Anda di halaman 1dari 16

PENINGKATAN KELARUTAN SISTEM DISPERSI PADAT ASAM

MEFENAMAT MENGGUNAKAN

POLIVINILPIROLIDON K-30

Makalah ini dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Biofarmasetika semester
VI yang diampu oleh Dhanang Prawira Nugraha, S.Farm., Apt

Disusun oleh :

Alief Ari Mega Vidian Putri

( 1513206017)

STIKes Karya Putra Bangsa Tulungagung

Jl. Raya Tulungagung-Blitar KM 4

Kecamatan Sumbergempol – Tulungagung 66291

Telp/ Fax (0355) 331080 website www.stikeskaryaputrabangsa.ac.id

April 2018

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul......................................................................... 1
Kata Pengantar......................................................................... 2
Daftar Isi................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................. 5
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi BCS............................................................................. 6
2.2 Sejarah dan Manfaat BCS.......................................................... 6
2.3 Klasifikasi BCS......................................................................... 7
2.4 Karakteristik Asam Mefenat..................................................... 8
2.5 Klasifikasi Asam Mefenamat berdasar BCS............................ 9
2.6 Peningkatan Kelarutan BCS..................................................... 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................... 12
3.2 Saran.......................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................... 13

2
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, kiranya pantaslah saya
memanjatkan puji syukur atas segala nikmat yang telah diberikan kepada penulis,
baik kesempatan maupun kesehatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah BIOFARMASETIKA ini dengan baik. Salam dan salawat selalu tercurah
kepada junjungan kita baginda Rasulullah SAW, yang telah membawa manusia
dari alam jahiliyah menuju alam yang berilmu seperti sekarang ini.

Makalah BIOFARMASETIKA yang berjudul “PENINGKATAN


KELARUTAN SISTEM DISPERSI PADAT ASAM MEFENAMAT
MENGGUNAKAN POLIVINILPIROLIDON K-30”, saya menyadari bahwa
makalah ini masih ada hal-hal yang belum sempurna dan luput dari perhatian
penulis. Baik itu dari bahasa yang digunakan maupun dari teknik penyajiannya.
Oleh karena itu, dengan segala kekurangan dan kerendahan hati, saya sangat
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian demi perbaikan
makalah ini kedepannya.

Akhirnya, besar harapan penulis agar kehadiran makalah Biofarmasetika


ini dapat memberikan manfaat yang berarti untuk para pembaca. Dan yang
terpenting adalah semoga dapat turut serta memajukan ilmu pengetahuan

Tulungagung, April 2018

Penyusun

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berbagai macam obat analgetik, antireumatik dan antiinflamasi dewasa ini
banyak sekali digunakan oleh masyarakat. Untuk obat-obat golongan ini
dikehendaki adanya efek terapi yang cepat. Efek ini dapat dipenuhi apabila obat
tersebut dapat diabsorbsi dengan cepat dan disertai dengan dosis yang
cukup. Banyak bahan obat yang mempunyai kelarutan dalam air yang
rendah atau dinyatakan praktis tidak larut, umumnya mudah larut dalam
cairan organik. Senyawa-senyawa yang tidak larut seringkali menunjukkan
absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu (Ansel, 1989).
Suatu produk obat dalam bentuk padat mengalami suatu rangkaian
proses di dalam tubuh, dimulai dari proses desintegrasi, proses disolusi atau
pelarutan, proses absorbsi melewati membran sel di saluran pencernaan
sampai menuju sirkulasi sistemik untuk selanjutnya diedarkan ke seluruh
tubuh. Proses absorbsi yang terjadi sangat ditentukan oleh sifat fisikokimia
dari suatu molekul obat, seperti kecepatan disolusi. Untuk obat yang
memiliki kelarutan kecil di dalam air akan menyebabkan jumlah obat yang
diabsorbsi menjadi kecil (Shargel. et al., 2005).

