Anda di halaman 1dari 18

Bagian IX Kesehatan Remaja

Bab 41 Identitas Seksual

Perbedaan remaja GLB dengan remaja biasa dan pendekatan klinisi


terhadapnya

41.5.1. Definisi

Definisi dan komponen orientasi seksual

Orientasi seksual atau kecenderungan seksual adalah pola ketertarikan


emosional, romantis, dan/atau seksual terhadap laki-laki, perempuan,
keduanya, tak satupun, atau jenis kelamin lain. American Psychological
Association menyebutkan bahwa istilah ini juga merujuk pada perasaan
seseorang terhadap "identitas pribadi dan sosial berdasarkan ketertarikan itu,
perilaku pengungkapannya, dan keanggotaan pada komunitas yang sama."

Orientasi seksual berbeda dengan identitas gender. Identitas gender


menyangkut tilikan diri terhadap seksualitas dirinya. Mudahnya, gay/lesbian
berbeda dengan waria/transgender. Seorang gay/lesbian mengidentifikasikan
dirinya tetap sebagai individu dengan jenis kelamin yang dimiliki, yang
memiliki ketertarikan terhadap individu dengan jenis kelamin yang sama.
Seorang transgender/waria, mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang
individu yang merasa terperangkap dalam bentuk fisik yang keliru (misal:
seorang waria adalah seorang laki-laki yang merasa jiwanya adalah
perempuan yang terjebak dalam fisik laki-laki).

Hermafrodit adalah kondisi yang berbeda lagi. Hermafrodit menyangkut


keadaan genital/seks/alat kelamin ganda, terdapat dua macam : genitalia pria
dan wanita
Menurut Swara Srikandi Indonesia (Asosiasi Lesbian dan Gay Indonesia),
orientasi seksual merupakan salah satu dari empat komponen seksualitas
yang terdiri dari daya tarik emosional, romantis, seksual dan kasih sayang
dalam diri seseorang dalam jenis kelamin tertentu. Tiga komponen
seksualitas adalah jenis kelamin biologis, identitas gender (arti psikologis pria
dan wanita) dan peranan jenis kelamin (norma-norma budaya untuk perilaku
feminin dan maskulin).

Definisi berbagai istilah terkait orientasi seksual

Tiga jenis orientasi seksual yang umum, adalah:

1. Heteroseksual

Aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari lawan
jenis. Heteroseksual adalah ketertarikan terhadap gender yang berbeda.
Misalnya laki-laki menyukai perempuan, atau sebaliknya. Heteroseksual ini
menjadi orientasi seksual yang dianggap umum di masyarakat. Karena
dominan, maka heteroseksual kerap dianggap sebagai konsep “normal” di
masyarakat.

2. Homoseksual

Aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari sesama
jenis. Homoseksual adalah ketertarikan dengan gender yang sama baik
secara emosional maupun seksual. Yang dimaksud emosional adalah
ketertarikan yang menggunakan perasaan atau cinta, sementara yang
dimaksud secara seksual adalah ketertarikan untuk berhubungan seks atau
orientasi seks. Gay dan lesbian termasuk bentuk dari homoseksual. Pria
homoseksual disebut gay dan perempuan homoseksual disebut dengan
lesbian.
3. Biseksual

Aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari lawan
jenis dan sesama jenis. Biseksual merupakan ketertarikan dengan laki-laki
dan perempuan baik secara emosional maupun seksual. Inilah bisa jadi
contoh kecairan seksualitas. Seorang biseksual bisa menyukai perempuan
melalui emosional saja dan menyukai seorang laki-laki secara seksual saja,
dan sebaliknya, atau bahkan hanya emosional saja atau seksual saja. Atau
bahkan, seorang biseksual bisa juga menjadi homoseksual atau
heteroseksual. Tapi ingat ya, bahwa orientasi seksual hanyalah ketertarikan,
bukan perilaku.

