Anda di halaman 1dari 11

TUGAS TEKNOLOGI POLIMER

POLIURETAN

MIRNA ISDAYANTI H1D113004


ISMI NUR KARIMA H1D113028
HARI APRIYAN SAPUTRA H1D113035
RIAN NUGRAHA PUTRA H1D113205
MUHAMMAD RIZKI RAMADHANI H1D113208

PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2017
A. Definisi dan Sejarah Perkembangan Poliuretan
Poliuretan merupakan material polimer yang terbentuk dari susunan unit
ulang yang terikat oleh gugus uretan melalui reaksi polimerisasi dalam rantai
utamanya, gugus uretan tersebut tersusun dari unsur-unsur HNCOO. Poliuretan
ditemukan pertama kali oleh Prof. Otto Bayer pada tahun 1937 sebagai pembentuk
serat yang didesain untuk menandingi serat Nylon. Poliuretan berkembang
menjadi suatu material khas yang mempunyai terapan yang amat luas, bukan
hanya bisa digunakan sebagai fiber (serat), tetapi dapat juga digunakan untuk
membuat busa (foam), bahan elastomer (karet/plastik), lem, pelapis (coating),
dan lain-lain.

B. Klasifikasi Poliuretan
Busa poliuretan dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu busa fleksibel
(flexibel foam) dan busa keras (rigid foam). Perbedaan sifat fisik dari kedua tipe
busa poliuretan ini berdasarkan pada perbedaan berat molekul, fungsionalitas poliol
dan fungsionalitas isosianat. Berdasarkan struktur selnya, busa dibedakan menjadi
2, yaitu sel tertutup dan sel terbuka.
Busa dengan struktur sel terbuka memiliki pori-pori yang saling terhubung satu
sama lain untuk membentuk jaringan interkoneksi. Selain itu, jenis busa ini
memiliki kerapatan relatif lebih rendah dan penampilannya seperti spons. Busa
struktur sel tertutup tidak memiliki jaringan sel yang terhubung. Busa dengan
struktur sel tertutup merupakan bahan busa padat. Biasanya jenis busa ini memiliki
kuat tekan yang lebih tinggi karena strukturnya, memiliki stabilitas dimensi yang
lebih tinggi, serapan air rendah dan memiliki kekuatan yang lebih tinggi jika
dibandingkan busa sel terbuka.
Berikut klasifikasi busa poliuretan berdasarkan komponen poliol dan nilai
modulus elastisitas (Ashida, 2007):

2
Bahan esensial (penting) dalam pembuatan busa poliuretan adalah poliisosianat,
poliol, agen pengembang (blowing agent), katalis, dan surfaktan.

C. Kegunaan Poliuretan
Poliuretan yang terbentuk dari reaksi antara senyawa yang mengandung
gugus isosianat dan gugus hidroksi akan memiliki beberapa kegunaan antara lain
elastomer, fiber, foam dan pelapisan (coating).
1. Elastomer
Poliuretan merupakan suatu kopolimer blok yang memiliki bagian segmen
keras dan segmen lunak dalam struktur rantai polimernya. Bagian segmen
keras umumnya dari senyawa yang mengandung diisosianat dan bagian
segmen lunak berasal dari senyawa yang mengandung gugus dihidroksi.
Karet atau elastomer merupakan polimer yang memperlihatkan resiliensi
(daya pegas) atau kemampuan meregang dan kembali kekeadaan semula
dengan cepat. Elastomer poliuretan memiliki ketahanan gores, kuat, tahan
terhadap minyak dan tingkat kekerasan yang cukup baik sehingga banyak
digunakan untuk melapisi bahan yang terkena tekanan mekanik terus-
menerus seperti, benang ban, roda gigi, sol sepatu dan pelapis rol pada
mesin pembuat kertas.
2. Serat
Poliuretan ini memiliki sifat keelastisan yang cukup baik sehingga dapat
menggantikan benang karet lateks pada industri pembuatan pakaian
penyelam. Serat dicirikan oleh modulus dan kekuatan yang tinggi, elongasi
(daya rentang) yang baik, stabilitas panas yang baik (sebagai contoh, cukup
untuk menahan panas strika), spinabilitas (kemampuan untuk diubah
menjadi pilamen-pilamen) dan sejumlah sifat-sifat lain yang bergantung
pada apakah akan dipakai dalam tekstil, kawat, tali dan kabel dan lain-lain.
3. Proses Pelapisan (coating)
Dengan berkembangnya polimer-polimer sintetik pada abad ke 20, industri
bahan pelapis telah berkembang dari pernis dan cat sintesis poliester hingga
ke cat-cat lateks yang lebih mutakhir yang terdiri atas polimer-polimer yang
diemulsi dalam air. Poliuretan yang keras memiliki sifat tahan gores,