Biovaibilitas dari suatu obat merupakan faktor penting dalam


mempengaruhi kelarutan suatu obat yang rendah, kelarutan obat ini juga yang
akan mempengaruhi kecepatan absorbsi dari suatu obat didalam tubuh. Daya
absorbsi yang rendah didalam tubuh dapat disebabkan oleh laju disolusi rendah
yang dimiliki suatu obat, disolusi rendah ini juga merupakan akibat dari
biovaibilitas yang rendah juga. Oleh karena itu dalam pengembangan formulasi
suatu obat untuk meningkatkan laju disolusi, bioavaibilitas serta kelarutan yang

4
rendah dapat dilakukan dengan memperkecil atau mengurangi ukuran partikel
yang dapat memperbesar luas permukaan sehingga dapat meningkatkan daya larut
suatu obat. Banyak metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan
obat, salah satunya adalah dengan menggunakan metode dispersi padat
(Varshosaz J., et al., 2008).

Dispersi padat merupakan dispersi dari satu atau lebih bahan aktif
dalam pembawa inert atau matriks pada keadaan padat. Dispersi padat
diklasifikasikan dalam enam tipe yaitu campuran eutektik sederhana, larutan
padat, larutan dan suspensi gelas, pengendapan amorf dalam pembawa kristal,
pembentukan senyawa kompleks dan kombinasi dari lima tipe di atas.
Pembuatan dispersi padat dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara
lain: metode peleburan (melting method), metode pelarutan (solvent method),
dan metode campuran (melting-solvent method) (Chiou & Riegelman, 1971).

Dalam dispersi padat, bahan yang sukar larut akan didispersikan ke


dalam suatu matrik yang mudah larut sehingga akan mengurangi ukuran
partikel dan memungkinkan terjadinya kompleksasi dan terbentuknya polimorfi
yang lebih mudah larut (Syukri & Mulyanti, 2007)

1.1 Rumusan Masalah


1.1.1 Bagaimana Definisi dari BCS ?
1.1.2 Bagaimana Sejarah dan Manfaat dari BCS ?
1.1.3 Bagaimana Pembagian dan Klasifikasi dalam BCS ?
1.1.4 Bagaimana Karakteristik dari Asam Mefenamat ?
1.1.5 Bagaimana Klasifikasia Asam Mefenamat berdasarkan BCS ?
1.1.6 Bagaimana cara meningkatkan kelarutan dari Asam Mefenamat ?
1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui Definisi dari BCS.
1.2.2 Untuk mengetahui Sejarah dan Manfaat dari BCS.
1.2.3 Untuk mengetahui Pembagian dan Klasifikasi dalam BCS.
1.2.4 Untuk mengetahui Karakteristik dari Asam Mefenamat.
1.2.5 Untuk mengetahui Klasifikasi Asam Mefenamat berdasarkan BCS.
1.2.6 Untuk mengetahui cara meningkatkan kelarutan dari Asam Mefenamat.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi BCS (Biopharmaceutical Classification System)

BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi


biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas
dan kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat untuk pemberian
obat secara oral. Untuk melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat
harus memenuhi persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi (Bethlehem,
2011).
Kelarutan adalah suatu senyawa obat diklasifikasikan sebagai senyawa
obat yang mudah larut jika kekuatan dengan dosis tertinggi dapat larut dalam 250
mL air atau kurang pada rentang pH dari 1-7,5 pada suhu 37°C (Lindeberg, et al.,
2002). Permeabilitas adalah suatu senyawa obat diklasifikasikan dengan tingkat
permeabilitas yang tinggi jika tingkat absorbsi dalam tubuh manusia lebih besar
dari 90% dari dosis yang diminum, bedasarkan pada kesetimbangan masa atau
dibandingkan dengan referensi dosis intravena (USP, 1994).
Bioavaibilitas obat merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan
untuk menilai efektifitas suatu sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu
tinggal obat dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
bioavaibilitas. Sistem dispersi padat dan sistem penghantaran obat mukoadhesif
merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan
kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna (Sutriyo dkk.,
2007). Prinsip BCS adalah bahwa jika dua produk obat menghasilkan profil
konsentrasi yang sama sepanjang salauran gastrointestinal (GI), mereka akan
menghasilkan profil plasma yang sama setelah pemberian oral. Fungsi obat BCS
yaitu BCS dikembangkan untuk meningkatkan kegunaan pengetahuan ilmiah pada
evaluasi zat aktif, seperti prediksi perilaku in vivo, hingga membantu badan
pengatur untuk menyetujui obat baru dan pada industri farmasi dalam
memperoleh registrasi produk. Parameter dan batasnya BCS suatu obat di

