Alief Ari Mega VP
Alief Ari Mega VP
MEFENAMAT MENGGUNAKAN
POLIVINILPIROLIDON K-30
Makalah ini dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Biofarmasetika semester
VI yang diampu oleh Dhanang Prawira Nugraha, S.Farm., Apt
Disusun oleh :
( 1513206017)
April 2018
1
DAFTAR ISI
Halaman Judul......................................................................... 1
Kata Pengantar......................................................................... 2
Daftar Isi................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................. 5
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi BCS............................................................................. 6
2.2 Sejarah dan Manfaat BCS.......................................................... 6
2.3 Klasifikasi BCS......................................................................... 7
2.4 Karakteristik Asam Mefenat..................................................... 8
2.5 Klasifikasi Asam Mefenamat berdasar BCS............................ 9
2.6 Peningkatan Kelarutan BCS..................................................... 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................... 12
3.2 Saran.......................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................... 13
2
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, kiranya pantaslah saya
memanjatkan puji syukur atas segala nikmat yang telah diberikan kepada penulis,
baik kesempatan maupun kesehatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah BIOFARMASETIKA ini dengan baik. Salam dan salawat selalu tercurah
kepada junjungan kita baginda Rasulullah SAW, yang telah membawa manusia
dari alam jahiliyah menuju alam yang berilmu seperti sekarang ini.
Penyusun
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
rendah dapat dilakukan dengan memperkecil atau mengurangi ukuran partikel
yang dapat memperbesar luas permukaan sehingga dapat meningkatkan daya larut
suatu obat. Banyak metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan
obat, salah satunya adalah dengan menggunakan metode dispersi padat
(Varshosaz J., et al., 2008).
Dispersi padat merupakan dispersi dari satu atau lebih bahan aktif
dalam pembawa inert atau matriks pada keadaan padat. Dispersi padat
diklasifikasikan dalam enam tipe yaitu campuran eutektik sederhana, larutan
padat, larutan dan suspensi gelas, pengendapan amorf dalam pembawa kristal,
pembentukan senyawa kompleks dan kombinasi dari lima tipe di atas.
Pembuatan dispersi padat dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara
lain: metode peleburan (melting method), metode pelarutan (solvent method),
dan metode campuran (melting-solvent method) (Chiou & Riegelman, 1971).
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
klasifikasikan berdasarkan BCS atas dasar parameter kelarutan, permeabilitas dan
disolusi. Faktor-faktor yang mempengaruhi BCS diantaranya adalah
1. Laju disolusi
Dalam pedoman ini, suatu produk obat dikatakan cepat melarut jika tidak kurang
dari 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit, menurut
US Pharmacopeia (USP) alat disolusi I pada 100 rpm (atau alat disolusi II pada 50
rpm) dalam volume 900 ml atau kurang di setiap media seperti HCl 0,1 N atau
cairan lambung buatan tanpa enzim, larutan buffer pH 4,5, larutan buffer pH 6,8
atau cairan usus buatan tanpa enzim (Wagh dkk., 2010).
2. Kelarutan
Tujuan dari pendekatan BCS adalah untuk menentukan kesetimbangan kelarutan
suatu obat dalam kondisi pH fisiologis. Profil kelarutan terhadap pH suatu obat uji
harus ditentukan pada 37 ± 1°C dalam media air dengan rentang pH 1-7,5.
Kondisi pH untuk penentuan kelarutan dapat didasarkan pada karakteristik
ionisasi obat uji. Misalnya, ketika pKa obat berada di kisaran 3-5, kelarutan harus
ditentukan pada pH = pKa, pH = pKa +1, pH = pKa-1, dan pada pH = 1 dan 7,5.
Minimal dilakukan tiga kali percobaan. Larutan buffer standar yang dijelaskan
dalam USP dapat digunakan dalam studi kelarutan. Jika buffer ini tidak cocok
untuk alasan fisik atau kimia, larutan penyangga lainnya dapat digunakan. PH
larutan harus diverifikasi setelah penambahan obat untuk buffer (Wagh dkk.,
2010).
3. Permeabilitas
Permeabilitas didasarkan langsung pada tingkat penyerapan usus suatu obat pada
manusia atau tidak langsung pada pengukuran laju perpindahan massa melintasi
membran usus manusia. Suatu obat dikatakan sangat permeabel ketika tingkat
penyerapan pada manusia adalah 90% atau lebih dari dosis yang diberikan,
berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis
pembanding intravena (Reddy dkk., 2011).
7
2.2 Sejarah dan Manfaat BCS (Biopharmaceutical Classification System)
BCS (Biopharmaceutical Classification System) pertama kali dibuat pada
tahun 1995, oleh Amidon et al. dan sejak itu telah menjadi patokan dalam regulasi
bioekivalensi produk obat oral. BCS berfungsi sebagai alat pemandu bagi para
ilmuwan formulasi, untuk merekomendasikan strategi untuk meningkatkan
efisiensi pengembangan obat dengan pemilihan bentuk sediaan yang tepat dan uji
bioekivalen, untuk merekomendasikan kelas bentuk sediaan padat rilis cepat (IR),
yang mungkin bioekuivalen dinilai berdasarkan tes disolusi in-vitro, dan untuk
meletakkan efek eksipien (s) pada permeabilitas obat (Dressman J,2001).