41.5.2. Prevalensi

Prevalensi di dunia

Di Amerika Serikat, prevalensi mereka yang homoseksual murni (100%)


berkisar antara 2% sampai 4%, sementarayang lebih menonjol homoseksual
daripada heteroseksual berkisar antara 7% hingga13% atau dengan kata lain
diperkirakan terdapat 10% dimensi homoseksual yang cukup berarti dalam
kehidupan masyarakat modern dan industri. Kinsley (dalam Kaplan & Sadock,
2010) juga menyebutkan bahwa 10% laki-laki adalah homoseksual. Untuk
wanita angka tersebut adalah 5% (Kinsley dalam Hawari,2009)

Prevalensi di Indonesia

Perkembangan LGBT di Indonesia walaupun tidak dapat dikatakan cukup


pesat, namun masyarakat makin menyadari akan adanya keberadaan kaum
LGBT disekitar mereka. Jumlahnya diperkirakan sekitar 1% dari total
penduduk ( penelitian dilakukan oleh komunitas gay, Gaya Nusantara
Surabaya). Namun, hasil penelitian yang berbeda diungkapkan oleh Permana
Muhammad selaku Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Gay, Waria,
dan lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (Gwl-Ina). Di Indonesia
perkiraan jumlah gay dan lesbian sekitar 800 ribu. Hal tersebut perkiraan pada
tahun 2009 dan diprediksikan akan terus meningkat dari tahun ke tahun.

41.5.3. Perkembangan Orientasi seksual pada anak dan remaja

Perkembangan orientasi seksual dan perjalanannya

Teori perkembangan psikoseksual Sigmund Freud adalah salah satu teori


yang paling terkenal, akan tetapi juga salah satu teori yang paling
kontroversial. Freud percaya kepribadian yang berkembang melalui
serangkaian tahapan masa kanak-kanak di mana mencari kesenangan-
energi dari id menjadi fokus pada area sensitif seksual tertentu. Energi
psikoseksual, atau libido , digambarkan sebagai kekuatan pendorong di
belakang perilaku. Menurut Sigmund Freud, kepribadian sebagian besar
dibentuk oleh usia lima tahun. Awal perkembangan berpengaruh besar dalam
pembentukan kepribadian dan terus mempengaruhi perilaku di kemudian
hari. Jika tahap-tahap psikoseksual selesai dengan sukses, hasilnya adalah
kepribadian yang sehat. Jika masalah tertentu tidak diselesaikan pada tahap
yang tepat, fiksasi dapat terjadi. fiksasi adalah fokus yang gigih pada tahap
awal psikoseksual. Sampai konflik ini diselesaikan, individu akan tetap
“terjebak” dalam tahap ini. Misalnya, seseorang yang terpaku pada tahap oral
mungkin terlalu bergantung pada orang lain dan dapat mencari rangsangan
oral melalui merokok, minum, atau makan.

1. Fase Oral

Pada tahap oral, sumber utama bayi interaksi terjadi melalui mulut, sehingga
perakaran dan refleks mengisap adalah sangat penting. Mulut sangat penting
untuk makan, dan bayi berasal kesenangan dari rangsangan oral melalui
kegiatan memuaskan seperti mencicipi dan mengisap. Karena bayi
sepenuhnya tergantung pada pengasuh (yang bertanggung jawab untuk
memberi makan anak), bayi juga mengembangkan rasa kepercayaan dan
kenyamanan melalui stimulasi oral.

Konflik utama pada tahap ini adalah proses penyapihan, anak harus menjadi
kurang bergantung pada para pengasuh. Jika fiksasi terjadi pada tahap ini,
Freud percaya individu akan memiliki masalah dengan ketergantungan atau
agresi. fiksasi oral dapat mengakibatkan masalah dengan minum, merokok
makan, atau menggigit kuku.

2. Fase Anal

Pada tahap anal, Freud percaya bahwa fokus utama dari libido adalah pada
pengendalian kandung kemih dan buang air besar. Konflik utama pada tahap
ini adalah pelatihan toilet – anak harus belajar untuk mengendalikan
kebutuhan tubuhnya. Mengembangkan kontrol ini menyebabkan rasa prestasi
dan kemandirian.

Menurut Sigmund Freud, keberhasilan pada tahap ini tergantung pada cara
di mana orang tua pendekatan pelatihan toilet. Orang tua yang memanfaatkan
pujian dan penghargaan untuk menggunakan toilet pada saat yang tepat
mendorong hasil positif dan membantu anak-anak merasa mampu dan
produktif. Freud percaya bahwa pengalaman positif selama tahap ini
menjabat sebagai dasar orang untuk menjadi orang dewasa yang kompeten,
produktif dan kreatif.