6
klasifikasikan berdasarkan BCS atas dasar parameter kelarutan, permeabilitas dan
disolusi. Faktor-faktor yang mempengaruhi BCS diantaranya adalah
1. Laju disolusi
Dalam pedoman ini, suatu produk obat dikatakan cepat melarut jika tidak kurang
dari 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit, menurut
US Pharmacopeia (USP) alat disolusi I pada 100 rpm (atau alat disolusi II pada 50
rpm) dalam volume 900 ml atau kurang di setiap media seperti HCl 0,1 N atau
cairan lambung buatan tanpa enzim, larutan buffer pH 4,5, larutan buffer pH 6,8
atau cairan usus buatan tanpa enzim (Wagh dkk., 2010).
2. Kelarutan
Tujuan dari pendekatan BCS adalah untuk menentukan kesetimbangan kelarutan
suatu obat dalam kondisi pH fisiologis. Profil kelarutan terhadap pH suatu obat uji
harus ditentukan pada 37 ± 1°C dalam media air dengan rentang pH 1-7,5.
Kondisi pH untuk penentuan kelarutan dapat didasarkan pada karakteristik
ionisasi obat uji. Misalnya, ketika pKa obat berada di kisaran 3-5, kelarutan harus
ditentukan pada pH = pKa, pH = pKa +1, pH = pKa-1, dan pada pH = 1 dan 7,5.
Minimal dilakukan tiga kali percobaan. Larutan buffer standar yang dijelaskan
dalam USP dapat digunakan dalam studi kelarutan. Jika buffer ini tidak cocok
untuk alasan fisik atau kimia, larutan penyangga lainnya dapat digunakan. PH
larutan harus diverifikasi setelah penambahan obat untuk buffer (Wagh dkk.,
2010).
3. Permeabilitas
Permeabilitas didasarkan langsung pada tingkat penyerapan usus suatu obat pada
manusia atau tidak langsung pada pengukuran laju perpindahan massa melintasi
membran usus manusia. Suatu obat dikatakan sangat permeabel ketika tingkat
penyerapan pada manusia adalah 90% atau lebih dari dosis yang diberikan,
berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis
pembanding intravena (Reddy dkk., 2011).

7
2.2 Sejarah dan Manfaat BCS (Biopharmaceutical Classification System)
BCS (Biopharmaceutical Classification System) pertama kali dibuat pada
tahun 1995, oleh Amidon et al. dan sejak itu telah menjadi patokan dalam regulasi
bioekivalensi produk obat oral. BCS berfungsi sebagai alat pemandu bagi para
ilmuwan formulasi, untuk merekomendasikan strategi untuk meningkatkan
efisiensi pengembangan obat dengan pemilihan bentuk sediaan yang tepat dan uji
bioekivalen, untuk merekomendasikan kelas bentuk sediaan padat rilis cepat (IR),
yang mungkin bioekuivalen dinilai berdasarkan tes disolusi in-vitro, dan untuk
meletakkan efek eksipien (s) pada permeabilitas obat (Dressman J,2001).
Amidon et al (1995), mengembangkan Dasar teoritis untuk
menghubungkan pelarutan obat in vitro dengan bioavailabilitas in vivo.
Pendekatan ini didasarkan atas kelarutan aqueous obat dan penembusan obat
melalui saluran cerna. Dengan menggunakan pendekatan ini, Amidon et al (1995)
mempelajari karakteristik kelarutan dan penembusan berbagai perwakilan obat
dan mendapatkan suatu klasifikasi biofarmasetika obat untuk meramalkan
pelarutan obat in vitro dari produk obat oral padat pelepasan segera dengan
absorbsi in vivo. BCS mencirikan obat-obatan kedalam empat kelas sesuai dengan
kelarutan dan permeabilitas.

