Bagian IX Kesehatan Remaja
Bagian IX Kesehatan Remaja
41.5.1. Definisi
1. Heteroseksual
Aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari lawan
jenis. Heteroseksual adalah ketertarikan terhadap gender yang berbeda.
Misalnya laki-laki menyukai perempuan, atau sebaliknya. Heteroseksual ini
menjadi orientasi seksual yang dianggap umum di masyarakat. Karena
dominan, maka heteroseksual kerap dianggap sebagai konsep “normal” di
masyarakat.
2. Homoseksual
Aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari sesama
jenis. Homoseksual adalah ketertarikan dengan gender yang sama baik
secara emosional maupun seksual. Yang dimaksud emosional adalah
ketertarikan yang menggunakan perasaan atau cinta, sementara yang
dimaksud secara seksual adalah ketertarikan untuk berhubungan seks atau
orientasi seks. Gay dan lesbian termasuk bentuk dari homoseksual. Pria
homoseksual disebut gay dan perempuan homoseksual disebut dengan
lesbian.
3. Biseksual
Aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari lawan
jenis dan sesama jenis. Biseksual merupakan ketertarikan dengan laki-laki
dan perempuan baik secara emosional maupun seksual. Inilah bisa jadi
contoh kecairan seksualitas. Seorang biseksual bisa menyukai perempuan
melalui emosional saja dan menyukai seorang laki-laki secara seksual saja,
dan sebaliknya, atau bahkan hanya emosional saja atau seksual saja. Atau
bahkan, seorang biseksual bisa juga menjadi homoseksual atau
heteroseksual. Tapi ingat ya, bahwa orientasi seksual hanyalah ketertarikan,
bukan perilaku.
41.5.2. Prevalensi
Prevalensi di dunia
Prevalensi di Indonesia
1. Fase Oral
Pada tahap oral, sumber utama bayi interaksi terjadi melalui mulut, sehingga
perakaran dan refleks mengisap adalah sangat penting. Mulut sangat penting
untuk makan, dan bayi berasal kesenangan dari rangsangan oral melalui
kegiatan memuaskan seperti mencicipi dan mengisap. Karena bayi
sepenuhnya tergantung pada pengasuh (yang bertanggung jawab untuk
memberi makan anak), bayi juga mengembangkan rasa kepercayaan dan
kenyamanan melalui stimulasi oral.
Konflik utama pada tahap ini adalah proses penyapihan, anak harus menjadi
kurang bergantung pada para pengasuh. Jika fiksasi terjadi pada tahap ini,
Freud percaya individu akan memiliki masalah dengan ketergantungan atau
agresi. fiksasi oral dapat mengakibatkan masalah dengan minum, merokok
makan, atau menggigit kuku.
2. Fase Anal
Pada tahap anal, Freud percaya bahwa fokus utama dari libido adalah pada
pengendalian kandung kemih dan buang air besar. Konflik utama pada tahap
ini adalah pelatihan toilet – anak harus belajar untuk mengendalikan
kebutuhan tubuhnya. Mengembangkan kontrol ini menyebabkan rasa prestasi
dan kemandirian.
Menurut Sigmund Freud, keberhasilan pada tahap ini tergantung pada cara
di mana orang tua pendekatan pelatihan toilet. Orang tua yang memanfaatkan
pujian dan penghargaan untuk menggunakan toilet pada saat yang tepat
mendorong hasil positif dan membantu anak-anak merasa mampu dan
produktif. Freud percaya bahwa pengalaman positif selama tahap ini
menjabat sebagai dasar orang untuk menjadi orang dewasa yang kompeten,
produktif dan kreatif.
