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh
kombinasi dua vektor tekanan terpisah.
Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan juga telah
menunjukkan berkorelasi baik dengan pola cedera organ, persyaratan resusitasi,
dan mortalitas. Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti
sebagaimana meningkatnya angka APC. Pola cedera yang terlihat pada fraktur
APC tipe III telah berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-jam terbesar. Pada
sebuah seri terhadap 210 pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk
menemukan bahwa kebutuhan transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata
3,6 unit PRC, dibandingkan dengan rata-rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera
APC. Pada seri yang sama, pasien dengan cedera VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien
dengan cedera CM memiliki kebutuhan transfusi rata-rata sebesar 8,5 unit. Angka
mortalitas keseluruhan pada seri ini adalah 8,6%. Angka mortalitas lebih tinggi
terlihat pada pola APC (20%) dan pola CM (18%) dibandingkan pada pola LC
(7%) dan pola VS (0%). Burgess dkk mencatat hilangnya darah dari cedera pelvis
yang dihasilkan dari kompresi lateral jarang terjadi, dan penulis menghubungkan
kematian pada pasien dengan cedera LC pada penyebab lainnya. Penyebab
kematian yang teridentifikasi paling umum pada pasien di seri ini dengan fraktur
LC adalah cedera kepala tertutup. Pada kontras, penyebab kematian yang
teridentifikasi pada pasien dengan cedera APC merupakan kombinasi cedera
pelvis dan viseral. Temuan ini mengindikasikan bahwa kemampuan untuk

8
mengenali pola fraktur pelvis dan arah tekanan cedera yang sesuai dapat
membantu tim resusitasi mengantisipasi kebutuhan transfusi cairan dan darah
sebagaimana halnya membantu untuk penilaian dan pengobatan awal langsung.
Pasien dengan instabilitas posterior lengkap dapat diantisipasi agar tidak menjadi
perdarahan yang berat.
Metode penatalaksanaan :
Military Antishock Trousers
Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat
memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan
ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an,
penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan tamponade pelvis dan
meningkatkan aliran balik vena untuk membantu resusitasi.
Fiksasi Eksternal
Fiksasi Eksternal Anterior Standar
Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis
emergensi pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan
fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur
pelvis bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi pergeseran
pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien, menurunkan kemungkinan
disrupsi bekuan darah. Pada beberapa pola (misal, APC II), reduksi volume pelvis
mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator eksternal. Studi eksperimental telah
menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis “open book” mengarah pada
peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade perdarahan
vena. Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur hemostasis untuk
mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar.
C-Clamp
Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis posterior
yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang melibatkan
disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis ilium
mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan secara posterior telah
dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya
tekan posterior tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar
harus dilatih untuk mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur
umumnya harus dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp

9
pada regio trochanter femur menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal
anterior standar untuk fiksasi sementara cedera APC.

D. DISLOKASI

Dislokasi adalah cedera yang terisolasi, melumpuhkan anggota badan dan


segera pasien diangkut. Kontrol perdarahan dengan tekanan langsung dan
mencakup dislokasi terbuka dengan kasa steril. Setiap dislokasi terbuka terkait
dengan atau tanpa fraktur biasanya tidak boleh direduksi IGD. Antibiotik
profilaksis yang tepat harus diberikan, dan status tetanus pasien harus diperbarui.
Dressing steril harus diterapkan.
Menilai status neurovaskular dari kaki sebagai bagian dari survei sekunder.
Pertimbangkan pengurangan mendesak setiap dislokasi yang menyebabkan
kompromi neurovaskular signifikan.
Di IGD, perawatan biasanya melibatkan analgesia yang tepat, es, dan
elevasi. Dislokasi dari jari-jari kaki sering dapat dikurangi dengan anestesi lokal
(blok digital) di UGD dengan traksi longitudinal yang sederhana. Dislokasi dari
kaki pertama mungkin sulit untuk direduksi. Selain itu, metatarsophalangeal
pertama (MTP) dan dislokasi interphalangeal (IP) yang terbuka atau tidak dapat
direduksi memerlukan konsultasi ortopedi. Sebagian lainnya MTP dan IP dislokasi
mudah dikelola oleh dokter IGD.