2.3 Pembagian dan Klasifikasi BCS (Biopharmaceutical Classification System)


Klasifikasi BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem
klasifikasi biofarmasetika diklasifikasikan menjadi empat kelas, diantaranya
adalah :
A. Kelas I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi)
Misalnya Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol. Obat kelas I
menunjukkan penyerapan yang tinggi dan disolusi yang tinggi. Senyawa ini
umumnya sangat baik diserap. Senyawa Kelas I diformulasikan sebagai produk
dengan pelepasan segera, laju disolusi umumnya melebihi pengosongan lambung.
Oleh karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika setidaknya 85%
dari produk larut dalam 30 menit dalam pengujian disolusi in vitro dalam berbagai
nilai pH, oleh karena itu data bioekivalensi in vivo tidak diperlukan untuk
menjamin perbandingan produk (Wagh dkk., 2010).

8
B. Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah)
Misalnya Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine. Obat
kelas II memiliki daya serap yang tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam
disolusi obat secara in vivo maka tingkat penyerapan terbatas kecuali dalam
jumlah dosis yang sangat tinggi. Penyerapan obat untuk kelas II biasanya lebih
lambat daripada kelas I dan terjadi selama jangka waktu yang lama. Korelasi in
vitro-in vivo (IVIVC) biasanya diterima untuk obat kelas I dan kelas II.
Bioavailabilitas produk ini dibatasi oleh tingkat pelarutnya. Oleh karena itu,
korelasi antara bioavailabilitas in vivo dan in vitro dalam solvasi dapat diamati
(Reddy dkk., 2011).
C. Kelas III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi)
Misalnya Simetidin, Acyclovir, Neomycin B, Captopril. Permeabilitas obat
berpengaruh pada tingkat penyerapan obat, namun obat ini mempunyai laju
disolusi sangat cepat. Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat
penyerapan obat. Karena pelarutan yang cepat, variasi ini disebabkan perubahan
permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor bentuk sediaan tersebut. Jika
formulasi tidak mengubah permeabilitas atau waktu durasi pencernaan, maka
kriteria kelas I dapat diterapkan (Reddy dkk., 2011).
D. Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah)
Misalnya taxol, hydroclorthiaziade, furosemid. Senyawa ini memiliki
bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka tidak diserap dengan baik dalam
mukosa usus. Senyawa ini tidak hanya sulit untuk terdisolusi tetapi sekali
didisolusi, sering menunjukkan permeabilitas yang terbatas di mukosa GI. Obat
ini cenderung sangat sulit untuk diformulasikan (Wagh dkk., 2010).
Batas kelas yang digunakan dalam BCS diantaranya adalah (Dash dkk.,2011) :
1. Suatu obat dianggap sangat larut ketika kekuatan dosis tertinggi yang larut
dalam ≤ 250 ml air pada rentang pH 1 sampai 7,5.
2. Suatu obat dianggap sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia
≥ 90% dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau
dibandingkan dengan dosis pembanding intravena.

9
3. Suatu produk obat dianggap cepat melarut ketika ≥ 85% dari jumlah berlabel
bahan obat larut dalam waktu 30 menit menggunakan alat disolusi I atau II dalam
volume ≤ 900 ml larutan buffer.

2.4 Karakteristik Asam Mefenamat

Struktur Kimia Asam Mefenamat (Mefenamic Acid)

Bobot Molekul : 241.2851


Titik Lebur / Melting point : 230-231 °C
Log P : 5.12
pKa : 4,2
Kelarutan dalam air : 20 mg/L (pada suhu 30 °C)
Komposisi : C (74,67%), H (6,27%), N (5,81%), O (13,26%)
Jumlah Atom : 33

Asam Mefenamat merupakan derivat asam antranilat dan termasuk kedalam


golongan obat Anti Inflamasi Nonsteroid (AINS). Bekerja dengan cara
menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat
enzim siklooksigenase (COX) sehingga mempunyai efek analgesik,
antiinflamasi dan antipiretik. Analgetik adalah adalah obat yang mengurangi
atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Antipiretik adalah
obat yang menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-antipiretik adalah
obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang
tinggi. (Gunawan, 2007)