Namun, tidak semua orang tua memberikan dukungan dan dorongan bahwa
anak-anak perlukan selama tahap ini. Beberapa orang tua ‘bukan
menghukum, mengejek atau malu seorang anak untuk kecelakaan. Menurut
Freud, respon orangtua tidak sesuai dapat mengakibatkan hasil negatif. Jika
orangtua mengambil pendekatan yang terlalu longgar, Freud menyarankan
bahwa-yg mengusir kepribadian dubur dapat berkembang di mana individu
memiliki, boros atau merusak kepribadian berantakan. Jika orang tua terlalu
ketat atau mulai toilet training terlalu dini, Freud percaya bahwa kepribadian
kuat-analberkembang di mana individu tersebut ketat, tertib, kaku dan obsesif.
3. Fase Phalic

Pada tahap phallic , fokus utama dari libido adalah pada alat kelamin. Anak-
anak juga menemukan perbedaan antara pria dan wanita. Freud juga percaya
bahwa anak laki-laki mulai melihat ayah mereka sebagai saingan untuk ibu
kasih sayang itu. Kompleks Oedipusmenggambarkan perasaan ini ingin
memiliki ibu dan keinginan untuk menggantikan ayah.Namun, anak juga
kekhawatiran bahwa ia akan dihukum oleh ayah untuk perasaan ini, takut
Freud disebut pengebirian kecemasan.

Istilah Electra kompleks telah digunakan untuk menggambarkan satu set


sama perasaan yang dialami oleh gadis-gadis muda. Freud, bagaimanapun,
percaya bahwa gadis-gadis bukan iri pengalaman penis.

Akhirnya, anak menyadari mulai mengidentifikasi dengan induk yang sama-


seks sebagai alat vicariously memiliki orang tua lainnya. Untuk anak
perempuan, Namun, Freud percaya bahwa penis iri tidak pernah sepenuhnya
terselesaikan dan bahwa semua wanita tetap agak terpaku pada tahap ini.
Psikolog seperti Karen Horney sengketa teori ini, menyebutnya baik tidak
akurat dan merendahkan perempuan. Sebaliknya, Horney mengusulkan
bahwa laki-laki mengalami perasaan rendah diri karena mereka tidak bisa
melahirkan anak-anak.

4. Fase Latent

Periode laten adalah saat eksplorasi di mana energi seksual tetap ada, tetapi
diarahkan ke daerah lain seperti pengejaran intelektual dan interaksi sosial.
Tahap ini sangat penting dalam pengembangan keterampilan sosial dan
komunikasi dan kepercayaan diri.

Freud menggambarkan fase latens sebagai salah satu yang relatif stabil.
Tidak ada organisasi baru seksualitas berkembang, dan dia tidak membayar
banyak perhatian untuk itu. Untuk alasan ini, fase ini tidak selalu disebutkan
dalam deskripsi teori sebagai salah satu tahap, tetapi sebagai suatu periode
terpisah.

5. Fase Genital

Pada tahap akhir perkembangan psikoseksual, individu mengembangkan


minat seksual yang kuat pada lawan jenis. Dimana dalam tahap-tahap awal
fokus hanya pada kebutuhan individu, kepentingan kesejahteraan orang lain
tumbuh selama tahap ini. Jika tahap lainnya telah selesai dengan sukses,
individu sekarang harus seimbang, hangat dan peduli. Tujuan dari tahap ini
adalah untuk menetapkan keseimbangan antara berbagai bidang kehidupan.

Faktor genetika dan neuroendokrin terhadap perkembangan orientasi


seksual

Genetik dan hormon mempunyai konstribusi bagi berkembangnya orientasi


seksual seseorang. Orientasi seksual ini menurut beberapa ahli disamping
dipengaruhi oleh faktor proses perkembangan dan sosial budaya yang sudah
dibahas sebelumnya, ada faktor lain yang mempengaruhinya yaitu hereditas
individu dan hormon yang berkembang selama proses prenatal (Bailey,
Dunne, & Martin, 2000 as cited on Bobrow and Bailey, 2001). Pendapat ini
juga didukung oleh Robinson & Manning (2000) dan Putz dkk (2004) yang
mengatakan bahwa keadaan hormon testosteron dan estrogen yang ada
pada individu akan berdampak pada orientasi seksual individu tersebut. Oleh
karena itulah, terkadang kita temukan individu memiliki identitas seksual
sebagai seorang laki-laki tetapi mereka juga mempunyai ketertarikan seksual
pada jenisnya sendiri, atau sebaliknya.