Namun, tidak semua orang tua memberikan dukungan dan dorongan bahwa
anak-anak perlukan selama tahap ini. Beberapa orang tua ‘bukan
menghukum, mengejek atau malu seorang anak untuk kecelakaan. Menurut
Freud, respon orangtua tidak sesuai dapat mengakibatkan hasil negatif. Jika
orangtua mengambil pendekatan yang terlalu longgar, Freud menyarankan
bahwa-yg mengusir kepribadian dubur dapat berkembang di mana individu
memiliki, boros atau merusak kepribadian berantakan. Jika orang tua terlalu
ketat atau mulai toilet training terlalu dini, Freud percaya bahwa kepribadian
kuat-analberkembang di mana individu tersebut ketat, tertib, kaku dan obsesif.
3. Fase Phalic
Pada tahap phallic , fokus utama dari libido adalah pada alat kelamin. Anak-
anak juga menemukan perbedaan antara pria dan wanita. Freud juga percaya
bahwa anak laki-laki mulai melihat ayah mereka sebagai saingan untuk ibu
kasih sayang itu. Kompleks Oedipusmenggambarkan perasaan ini ingin
memiliki ibu dan keinginan untuk menggantikan ayah.Namun, anak juga
kekhawatiran bahwa ia akan dihukum oleh ayah untuk perasaan ini, takut
Freud disebut pengebirian kecemasan.
4. Fase Latent
Periode laten adalah saat eksplorasi di mana energi seksual tetap ada, tetapi
diarahkan ke daerah lain seperti pengejaran intelektual dan interaksi sosial.
Tahap ini sangat penting dalam pengembangan keterampilan sosial dan
komunikasi dan kepercayaan diri.
Freud menggambarkan fase latens sebagai salah satu yang relatif stabil.
Tidak ada organisasi baru seksualitas berkembang, dan dia tidak membayar
banyak perhatian untuk itu. Untuk alasan ini, fase ini tidak selalu disebutkan
dalam deskripsi teori sebagai salah satu tahap, tetapi sebagai suatu periode
terpisah.
5. Fase Genital
Lebih jauh, Zietsch dkk (2008) telah melakukan penelitian mengenai faktor
genetika sebagai suatu kecenderungan untuk menentukan orientasi seksual
seseorang. Zietsch dkk (2008) juga mengikuti Bailey dengan menggunakan
sampel kembar Australia. Akan tetapi penelitian ini lebih tertuju pada variable
orientasi seksual, identitas gender dan perjodohan dari orang-orang kembar
berdasarkan model dari genetika individu. Lebih jauh, sample kembar dalam
penelitian ini telah menekankan kepada kembar yang monozigot
(monozygotic twin) atau MZ, atau pasangan kembar, dan kembar yang
dizygot (dizygotic twin) atau DZ, atau kembar satu. Hasilnya menunjukkan
bahwa model genetika mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel
orientasi seksual, identitas gender, dan perjodohan dari orang-orang kembar.
Sedangkan untuk faktor lingkungan tidak menunjukkan hubungan yang
signifikan dengan variabel-variabel tersebut. Artinya, dalam kasus ini faktor
genetika lebih mempunyai pengaruh dari pada faktor lingkungan. Secara lebih
spesifik, temuan tersebut telah menjelaskan bahwa faktor genetik telah
berdampak pada perkembangan orientasi seksual laki-laki dan perempuan
kembar, khususnya orientasi seksual yang bersipat homoseksual.
Penelitian lain yang dilakukan Santtila dkk (2009) yang menjelaskan bahwa
androgenization sebagai kecenderungan genetik untuk menentukan orientasi
seksual, khususnya pada kasus homoseksual, karena androgen dianggap
sebagai horman yang dominan dimiliki oleh laki-laki dari pada wanita.
Berdasarkan penelitian tersebut, para ilmuwan sepakat bahwa faktor genetik
dan hormon mempunyai pengaruh terhadap orientasi seksual seseorang.
Akan tetapi, kedua faktor ini juga tidak dapat menjelaskan semua alasan
mengapa seseorang memilih orientasi seksualnya secara spesifik dan
menjadi homoseksual dan biseksual.