3
ketahanan terhadap cuaca dan benturan yang cukup baik sehingga banyak
digunakan sebagai pelapis pada cat mobil, lantai gymnasium dan berbagai
peralatan kelautan.
4. Busa (foam)
Pembuatan busa dari poliuretan dilakukan dengan menggunakan agen
pengembang (blowing agent), yang akan menghasilkan gas pada saat terjadi
reaksi sehingga poliuretan dapat membentuk busa. Ada dua jenis busa
poliuretan, yaitu busa lunak (flexible foam) dan busa kaku (rigid foam).
Busa lunak umumnya adalah busa karet dalam industri furniture misalnya
kasur busa, alas kursi dan industri kendaraan bermotor misalnya jok mobil.
Hal ini disebabkan karena memiliki kekuatan lebih baik, kerapatan lebih
rendah dan proses pembuatan yang lebih mudah. Busa kaku (rigid foam)
memiliki ketahanan terhadap tekanan dan memiliki struktur sel tertutup
sehingga daya hantar panasnya cukup rendah, menolak minyak dan sedikit
menyerap air, sehingga sangat berguna untuk struktur berlapis seperti insulasi
dinding pada bangunan, insulasi lemari es atau insulasi kedap suara.

D. Karakteristik Poliuretan
1. Sifat Poliuretan
Sifat-sifat poliuretan sangat ditentukan oleh struktur segmen keras dan
lunak, Selain itu sifat poliuretan juga ditentukan oleh sifat fisik yang lain
seperti kristalinitas dan ikatan hidrogen antar segmen. Disamping masalah
segmentasi, struktur dan massa molekul poliol juga berpengaruh terhadap
sifat mekanik poliuretan. Molekul diisosianat juga sangat bepengaruh
terhadap sifat poliuretan. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
menunjukkan beberapa diisosianat yang direaksikan dengan poli(etilen
adipat) dengan perbandingan poli(etilen adipat)/ diisosianat/1,4-butanadiol
1/3/2, menunjukkan p-fenilen diisosianat yang memiliki faktor simetri dan
kekakuan (rigiditas) yang tinggi sehingga menyebabkan kuat tarik dan
modulus Young besar. Adanya gugus metil menyebabkan turunnya
modulus. Hal ini menunjukkan bahwa gugus metil dapat merusak simetri
dan kristalisabilitas diisosianat.

4
2. Struktur Poliuretan
Sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 1 berikut:

Gambar 1 Struktur ikatan uretan.

Gugus fungsi uretan terbentuk dari reaksi antara senyawa yang mengandung
dua atau lebih gugus diisosianat (-NCO) yang sangat reaktif dengan gugus
hidroksil membentuk uretan, sehingga dengan demikian jenis dan ukuran
setiap molekul pembentuk akan memberikan kontribusi terhadap sifat
poliuretan yang terbentuk seperti nampak dalam persamaan reaksi berikut:

xR-NCO + R'OH R-NH-COO-R'

Jika diisosianat atau poliisosianat bereaksi dengan diol atau poliol akan
terbentuk poliuretan. Reaksi tersebut akan berlangsung terus hingga salah
satu atau kedua pereaksi habis. Reaksi pembentukan poliuretan
ditunjukkan pada persamaan reaksi berikut:

OCN-R-NCO + HO-R-OH OCN-R-NH-CO-O-R'-OH


reaksi dengan monomer-monomer
berikutnya
( CO-NH-R-NH-CO-O-R'-O )n

E. Proses Pembuatan Poliuretan


Secara prinsip, poliuretan dapat dibuat dengan cara mereaksikan dua bahan
kimia reaktif yaitu poliol dengan diisosianat, dan biasanya ditambahkan sejumlah
aditif untuk mengontrol proses reaksi dan memodifikasi produk akhir (Woods,
1987). Jenis isosianat, poliol ataupun pemanjang rantai yang digunakan dalam