Bailey (Sigelman dan Rider; 2009) juga menyatakan bahwa faktor


genetika dapat menentukan orientasi seksual seseorang. Bailey juga
melakukan penelitian yang berhubungan dengan genetik dan lingkungan
dengan menggunakan sampel orang kembar Australia. Dalam penelitian
tersebut Bailey membandingkan orientasi seksual antara kembar identik
(identical twin) dengan kembar bersaudara (fraternal twin). Bailey
menemukan bahwa 52% dari laki-laki kembar identik adalah homoseksual
gay atau biseksual, dan 48% dari wanita kembar identik adalah homoseksual
lesbian atau biseksual. Sementara itu untuk laki-laki kembar bersaudara
hanya 22% homoseksual gay atau biseksual, dan 16% wanita kembar
bersaudara merupakan homoseksual lesbian atau biseksual. Temuan ini
menggambarkan bahwa faktor genetika lebih mempunyai pengaruh terhadap
perkembangan orientasi seksual individu dari pada faktor lingkungan.

Lebih jauh, Zietsch dkk (2008) telah melakukan penelitian mengenai faktor
genetika sebagai suatu kecenderungan untuk menentukan orientasi seksual
seseorang. Zietsch dkk (2008) juga mengikuti Bailey dengan menggunakan
sampel kembar Australia. Akan tetapi penelitian ini lebih tertuju pada variable
orientasi seksual, identitas gender dan perjodohan dari orang-orang kembar
berdasarkan model dari genetika individu. Lebih jauh, sample kembar dalam
penelitian ini telah menekankan kepada kembar yang monozigot
(monozygotic twin) atau MZ, atau pasangan kembar, dan kembar yang
dizygot (dizygotic twin) atau DZ, atau kembar satu. Hasilnya menunjukkan
bahwa model genetika mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel
orientasi seksual, identitas gender, dan perjodohan dari orang-orang kembar.
Sedangkan untuk faktor lingkungan tidak menunjukkan hubungan yang
signifikan dengan variabel-variabel tersebut. Artinya, dalam kasus ini faktor
genetika lebih mempunyai pengaruh dari pada faktor lingkungan. Secara lebih
spesifik, temuan tersebut telah menjelaskan bahwa faktor genetik telah
berdampak pada perkembangan orientasi seksual laki-laki dan perempuan
kembar, khususnya orientasi seksual yang bersipat homoseksual.

Penelitian lain yang dilakukan Santtila dkk (2009) yang menjelaskan bahwa
androgenization sebagai kecenderungan genetik untuk menentukan orientasi
seksual, khususnya pada kasus homoseksual, karena androgen dianggap
sebagai horman yang dominan dimiliki oleh laki-laki dari pada wanita.
Berdasarkan penelitian tersebut, para ilmuwan sepakat bahwa faktor genetik
dan hormon mempunyai pengaruh terhadap orientasi seksual seseorang.
Akan tetapi, kedua faktor ini juga tidak dapat menjelaskan semua alasan
mengapa seseorang memilih orientasi seksualnya secara spesifik dan
menjadi homoseksual dan biseksual.

Penelitian lain yang dilaporkan oleh Jeffreys (2006) yang melakukan studi
kasus untuk menginvestigasi kelainan-kelainan yang berhubungan dengan
identitas gender dan kecenderungan orientasi seksual. Jeffreys (2006)
menggunakan kasus “Alex” di Australia. Alek adalah seorang wanita yang
mendapatkan perlakuan hormonal dan operasi pembedahan pada usia 18
tahun. Ketika pada masa kanak-kanak, ayah Alek memperlakukannya seperti
anak laki-laki. Ayahnya mengajarakannya bagaimana untuk bertarung dan
melindungi dirinya. Ibunya juga suka melihat Alek menggunakan pakaian laki-
laki, dan pamannya pun telah mencoba untuk memikatnya secara seksual.
Singkatnya, ketika Alek mendapatkan menstruasi, Alek merasa tidak nyaman
dan membenci dirinya sendiri, sehingga Alek menjadi lebih agresif dan
mencoba untuk membunuh seseorang. Akhirnya, berdasarkan data therapi
klinik Alek, pengadilan keluarga Australia memberikan perlakuan hormon dan
operasi pembedahan kepada Alek