Amidon et al (1995), mengembangkan Dasar teoritis untuk
menghubungkan pelarutan obat in vitro dengan bioavailabilitas in vivo.
Pendekatan ini didasarkan atas kelarutan aqueous obat dan penembusan obat
melalui saluran cerna. Dengan menggunakan pendekatan ini, Amidon et al (1995)
mempelajari karakteristik kelarutan dan penembusan berbagai perwakilan obat
dan mendapatkan suatu klasifikasi biofarmasetika obat untuk meramalkan
pelarutan obat in vitro dari produk obat oral padat pelepasan segera dengan
absorbsi in vivo. BCS mencirikan obat-obatan kedalam empat kelas sesuai dengan
kelarutan dan permeabilitas.
8
B. Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah)
Misalnya Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine. Obat
kelas II memiliki daya serap yang tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam
disolusi obat secara in vivo maka tingkat penyerapan terbatas kecuali dalam
jumlah dosis yang sangat tinggi. Penyerapan obat untuk kelas II biasanya lebih
lambat daripada kelas I dan terjadi selama jangka waktu yang lama. Korelasi in
vitro-in vivo (IVIVC) biasanya diterima untuk obat kelas I dan kelas II.
Bioavailabilitas produk ini dibatasi oleh tingkat pelarutnya. Oleh karena itu,
korelasi antara bioavailabilitas in vivo dan in vitro dalam solvasi dapat diamati
(Reddy dkk., 2011).
C. Kelas III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi)
Misalnya Simetidin, Acyclovir, Neomycin B, Captopril. Permeabilitas obat
berpengaruh pada tingkat penyerapan obat, namun obat ini mempunyai laju
disolusi sangat cepat. Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat
penyerapan obat. Karena pelarutan yang cepat, variasi ini disebabkan perubahan
permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor bentuk sediaan tersebut. Jika
formulasi tidak mengubah permeabilitas atau waktu durasi pencernaan, maka
kriteria kelas I dapat diterapkan (Reddy dkk., 2011).
D. Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah)
Misalnya taxol, hydroclorthiaziade, furosemid. Senyawa ini memiliki
bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka tidak diserap dengan baik dalam
mukosa usus. Senyawa ini tidak hanya sulit untuk terdisolusi tetapi sekali
didisolusi, sering menunjukkan permeabilitas yang terbatas di mukosa GI. Obat
ini cenderung sangat sulit untuk diformulasikan (Wagh dkk., 2010).
Batas kelas yang digunakan dalam BCS diantaranya adalah (Dash dkk.,2011) :
1. Suatu obat dianggap sangat larut ketika kekuatan dosis tertinggi yang larut
dalam ≤ 250 ml air pada rentang pH 1 sampai 7,5.
2. Suatu obat dianggap sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia
≥ 90% dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau
dibandingkan dengan dosis pembanding intravena.
9
3. Suatu produk obat dianggap cepat melarut ketika ≥ 85% dari jumlah berlabel
bahan obat larut dalam waktu 30 menit menggunakan alat disolusi I atau II dalam
volume ≤ 900 ml larutan buffer.
10
2.5 Klasifikasi Asam Mefenamat berdasarkan BCS.
Asam mefenamat merupakan analgetik yang praktis tidak larut dalam air
dan termasuk dalam kelas II Sistem Klasifikasi Biofarmasetika, sehingga
kecepatan obat melarut di dalam tubuh sangat mempengaruhi kecepatan
absorbsinya dan ketersediaan hayati. Kelarutan asam mefenamat yang sangat kecil
memerlukan bahan tambahan untuk dapat membantu meningkatkan kelarutannya.
Sedangkan untuk meningkatkan disolusi asam mefenamat dapat digunakan
metode dispersi padat (Rao & Nagabhushanam, 2003).
11
labu ukur 25 ml, cukupkan volume sampai tanda batas. Selanjutnya diukur
panjang gelombang (λ)analisis yaitu 285,31 nm.
12
2.6.5 Scanning Electrone Microscopy (SEM)
Perubahan termal interaksi antara kristal Asam mefenamat dan PVP K-30
ditunjukkan gambar 4. Dimana suhu peleburan terdapat antara kedua zat (Asam
mefenamat dan PVP K-30). Energi yang dibutuhkan semakin besar.
Termogram DTA dari Dispersi padat metode pelarutan menunjukkan dua puncak
endotermik.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem
klasifikasi biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang
mengukur permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam kondisi
tertentu
Asam Mefenamat merupakan derivat asam antranilat dan
termasuk kedalam golongan obat Anti Inflamasi Nonsteroid
(AINS). Bekerja dengan cara menghambat sintesa prostaglandin
dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzim
siklooksigenase (COX) sehingga mempunyai efek analgesik,
antiinflamasi dan antipiretik.
Dalam dispersi padat, bahan yang sukar larut akan
didispersikan ke dalam suatu matrik yang mudah larut
sehingga akan mengurangi ukuran partikel dan memungkinkan
terjadinya kompleksasi dan terbentuknya polimorfi yang lebih
mudah larut
3.2 Saran
Semoga makalah yang dibuat oleh penulis bermanfaat bagi penulis
dan pembaca,serta berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
14
DAFTAR PUSTAKA
15
Varshosaz J., et al., (2008). Dissolution enhancement of gliclazide using in situ
micronization by solvent change method. Powder Tech. 187: 222-300.
16