5
sintesis poliuretan akan mempengaruhi kecepatan reaksi dan sifat dari produk akhir
yang dihasilkan. Poliol memberikan fleksibilitas yang tinggi pada struktur
poliuretan sehingga poliol disebut sebagai segmen lunak dari poliuretan. Disisi lain,
isosianat dan pemanjang rantai memberikan kekakuan atau rigiditas dalam struktur
poliuretan sehingga sering disebut sebagai segmen keras.
Pada pembentukan busa poliuretan terdapat dua reaksi utama, yaitu reaksi gel
dan blow. Reaksi gel terjadi antara isosianat dan gugus hidroksil untuk
menghasilkan ikatan uretan dan polimer gel. Reaksi blow terjadi dalam dua
langkah, dimana pada reaksi ini menghabiskan satu molekul air dan dua gugus
isosianat. Pertama, air bereaksi dengan isosianat menghasilkan asam karbamat yang
tidak stabil sehingga cepat terdekomposisi menjadi amina dan melepaskan karbon
dioksida. Karbon dioksida adalah gas peniup yang mengisi sel. Kedua, amina
bereaksi dengan isosianat yang belum terkonversi untuk membentuk ikatan urea.

Gambar 2. Reaksi pembentukan uretan.

6
Gambar 3. Reaksi pembentukan urea.

F. Teknologi Pemrosesan Poliuretan


Metode pembuatan polyurethane berbeda – beda tergantung dari mediumnya
(tanpa pelarut, dalam bentuk larutan, dalam air ), berdasarkan pada penambahan
reaktan ( one shot process, prepolymer process ).
1. Solvent Free Reactions
Tidak ada pelarut yang digunakan dalam pembuatan flexible dan rigid, cast
elastomer, dan thermoplastic polyurethane dan juga tidak dibutuhkan pelarut
pada pembuatan beberapa produk yang diproses akhir dalam larutan,
contohnya textile coating dan adhesive.
2. One Shot Process
Proses dengan menggunakan reaksi bebas pelarut umumnya berlangsung
sangat cepat, khususnya dengan adanya katalis. Poliuretan dibuat secara
spesifik dengan one shot process selama mixing dengan co reactant dan
penambahan secara simultan dari blowing agent, katalis, foam stabilizer dan
aditif lain. Reaksi yang terjadi adalah eksoterm dan tergantung dari katalis yang
digunakan, reaksi yang sempurna biasa membutuhkan waktu 1- 3 jam.
3. Prepolymer Process
Beberapa poliuretan elastomer dan hampir semua poliuretan dibuat dengan
Prepolimer NCO sebagai intermediate. Metode ini mengikuti reaksi sempurna
meskipun polieter diol mempunyai reaktifitas rendah, akan diperoleh target
formasi struktur dengan adanya katalis. Selama penggunaan Pre polimer NCO

7
yang merupakan monomer bebas, kontak dengan isosianat bebas (TDI atau
Siklohexan diisosianat) bisa dihindari selama proses. Reaksi antara diisosianat
dan diol merupakan reaksi orde kesatu dan tergantung dari perbandingan molar
dari tiap – tiap komponen.
Pembuatan intermediate dengan End Group yang diinginkan dan BM rata –
rata dalam distribusi statistik juga bisa dilakukan dengan proses ini. Produk
dengan group NCO (Pre Polimer NCO) secara teknis sangat penting sebagai
intermediate untuk pembuatan poliuretan karena bias digunakan dengan
komponen multitude yang terdiri dari hidrogen aktif. Poliuretan dibuat dengan
mereaksikan komponen di atau polihidrogen dengan di atau poliisosianat
excess. Reaksi ini menghasilkan campuran homolog yang masih mengandung
monomer isosianat. Jika monomer rendah yang diinginkan, diisosianat excess
bisa dihilangkan dengan destilasi atau evaporasi. Bila perbandingan NCO/OH
pada pembuatan pre polimer lebih besar dari tiga, produk yang dihasilkan
disebut semi – pre polimer, karena hanya sebagian dari isosianat tersedia yang
masuk ke dalam formasi pre polimer.
4. Reaction in Solution
Ada tiga perbedaan system pada pembuatan poliuretan dengan reaksi dalam
larutan ini, yaitu :
a. Sistem Satu Komponen yang bereaksi Sempurna.
Sistem ini menghasilkan poliuretan dengan BM tinggi yang dibuat
dengan proses pre polimer yang mudah larut dalam larutan polar.
b. Sistem Satu komponen Reaktif.
Pre polimer dengan berat molekul relatif rendah dengan gugus NCO,
bisa dilarutkan dalam pelarut polar dan ditangani dalam kelembaban
atmosfir. Waktu curing tergantung suhu dan kelembaban relatif dari
udara. Saat digunakan lapisan tipis, karbon dioksida terbentuk sebagai
produk samping. Produk akhir yang terjadi adalah crosslink dari
poliuretan.
c. Sistem Dua Komponen
Sistem dua komponen sangat penting untuk typical coating pada industri
kulit dan tekstil. Komponen terdiri dari polihidroksi dan sebagai