Kasus Alek diatas telah memberikan pencerahan terhadap faktor-faktor


yang mempengaruhi orientasi seksual seseorang. Berdasarkan kasus
tersebut maka dapat dengan jelas terlihat bahwa orientasi seksual dan
perilaku seksual yang ada pada diri Alek, bukan hanya disebabkan oleh faktor
genetika dan hormon, tetapi juga disebabkan oleh faktor proses
perkembangan (pengalaman alek dimasa kanak-kanak), dan faktor sosial
budaya (orang-orang disekitar Alek yang telah mewarnai kehidupan Alek).
Jadi dalam kasus ini, kombinasi ketiga faktor tersebut telah mempengaruhi
orientasi seksual dan perilaku seksual Alek. Oleh karena itulah, penting bagi
kita untuk tidak hanya membahas faktor penyebab, tetapi juga melihat
pandangan mengenai orientasi seksual ini dari sudut pandang kesehatan dan
agama.

Hubungan gender noncorfimity dan gender role behaviour dengan


perkembangan seksual

Hubungan disforia gender dengan GLB

Isu LGBT (Lesbian Gay Biseksual dan Transgender) yang kian menguak saat
ini menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat, khususnya di tanah
air. Menyoal hal tersebut, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa
Indonesia (PDSKJI) mengacu pada Diagnostic and Statistical Manual for
Mental Disorders (DSM) dan Pedoman dan Penggolongan Diagnosis
Gangguan Jiwa (PPDGJ) III bahwa LGBT masuk ke dalam Gender Dysphoria
dan bukan termasuk gangguan jiwa. Namun hal ini ada kaitannya dengan
golongan Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Lalu, apa yang
dimaksud dengan Gender Dysphoria?

Gender Dysphoria dan gender yang tertukar

Dilansir dari situs psychology today, Gender Dysphoria didefinisikan sebagai


perasaan yang sangat kuat oleh seseorang mengenai kesalahan orientasi
seksual mereka yang memiliki keterbalikan dari apa yang melekat pada
mereka dan merasa tidak dengan orientasi seksual yang ada pada diri
mereka. Seseorang yang mengalami gender dysphoria biasanya bertingkah
laku dan berpakaian berkebalikan dengan jenis kelamin yang mereka miliki
saat ini. Contohnya yaitu seorang merasa bahwa dirinya berada di dalam
“tubuh yang salah”. Seorang perempuan yang berpakaian dan berperilaku
maskulin layaknya seorang laki-laki, karena ia merasa bahwa dirinya
bukanlah seorang perempuan. Begitu juga sebaliknya, seorang laki-laki
berpakaian dan bertingkah laku seperti perempuan merasakan bahwa dia
seharusnya tidak menjadi seorang laki-laki, akan tetapi menjadi perempuan
merupakan bentuk kenyamanan mereka. Tidak hanya merubah penampilan
dan tingkah laku, seseorang yang mengalami gender dysphoria yang kuat
tidak segan-segan untuk mengubah jenis kelamin mereka sesuai dengan apa
yang mereka inginkan.

41.5.4. Stigma di masyarakat

Stigma di masyarakat dan pengaruhnya terhadap kesehatan mental

Pandangan masyarakat mengenai isu LGBT masih beragam tergantung latar


belakang budaya, agama, kelompok sosial, media, keluarga, pergaulan
sebaya, gender dan interaksi dengan individu LGBT [ Lehman & Thornwel ].
Tingkat penolakan, dan penerimaan terhadap LGBT sangat tergantung pada
faktor faktor di atas.

LGBT di Indonesia masih merupakan hal yang tabu khususnya bagi kelompok
yang pemikirannya didasari agama. Sebagian besar menghujat perilaku dan
orientasi seksual kelompok LGBT ini. MUI bahkan sudah mengeluarkan fatwa
yang menolak praktek hubungan badan dan perkawinan sesama jenis.