10
2.5 Klasifikasi Asam Mefenamat berdasarkan BCS.
Asam mefenamat merupakan analgetik yang praktis tidak larut dalam air
dan termasuk dalam kelas II Sistem Klasifikasi Biofarmasetika, sehingga
kecepatan obat melarut di dalam tubuh sangat mempengaruhi kecepatan
absorbsinya dan ketersediaan hayati. Kelarutan asam mefenamat yang sangat kecil
memerlukan bahan tambahan untuk dapat membantu meningkatkan kelarutannya.
Sedangkan untuk meningkatkan disolusi asam mefenamat dapat digunakan
metode dispersi padat (Rao & Nagabhushanam, 2003).

2.6 Cara meningkatkan kelarutan dari Asam Mefenamat


2.6.1 Pembuatan Dispersi Padat Asam Mefenamat-PVP K-30.
Dispersi padat Asam mefenamat – PVP K-30 dibuat dengan perbandingan 1:l,
1:3, 1:5. Dispersi padat Asam mefenamat – PVP K-30 dibuat dengan metoda
pelarutan. Timbang masing formula sesuai dengan komposisi. Serbuk Asam
mefenamat dan PVP K-30 masing – masing dilarutkan dengan pelarut etanol
96% di dalam beker glass. Lalu campurkan larutan PVP K-30 secara perlahan-
lahan ke dalam larutan Asam mefenamat sambil diaduk. Kemudian campuran
larutan tadi diuapkan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 40-50 OC sampai
kering. Padatan yang dihasilkan dikerok dan digerus dalam mortir, kemudian
dilewatkan pada ayakan mesh 60 dan simpan dalam desikator.
2.6.2 Pembuatan campuran fisik Asam Mefenamat-PVP K-30.
Campuran fisik Asam Mefenamat – PVP K-30 dibuat dengan cara Timbang
masing-masing formula, lalu gerus masing-masing bahan secara terpisah
terlebih dahulu. Lalu campur dan dihomogenkan secara ringan selama 10
menit simpan dalam desikator.
2.6.3 Penentuan panjang gelombang (λ)analisis
Panjang gelombang (λ)analisis ditentukan dengan cara melarutkan
100 mg Asam Mefenamat dengan NaOH 0,1 N dalam labu 100 ml
(konsentrasi 1000 ppm). Dipipet 10 ml larutan tersebut, dimasukkan kedalam
labu 100 ml, cukupkan volume sampai tanda batas dengan NaOH 0,1 N
(konsentrasi 100 ppm). Kemudian dipipet lagi 1,5 ml dimasukkan kedalam

11
labu ukur 25 ml, cukupkan volume sampai tanda batas. Selanjutnya diukur
panjang gelombang (λ)analisis yaitu 285,31 nm.

Pengukuran serapan untuk pembuatan kurva kalibrasi pada kurva serapan


derivat pertama dalam pelarut NaOH 0,1 N menghasilkan persamaan regresi
linear y = 0,039x + 0,029 dengan nilai koefisien korelasi 0,996

2.6.4 Uji disolusi

Panjang gelombang (λ)analisis ditentukan dengan cara melarutkan 50 mg

asam mefenamat ditimbang, dilarutkan dengan dapar pospat pH 7,4 dalam


labu ukur 100 ml, kemudian dicukupkan volume sampai tanda batas
(konsentrasi 500 ppm). Dipipet 10 ml larutan tersebut, dimasukkan kedalam
labu ukur 100 ml, cukupkan volume sampai tanda batas (konsentrasi 50
ppm). Di pipet lagi 9 ml masukkan ke dalam labu ukur 25 ml, dicukupkan
volumenya sampai tanda batas (konsentrasi 18 ppm). Selanjutnya diukur
panjang gelombang (λ)analisis yaitu 286 nm

Pengukuran serapan untuk pembuatan kurva kalibrasi pada kurva serapan


derivat pertama dalam pelarut Dapar fosfat pH 7,4 menghasilkan persamaan
regresi linear y = 0,039x + 0,027 dengan nilai koefisien korelasi 0,99.