8
crosslinker digunakan isosianat yang bebas dari diisosianat yang mudah
menguap. Poli isosianat yang terbentuk dari diisosianat berlebihan
dengan polyol BM rendah, diamine atau air selama proses trimerasi akan
menyebabkan tekanan uap yang rendah.
5. Aqueous Two Phase System
Pre polimer dengan gugus pusat NCO dapat dicampur dengan air untuk
medapatkan yield reaktif tipe emulsi O/W, yang terbentuk secara spontan
selama pencampuran dengan air. Ukuran partikel akan turun dengan
meningkatnya sifat hidrofil. Prepolimer tanpa sifat hidrofil membutuhkan
emulsifier dari luar atau daya yang besar untuk terdispersi ke dalam air.
Prepolimer yang sangat kental harus diencerkan dengan pelarut untuk
emulsifikasi. Pelarut tidak perlu dicampur dengan air. Larutan dalam pelarut
hidrofil organik yang dicampur dengan air, dihilangkan pelarutnya dengan
distilasi. ( Sen, 2001 ).
Setelah membandingkan berbagai macam proses, maka dipilih proses One
shot dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Proses reaksi pada tekanan atmosferik dan suhu rendah sehingga
menghemat biaya instalasi.
b. Prosesnya sederhana.
c. Biaya produksi lebih murah.
d. Proses pembentukan produk lebih cepat dibandingkan dengan
Aqueous Two Phase System

Metode karakterisasi antara lain: analisis struktur molekul dengan Fourier


Tansform Infra Red (FTIR), analisa sifat termal menggunakan Differential Thermal
Analysis (DTA) dan Thermogravimetric Analysis (TGA), penentuan massa
molekul dengan viskometer Ostwald, penentuan rapat massa (ρ) dengan
piknometer.
1. Fourier Transform Infra Red (FTIR)
Ketika sinar inframerah dilewatkan melalui suatu sampel polimer, maka
sejumlah frekuensi diabsorbsi sementara yang lain akan diteruskan
(ditransmisikan). Jika persen absorbansi atau persen transmitan digambarkan

9
terhadap frekuensi maka akan dihasilkan suatu spektrum inframerah. Transisi yang
terlibat dalam absorbsi sinar inframerah berkaitan dengan perubahan-perubahan
vibrasi dalam molekulAda dua jenis vibrasi molekul yang umum yaitu: Vibrasi ulur
adalah ritme gerakan sepanjang sumbu ikatan sebagai interaksi pertambahan atau
pengurangan jarak antar atom dan vibrasi tekuk yaitu suatu perubahan sudut ikatan
antara ikatan-ikatan dengan suatu atom.
2. Viskometri
Massa molekul rata-rata dari suatu polimer adalah salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap sifat polimer, Karena itu penentuan massa molekul relatif
merupakan salah satu tahap karakterisasi yang sangat penting dalam mempelajari
sifat-sifat suatu polimer. Ada beberapa metode dapat dilakukan untuk
menentukanmassa molekul relatif rata-rata suatu polimer, antara lain : metode
osmometri yaitu dengan cara mengukur tekanan osmosis larutan polimer, metode
tonometri yaitu dengan mengukur perbedaan tahanan listrik larutan polimer dan
pelarut serta metode viskometri yaitu dengan cara mengukur laju alir larutan
polimer dengan viskometer.
3. Uji Termal
Analisis sifat termal dapat didefinisikan sebagai pengukuran sifat fisik maupun
kimia dari bahan sebagai fungsi temperatur. Thermogravimetric Analysis (TGA)
dan Differential Thermal Analysis (DTA) adalah dua teknik analisis termal yang
utama. TGA merekam secara otomatis perubahan massa dari suatu sampel sebagai
fungsi temperatur, sedangkan DTA mengukur perbedaan temperatur ∆T antara
suatu sampel dengan bahan acuan sebagai fungsi temperatur. Salah satu teknik yang
berkaitan erat dengan DTA adalah Differential Scanning Calorimetry (DSC). Pada
DSC peralatannya didesain untuk mengukur secara kuantitatif perubahan entalpi
yang terjadi dalam suatu sampel sebagai fungsi temperatur atau waktu. Teknik
analisis termal yang lain adalah dilatometry, dimana perubahan dimensi linier dari
suatu sampel direkam sebagai fungsi temperatur.

10

Anda mungkin juga menyukai