Ada juga sebagian masyarakat bersikap netral, menerima keadaan LGBT


namun tidak mendukung LGBT melakukan kegiatan secara terbuka.
Kelompok ini beranggapan semua orang mempunyai hak yang sama untuk
hidup, memenuhi hak hak sebagai manusia namun tetap mempertimbangkan
konteks lokal. Sedangkan kelompok yang pendukung adalah kelompok
LGBT, para aktivist dan penggerak kesetaraan yang menginginkan LGBT
juga punya hak yang sama tanpa batasan dalam konteks apapun, termasuk
dalam perkawinan sejenis

Sampai saat ini eksistensi LGB-T di masyarakat ditolak oleh kultur budaya
dan juga agama, karena dianggap sesuatu hal yang aneh, tabu, dosa, bahkan
dikucilkan dan mendapat stigma atau diskriminasi. Oleh karenanya komunitas
tersebut tidak berani terus terang dan tidak berani tampil, akan tetapi secara
diam-diam tetap melakukan perilaku seksual berisiko dan bahkan melakukan
propaganda yang dapat menyebabkan peningkatan penularan HIV dan
hepatitis C. Selain itu mereka juga mengalami stres dan depresi serta tidak
jarang untuk mengatasinya menggunakan cara yang destruktif, seperti minum
alkohol atau menggunakan drugs (NAFZA). Di UK angka pengguna narkotik
dan psikotropik di kalangan LGB-T lebih tinggi dari populasi umum

Risiko menjadi GLB

Dukungan keluarga dan lingkungan

41.5.5. Aspek kesehatan fisik dan mental

41.5.5.1 Depresi dan keinginan mengakhiri hidup

Angka bunuh diri pada remaja GLB dibandingkam remaja biasa

Faktor timbulnya depresi dan keinginan bunuh diri

Tata laksana

41.5.5.2 Infeksi menular seksual

Perilaku seksual yang menjadi penyebab IMS

Menurut Karang Taruna(2001), sesuai dengan sebutannya cara


penularan Penyakit Menular Seksual ini terutama melalui hubungan seksual
yang tidak terlindungi, baik pervaginal, anal, maupun oral. Cara penularan
lainnya secara perinatal, yaitu dari ibu ke bayinya, baik selama kehamilan,
saat kelahiran ataupun setelah lahir. Bisa melalui transfuse darah atau kontak
langsung dengan cairan darah atau produk darah. Dan juga bisa melalui
penggunaan pakaian dalam atau handuk yang telah dipakai penderita
Penyakit Menular Seksual(PMS).

Perilaku seks yang dapat mempermudah penularan PMS adalah :

1. Berhubungan seks yang tidak aman (tanpa menggunakan kondom).

2. Gonta-ganti pasangan seks.

3. Prostitusi.

4. Melakukan hubungan seks anal (dubur), perilaku ini akan menimbulkan


luka atau radang karena epitel mukosa anus relative tipis dan lebih mudah
terluka dibanding epitel dinding vagina.

5. Penggunaan pakaian dalam atau handunk yang telah dipakai penderita


PMS (Hutagalung, 2002)

Berbagai IMS yang dapat menyerang remaja GLB

IMS pada MSM (men who have sex with men) serta penularan HIV

IMS lokal asimtomatik

Gonore dapat ditularkan melalui hubungan seksual oro-genital, demikian pula


dengan infeksi Chlamydia trachomatis. Gonore dan klamidiosis umumnya
tidak menimbulkan gejala di daerah rongga mulut dan keluhan pada
orofarings tidak khas untuk keduanya, sehingga daerah tersebut sering
menjadi sumber IMS yang kurang diperhatikan. Ulkus akibat sifilis di daerah
rongga mulut dan anus juga sering luput dari perhatian karena tanpa nyeri
Secara keseluruhan, keluhan daerah anus-rektum tidak berbeda antara LSL
dengan dan tanpa gonore / klamidiosis rektum, meskipun adakalanya duh
tubuh anus yang banyak disertai nyeri dapat dijumpai pada gonore rektum.
Tanpa pemeriksaan laboratorium di daerah orofarings atau rektum, sebagian
besar gonore / klamidiosis daerah tersebut dapat tidak terdiagnosis sehingga
terus berlanjut tanpa diobati

IMS lokal simtomatik

IMS di daerah orofarings

Pasien dengan gonore dan klamidiosis orofarings, kurang dari 20%


menunjukkan gejala faringitis dan/atau tonsilitis. Gonore orofarings lebih sulit
diobati dibandingkan gonore anogenitalis, dan akan berperan sebagai sumber
penularan.