Penelitian lain yang dilaporkan oleh Jeffreys (2006) yang melakukan studi
kasus untuk menginvestigasi kelainan-kelainan yang berhubungan dengan
identitas gender dan kecenderungan orientasi seksual. Jeffreys (2006)
menggunakan kasus “Alex” di Australia. Alek adalah seorang wanita yang
mendapatkan perlakuan hormonal dan operasi pembedahan pada usia 18
tahun. Ketika pada masa kanak-kanak, ayah Alek memperlakukannya seperti
anak laki-laki. Ayahnya mengajarakannya bagaimana untuk bertarung dan
melindungi dirinya. Ibunya juga suka melihat Alek menggunakan pakaian laki-
laki, dan pamannya pun telah mencoba untuk memikatnya secara seksual.
Singkatnya, ketika Alek mendapatkan menstruasi, Alek merasa tidak nyaman
dan membenci dirinya sendiri, sehingga Alek menjadi lebih agresif dan
mencoba untuk membunuh seseorang. Akhirnya, berdasarkan data therapi
klinik Alek, pengadilan keluarga Australia memberikan perlakuan hormon dan
operasi pembedahan kepada Alek
Isu LGBT (Lesbian Gay Biseksual dan Transgender) yang kian menguak saat
ini menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat, khususnya di tanah
air. Menyoal hal tersebut, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa
Indonesia (PDSKJI) mengacu pada Diagnostic and Statistical Manual for
Mental Disorders (DSM) dan Pedoman dan Penggolongan Diagnosis
Gangguan Jiwa (PPDGJ) III bahwa LGBT masuk ke dalam Gender Dysphoria
dan bukan termasuk gangguan jiwa. Namun hal ini ada kaitannya dengan
golongan Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Lalu, apa yang
dimaksud dengan Gender Dysphoria?
LGBT di Indonesia masih merupakan hal yang tabu khususnya bagi kelompok
yang pemikirannya didasari agama. Sebagian besar menghujat perilaku dan
orientasi seksual kelompok LGBT ini. MUI bahkan sudah mengeluarkan fatwa
yang menolak praktek hubungan badan dan perkawinan sesama jenis.
Sampai saat ini eksistensi LGB-T di masyarakat ditolak oleh kultur budaya
dan juga agama, karena dianggap sesuatu hal yang aneh, tabu, dosa, bahkan
dikucilkan dan mendapat stigma atau diskriminasi. Oleh karenanya komunitas
tersebut tidak berani terus terang dan tidak berani tampil, akan tetapi secara
diam-diam tetap melakukan perilaku seksual berisiko dan bahkan melakukan
propaganda yang dapat menyebabkan peningkatan penularan HIV dan
hepatitis C. Selain itu mereka juga mengalami stres dan depresi serta tidak
jarang untuk mengatasinya menggunakan cara yang destruktif, seperti minum
alkohol atau menggunakan drugs (NAFZA). Di UK angka pengguna narkotik
dan psikotropik di kalangan LGB-T lebih tinggi dari populasi umum
Tata laksana
3. Prostitusi.
IMS pada MSM (men who have sex with men) serta penularan HIV
Proktitis
Keluhan yang ditimbulkan oleh proktitis berupa: nyeri, purulen, dan/atau duh
tubuh hemoragik, tenesmus, iritasi, gatal, diare dan/atau konstipasi. Tidak
jarang pasien dengan IMS rektum yang parah misalnya LGV disertai keluhan
mirip dengan penyakit Crohn. Mereka akan datang lebih dulu pada seorang
ahli gastroenterologi dan mendapat pengobatan sebagai pasien dengan
penyakit radang saluran cerna. Proktitis akibat infeksi lebih sering ditemukan
dibandingkan dengan bukan infeksi, dengan penyebab umum gonore,
klamidiosis, sifilis, dan herpes simpleks.