E. TRAUMA VASKULER BESAR


Lesi vaskuler besar yang tersering adalah arteri poplitea dan arteri radialis,
arteri inguinalis, arteri brachialis dan arteri femoralis. Diagnosis umumnya
ditegakkan dengan arteriografi atau Dopler, dan pengukuran saturasi O2 jari
distal. Penanganan cedera vena diligasi dan berikan resusitasi cairan. Kontrol
pendarahan dengan penekanan untuk pembuluh darah proksimal dari cedera
(misalnya, tekanan femoralis di luka ekstremitas bawah) (Scott, 2011).

F. SEPTIC ARTHRITIS

10
Septic artritis adalah suatu proses inflamasi yang steril biasanya hasil dari
proses ekstra-artikular. Septic arthritis biasanya menyebabkan ketidaknyamanan
dan kesulitan menggerakkan sendi yang terkena (Yuliasih, 2009).
Tanda dan gejalanya antara lain:
a. Demam
b. Nyeri parah pada sendi yang terkena, terutama ketika menggerakkan sendi
c. Pembengkakan sendi yang terkena
d. Hangat di daerah sendi yang terkena
Penanganan awal yang dapat dilakukan pada pasien dengan arthrititis
septik yakni:

1. Drainase
Manajemen medis arthritis infektif berfokus pada drainase yang
memadai dan tepat waktu dari cairan sinovial yang terinfeksi, pemberian
terapi antimikroba yang tepat, dan imobilisasi sendi untuk mengontrol rasa
sakit (Brusch, 2011).
2. Antibiotik
Dokter harus mengidentifikasi bakteri yang menyebabkan infeksi
terlebih dahulu, baru kemudian memilih antibiotik yang paling efektif untuk
menargetkan bakteri. Antibiotik biasanya diberikan melalui pembuluh darah
vena di lengan pada awalnya. Pasien kemudian bisa beralih ke antibiotik oral.
Lama pengobatan antibiotik tergantung pada kesehatan, jenis bakteri yang
menginfeksi dan sejauh mana infeksinya. Biasanya, pengobatan berlangsung
sekitar dua sampai enam minggu (Brusch, 2011).
3. Mobilisasi sendi secara lembut
Setelah infeksi dapat dikontrol, dokter biasanya merekomendasikan
pasien melakukan gerakan lembut untuk menjaga fungsi sendi. Pergerakan
sendi dapat menjaga tubuh dari kekakuan sendi dan otot-otot. Gerakan juga
mendorong aliran darah dan sirkulasi yang membantu proses penyembuhan
tubuh (Yuliasih, 2009).

G. OSTEOMIELITIS AKUT
Osteomyelitis adalah proses inflamasi akut atau kronik pada tulang dan
struktur sekundernya karena infeksi oleh bakteri piogenik. Begitu diagnosis secara

11
klinis ditegakkan, ekstremitas yang terkena diistirahatkan dan segera berikan
antibiotik. Bila dengan terapi intensif selama 24 jam tidak didapati perbaikan,
dianjurkan untuk mengebor tulang yang terkena. Bila ada cairan yang keluar perlu
dibor dibeberapa tampat untuk mengurang tekanan intraostal. Cairan tersebut
perlu dibiakkan untuk menentuka jenis kuman dan resistensinya. Bila terdapat
perbaikan, antibiotik parenteral diteruskan sampai 2 minggu, kemudian diteruskan
secara oral paling sedikit empat minggu (Schwartz et al., 2000).
Penyulit berupa kekambuhan yang dapat mencapai 20%, cacat berupa
dekstruksi sendi, gangguan pertumbuhan karena kerusakan cakram epifisis, dan
osteomyelitis kronik (Schwartz et al., 2000).
Penanganan yang dilakukan di IGD antara lain:
1. Resusitasi cairan

2. Antibiotika.

Antibiotika yang efektif terhadap gram negatif maupun gram positi


diberikan langsung tanpa menunggu hasil biakan darah, dan dilakukan secara
parenteral selama 3-6 minggu.