IMS di daerah penis

Uretritis gonokokus umumnya simtomatik, dengan gejala berupa nyeri/rasa


gatal saat berkemih, disertai duh tubuh mukopurulen. Keluhan pada
klamidiosis uretra biasanya lebih ringan dengan duh tubuh lebih encer.
Limfogranuloma venereum (LGV) dapat menimbulkan ulkus genitalis dan
infeksi uretra disertai adenopati inguinalis, dan harus selalu didiagnosis
banding dengan herpes genitalis atau sifilis primer. Hubungan seks secara
orogenitalis dapat menyebabkan penularan berbagai patogen saluran nafas
misalnya Streptococci spp dan Haemophilis parainfluenzae; sedangkan
hubungan seksual anogenital tanpa pelindung dapat menyebabkan uretritis
E.coli.

Proktitis

Keluhan yang ditimbulkan oleh proktitis berupa: nyeri, purulen, dan/atau duh
tubuh hemoragik, tenesmus, iritasi, gatal, diare dan/atau konstipasi. Tidak
jarang pasien dengan IMS rektum yang parah misalnya LGV disertai keluhan
mirip dengan penyakit Crohn. Mereka akan datang lebih dulu pada seorang
ahli gastroenterologi dan mendapat pengobatan sebagai pasien dengan
penyakit radang saluran cerna. Proktitis akibat infeksi lebih sering ditemukan
dibandingkan dengan bukan infeksi, dengan penyebab umum gonore,
klamidiosis, sifilis, dan herpes simpleks.

Sifilis

Sifilis yang tidak diobati bersifat sangat menular dalam 2 tahun pertama (sifilis
dini). Jalur utama penularan berasal dari hubungan seksual oro- dan
anogenitalis tanpa pelindung. Karena hubungan seks oro-genitalis sering
dianggap kurang berisiko tertular HIV, cara ini sering dilakukan kalangan LSL
baik dengan HIV atau tanpa HIV, namun justru merupakan jalur penularan
yang penting. Jumlah pasangan seksual yang banyak serta diagnosis yang
tertunda dapat meningkatkan angka penularan dan kesulitan notifikasi
pasangan seksual. Semua ulkus genitalis, eksantema tanpa rasa gatal, serta
gejala penyakit yang parah (misalnya demam, kelelahan yang sangat,
limfadenopati, pembesaran hati dan limpa, terdapat enzim hati yang
meningkat, gejala neurologis atau oftalmologis) tanpa penyebab yang jelas,
harus dilakukan pemeriksaan sifilis terutama pada LSL tanpa memandang
status HIV yang disandangnya.

Infeksi human papillomavirus (HPV)

HPV sangat mudah menular melalui semua cara hubungan seksual. Sel basal
epitel anus sangat rentan terhadap infeksi HPV. Sekitar 15 tipe HPV
dikelompokkan sebagai high risk HPV (misalnya HPV tipe 16 dan 18) karena
kaitannya dengan kanker serviks, kanker daerah anogenitalis, serta
karsinoma sel skuamosa daerah tonsil. Di samping itu terdapat pula sejumlah
low risk HPV (misalnya tipe 6 dan 11) yang berkaitan dengan kutil kelamin
atau kondilomata akuminata. Meskipun dijumpai infeksi HPV persisten,
perkembangan menjadi displasia prakanker terjadi relatif jarang dan lambat,
sehingga dapat dilakukan intervensi untuk waktu yang cukup lama. High risk
HPV pada pasien HIV(-) dihubungkan dengan kondiloma anus dan
perdarahan anus pada laki-laki HIV (+)
Kanker anus

Faktor risiko terjadi lesi intraepitelial skuamosa pada LSL tanpa infeksi HIV
dan kanker anus pada LSL dengan HIV meliputi usia lebih tua saat pertama
kali melakukan hubungan seksual anus reseptif, sering melakukan hubungan
seks anus reseptif tanpa pelindung, penggunaan obat suntik, infeksi HPV
pada anus serta banyak jenis HPV yang bersamaan menginfeksi seseorang.
Faktor lain yang turut berperan di antaranya hitung sel CD4 yang rendah dan
kebiasaan merokok. Insidens kanker anus paling tinggi dijumpai pada LSL
yang telah terinfeksi HIV. Semakin banyak LSL dengan infeksi HIV yang
bertahan hidup, memungkinkan penyakit HPV praneoplastik berkembang
menjadi kanker, sedangkan perbaikan imunologis tidak berpengaruh
terhadap insidens infeksi HPV. Kanker anus merupakan salah satu tumor
non-AIDS yang paling sering ditemukan pada LSL dengan infeksi HIV dan
terus bertambah meskipun telah ada obat antiretrovirus yang efektif.