12
2.6.5 Scanning Electrone Microscopy (SEM)

Gambar 3. menunjukkan analisis mikroskopik dengan Scanning Electron


Microscopy Dispersi padat Asam Mefenamat – PVP-30 metode pelarutan dan
campuran fisik Asam Mefenamat-PVP K-30. Dispersi padat Asam Mefenamat
– PVP K-30 hasil Dispersi Padat menunjukkan partikel yang menyatu antara
Asam Mefenamat – PVP K-30. Kokristal. Sedangkan pada campuran fisik
Asam Mefenamat-PVP K-30, masih dapat dibedakan antara Asam Mefenamat –
PVP K-30.

2.6.6 Analisis Differential Thermal Analisis (DTA)

Perubahan termal interaksi antara kristal Asam mefenamat dan PVP K-30
ditunjukkan gambar 4. Dimana suhu peleburan terdapat antara kedua zat (Asam
mefenamat dan PVP K-30). Energi yang dibutuhkan semakin besar.
Termogram DTA dari Dispersi padat metode pelarutan menunjukkan dua puncak
endotermik.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem
klasifikasi biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang
mengukur permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam kondisi
tertentu
Asam Mefenamat merupakan derivat asam antranilat dan
termasuk kedalam golongan obat Anti Inflamasi Nonsteroid
(AINS). Bekerja dengan cara menghambat sintesa prostaglandin
dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzim
siklooksigenase (COX) sehingga mempunyai efek analgesik,
antiinflamasi dan antipiretik.
Dalam dispersi padat, bahan yang sukar larut akan
didispersikan ke dalam suatu matrik yang mudah larut
sehingga akan mengurangi ukuran partikel dan memungkinkan
terjadinya kompleksasi dan terbentuknya polimorfi yang lebih
mudah larut
3.2 Saran
Semoga makalah yang dibuat oleh penulis bermanfaat bagi penulis
dan pembaca,serta berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Amidon GL, Lennernas H, Shah VP, and Crison JR, “A theoretical


basis for a biopharmaceutics drug classification: The correlation of in
vitro drug product dissolution and in vivo bioavailability,” Pharm. Res., 1995,
12, 413–420.
Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh
Farida Ibrahim, Asmanizar, Iis Aisyah, Edisi keempat, 255-271, 607-608, 700,
Jakarta, UI Press.

Bethlehem. (2011). Biopharmaceutical Classification System and Formulation


Development. Technical Brief 2011 Volume 9.

Chiou, W. L. & Riegelman, S. (1971). Pharmaceutical Applications of Solid


Dispersion System. Jurnal of Pharmaceutical Science, 60 (9),1281 – 1302.

Dash, Vikash., & Kesari, Asha. (2011). Role of Biopharmaceutical Classification


System In Drug Development Program. Journal of Current Pharmaceutical, 5 (1),
28-31.
Gunawan, S. G. (2007). Farmakologi dan Terapi. (Edisi V). Jakarta: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rao, P. V., and Nagabhushanam, V. M., 2011, Enhancement of Dissolution
Profile of Mefenamic Acid by Solid Dispersion Technique, International Journal
of Research In Pharmacy And Chemistry, Volume 1 (4), 1127-1134.

Reddy, Kumar., & Karunakar. (2011). Biopharmaceutics Classification System: A


Regulatory Approach. Dissolution Technologies, 31-37
Shargel, L., Wu-Pong, S., & Yu, A. B.C. (2005). Biofarmasetika
danmFarmakokinetika Terapan. (Edisi 2). Penerjemah : Fasich. Surabaya
:Universitas Airlangga Press.

Syukri, Y dan Mulyanti, E. (2007). Pengembangan Formulasi Tablet


Prednison Secara Kempa Langsung Dengan Teknik Dispersi Padat.Jurnal
Farmasi Indonesia, 3 (3) : 149-154.

15
Varshosaz J., et al., (2008). Dissolution enhancement of gliclazide using in situ
micronization by solvent change method. Powder Tech. 187: 222-300.

Wagh P., Millind., & Patel, Jatis. (2010). Biopharmaceutical Classification


System: Scientific Basis for Biowaiver Extensions. International Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical sciences, 2(1), 12-19.

16

Anda mungkin juga menyukai