3. Pemeriksaan biakan darah.

4. Imobilisasi anggota gerak yang terkena

5. Analgetik antipiretik (Schwartz et al., 2000).

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Emergensi ortopedi merupakan suatu keadaan yang dapat mengancam jiwa dan
hilangnya fungsi dari organ tertentu di bidang ortopedi, seperti ekstremitas dan
persendian. Emergensi ortopedi disampaikan sekitar 20% pasien yang datang ke rumah

12
sakit membutuhkan suatu penanganan atau tindakan awal yang cepat serta dibutuhkan
keterampilan seseorang dokter.
Pengetahuan dasar mengenai cedera ortopedi, pola fraktur, dislokasi, teknik
reduksi, dan teknik bidai, dibutuhkan untuk mengelola cedera serta pemahaman tentang
pembacaan radiologi, membuat dan menginterpretasikan suatu hasil radiologi yang
dibutuhkan dalam penanganan terhadap kasus emergensi ortopedi.
Beberapa emergensi ortopedi dalam lingkup dunia kedokteran yang menjadi
prioritas dan penanganan khusus, yaitu : open fracture, dislokasi, fraktur pelvic yang
tidak stabil, osteomyelitis akut, compartement syndrome, fraktur dengan cidera
vaskuler, traumatik amputasi, dan fat embolism syndrome
DAFTAR PUSTAKA

Budiman C. 2010. Patah Tulang dan Pembidaian. Bandung: KORPS Sukarela


PMI UNPAD.
xa.yimg.com/kq/groups/.../Patah+Tulang+dan+Pembidaian.pptx (10
Desember 2012)

Georgopoulos D, Bouros D. 2003. Fat embolism syndrome clinical examination


is still the preferable diagnostic method. Chest. 2003;123:982–3.

Guthrie HC, Owens R, Bircher MD, 2010. Focus On Pelvic Fractures. The
journal of bone and joint
surgery.http://www.jbjs.org.uk/media/29777/focuson_pelvic.pdf (29
Januari 2013)

Jawed M, Naseem M. 2005. An update on fat embolism syndrome. Pak J Med


Sci. 2005;21:2–6.

John L Brusch. 2011. Septic Arthritis.


http://emedicine.medscape.com/article/236299-treatment#showall
Diakses tanggal 30 Januari 2013.

Moira Davenport. Spine serviks Fraktur di Pengobatan Darurat.2008.


http://emedicine.medscape.com/article/824380-overview#showall
Diakses tanggal 30 Januari 2013

Paula R. 2007. Compartment syndrome, extremity. http://www.emedicine.com


(29 Januari 2013)

Pike, Rockville. 2001. Amputation- Traumatic.


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000006.html (30
Januari 2012)

Rasjad, C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif Watampone.
Makassar: 2007. pp. 352-489

13
Richard Buckley. 2012. TREATMENT FRACTURE.
http://emedicine.medscape.com/article/1270717-treatment#showall
Diakses tanggal 29 Januari 2013

Schwartz.SI; Shires.GT; Spencer.FC. 2000. Intisari Prinsip Prinsip Ilmu Bedah.


EGC: Jakarta.

Scott H Bjerke. 2011. Ekstremitas Vascular Trauma Perawatan & Manajemen.


http://emedicine.medscape.com/article/462752-workup#showall
Diakses tanggal 30 Januari 2013

Shaikh, Nissar. 2009. Emergency management of fat embolism syndrome. J


Emerg Trauma Shock. 2009 Jan-Apr; 2(1): 29–33. doi: 10.4103/0974-
2700.44680

Thomas M Schaller. 2012. Open fracture.


http://emedicine.medscape.com/article/1269242-overview#showall
Diakses tanggal 29 Januari 2013

Wofe WG, De Vries WC. 1975. Oxygen toxicity. Annu Rev Med 1975;26:203-
14.

Yuliasih. 2009. Artritis Septik.


http://penelitian.unair.ac.id/artikel/879a293390a8508635485ed7e5b2e45
f_Unair.pdf (10 Desember 2012)

14
15

Anda mungkin juga menyukai