Infeksi HIV

IMS merupakan petanda hubungan seksual berisiko dan dapat memudahkan


penularan HIV. IMS juga mempermudah transmisi HIV melalui beberapa
mekanisme biologis, misalnya meningkatkan pelepasan HIV genitalis,
meningkatkan rekrutmen limfosit dan makrofag yang siap terinfeksi, dan
merusak mukosa penghalang. Gonore, sifilis, dan klamidiosis berkaitan
dengan sejumlah besar HIV dalam cairan genitalia pada orang yang terinfeksi
IMS dan HIV secara bersamaan. Gonore daerah anorektum merupakan faktor
risiko independen untuk serokonversi HIV, dan insidens tinggi infeksi HIV
dijumpai setelah gonore anorektum. LSL dengan infeksi HIV mengalami
beban IMS yang lebih besar, terutama uretritis gonore dan sifilis dan lebih
sering asimtomatik dibandingkan dengan LSL tanpa infeksi HIV
41.5.5.3 Penyalahgunaan Zat

Prevalensi penyalahgunaan zat pada remaja GLB

Sampai saat ini eksistensi LGB-T di masyarakat ditolak oleh kultur budaya
dan juga agama, karena dianggap sesuatu hal yang aneh, tabu, dosa, bahkan
dikucilkan dan mendapat stigma atau diskriminasi. Oleh karenanya komunitas
tersebut tidak berani terus terang dan tidak berani tampil, akan tetapi secara
diam-diam tetap melakukan perilaku seksual berisiko dan bahkan melakukan
propaganda yang dapat menyebabkan peningkatan penularan HIV dan
hepatitis C. Selain itu mereka juga mengalami stres dan depresi serta tidak
jarang untuk mengatasinya menggunakan cara yang destruktif, seperti minum
alkohol atau menggunakan drugs (NAFZA). Di UK angka pengguna narkotik
dan psikotropik di kalangan LGB-T lebih tinggi dari populasi umum

41.5.5.4 Obesitas dan gangguan makan

Obesitas dan gangguan makan pada remaja GLB dibandingkan remaja


biasa

41.5.5.5 Masalah psikososial

Masalah akademik sekolah, keluarga, bullying, kabur dari rumah dll

41.5.6. Rekomendasi pelayanan kesehatan

41.5.6.1. Evaluasi

Tujuan pelayanan kesehatan pada remaja GLB

Sikap klinisi dan situasi pemeriksaan yang nyaman bagi pasien GLB

Komunikasi efektif dan kemampuan bertanya hal-hal sensitive

41.5.6.2. Edukasi Seks


Perilaku sex yang sehat

Vaksinasi hepatitis A dan B serta HPV

41.5.6.3. Kesehatan mental

Pentingnya kesadaran akan kesehatan mental pada remaja GLB

Anggapan tentang orientasi GLB penyakit atau bukan

Penanganan dan bagaimana merespon bullying

Penanganan remaja GLB dengan status mental terganggu

41.6. Ringkasan Bab

41.7. Bacaan anjuran

1. Alhamdu. Orientasi Seksual; Faktor, Pandangan Kesehatan dan


Agama Studi Literatur. Palembang: UIN Raden Fatah.
2. Azmi KR. Enam Kontinum Dalam Konseling Transgender Sebagai
Alternatif Solusi Untuk Konseli LGBT. Jurnal Psikologi Pendidikan &
Konseling. Volume 1 Nomor 1 Juni 2015. Hal 50-57
3. Hawari, D. 2009. Pendekatan psikoreligi pada homoseksual. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
4. http://belajarpsikologi.com/tahap-perkembangan-psikososial-menurut-
sigmund-freud/
5. http://siansumampow-psy.blogspot.com/2016/04/orientasi-seksual-
psikologi-gender.html
6. https://www.konsula.com/blog/mengenal-gender-dysphoria-pada-lgbt/
7. Kaplan, H.I., Sadock, B.J. & Gerbb, J.A. 2010. Sinopsis psikiatri (Jilid
dua). Jakarta:Binapura Aksara
8. Oetomo, Dede. Memberi Suara pada yang Bisu. Yogyakarta: Pustaka
Marwa. 2003

Anda mungkin juga menyukai