Sifilis
Sifilis yang tidak diobati bersifat sangat menular dalam 2 tahun pertama (sifilis
dini). Jalur utama penularan berasal dari hubungan seksual oro- dan
anogenitalis tanpa pelindung. Karena hubungan seks oro-genitalis sering
dianggap kurang berisiko tertular HIV, cara ini sering dilakukan kalangan LSL
baik dengan HIV atau tanpa HIV, namun justru merupakan jalur penularan
yang penting. Jumlah pasangan seksual yang banyak serta diagnosis yang
tertunda dapat meningkatkan angka penularan dan kesulitan notifikasi
pasangan seksual. Semua ulkus genitalis, eksantema tanpa rasa gatal, serta
gejala penyakit yang parah (misalnya demam, kelelahan yang sangat,
limfadenopati, pembesaran hati dan limpa, terdapat enzim hati yang
meningkat, gejala neurologis atau oftalmologis) tanpa penyebab yang jelas,
harus dilakukan pemeriksaan sifilis terutama pada LSL tanpa memandang
status HIV yang disandangnya.
HPV sangat mudah menular melalui semua cara hubungan seksual. Sel basal
epitel anus sangat rentan terhadap infeksi HPV. Sekitar 15 tipe HPV
dikelompokkan sebagai high risk HPV (misalnya HPV tipe 16 dan 18) karena
kaitannya dengan kanker serviks, kanker daerah anogenitalis, serta
karsinoma sel skuamosa daerah tonsil. Di samping itu terdapat pula sejumlah
low risk HPV (misalnya tipe 6 dan 11) yang berkaitan dengan kutil kelamin
atau kondilomata akuminata. Meskipun dijumpai infeksi HPV persisten,
perkembangan menjadi displasia prakanker terjadi relatif jarang dan lambat,
sehingga dapat dilakukan intervensi untuk waktu yang cukup lama. High risk
HPV pada pasien HIV(-) dihubungkan dengan kondiloma anus dan
perdarahan anus pada laki-laki HIV (+)
Kanker anus
Faktor risiko terjadi lesi intraepitelial skuamosa pada LSL tanpa infeksi HIV
dan kanker anus pada LSL dengan HIV meliputi usia lebih tua saat pertama
kali melakukan hubungan seksual anus reseptif, sering melakukan hubungan
seks anus reseptif tanpa pelindung, penggunaan obat suntik, infeksi HPV
pada anus serta banyak jenis HPV yang bersamaan menginfeksi seseorang.
Faktor lain yang turut berperan di antaranya hitung sel CD4 yang rendah dan
kebiasaan merokok. Insidens kanker anus paling tinggi dijumpai pada LSL
yang telah terinfeksi HIV. Semakin banyak LSL dengan infeksi HIV yang
bertahan hidup, memungkinkan penyakit HPV praneoplastik berkembang
menjadi kanker, sedangkan perbaikan imunologis tidak berpengaruh
terhadap insidens infeksi HPV. Kanker anus merupakan salah satu tumor
non-AIDS yang paling sering ditemukan pada LSL dengan infeksi HIV dan
terus bertambah meskipun telah ada obat antiretrovirus yang efektif.
Infeksi HIV
Sampai saat ini eksistensi LGB-T di masyarakat ditolak oleh kultur budaya
dan juga agama, karena dianggap sesuatu hal yang aneh, tabu, dosa, bahkan
dikucilkan dan mendapat stigma atau diskriminasi. Oleh karenanya komunitas
tersebut tidak berani terus terang dan tidak berani tampil, akan tetapi secara
diam-diam tetap melakukan perilaku seksual berisiko dan bahkan melakukan
propaganda yang dapat menyebabkan peningkatan penularan HIV dan
hepatitis C. Selain itu mereka juga mengalami stres dan depresi serta tidak
jarang untuk mengatasinya menggunakan cara yang destruktif, seperti minum
alkohol atau menggunakan drugs (NAFZA). Di UK angka pengguna narkotik
dan psikotropik di kalangan LGB-T lebih tinggi dari populasi umum
41.5.6.1. Evaluasi
Sikap klinisi dan situasi pemeriksaan yang nyaman bagi pasien GLB